Perspektif Vol. 13 No. 2 /Des 2014. Hlm 75 -89 ISSN: 1412-8004
FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK PENGEMBANGAN BIOIRIGASI PADA PERTANIAN LAHAN KERING DI INDONESIA Hydraulic Lift Phenomenon and Prospects of Bioirrigation Development in Dryland Farming in Indonesia JOKO PITONO
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute Jalan Tentara Pelajar No 3 Bogor, 16111 Telp (0251) 8321879, Faks (0251) 83107010 E-mal:
[email protected];
[email protected]
Diterima: 25 Oktober 2014; Direvisi: 17 November 2014; Disetujui: 24 November 2014 ABSTRAK
ABSTRACT
Diperkirakan pertanian nasional ke depan akan semakin bertumpu pada lahan suboptimal, mengingat alih fungsi lahan produktif ke sektor di luar pertanian semakin tidak terkendali dengan laju konversi mencapai ± 132 ribu ha per tahun. Dari 91,9 juta ha lahan suboptimal nasional sekitar 76,6% berupa lahan kering. Keterbatasan air merupakan kendala utama pada pertanian lahan kering, dan kurangnya investasi irigasi teknis menyebabkan sebagian besar lahan kering masih menggantungkan pada sumber air hujan. Bioirigasi merupakan alternatif pengelolaan air lahan kering dengan memanfaatkan kemampuan hydraulic lift tanaman tertentu untuk mengangkat air tanah dari lapisan dalam yang lebih lembab dan mengisi ulang air tanah pada lapisan dangkal yang kering. Selanjutnya air tanah hasil pengisian ulang di lapisan dangkal tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan transpirasi dan pertumbuhan, baik untuk tanaman yang melakukan hydraulic lift maupun tanaman sela (cash crops) lain yang ditanam di sekitarnya. Kajian hydraulic lift hingga saat ini masih terbatas pada tataran ekologi, dan untuk menuju langkah implementasinya mendukung bioirigasi di sektor pertanian perlu mempertimbangan aspek teknis seperti pemilihan kombinasi jenis tanaman, arsitektur pertanaman, keberadaan air tanah dalam, sifat fisik tanah, dan komponen penguatan fungsi hydraulic lift. Tujuan review ini adalah memberikan perspektif penelitian dan pengembangan bioirigasi sebagai alternatif pengelolaan air dan prospek pemanfaatannya pada pertanian lahan kering di Indonesia.
It is estimated that the national agriculture in the future will increasingly rely on suboptimal land, given the productive land conversion to non-agricultural sector is increasingly out of control with the conversion rate to ± 132 thousand hectares per year. Of the 91.9 million ha of national suboptimal around 76.6% in the form of dry land. Limitations of water is a major constraint on the dry land agriculture, and lack of technical irrigation investments led to most of the dry land still dependent on rain water source. Bioirrigation is an alternative dry land water management by utilizing the ability of certain plant hydraulic lift to lift water from the soil layers in the more humid and recharge groundwater at dry shallow layer. Furthermore, the results of recharging groundwater in the shallow layers can be used to meet the needs of transpiration and growth, both for plants that do hydraulic lifts and intercrops (cash crops) that planted in the vicinity. Study of hydraulic lift is still limited at the level of ecology, and for leading the implementation in the agricultural sector need to consider the technical aspects such as the selection of a combination of the type of crop, crop architecture, the presence of water in the soil, soil physical properties, and strengthening the function of hydraulic lift components. The purpose of this review is to provide an alternative perspective of research and development on bioirrigation as water management and utilization prospects in dryland farming in Indonesia. Key word: dry land, soil water, bioirrigation, hydraulic lift crops
Kata kunci: lahan kering, air tanah, bioirigasi, tanaman hydraulic lift
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO)
75
PENDAHULUAN Diperkirakan pertanian nasional ke depan akan semakin bertumpu pada lahan suboptimal, mengingat alih fungsi lahan produktif ke sektor di luar pertanian semakin tidak terkendali dengan laju konversi mencapai ± 132 ribu ha per tahun (Agus dan Irawan, 2006). Kemtan (2013) memperkirakan luas lahan suboptimal nasional mencapai 91,9 juta ha yang meliputi (a) lahan kering masam seluas 62,6 juta ha setara dengan 68,1%; (b) lahan kering beriklim kering seluas 7,8 juta ha setara 8,5%; (c) lahan rawa pasang-surut seluas 14 juta ha setara 15,2%; dan d) lahan rawa lebak seluas 7,5 juta ha setara 8,2%. Namun pemanfaatan lahan suboptimal tersebut hingga saat ini belum sepenuhnya diiringi dengan penerapan inovasi teknologi secara memadai, menyebabkan produktivitas lahan yang rendah. Kendala utama budidaya pertanian lahan kering adalah faktor keterbatasan sumberdaya air akibat pola distribusi hujan yang kurang ideal. Sekitar 81,6% lahan kering di wilayah Bali dan Nusa Tenggara memiliki curah hujan tahunan kurang dari 2000 mm (Las et al., 2000). Meskipun jumlah curah hujan tahunan pada lahan kering tersebut secara kuantitatif relatif mencukupi untuk budidaya pertanian, namun karena kejadian hujannya hanya terkonsentrasi pada musim hujan yang pendek, maka hanya dapat mendukung masa tanam komoditas semusim < 6 bulan (Las et al., 1991). Perkiraan ini didasari hasil evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada lahan kering yang mencapai 120 mm/bulan (Oldemen et al, 1980). Hasil analisis ketersediaan dan kebutuhan air selama musim kemarau di pulau Jawa dan Bali pada tahun 2003 mengalami defisit 13,1 milyar meter kubik, sedangkan wilayah Nusa Tenggara mengalami defisit sebesar 100 juta meter kubik (Kartiwa dan Dariah, 2012). Pengelolaan air lahan kering yang tepat sangat krusial untuk mengatasi ketimpangan antara kebutuhan air tanaman dan ketersediaannya dalam perspektif ruang dan waktu. Pengelolaan air lahan kering umumnya dilakukan secara rekayasa teknis melalui penampungan air permukaan dalam bangunan tandon air, embung, dan waduk untuk
76
selanjutnya disalurkan pada target hamparan lahan budidaya dengan memasang prasarana saluran air atau jaringan pipa. Pendekatan ini sering terbentur dengan kebutuhan pembiayaan konstruksi yang tidak murah dan sedikitnya pemerintah melalui program tugas pembantuan daerah memerlukan dana lebih dari Rp. 27,5 milyar tiap tahunnya (Ditjen PSP, 2011). Oleh karena itu, untuk mempercepat pengembangan pertanian pada lahan kering diperlukan alternatif lain untuk pengelolaan air yang efektif, mudah, dan murah dalam penerapannya. Makalah ini bertujuan untuk menguraikan alternatif pengelolaan air lahan kering dengan bioirigasi melalui pemanfaatan kemampuan tanaman tertentu melakukan pengisian ulang air pada tanah lapisan atas.
PERTANIAN LAHAN KERING Di antara jenis lahan suboptimal yang tersedia, lahan kering merupakan yang terluas dan sangat potensial digarap untuk pengembangan pertanian nasional ke depan. Abdurachman et al. (2008) memperkirakan lahan kering yang sesuai untuk budidaya pertanian mencapai 76,2 juta ha. Sekitar 93% dari luasan lahan kering tersebut yang setara 70,7 juta ha, berada di dataran rendah dan sisanya di dataran tinggi. Luas lahan kering dataran rendah tersebut merupakan lahan datar hingga bergelombang (lereng <15%) dan yang sesuai untuk pengembangan tanaman pangan mencapai 23,3 juta ha. Sisa lahan kering dataran rendah seluas 47,5 juta ha yang berlereng 15-30% hanya sesuai untuk pengembangan tanaman tahunan. Untuk lahan kering dataran tinggi yang sesuai untuk budidaya tanaman pangan hanya 2,1 juta ha dan sisanya dapat digunakan untuk pengembangan tanaman tahunan. Dalam perspektif makro, peran lahan kering bagi pembangunan pertanian nasional ke depan ditengarai justru lebih unggul dibandingkan lahan sawah. Menurut Irawan (2012) beberapa keunggulan daerah lahan kering dibanding daerah lahan sawah adalah 1) daerah lahan kering lebih tersebar di seluruh wilayah nusantara sehingga upaya pemerataan pembangunan pertanian antar daerah lebih
Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
efektif dilakukan melalui pemberdayaan lahan kering, 2) konversi lahan pertanian ke fungsi lain di luar pertanian relatif dapat ditanggulangi, sehingga keberlanjutan lahan pertanian lebih terjamin, 3) tanaman pertanian yang dikembangkan lebih beragam sehingga sektor pertanian di lahan kering lebih resisten terhadap fluktuasi harga komoditas, 4) distribusi penguasaan lahan kering lebih merata dibanding distribusi penguasaan lahan sawah, sehingga upaya pemerataan pendapatan petani lebih efektif jika dilakukan melalui pemberdayaan lahan kering, dan 5) ketersediaan lahan pertanian per keluarga pertanian relatif lebih luas, sehingga upaya peningkatan pendapatan petani akan lebih efektif jika dilakukan melalui pemberdayaan lahan kering. Pemanfaatan potensi keunggulan lahan kering yang sangat besar untuk mendukung program pengembangan pertanian nasional masih dihadapkan pada beberapa kendala seperti kesuburan lahan yang rendah, sumber air yang terbatas, topografi berbukit yang rawan erosi, kemiskinan petani, dan infrastruktur ekonomi yang terbatas, menyebabkan penerapan teknologi usahatani menjadi mahal (Miardi, 2009; Irawan, 2012). Kendala tersebut menyebabkan produktivitas lahan kering jauh lebih rendah dibandingkan lahan basah. Sebagai contoh, fluktuasi rerata produktivitas padi nasional selama periode tahun 1950 - 2010 untuk padi gogo lahan kering adalah sangat rendah hanya berkisar 1.0 – 2.9 ton/ha dibandingkan produksi padi sawah yang berkisar 1,8 – 4,7 ton/ha (Suradisastra, 2012). Selain itu, masih banyak hasil kajian lapang yang membuktikan bahwa melalui penyediaan irigasi dapat meningkatkan produktivitas tanaman bernilai ekonomi di lahan kering secara signifikan seperti cabai, tembakau, dan bawang merah (Kurnia, 2004). Namun demikian, untuk membangun dan memelihara jaringan irigasi tersebut diperlukan biaya yang tidak murah, dan faktanya sebagian besar pertanian lahan kering belum mendapat fasilitas irigasi.
STATUS TEKNOLOGI PENGELOLAAN AIR LAHAN KERING Penguasaan teknologi pengelolaan air sangat diperlukan untuk pengembangan pertanian lahan kering. Hingga saat ini telah banyak dihasilkan teknologi pengelolaan air, dan sebagian telah diimplementasikan pada usahatani lahan kering. Kartiwa dan Dariah (2012) secara detail menguraikan ragam teknologi pengelolaan air lahan kering seperti teknologi identifikasi potensi sumberdaya air baik untuk air permukaan maupun air dalam; teknologi karakterisasi sumberdaya air dengan isotop; teknologi panen hujan dan aliran permukaan dengan embung dan dam parit; dan teknologi irigasi yang meliputi irigasi parit, irigasi tetes, irigasi curah bergerak, dan irigasi lahan bertopografi terjal. Pengembangan teknologi identifikasi potensi air permukaan pada prinsipnya mengacu pada data curah hujan dan dinamika ketersediaannya selama satu siklus hidrologi, sedangkan untuk identifikasi potensi air dalam adalah berdasarkan pada karakteristik geohidrologinya. Melalui teknologi aplikasi isotop memungkinkan dapat diketahui karakteristik sumberdaya air permukaan dan sumber air tanah seperti kecepatan aliran, pola dispersi, transport sedimen, rembesan air, dan tingkat polutan air tanah. Penerapan teknologi panen aliran permukaan dan irigasi tersebut dilaporkan nyata membantu meningkatkan produktivitas lahan kering. Sebagai contoh penerapan teknologi embung di Bantul, Yogyakarta diketahui secara nyata meningkatkan hasil usahatani sawah tadah hujan dari setara 4.230 kg gabah/ha/tahun menjadi 11.700 kg gabah/ha/tahun atau sebesar 176% (Irawan et al., 2012). Demikian juga dengan teknologi irigasi tetes dengan debit emmiters 0,25 liter/jam terbukti efektif meningkatkan hasil jagung hingga mencapai 20 ton/ha (Assouline, 2002). Defisit kebutuhan air untuk pertumbuhan dan produksi tanaman pada musim kemarau di sebagian besar lahan kering tidak memungkinkan dipenuhi dari tambahan air irigasi akibat tidak adanya fasilitas jaringan irigasi teknis dan atau sumber airnya. Pada situasi yang demikian, pengelolaan air lahan
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO)
77
kering hanya tertumpu pada tindakan konservasi air. Tindakan konservasi air lahan kering dapat dilakukan diantaranya melalui 1) cara mekanik (pembuatan saluran resapan, rorak, mulsa, embung, sistem drainase, dan pengolahan tanah), 2) cara vegetatif (penanaman tanaman penutup tanah, pola pergiliran tanaman, penanaman strip/alley cropping, sistem penanaman agroforestry dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa dan bahan organik), dan 3) pemanfaatan bahan pembenah tanah baik alami maupun sintetik (Arsyad, 2000; Subagyono et al., 2004). Lebih lanjut, keuntungan penggunaan bahan pembenah tanah antara lain adalah a) kebutuhan air irigasi dapat dikurangi dengan meningkatnya kapasitas menahan air, b) meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman, c) meningkatkan kapasitas tanah menahan hara terlarut dalam air, d) memperbaiki aerasi, dan e) mengurangi biaya operasional irigasi (Subagyono et al., 2004). Selain teknologi pengelolaan air lahan kering yang telah diuraikan di atas, beberapa studi sebelumnya pada bidang agroforestry dan ekologi gurun memperlihatkan adanya peluang pemanfaatan aktivitas akar tanaman tertentu untuk fungsi bioirigasi pada tanah lapisan dangkal. Fenomena dan prospek pemanfaatan bioririgasi tersebut untuk pertanian lahan kering, diuraikan pada bahasan berikut.
terbuka, air bergerak dari tanah lembab yang potensial airnya lebih tinggi menuju ke perakaran tanaman yang potensial airnya lebih rendah, selanjutnya masuk ke aliran transpirasi (Caldwell et al. 1998). Sebaliknya pada malam hari, ketika stomata tertutup, air dari tanah diangkut melalui akar tunggang menuju ke daun. Seiring dengan mengecilnya transpirasi, potensial air tanaman semakin meningkat hingga di atas potensial air tanah di lapisan dangkal yang kering, selanjutnya air akan mengalir keluar dari akar menuju ke tanah (efflux). Berdasarkan prinsip tersebut, air bergerak dari lapisan tanah bawah yang lembab melalui sistem perakaran menuju ke permukaan tanah lapisan atas yang lebih kering, sehingga dapat meningkatkan kelengasan tanah di zona akar secara efektif (Gambar. 1).
FENOMENA HYDRAULIC LIFT Pada malam hari saat transpirasi tanaman sangat rendah, jenis tanaman tertentu yang berperakaran dalam mampu membasahi partikel tanah lapisan dangkal yang sebelumnya telah mengering melalui mekanisme hydraulic lift (Caldwell et al., 1998). Pembuktian pertama kali adanya hydraulic lift di lapangan melalui pengamatan fluktuasi potensial air tanah (Ψs) pada spesies semak besar Artemisia tridentate dalam siklus 24 jam (Richards and Caldwell 1987). Fluktuasi Ψs nampak jelas mengikuti siklus siang-malam, dimana Ψs meningkat pada malam hari seiring dengan kenaikan lengas tanah dan menurun pada siang hari menyertai kehilangan lengas tanah akibat proses evapotranspirasi. Secara teori pada siang hari, ketika stomata daun
78
Gambar 1. Pola aliran air melalui sistem perakaran selama periode siang dan malam hari menurut hipotesis hydraulic lift (Caldwell et al., 1988)
Transfer air dari akar ke tanah melalui mekanisme hydarulic lift ini dipandang mampu menyediakan air untuk disimpan di tanah lapisan dangkal, sekaligus berfungsi sebagai penyangga saat terjadi kekeringan (Richards and Caldwell 1987), dan mencegah putusnya kolom kapiler (cavitation) pada jaringan vascular akar (Scholz et al. 2002). Kehadiran hydraulic lift berkontribusi meningkatkan daya toleransi tanaman terhadap situasi kekeringan yang ekstrim dengan memperpanjang kelangsungan
Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
hidup akar dan mendorong pembentukan akar halus baru di permukaan tanah kering (Espeleta et al. 2004). Banyaknya akar halus yang terbentuk menyebabkan semakin besar air yang dapat ditransfer ke tanah melalui proses hydraulic lift, sehingga tanah lapisan dangkal menjadi semakin lembab, dan serapan hara semakin meningkat (Dawson 1998). Hydraulic lift membantu menjaga ketersediaan air pada kolom tanah lapisan dangkal setiap harinya untuk selanjutnya tidak hanya dikonsumsi oleh tanaman berperakaran dalam yang melakukan hydraulic lift saja, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh tanaman lain di sekitarnya yang berperakaran dangkal dan tidak mampu melakukan hydraulic lift (Caldwell et al., 1998; Sekiya and Yano, 2004). Bukti lain menunjukkan bahwa air yang terangkut ke atas dan dilepaskan ke tanah lapisan dangkal oleh Arthemisia tridentata dapat dikonsumsi oleh rerumputan lain yang akarnya bercampur dengan akar A. tridentata di tanah lapisan atas yang kering (Caldwell and Richards, 1989). Pada tegakan pinus ponderosa, adanya air dari hydraulic lift nampak jelas meningkatkan kelangsungan hidup bibit pinus ponderosa selama periode kering di musim panas (Brooks et al., 2002). Dawson (1993) melakukan studi hydraulic lift pada pohon maple (Acer saccharum) dewasa selama periode kering di musim panas di bagian utara New York, menemukan bahwa vegetasi lain yang hidup di sekitarnya dan tidak dapat menyerap langsung ke sumber air tanah dalam, juga mendapatkan sebagian air yang diangkat melalui hydraulic lift pohon maple. Proporsi air dari hydraulic lift maple yang digunakan oleh vegetasi lain tersebut adalah berkisar 3-60% (Caldwell et al., 1998). Pada awalnya, mekanisme transfer air dari jaringan akar menuju ke tanah belum sepenuhnya dipahami mekanismenya. Namun, akhirnya diketahui bahwa proses aliran air pada jaringan tanaman dan antara akar dan tanah merupakan peran penting dari aquaporins, yaitu membran protein saluran air yang memfasilitasi gerakan pasif molekul air pada saat gradien potensial air turun (Jackson et al., 2000). Aquaporins dikodekan oleh banyak gen yang diatur secara temporal dan spasial selama
perkembangan tanaman terutama untuk merespon stres kekeringan (Kjellbom et al., 1999). Kapasitas Hydraulic Lift Sebagaimana diuraikan di atas bahwa melalui proses hydraulic lift memungkinkan tanaman tertentu mampu melakukan pengisian ulang air tanah pada lapisan dangkal pada periode malam hari. Hasil beberapa studi menunjukkan bahwa jumlah air tanah yang terangkut ke atas untuk proses pengisian ulang tersebut cukup besar pada setiap malamnya. Diperkirakan proses hydraulic lift dapat mengangkat air tanah dari kisaran 14% dari kebutuhan evapotranspirasi harian (Wan et al., 1993) menjadi sekitar 33% (Richards and Caldwell, 1987), bahkan di beberapa kasus mencapai 50% (van Bavel and Baker, 1985 ) dan bahkan 100% (Kurz-Besson et al., 2006; Warren et al., 2007). Nilai 33% setara dengan 1 liter air per m2 luas permukaan tanah per malam yang diangkat oleh semak A. tridentata. Tanaman Acacia (Acacia Tortilis), yang tumbuh di habitat sangat kering di Afrika, mampu mengangkat 70235 liter air setiap malam (Ludwig et al., 2003). Emerman dan Dawson (1996) memperkirakan pohon maple dewasa (tinggi 20 m) mampu mengangkat 102 ± 54 liter air per malam; dan proses hydraulic lift dapat mengisi ulang sekitar 25 % dari jumlah air tanah di lapisan dangkal yang digunakan oleh pohon tersebut. Dilaporkan juga bahwa jumlah air yang diangkat ke tanah kering lapisan dangkal oleh akar rumput Bermuda dan kapas diperkirakan mampu menyumbang 31% hingga 42% dari kebutuhan transpirasi hariannya (van Bavel and Baker, 1985; Baker and van Bavel 1988). Pengamatan di bawah pohon Oak (Quercus suber L.) pada padang savana di Portugal, memperkirakan hydraulic lift dapat memasok 17% - 81% dari jumlah air yang akan ditranspirasikan pada hari berikutnya saat terjadi puncak musim kering, yakni sekitar 0,1-14 liter per pohon per hari (Kurz-Besson et al., 2006). Tanaman Hydraulic Lift Sekitar 30 spesies dan varietas dilaporkan memiliki kemampuan hydraulic lift baik pada skala laboratorium maupun lapangan (Caldwell
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO)
79
Tabel 1. Spesies tanaman hydraulic lift menurut bukti empiris di laboratorium (NMR nuclear magnetic resonance), Caldwell, et al. (1998) Species Triticum vulgare (wheat/gandum), Zea mays (maize/jagung), Circidium torreyana (palo verde), Acacia greggii (catclaw/akasia), Lycopersicon esculentum (tomato/tomat) Phaseolus vulgaris (bean/buncis) Populus species (poplar) Cynodon dactylon C. transvaalensis (bermudagrass/rumput bermuda) Medicago sativa (alfalfa/rumput alfalfa) Gossypium hirsutum (cotton/kapas) Prunus persica (peach) Eucalyptus viminalis (eukaliptus) Zea mays (maize/jagung) Acer saccharum (sugar maple) Artemisia tridentata (sagebrush/artemisia)
Nature of evidence Water transfer between soil compartments Water transfer between soil compartments
Water efflux from hypocotyl Water transfer between roots of Neighboring seedlings Water transfer between soil compartments Water transfer to maize plants in same pot Water transfer between soil compartments Water transfer between soil compartments Water transfer between soil compartments Water efflux from individual roots Water transfer between soil compartments, deuterium labeling Water transfer between soil compartments, proton NMR imaging
Tabel 2. Spesies dengan fungsi hydraulic lift di lapangan, Caldwell, et al. (1998) Species Artemisia tridentata (sagebrush/artemisia) Agropyron desertorum (crested wheatgrass) Gutierrezia sarothrae (broom snakeweed) Acer saccharum (sugar maple) Dipterocarps (three species) Quercus douglasii (blue oak) Sarcobatus vermiculatus (greasewood), Quercus douglasii (blue oak), Artemisia filifolia (sand sagebrush/artemisia) Yucca schidigera (Mojave yucca), Larrea tridentata (creosote bush), Ephedra nevadensis (Nevada joint-fir), Ambrosia dumosa (white bur sage) Lycium pallidum (pale thornbush)
et al., 1998) (Tabel 1 dan 2). Banyak laporan tentang hydraulic lift berasal dari studi rumah kaca yang menggunakan bibit atau individu tanaman tertentu, memperlihatkan adanya pola perubahan potensial air tanah sebagai indikator
80
Nature of evidence Ψs fluctuations, daytime bagging experiment,deuterium labeling, nighttime lighting experiments Ψs fluctuations, nighttime lighting experiments Water accumulation in upper root zone, soil water content fluctuations Ψs fluctuations, natural abundance of Deuterium Natural abundance of stable isotopes Ψs fluctuations Ψs fluctuations
Ψs fluctuations, nighttime lighting and daytime bagging experiments
utamanya. Kemampuan melakukan hydraulic lift tidak terbatas pada spesies tanaman tertentu pada lingkungan kering dan semi kering saja, namun juga meluas pada taksa dan ekosistem yang berbeda (Caldwell et al., 1998). Perbedaan
Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
aktivitas hydraulic lift antar spesies atau tidak munculnya hydraulic lift, mungkin tidak hanya berhubungan dengan faktor kedalaman perakaran saja, tetapi bisa terkait dengan faktor cepatnya penuaan jaringan permukaan akar halus; seperti yang ditunjukkan Savana Bunchgrass (West et al., 2003;. Espeleta et al., 2004). Hambatan transportasi air ke tanah lapisan dangkal akibat kendala hydraulic atau perbedaan permeabilitas membran akar untuk mengeluarkan air, dimungkinkan yang menyebabkan perbedaan aktivitas hydraulic lift diantara spesies (Espeleta et al., 2004). Spesies pengangkat air tanah ke lapisan atas bisa memiliki pola hydraulic lift yang berbeda secara temporer.
LANGKAH MENUJU APLIKASI BIOIRIGASI PADA LAHAN KERING Sebagaimana diuraikan di atas, pengertian bioirigasi pada konteks ini adalah proses pendistribusian air diantara lapisan tanah yang digerakkan oleh aktivitas biologis tanaman tertentu terutama pada jaringan perakaran. Pemanfaatan secara maksimal potensi bioirigasi akan sangat berguna untuk meningkatkan produktivitas lahan kering, khususnya pada wilayah yang tidak terjangkau sarana irigasi teknis dan faktor geografis yang tidak memungkinkan dilakukan rekayasa irigasi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menerapkan bioirigasi pada lahan kering, seperti pemilihan jenis tanaman, arsitektur pertanaman, keberadaan air tanah dalam, sifat fisik tanah, dan penguatan fungsi tanaman hydraulic lift. Pemilihan Jenis Tanaman Prinsip dasar penyusunan cropping system dengan fungsi bioirigasi adalah memaksimalkan pemanfaatan sumber air melalui pemilihan kombinasi jenis tanaman yang dapat saling melengkapi dalam memenuhi kebutuhan airnya tanpa disertai kompetisi air yang merugikan. Oleh karena itu efektivitas bioirigasi pada lahan kering sangat ditentukan oleh kompatibilitas jenis tanaman hydraulic lift dan tanaman sela (cash
crop) yang dipilih (Smith et al., 2004). Mengingat kerja biorigasi bertumpu pada pemanfaatan sumber air tanah lapisan dalam, maka pemilihan jenis tanaman perlu memperhatikan arsitektur perakarannya. Khusus tanaman yang akan difungsikan sebagai tanaman hydraulic lift agar dipilih jenis tanaman berperakaraan dalam yang mampu mengakses ke sumber air dari lapisan tanah dalam (Jackson et al., 2000; Espeleta et al., 2004; Schenk and Jackson, 2002). Tanaman dengan fungsi hydraulic lift tersebut akan lebih baik jika sekaligus memiliki nilai ekonomi. Namun hingga saat ini belum tersedia informasi secara memadai tentang kemampuan hydraulic lift dari sejumlah komoditas pertanian yang adaptif pada lahan kering. Misalnya jambu mete yang telah dibudidayakan secara meluas di kawasan timur Indonesia. Potensi aktual fungsi hydraulic lift belum dievaluasi, namun melihat kemampuan adaptasinya yang tinggi pada lahan kering diduga kuat memiliki fungsi tersebut. Demikian juga pada tanaman kemiri sunan. Berdasarkan pengalaman pengembangannya di wilayah Ngada, NTT, menunjukkan keberadaan tanaman kemiri sunan tersebut dapat menyebabkan air tanah di lapisan dangkal menjadi lebih tersedia, dan diduga kuat juga memiliki fungsi hydraulic lift (Wahyudi, komunikasi personal). Menurut Smith et al. (2004) penerapan hydraulic lift yang ideal memerlukan informasi yang lengkap untuk keseluruhan jenis tanaman yang akan diterapkan, seperti serapan air dan hara oleh sistem perakaran keseluruhan tanaman tersebut baik menurut spasial sumber dan waktunya. Karakteristik kedalaman perakaran komoditas pertanian yang dapat dikembangkan pada lahan kering, secara garis besar dapat dibedakan menurut kelompok komoditasnya, seperti tanaman sayuran < tanaman umbi < tanaman serelia < tanaman perkebunan. Strata kedalaman akar beberapa contoh tanaman yang biasa dikembangkan pada lahan kering adalah seperti pada Tabel 3. Selanjutnya untuk tanaman sela (cash crop) dapat dipilih jenis tanaman berumur pendek lainnya yang bernilai ekonomi. Khususnya untuk tanaman sela yang konsumsi airnya cukup tinggi dapat dialokasikan hanya pada periode musim
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO)
81
Tabel 3. Strata kedalaman akar beberapa contoh jenis komoditas yang biasa dibudidayakan pada lahan kering Komoditas
Tanaman
Sayuran
Bayam Cabai Tomat Ubi jalar Kacang Tanah Kedelai Jagung Sorgum Padi
Distribusi Akar (m) Vertikal Horizontal 0,3-0,6 0,9-1,2 1,2-1,8 1,2-1,8 0,4-0,8 0,68-0,95 0,86-1,15 ≤2,0 ≤1,0 ≤0,4 -
Kopi
0,45-0,50
2,0-3,0
1,5-2,0
≤5
15,0 20,0
8,0-10,0 >10,0
Aneka ubi dan kacang
Serelia
Perkebunan
Kakao Jambu mete Kemiri sunan
Sumber Referensi Gopalakrishnan, 2007 Gopalakrishnan, 2007 Gopalakrishnan, 2007 Gopalakrishnan, 2007 Pandey et al., 1984 Dwyer et al., 1988 Dwyer et al., 1988 Plessis, 2008 Beyrouty et al., 1997 Hulupi dan Mulyadi (2007); Susanto (1994); Carr dan Lockwood, 2011 Salam, 1995 Wahyudi (komunikasi personal)
Tabel 4. Tingkat konsumsi air dan nilai ekonomi beberapa alternatif tanaman sela pada sistem biokonservasi air tanah di lahan kering Tanaman Jagung Tomat Cabai Kopi Kakao Kacang Tunggak Kacang Tanah Kedelai Padi gogo
Konsumsi Air (mm/musim) 400-750 300-600 355-455 3,7-5,2 * <2 - 6 * 325-360 360,6 450-825 550-650
Nilai Ekonomi Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang
Sumber Referensi Doorenbos dan Kassam, 1979 Doorenbos dan Kassam, 1979 Kurnia, 2004 Gutierrez and Meinzer, 1994 Carr and Lockwood, 2011 Asim et al., 2006 Peixi et al., 2002 Kurnia, 2004; Kasam et al., 2005 Yang Xiaoguang et al., 2002
Keterangan: * unit konsumsi air mm/hari
hujan, sedangkan untuk periode musim kering dapat dipilih jenis tanaman yang rendah konsumsi airnya, seperti kacang tunggak, kacang tanah, kedelai, cabai, dan jenis tanaman lainnya (Tabel 4). Arsitektur Pertanaman Untuk mendapatkan efek maksimal dari penerapan bioirigasi di lapangan perlu memperhatikan arsitektur pertanamannya.
82
Konfigurasi antara tanaman utama dengan fungsi hydraulic lift dan tanaman sela (cash crops) harus mempertimbangkan kecukupan akses pada sinar matahari dan air tanah pada lapisan rizosper untuk mendukung aktivitas fotosintesis dan pertumbuhan tanaman. Untuk itu, perlu dikalkulasi kebutuhan lebar lorong antar tanaman hydraulic lift yang akan diisi dengan tanaman sela. Penentuan lebar lorong tersebut perlu mempertimbangkan jangkauan efek hydraulic lift tanaman utama dalam mengisi ulang
Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
1200 Crop only Maize yield (kg/ha)
air tanah lapisan atas yang akan dimanfaatkan oleh tanaman sela dan nilai ekonominya. Misalnya dengan pengaturan lorong baris pada arah timur-barat. Penggunaan simulasi modeling sangat disarankan untuk membantu mendapatkan susunan arsitektur pertanaman yang optimal.
Croton
Gliricidia
600
Grevillea Senna Melia
Keberadaan Air Tanah Dalam (Ground Water) Hal lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi bioirigasi pada lahan kering adalah faktor air tanah dalam (ground water), mengingat keberadaannya cukup beragam di lapangan. Khusus pada lahan yang air tanah dalamnya ekstrim, maka sebagai tanaman hydraulic lift harus dipilih spesies pohon yang benar-benar memiliki perakaran dalam. Tanaman hydraulic lift yang sistem perakarannya tidak memiliki akses ke air tanah dalam, sejalan dengan berkurangnya kandungan air tanah di rizosper, tidak dapat melakukan pengangkatan air atau bahkan mendistribusikan air dari permukaan tanah ke bagian bawah (Smith et al., 2004). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pemompaan air tanah oleh spesies pepohonan pada periode kering dan wilayah tertentu yang tidak memiliki sumber air tanah dalam, justru akan memperparah stres kekeringan dan menyebabkan kehilangan hasil panen. Seperti halnya pada kasus alley cropping system antara jagung dengan spesies pohon Croton sp., Gliricidia sp., Gravillea sp., Senna sp., dan Melia sp. yang menurunkan hasil jagung antara 39-95% (Govindarajan et al. 1996; McIntry et al, 1997 dalam Smith et al, 2004) (Gambar 2). Oleh karena itu, memastikan adanya akses ke air tanah dalam atau sumber air lainnya yang mencukupi adalah kunci untuk keberhasian pemanfaatan hydraulic lift untuk tujuan bioirigasi pada lahan kering secara berkelanjutan. Untuk keperluan identifikasi sumber air tanah tersebut dapat dilakukan dengan survei geolistrik menggunakan terrameter dan geoscanner untuk menggambarkan karakteristik sebaran aquifer (Kartiwa dan Dariah, 2012).
0 0
40
80
Tree water use (mm)
Gambar 2. Korelasi hasil jagung dengan kebutuhan air spesies pohon yang ditanam berdampingan di Machakos, Kenya pada musim tanam yang bercurah hujan rendah, 250 mm (Smith et al., 2004)
Sifat Fisik Tanah Faktor fisik tanah turut menentukan efektifitas fungsi bioirigasi di lapangan. Jenis dan kepadatan tanah memberikan pengaruh yang besar terhadap proses pemindahan air dari akar menuju ke tanah. Struktur tanah yang lebih dipadatkan berkorelasi langsung dengan peningkatan pelepasan air oleh akar (Schippers et al., 1967), sedangkan tanah yang bertekstur kasar berpasir berpengaruh negatif terhadap proses hydraulic lift, akibat kurangnya kontak antara akar dan tanah dibandingkan dengan tanah yang bertekstur halus (Yoder and Nowak, 1999). Dengan demikian, pengaturan komposisi tanaman hydraulic lift dan tanaman sela dalam sistem bioirigasi di lahan kering tidak bisa disamakan antar lokasi satu dengan lainnya. Khususnya untuk lokasi yang memiliki tanah bertekstur kasar sebaiknya dipilih jenis tanaman utama yang fungsi hydraulic lift nya kuat dan dipadukan dengan jenis tanaman sela yang kebutuhan airnya relatif rendah. Selain itu, penambahan bahan organik pada tanah bertekstur kasar, dapat meningkatkan daya pegang air tanah dan kontak antar permukaan akar dengan partikel tanah, sehingga pelepasan air oleh akar ke tanah pada proses hydraulic lift dapat lebih efektif.
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO)
83
Penguatan Fungsi Tanaman Hydraulic Lift Fungsi tanaman hydraulic lift untuk menyediakan air tanah bagi tanaman cash crop pada periode kering dapat diperkuat melalui beberapa cara. Salah satu cara penguatan tersebut adalah melalui penambahan tanaman hydraulic lift dari jenis lain dengan tetap memperhatikan efektivitas arsitektur pertanaman secara keseluruhan. Pada prinsipnya jenis tanaman hydraulic lift dapat dipilih dari semua jenis lintasan photosintesis, baik C3, C4 maupun crassulacean acid metabolism (CAM). Namun berbeda dengan tumbuhan C3 dan C4, studi pada spesies Mojave Desert (Yucca Schidigera) dengan jalur fotosintesis CAM menunjukkan bahwa tanaman ini justru melepas air ke tanah lapisan dangkal pada siang hari ketika tidak ada transpirasi, untuk selanjutnya air tersebut diserap pada malam harinya ketika tanaman CAM tersebut memulai transpirasinya (Yoder and Nowak 1999). Pengangkatan air oleh tanaman CAM dipandang sebagai tanaman hydraulic lift yang sempurna karena tanaman CAM mampu melepaskan air kembali ke partikel tanah pada siang hari, yakni ketika tanaman C3 dan C4 mengekstrak dan mentranspirasikan air yang besar, sehingga dapat menghindari persaingan penggunaan air. Jenis tanaman CAM seperti nenas memungkinkan dimanfaatkan untuk penguatan fungsi tanaman hydraulic lift di lahan kering. Selain itu, penguatan fungsi hydraulic lift dapat dilakukan melalui pemanfaatan mikroorganisme untuk meningkatan kinerja serapan hara dan air tanaman. Jamur mikoriza merupakan salah satu dari jenis mikroorganisme menguntungkan yang berasosiasi dengan perakaran pada hampir semua famili tanaman, termasuk sebagian besar tanaman budidaya (Sen, 2000). Simbiosis mikoriza dapat meningkatkan serapan hara dan air tanaman, serta menekan patogen sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan tanaman. Namun, kondisi kekeringan pada tanah berpengaruh negatif pada mikoriza dengan berkurangnya panjang hifa tanah dan biomasnya (Querejeta et al., 2007). Adanya pengisian ulang air pada tanah lapisan atas oleh tanaman hydraulic lift akan
84
melindungi kerusakan hifa jamur dari bahaya stres air (Caldwell et al. 1998). Lebih lanjut Querejeta et al. (2007) dalam studinya menunjukkan bahwa air hydraulic lift membantu ektomikorisa dan vesikular arbuskular mikoriza (MVA) menghadapi stres kekeringan pada tegakan Oak di California. Pada tahap lebih lanjut, dengan meningkatnya kemampuan menyerap P, memproduksi hormon tanaman, meningkatnya transportasi air akibat meluaskannya bidang muka akar oleh hifa jamur VAM, dan kemampuan osmotik adjustment daun tanaman yang berafiliasi dengan jamur VAM, maka ketahanan terhadap stres kekeringan dari simbiosis tanaman dan jamur VAM tersebut akan meningkat (Peña et al., 1988).
MODEL PENGEMBANGAN BIOIRIGASI PADA LAHAN KERING DI INDONESIA Pengembangan bioirigasi pada lahan kering di Indonesia masih memerlukan dukungan hasil penelitian baik di laboratorium maupun lapangan. Aspek penelitian yang diperlukan untuk membangun model pengembangan bioirigasi pada lahan kering tersebut terangkum dalam struktur model seperti pada Gambar 3. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kondisi lahan kering bervariasi antar wilayah dan tergantung pada karakteristik faktor iklim dan tanahnya. Bagian penting dari model pengembangan bioirigasi lahan kering adalah penyusunan peta pewilayahan potensi bioirigasi yang akan digunakan untuk memandu implementasi bioirigasi secara tepat di suatu wilayah lahan kering. Melalui bantuan peta pewilayahan bioirigasi ini dapat diketahui rekomendasi sistem pertanaman dan pilihan jenis tanaman yang tepat baik untuk cash crops maupun tanaman hydraulic lift nya. Adapun dasar penyusunan peta bioirigasi tersebut adalah dari hasil estimasi kuantitatif neraca air tanah dengan basis perhitungan kapasitas biorigasi dan tingkat konsumsi air tanaman. Lebih lanjut, keteraturan pola hubungan antara kapasitas biorigasi dengan variabel kunci yang mempengaruhinya seperti air tanah dalam (ground water), sifat fisik tanah, kapasitas hydraulic lift dan arsitektur pertanaman dapat
Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
Gambar 3. Model pengembangan bioirigasi untuk meningkatkan produktivitas lahan kering di Indonesia. HL adalah hydraulic lift.
disusun dalam model simulasi. Demikian juga untuk faktor iklim yang meliputi sifat hujan, suhu udara, kelembaban udara, dan radiasi surya, serta faktor tanaman yang meliputi jenis dan fase pertumbuhannya turut menentukan tingkat kebutuhan air tanaman secara keseluruhan, dan nilainya dapat diduga dengan model simulasi. Pada tahapan model selanjutnya dengan memperhitungkan luas wilayah target, jenis tanaman yang dipilih dan disertai nilai dugaan produksinya, memungkinkan diketahui estimasi peningkatan produktivitas tanaman di suatu wilayah lahan kering. Demikian juga nilai peningkatan produktivitas lahan kering di wilayah tersebut dengan mudah dapat diduga melalui model ini.
KESIMPULAN DAN SARAN Aplikasi tanaman hydraulic lift yang mampu mengangkat air ke tanah lapisan atas menjadi opsi yang menarik, layak, dan murah sebagai
alternatif rekayasa sistem irigasi yang berbasis aktivitas biologis tanaman (bioirigasi) pada pertanian lahan kering ke depan. Adanya tanaman hydraulic lift yang bisa mengangkat air dari lapisan tanah yang lebih dalam dan mengisi ulang air di tanah lapisan dangkal yang mudah mengalami kekeringan, diharapkan dapat menjamin keberlanjutan budidaya tanaman sela (cash crops) di lahan kering. Prinsip model penerapan bioririgasi di lapangan adalah meminimalkan sifat kompetisi dan memaksimalkan sifat komplementer atas penggunaan air antara tanaman hydraulic lift dan tanaman sela (cash crops) dengan mempertimbangkan kapasitas sumber air dalam (ground water) yang ada. Aspek teknis yang perlu diperhatikan dalam pemodelan bioirigasi pada pertanian lahan kering antara lain a) ketepatan pemilihan jenis tanaman, baik yang berfungsi sebagai tanaman hydraulic lift maupun tanaman sela, b) pembentukan arsitektur pertanaman yang dapat mendukung pertumbuhan dan hasil
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO)
85
tanaman secara maksimal, c) mengetahui keberadaan sumber air dalam (ground water) sebagai dasar penetapan jenis tanaman hydraulic lift, d) mengetahui sifat fisik tanah wilayah setempat yang berpengaruh pada efektifitas fungsi hydraulic lift, dan e) bila dipandang perlu dapat dilakukan penguatan fungsi tanaman hydraulic lift melalui penambahan tanaman hydraulic lift dari jenis lain dan mensinergikan dengan peran mikroorganisme bermanfaat seperti mikoriza. Sementara untuk penyusunan model kebutuhan air tanaman diperlukan input penting berupa keragaan iklim serta fase perkembangan dan jenis tanaman baik pada cash crops maupun tanaman hydraulic lift. Mengingat prospek pemanfaatan bioirigasi pada pertanian lahan kering cukup besar, disarankan segera dilakukan penelitian secara komprehensif untuk dasar penyusunan model pewilayahan potensi bioirigasi lahan kering di Indonesia. Penelitian mendasar terkait dengan estimasi kuantitatif neraca air bioirigasi dengan basis perhitungan kapasitas biorigasi dan tingkat konsumsi air tanaman sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., A. Dariah, A. Mulyadi. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. J. Litb Pertanian 27 (2). Agus, F. and Irawan, 2006. Agricultural land conversion as a threat to food security and environmental quality. p. 101-121. Prosiding seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Kerjasama Badan Litbang Pertanian, MAFF, dan ASEAN Secretariat. Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu- Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asim, M., M. Aslam, N.I. Hashmi, and N.S. Kisana. 2006. Mungbean (Vigna radiata) in wheat based cropping system: an option for resource conservation under rainfed ecosystem. Pak J. Bot 37(4): 1197-1204
86
Assouline, S. 2002. The effects of microdrip and conventional drip irrigation on water distribution and uptake. Soil Sci. Soc. Am. J 66: 1630-1636 Baker, J.M and C.H.M. van Bavel. 1988. Water transfer through cotton plants connecting soil regions of differing water potential. Agron J 80:993–997 Beyrouty, C.A., R.J. Norman, B.R. Wells, N.A. Slaton, B.C. Grigg, Y.H. Teo, and E.E. Gbur. 1997. Distribution and dynamics of the rice root systems. In Abe, J., and S. Morita (Eds) Root System Management that Leads to maximize Rice Yield. JSRR, Tokyo: 14-15 Brooks, J.R, F.C. Meinzer, R. Coulombe, and J. Gregg. 2002. Hydraulic redistribution of soil water during summer drought in two contrasting Pacific Northwest coniferous forests. Tree Physiol 22:1107– 1117 Caldwell, M.M, and J.H. Richards. 1989. Hydraulic lift: water efflux from upper roots improves effectiveness of water uptake by deep roots. Oecologia 79:1–5 -------------------, T.E. Dawson, and H. Richards. 1998. Hydraulic lift: consequences of water efflux from the roots of plants. Oecologia. (113): 151-161. Carr, M.K.V. and G. Lockwood. 2011. The water relations and irrigation requirements of cocoa (Theobroma cacao L): a review. Exp. Agric. 47(4): 653-676 Dawson, T.E. 1993. Hydraulic lift and water use by plants: implications for water balance, performance and plant– plant interactions. Oecologia 95:565–574 ------------.. 1998. Water loss from tree roots influences soil water and nutrient status and plant performances. In: Flores HE, Lynch JP, Eissenstat DM (eds) Radical biology: advances and perspectives in the function of plant roots (current topics in plant physiology no. 18). American Society of Plant Physiologists, Rockville, MD, pp 235–250 Ditjen PSP (Prasarana dan Sarana). 2011. edoman teknis pengembangan irigasi tanah dangkal dan irigasi tanah dalam.
Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
Direktorat Pengelolaan Air Irigasi, Ditjen PSP, Kementerian Pertanian, RI. 23 Hal. Doorenbos, J. and Kassam. 1979. Yield response to water. FAO Irrigation and drainage paper No. 33. FAO-UN, Rome. Dwyer, C.M., D.W. Stewart, and D. Balchin. 1988. Rooting characteristics of corn, soybeans and barley as a function of available water and soil physical characteristics. Can.J.Soil Sci. 68:121-132 Emerman, S.H and T.E. Dawson, 1996. Hydraulic lift and its influence on the water content of the rhizosphere: an example from sugar maple, Acer saccharum. Oecologia 108:273–278 Espeleta J.F, J.B. West, and L.A. Donovan, 2004. Species-specific patterns of hydraulic lift in co-occurring adult trees and grasses in a sandhill community. Oecologia 138:341–349 Gopalakhrisnan, T.R. 2007. Vegetable crops. New india Publishing Agency, New Delhi, India. 341 p. Gutierrez, M.V. and F.C. Meinzer. 1994. Estimating water use and irrigation requirements of coffee in Hawaii. J. Amer.Soc.Hort.Sci. 119(3): 652-657 Hulupi, R. dan Mulyadi. 2007. Sebaran populasi nematoda Radopholus similis dan Pratylenchus coffeae pada lahan perkebunan kopi. Pelita Perkebunan 23 (3): 176-182 Irawan, B. 2012. Prospek pengembangan tanaman pangan lahan kering. Dalam: Dariah A., B. Kartiwa, N. Sutrisno, K. Suradisastra, M. Syarwani, H. Suparno, dan E. Pasandaran (Eds) Prospek pertanian lahan kering mendukung ketahanan pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, RI. Hal: 164-186 Jackson, R.B., J.S. Sperry, and T.E. Dawson. 2000. Root water uptake and transport: using physiological processes in global predictions. Trends Plant Sci. 5: 482– 488. Kasam, F., R. Masaad, T. Sfeir, O. Mounzer, Y. Rouphael. 2005. Evapotranspiration and
seed yield of field grown soybean under deficit irrigation conditions. Agric. Water Management 75(3): 226-244 Kartiwa, B dan A. Dariah. 2012. Teknologi pengelolaan air lahan kering. Dalam: Dariah A., B. Kartiwa, N. Sutrisno, K. Suradisastra, M. Syarwani, H. Suparno, dan E. Pasandaran (Eds) Prospek pertanian lahan kering mendukung ketahanan pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, RI. Hal: 103-122 Kemtan [Kementerian Pertanian]. 2013. Peran Inovasi Teknologi pada Pembangunan Ketahanan Pangan Nasional. Bahan presentasi Kepala Badan Litbang Pertanian pada Rakornas Ristek 2013. Kementerian Pertanian. Jakarta. Kjellbom, P., C. Larsson, I. Johansson, M. Karlsson, and U. Johanson. 1999. Aquaporins and water homeostasis in plants. Trends Plant Sci. 4: 308–314. Kurnia, U. 2004. Prospek pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering. J. Litb Pertanian 23(4):130-138. Kurz-Besson, C., D. Otieno, R. Lobo do Vale, R. Siegwolf, M. Schmidt, A. Herd, C. Nogueira, T.S. David, J.S. David, J. Tenhunen, and J.S. Pereira, and M. Chaves. 2006. Hydraulic lift in cork oak trees in a savannah-type Mediterranean ecosystem and its contribution to the local water balance. Plant Soil. 282: 361– 378. Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A.K. Karama, dan I. Manwan. 1991. Peta agroekologi utama tanaman pangan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. ---------, G. Irianto, D. Syarifudin, dan L. Istiqlal Amien. 2000. Pendekatan agroklimat dalam membangun pertanian tangguh: status, potensi, kendala, dan teknologi analisis iklim untuk mengurangi resiko pertanian. Proseding Seminar Nasional Sumber daya tanah, Iklim, dan pupuk. Lido-Bogor, 6-8 Desember. 55-94. Ludwig, F., T.E. Dawson, H. Kroon, F. Berendse, and H.H. Prins. 2003. Hydraulic lift in
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO)
87
Acacia tortilis trees on an East African savanna. Oecologia. 134: 293–300. Minardi, S. 2009. Optimalisasi pengelolaan lahan kering untuk pengembangan pertanian tanaman pangan. Pidato pengukuhan guru besar ilmu tanah pada Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, 28 Pebruari 2009. 41 Hal. Oldemen, L.R., I. Las, and Muladi, 1980. The agroclimatic maps of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya and Bali, West and east Nusa Tenggara. Contributions no. 60, Central Research Institue for Agriculture, Bogor. 32 p. Pandey R.K., W.A.T. Herrera, A.N. Villegas, and J.W. Pendleton. 1984. Drought response of grain legumes under irrigation. American Journal 76(4):557-560 Peña, JI., M. Sánchez-Díaz, J. Aguirreolea, and M. Becana, 1988. Increased stress tolerance of nodule activity in the Medicago– Rhizobium–Glomus symbiosis under drought. J Plant Physiol 133:79–83 Peixi, S., D. Minguu, A. Aifen, and Z. Xiaojun. 2002. Study on water requirement law of some crops and different planting mode in oasis. Agric. Res. Arid Areas 20(2):79-85 Plessis, J.D. 2008. Sorghum production. Departement Agriculture, Republic of South Africa. 22 p. Querejeta, JI., L.M. Egerton-Warburton, and M.F. Allen, 2007. Hydraulic lift may buffer rhizosphere hyphae against the negative effects of severe soil drying in a California Oak savanna. Soil Biol Biochem 39:409–417 Richards, J.H. and M.M. Cadwell. 1987. Hydraulic lift: Substantial noctural water transport between soil layers by Artemisia tridentata roots. Oecologia. 73: 486-489. Salam, M.A., P.B. Pushpalatha, and A. Suma. 1995. Root distribution pattern of seedling raised cashew tree. J. Plantation Crops. 23(1): 59-61. Schenk, HJ., and RB. Jackson, 2002. Rooting depths, lateral root spreads and belowground/above-ground allometries of
88
plants in water-limited ecosystems. J Ecol 90:480–494 Schippers, B., M.N. Schroth, and D.C. Hildebrand. 1967. Emanation of water from underground plant parts. Plant Soil. 27: 81–91. Scholz, FG., S.J. Bucci, G. Goldstein, F.C. Meinzer, and A.C. Franco. 2002. Hydraulic redistribution of soil water by neotropical savanna trees. Tree Physiol. 22: 603–612. Sekiya, N and K. Yano. 2004. Do pigeon pea and sesbania supply groundwater to intercropped maize through hydraulic lift? Hydrogen stable isotope investigation of xylem waters. Field Crops Res. 86: 167–173. Sen, R. 2000. Budgeting for the wood-wide web. New Phytol 145:161–165 Smith M., S.S.O. Burgess, D. Suprayogo, and B.W. Lusiana, 2004. Uptake, partitioning, and redistribution of water by roots in mixed-species agroecosystems. In: van Noordwijk M, Cadisch G, Ong CK (eds) Below-ground interactions in tropical agroecosystems – concepts and models with multiple plant components. CABI, Oxfordshire, pp 157–170 Subagyono, K., U. Haryati, dan S.H. Tala’ohu. 2004. Teknologi konservasi air pada pertanian lahan kering. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 145181 Suradisastra, K. 2012. Peran pemerintah otonom dalam upaya pemanfaatan lahan kering. Dalam: Dariah A., B. Kartiwa, N. Sutrisno, K. Suradisastra, M. Syarwani, H. Suparno, dan E. Pasandaran (Eds) Prospek pertanian lahan kering mendukung ketahanan pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, RI. Hal: 61-73 Susanto, FX. 1994. Tanaman Kakao: Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius, Yogyakarta. 185 ha.
Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
van Bavel, C.H.M, and J.M. Baker, 1985. Water transfer by plant roots from wet to dry soil. Naturwissenschaften 72:606–607 Wan, C., R.E. Sosebee, and B.L. Mc Michael. 1993. Does hydraulic lift exist in shallowrooted species? A quantitative examination with a half-shrub Gutierrezia sarothrae. Plant Soil. 153: 11–17. Warren, J.M., F.C. Meinzer, J.R. Brooks, J.C. Domec, and R. Coulombe, 2007. Hydraulic redistribution of soil water in two oldgrowth coniferous forests: quantifying patterns and controls. New Phytol 173:753–765 West, J.B., J.F. Espeleta, and L.A. Donovan, 2003. Root longevity and phenology
differences between two-co-occurring savanna bunchgrasses with different leaf habits. Funct Ecol 17:20–28 Yang Xiaoguang, H. Huaqi, W. Zhimin, Z. Junfang, C. Bin, and BAM. Bouman. 2002. Yield of aerobic rice (Han Dao) under different water regimes in North China. In Tuong, TP., BAM. Bouman, and M. Martimer. 2005. More rice, less water irrigated approaches for increasing water productivity in irrigated rice-based system in Asia. Plant Prod. Sci 8(3): 231-241 Yoder, C.K, and R.S. Nowak. 1999. Hydraulic lift among native plant species in the Mojave Desert. Plant Soil. 215: 93–102.
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO)
89
90
Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89