PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN LAHAN KERING DI KABUPATEN MERAUKE D. Djaenudin dan M. Hendrisman Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
ABSTRAK Program pemerintah untuk menjadikan Kabupaten Merauke sebagai lumbung pangan (beras) nasional perlu diimbangi dengan pengembangan tanaman pangan lahan kering. Lahan yang potensial untuk tanaman pangan lahan kering di Kabupaten Merauke sangat luas. Wilayah bagian selatan termasuk beriklim kering, sedangkan bagian utara beriklim basah. Landform tektonik (struktural) dan beting pasir pantai tua mendominasi lahan kering di wilayah tersebut. Tanah pada landform tektonik (struktural) terbentuk dari batuan sedimen masam, terdiri atas Typic Eutrudepts, Oxic Dystrudepts, Typic Plinthudults, dan Typic Hapludults. Sementara itu, tanah pada landform beting pasir pantai tua terbentuk dari endapan pasir marin, terdiri atas Typic Udipsamments dan Typic Quartzipsamments. Untuk memperbaiki kualitas dan potensi lahan diperlukan pemupukan lengkap NPK, kapur pertanian, dan bahan organik. Baru sebagian kecil dari lahan kering yang ada dimanfaatkan untuk tanaman pangan lahan kering. Oleh karena itu, peluang untuk meningkatkan produktivitas lahan kering di Kabupaten Merauke masih terbuka luas. Kata kunci: Lahan kering, tanaman pangan, Merauke
ABSTRACT Prospects of upland food crops development in Merauke regency Government program of National Rice Food Barn in Merauke Regency should be counterbalanced by upland food crops development. The potential land for upland food crops development in Merauke is extent. Southpart of Merauke Regency belongs to dry climate, while the northpart is wet. Tectonic (structural) and ancient sand beach ridge landforms occupy dryland in the area. Soil of tectonic (structural) landform is formed from acid sedimentary rock, consisted of Typic Eutrudepts, Oxic Dystrudepts, Typic Plinthudults, and Typic Hapludults. On the otherhand, soil of ancient sand beach ridge landform is formed from marine sandy deposit, consisted of Typic Udipsamments and Typic Quartzipsamments. Soil quality and its potentials for upland food crops development could be improved by application of complete NPK fertilizer, agriculture lime, and organic manure. Only small parts of the dryland in Merauke have been used for upland food crops development, so there is still a wide opportunity to increase dryland productivity in Merauke. Keywords: Drylands, food crops, Merauke
P
rogram pemerintah untuk menjadikan Kabupaten Merauke sebagai lumbung pangan (beras) nasional di kawasan timur Indonesia berorientasi pada lahan basah atau sawah. Program ini perlu diimbangi dengan pengembangan tanaman pangan lahan kering mengingat ketersediaan lahan masih sangat luas (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua 2004). Selain itu, tanaman pangan lahan kering seperti jagung dan kedelai merupakan komoditas strategis yang hingga kini masih harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan. Diversifikasi usaha tani dengan berbagai jenis tanaman menurut kesesuaian dan Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
potensi lahan juga dapat mengurangi risiko gagal panen dan secara ekonomi menjamin peluang pasar. Agroekosistem wilayah Kabupaten Merauke bagian selatan termasuk beriklim kering, sedangkan wilayah bagian utara beriklim basah (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2007). Keragaman sifat iklim dengan bulan kering yang nyata dan lama penyinaran matahari yang panjang akan menguntungkan bagi pertumbuhan generatif tanaman termasuk tanaman pangan lahan kering. Namun keberhasilan pengusahaan tanaman pangan di lahan kering sangat bergantung pada ketepatan pengaturan waktu dan pola tanam agar
tanaman terhindar dari kekurangan air pada masa pertumbuhan vegetatif, dan tidak terjadi kelebihan air pada masa generatif (Djaenudin et al. 2003). Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua (2004), lahan untuk budi daya tanaman pangan lahan kering di Merauke mencapai 1.474.061 ha atau 33,02% dari luas kabupaten tersebut, namun rinciannya perlu dikaji lebih lanjut. Sebagai bahan kajian dapat digunakan data/peta yang tersedia, antara lain hasil pemetaan kapabilitas lahan WPP Kurik tingkat semidetail skala 1:50.000 (Fakultas Pertanian IPB 1981), pemetaan tanah 55
ponen lahan tersebut sangat menentukan potensi, kebutuhan input, dan manajemennya (Djaenudin 2008).
tingkat tinjau skala 1:250.000 (Pusat Penelitian Tanah 1985; 1986), serta hasil penelitian zona agroekologi skala 1:100.000 dan pewilayahan komoditas pertanian skala 1:50.000 di lokasi Kurik, Semangga, Tanah Miring, Jagebob, Muting, Eligobel, dan Ulilin (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua 2004). Data terkini hasil evaluasi lahan secara kuantitatif melalui pendekatan pemetaan Zona AgroEkosistem (ZAE) tingkat semidetail, skala 1:50.000, tersedia untuk lokasi prioritas wilayah Kecamatan Kurik dan Semangga (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2007). Makalah ini mengkaji peluang pengembangan tanaman pangan lahan kering untuk mengimbangi program pemerintah menjadikan Kabupaten Merauke sebagai lumbung pangan (beras) nasional di kawasan timur Indonesia melalui Merauke Integrated Rice Estate-MIRE (Pemerintah Kabupaten Merauke 2007).
Iklim Wilayah Kabupaten Merauke cukup luas, mencapai 4,46 juta ha. Namun stasiun iklim yang ada sangat terbatas sehingga sulit memprediksi atau memantau perbedaan iklim secara akurat. Data curah hujan, suhu, kelembapan udara, dan lama penyinaran matahari yang rinci sangat diperlukan, terutama dalam perencanaan pengembangan tanaman pangan lahan kering. Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Merauke (2007), curah hujan rata-rata tahunan pada periode 2000−2005 untuk daerah Merauke dan sekitarnya berkisar antara 1.340−1.966 mm. Menurut kriteria Oldeman et al. (1978), bulan basah > 200 mm berkisar antara 2−5 bulan, dan bulan kering < 100 mm antara 5−8 bulan, sehingga zona agroklimatnya bervariasi antara C4, D3, D4, dan E4. Namun, menurut kriteria Schmidt dan Ferguson (1951), bulan basah > 100 mm berkisar antara 4−7 bulan, dan bulan kering < 60 mm antara 4−6 bulan, sehingga tipe hujan wilayah ini termasuk D dan E, hanya sedikit yang termasuk tipe A (Tabel 1). Kelembapan udara relatif berkisar
POTRET KUALITAS LAHAN KABUPATEN MERAUKE Komponen lahan yang mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman adalah iklim, tanah, dan topografi. Kom-
antara 73−87%, dengan suhu udara ratarata bulanan 26−28°C. Lama penyinaran matahari bulanan berkisar antara 105−249 jam, kecuali pada bulan Februari tahun 2000, 2001, 2002, 2003 masing-masing 86, 85, 91, dan 96 jam (Tabel 2; Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Merauke 2007). Perbedaan zona agroklimat dan tipe hujan yang kontras pada periode tersebut mengindikasikan di wilayah Kabupaten Merauke telah terjadi perubahan iklim. Dalam kaitannya dengan ketersediaan air untuk tanaman, terutama pada lahan tadah hujan, fenomena ini harus dicermati dan diantisipasi karena sangat penting dalam mengatur waktu dan pola tanam serta memilih jenis tanaman yang tepat. Wilayah Kabupaten Merauke bagian selatan termasuk beriklim kering, dengan penyinaran matahari cukup lama dan suhu udara yang panas. Jika kebutuhan air dapat terpenuhi pada masa pertumbuhan vegetatif, kondisi dan sifat iklim seperti ini menguntungkan bagi pertumbuhan generatif tanaman sesuai dengan persyaratan tumbuhnya sehingga dapat berproduksi secara optimal (Food and Agriculture Organization 1996). Pengaturan waktu tanam yang tepat merupakan kunci keberhasilan usaha tani pada lahan kering. Data curah hujan, suhu udara, dan letak geografis yang diolah dengan
Tabel 1. Curah hujan (mm) dan kelembapan udara (%) di daerah Merauke, 2000− 2006. Jenis data
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
2000
CH KU
310 84
110 86
147 87
321 86
248 86
42 82
2001
CH KU
40 82
163 84
365 84
343 86
86 79
2002
CH KU
5 82
324 83
242 82
247 84
2003
CH KU
67 81
466 82
444 82
2004
CH KU
295 82
246 84
2005
CH KU
98 80
2006 1
CH KU
95 2
Tahun
Nov
Des
Total
Zona agroklimat
Tipe hujan
166 80
98 80
244 3
1.704
D3
C
15 74
41 75
88 83
93 81
1.256
D3
D
5 75
77 75
2 73
41 73
18 77
1.040
D4
E
42 80
12 76
10 75
47 75
33 75
186 79
1.469
E4
E
13 78
23 76
0 73
0 73
90 75
3 73
166 76
1.521
D3
A
38 77
39 80
82 80
13 75
3 74
16 74
49 75
244 81
1.565
C4
E
272 82
13 78
127 81
2 76
14 76
2 72
− −
− −
−
−
−
Jul
Agt
Sep
12 81
4 80
2 76
16 80
1 77
5 76
20 80
49 80
10 78
77 81
68 79
17 80
300 84
113 80
272 82
215 82
504 82
264 82
246 84
305 84
86 80
Okt
CH = curah hujan, KU = kelembapan udara. Data untuk tahun 2006 tidak lengkap. Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Merauke (2007). 1
56
Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
Tabel 2. Suhu udara rata-rata ( C) dan lama penyinaran matahari (jam) di daerah Merauke, 2000− 2005. o
Jenis data
Jan
2000
Su Pm
27 134
27 27 27 27 25 25 25 26 28 28 28 8 6 148 133 155 112 137 160 218 160 195 133
2001
Su Pm
27 137
27 27 27 26 26 25 26 27 27 8 5 170 111 200 129 163 205 210 248
2002
Su Pm
28 189
27 27 27 27 26 25 25 26 27 28 28 9 1 172 164 192 126 168 219 231 274 249 203
2003
Su Pm
27 137
28 27 27 27 26 25 25 26 27 27 28 9 6 132 189 193 205 129 161 199 126 238 138
2004
Su Pm
27 27 27 28 27 25 25 24 26 27 28 28 164 105 123 207 128 131 208 229 196 267 233 203
2005
Su Pm
28 28 28 27 27 26 26 25 26 28 28 29 139 169 165 141 155 182 153 203 210 210 206 174
Tahun
Feb
Mar Apr Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt Nov Des
28 −
28 97
Su = suhu udara rata-rata; Pm = lama penyinaran matahari. Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Merauke (2007).
Newhall Simulation Model (Wambeke et al. 1985) menunjukkan, lahan kering di wilayah selatan Merauke mempunyai rezim kelembapan tanah ustik, yaitu tanah mengalami kering > 90 hari secara kumulatif. Wilayah bagian utara yang topografinya berombak sampai berbukit memiliki iklim relatif basah sehingga rezim kelembapan tanahnya termasuk udik, yaitu > 90 hari tanah selalu lembap. Rezim suhu tanah di seluruh wilayah Kabupaten Merauke termasuk isohipertermik, yang dicirikan oleh perbedaan suhu musim dingin dan musim panas < 5°C (Soil Survey Staff 2003). Di wilayah dengan rezim kelembapan tanah ustik, masa tanam relatif terbatas. Dalam kaitannya dengan kebutuhan air untuk pertumbuhan, keberhasilan usaha tani tanaman semusim di wilayah ini sangat ditentukan oleh penentuan waktu tanam yang tepat. Pada wilayah dengan rezim kelembapan tanah udik, peluang masa tanam lebih lebar sehingga pola tanam dapat dirancang secara optimal dengan berbagai komoditas alternatif. Rezim suhu tanah yang termasuk isohipertemik berkorelasi dengan suhu udara yang biasanya lebih panas 1°C dari suhu udara. Rezim suhu tanah dan suhu udara yang terlalu panas berpengaruh kurang baik terhadap kemampuan produksi, karena energi yang dihasilkan melalui fotosintesis akan digunakan untuk respirasi (Kannegieter dan Huizing 1983). Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
Klasifikasi dan Kualitas Tanah Kualitas dan karakteristik tanah serta potensinya untuk pertanian sangat ditentukan oleh faktor litologi, iklim, dan topografi atau bentuk wilayah. Di daerah tropis, komponen iklim yang paling berperan dalam proses pelapukan batuan secara fisik dan kimiawi adalah suhu udara dan curah hujan (Wilding et al. 1983). Lapukan batuan akan menghasilkan mineral tertentu yang merupakan sumber hara cadangan, atau bersifat toksik yang berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Djaenudin 2008). Batas satuan lahan (land units) termasuk tanah secara spasial dicerminkan oleh kondisi landformnya. Landform lahan kering di wilayah Kabupaten Merauke
adalah beting pasir pantai tua (ancient sand beach ridges) dan tektonik (struktural) (Desaunettes 1977; Pusat Penelitian Tanah 1985; Marsoedi et al. 1997). Kedua grup landform tersebut sangat berkorelasi dengan sifat fisik, morfologi dan kimia tanah, serta mineraloginya sehingga akan mempengaruhi potensi dan manajemennya untuk pengembangan pertanian. Tanah pada landform tektonik (struktural) di wilayah Kabupaten Merauke umumnya terbentuk dari batuan sedimen masam berupa batu liat dan batu pasir, sedangkan tanah pada landform beting pasir pantai tua terbentuk dari endapan marin (Heryanto dan Panggabean 1995). Dari hasil analisis mineral, batuan sedimen didominasi oleh kuarsa keruh, sedikit kuarsa bening dan konkresi besi sehingga miskin cadangan hara (Pusat Penelitian Tanah 1985). Menurut hasil pemetaan terdahulu, tanah yang dominan pada lahan kering Kabupaten Merauke setelah disesuaikan dengan sistem Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 2003) terdiri atas tiga ordo, enam grup, dan enam subgrup tanah. Keenam subgrup tersebut adalah dari ordo Entisols Typic Udipsamments dan Typic Quartzipsamments; dari Inceptisols Typic Eutrudepts dan Oxic Dystrudepts; serta dari Ultisols Typic Plinthudults dan Typic Hapludults (Tabel 3; Fakultas Pertanian IPB 1981; Pusat Penelitian Tanah 1985, 1986).
Typic Udipsamments Typic Udipsamments terdapat pada landform beting pasir pantai tua di bagian punggungan (rigdes), berbentuk paralel memanjang sehingga selalu kering. Teksturnya pasir berlempung, reaksi tanah netral dengan pH 6,50−6,80. Kandungan
Tabel 3. Tanah yang dominan pada lahan kering di wilayah Kabupaten Merauke. Ordo tanah
Grup tanah
Subgrup tanah
Entisols
Udipsamments Quartzipsamments
Typic Udipsamments Typic Quartzipsamments
Inceptisols
Eutrudepts Dystrudepts
Typic Eutrudepts Oxic Dystrudepts
Ultisols
Plinthudults Hapludults
Typic Plinthudults Typic Hapludults
57
C-organik dan nitrogen sangat rendah. Kadar P2O5 rendah sampai sedang dan kadar K2O total sangat rendah. Nilai tukar kation Ca sangat tinggi, Mg sangat rendah sampai rendah, serta K dan Na sangat rendah. Kapasitas tukar kation (KTK) sangat rendah dan kejenuhan basa sangat tinggi.
Typic Quartzipsamments Seperti Typic Udipsamments, Typic Quartzipsamments juga terdapat pada landform beting pasir pantai tua di bagian punggungan, yang bentuknya paralel memanjang. Tanah ini mempunyai tekstur pasir (kuarsa) dan reaksi tanah agak masam sampai netral (pH 6,10−6,70). Kandungan C-organik dan nitrogen sangat rendah serta kadar P2O5 dan K2O sangat rendah. Nilai tukar kation Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah. KTK sangat rendah sampai rendah dan kejenuhan basa rendah sampai sedang.
Typic Eutrudepts Tanah ini mempunyai tekstur lempung liat berpasir dan liat, serta reaksi tanah netral (pH 7,10−7,70). Kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah dan nitrogen rendah. Kadar P2O5 rendah, kecuali pada lapisan terbawah sangat tinggi, dan K2O total rendah. Nilai tukar kation Ca rendah sampai tinggi, sedangkan Mg, K, dan Na rendah. KTK sedang sampai tinggi dan kejenuhan basa sangat tinggi (> 60%).
Oxic Dystrudepts Tanah ini mempunyai tekstur liat berdebu dan reaksi tanah masam (pH 4,90). Kandungan C-organik pada lapisan atas tinggi, tetapi pada lapisan bawah sangat rendah hingga rendah. Nitrogen sangat rendah sampai sedang. Kadar P2O5 dan K2O sangat rendah sampai rendah. Nilai tukar kation Ca rendah sampai tinggi, sedangkan Mg, K, dan Na termasuk rendah. KTK rendah dan kejenuhan basa sangat rendah.
Typic Plinthudults Pada tanah ini terdapat plintit berwarna merah yang mengindikasikan kandungan 58
besi (Fe) tinggi. Tekstur lapisan atas liat berdebu, dan lapisan bawahnya liat. pH tanah sangat masam (4,20). Kandungan C-organik pada lapisan atas tinggi, tetapi pada lapisan bawah sangat rendah. Nitrogen pada lapisan atas sedang, tetapi pada lapisan bawah sangat rendah. Kadar P2O5 sangat rendah, dan K2O rendah hingga sedang. Nilai tukar kation Ca rendah hingga sangat rendah, sedangkan Mg sedang hingga tinggi. K sedang hingga tinggi, dan Na termasuk rendah sampai sedang. KTK tinggi dan kejenuhan basa sangat rendah hingga rendah.
puan meretensi air dan hara. Bahan organik berperan sangat penting terutama pada tanah yang teksturnya kasar atau berpasir, yaitu Typic Udipsamments dan Typic Quartzipsamments. 3) Pemupukan lengkap N, P, K. Karena pH tanah tergolong masam, sumber hara N yang dapat digunakan adalah urea, sedangkan sumber hara P dan K masing-masing adalah SP36 dan KCl. Takaran pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan.
Typic Hapludults
Bentuk Wilayah
Tanah ini memiliki tekstur pada lapisan atas lempung liat berpasir, sedangkan di lapisan bawah liat. Reaksi tanah sangat masam hingga masam (pH 4,20−4,90). Kandungan C-organik pada lapisan atas rendah sampai tinggi, dan di lapisan bawah sangat rendah. Nitrogen pada lapisan atas rendah sampai sedang, namun di lapisan bawah sangat rendah. Kadar P2O5 dan K2O tergolong rendah hingga sangat rendah. Nilai tukar kation Ca sangat rendah, Mg rendah sampai sangat rendah. K, Na, dan KTK termasuk rendah, sedangkan kejenuhan basa sangat rendah.
Bentuk wilayah merupakan komponen lahan yang sangat menentukan pengelolaannya untuk pengembangan komoditas pertanian. Wilayah berbukit umumnya berlereng curam dan tanahnya labil sehingga tidak sesuai untuk pertanian. Untuk menjaga kelestarian lingkungan, wilayah berbukit diarahkan untuk kawasan konservasi atau lindung. Keragaan bentuk wilayah, lereng, serta perbedaan tinggi antara yang tertinggi dan terendah pada masing-masing satuan bentuk wilayah di Kabupaten Merauke disajikan pada Tabel 4. Dari aspek bentuk wilayah dan lereng dikaitkan dengan kondisi tanahnya, lahan yang berpeluang untuk pengembangan tanaman pangan lahan kering di Kabupaten Merauke berada pada topografi agak datar sampai berombak, yang luasnya mencapai 1.816.450 ha. Mekanisasi pertanian, baik untuk pengolahan tanah (Gambar 1), penanaman maupun panen dan pascapanen, merupakan alternatif teknologi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja. Hamparan lahan kering pada landform dataran tektonik (struktural) dengan bentuk wilayah datar sampai berombak sebagian masih berupa hutan dan tanah didominasi Typic Plinthudults dan Typic Hapludults. Lahan tersebut antara lain terdapat di daerah antara Merauke dan Sota (Gambar 2). Bila ditunjang dengan infrastruktur jalan yang memadai, karena jaraknya ke kota Merauke relatif dekat untuk pemasaran hasil, kawasan tersebut sangat prospektif sebagai sentra produksi tanaman pangan lahan kering. Sebagai pembanding, lahan yang bentuk wilayahnya datar dan/atau cekung, tidak diperhitungkan sebagai lahan
Perbaikan Kualitas Tanah Kendala utama pemanfaatan lahan kering di wilayah Kabupaten Merauke adalah sifat kimia tanah dan sebagian sifat fisik morfologinya. Untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah serta potensinya untuk pengembangan tanaman pangan dapat ditempuh upaya berikut. 1) Pemberian kapur pertanian (kaptan) terutama pada tanah Ultisols dari subgrup Typic Plinthudults dan Typic Hapludults. Kapur antara lain berperan dalam mengatasi pH tanah yang masam, kejenuhan basa rendah, dan menekan pengaruh buruk Al dan Fe, terutama terhadap ketersediaan fosfat (P) bagi tanaman. Pengapuran akan menurunkan kemasaman tanah sehingga ketersediaan P meningkat. 2) Pemberian bahan organik terutama pada tanah yang memiliki KTK rendah, serta memperbaiki sifat fisik dan morfologi tanah, dalam hal ini struktur dan konsistensi tanah serta kemam-
Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
Tabel 4. Bentuk wilayah, kisaran lereng, dan perbedaan tinggi di wilayah Kabupaten Merauke. Bentuk wilayah Datar Agak datar Berombak Bergelombang Berbukit
Lereng (%) <2 2 −3 > 3−8 > 8−1 5 > 15−3 0
Total
Luas
Perbedaan tinggi (m)
ha
< 10 < 10 < 10 10−50 10−50
2.235.801 1.347.614 468.836 236.006 150.065 4.438.322
% 50,08 30,17 10,50 5,89 3,36 100
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua (2004).
cadangan bagi pertanian lahan kering, karena sebagian besar lahan berada pada landform aluvial, fluvio-marin, dan marin yang merupakan lahan basah berawa (Gambar 3). Lahan tersebut dicadangkan Pemerintah Kabupaten Merauke sebagai areal persawahan melalui Merauke Integrated Rice Estate-MIRE (Pemerintah Kabupaten Merauke 2007). Gagasan ini mencerminkan adanya kebijakan pengaturan dan arahan tata ruang pertanian sesuai dengan kondisi agroekosistemnya. Dengan penataan dan pengelolaan air yang tepat (Gambar 4), lahan basah pada landform fluvio-marin dapat dioptimalkan pemanfaatannya, terutama untuk mendukung MIRE.
KERAGAAN PERTANIAN LAHAN KERING
Gambar 1. Pengolahan tanah Oxic Dystrudepts dan Typic Eutrudepts secara mekanis (Pemerintah Kabupaten Merauke 2007).
Gambar 2. Dataran berombak antara Merauke dan Sota, lahan tercadang untuk tanaman pangan lahan kering (Pemerintah Kabupaten Merauke 2007). Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
Hasil analisis topografi dari citra landsat komposit band 5, 4, dan 3 menunjukkan, di daerah Kecamatan Semangga dan Kimaam hampir tidak terdapat lahan kering. Hal ini karena wilayah tersebut termasuk landform aluvial dan fluvio-marin yang selalu jenuh air atau didominasi lahan basah (Marsoedi et al. 1997; Hendrisman et al. 2005). Hasil pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi tahun 2004 menunjukkan, wilayah Kabupaten Merauke memiliki tiga arahan tata ruang pertanian dan satu untuk kawasan lindung (Tabel 5; Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua 2004). Luas lahan kering untuk tanaman pangan (semusim) mencakup 1.474.061 ha atau 33,02% dari luas Kabupaten Merauke, dan untuk tanaman tahunan termasuk hortikultura 413.071 ha. Komoditas tanaman pangan lahan kering yang biasa diusahakan petani di wilayah ini adalah kedelai, jagung, kacang tanah, ubi jalar, dan ubi kayu. Perkembangan usaha tani komoditas tersebut, yang mencakup luas tanam, luas panen dan hasilnya disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan data pada Tabel 6, lahan kering yang telah digunakan masih sangat sedikit. Hal ini diduga karena tenaga kerja dan modal petani terbatas, serta ketersediaan infrastruktur dan pasar belum memadai. Ini merupakan tantangan yang harus diatasi oleh berbagai pihak terkait. Program pembangunan pertanian pada skala komersial yang tidak atau belum 59
Gambar 3. Lahan rawa pada landform fluvio-marin berpotensi untuk sawah (Pemerintah Kabupaten Merauke 2007).
Gambar 4. Pengelolaan tata air pada lahan rawa untuk sawah (Pemerintah Kabupaten Merauke 2007).
Tabel 5. Arahan tata ruang pertanian dan nonpertanian di Kabupaten Merauke. Luas
Arahan tata ruang pertanian dan nonpertanian Tanaman Tanaman Tanaman Kawasan
pangan lahan basah pangan lahan kering perkebunan dan hortikultura hutan konservasi (lindung)
Total
ha
%
1.643.635 1.474.061 413.071 933.955
36,81 33,02 9,25 20,92
4.464.722
100
Tabel 6. Perkembangan budi daya tanaman pangan lahan kering di Kabupaten Merauke, 2001−2005. Jenis komoditas Kedelai Luas tanam Luas panen Hasil (t/ha) Jagung Luas tanam Luas panen Hasil (t/ha) Kacang tanah Luas tanam Luas panen Hasil (t/ha) Ubi jalar Luas tanam Luas panen Hasil (t/ha) Ubi kayu Luas tanam Luas panen Hasil (t/ha)
Tahun 2001
2002
2003
2004
2005
(ha) (ha)
180 223 0,79
270 267 0,80
265 141 0,80
485 32 1
800 575 1,20
(ha) (ha)
269 426 2,50
471 476 2,50
198 159 0,90
231 349 1,10
349 282 2,20
(ha) (ha)
256 302 0,80
258 252 0,80
166 165 0,80
254 240 0,80
636 409 1,30
(ha) (ha)
149 162 6
167 165 6,10
186 174 6,10
114 258 8
100 118 8
(ha) (ha)
145 199 7
409 407 7
219 212 7
192 353 8
205 128 10
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua (2004).
60
diikuti oleh penyediaan infrastruktur termasuk pasar, sulit mencapai sasaran antara lain meningkatnya kesejahteraan petani. Hasil jagung, kedelai, dan ubi jalar di tingkat petani relatif tinggi, namun hasil kacang tanah masih rendah dan ubi kayu sangat rendah. Hal ini dapat disebabkan takaran pupuk dan/atau keseimbangannya belum sesuai dengan kualitas dan karakteristik tanah. Sebagai gambaran, Tabel 7 menunjukkan kebutuhan hara untuk mencapai produksi tertentu dan potensi produksi yang dapat dicapai pada usaha tani skala smallholder di tingkat petani dan skala komersial atau good commercial yield. Umumnya petani di Merauke telah memberikan pupuk pada tanaman jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar, dan ubi kayu. Jenis pupuk dan jumlahnya berdasarkan luas tanam disajikan pada Tabel 8. Takaran pupuk untuk masing-masing komoditas, yang diperhitungkan berdasarkan luas tanam disajikan pada Tabel 9. Ketersediaan hara bagi tanaman antara lain ditentukan oleh pH tanah, KTK, dan kejenuhan basa. Tanah yang dominan pada lahan kering masam sampai agak masam (pH 4,50−5,50) di Kabupaten Merauke adalah Typic Udipsamments, Typic Quartzipsamments, Oxic Dystropepts, Typic Plinthudults, dan Typic Hapludults. Kebutuhan hara nitrogen (N), fosfat (P2O5), kalium (K2O), CaO (kaptan/dolomit), dan kompos terutama untuk tanah yang teksturnya berpasir pada Typic Udipsamments dan Typic Quartzipsamments disajikan pada Tabel 10. Untuk tanah dengan pH netral atau alkali serta kejenuhan basa lebih dari 35%, Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
Tabel 7. Kebutuhan hara untuk mencapai hasil tertentu, dan peluang hasil yang dapat dicapai. Komoditas
Jagung Kedelai Kacang tanah Ubi jalar Ubi kayu
Kebutuhan hara (kg/ha)
Hasil (t/ha) 4 2 1 10 1 80
Peluang hasil yang dicapai (t/ha)
N
P 2O 5
K 2O
Petani
Komersial
6 0−100 0 −2 5 1 5−2 5 90 5 0−9 0
5 0−100 3 5−6 0 5 0−100 20 6 0−7 5
3 0−6 0 3 5−7 5 3 5−7 5 120 8 0−120
0,50−1,50 0,80−1,30 1−2 5−10 30−4 0
6−9 1,50−2,50 2 −3 2 5−3 0 5 −1 5
Selain hara N, P2O5, dan K2O, perlu diberikan CaO, MgO 15 kg/ha. Sumber: Sys et al. (1993). 1
Tabel 8. Penggunaan pupuk untuk tanaman pangan di Merauke, 2007. Jenis komoditas Jagung Kedelai Kacang tanah Ubi jalar Ubi kayu
Penggunaan pupuk (kg)
Luas tanam (ha)
Urea
TSP
KCl
118 231 619 127 122
23.600 11.550 46.425 19.050 18.300
11.800 28.875 15.475 12.700 12.200
5.900 5.775 61.900 6.350 6.100
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua (2004).
Tabel 9. Takaran pemupukan tanaman pangan di lahan kering Merauke, 2007. Takaran pupuk (kg/ha)
Jenis komoditas
Urea
TSP setara SP361
KCl
Jagung Kedelai Kacang tanah Ubi jalar Ubi kayu
200 50 75 150 150
100 125 25 100 100
50 25 100 50 50
1
(127,78) (159,72) (31,94) (127,78) (127,78)
Kandungan P2O5 pada 46% dan SP36 36%.
Tabel 10. Kebutuhan hara tanah masam (pH 4,50−5,50). Jenis komoditas Jagung Kedelai Kacang tanah Ubi jalar Ubi kayu
Kebutuhan hara (kg/ha) N
Urea
165 125 50 90 120
358,70 271,70 108,70 195,70 260,90
P 2O 5
SP36
K 2O
KCl
CaO
5 5 152,80 3 0 83,30 1 5 41,70 2 0 55,60 3 0 83,30
135 40 15 120 150
225 75 66,70 7 5 25 100 200 75 250 75
Kapur Kompos 1 (dolomit) (t/ha) 258,60 258,60 344,80 258,60 258,60
5−7 5−7 5−7 5−7 5−7
Untuk tanah berpasir (Udipsamments, Quartzipsamments). Sumber: Sys et al. (1993). 1
dalam hal ini Typic Eutrudepts, takaran pupuk yang diperlukan lebih rendah, namun sampai saat ini belum ada acuan yang pasti. Oleh karena itu, untuk meJurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
ngetahui takaran pupuk yang tepat pada setiap jenis tanaman perlu dilakukan uji tanah diikuti dengan percobaan lapang. Namun sebelumnya perlu diketahui
kualitas dan karakteristik tanah atau klasifikasi tanah di lokasi pengembangan. Data hasil pemetaan tanah dapat dimanfaatkan untuk pengembangan komoditas pertanian. Dengan didukung data sebaran tanah menurut klasifikasinya secara spasial, hasil percobaan pemupukan suatu komoditas pertanian dapat dikembangkan di tempat lain yang memiliki iklim, tanah, dan biofisik lingkungan serupa (Djaenudin 2008). Untuk keperluan alih teknologi, klasifikasi tanah pada lokasi percobaan minimal pada tingkat famili, tetapi idealnya pada tingkat seri tanah.
KESIMPULAN Dalam periode 2000−2005, di wilayah Kabupaten Merauke telah terjadi perubahan iklim. Fenomena ini perlu dicermati dalam upaya mengatur pola dan masa tanam yang tepat karena akan mempengaruhi ketersediaan air dan produktivitas tanaman, terutama di lahan kering. Wilayah bagian selatan Kabupaten Merauke memiliki iklim kering dengan penyinaran matahari cukup lama, dan bagian utara beriklim basah atau lembap. Kondisi ini sangat prospektif untuk pengembangan tanaman pangan. Landform tektonik (struktural) dari batuan sedimen masam mendominasi lahan kering di wilayah Kabupaten Merauke. Pada landform beting pasir pantai tua dari endapan pasir marin, tanahnya porous sehingga mudah kehilangan air, dan daya retensi hara sangat rendah sehingga mudah kehilangan hara. Tanah pada landform tektonik (struktural) memiliki tekstur agak halus sampai halus, pH masam sampai netral, namun mineralnya didominasi kuarsa keruh sehingga miskin cadangan hara. Kandungan C-organik sangat rendah sampai tinggi, dan nitrogen sangat rendah sampai sedang. Kadar P2O5 sangat rendah sampai rendah dan K2O sangat rendah sampai sedang. Nilai tukar kation Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah sampai tinggi, KTK rendah sampai tinggi, dan kejenuhan basa sangat rendah sampai tinggi. Tanah pada beting pasir pantai tua memiliki tekstur agak kasar sampai kasar, pH netral, kandungan C-organik dan nitrogen sangat rendah sampai tinggi. Kadar P2O5 rendah sampai sedang dan kadar K2O total sangat rendah. Nilai tukar kation Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah sampai tinggi. KTK sangat rendah dan 61
kejenuhan basa rendah sampai sangat tinggi. Untuk memperbaiki kesuburan tanah perlu pupuk organik, fosfat dan kalium,
serta kapur untuk meningkatkan pH tanah yang sangat masam sampai masam, termasuk dolomit bagi tanah dengan Mg sangat rendah. Hasil komoditas tanaman
pangan terutama kacang tanah dan ubi kayu berpeluang untuk ditingkatkan dengan memberikan pupuk sesuai dengan kualitas dan karakteristik tanah.
Pedologi dan Penginderaan Jarak Jauh. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pemerintah Kabupaten Merauke. 2007. Merauke Rice Estate Integrated MIRE dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Dinas Tanaman Pangan, Mei 2007 Proposal.
DAFTAR PUSTAKA Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Merauke. 2007. Data Iklim Curah Hujan, Kelembapan Udara, Suhu, dan Penyinaran Matahari Daerah Merauke periode 2000− 2006. Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Merauke. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2007. Pemetaan Zona Agroekosistem Tingkat Semidetail, Skala 1:50.000 Daerah Kecamatan Kurik dan Semangga, Kabupaten Merauke. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Desaunettes, J.R. 1977. Catalogue of Landforms for Indonesia. Examples of a Physiography Approach to Land Evaluation for Agricultural Development. SRI-FAO. AGL/TF/INS/44. Working Paper No. 13. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. 2004. Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. Djaenudin, D., H. Marwan, A. Hidayat, dan H. Subagyo. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. Djaenudin, D. 2008. Prospek Penelitian Potensi Sumberdaya Lahan di Wilayah Indonesia. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang
62
Fakultas Pertanian IPB. 1981. Survei dan Pemetaan Kapabilitas Lahan WPP Kurik, Merauke, Irian Jaya. Laporan Akhir No. 41/IRJA/ Dok./1981. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Food and Agriculture Organization. 1996. Agroecological Zoning Guidelines. Food and Agriculture Organization Soil Bulletin 73. Rome, Italy. Hendrisman, M., Hikmatullah, dan D. Djaenudin. 2005. Analisis Topografi dari Citra Landsat7 ETM; Studi Kasus Daerah Sidangoli-Sofifi, Halmahera. hlm. 223−239. Prosiding Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Heryanto, R. dan H. Panggabean. 1995. Peta Geologi Lembar Merauke, Irian Jaya (3407). Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Kannegieter, A. and H. Huizing. 1983. Aspect of Agriculture. Lecture Notes N.-2 Rural Survey Course ITC Enschede The Netherlands. Marsoedi, D.S., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, SWP Darul, S. Hardjowigeno, J. Hof, dan E.R. Jordens. 1997. Pedoman Klasifikasi Landform. Versi 3.0. LREP II, Part C. Center for Soil and Agroclimate Research, Bogor. Oldeman, L.R., I. Las, and M. Darwis. 1978. The Agroclimatic Map of Sumatra, scale 1: 2,500,000. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bull. No. 60, Bogor.
Pusat Penelitian Tanah. 1985. Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau Daerah Merauke dan Sekitarnya, Kabupaten Merauke, Provinsi Irian Jaya. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Pusat Penelitian Tanah. 1986. Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau Daerah Merauke S. Digul-Pantai Kasuari, Provinsi Irian Jaya. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Soil Survey Staff. 2003. Key to Soil Taxonomy. Ninth Edition. USDA, Washington, D.C. Sys, C., E. Van Ranst, J. Debaveye, and F. Beernaert. 1993. Land Evaluation Part III. Agric. Public. No 7. Brussels, Belgium. Wambeke, A.R., Van. P. Hastings, and P. Tolomeo. 1985. New Simulation Model (NSM) for Moisture Regimes. Dep. Agric. Bradfield Hall. Cornell University. New York. Wilding, L.P., N.E. Smeck, and G..F. Hall. 1983. Pedogenesis and Soil Taxonomy. Concepts and Interactions. Developments in Soil Science 11 A.
Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008