PROSPEK PENGEMBANGAN PERTANIAN MODERN MELALUI PENGGUNAAN TEKNOLOGI MEKANISASI PERTANIAN PADA LAHAN PADI SAWAH
Oleh : Handewi P. Saliem Ketut Kariyasa Henny Mayrowani Adang Agustian Supena Friyatno Sunarsih
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTRIAN PERTANIAN 2015
KATA PENGANTAR Masalah yang dihadapi dalam swasembada pangan khususnya padi antara lain produktivitas padi yang cenderung stagnan bahkan menurun. Permasalahannya antara lain yaitu irigasi, benih, pupuk dan alat mesin pertanian. Alat dan mesin pertanian, diperlukan
untuk
mengatasi
berkurangnya
jasa
penanam
padi
sawah
yang
mengakibatkan periode penanaman padi menjadi lebih panjang, sehingga upaya rekomendasi penanaman serentak dalam suatu hamparan/kawasan tidak dapat dilaksanakan secara optimal.
Selain aspek tersebut diatas, penyelamatan produksi
dengan perlakuan pascapanen yang tepat penting diadopsi.
Salah satu solusi yang
ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas adalah penerapan pertanian moderen menggunakan teknologi mekanisasi pertanian, mulai dan kegiatan olah tanah, penanaman sampai panen dan perontokan. Kajian ini dilakukan untuk mengkaji prospek pengembangan usahatani padi berbasis penggunaan teknologi mekanisasi pertanian di lokasi pengembangan. Secara khusus kajian ini dilakukan untuk mengetahui tambahan manfaat yang diberikan pertanian moderen yang dikelola dengan mekanisasi relatif terhadap pertanian konvensional yang dikelola secara manual, kelembagaan pengelolaan alsintan yang eksisting pada lahan pengembangan,
dan memberikan masukan dalam penerapan
kebijakan pengembangan lahan usahatani padi berbasis mekanisasi pertanian yang berkelanjutan. Kepada semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian sampai tersusunnya laporan ini,
disampaikan terima kasih. Mudah mudahan hasil kajian ini
bermanfaat bagi yang berkepentingan. Bogor, Desember 2015 Kepala Pusat,
Dr Handewi P. Saliem NIP: 19570604 198103 2 001
i
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan Kementerian Pertanian telah menetapkan target swasembada pangan khususnya padi dalam tiga tahun kedepan. Masalah yang dihadapi antara lain produktivitas padi yang cenderung stagnan bahkan menurun. Permasalahannya antara lain yaitu irigasi, benih, pupuk dan alat mesin pertanian.Alat dan mesin pertanian, diperlukan untuk mengatasi berkurangnya jasa penanam padi sawah yang mengakibatkan periode penanaman padi menjadi lebih panjang, sehingga upaya rekomendasi penanaman serentak dalam suatu hamparan/kawasan tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Selain aspek tersebut diatas, penyelamatan produksi dengan perlakuan pascapanen yang tepat penting diadopsi.
Susut hasil saat penanganan pascapanen berpengaruh
pada produksi beras nasional. Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas adalah penerapan pertanian moderen menggunakan teknologi mekanisasi pertanian, mulai dan kegiatan olah tanah, penanaman sampai panen dan perontokan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usahatani berbasis penggunaan teknologi mekanisasi pertanian penuh, antara lain status kepemilikan atau penguasaan lahan petani, kelembagaan pasar-baik pasar input maupun output, dan kelembagaan pengelolaan alsintan. Tujuan kajian Tujuan umum adalah mengkaji prospek pengembangan usahatani padi berbasis penggunaan teknologi mekanisasi pertanian di lokasi pengembangan . Secara khusus tujuan
kajian ini adalah : (1) Mengkaji tambahan manfaat yang diberikan pertanian moderen; (2)
Mengkaji
kelembagaan
pengelolaan
alsintan
yang
eksisting
pada
lahan
pengembangan; dan (3) Merumuskan alternatif kebijakan pengembangan lahan usahatani padi berbasis mekanisasi pertanian yang berkelanjutan. Metodologi Kajian ini difokuskan pada Proyek Percontohan Pertanian Moderen Kabupaten Soppeng-Sulawesi Selatan, Kabupaten Sukahorjo-Jawa Tengah, Kabupaten Blora-Jawa ii
Tengah, dan Kabupaten Cilacap-Jawa Tengah.
Kabupaten Cilacap diambil sebagai
contoh dengan dasar bahwa keberhasilan UPJA di Kabupaten Cilacap dianggap dapat menjadi acuan dalam pengembangan UPJA di lokasi Percontohan Pertanian Moderen. Data yang digunakan adalah adalah data sekunder dan primer.
Data tersebut
dikumpulkan dari berbagai Instansi Pemerintah terkait di pusat dan di daerah contoh dan wawancara dengan aparat pertanian tingkat provinsi/kabupaten dan petani padi sawah. Data dianalisis dengan menggunakan analisis tabulasi sederhana, sedangkan data kualitatif menyangkut aspek kebijakan dan kelembagaan akan dianalisis secara deskriptif. Hasil kajian Konsolidasi lahan Dalam bidang pertanian konsolidasi dapat diartikan menyatukan lahan-lahan sempit milik petani dan menyatukan petani dalam menjalankan usaha bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Di lokasi Percontohan Pertanian Modern (PPM) kegiatan
konsolidasi merupakan tantangan terberat.
Penghilangan pematang sawah untuk
memudahkan mobilitas alat dan mesin (alsin) pertanian, tidak bisa diterima petani karena pematang memiliki fungsi sebagai batas kepemilikan sawah dan berfungsi sebagai penahan air, agar air tidak terus mengalir ke lahan yang lebih rendah. Akhirnya disepakati bahwa pematang tetap dipertahankan sebagaimana adanya, dan untuk memudahkan pergerakan alsin, petani tidak keberatan untuk membuka pematang sawahnya sesuai kebutuhan sehingga tidak menjadi penghalang bagi operasional dan mobilitas alsin. Untuk mengatasi hal tersebut diatas, kesiapan infrastruktur irigasi yang terkait konsolidasi lahan perlu dipersiapkan baik oleh pihak PU dan BPN (Badan Pertanahan Nasional). Pada pola pengelolaan secara corporate dalam konsep konsolidasi, masih sulit dilaksanakan.
Sehingga hingga saat ini, penerapan PPM
yang diintegrasikan
dengan program mekanisasi yang bersifat penuh (traktor, transplanter, dan harvester) , dalam pelaksanaannya baru terintegrasi dalam hal praktek pengolahan tanah dan
iii
tanam. Untuk kegiatan pemeliharaan, panen dan penjualan hasil masih dilakukan oleh masing-masing petani. Manfaat Pertanian Moderen Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian Manfaat Usahatani Penggunaan alat dan mesin pertanian dalam suatu hamparan yang cukup luas memberikan beberapa manfaat yaitu: penghematan waktu, pengurangan penggunaan tenaga kerja, pengurangan biaya, peningkatan produktifitas dan pengurangan kehilangan hasil. Dari segi waktu, penggunaan alsin menghemat waktu cukup banyak, sehingga tanam bisa dilaksanakan tanam serempak. Tenaga kerja pertanian (buruh tani) yang terbilang langka di lokasi PPM seperti Soppeng, terselesaikan dengan masuknya alsintan. Dibanding
dengan
pertanian
konvensional
dengan
teknologi
yang
biasa
dipraktikkan petani, dalam pelaksanaan kegiatan PPM terjadi peningkatan hasil, produksi dari 6,7 ton/ha menjadi 8,05 ton/ha di PPM Kabupaten Soppeng. Kehilangan hasil pada saat panen yang berkisar antara 10-12%, dengan penggunaan combine
harvester bisa menekan kehilangan panen hingga 3%.
Manfaat lain dari pertanian
moderen adalah berkurangnya biaya usahatani dan bertambahnya pendapatan petani. Di lokasi kajian terjadi penurunan biaya usahatani rata-rata 20-25% dan peningkatan keuntungan sekitar 50%. Manfaat Usaha Alsintan Dalam pelaksanaan PPM dirancang dioperasionalkannya alsintan berat seperti Traktor roda 4 (TR4), Rice transplanter dan combine harvester.
Bantuan alsintan
diberikan kepada UPJA yang mampu mengelola alsintan secara komersial dengan tetap mengacu untuk membantu petani melalui pelayanan prima.
Dari usaha penyewaan
alsintan, UPJA di lokasi PPM mendapat keuntungan usaha yang cukup baik dengan kisaran RC rasio 1,4 hingga 2,3.
combine harvester . karena sistem
Keuntungan tertinggi diperoleh dari penyewaan
Transplanter belum dimanfaatkan dengan baik secara komersial,
persemaian dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian
yang cukup memadai dan memerlukan benih varietas unggul.
Keuntungan dari iv
penyewaan ini masih bisa ditingkatkan dengan menambah kapasitas kerja alat melalui perluasan jaringan kerja alat sehingga hari kerja alat bertambah. Perluasan jaringan dengan manajerial yang solid dan aktif, seperti yang telah dilakukan UPJA Kabupaten Cilacap, memacu perkembangan usaha UPJA. Kelembagaan pengelolaan alsintan pada lokasi PPM Alsintan pada lokasi pengembangan dikelola oleh UPJA. UPJA adalah suatu lembaga ekonomi pedesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendapatkan keuntungan usaha.
Struktur kepengurusan UPJA terdiri dari Manajer, Sekretaris dan Bendahara,
yang membawahi operator alsintan yang dimiliki UPJA.
Pada UPJA yang lebih
berkembang, seperti di lokasi PPM Sukoharjo, struktur kepengurusan ditambah dengan perbengkelan dan pemasaran.
Pendukung lainnya adalah teknisi, pada kasus PPM
Kabupaten Soppeng teknisi tinggal di luar desa. Dalam pengelolaan alsintan oleh UPJA dilakukan secara profesional, dimana biaya untuk operasional alsintan selalu diupayakan bersumber dari hasil alsintan itu sendiri. Pengurus UPJA dan anggota Gapoktan bermusyawarah
untuk membahas berbagai
persoalan kegiatan usahatani dan pengelolaan alsintan termasuk aturan main, antara lain
:
menetapkan
luas
maksimal
pelayanan
masing-masing
traktor
dengan
mempertimbangkan jadwal pengaturan air, jadwal tanam, dan jumlah traktor, menetapkan besaran biaya atau upah traktor, dan menetapkan larangan adanya traktor dari
luar
daerah/desa
untuk
melakukan
pengolahan
lahan
sawah
dengan
memperhatikan bahwa jumlah traktor di wilayahnya. Alsintan sudah banyak digunakan dalam usahatani padi, namun ketersediaannya masih terbatas. Secara sosial, alsin sudah diterima masyarakat antara lain karena : ketersediaan tenaga kerja sudah kurang, dan membutuhkan waktu yang cepat dalam pengolahan lahan untuk mengejar jadwal tanam. Kelembagaan pengelolaan usahatani, penyediaan input, pascapanen dan pemasaran Penyediaan input dilakukan secara individu, khusus penyediaan pupuk dilakukan melalui RDKK kelompok tani/gapoktan, karena berlaku sistem distribusi pupuk tertutup. v
Bagi petani yang cukup modal bisa membeli di kios saprotan.
Dalam PPM input
diperoleh dari Bansos dan didistribusikan melalui Gapoktan. Aplikasi sarana produksi tersebut di lahan usahatani menjadi tanggung jawab petani pemilik/penggarap masingmasing. Sistem persemaian dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian yang cukup memadai atau berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah). Dengan demikian adopsi inovasi khususnya penggunaan varietas unggul dan efisiensi penggunaan benih padi dapat dilakukan dengan menggunakan transplanter. Inovasi penggunaan input diperoleh dalam PPM saprodi yang lebih sedikit namun efisien, aplikasi pestisida dilakukan sesuai dengan jenis dan serangan OPT.
Setelah PPM
kegiatan pengolahan tanah, persemaian, tanam dan panen dikoordinir oleh pelaksana PPM, namun setelah itu diharapkan bisa dikoordinir oleh Gapoktan. Pemasaran hasil dilakukan oleh petani masing-masing. Pedagang hasil bumi, merupakan pelaku yang berperan dalam pembelian gabah milik petani. Diharapkan pedagang ini akan diganti oleh Gapoktan atau koperasi tani, dimana mereka bekerjasama atau bermitra dengan pedagang atau BULOG. Pelaku lain dalam kegiatan PPM adalah aparat dinas, tim teknis, dan penyuluh. Tantangan yang diemban oleh pelaku ini agar introduksi inovasi dapat diterima dan diadopsi oleh petani adalah mengubah perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan).
Dedikasi, kerja keras, kemampuan diplomasi seluruh petugas yang terlibat,
yaitu Dinas Pertanian, Penyuluh, Lurah, Camat, Babinsa, pengurus Gapoktan dan kelompok tani, dan sebagainya sangat membantu dalam mengatasi masalah konsolidasi lahan ini (serta masalah-masalah lain yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan PPM). Kendala pengembangan Kendala pengembangan saat ini adalah: (1) Masih terdapat kekurangan beberapa alsintan seperti: traktor, transplanter dan combine harvester, (2) Terdapatnya kekurangan dafog/tray dari unit transplanter, (3) Masih terbatasnya sarana pendukung seperti gudang alsintan dan perbengkelan, (4) keterbatasan RMU yang ada didesa percontohan, dan (5) Terbatasnya sarana untuk menyimpan gabah yang dihasilkan, sehingga dibutuhkan gudang penyimpanan gabah hasil panen. Jika permasalahan vi
tersebut kurang mendapat penangan secara baik, maka idealitas dan harapan penerapan konsep pertanian moderen tidak akan berjalan baik. Pembelajaran dan indikasi kebijakan yang dibutuhkan untuk pertanian moderen. Permasalahan belum bisa terselenggaranya pertanian moderen secara sempurna adalah : (a) waktu persiapan untuk pelaksanaan pertanian moderen kurang memadai, sehingga pemahaman dan keyakinan kepada petani kurang, (2) failitas sarana dan prasarana tidak sempurna antara luas areal dengan jumlah alsintan yang disediakan, , (3) konsep dengan implementasi masih belum sinkron antara lain dalam konsep petani yang bergabung akan diberi modal untuk sektor non pertanian sama sekali tidak ada realisasinya, dan (4) koordinasi dengan lembaga lain yang mendukung pertanian moderen masih lemah, misalnya dengan perbankan dan Bulog.
Dari segi adopsi dan
diffusi inovasi percontohan pertanian moderen ini cukup berhasil. Pelaksanaan percontohan melibatkan banyak pihak, namun minim konstruksi kelembagaan yang berbasis pada kekuatan yang dimiliki oleh petani, dan kelompokkelompok setempat. Singkatnya waktu pelaksanaan juga membuat konstruksi kelembagaan tidak menjadi fokus utama, karena bagian ini memang perlu waktu lama dan hasilnya tidak segera dapat dilihat. Terdapat empat elemen dasar kelembagaan yang perlu diperhatikan dalam mengkonstruksi kelembagaan, yaitu: (1) Pelaku (stakeholder) dengan posisi dan perannya.
Pelaku dalam proses produksi komoditas
pertanian, khususnya padi adalah : petani, produsen/penjual sarana produksi, produsen/penjual alsin dan bengkel alsin serta UPJA, penjual jasa tenaga kerja pertanian, pembeli hasil pertanian, Lembaga keuangan, Lembaga pemerintah (dinas terkait, penyuluh); (2) Jaringan dan interaksi yang berpola. Agar aktivitas dalam proses produksi dapat belangsung dengan lancar, maka harus dibangun jaringan antar pelaku sedemikian rupa sehingga interaksi antar pelaku bisa terpola; (3) Aturan main yang adil. (4) Sarana pendukung. Sarana pendukung dalam proses budi daya padi adalah lahan, jaringan irigasi, jalan usahatani, sarana produksi, peralatan. Keempat elemen kelembagaan ini harus terkelola dengan baik agar kegiatan pertanian moderen ini bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. vii
Skala percontohan seluas 100 ha, melibatkan banyak pihak, bahan dan alat, yang sebagian darinya harus didatangkan dari luar. Kondisi ini tidak bisa terus menerus dilakukan, alternatifnya adalah membuat skala percontohan dengan basis kemampuan mandiri komunitas dalam penyediaan bahan, alat dan tenaga kerja, serta kemampuan mengelola seluruh aktivitas dan hasilnya. Kepemilikan alsin sesuai jenis dan jumlah (sesuai kapasitas) bisa digunakan sebagai basis untuk menentukan luasan percontohan. Dengan menghitung kepemilikan alsin UPJA Semangat di kabupaten Soppeng misalnya, maka percontohan lebih optimal jika dilakukan pada lahan sawah seluas 20-50 ha. Pelaksanaan percontohan sangat singkat, hanya 1 musim tanam. Akan lebih baik jika pelaksanaan tidak hanya dibatasi satu musim, karena esensi penerapan pertanian moderen sebagai suatu inovasi adalah pada perubahan perilaku dalam adopsi inovasi. Perubahan perilaku dan adopsi inovasi perlu waktu dan keberadaan kelompok dapat membuat individu mengikuti proses sesuai dengan yang dialami oleh individu dominan yang menjadi panutan. Dedikasi dan komitmen petugas pelaksana juga harus diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan pertanian modern,
fasilitasi, pendampingan, dan pembinaan
kegiatan PPM serta mobilisasi massa, sehingga kegiatan tersebut dapat terlaksana. Pengalaman sangat membantu dalam pelaksanaan PPM. Selain itu, dukungan Pemda setempat dan pihak lainnya juga merupakan salah satu faktor yang penting dalam pelaksanaan PPM. Kesimpulan Dari bahasan diatas dapat disimpulkan : (1) Alsintan memiliki keunggulan secara teknis maupun ekonomis. Dalam pelaksanaan PPM, konsolidasi lahan adalah hal yang sangat sulit mengingat galengan masih digunakan sebagai penahan air dan batas kepemilikan. Namun hal tersebut bisa diatasi dengan memperkecil galengan atau meratakan galengan
sementara;
(2)
Pengembangan
usahatani
padi
melalui
penerapan
penggunaan alat dan mesin pertaniandan pengelolaan usahatani yang terpadu menyebabkan terjadi efisiensi waktu, biaya tenaga kerja, percepatan IP, kualitas kerja dan produk meningkat.
Namun pengelolaan usahatani terpadu belum sepenuhnya viii
dilaksanakan di lokasi PPM, saat ini baru pada kegiatan olah tanah dan tanam; (3) Pengelolaan usaha alsintan sudah relatif baik, tetapi masih perlu dikembangkan secara profesional dengan memperluas jaringan kerja. Namun masih ada UPJA di lokasi contoh yang belum menentukan aturan main dari penyewaan alsin, terutama alsin yang baru dimiliki (bantuan Pemerintah); (4) Beberapa kegiatan PPM merupakan adopsi inovasi baru, kegiatan tersebut antara lain adalah sistem persemaian dengan menggunakan transplanter yang memerlukan keahlian yang cukup memadai. Hal ini merupakan tantangan bagi aparat dinas, tim teknis, dan penyuluh untuk
mengubah perilaku
(pengetahuan, sikap dan tindakan) agar introduksi inovasi PPM secara keseluruhan dapat diterima dan diadopsi oleh petani; (5) Dalam pelaksanaan PPM belum ada introduksi kelembagaan pemasaran hasil. Pedagang hasil bumi, merupakan pelaku yang berperan dalam pembelian gabah milik petani; (6) Penyediaan sarana produksi saat ini masih disediakan melalui Paket Optimasi Lahan pada PPM. Paket tersebut nampaknya sama baik dalam jenis, jumlah, dan nilainya pada ketiga lokasi PPM. Hal itu berarti penyediaan paket tersebut tidak didasarkan pada kondisi spesifik lokasi tanah. Namun sebagian petani menyatakan bahwa akses untuk memperoleh sarana produksi mudah didapat asal tersedia modal. Selain sarana produksi, ketersediaan air/sarana irigasi pada lokasi PPM juga perlu diperhatikan karena hal ini diperlukan dalam percepatan tanam; (7) Permasalahan yang dihadapi pada saat ini terkait implementasi program pertanian moderen tersebut adalah masih terdapat kekurangan beberapa alsintan seperti: traktor roda 4, transplanter dan combine harvester, keterbatasan tray/nampan untuk pembibitan, terbatasnya sarana pendukung seperti gudang alsintan dan perbengkelan, keterbatasan RMU yang ada di lokasi percontohan, dan terbatasnya gudang penyimpanan gabah hasil panen. Implikasi Kebijakan Untuk mempercepat penerapan pertanian moderen yang berkelanjutan beberapa implikasi kebijakan yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah: (1) Perlu persiapan waktu untuk mensosialisasikan pertanian moderen kepada masyarakat dan stakeholder terkait dan menciptakan komitmen bersama untuk implementasi pertanian modern, ix
terutama yang menyangkut perubahan sikap dan keyakinan untuk menerima/adopsi inovasi memerlukan waktu, ketekunan dan kegigihan bahkan perlu domentrasi plot (dempot) atau demfarm sehingga petani menjadi sadar, yakin, berkeinginan dan meniru atau adopsi inovasi tersebut; (2) Perlunya specific road map sehingga bisa menerapkan langkah dan prioritas, seperti pilihannya pada apakah pertanian moderen ini akan diterapkan secara sempurna menurut siklus usahatani padi atau akan diterapkan secara bertahap tetapi sempurna, misalnya pengolahan tanah dan tanam saja, dilanjutkan dengan pemeliharaan teritegrasi dan kemudian dengan tahapan panen, pasca panen dan pemasaran; (3) Perlu adanya program pendamping, sesuai dengan konsep pertanian moderen dimana kelebihan tenaga kerja akan diserap oleh sektor non pertanian. Konsep ini bisa dilakukan dengan pembukaan kesempatan kerja sektor non pertanian yang terkait maupun tidak terkait dengan pertanian; (4) Terkait dengan fasilitasi alsintan, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk para produsen alsintan. Alsintan yang diproduksi masal harus sudah lolos uji sehingga layak pakai, juga kesiapan melempar ke pasaran umum termasuk kesediaan
spare-part, layanan purna jual, dll. Saat ini hampir sebagian besar alsintan yang ada belum layak pakai; (4) Di lapangan terdapat permasalahan pada satu lokasi pertanian moderen tetapi tidak merupakan masalah pada lokasi lain, misalnya di Sukoharjo ada keterbatasan jumlah tray tetapi di Soppeng dan Cilacap hal ini tidak menjadi masalah karena ada metoda lain. Untuk itu perlu dibangun system pengembangan SDM, seperti pusat-pusat pelatihan yang tumbuh dari kelompok lintas daerah sebagai ajang studi banding yang difasilitasi oleh pemeritah: (5) Untuk permasalahan yang terkait dengan alam antara lain : kedalam lumpur sawah, topografi, keadaan sosial dll, perlu ada kajian yang berlanjut untuk penggambaran (mendelineasi) daerah mana saja yang layak untuk dikembangkan sebagai pertanian moderen, semi moderen dan konvensional; (6) Perlu adanya jaminan ketersediaan
sarana produksi seperti : pupuk, pestisida, air
irigasi dan membentuk kelembagaan pasar dengan cara memperkuat gapoktan atau koperasi tani.
x
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR i RINGKASAN EKSEKUTIF ii DAFTAR ISI xi DAFTAR TABEL xiii I PENDAHULUAN 1 1.1. Latar belakang 1 1.2. Tujuan dan Keluaran Kajian 4 II METODOLOGI 5 Lokasi 2.1 Penelitian 5 2.2. Sumber dan Jenis Data 5 2.3. Metode Analisis 6 III HASIL KAJIAN 6 3.1. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan 6 3.1.1. Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan 6 3.1.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian 10 3.1.3. Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan Pengembangan 16 3.1.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran 18 3.2. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah 22 3.2.1. Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan 22 3.2.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian 25 3.2.3. Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan Pengembangan 33 3.2.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran 38 3.3. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten Blora, Jawa Tengah 42 3.3.1. Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan 42 3.3.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian 43 3.3.3 Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan xi
Pengembangan 3.3.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran 3.4. Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Kabupaten Cilacap 3.4.1. Perkembangan Pertanian dan Dukungan Mekanisasi 3.4.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian 3.4.3. Pengembangan Pertanian Melalui Kelembagaan Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA) 3.4.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran 3.5. Peluang dan Kendala Pengembangan Pertanian Modern Melalui Mekanisasi Pertanian 3.6. Pembelajaran dan Indikasi Kebijakan yang Dibutuhkan untuk Pertanian Modern IV KESIMPULAN 4.1. Kesimpulan 4.2. Implikasi Kebijakan DAFTAR PUSTAKA
49 51 54 54 58 68 71 75 78 83 83 86
xii
DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern dan Konvensional di Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, MH 2014/2015 (Rp/ha) 12 2. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor tangan di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha) 13 3. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor roda-4 di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha) 14 4. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha) 15 5. Alsin yang dimiliki UPJA Semangat saai ini (Agustus 2015) 16 6. Aturan Main dalam Penggunaan Jasa Alsin yang dikelola UPJA Semangat di Kabupaten Soppeng, 2015 18 7. Pelaku dalam Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input Pascapanen dan Pemasaran Secara Konvensional dan Percontohan Pertanian Modern di Soppeng, 2015 20 8. Jenis, Jumlah dan Nilai Sarana Produksi untuk Kegiatan PPM Seluas 100 ha di Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 21 9. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern dan Konvensional di Desa Delanggu, Kecamatan Tawangsari, KabupatenSukoharjo, MT II 2015 (Rp/ha) 26 10. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor tangan di UPJA Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo, 2015 (Rp/ha) 28 11. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo, 2015 (Rp/ha) 30 12. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo, 2015 (Rp/ha) 32 13. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Sukoharjo, 2011-2014 33 14. Luas Baku Sawah Berdasarkan Kondisi Irigasinya untuk Pertanaman Padi di Kabupaten Sukoharjo, 2014 34 xiii
15. Jumlah Alat dan Mesin Pertanian di Kabupaten Sukoharjo, 2014 dan 2015 (unit) 16. Rasio Luas Lahan dan Jumlah Alsintan di Kabupaten Sukoharjo, 2014. 17. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern dan Konvensional di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, MH 2014/2015 (Rp/ha) 18. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor tangan di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha) 19. Struktur Ongkos dan Sewa TR-4 di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha) 20. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha) 21. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha) 22. Alsin yang Dimiliki UPJA Jasa Karya Utama dan Sumbernya (September 2015) 23. Nilai sewa Alsin yang berlaku di UPJA Jasa Karya Utama, Kab. Blora, 2015 24. Pelaku dalam Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input Pascapanen dan Pemasaran Secara Konvensional dan Percontohan Pertanian Modern di Blora, 2015 25. Jenis, Jumlah, dan Nilai Sarana Produksi untuk kegiatan Optimasi Lahan seluas 100 ha di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015. 26. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Cilacap, 2011-2014. 27. Luas Baku Lahan Sawah Berdasarkan Frekuensi Tanam Padi di Kabupaten Cilacap, 2014 28. Jumlah Alat dan Mesin Pertanian di Kabupaten Cilacap, 2014 dan 2015 (unit) 29. Rasio Luas Lahan dan Jumlah Alsintan di Kabupaten Cilacap, 2014. 30. Jumlah RMU Berdasarkan Skala di Kabupaten Cilacap, 2014 31. Usahatani Padi Sawah Pertanian Modern dan Non-Modern di Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten, Cilacap MT I 2015 (Rp/ha) 32. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor tangan di UPJA Desa Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 (Rp/ha) 33. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa
35 36
44 46 47 48 49 50 50
52
53 54 55 55 56 58
60 61 xiv
Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 (Rp/ha) 34. Struktur Ongkos dan Sewa Power thresher di UPJA Desa Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 (Rp/ha) 35. Struktur Ongkos dan Sewa Mini Combine Harvester di UPJA Desa Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 (Rp/ha) 36. Jumlah Kelompok Tani, Gapoktan dan UPJA di Kabupaten Cilacap, 2014.
64 65
67 70
xv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Beras
merupakan pangan
pokok
yang
sangat
dominan.
Kelangkaan
penyediaan beras dan melonjaknya harga beras, baik secara langsung ataupun tidak langsung, akan mengakibatkan krisis ekonomi, sosial, dan politik. Selain itu, beras merupakan penyumbang terbesar PDB pada kelompok tanaman pangan, sumber pendapatan petani, penyedia lapangan kerja dan merupakan sumber pangan pokok bagi penduduk Indonesia. Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan surplus 10 juta ton beras pada 2014. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 252 juta orang dan tingkat konsumsi 130,99 kg/kapita, diperlukan 33 juta ton beras. Untuk itu, produksi padi nasional ditargetkan sekitar 76,568 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 43 juta ton beras konsumsi. Artinya, produksi padi nasional 2014 harus meningkat 8,04% dari 2013 berdasarkan data Angka Ramalan (Aram II) Badan Pusat Statistik (BPS) pada November 2013 lalu. Namun produksi padi tahun 2014 mengalami penurunan. Produksi padi tahun 2014 (ASEM) sebanyak 70,83 juta ton gabah kering giling (GKG) atau mengalami penurunan sebesar 0,45 juta ton (0,63 persen) dibandingkan tahun 2013. Penurunan produksi padi tahun 2014 terjadi di Pulau Jawa sebesar 0,83 juta ton, sedangkan produksi padi di luar Pulau Jawa mengalami kenaikan sebanyak 0,39 juta ton. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 41,61 ribu hektar (0,30 persen) dan penurunan produktivitas sebesar 0,17 kuintal/hektar (0,33 persen)(BPS, 2015). Kementerian Pertanian telah menetapkan target swasembada pangan khususnya padi dalam tiga tahun ke depan. Masalah yang dihadapi antara lain produktivitas padi yang cenderung stagnan bahkan menurun.
Permasalahannya
antara lain yaitu irigasi, benih, pupuk dan alat mesin pertanian. Alat dan mesin pertanian, diperlukan untuk mengatasi berkurangnya jasa penanam padi sawah yang mengakibatkan periode penanaman padi menjadi lebih panjang, sehingga upaya rekomendasi penanaman serentak dalam suatu hamparan/kawasan tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Sebagai konsekuensi dari ketidakseragaman 1
periode pertanaman padi dalam suatu hamparan/kawasan, maka para petani sering dihadapkan pada kondisi populasi hama yang sulit dikendalikan serta periode panen padi yang beragam. Sebagai konsekuensi dari keterbatasan tenaga kerja pada periode tertentu, maka periode panen padi menjadi lebih panjang, yang pada gilirannya
program
peningkatan
Indeks
Pertanaman
Padi
(IP
300)
untuk
meningkatkan produksi padi pada suatu wilayah pertanaman padi sulit diterapkan. Selain itu, jika ingin menyelamatkan produksi, perlakuan pascapanen yang tepat penting diadopsi. Susut hasil saat penanganan pascapanen pun berpengaruh pada produksi beras nasional. Rata-rata, kehilangan hasil saat panen yang dialami petani adalah sebesar 0,53%. Kehilangan hasil pada proses perontokan sekitar 0,83%, pengeringan 6,09%, dan penggilingan sekitar 2,98%. Secara total, rata-rata kehilangan hasil yang dialami petani saat pengolahan pascapanen mencapai 10,43%.
Kehilangan hasil pada padi yang dipanen dengan cara manual sekitar
rata-rata sekitar 8%-15%, sedangkan jika menggunakan mesin panen, kehilangan hasilnya bisa menurun hingga 1%-3% (Agrina, 2014). Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas adalah penerapan pertanian modern (PPM) menggunakan teknologi mekanisasi pertanian, mulai dan kegiatan olah tanah, penanaman sampai panen dan perontokan. Alat dan mesin yang dialokasikan adalah traktor roda 4, rice transplanter, combine harvester dan UPPO serta peralatan bengkel. Jumlah dan jenis sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi dan permintaan dari penerima manfaat. Lokasi percontohan adalah daerah sentra produksi dan wilayah pengembangan kawasan pertanian tanaman, seluas minimal 100 ha dengan kondisi datar, hamparan luas dan tersedianya sumber air.
Program tersebut diimplementasikan musim terkahir 2014, berlokasi di tiga
kabupaten yaitu di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan; Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah dan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kabupaten Soppeng, merupakan satu-satunya kabupaten di Sulawesi yang memperoleh alokasi kegiatan Percontohan Pertanian Modern di Provinsi Sulawesi Selatan untuk tahun 2014. Menurut Ditjen PSP, terdapat dua kelompok tani yang melaksanakan penanaman padi dengan menerapkan teknologi Pertanian Modern di Kabupaten Soppeng, seluas 100 hektar. Kelompok tani tersebut adalah: Kelompok Tani Matunru-tunrue dan Kelompok Tani Addiangnge, Gapoktan Appanang di 2
Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.
Rata-rata luas lahan
sawah yang digarap petani dalam kegiatan lokasi pertanian modern tersebut adalah 0,04 Ha/petani pada kelompok tani Addiangnge dengan total lahan seluas 40 ha. Pada kelompok tani Matunru-Tunrue, rata-rata luas lahan garapan adalah 0,051 ha/KK, dengan total luas lahan 60 ha. Di Jawa Tengah, kegiatan ini dilakukan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukoharjo pada Gapoktan Tani Mandiri dan UPJA Bagyo Mulyo di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari seluas 170 ha; serta Kabupaten Blora pada Gapoktan Sido Rukun dan UPJA Jasa Karya Utama di Desa Gabusan, Kecamatan Jati seluas 100 ha. Pelaksanaan PPM untuk mendukung pengelolaan 100 ha lahan pertanian dengan penerapan mekanisasi dari prapanen hingga panen dilaksanakan oleh UPJA Berkembang atau Profesional di wilayah Pembinaan dan Pengawasan Dinas Pertanian. Kegiatan ini merupakan satu paket penguatan/peningkatan kinerja UPJA yang berupa Bansos (Bantuan Sosial) pengadaan alsintan. Menurut kajian Badan Litbang (2015) keuntungan usahatani menggunakan teknologi mekanisasi pertanian meningkat 81,61% dibandingkan dengan teknologi manual. Penggunaan teknologi mekanisasi pertanian secara penuh dalam usahatani padi juga meningkatkan produksi sebanyak 33,83%, juga menghemat tenaga kerja dan biaya produksi. Dilihat dari segi ekonomi, usahatani dengan penggunaan teknologi mekanisasi pertanian penuh sangat efisien dan menguntungkan petani.
Namun, masalah
pembangunan pertanian bukan hanya pada perangkat teknologinya, tetapi struktur kelembagaan dalam masyarakat pedesaan (Sinaga dan White, 1980), dimana teknologi tersebut masuk, yang menentukan
apakah teknologi itu mempunyai
dampak negatif atau positif atas distribusi pendapatan.
Mubyarto (1994)
mengatakan bahwa aspek kelembagaan berperanan penting dalam pembangunan pertanian,
diperlukan upaya khusus pemberdayaan petani antara lain melalui
kolektif farming. Kolektif farming adalah sejumlah areal pertanian yang dikelola secara kolektif misalnya melalui kelompok tani atau ikatan kelompok lainnya untuk mencapai skala ekonomis dalam pengelolaannya. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usahatani berbasis penggunaan teknologi mekanisasi pertanian penuh, antara lain status 3
kepemilikan atau penguasaan lahan petani, kelembagaan pasar-baik pasar input maupun output, dan kelembagaan pengelolaan alsintan.
Dalam kelembagaan
pengelolaan alsintan, pengembangannya harus memperhatikan aspek untuk menghasilkan produk padi yang bernilai tambah maksimal dan berdaya saing tinggi, dukungan jaringan pelayanan finansial untuk mendukung permodalan, peningkatan kemampuan SDM pedesaan secara profesional, perbengkelan dan penyediaan suku cadang.
Sampai sejauh mana aspek-aspek tersebut telah dikoordinasikan dalam
pengembangan
pertanian
modern/usahatani
berbasis
penggunaan
teknologi
pertanian dan permasalahan apa yang lahir dengan adanya implementasi program tersebut?
Pertanyaan ini yang mendorong perlunya dilakukan kegiatan analisis
kebijakan (anjak) ini. 1.2. Tujuan dan Keluaran Kajian Tujuan Tujuan umum adalah mengkaji prospek pengembangan usahatani padi berbasis penggunaan teknologi mekanisasi pertanian di lokasi pengembangan. Secara khusus tujuan kajian ini adalah : 1. Mengkaji tambahan manfaat yang diberikan pertanian modern yang dikelola dengan mekanisasi relatif terhadap pertanian konvensional yang dikelola secara manual 2. Mengkaji kelembagaan pengelolaan alsintan yang eksisting pada lahan pengembangan 3. Merumuskan alternatif kebijakan pengembangan lahan usahatani padi berbasis mekanisasi pertanian yang berkelanjutan. Keluaran Keluaran umum dari kajian ini adalah infromasi tentang prospek pengembangan usahatani padi berbasis teknologi mekanisasi pertanian pada lahan pengembangan. 1. Tambahan manfaat yang diberikan pertanian modern yang dikelola dengan mekanisasi relatif terhadap pertanian konvensional yang dikelola secara manual 2. Informasi kelembagaan pengelolaan alsintan yang eksisting pada lahan pengembangan
4
3. Rumusan alternatif kebijakan pengembangan lahan usahatani padi berbasis mekanisasi pertanian yang berkelanjutan. 1.3. Perkiraan Manfaat dan Dampak Hasil kajian diharapkan bermanfaat bagi pemangku kepentingan dalam pengembangan lahan usaha dengan penggunaan alat dan mesin pertanian, agar peningkatan produksi dan usahatani lebih efekif.
Dengan tersedianya kajian ini
diharapkan pemangku kepentingan dapat merumuskan kebijakan pengembangan lahan berbasis mekanisasi pertanian dengan lebih baik, yang dapat meningkatkan produktivitas usahatani dan produksi pangan secara lebih efisien. Sebagai dampak, diharapkan hasil kajian ini bisa dimanfaatkan sebagai acuan dalam kebijakan pengembangan lahan usahatani padi berbasis mekanisasi pertanian, khususnya yang terkait dengan kelembagaan pengelolaan alsintan yang berkelanjutan. II. METODOLOGI 2.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dipilih secara purposif, yaitu pada Proyek Percontohan Pertanian Modern Kabupaten Soppeng-Sulawesi Selatan, Kabupaten Sukahorjo-Jawa Tengah, Kabupaten Blora-Jawa Tengah, dan Kabupaten Cilacap-Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap diambil sebagai contoh dengan dasar bahwa keberhasilan UPJA di Kabupaten Cilacap dianggap dapat menjadi acuan dalam pengembangan UPJA di lokasi Percontohan Pertanian Modern. 2.2. Sumber dan Jenis Data Jenis data yang dibutuhkan adalah data sekunder dan primer.
Data dan
informasi sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi pemerintah terkait di Jakarta, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi Jawa Tengah. Data dan informasi sekunder juga diperoleh melalui penelusuran dokumen berupa laporan, jurnal, dan karya ilmiah lainnya.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan
aparat pertanian tingkat provinsi/kabupaten dan pengurus gabungan kelompok tani (gapoktan), dan diskusi kelompok dengan petani padi sawah di lokasi penelitian. Data sekunder meliputi dokumen dan data terkait tentang usahatani padi, pengembangan lahan dan pengembangan alat dan mesin pertanian (alsintan) serta 5
berbagai kebijakan terkait.
Data primer yang dikumpulkan adalah pengelolaan
usahatani, kelembagaan pengelolaan alsintan, kelembagaan pemasaran input dan hasil pada lahan pengembangan. 2.3. Metode Analisis Data Data kuantitatif akan dianalisis dengan menggunakan analisis tabulasi sederhana, sedangkan data kualitatif menyangkut aspek kebijakan dan kelembagaan akan dianalisis secara deskriptif. III. HASIL KAJIAN 3.1. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan 3.1.1 . Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan Kegiatan PPM adalah kegiatan usahatani yang dilaksanakan dengan penerapan mekanisasi pertanian dan pemanfaatan bantuan paket kegiatan peningkatan kemampuan UPJA dalam bidang pelayanan jasa alsintan mulai kegiatan pengolahan tanah, penanaman bibit sampai dengan kegiatan panen dengan cakupan pelayanan seluas minimal 100 ha. Prasyarat penerapan pertanian modern melalui penerapan mekanisasi pertanian adalah tersedianya lahan pertanian sehamparan yang terkonsolidasi, baik secara teknis maupun dalam managemen pengelolaan usahatani. Kriteria lokasi, mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Diprioritaskan pada daerah sentra produksi pertanian tanaman pangan dan wilayah pengembangan kawasan pertanian tanaman pangan seluas minimal 100 ha dengan kondisi datar, hamparan luas dan tersedianya sumber air. 2. Mempertimbangkan kondisi lokal spesifik yang secara teknis dan ekonomis memenuhi persyaratan untuk kegiatan Percontohan Pertanian Modern 3. Terdapatnya UPJA Berkembang/Profesional yang mampu untuk melaksanakan dan
mengembangkan
mekanisasi
pertanian
pada
kegiatan
Percontohan
Pertanian Modern 4. Mempertimbangkan proposal yang diajukan oleh UPJA dan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota, terkait dengan pengembangan Kegiatan Percontohan Pertanian Modern
6
5. Mempertimbangkan kinerja Dinas Pertanian Kabupaten/Kota yang pernah menerima bantuan penguatan UPJA Dua tahun sebelumnya, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Soppeng juga pernah menerapkan percontohan pertanian dengan mekanisasi. Percontohan dilakukan pada lahan sawah tadah hujan di Kelompok Tani Ale Bua Bua di Kecamatan Donri Donri dan Kelompok Tani Tensiabeng di Kecamatan Liliriaja, masing-masing seluas 50 ha dengan dana yang bersumber dari APBD I. Teknologi yang diterapkan dalam pertanian mekanisasi tersebut
berupa sistem
legowo, penggunaan air (yang lebih hemat), pemupukan berimbang (dilakukan uji pH tanah lebih dulu), penggunaan benih unggul, pengurangan kehilangan hasil dengan menggunakan combine harvester. Sosialisasi dan bimbingan dilakukan secara intensif untuk mengubah pola pikir (pengetahuan, sikap, dan tindakan) petani. Hasil panen padi (ubinan) di Donri Donri adalah : lahan irigasi 10,8 ton/ha, lahan irigasi setengah teknis 8 ton/ha, dan lahan tadah hujan 7 ton/ha. Selanjutnya di lokasi percontohan dimasukkan alat RMU, untuk menangani pemrosesan hasil. Kabupaten Soppeng terletak pada depresiasi Sungai Walanae yang terdiri dari daratan dan perbukitan dengan luas daratan kurang lebih 700 km2 serta berada pada ketinggian rata-rata antara 100-200 m di atas permukaan laut. Luas daerah perbukitan Soppeng kurang lebih 800 km2 dan berada pada ketinggian rata-rata 200 m di atas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng adalah kota Watansoppeng yang berada pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut. Kabupaten Soppeng tidak memiliki wilayah pantai. Wilayah perairan hanya sebagian dari Danau Tempe. Wilayah Kabupaten Soppeng dibagi menjadi delapan kecamatan, yaitu: Citta, Donri Donri, Ganra, Lalabata, Liliriaja, Lilirilau, Marioriawa, dan Marioriwawo Percontohan Pertanian Modern (PPM) di Kabupaten Soppeng berlokasi di Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja. Lokasi persawahan yang menjadi percontohan terletak kurang dari 1 km dari kantor Kelurahan Appanang maupun kantor Kecamatan Liliriaja, 16 km dari ibu kota kabupaten, dan 215 km dari ibu kota provinsi. Lahan persawahan dapat dijangkau dengan alat transportasi roda dua maupun roda empat. Lahan pertanian di Kecamatan Liliriaja berupa lahan sawah seluas 813,97 ha dan 276 ha lahan kering. Lahan percontohan seluas 100 ha, merupakan lahan 7
pertanian irigasi teknis.
Organisasi petani yang terdapat di Kelurahan Appanang
yaitu Gapoktan yang beranggotakan 13 kelompok tani, dan dua di antaranya menjadi peserta PPM. Organsasi petani lainnya yaitu UPJA Semangat. Kegiatan Percontohan Pertanian Modern di Soppeng melibatkan dua kelompok tani, yaitu Kelompok Tani Matunru-tunrue dan Kelompok Tani Addiange, dari total 13 kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Appanang. Kelompok ini dipilih karena dinilai bagus aktivitasnya. Lahan sawah Kelompok Tani Matunrutunrue yang menjadi lokasi PPM seluas 60 ha dengan penggarap sebanyak 118 petani, sedangan Kelompok Tani Addiange seluas 40 ha dengan jumlah petani sebanyak 76 orang, jadi total petani yang terlibat dalam kegiatan PPM sebanyak 194 orang. Dalam pelaksanaan kegiatan PPM, seluruh petani yang terlibat dibagi mejadi delapan kelompok kecil, bersesuaian dengan jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Soppeng. Masing-masing kecamatan diberi tanggung jawab untuk membantu pelaksanaan kegiatan percontohan di satu kelompok kecil. Dalam rangka memenuhi tanggung jawab tersebut, setiap kecamatan mengirimkan wakilnya yang terdiri dari Babinsa, Penyuluh, dan Petani. Selain untuk mendukung pelaksanaan percontohan, para wakil dari kecamatan diharapkan menjadikan aktivitas yang diikutinya sebagai proses pembelajaran, untuk kemudian mempraktekkan serta mengajarkan kepada petani di wilayah masing-masing. Tujuan pembentukan delapan kelompok kecil secara khusus yaitu : (1) memudahkan koordinasi dan penyebaran informasi, karena pemukiman petani menyebar; (2) alat dan barang tidak terkonsentrasi di lokasi atau pihak tertentu, sehingga kegiatan diharapkan bisa terlaksana dengan lebih cepat dan lancar; (3) mempercepat proses difusi inovasi dengan melibatkan pihak terkait di masing-masing kecamatan sebagai penanggung jawab kelompok kecil. Selain syarat yang terkait dengan kelompok tani, juga ada syarat untuk lokasi hamparan sawah, yaitu air cukup dan ada jalan usahatani. Lahan sawah yang menjadi lokasi percontohan terhampar di sepanjang saluran irigasi, sehingga ketersediaan air saat percontohan dilakukan bisa terjamin. Salah satu petani yang terlibat dalam percontohan berposisi sebagai ulu-ulu, yang bertugas menjamin pembagian air di hamparan tersebut. Jalan usahatani di hamparan sawah 8
percontohan terbentang di sepanjang saluran irigasi, dan merupakan bagian saluran irigasi yang sengaja diperkeras dan diperluas sehingga sekaligus bisa berfungsi sebagai jalan usahatani. Selain itu, juga terdapat jalan usahatani yang membelah lahan sawah percontohan, menghubungkan wilayah pemukiman di terletak di pusat kelurahan/kecamatan yang berbatasan dengan persawahan, dengan jalan usahatani yang
terletak
di
tepi
saluran
irigasi.
Keberadaan
usahatani
memudahkan
pengangkutan sarana pertanian, alat maupun hasil dan mobilitas orang. Salah satu tantangan berat PPM ini adalah konsolidasi lahan seluas 100 ha yang melibatkan penggarap atau petani penggarap sebanyak 194 orang, ditambah sejumlah pemilik lahan yang tidak ada di lokasi tersebut dan menyakapkan sawahnya kepada petani setempat. Awalnya ada wacana untuk menghilangkan pematang sawah untuk memudahkan mobilitas alat dan mesin (alsin) pertanian. Wacana ini membuat petani keberatan untuk ambil bagian kegiatan PPM, karena (1) Pematang memiliki fungsi sebagai batas kepemilikan sawah, jika batas dihilangkan akan menjadi sumber masalah, “sumber baku hantam”. Sebagian besar (75 persen) petani setempat adalah penggarap, sehingga tidak memiliki wewenang untuk menyetujui penghilangan tanggul/pematang. Untuk terlibat di dalam kegiatan PPM ini para petani penggarap harus meminta izin pemilik lahan yang bermukim di Makassar, Jakarta, Kalimantan, dan Irian Jaya; dan tidak jarang petugas yang harus berkomunikasi langsung dengan pemilik lahan yang masih ragu untuk terlibat dalam kegiatan tersebut; (2) Pematang juga berfungsi sebagai penahan air, agar air tidak terus mengalir ke lahan yang lebih rendah. Akhirnya disepakati bahwa pematang tetap dipertahankan sebagaimana adanya, dan untuk memudahkan pergerakan alsin, petani tidak keberatan untuk membuka pematang sawahnya sesuai kebutuhan (hanya selebar alsin, dan kemudian bisa dirapikan kembali). Dedikasi, kerja keras, kemampuan diplomasi seluruh petugas yang terlibat, yaitu Dinas Pertanian, Penyuluh, Lurah, Camat, Babinsa, pengurus Gapoktan dan kelompok tani, dan sebagainya sangat membantu dalam mengatasi masalah konsolidasi lahan ini (serta masalah-masalah lain yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan PPM). Keberadaan pematang sawah tidak menjadi penghalang bagi operasional dan mobilitas alsin. Traktor roda 4 (TR4) bisa digunakan setiap
pada lahan petani, karena
petakan sawah tidak terlalu kecil, dan jika ada lahan sawah yang terlalu 9
sempit, bisa digunakan traktor roda 2 (TR2). Penggunaan TR4, Rice Transplanter (RT) atau Combine Harvester (CH) juga tidak mengalami kendala dengan tetap dipertahannya pematang sawah, karena ditemukan cara agar alsin bisa berpindah melewati pematang: (1) pematang dibuat lebih datar pada bagian yang akan dilalui alsin; atau (2) bagian dalam dan luar pematang diberi jerami sehingga bisa dilalui alsin. Alsin seperti Combine Harvester (CH)
juga bisa melewati selokan, setelah
sebelumnya selokan ditutup dengan jerami. Kreativitas petugas dan petani terus bermunculan untuk mengatasi masalah operasional alsin di berbagai kondisi lahan persawahan. Misalnya jika lahan terlalu lembek, lahan harus diairi agar CH bisa; jika lahan dalam, maka TR2 diberi pelampung agar tidak tenggelam. 3.1.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian Analisis Manfaat Usahatani Penggunaan alat dan mesin pertanian dalam suatu hamparan yang cukup luas memberikan
beberapa
manfaat
yaitu:
penghematan
waktu,
pengurangan
penggunaan tenaga kerja, pengurangan biaya, peningkatan produktivitas dan pengurangan kehilangan hasil. Dari segi waktu, penggunaan alsin menghemat waktu cukup banyak, sehingga tanam bisa dilaksanakan tanam serempak, pekerjaan olah tanah dan tanam selesai dalam 12 hari untuk 100 ha. Biasanya pekerjaan tersebut selesai lebih dari sebulan. Olah tanah dengan menggunakan TR2 bisa selesai 24 jam (3 hari) dengan tenaga kerja 6 HOK, dengan TR4 selesai 14 jam dengan tenaga kerja 1,5 HOK. Tenaga kerja pertanian (buruh tani) yang terbilang langka di lokasi PPM, menyebabkan petani harus mendatangkannya dari kabupaten sekitarnya seperti Bone. Masuknya alsin menjawab kelangkaan tenaga kerja di wilayah ini. Selain penggunaan alsin, PPM dilaksanakan dengan menerapkan teknologi usahatani padi sistem SRI, berupa : tanam bibit muda, 1-2 bibit/lubang, intermeten dan hemat air (genangan maksimal 3 cm dari biasanya sampai setinggi tanggul), pemupukan berimbang plus pupuk organik dan enam tepat, jajar legowo 2:1, pengawalan ketat
terhadap serangan OPT (antara lain : dosis dan aplikasi
penggunaan obat-obatan secara benar).
Dibanding dengan pertanian konvensional
dengan teknologi yang biasa dipraktikkan petani, maka dalam pelaksanaan kegiatan PPM terjadi peningkatan hasil dari 65-79 karung/ha @ 98-100 kg (6,37-7,9 ton/ha) 10
menjadi 80 karung/ha @ 115 kg (9,2 ton/ha), hasil ubinan bahkan menunjukkan hasil tertinggi sampai 11 ton/ha. Keterangan resmi dalam laporan pelaksanaan PPM, produksi meningkat dari 6,7 ton/ha menjadi 8,05 ton/ha. Pada saat panen, kehilangan hasil berkisar antara 10-12% bahkan bisa mencapai hingga 20%.
Berdasarkan sumber dari petugas Dinas TPH Soppeng,
pengusaha jasa combine harvester dan petani penggunaan combine harvester bisa menekan kehilangan panen hingga hanya tinggal 3%.
Dengan melihat fakta ini
dapat dikatakan bahwa penggunaan combine harvester membantu mengurangi kehilangan hasil pada saat panen dengan sangat nyata. Manfaat lain dari pertanian modern adalah berkurangnya biaya usahatani dan bertambahnya pendapatan petani. Seperti terlihat dalam Tabel 1 di bawah bahwa keuntungan usahatani atas biaya total bisa meningkat hingga Rp 5.991.725 per ha dengan mengaplikasikan mekanisasi pertanian dan cara budi daya padi yang direkomendasikan. Penambahan biaya pada PPM terjadi pada penambahan pupuk organik, penggunaan PPC/POC, pembuatan persemaian serta panen dan perontokkan. Sebaliknya penurunan biaya terjadi pada pekerjaan olah tanah (turun 17,14 persen) sebagai keuntungan diimplementasikannya penggunaan traktor roda 4. Penurunan biaya juga terjadi sebagai dampak digunakannya alsin transplanter yang disertai dengan
perubahan
sistem
persemaian,
sehingga
tahapan
kegiatan
menggaru/meratakan tanah dan cabut dan angkut bibit tidak ada lagi. Biaya pembelian pupuk anorganik juga turun sekitar 50% karena pada implementasi PPM penggunaan pupuk anorganik dikurangi. Penggunaan sarana produksi turun sebesar 11,7%. Tenaga kerja secara keseluruhan menurun sebesar 14,39%. Secara total biaya usahatani pada PPM lebih rendah dibandingkan dengan total biaya usahatani petani diluar PPM, selisih biaya mencapai Rp 1.199.225 (turun 14,39 persen). Hal ini terjadi karena adanya efisiensi dalam penggunaan pupuk Urea dan NPK, pengolahan tanah dan persemaian, serta pertanaman. Penerapan teknologi secara keseluruhan terbukti mampu meningkatkan produktivitas, dari 6,7 ton/ha menjadi 8,05 ton/ha. Pada tingkat harga yang sama, penerimaan meningkat 20,15%.
11
Tabel 1. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern (PPM) dan Konvensional di Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, MH 2014/2015 (Rp/ha) No.
Uraian
A
Biaya
I
Sarana produksi Benih (kg)
PPM (A)
non-PPM (B)
200.000
360.000
Perubahan (A-B) %
-44,44
Pupuk (kg) - Urea
180.000
360.000
-50,00
- NPK
345.000
690.000
-50.00
- PPC/POC (liter)
60.000
0
100,00
- pupuk kandang
500.000
0
100,00
Obat-obatan
225.000
300.000
-25,00
1.510.000
1.710.000
-11,70
Subtotal II
0
Tenaga kerja Olah tanah
0 1.450.000
1.750.000
-17,14
0
340.000
-100,00
Merapikan pematang
340.000
340.000
0
Persemaian
340.000
170.000
100,00
0
510.000
-100,00
575.000
900.000
-36,11
Pemupukan
85.000
170.000
-50,00
Penyiangan
340.000
340.000
0
Penyemprotan
170.000
170.000
0
Panen + perontokkan
2.857.750
2.502.500
14,20
Subtotal
6.157.750
7.192.500
-14,39
0
0
0
285.775
250.250
14,20
- sewa lahan/musim
3.000.000
3.000.000
0
Subtotal
3.285.775
3.250.250
1,09
Biaya tunai
7.443.525
8.812.750
-15,54
Biaya total
10.953.525
12.152.750
-9,87
B
Penerimaan
28.577.500
23.785.000
20,15
C
Keuntungan atas biaya tunai
21.133.975
14.972.250
41,15
Keuntungan atas biaya total
17.623.975
11.632.250
51,51
RCR atas biaya tunai
3,84
2,70
42,22
RCR atas biaya total
2,61
1,96
33,16
Menggaru/meratakan tanah
Cabut dan angkut bibit Tanam
III
Lainnya - pajak lahan/musim - pengairan (tadah hujan)
Sumber data : Hasil wawancara dengan petani di Kelurahan Appang, Kabupaten Soppeng, 2015
12
Analisis Manfaat Usaha Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada UPJA Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng. Dalam pengolahan lahan, traktor tangan (traktor roda-2) sudah banyak digunakan petani.
Pada proyek PPM ini diperkenalkan TR-4 untuk mempercepat
kegiatan pengolahan lahan. Kemampuan traktor tangan/kecil (roda 2) ini hanya dapat mengolah lahan sekitar
0,3 – 0,5 ha/hari. Sedangkan traktor besar bisa
mengolah tanah 2,5 ha per hari. Biasanya dalam pengolahan lahan selalu mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat pengolahan lahan awal menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya menggunakan traktor kecil. Kapasitas traktor tangan yang diusahakan pada UPJA Semangat Kelurahan Appanang adalah 60 hari per tahun.
Harga traktor tangan kecil yang digunakan
adalah Rp 20 juta dengan umur ekonomi 10 tahun, sehingga penyusutan dapat diperhitungkan sebesar Rp 126.650 per tahun per ha. Harga sewa traktor yang Rp berlaku di lokasi ini adalah Rp 1.200.000 per ha.
Analisis finansial usaha traktor
tangan di lokasi kajian disajikan pada Tabel 2. Total biaya usaha jasa traktor tangan adalah Rp 721.650, komponen biaya terbesar adalah biaya operator dan penyusutan. Dari penerimaan sewa sebesar Rp 1.200.000 per ha maka keuntungan yang diperoleh dari usaha penyewaan traktor tangan adalah Rp 478.350, dengan R/C rasio sebesar 1,66. Kondisi ini dianggap cukup menguntungkan. Tabel 2. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor tangan di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha) No.
Komponen
1 Biaya: 1.1. BBM
Satuan Volume
1.2. Oli dan pelumas
75.000
10,39
1.3. Pemeliharaan dan perawatan
50.000
6,93
1.4. Penyusutan
126.650
17,55
1.5. Operator
400.000
55,43
1.6.Total
721.650
100,00
1
7.000
Pangsa (%) 9,70
ha
10
Nilai (Rp) 70.000
2 Pendapatan dari Sewa 3 Keuntungan
liter
Harga (Rp.sat)
1.200.000
1.200.000
4 R/C rasio
478.350 1,66
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Semangat, Kab.Soppeng, 2015 13
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian modern, kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah lama penggunaannya secara luas di masyarakat, sehingga usahanya cukup menguntungkan.
Namun traktor besar belum lama diperkenalkan, walaupun
demikian petani sangat menyukainya karena dapat bekerja lebih cepat.
Kapasitas
kerja traktor roda–4 (TR4) di UPJA Semangat adalah 2,5 ha per hari, luas lahan 1 ha bisa dikerjakan dalam waktu 4 jam. Saat ini TR-4 yang dikelola UPJA Semangat baru bisa bekerja sebanyak 48 hari per tahun.
Dari struktur ongkos penyewaan TR-4 pada Tabel 3, total biaya
penyewaan TR-4 adalah Rp 839.000, komponen biaya terbesar adalah untuk operator (47,68%) dan biaya penyusutan (25,48%). Dengan pendapatan dari sewa sebesar Rp 1.200.000 per ha, diperoleh keuntungan Rp 361.000 per ha dengan R/C rasio 1,43. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh UPJA masih memungkinkan di wilayah UPJA tersebut atau di desa sekitar kecamatan domisili UPJA tersebut.
Membangun jaringan kerja merupakan upaya untuk
meningkatkan pengembangan UPJA, sehingga kapasitas alat dapat ditingkatkan. Tabel 3. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor roda - 4 di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha) No.
Komponen
1 Biaya: 1.1. BBM
Satuan
Volume
Liter
12
Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp)
7.000
Pangsa (%)
84.00
10,01
70.000
8,34
Unit
71.250
8,49
1.4. Penyusutan
-
213.750
25,48
1.5. Operator
-
400.000
47,68
1.6.Total
-
839.000
100,00
1.2. Oli dan pelumas 1.3. Pemeliharaan dan perawatan
2 Pendapatan dari Sewa 3 Keuntungan
ha
1
1.200.000
1.200.000
-
361.000
4 R/C rasio
1,43
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Semangat, Kab.Soppeng, 2015
Transplanter merupakan alsintan yang masih relatif baru diperkenalkan di Kelurahan Appanang, diusahakan untuk melayani penanaman padi pada
lahan
petani. Transplanter belum diusahakan oleh UPJA di kelurahan Appanang, beberapa
14
petani yang menggunakan kebanyakan petani anggota Gapoktan/Keltan yang hanya meminjam dan mengeluarkan biaya operasional seperti BBM dan operator.
Analisis Usaha Combine Harvester Pada UPJA Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng. Pengusahaan combine harvester cukup baik di Kelurahan Appanang, karena dianggap bisa mengatasi masalah panen. Kurangnya tenaga kerja akibat persaingan dengan usaha perkebunan, dimana upah pada usaha perkebunan lebih besar daripada upah usahatani padi, menyebabkan combine harvester sangat dibutuhkan. Analisis finansial pengusahaan combine harvester di Kelurahan Appanang (Tabel 4), diperoleh R/C rasio sebesar 2,30, berarti usaha tersebut cukup menguntungkan. Hal ini didukung oleh pernyataan pengurus UPJA bahwa keuntungan UPJA terutama diperoleh dari usaha penyewaan combine harvester. Komponen biaya terbesar (64,72%) adalah upah operator, yang biasanya terdiri dari 5–6 orang sebesar Rp 720.000. Keuntungan yang diperoleh adalah Rp 1.443.000 per ha. Tabel 4. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/Ha) Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp)
7.000
70.000
6,29
12.500
1,12
1.3. Pemeliharaan dan perawatan
100.000
8,99
1.4. Penyusutan
210.000
18,88
1.5. Operator
720.000
64,72
1.112.500
100,00
No. Komponen 1 Biaya: 1.1. BBM
Satuan Volume
liter
10
1.2. Oli dan pelumas
1.6.Total 2 Pendapatan dari Sewa 3 Keuntungan 4 R/C rasio
ha
1
2.556.000
Pangsa (%)
2.556.000 1.443.500 2,30
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Semangat, Kabupaten Soppeng, 2015
Wilayah pengusahaan combine harvester saat ini masih terbatas di sekitar Kelurahan Appanang. Kapasitas bisa diperluas dengan membangun jaringan kerja dengan petani di wilayah lain yang waktu panennya sedikit berbeda dengan wilayah Kelurahan Appanang. Kapasitas kerja combine harvester UPJA Semangat Kelurahan Appanang baru mencapai 60 hari kerja per tahun untuk melayani hamparan sawah 15
di kelurahan Appanang. Dengan kecepatan kerja 5 jam per ha dalam sehari bisa melayani 2 ha sehingga dalam 1 tahun bisa melayani kira-kira 120 ha.
Biaya sewa
diperhitungkan dengan natura yaitu 1 karung gabah per 10 karung yang berhasil di panen. Produksi gabah per hektar rata-rata 90 karung GKP dengan harga gabah Rp 3.550/kg.
Setelah diperhitungkan dengan rupiah, pendapatan dari sewa adalah Rp
2.556.000 per ha. Harga combine harvester yang diusahakan UPJA Kelurahan Appanang adalah Rp 280 juta, dengan umur ekonomis 10 tahun. 3.1.3. Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan Pengembangan Menurut Pedoman Umum maupun Pedoman Teknis keberadaan UPJA menjadi salah pertimbangan pemilihan lokasi contoh. UPJA adalah suatu lembaga ekonomi pedesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendapatkan keuntungan usaha, baik di dalam maupun di luar kelompok tani/gapoktan. Lokasi terpilih, harus memiliki UPJA dengan kelas UPJA Berkembang atau Professional, dan di Kelurahan Appanang UPJA Semangat masuk kelas UPJA Berkembang. UPJA Semangat didirikan tahun 1998.
Struktur kepengurusan UPJA terdiri
dari Manajer, Sekretaris dan Bendahara, yang membawahi operator traktor (enam orang), combine harvester (lima orang), dan rice transplanter (enam orang). Alsin yang dikelola ada tujuh jenis seperti yang terlihat dalam Tabel 5. Tabel 5. Alsin yang dimiliki UPJA Semangat saat ini (Agustus 2015) Jenis
Jumlah (unit)
Sumber pengadaan
Traktor roda 2
4
Swadaya UPJA
Traktor roda 4
1
Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Transplanter
3
Power weeder
1
Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM, 2 unit; dan APBD 1 unit APBD
Combine harvester
1
Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Pompa air
3
Swadaya UPJA
Power thresser
2
Swadaya UPJA
Alat angkut (Viar)
2
Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Peralatan bengkel
1 set
Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Semangat, Kab.Soppeng, 2015
Penggunaan alsin khususnya traktor roda 2 (hand tractor) sudah merupakan hal yang biasa bagi petani setempat. Combine harvester sudah digunakan oleh 16
petani di sekitar lokasi percontohan karena kekurangan tenaga panen. Rice
transplanter merupakan hal baru namun itu pun sudah pernah dilihat di desa lain. Hanya traktor roda 4 yang benar-benar baru bagi petani setempat. Awalnya petani setempat ragu untuk menggunakannya, karena hasil bajakannya berupa bongkahanbongkahan besar. Namun setelah dipraktikkan, membajak dengan traktor roda 4 dan diikuti dengan roda 2 dan hasilnya berupa lahan yang siap tanam, maka petani mulai tertarik untuk menggunakan traktor roda 4 (satu paket dengan TR2). Adopsi penggunaan traktor roda 4 juga didukung oleh fakta bahwa pekerjaan mengolah tanah bisa dilakukan secara lebih cepat dibandingkan dengan roda 2, dari biasanya 3 hari kerja/ha menjadi 4 jam/ha. Alsin yang belum dimiliki oleh UPJA adalah RMU. Pengguna jasa UPJA adalah petani setempat yang tergabung dengan beberapa kelompok dan semuanya berada di bawah Gapoktan Appanang. Aturan main dalam penggunaan alat belum ditentukan, baik untuk petani anggota Gapoktan Appanang maupun petani di luar Gapoktan Appanang. Menurut rencana, aturan main mengenai penggunaan jasa alsin yang dikelola UPJA baru akan dibahas dalam pertemuan UPJA musim berikutnya. Saat ini anggota Kelompok Tani/Gapoktan yang ingin menggunakan alsin, terutama transplanter, cukup meminjam dari UPJA, kecuali dalam penggunaan Combine Harvester (CH). Petani yang bersangkutan hanya membiayai operasional alsin yang digunakannya berupa BBM dan upah operator (jika menggunakan operator UPJA, namun ada juga petani yang mengoperasikannya sendiri). Khusus untuk Combine Harvester, ongkos sewanya berupa natura, untuk 10 karung GKP yang berhasil dipanen upahnya 1 karung GKP. Operator yang bekerja pada UPJA Semangat ada 17 orang, berdomisili di desa setempat, pekerjaan utama adalah bertani (penggarap). Umumnya operator belajar secara sendiri, mendapat bimbingan teori dari teknisi dan langsung praktik, rata-rata dua hari sudah mampu mengoperasikan alat. Mengingat operator sekaligus adalah petani, maka pekerjaan mengoperasikan alat dilakukan setelah pekerjaan di lahannya sudah selesai. Teknisi merupakan pelaku lain yang mendukung operasional UPJA.
UPJA
Semangat belum secara khusus memiliki teknisi, hanya saja di desa ini terdapat seorang teknisi Yanmar perwakilan Pare-pare, yang biasanya menjadi penghubung jika ada kerusakan. Kontak dengan pihak Yanmar bisa dilakukan per telepon, dan 17
direspons dengan mengirimkan teknisi 2-3 hari kemudian. Hampir semua alsin yang dikelola UPJA Semangat bermerk Yanmar, kecuali alat angkut. Tabel 6. Aturan Main dalam Penggunaan Jasa Alsin yang Dikelola UPJA Semangat, di Kabupaten Soppeng, 2015 Jenis alat
Penggunaan rutin oleh petani
Traktor roda 2
Percontohan Pertanian Modern Ongkos termasuk dalam paket TR 4
- Jika yang digunakan hanya TR2, sewa Rp 1,2-1,3 juta/ha plus biaya konsumsi operator 2 orang selama tiga hari (2 0rgx3 harixRp 75.000 (2 x mkn + rokok sebungkus) =Rp 450.000,-) - Jika digunakan satu paket dengan TR4 (menghaluskan hasil bajakan TR4), aturan main seperti di bawah. Traktor roda 4 TR4 biasanya digunakan satu paket (Solar 35 l x Rp 6700 sd Rp dg TR2, ongkos Rp 1,2-1,3 juta + 7000) + ongkos operator Rp biaya konsumsi (3 orang x 1 x 400.000/ha + konsum si makan + rokok sebungkus = operator TR4 1 orang, optr TR2 Rp150.000,-) 2 orang x Rp 50.000 (mkn 1 MH membajak dilakukan 2 kali: (1) kali plus rokok) =Rp150.000 TR 4 =4 jam/ha; (2) TR 4 diikuti TR2 =5 jam/ha MK hanya TR4 3-4 jam/ha Rice transplanter Hanya pinjam, biaya oprasional per Idem : (5 l bensin x Rp 7500) ha : (5 l bensin x Rp 7500) + + (ongkos oprator Rp 100.000 (ongkos oprator Rp 100.000 + + konsumsi Rp 100.000/hari) konsumsi Rp 100.000/hari) Combine harvester Natura, 10 karung keluar 1, 1= 8 keluar 1 , 1 karung = 115 kg karung=98-100kg. Rata-rata 50-70 (lebih berat karena lebih karung/ha. Karyawan (bagian bernas). Karyawan angkut karung, jahit karung, 7-8 Rp5000/karung, 7-8 orang/CH, orang/CH) dapat Rp5.000/karung, operator Rp3000/ karung, 1 operator Rp3000/karung, 5-6 orang/CH) ha/hari. Setiap total 3-4 bulan kerja/tahun di dalam dan luar desa Sumber : Hasil wawancara dengan petani, pengurus UPJA Semangat, dan pengurus Gapoktan Appanang, Kabupaten Soppeng, 2015
3.1.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran Sekitar 75 % petani di wilayah tersebut adalah penggarap. Kegiatan pengelolaan
usahatani
seperti
olah
tanah,
membuat
persemaian,
tanam, 18
pemeliharaan, pascapanen dan pemasaran dilakukan secara individu, baik petani pemilik penggarap atau penggarap. Penyediaan input dilakukan secara individu, khusus penyediaan pupuk dilakukan melalui RDKK kelompok tani/gapoktan, karena berlaku sistem distribusi pupuk tertutup. Dalam teknis pelaksanaan setiap tahap pekerjaan, petani mengerjakan sendiri dan atau dibantu oleh tenaga buruh perorangan (mencangkul merapikan galengan, memupuk, menyemprot) atau paket (olah tanah, tanam, panen, angkut). Pembuatan persemaian dilakukan di lokasi percontohan dan di Bosowa, karena tidak tercukupi dan tak terkejar waktunya jika hanya dilakukan di lokasi. Pembuatan persemaian di Bosowa sekaligus berfungsi sebagai pelatihan untuk petani penangkar di Bosowa. Penangkar Bosowa bisa menyediakan (menjual) bibit padi seharga rata-rata Rp 220.000/ha, varietas sesuai permintaan pembeli. Introduksi inovasi dalam persemaian yaitu digunakannya tray untuk tempat persemaian bukan lagi di atas lahan sawah, dan tanah yang menjadi media harus diayak. Persamaian berlangsung lebih singkat karena penanaman menggunakan bibit muda yaitu umur 12-20 hari (15-20 cm) dari biasanya 28-30 hari (25-30cm). Kendala yang dijumpai pada tahapan ini adalah kekurangan tray. Selain menambah
tray dengan cara meminjam, ditemukan solusi kreatif untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan membuat persemaian di atas plastik (terpal) yang dibatasi dengan kayu. Saat persemaian akan digunakan maka plastik yang berisi bibit yang sudah tumbuh tinggal dipotong seukuran lebar tray (panjangnya tidak harus sama). Penggunaan bibit muda awalnya membuat was-was petani, apalagi per lubang hanya tanam 1-2 bibit, berbeda dari kebiasaan petani 4-5 bibit. Petani khawatir bibit tidak bisa tumbuh dengan baik, dan hasilnya menjadi kurang maksimal.
Dalam kasus seperti ini aparat dan pendamping (tim teknis) harus
menyakinkan petani agar mau menerapkan inovasi ini. Kekurangan tenaga kerja pertanian juga terjadi pada langkanya buruh tanam. Kelompok tanam terbatas jumlahnya, harus antri. Petani, menggunakan jasa kelompok penanam yang harus dihubungi paling tidak sebulan sebelum tanam. Jika terlambat menghubungi kelompok tanam, bisa terlambat tanam dan bibit bisa terlalu
19
tua mencapai umur 29-30 hari. Introduksi alsin berupa rice transplanter merupakan solusi terhadap masalah kurangnya tenaga buruh tanam. Tabel 7.
Pelaku dalam Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran Secara Konvensional dan Percontohan Pertanian Modern di Soppeng, 2015.
Tahapan pekerjaan Pengelolaan usahatani - Olah tanah
Konvensional
Percontohan Pertanian Modern
Petani, menggunakan TR2 milik sendiri atau sewa
Dikoordinir oleh pelaksana perconcohan, menggunakan TR4 dan TR2 Dikoordinir oleh petugas (DinasTPH Soppeng) bekerjasama dengan Bosowa Dikoordinasikan oleh pelaksana percontohan, menggunakan rice transplanter, tanam bibit muda umur 10-12 hari, selesai 12 hari untuk 100 ha Petani, dibantu penanggung jawab kelompok kecil dan TNI
- Persemaian
Petani, dilakukan secara individu
- Tanam
Petani, menggunakan jasa kelompok penanam
- Pemeliharaan
Petani
Penyediaan Input - Benih
Petani, secara individu
- Pupuk - Obat-obatan - Alsin
Panen dan Pascapanen
Petani, melalui kelompok tani/gapoktan, swadaya. Petani, secara individu, swadaya Petani secara individu, menggunakan alsin milik sendiri atau sewa jasa UPJA atau swasta lainnya
Petani, melalui kelompok tani/gapoktan, bantuan terkait pelaksanaan percontohan PPM (bansos) Sda Sda UPJA, dengan alat milik UPJA dan bantuan dari Dit PSP. Kekurangan alsin dipenuhi dengan cara meminjam dari berbagai pihak di sekitarnya, dikoordinir oleh Dinas TPH Kabupaten Soppeng Dikoodinir oleh pelaksana percontohan, menggunakan combine harvester untuk panen, perontokkan, dan pengarungan. Angkut dilakukan oleh kelompok pengangkut.
Petani secara individu, dibantu jasa kelompok pemanen (kelompok Dros) untuk panen dan perontokkan, dan pengarungan. Angkut dilakukan oleh kelompok pengangkut. Pemasaran Petani menjual kepada Petani menjual hasil kepada pedagang. Pedagang adalah pedagang. Pedagang adalah ketua gapoktan, harga di ketua gapoktan, harga di atas atas harga pasar. harga pasar. Sumber : Hasil wawancara dengan petani, pengurus UPJA dan pengurus Gapoktan
20
Dalam hal pemasaran hasil, tidak terjadi perubahan sebelum maupun sesudah diterapkannya PPM. Petani menjual hasil dalam bentuk GKP kepada pedagang, di lahan segera begitu selesai dikarungi, hanya disisakan 5-10 karung. Pedagang adalah ketua gapoktan, harga di atas harga pasar. Pelaku lain yang terlibat dalam pengelolaan usahatani adalah gapoktan. Gapoktan
Appanang
memiliki
peran
dalam
mengusulkan,
menerima
dan
mendistribusikan bansos Program Optimasi Lahan dalam bentuk sarana produksi. Adapun sarana produksi yang diterima untuk kegiatan PPM seluas 100 ha terlihat pada Tabel 8 di bawah. Tabel 8. Jenis, Jumlah, dan Nilai Sarana Produksi untuk Kegiatan PPM Seluas 100 ha di Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015. Jenis sarana produksi Benih padi
Jumlah (kg) 2.500
Pupuk kompos/organik
100.000
600
50.000
Pupuk Urea
10.000
1.800
18.000
Pupuk NPK
15.000
2.300
34.500
PPC/POC
1.500
40.000
60.000
Pestisida
300
75.000
22.500
Total
Harga satuan (Rp/kg) 8.000
Nilai (Rp000) 20.000
205.000
Sumber data : hasil wawancara dengan pengurus Gapoktan Kel. Appanang, Kab. Soppeng, 2015
Dalam penggunaan sarana produksi, PPM mengintroduksi penggunaan sarana produksi yang lebih sedikit dibandingkan kebiasaan petani setempat. Perbedaan tersebut yaitu : (1) Benih : petani 40-45 kg/ha, PPM 25 kg/ha; (2) Pupuk Urea: petani 200-250 kg/ha, PPM 100 kg/ha, pupuk NPK: petani 300-350 kg/ha, PPM 150 kg/ha; (3) pestisida: petani senilai minimal Rp300.000/ha, PPM senilai Rp 225.00/ha. Namun pelaksanaan PPM juga mengintroduksi penggunaan pupuk organik dan PPC/POC, yang tidak digunakan atau digunakan dalam jumlah sedikit oleh petani. Khusus penggunaan pestisida ini, petani mendapatkan pelajaran dalam hal aplikasi obat-obat. Biasanya petani menggunakan beberapa jenis obat-obatan yang dicampur dan diaplikasikan secara bersamaan. Ternyata cara ini tidak benar karena zat aktif yang terkandung di dalamnya bisa tidak dapat bekerja secara efektif. Aplikasi yang benar adalah dengan menggunakannya satu demi satu, sesuai dengan jenis dan tingkatan serangan OPT yang terjadi. 21
Dalam kaitannya dengan UPJA, gapoktan memprioritaskan penggunaan UPJA setempat dalam penggunaan jasa alsin untuk kegiatan usahatani. Sebagai pengguna jasa alsin yang dikelola oleh UPJA Semangat, Gapoktan Appanang juga dilibatkan dalam pembahasan aturan main penggunaan alsin. Pelaku lain dalam kegiatan PPM adalah aparat dinas, tim teknis, dan penyuluh. Tantangan yang diemban oleh pelaku ini agar introduksi inovasi dapat diterima dan diadopsi oleh petani adalah mengubah perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan). Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan PPM terdapat beberapa inovasi yang berbeda dengan kebiasaan petani, sehingga petani perlu diyakinkan agar mau mengadopsi inovasi tersebut. Dalam hal memobilisasi massa, TNI berperan di dalamnya. Pedagang hasil bumi, merupakan pelaku yang berperan dalam pembelian gabah milik petani. Pedagang pembelian gabah petani adalah ketua gapoktan sendiri, yang dalam hal ini bertindak sebagai pribadi bukan atas nama gapoktan. Petani setempat biasanya menjual hasil panennya segera begitu selesai panen, dan hanya menyisakan 5-10 karung untuk persediaan konsumsi. Pedagang ini menjalin kerjasama dengan beberapa pengusaha penggilingan. Harga yang ditawarkan oleh pedagang ini untuk petani setempat sedikit di atas harga pasar, dan diharapkan selisih harga tersebut dapat dialokasikan untuk kas gapoktan, namun hal tersebut masih dalam taraf wacana belum dibahas dalam gapoktan. 3.2.
Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten Sukoharjo, Jawa tengah
3.2.1 Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan Secara umum, kepemilikan lahan yang sempit dan terpencar merupakan kendala umum bagi usaha tani tanaman pangan di Indonesia. Kualitas lahan dan lingkungan yang semakin terdegradasi tentunya akan berimplikasi pada rendahnya efisiensi usaha tani. Kendala lain adalah minimnya ketersediaan modal untuk mengelola usaha tani dan kurangnya pengetahuan petani dengan teknologi pertanian. Program pemerintah yang digunakan sebagai stimulus penyediaan saprodi berupa kredit pun sering bermasalah. Program kelompok corporate farming
22
yang terbingkai dalam program pertanian modern misalnya, belum secara optimal diharapkan mampu mengatasi permasalahan tersebut. Secara harfiah definisi konsolidasi adalah menyatukan seluruh sumber daya, peluang
dan
kekuatan
untuk
memenangkan
persaingan
jangka
panjang.
Memenangkan persaingan berarti menjadi yang terbaik dalam melayani kebutuhan konsumen/klien saat ini dan pada masa datang. Konsolidasi dilakukan dengan mengevaluasi kondisi usaha saat ini, diteruskan dengan pengembangan strategi usaha jangka panjang. Strategi tersebut dibuat lebih terperinci dalam bentuk perencanaan dengan sasaran bergerak ke jangka menengah dan panjang yang meliputi pengembangan sistem manajemen agar perencanaan dan implementasi bisa sejalan, memberikan perioritas pada pengembangan yang dilakukan secara terus menerus, pengembangan pasar dilakukan sistimatis dan efisiensi menjadi acuan prestasi. Konsolidasi aplikasinya dalam bidang pertanian, seorang penyuluh dapat memberikan konsep mengenai konsolidasi lahan petani yang rata-rata kecil. Dengan luas lahan petani yang kecil ini maka jika di hitung untung dan ruginya maka dari usahataninya hasilnya petani akan rugi karena biaya operasional yang di keluarkan untuk saprotan relatif besar. Oleh karena itu, untuk efisiensi biaya operasional maka perlu ada upaya konsolidasi lahan. Kepemilikan tanah petani yang kecil tersebut setelah dikonsolidasi maka akan terbentuk lahan yang luas, petani harus bersatu dan menjalankan usaha bersama untuk mencapai tujuan bersama. Model konsolidasi tampaknya mumpuni untuk dijadikan sebagai alternatif strategi pemberdayaan petani, namun dalam implementasinya patut berhati-hati dengan perencanaan yang matang. Konsolidasi lahan yang diprogramkan juga seyogyanya bersinergi dengan penerapan mekanisasi pertanian, sehingga bingkai pengembangan pertanian modern dapat tercapai. Penerapan pertanian modern yang menitikberatkan kepada penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) atau mekanisasi diharapkan menjadi solusi tepat dapat diterapkan. Selain itu, dengan konsep pertanian modern dapat menjadi momentum menarik minat pemuda mengingat tenaga kerja terutama pada kalangan generasi muda di sektor pertanian semakin minim. Tenaga kerja di bidang pertanian, kini didominasi orangtua yang berusia lebih dari 50 tahun. Alasan 23
utama regenerasi tak berjalan, karena menjadi petani bukanlah pekerjaan impian kalangan muda. Apalagi ada kesan kotor dan bau lumpur. Jadi tidak heran, pekerjaan petani makin ditinggalkan. Peluang pengembangan mekanisasi pertanian, bukan sebatas kondisi tenaga kerja di bidang pertanian yang makin berkurang, tapi ada faktor lainnya. Alsintan memiliki keunggulan secara teknis maupun ekonomis. Selain itu, kemampuan industri
dalam
negeri
memproduksi
alsintan
yang
bermutu
juga
semakin
berkembang, adanya dukungan pemerintah dalam pengembangan alsintan, dan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan dalam pengembangan alsintan. Sementara itu, prasyarat pengembangan mekanisasi pertanian adalah mencakup:
pendataan
penyebaran
alsintan
secara
akurat,
adanya
fasilitas
penyediaan alsintan, konsolidasi lahan pertanian, dan kemudahan akses perbankan. Selain itu, dukungan kebijakan industri alsintan, perdagangan alsintan, dan dukungan terhadap pengawasan, peredaran, serta penyuluhan alsintan. Umumnya untuk fasilitas penyediaan alsintan ini dapat melalui bantuan dari pemerintah pusat/daerah, dan optimalisasi kinerja UPJA. Penerapan PPM di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari merupakan proyek percontohan pertanian yang diintegrasikan dengan program mekanisasi yang bersifat penuh (traktor, transplanter, dan harvester). Namun dalam pelaksanaannya baru terintegrasi dalam hal praktek pengolahan tanah dan tanam serta sebagian ada konsolidasi lahan dengan meniadakan galengan sawah. Terkait dengan pertanian modern tersebut, petani pernah melakukan pengecilan galengan sawah, dalam hal ini galengan sawah masih diperlukan agar saat pengairan satu petakan sawah dapat optimum pengenangannya. Pola pelepasan/pengecilan galengan sawah per-3 ha, pada beberapa petani pemilik lahan, sekitar 1-2 orang yang mengelola usahatani tersebut dan petani lainnya secara konsep akan diberikan mata pencaharian lainnya nonusahatani, dan masalah kesiapan infrastruktur irigasi dan terkait konsolidasi lahan perlu dipersiapkan baik oleh pihak PU dan BPN (Badan Pertanahan Nasional). Adapun dalam hal pola pengelolaan secara corporate dalam konsep konsolidasi, dimana beberapa petani akan diberikan mata pencaharian nonusahatani dalam prakteknya sangat sulit karena kebiasaan petani dan juga keterampilan yang dimiliki petani. Selain itu, permodalan juga masih menjadi kendala untuk pelaksanaannya. 24
Permasalahan sosial lainnya tentu akan muncul ketika pengelolaan lahan dengan meniadakan galengan, sementara masalah admistrasi lahan secara baik belum dipersiapkan oleh BPN untuk keperluan tersebut dan juga dukungan infrastruktur irigasi yang belum sepenuhnya memadai untuk kegiatan usahatani untuk konsolidasi lahan. Sementara itu, untuk pemeliharaan, panen dan penjualan hasil masih dilakukan oleh masing-masing petani. Luas program pertanian modern di Sukoharjo seluas 100 ha, ditambah dengan swadaya seluas 70 ha. Fasilitas yang digunakan meliputi 2 unit traktor roda 4, 1 unit traktor roda 2, 2 unit combine harvester, 3 unit rice
transplanter dan 2 unit UPPO. Permasalahan yang dihadapi pada saat ini terkait implementasi program pertanian modern tersebut adalah: (1) Masih terdapat kekurangan beberapa alsintan seperti: traktor, transplanter dan combine harvester, (2) Terdapatnya kekurangan dafog/tray dari unit transplanter, dimana kebutuhan per ha sekitar 200-250 tray, dan harga tray cukup mahal sebesar Rp 35.000/unit dan
jumlah tray yang dimiliki masih terbatas, (3) Masih terbatasnya sarana
pendukung seperti gudang alsintan dan perbengkelan, (4) keterbatasan RMU yang ada didesa percontohan, dan (5) Terbatasnya sarana untuk menyimpan gabah yang dihasilkan, sehingga dibutuhkan gudang penyimpanan gabah hasil panen. Jika permasalahan tersebut kurang mendapat penangan secara baik, maka idealitas dan harapan penerapan konsep pertanian modern tidak akan berjalan baik. 3.2.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian Analisis Manfaat Usahatani Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa yang dimaksud Pertanian Modern di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo adalah belum full mechanized pada semua tahapan mulai dari pengolahan lahan sampai dengan panen, akan tetapi baru terbatas pada pengolahan lahan, tanam dan panen. Selain itu, penggunaan mesin panen (combine harvester) juga tidak dapat dilaksanakan pada musim MH atau MT1. Oleh karena itu, membandingkan manfaat adanya program Pertanian Modern dilakukan pada MT2 atau MK1 supaya informasi
25
penggunaan combine harvester dapat tertangkap. Perbandingan usahatani padi pada MT2 antara pertanian Modern dan Konvensional disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Usahatani Padi Sawah Pertanian Modern dan Konvensional di Desa Delanggu, Kecamatan Tawangsari, Kab. Sukoharjo MT II 2015 (Rp/ha) No
Uraian
PPM (A)
non-PPM (B)
Perubahan (A-B) %
1 Faktor Produksi : 405.000
-100,00
1.325.000
1.325.000
0
62.000
62.000
0
1.150.000
937.500
22,67
a. Traktor
1.000.000
1.000.000
0
b. Transplanter
3.000.000
-
c. Combine Harvester
2.000.000
-
a. Benih
-
b. Pupuk an organik c. Pupuk organik d. Pestisida 2 Tenaga Kerja :
d. Tanam
-
2.000.000
-100,00
e. Penyiangan
-
960.000
-100,00
1.200.000
0
5.300.000
-100,00
3.800.000
3.800.000
0
240.000
240.000
0
3 Total Biaya
13.777.000
17.229.500
-20,04
4 Nilai Produksi
48.750.000
42.500.000
14,71
5 Keutungan
34.973.000
25.270.500
38,39
3,54
2,47
43,32
f. Pemupukan
1.200.000
g. Panen
-
3 Biaya Lain : a. Sewa lahan b. PBB
6 R/C Rasio
Sumber data : Hasil wawancara dengan kelompok UPJA desa Dalangan, Kab. Sukoharjo, 2015
Sebelumnya akan dijelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan komponen biaya usahatani antara pertanian modern dan nonmodern yang menyebabkan perbedaan efisiensi biaya dan pendapatan. Perbedaan tersebut di antaranya adalah : (a) pada usahatani pertanian modern, petani tidak lagi melakukan menyemai dan mengadakan benih sendiri, tetapi komponen biaya benih sudah masuk kedalam biaya transplanter, sementara pada pertanian nonmodern masih menggunakan benih dan membuat perbenihan sendiri, (b) pada pertanian modern menggunakan herbisida untuk
memberantas
rumput,
sedangkan
pada
nonmodern masih
menggunakan tenaga kerja penyiangan, (c) pada pertanian modern menggunakan
tranplanter untuk kegiatan tanam, sedangkan pada nonmodern menggunakan 26
tenaga manusia/upahan pada kegiatan tanamnya, dan (d) pada usahatani modern menggunakan alat combine harvester dalam kegiatan memanen, sehingga petani memperoleh harga yang lebih baik dan kualitas gabah yang bagus serta penyusutannya kecil, sedangkan pada nonmodern tidak (sebagian ditebaskan) dan menggunakan tenaga manusia dengan upah bawon. Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi pada pertanian modern dengan menggunakan alat mekanisasi pertanian lebih efisien dan lebih menguntungkan, dengan indikasi sebagai berikut (per musim tanam): (a) total biaya produksi pada pertanian modern lebih rendah yakni Rp13,7 juta/ha, sementara pada pertanian nonmodern mencapai Rp17,2 juta/ha, (b) nilai produksi pada pertanian modern mencapai Rp 48,75 juta/ha, sedangkan pada non modern hanya Rp42,50 juta/ha, dan (c) tingkat keuntungan pada pertanian modern lebih tinggi (Rp34,97 juta/hektar) dibanding dengan nonmodern (Rp 25,3 juta/hektar). Faktor-faktor yang menyebabkan efisiensi biaya; (a) sebagaimana telah diungkapkan bahwa pada pertanian modern petani tidak menangani pengadaan benih dan perbenihan, biaya sudah termasuk di dalam biaya sewa Transplanter yaitu sebesar Rp3 juta/hektar, sementara pada pertanian konvensional selain harus mengeluarkan biaya benih sebesar Rp405 ribu juga petani harus mengeluarkan biaya tanam sebesar Rp2 juta/hektar, (b) biaya penyiangan lebih efisien dari pada menggunakan biaya tenaga kerja penyiangan, (c) penggunaan combine harvester disamping lebih cepat juga lebih murah dibandingkan nilai bawon. Sistem bawon menggunakan bayaran dalam bentuk natura dengan perbandingan 8 : 2, dan jika dihitung maka biaya bawon dapat mencapai Rp5,3 juta per hektar. Di samping terjadi efisiensi dalam penggunaan biaya produksi, juga pada pertanian modern jumlah produksi dan kualitas produksi lebih baik. Kenaikan kuantitas produksi lebih disebabkan karena kehilangan panen menjadi rendah sehingga produksi meningkat, sedangkan kualitas panen karena menggunakan
combine harvester gabah langsung di-blower sehingga kebernasan gabah menjadi lebih bagus, konsekuensi lebih jauh harga gabah dari pertanian modern dihargai oleh pembeli lebih tinggi Rp300-500 per kg.
27
Analisis Manfaat Usaha Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada Kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari- Sukoharjo UPJA Desa Dalangan memiliki 2 unit traktor besar dan 3 unit traktor kecil yang diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Dalangan. Untuk mengolahan lahan 1 traktor besar dapat mengolah lahan sekitar 3 ha/hari, dan untuk traktor kecil dapat mengolah lahan sekitar
1,5 ha/hari. Biasanya dalam
pengolahan lahan selalu mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat pengolahan lahan awal
menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya
menggunakan traktor kecil. Untuk mengetahui kelayakan usaha traktor ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha traktor besar. Sesuai dengan data dan spesifikasi traktor yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Keputusan Peraturan Desa sesuai rapat UPJA tentang penetapan wilayah kerja traktor yaitu seluas 60 hektar sawah layanan per unit traktor per musim tanam, (b) harga traktor tangan adalah Rp 285 juta/unit, (c) umur ekonomis traktor adalah 10 tahun dan masa olah tanah adalah 3 kali per tahun yaitu selama 20 hari selama 3 kali musim tanam, (d) Nilai sisa traktor setelah 10 tahun adalah Rp 57 juta (20%) dan (e) harga sewa traktor sebesar Rp 1 juta/ha. Pada Tabel 10 disajikan analisis finansial usaha traktor tangan di lokasi kajian. Tabel 10. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor Tangan di UPJA Desa Dalangan Kec. Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015 (Rp/ha) No. Komponen 1
2 3 4
Biaya: 1.1. BBM 1.2. Oli: a. Mesin b. Gemuk/stempet 1.3. Spare part & service 1.4. Penyusutan 1.5. Operator 1.7.Total Pendapatan dari Sewa Keuntungan R/C rasio
Satuan
Volume Harga/satuan (Rp)
Nilai (Rp)
Pangsa (%)
Liter
10
70.000
112.500
11,32
Liter Kg
0,5
40.000
20.000 2.000
3,23 0,32
Unit
27.778
4,49
Ha -
126.667 372.000 618.445 1.000.000 381.555 1,62
20,48 60,15 61,84
1
1.000.000
38,16
Sumber data : Hasil wawancara dengan Ketua UPJA Desa Dalangan Kab. Sukoharjo, 2015 28
Nilai sewa traktor sebesar Rp 1 juta/ha, dan total biaya usaha jasa traktor senilai Rp 618.445/ha atau sebesar 61,84% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp 381.555 ribu/ha atau sekitar 38,16% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar 1,62. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah untuk operator mencapai 60,15% dari total penerimaan dan urutan kedua dan ketiga adalah penyusutan sebesar 20,48% dan biaya BBM sebesar 11,32%. Berdasarkan informasi dari kelompok UPJA, bahwa luas lahan layanan yang saat ini sudah cukup ideal, karena pengembalian investasi traktor dapat mencapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu lima tahun maka luas layanan pengolahan lahan minimal harus sekitar 25 hektar per musim tanam dengan asumsi semua faktor input (BBM, Oli dan Spare part adalah konstan). Di lokasi kajian, setelah usia traktor 10 tahun, jika traktor dijual maka harganya masih cukup tinggi sekitar 20% dari harga pembelian awal. Mesin traktor bekas dapat diperbaiki lagi atau mesinnya dapat digunakan untuk kepentingan lainnya. Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian modern, kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah lama penggunaannya secara luas oleh masyarakat, sehingga dalam perkembangannya rasio pengelolaan traktor dengan luas lahan yang ada untuk diolahnya di lokasi kajian saat ini masih ideal. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh UPJA tentu masih dapat dilakukan di wilayah UPJA atau di desa sekitar kecamatan domisili UPJA tersebut.
Analisis Usaha Transplanter pada kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari-Sukoharjo UPJA Desa Dalangan memiliki tiga unit rice transplanter yang diusahakan untuk melayani penanaman padi pada lahan petani di Desa Dalangan. Data dan spesifikasi
transplanter kelompok UPJA sebagai berikut: (a) situasi dan kondisi ketebalan lumpur yang ada di sawah desa Dalangan, sehingga luas layanan yaitu 20 hektar sawah layanan per musim per unit transplanter, (b) harga transplanter adalah Rp 75 juta, (c) umur ekonomis transpalnter adalah 10 tahun dan masa tanam adalah 3 kali per tahun, yaitu periode waktu tanamnya 10 hari efektif/musim dan terdapat 3 kali musim tanam, (d) Nilai sisa transplanter setelah 10 tahun adalah 10% (Rp 7,5 29
juta) dan (e) harga sewa transplanter sebesar Rp 3 juta/ha
(termasuk benih
ditanggung pengelola tranplanter). Berikut pada Tabel 11 disajikan analisis finansial usaha transplanter di lokasi kajian. Tabel 11. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa Dalangan, Kec. Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015 (Rp/ha) No. 1
Komponen
Volume
Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp)
Pangsa (%)
Kg
45
10.000
450.000
15,00
HOK
1
50.000
50.000
1,67
Biaya penyediaan Benih : 1.1. Benih Padi 1.2. Tenaga pembenihan
2
Satuan
Biaya: 2.1. BBM
0,00 Liter
10
7.000
2.2. Oli: a. Mesin b. Gemuk/stempet
Liter
0,16
Kg
0,05
40.000
70.000
2,33
0
0,00
6.400
0,21
2,493
0,00
6.667
0,22
170.833
5,69
Unit
30.000 6667
2.4. Penyusutan
-
170833
2.5. Operator
-
972.000
32,40
2.7.Total
-
1.725.902
57,53
3.000.000
100,00
1.274.098
42,47
2.3. Spare part & service
3
Pendapatan dari Sewa
4
Keuntungan
5
R/C rasio
Ha
1
-
3.000.000
1,74
Sumber data : hasil wawancara dengan Ketua UPJA desa Dalangan kab. Sukoharjo, 2015
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa transplanter Rp 3 juta/ha, total biaya usaha jasa transplanter
senilai Rp 1,72 juta/ha atau
sebesar 57,53% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp 1,27 juta/ha atau sekitar 42,47% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar 1,74. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah biaya operator mencapai 32,40% dari total penerimaan dan biaya pengadaan benih mencapai 15,00%, sedangkan biaya penyusutan adalah urutan ketiga yaitu sebesar 5,69%. Menurut informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan sekitar 20 ha/musim tanam yang dinilai memadai, karena pengembalian investasi
transplanter dapat mencapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun, luasan areal yang
30
dilayani transplanter minimal mencapai BEP adalah sekitar 19 ha/musim tanam. Namun dalam pengembangan tranplanter di Sukoharjo masih terdapat kendala yang dihadapi antara lain: (a) jenis dan kondisi lahan yang memungkinkan digunakan
transplanter pada MH dan MK, (2) retensi tenaga kerja manual tanam masih cukup tinggi, karena mereka mengharapkan keikutsertaan dalam panen. Upaya untuk memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah mengembangkan wilayah layanan ke luar desa dari lokasi UPJA tersebut berada. Secara umum pada penggunaan alat transplanter dalam rangka mendukung pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman sangatlah penting. Namun, jumlah alat trasplanter masih terbatas jumlahnya, sehingga rasio luas lahan untuk diolahnya terhadap jumlah alat transplanter di lokasi kajian masih berpeluang untuk ditingkatkan jumlah alatnya.
Analisis Usaha Combine Harvester pada kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari-Sukoharjo UPJA Desa Dalangan memiliki 1 unit Combine Harvester ukuran besar (merek Crown)dan 2 unit miniCombine Harvester (ukuran kecil merek Quick)yang diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Dalangan. Untuk mengetahui kelayakan usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha power thresher. Sesuai dengan data dan spesifikasi Combine Harvester ukuran besar yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang wilayah yang memungkin kondisi lahannya dapat dilayani dalam panennya oleh
Combine Harvester adalah bisa seluas 60 hektar sawah layanan per unit Combine Harvester per musim, (b) harga Combine Harvester ukuran besaradalah sekitar Rp 400 juta/unit, (c) umur ekonomis Combine Harvester adalah sekitar 10 tahun dan masa panen adalah 3 kali per tahun dimana periode kerja Combine Harvester dalam satu kali musim panen sekitar 30 hari, (d) Nilai sisa Combine Harvester setelah 10 tahun adalah Rp 40 juta (10%) dan (e) harga sewa Combine Harvester sebesar Rp 2 juta/ha. Pada Tabel 12 disajikan analisis finansial usaha Combine Harvester di lokasi kajian. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa Combine
Harvester Rp 2 juta/ha, total biaya usaha jasa Combine Harvestersenilai Rp 1,21 juta/ha atau sebesar 60,40% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha Combine 31
Harvester sebesar Rp 791,93 ribu/ha atau sekitar 39,60% dari penerimaan sertaperolehan R/C rasio sebesar 1,66. Komponen terbesar dari biaya usaha
Combine Harvester adalah biaya operator mencapai 38,60% dari total penerimaan, urutan biaya selanjutnya adalah biaya penyusutan sekitar 10,00% dan biayaspare part sekitar 7,20%. Pada kegiatan usaha jasa Combine Harvester ini (UPJA), setiap petani yang menggunakan
jasa
panen
alsintan
Combine
Harvester
harus
membayar
(mengeluarkan) dengan uang tunai Rp 2 juta/ha.Dari hasil tersebut setelah dikurangi biaya BBM, maka sekitar 40% dialokasikan untuk operator dan yang membantu operasional Combine Harvester dan sisanya 60% untuk bagian UPJA tersebut. Tabel 12. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Desa Dalangan, Kec. Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015 No. 1
Komponen
Satuan
Volume
Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp)
Pangsa (%)
Biaya: 1.1. BBM
Liter
10,00
7.000
70.000
3,50
a. Mesin
Liter
0,25
60.000
15.000
0,75
b. Hidraulik
Liter
0,03 0,02
60.000 30000
2.000
1.2. Oli:
c. Gemuk/stempet
Kg
5.000
0,25
1.3. Spare part & service
Unit
144.074
7,20
1.4. Penyusutan
-
200.000
10,00
1.5. Operator
-
772.000
38,60
1.7.Total
-
1.208.074
60,40
2.000.000
100,00
791.926
39,60
2
Pendapatan dari Sewa
3
Keuntungan
4
R/C rasio
Ha -
1
2.000.000
1,66
Sumber data : Hasil wawancara dengan Ketua UPJA desa Dalangan kab. Sukoharjo, 2015
Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan
Combine Harvester dapat mencapai 60 ha dalam per musim panennya, dan per tahun dapat mencapai antara 150-180 ha. Idealnya combine harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Dengan demikian penggunaan mesin panen combine harvester di Sukoharjo pada umumnya masih berpeluang untuk ditingkatkan lagi, atau
32
penambahan mesim combine harvester masih memungkinkan di kalangan UPJA yang ada atau melalui penumbuhan UPJA baru. 3.2.3. Kelembagaan Pengembangan Alsintan Pada Lahan Pengembangan
Perkembangan Pertanian dan Dukungan Mekanisasi Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sukoharjo (2015), diketahui bahwa selama kurun waktu 2011-2014 luas panen padi sawah mengalami peningkatan pesat sebesar 8,17 %/tahun, yaitu dari 35,08 ribu ha pada tahun 2011 menjadi 49,03 ribu ha pada tahun 2014. Akibat peningkatan luas panen tersebut, produksinya meningkat sebesar 12,19 %/tahun, yaitu dari 185,65 ribu ton pada tahun 2011 menjadi 327,18 ribu ton pada tahun 2013 dan sedikit menurun menjadi 310,75 ribu ton pada tahun 2014. Sementara produktivitasnya selama kurun waktu tersebut mengalami peningkatan sebesar 5,31 %/tahun, yaitu dari 5,29 ton/ha pada tahun 2011 dan menjadi 6,34 ton/ha pada tahun 2014. Oleh karena itu, selama kurun waktu 2011-2014 peningkatan produksi padi sawah di Sukoharjo lebih dominan terdorong karena peningkatan luas panennya, hal ini sebagai mana terlihat tren peningkatan luas panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan tren peningkatan produktivitasnya (Tabel 13). Tabel 13. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Sukoharjo, 2011-2014 Tahun 2011 2012 2013 2014 r (%/tahun)
Luas Panen (Ha) 35.082 52.041 47.783 49.028 8,17
Produksi (Ton) 185.653 346.039 327.182 310.753 12,19
Produktivitas (Ton/ha) 5,29 6,65 6,85 6,34 5,31
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sukoharjo (2015).
Bila ditelusuri atas luas baku lahan sawah berdasarkan irigasinya, maka diperoleh informasi bahwa dari total baku sawah 20.814 ha sebagian besarnya (70,87%) merupakan lahan sawah irigasi teknis yang dapat ditanami padi 2-3 kali dalam setahun. Sementara lahan sawah yang berpengairan irigasi ½ teknis seluas 2.161 ha (10,38%) dan beririgasi sederhana seluas 1.895 ha (9,10%) (Tabel 14), dimana kedua jenis lahan yang berpengairan irigasi ½ teknis dan sederhana
33
umumnya telah dapat ditanami padi dua kali, dan pada musim ketiga ditanami sayuran atau palawija. Selanjutnya untuk lahan tadah hujan luasnya mencapai 2.007 ha (2,64%), pada saat musim hujan umumnya ditanami padi, selanjutnya jika air hujan masih memadai maka petani masih bisa menanam padi lagi dan jika tidak memadai maka petani akan menanam sayuran atau palawija dimusim keduanya. Tabel 14. Luas Baku Lahan Sawah Berdasarkan Kondisi Irigasinya untuk Pertanaman Padi di Kabupaten Sukoharjo, 2014. Uraian 1. Teknis 2. ½ Teknis 3. Sederhana 4. Tadah Hujan Total
Luas (Ha) 14.751 2.161 1.895 2.007 20.814
Persen (%) 70,87 10,38 9,10 9,64 100,00
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo (2015).
Perkembangan mekanisasi pertanian di Kabupaten Sukoharjo cukup pesat, salah satunya ditandai oleh semakin berkembangnya penggunaan alat mesin pertanian antara lain untuk pengolahan lahan, tanam dan panen hasil pertanian. Berdasarkan data hingga posisi tahun 2014, jumlah traktor yang ada mencapai 1.306 unit yang tersebar di 12 kecamatan. Traktor tersebut mencakup roda 2 dan roda 4, namun sebagian besar traktor tersebut adalah traktor roda 2 yang lebih fleksibel dalam penggunaannya terutama pada lahan sawah dengan tofografi yang berteras. Aktivitas tanam pun di Sukoharjo saat ini telah mulai menggunakan alat transplanter yang jumlahnya masih terbatas yaitu sekitar 5 unit khususnya yang terdapat pada UPJA. Karena itu, penggunaan alat tanam dengan caplak dan manual nantinya akan semakin menurun. Selanjutnya untuk peralatan panen padi sawah saat ini dilakukan dengan menggunakan power thresher dan mini combine harvester. Penggunaan power
thresher pada panen padi sawah di Kabupaten Sukoharjo masih tinggi, dengan jumlah tahun 2014 hingga mencapai 1.639 unit (Tabel 15). Adapun combine
harvester di Sukoharjo hingga tahun 2014 belum tercatat, dan pada akhir tahun 2014 combine harvester yang bersumber dari bantuan pemerintah mulai ada di Sukoharjo. Jumlah combine harvester hingga awal 2015 berjumlah 4 unit, yaitu 2 unit ukuran besar (terdapat di UPJA Bagyo Mulyo di Desa Dalangan-Tawangsari dan di UPJA Ngupoyo Makmur di Desa Dukuh-Mojolaban) dan 2 unit ukuran kecil yang 34
terdapat di UPJA Bagyo Mulyo. Masih terbatasnya penggunaan combine harvester di Kabupaten Sukoharjo antara lain disebabkan kondisi lahan yang ada, dan harga combine harvester pun cukup mahal sekitar Rp 400 juta/unit untuk ukuran besar. Berdasarkan hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap alsintan diperoleh informasi bahwa rasio luas lahan terhadap traktor sekitar 16:1. Artinya setiap traktor yang ada (sebagian besar merupakan traktor roda 2) harus dapat melayani lahan sekitar 16 ha (Tabel 16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah traktor yang ada di Kabupaten Sukoharjo sudah cukup ideal. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal traktor roda 2 agar tercapai kondisi impas minimal dapat mengolah lahan antara 11-15 ha/tahun. Saat ini di Kabupaten Sukoharjo semua lahan telah diolah secara mekanisasi, yaitu dengan menggunakan traktor. Tabel 15. Jumlah Alat dan Mesin Pertanian di Kabupaten Sukoharjo, 2014 dan 2015 (Unit). Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Weru Bulu Tawangsari Sukoharjo Nguter Bendosari Polokarto Mojolaban Grogol Baki Gatak Kartasura Jumlah
Traktor 79 66 82 141 104 180 142 149 106 131 88 38 1.306
Jenis Alsintan (Unit) Transplanter Tresher 58 0 18 0 39 4 82 0 338 0 395 0 350 0 248 1 511 0 189 0 163 0 131 0 1.639 5
RMU 30 19 42 40 25 43 96 65 21 53 32 4 470
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo (2015).
Lebih lanjut hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap transplanter sekitar 4.163: 1. Artinya setiap transplanter yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 4.163 ha (Tabel 16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah
transplanter yang ada di Kabupaten Sukoharjo masih sangat kurang. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal 35
transplanter tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan tanam sekitar 32 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan tanam padi sawah di Sukoharjo masih dominan menggunakan alat tanam seperti dengan caplak dan secara manual kegiatan tanamnya. Tabel 16. Rasio Luas lahan dan Jumlah Alsintan di Kabupaten Sukoharjo, 2014. Rasio Luas Lahan: Alsintan 1. 2. 3. 4.
Lahan : Traktor Lahan : Transplanter Lahan : Power thresher Lahan: Combine Harvester
Angka Rasio (ha: unit) 16: 1 4.163: 1 13:1 5.203:1
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sukoharjo, diolah (2015).
Rasio luas baku lahan terhadap alat panen power thresher sekitar 13:1. Artinya setiap power thresher yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 13 ha (Tabel 16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah power thresher yang ada di Kabupaten Sukoharjosudah sangat cukup. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian PSEKP di Sulawesi Selatan (2015) yang menyatakan bahwa areal power thresher dalam setahun (rata-rata sekitar 2 ha/hari dan masa tanam/musim sekitar 15 hari) sehingga dapat bekerja ideal seluas 30 ha/musim. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Sukoharjo sebagian besar menggunakan power thresher, dan sebagian kecil sesuai dengan kondisi dan kesesuaian lahannya telah menggunakan alat panen mini combine harvester. Sementara
jika dibuat rasio luas baku lahan terhadap alat panen combine
harves tersekitar 5.203:1. Artinya setiap combine harvester yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 5.203 ha (Tabel 16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah combine harvester yang ada di Kabupaten Sukoharjo masih sangat kurang. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal combine harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Sukoharjo masih sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester, dan sebagian besar panen dengan power thresher dan terlebih dengan memakai sistem tebasan.
36
Pengembangan Pertanian Melalui Kelembagaan Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA) Seperti telah diuraikan pada pembahasan di lokasi penelitian lainnya, Kelembagaan UPJA sesungguhnya telah lama berkembang di Indonesia, tetapi baru secara formal berkibar sejak dikeluarkannya Permentan No.25/2008 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian. Dengan dikeluarkannya Permentan ini, Pemerintah Daerah diberi mandat untuk membina dan memfasilitasi UPJA yang terdapat di daerahnya masing-masing, sehingga UPJA tersebut dapat menuju ke arah kelembagaan yang profesional. UPJA adalah suatu lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendapatkan keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/ gapoktan. UPJA di Kabupaten Sukoharjo secara kelembagaan jumlahnya masih terbatas 3 UPJA, yaitu UPJA Bagyo Mulyo di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari, UPJA Ngupoyo Makmur di Desa Dukuh, Kecamatan Mojolaban dan UPJA Ngulir Budi di Desa Krajan, Kecamatan Weru. Salah satu UPJA yang dikaji adalah UPJA Bagyo Mulya yang berada di Desa Dalangan,Tawangsari yang berdiri sejak tahun 2013 dan berbadan hukum dengan akta notaris. UPJA ini telah memiliki beberapa unit alsintan yaitu: (1) Traktor, yang meliputi 2 unit traktor roda 2 dan 3 unit traktor roda 3, (2) Transplanter: 3 unit, dan (3) Combine Harvester: 3 unit, yang meliputi 1 combine harvester besar dan 1
combine harvester kecil. Adapun daerah operasional kegiatan UPJA Bagyo Mulyo meliputi seluruh desa di Dalangan di Kecamatan Tawangsari dan juga di desa sekitarnya di kecamatan tersebut. Berkembangnya UPJA Bagyo Mulyo tidak terlepas dari keaktifan dan soliditas pengurus UPJA terutama Ketuanya. Jumlah pengurus UPJA sebanyak 3 pengurus inti, dan sebanyak 19 orang merupakan pengurus (ketua dan anggota) UPJA di kelompok seksi operator alsintan, perbengkelan dan pemasaran. Dalam pengelolaan alsintan oleh UPJA dilakukan secara profesional, dimana biaya untuk operasional alsintan selalu diupayakan bersumber dari hasil alsintan itu sendiri dan diupayakan tidak bersumber dari kas UPJA. Hampir setiap bulan UPJA berkumpul diantara anggota untuk membahas berbagai persoalan yang ada baik 37
yang menyangkut kegiatan pengelolaan alsintan, kegiatan usahatani dan kegiatan lainnya terkait UPJA. 3.2.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Panen dan Pascapanen
Kelembagaan Pengelolaan Usahatani dan Penyediaan Input Saat ini pengelolaan usahatani pada daerah yang mendapat pelayanan Usaha Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA) sepenuhnya dilaksanakan oleh petani. Hanya saja petani menggunakan jasa alsintan untuk melakukan pengolahan tanah, penanaman, dan pemanenan.
Luas lahan sawah di lokasi kajian Desa Dalangan, Tawangsari
mencapai 170 hektar dengan jumlah petani sebanyak 293 petani. Pada lokasi tersebut, penanaman lahan seluruhnya menggunakan jasa traktor yang ada di desa tersebut. Jumlah traktor keseluruhan pada UPJA Bagyo Mulyo di desa ini sebesar 5 unit yaitu 2 unit traktor roda 4, dan 3 unit traktor roda 2. UPJA melakukan inisiatif melakukan pertemuan/rembugan diantara operator traktor dan pemilik lahan mengenai perencanaan awal pengolahan lahan dan juga rencana tanam selanjutnya. Pertemuan juga memutuskan mengenai beberapa hal yang mencaku: (a) menetapkan luas maksimal pelayanan masing-masing traktor roda 2 dan roda 4 bergiliran dimana pada saat awal pengolahan menggunakan traktor besar roda 4, dan meratakan lahan menggunakan traktor roda 2, dan kapasitas traktor dalam mengolah lahan rata-rata sekitar 3 ha/hari untuk roda 4 dan 1,5 ha/hari untuk roda 2, serta jumlah hari operasi traktor per musim sekitar 20 hari. Hal ini tentunya dengan mempertimbangkan jadwal pengaturan air, jadwal tanam, dan jumlah traktor, (b) menetapkan besaran biaya atau upah traktor untuk pengolahan tanah sampai siap tanam, dimana untuk tahun 2014/2015 ditetapkan sebesar Rp 1 juta/ha (sampai siap tanam), yang tidak dibedakan antara musim MT-I (MH) dengan MT-II (MK1), dan (c) menetapkan larangan adanya traktor dari luar daerah/desa untuk melakukan pengolahan lahan sawah di Desa Dalangan, hal ini tentu dengan memperhatikan bahwa jumlah traktor di desa ini masih memungkinkan dapat dikerjakan oleh UPJA di Desa Dalangan sendiri. Penggunaan traktor di desa ini sudah terbiasa dan kalau dipandang dari rasio luas lahan sawah dan jumlah traktor yang ada di UPJA tentu masih harus ditambah jumlahnya, agar operator traktor tidak bekerja sampai di luar batas jam bekerja. 38
Sementara itu, terkait dengan pengadaan input seperti benih, pupuk dan pestisida dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: petani dapat langsung membeli ke kios saprotan yang resmi sesuai RDKK atau dapat juga memperoleh melalui kelompok atau gapoktan (dikoordinir). Bagi petani yang langsung membelinya ke kios saprotan adalah petani yang memiliki sumberdaya modal yang cukup, yang memang harganya lebih murah namun harus dibayar secara tunai. Sementara petani yang kurang mampu biasanya memperoleh dari kelompok tani atau gapoktan, dimana pembayarannya adalah dengan cara dibayar setelah panen, namun konsekuensinya harga diperhitungkan berbeda (sedikit lebih mahal). Selanjutnya untuk memperoleh pupuk hampir seluruhnya memperoleh melalui kelompok atau gapoktan, karena perencanaan pengadaan dan perolehan pupuk menyesuaikan dengan RDKK yang sudah direncanakan dan dikelola oleh kelompok. Bagi petani keberadaan kelompok
atau gapoktan sangat menolong, terutama jika terjadi
musibah serangan OPT dan kekeringan. Dengan kondisi kegagalan panen, maka akan ada penangguhan pembayaran sarana produksi ke kelompok atau gapoktan, yang didalamnya juga merupakan kelompok UPJA. Dalam hal penggunaan alsintan tanam yaitu transplanter, jumlahnya masih sangat terbatas. Pengelolaan alat tanam transplanter pada UPJA sudah termasuk di dalamnya menyediakan benih padi yang telah dijadikan bibit. Pemilihan benih padi, telah sebelumnya dimusyawarahkan antara petani dengan kelompok UPJA. Varietas benih padi yang banyak digunakan pada MT I (MH) antara lain: Ciherang, IR 64, Mekongga dan Situ Bagendit, dan pada saat MT II atau MT III menggunakan benih varietas: Mekongga, Sidenok, Pertiwi, Mukibat dan Muncul.
Sistem persemaian
dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian yang cukup memadai atau berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah). Dengan demikian adopsi inovasi khususnya penggunaan varietas unggul dan efisiensi penggunaan benih padi menjadi sangat ideal jika menggunakan transplanter. Biaya atau jasa atas sewa transplanter (termasuk benih dan jasa semai) Rp 3 juta/ha. Namun seringkali penggunaan transplanter pada saat MH sering terkendala oleh kedalaman lumpur sawah. Di samping itu, untuk jasa tanam masih bersaing dengan kelompok tanam manual, dimana pada kondisi saat ini masih mengharapkan lapangan pekerjaan untuk kegiatan tanam tersebut. Hal ini mengingat, aktivitas 39
kegiatan tanam yang dilakukan secara manual berkaitan dengan kesempatan memanen hasil padi yang ditanamnya. Penyediaan benih yang berkualitas pada petani atau sawah yang sudah mendapat palayanan jasa transplanter dapat dilakukan oleh UPJA dan menjadi bagian usaha UPJA dalam penyediaan benih. Pada luasan 50 hektar, UPJA dapat melakukan penangkaran benih dari label biru untuk dijadikan label ungu, sehingga kualitas benih dapat terkontrol, atau UPJA dapat menyesuaikan penggunaan varietas sesuai dengan perkembangan pasar gabah dan mempertimbangkan eksplosif hama penyakit. Jumlah benih yang digunakan per hektarnya pun juga dapat dikontrol, sehingga menjadi lebih efisien dan pertumbuhan anakan akan menjadi lebih baik. Selain itu, bagi petani yang penggunaan jasa transplanter lebih cepat dan lebih murah dibanding dengan harus menggunakan jasa tanam manual. Upah jasa tanam manual cukup mahal yaitu Rp 50.000 bersih per hari, sedangkan jika dengan pelaksanaan borongan 16 orang, Rp 50.000/orang. Pada tanam manual, petani juga harus menyiapkan benih dan pengolahan perbenihan sendiri.
Kelembagaan Panen Pengelolaan panen, di lokasi kajian Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari bisa dilakukan dengan sistem: (1) tebas, dimana si penebas biasanya memiliki power
thresher dan membawa rombongan rombongan panen sekitar 10-15 orang. Pada panen sistem tebas, pemanenan dilakukan
dengan menggunakan sabit dan
dirontokkan dengan menggunakan power thresher. Seluruh tenaga kerja panen menjadi tanggung jawab si penebas, dan umumnya penebas berasal dari luar daerah seperti dari Sragen, Karang Anyar, Demak dan wilayah lainnya; (2) panen dengan combine harvester, dimana pemilik sawah akan membayar jasa combine
harvester dari kelompok UPJA Bagyo Mulyo. Proporsi petani yang melakukan sistem panen di Desa Dalangan pada saat musim ke-1 (MH) sekitar 90% menggunakan sistem tebas, dan sisanya panen dengan combine harvester, sedangkan pada saat musim ke-2 (MK) hampir seimbang (50%:50%) antara sistem tebas dan panen dengan combine harvester. Pada panen sistem tebas, penerimaan petani pada saat musim ke-I berkisar antara Rp 25 juta- Rp 30 juta/ha, sedangkan pada musim ke-II tingkat penerimaan petani sekitar Rp 42,5 juta/ha. Harga gabah pada saat MH 2014/2015 sekitar 40
Rp3.700/kg GKP dan harga gabah pada saat MK sebesar Rp 4.900/kg GKP. Keuntungan panen padi dengan sistem tebas bagi petani adalah: (1) tidak perlu mengangkut dan menjemur padi/gabah dari sawah ke rumah; (2) Petani akan langsung memperoleh uang kontan langsung dari hasil penebasan padinya; (3) terlebih pada saat musim hujan, petani tidak perlu harus membeli atau menyediakan alat jemur dan karung untuk menyimpan gabah. Adapun kelemahannya adalah petani akan memperoleh hasil yang lebih kecil jika harus memanen padi dengan
combine harvester dan kemudian melakukan proses pascapanen dan menjual tatkala harga lebih tinggi terhadap pedagang pengumpul. Pada panen dengan combine harvester upah panennya Rp 2 juta/ha. UPJA yang mengelola mesin combine harvester tersebut penerimaan yang diraih setelah dipotong BBM, selanjutnya 60% dialokasikan untuk UPJA dan 40% dialokasikan untuk operator mesin. Menurut kelompok tani, bahwa panen padi dengan alat panen
combine harvester memiliki keuntungan: (1) memperoleh hasil yang lebih tinggi, karena hasil yang diperoleh kuantitasnya cukup tinggi dibandingkan dengan taksiran sistem tebas, dan harga saat penjualan juga akan tinggi saat penjualan hasil, dan (2) petani terbiasa dengan aktivitas pascapanen dan dapat mengetahui secara pasti berapa produktivitas hasil padi yang dipanennya. Memanen dan membawa pulang hasilnya, menurut petani memiliki kelemahan: (1) petani harus menyiapkan tenaga dan biaya untuk mengangkut dan menjemur padi/gabah dari sawah ke rumah; (2) Petani tidak dapat langsung memperoleh uang kontan dari hasil panennya; (3) pada saat musim hujan, petani perlu harus menyediakan alat jemur dan karung untuk menyimpan gabah. Sementara itu, berdasarkan informasi dari petani bahwa kegiatan panen dengan mesin combine harvester memiliki kelebihan yaitu: (a) kehilangan hasil sangat rendah, dibawah 2%, (b) pengerjaannya panen lebih cepat sehingga dapat hemat biaya panen, (c) jumlah tenaga kerja pemanen akan lebih sedikit sehingga efisiensi biaya panen.
Kelembagaan Pascapanen Petani yang memanen dengan alat combine harvester sebagian besar biasanya menjual hasilnya dalam bentuk gabah kering panen (GKP), setelah mereka menyisihkan gabah untuk keperluan rumah tangganya. Penjemuran padi dilakukan 41
di sawah pada saat MT-II dan dilakukan di rumah pada saat musim ke-I. Padi yang telah dijemur sekitar 3-4 hari umumnya akan dijual ke pedagang pengumpul yang datang setiap saat atau ke pedagang/bandar yang ada di desa sekitar. Para pedagang pengumpul yang membeli gabah dari petani selanjutnya akan menjual
gabah
ke
pedagang
besar
atau
ke
penggilingan
padi.
Pada
pedagang/bandar yang memiliki penggilingan padi, akan menjemur kembali padi yang diperolehnya dan kemudian digiling menjadi beras. Beras yang dihasilkan selanjutnya akan dijual ke berbagai tujuan. 3.3.
Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten Blora, Jawa tengah
3.3.1. Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan Percontohan Pertanian Modern (PPM) di Kabupaten Blora terletak di Desa Gabusan, Kecamatan Jati.
Berbeda dengan dua lokasi lainnya, PPM di Desa
Gabusan dilaksanakan di lahan sawah tadah hujan. Kepala Dinas Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan, Kabupaten Blora menyatakan bahwa pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan : (1) Hamparan bagus, datar dan luas sehingga memenuhi persyaratan untuk dijadikan percontohan; (2) Petani-petani yang ada di wilayah tersebut ulet dan rajin dalam bertani, bahkan saat musim kering tetap bertani dengan cara menyiram tanamannya; (3) Ingin ada perubahan di wilayah tersebut. Dengan menempatkan lokasi PPM di sana, perhatian terhadap lokasi tersebut diharapkan meningkat, khususnya perhatian untuk mengalokasikan dana untuk pembangunan irigasi (untuk penyediaan air). Di lokasi tersebut telah ada rehabilitasi embung, namun jangkauan pengairannya belum sampai ke lokasi dilaksanakannya PPM. Tahun 2015 ini ada dana DAK yang dialokasikan untuk prasarana irigasi, namun belum diketahui jangkauannya. Pertamina pernah melakukan pengeboran
minyak di daerah tersebut, namun yang keluar bukan
minyak melainkan air. Bupati minta agar air tersebut bisa dimanfaatkan untuk irigasi. Hasil pemeriksaan debit air kurang besar namun di wilayah tersebut kemungkinan ada sumber air. Dengan masukkan program PPM diharapkan tertata upaya-upaya untuk mencari sumber air di wilayah ini. Petani yang terlibat dalam kegiatan PPM di Desa Gabusan adalah petani pemilik dan penggarap. Rata-rata pemilikan lahan kurang dari 0,5 ha/KK, dengan 42
pemilikan terluas 2 ha. Pola tanam yang biasa dilakukan oleh petani adalah padipadi- palawija (jagung/kacang hijau)-(kedele).
Pertanaman dilakukan
3-4 kali
dalam setahun, namun tanam ke-4 hanya dilakukan jika air tersedia. Teknik tanam sangat unik dan tidak biasa yaitu menanami retakan lahan, tanpa olah tanah. Tanam ke-3, umumnya komoditas jagung, sebenarnya juga ditanam dalam kondisi kurang air, sehingga petani melakukan penyiraman sebanyak tiga kali, masing-masing sebanyak 1 gelas per rumpun, sehingga total tiga gelas per rumpun dalam semusim. Air diperoleh dari sumur yang digali petani di tepi lahannya. Konsolidasi lahan merupakan bagian yang berat dari semua tahapan pelaksanaan PPM. Rencana untuk menghilangkan tanggul umumnya tidak disetujui oleh petani, karena yang paling dikhawatirkan oleh petani adalah hilangnya batas lahan miliknya.
Sekalipun batas akan ditandai dengan menggunakan alat GPS,
umumnya petani tidak setuju menghilangkan tanggul yang berbatasan dengan milik orang lain. Berdasarkan kesepakatan petani dan semua pihak yang mendukung pelaksanaan PPM maka konsolidasi lahan dilakukan secara bertahap. Pertama, tanggul diperlebar dari 40 cm menjadi 180 cm, agar alsin bisa masuk, dan sekaligus berfungsi sebagai jalan usahatani. Kegiatan ini dilakukan secara swadaya. Kedua, menghilangkan galengan. Tidak semua galengan dihilangkan, karena galengan berfungsi sebagai batas pemilikan dan untuk menahan air. Galengan bisa dihilangkan jika hamparan yang berdekatan milik satu orang.
Jika tidak, maka
galengan hanya dibuat lebih kecil dari 40 cm menjadi 20 – 25 cm dan ketinggiannya diturunkan 10 cm. Kegiatan ini pun dilakukan secara swadaya. 3.3.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian Analisis Manfaat Usahatani Penggunaan alsin menghemat waktu cukup banyak, sehingga bisa dilaksanakan tanam serempak dalam waktu seminggu. Biasanya pekerjaan tersebut selesai lebih dari dua pekan.
Demikian juga dengan tenaga kerja, masuknya alsin menghemat
penggunaan tenaga kerja, yang mulai langka di daerah tersebut. Penggunaan alsin mempercepat pekerjaan secara singnifikan, contohnya untuk olah tanah dengan menggunakan TR2 biasa selesai 24 jam (3 hari) dengan tenaga kerja 6 HOK, dengan TR4 bisa selesai dalam 14 jam dengan tenaga kerja 1,5 HOK. Selain itu, dengan 43
penggunaan mekanisasi, biaya usahatani berkurang antara lain karena pengurangan jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usahatani (Tabel 16). Tabel 17. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern (PPM) dan Petani di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, MH 2014/2015 (Rp/ha) No. A I
II
III
B C
Uraian Biaya Sarana produksi Benih (kg) Pupuk (kg) - Urea - NPK - PPC/POC (liter) - pupuk kandang Obat-obatan Subtotal Tenaga kerja Olah tanah Menggaru/meratakan tanah Merapikan pematang Persemaian Cabut dan angkut bibit Tanam Pemupukan Penyiangan Penyemprotan Panen + perontokkan Subtotal Lainnya - pajak lahan/musim - pengairan (tadah hujan) - sewa lahan/musim Subtotal Biaya tunai Biaya total Penerimaan Keuntungan atas biaya tunai Keuntungan atas biaya total RCR atas biaya tunai RCR atas biaya total
PPM (A)
Non-PPM (B)
Perubahan (A-B) %
200,000
400.000
-50.00
180.000 345.000 60.000 500.000 225.000 1.510.000
180.000 440.000 0 50.000 200.000 1.270.000
0 -21.29 100.00 900.00 12.50 18.90
763.000 0 120.000 260.000 0 742.000 170.000 720.000 75.000 1.995.000 4.845.000
810.000 170.000 170.000 520.000 130.000 954.340 170.000 720.000 75.000 2.400.900 7.440.000
-5.80 -100.00 -29.41 -50.00 -100.00 -22.25 0 0 0 -16.91 -34.88
30.000 0 1.000.000 1.030.000 6.050.000 7.385.000
30.000 0 1.000.000 1.030.000 8.145.000 9.740.000
0 0 0 0 -25.72 -24.18
24.600.000 18.550.000 17.215.000 4.07 3.33
20.100.000 13.274.000 11.679.760 2.94 2.39
22.39 39.74 47.39 38.44 39.33
Sumber data : Hasil wawancara dengan petani Desa Gabusan, Kab Blora, 2015
44
Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa usahatani padi pada PPM dengan menggunakan alat mekanisasi pertanian lebih efisien dan lebih menguntungkan. Total biaya produksi pada pertanian modern lebih rendah yakni Rp 7,385 juta/ha, sementara pada pertanian nonmodern mencapai Rp 8,42 juta/ha, turun sekitar 12%. Nilai produksi pada pertanian modern mencapai Rp 24,6 juta/ha, sedangkan pada nonmodern hanya Rp 20,1 juta/ha, naik sekitar 22%. Produktivitas pada PPM meningkat akibat adanya inovasi baru dalam penggunaan bibit dan teknologi budi daya serta pengawalan yang baik. Hasil ubinan pada teknologi PPM mencapai 8,2 ton per ha sedangkan pada teknologi petani hanya mencapai 6,7 ton per ha.
Peningkatan produksi per ha juga bisa disebabkan
dengan penggunaan alat panen modern (combine harvester).
Kehilangan hasil
akibat panen yang berkisar antara 10-20%, bisa ditekan dengan menggunakan
combine harvester menjadi kurang dari 10%. Kedua hal tersebut telah meningkatkan penerimaan petani sebesar 22,39 persen dibandingkan sebelumnya, sehingga tingkat keuntungan pada pertanian modern lebih tinggi (Rp 17,215 juta/hektar) dibanding dengan nonmodern (Rp 11,679 juta/hektar). Di samping terjadi efisiensi dalam penggunaan biaya produksi, juga pada pertanian modern kuantitas produksi dan kualitas produksi lebih baik. Peningkatan kuantitas produksi lebih disebabkan karena kehilangan panen menjadi rendah sehingga produksi meningkat, sedangkan peningkatan kualitas panen karena menggunakan combine harvester gabah langsung di-blower sehingga kebernasan gabah menjadi lebih bagus. Analisis Manfaat Usaha Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora Lokasi PPM di Kabupaten Blora ditempatkan pada areal sawah tadah hujan, berbeda dengan dua lokasi lainnya yang ditempatkan pada areal sawah irigasi teknis.
Penggunaan dan pengusahaan alsintan di areal tadah hujan, dianggap bisa
membantu meningkatkan kenaikan produksi dengan mempercepat olah tanah dan panen.
Ketersediaan air hujan merupakan hal yang sangat penting di lokasi ini.
Penggunaan traktor besar bisa mempercepat pengolahan tanah untuk mengejar hujan untuk penanaman padi. 45
Kemampuan
traktor tangan/kecil (roda 2)
ini hanya dapat mengolah lahan
sekitar 16 jam/ha atau 2 hari per ha. Sedangkan traktor besar bisa mengolah tanah 2,5 ha per hari atau 4 jam per ha. Seperti halnya di Soppeng dan Sukoharjo, dalam pengolahan lahan petani mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat pengolahan lahan awal
menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya
menggunakan traktor kecil. Kapasitas traktor tangan yang diusahakan saat ini adalah 60 hari per tahun atau 120 ha per tahun. Harga traktor adalah Rp 20 juta dengan umur ekonomis 10 tahun.
Harga sewa traktor yang berlaku di lokasi ini adalah Rp 750.000 per ha
untuk traktor kecil. Pada tabel 18 terlihat bahwa total biaya pengusahaan traktor kecil adalah Rp 447.240 per ha. penyusutan dan BBM.
Komponen biaya terbesar adalah operator,
Keuntungan yang diperoleh dari usaha ini adalah Rp
302.760, dan R/C rati0 dari usaha ini adalah 1,68 menguntungkan.
Usaha ini
dianggap cukup
Usaha ini bisa dikembangkan dengan meningkatkan jumlah
pendapatan dari sewa atau memperluas jaringan kerja. Tabel 18. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor Tangan di UPJA Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha) No.
Komponen 1 Biaya: 1.1. BBM 1.2. Oli dan pelumas 1.3. Pemeliharaan dan perawatan 1.4. Penyusutan 1.5. Operator 1.6.Total 2 Pendapatan dari Sewa 3 Keuntungan 4 R/C rasio
Satuan
Volume
Liter
10,4
Harga/ satuan(Rp) 7.500
Desa Gabusan,
Nilai (Rp) 78.000 12.240 30.000
Ha
1
750.000
127.000 200.000 447.240 750.000 302.760 1,68
Pangsa (%) 17,44 2,74 6,71 28,40 44,72 100,00
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Traktor besar belum lama diperkenalkan, walaupun demikian petani sangat menyukainya karena dapat bekerja lebih cepat.
Usaha penyewaan traktor besar ini
mempunyai prospek dalam peningkatan pendapatan UPJA. Pada tabel 19 dibawah ini, terlihat bahwa R/C rasio pengusahaan traktor besar cukup besar yaitu 1,40 Total biaya yang operasional alsintan ini adalah Rp 528.900 per ha, terbesar adalah 46
untuk komponen operator dan penyusutan.
Pendapatan dari sewa adalah Rp
742.857 per ha, jadi keuntungannya bisa mencapai Rp 213.957 per ha. Tabel 19. Struktur ongkos dan sewa TR-4 di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha) Komponen
No. 1
Satuan
Volume
Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp)
Biaya: 1.1. BBM Liter 12 7.500 90.000 1.2. Oli dan pelumas Liter 54.000 1.3. Pemeliharaan dan Unit 46.250 perawatan 1.4. Penyusutan 138.650 1.5. Operator 200.000 1.6.Total 528.900 Pendapatan dari Sewa Ha 1 742.857 742.857 2 Keuntungan 213.957 3 R/C rasio 1,40 4 Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Pangsa (%) 17,02 10,21 8,74 26,21 37,81 100,00
Saat ini kapasitas kerjanya masih sebanyak 74 hari per tahun atau 185 ha per tahun.
Untuk mengembangkan pendapatan, UPJA bisa meningkatkan kapasitas
kerja alat dengan memperluas jaringan kerja dan meningkatkan biaya sewa.
Analisis Usaha Transplanter pada UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Transplanter merupakan jenis alsin yang relatif baru diperkenalkan di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, namun petani setempat menyukainya. Alasanya adalah dapat mengurangi tenaga kerja tanam dan mempercepat pertanaman terutama pada sawah tadah hujan, dimana petani harus mengejar waktu tanam pada saat ada air.
Kapasitas kerja transplanter di Desa Gabusan saat
ini baru mencapai 18 hari kerja, dan hanya menyewakan alat tanpa membuat pembibitan. Bibit disediakan sendiri oleh petani. Usaha jasa penyewaan transplanter cukup menguntungkan dengan nilai R/C rasio 1,44 (Tabel 20).
Nilai sewa per hektar adalah Rp 685.714, total biaya
operasional yang dikeluarkan adalah Rp 475.833 per ha dan keuntungan yang diperoleh adalah Rp 209.881 per ha.
Komponen biaya usaha terbesar adalah biaya
operator (42,03%) dan penyusutan (35,90%).
47
Tabel 20. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha) No.
Komponen 1 Biaya: 1.1. BBM 1.2. Oli dan pelumas 1.3. Pemeliharaan dan perawatan 1.4. Penyusutan 1.5. Operator 1.6.Total 2 Pendapatan dari Sewa 3 Keuntungan 4 R/C rasio
Satuan
Volume
Liter
10
Ha
1
Harga (Rp.sat)
Desa Gabusan,
Nilai (Rp)
7.500
685.714
Pangsa (%)
75.000 20.000
15,76 4,20
10.000
2,10
170.833 200.000 475.833 685.714 209.881 1,44
35,90 42,03 100,00
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Penggunaan alsin transplanter belum seluas penggunaan traktor dan
combine harvester. Upaya untuk meningkatkan keuntungan dari jasa sewa transplanter dapat dilakukan dengan memperluas jaringan kerja, meningkatkan nilai sewa dan usaha diversifikasi lainnya misalnya dengan menyediakan bibit padi.
Analisis Usaha Combine Harvester Pada UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Combine Harvester merupakan alat panen yang sangat dibutuhkan petani di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Saat ini pengusahaan combine
harvester masih terbatas pada wilayah di sekitar Desa Gabusan.
Kapasitas bisa
diperluas dengan membangun jarngan kerja dengan petani di wilayah lain yang waktu panennya sedikit berbeda dengan wilayah Desa Gabusan.
Saat ini kapasitas
kerja combine harvester baru mencapai 60 hari kerja per tahun, dengan kapasitas kerja 5 jam per ha sehari bisa melayani 2 ha sehingga dalam setahun bisa melayani kira-kira 120 ha.
Harga combine harvester yang diusahakan UPJA Desa Gabusan
adalah Rp 280 juta, dengan umur ekonomis 10 tahun.
Nilai sewa sebesar Rp
1.800.000 per ha. Komponen biaya terbesar adalah upah operator yang mencapai hampir 63% dari total biaya. Ongkos ini nantinya akan dibagikan kepada tim operator yang bisa mencapai 7-8 orang. Tugas tim operator combine harvester di wilayah ini memanen dan memasukkan gabah ke dalam karung, namun tidak sampai menjahitnya. 48
Tabel 21. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha) No.
Komponen
Satuan
Volume
Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya: 1.1. BBM Liter 10 7.500 75.000 5,90 1.2. Oli dan pelumas 20.000 1,57 1.3. Pemeliharaan dan 166.667 13,11 perawatan 1.4. Penyusutan 210.000 16,51 1.5. Operator 800.000 62,91 1.6.Total 1.271.667 100,00 Ha 1 1.800.000 1.800.000 2 Pendapatan dari Sewa 528.333 3 Keuntungan 1,42 4 R/C rasio Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Berdasarkan hasil analisis finansial pengusahaan combine harvester di Desa Jati, diperoleh R/C rasio sebesar 1,42. Total biaya operasional penyewaan combine
harvester adalah Rp 1.271.667 per ha.
Keuntungan bisa diperbesar dengan
meningkatkan jaringan kerja sehingga kapasitas kerja combine ini lebih besar. 3.3.3. Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan Pengembangan Unit Pengelola Jasa Alsintan (UPJA) Jasa Karya Utama (JKU) adalah salah satu pelaku utama dalam pengelolaan alsin di lahan percontohan pertanian modern (PPM) di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Awalnya UPJA ini merupakan bagian dari gapoktan, dan selanjutnya dalam rangka menyongsong pelaksanaan PPM, dibentuk UPJA yang pengelolaannya terpisah dari gapoktan. Struktur kepengurusan terdiri dari : manager, sekretaris, bendahara, seksi humas, seksi perlengkapan dan koordinator operator, seksi usaha dan teknisi. Beberapa pengurus UPJA JKU pernah belajar mengenai manajemen pengelolaan UPJA di Cilacap dan melakukan studi banding ke Sukoharjo. Sebelum ada bantuan, UPJA ini tidak memiliki alsin, namun beberapa petani yang menjadi anggota Gapoktan memiliki alsin berupa hand tractor dan pompa air. Setelah terbentuk UPJA, alsin milik gapoktan berupa traktor roda 4, diserahkan pengelolaannya kepada UPJA karena gapoktan tidak memiliki operator. Dalam rangka pelaksanaan PPM, UPJA ini mendapat alokasi dana bantuan senilai Rp1,4 M, yang digunakan untuk pengadaan: (1) Alsintan : 2 unit traktor roda 49
4 + Rotary, 3 unit Rice Transplanter, 2 unit Combine Harvester serta 1 paket peralatan perbengkelan senilai Rp.1.000.000.000,- (2)
paket UPPO senilai Rp.
400.000.000,- yang diperumtukkan : rumah kompos, konstruksi, penyediaan alat dan mesin (APPO 2 unit dan kendaraan roda 3 sebanyak 2 unit), kandang 2 unit, ternak sapi 20 ekor, dan obat-obatan 2 paket. Bantuan diterima dalam bentuk dana tunai yang langsung ditransfer ke rekening UPJA, selanjutnya pengurus UPJA yang membeli alsin sesuai rencana usulan kegiatan yang telah disetujui oleh Direktorat PSP. Tabel 22. Alsin yang Dimiliki UPJA Jasa Karya Utama dan Sumbernya (September 2015) Jenis Traktor roda 4+rotary
Jumlah (unit) 3
Rice Transplanter
3
Combine harvester Alat angkut (Viar) Peralatan bengkel
2 2 1 set
Sumber pengadaan Bantuan Dit PSP dalam rangka milik Gapoktan Sido Rukun Bantuan Dit PSP dalam rangka APBD 1 unit Bantuan Dit PSP dalam rangka Bantuan Dit PSP dalam rangka Bantuan Dit PSP dalam rangka
PPM 2 unit, dan 1 unit PPM, 2 unit; dan PPM PPM PPM
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Aturan main yang diterapkan dalam penggunaan jasa alsin yang dikelola oleh UPJA Jasa Karya Utama ditentukan melalui rapat yang dihadiri oleh pengurus UPJA, pengurus dan anggota Gapoktan Sido Rukun, aparat desa, aparat Dinas terkait tingkat kecamatan dan kabupaten.
Berdasarkan hasil kesepakatan dalam
pertemuan yang diadakan menjelang awal musim, maka ditetapkan sewa alsin sebagai yang terlihat pada Tabel 23. Tabel 23. Nilai Sewa Alsin yang berlaku di UPJA Jasa Karya Utama, Kab. Blora, 2015 Nama alat Traktor roda 4+rotary
Rice Transplanter Combine harvester
Biaya sewa MH : Rp 520.000/bau(Rp 742.857/ha) MK: Rp 400.000/bau (Rp 571.429/ha) Rp 480.000/bau (Rp 685.714/ha) Rp 1.400.000/bau (Rp 1.800.000/ha)
Bentuk pembayaran Tunai Tunai Tunai
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Perubahan dalam besaran upah terkait dengan perubahan harga bahan bakar minyak. Aturan main mengenai sewa alsin ditaati oleh petani pengguna jasa, dan petani membayarnya dengan tertib, dan pembayaran dilakukan secara tunai setelah 50
pekerjaan selesai. Khusus untuk sewa traktor, terdapat selisih Rp120.000/bau (lebih murah) untuk penggunaan jasa di musim kemarau karena pengolahan lahan bisa dilakukan dengan lebih cepat, dan hanya sekali bajak lahan sudah siap tanam. Selain pertemuan yang dilakukan menjelang musim tanam, pertemuan rutin juga dilakukan oleh UPJA yaitu pada malam tanggal 25 setiap bulan.
Kegiatan diisi
dengan arisan, dan membahas kegiatan pertanian secara umum. Alsin yang belum dimiliki oleh UPJA Jasa Karya Utama adalah pompa. Mengingat kondisi lahan sawah di wilayah Gabusan dan sekitarnya adalah sawah tadah hujan, maka pompa air sangat dibutuhkan untuk mengairi lahan di luar usim hujan. Selama ini sumur yang digali di tepi sawah menjadi andalan untuk mengairi lahan saat musim kering. Sumur-sumur tersebut merupakan swadaya masyarakat dan dari program P4MI. UPJA JKU memiliki seorang teknisi yang bertugas menangani kerusakan atau perbaikan alat dan mesin, dan telah memiliki peralatan bengkel yang berasal dari paket bantuan PPM. Mengingat bahwa UPJA JKU belum lama beroperasi, dan peralatan alsin juga masih baru (belum setahun), belum ada kerusakan pada alsin yang dimiliki. 3.3.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran Petani di lokasi percontohan PPM umumnya adalah petani pemilik penggarap, dan dengan posisi demikian petani memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan usahataninya. Hal ini relatif lebih memudahkan dalam mencapai kesepakatan, misalnya untuk berswadaya memperlebar tanggul menjadi semacam jalan usahatani untuk memperlancar keluar masuk alsin, dan untuk berswadaya membongkar tanggul miliknya. Petani memiliki peran sentral dalam pengelolaan usahatani, sebelum, selama, maupun sesudah pelaksanaan PPM. Perbedaan terletak pada penggunaan alsin, penggunaan sarana produksi, dan pengelolaan waktunya.
Alsin yang digunakan
dalam pelaksanaan PPM memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan yang biasa digunakan petani, dan pengelolaannya sudah dilakukan oleh UPJA. Sebelumnya, alsin yang digunakan petani hanya berupa hand tractor, yang merupakan milik pribadi atau sewa dari prorangan. 51
Tabel 24. Pelaku dalam Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran Secara Konvensional dan Percontohan Pertanian Modern di Blora, 2015 Tahapan pekerjaan Pengelolaan usahatani - Olah tanah
Konvensional
Percontohan Pertanian Modern
Petani, menggunakan TR2 milik sendiri atau sewa
Dikoordinir oleh pelaksana perconcohan, menggunakan TR4 dan TR2 Petani, dilakukan secara individu, UPJA sediakan tray. Benih dari program optimasi lahan Dikoordinasikan oleh pelaksana percontohan agar tanam serempak, menggunakan rice transplanter, angkut benih pemilik lahan dan operator Petani, dengan atau tanpa dibantu buruh tani Pupuk dari program estimasi lahan untuk pelaksanaan PPM
- Persemaian
Petani, dilakukan secara individu. Benih dibeli sendiri.
- Tanam
Petani, menggunakan jasa kelompok tanam. Cabut dan angkut benih dilakukan oleh orang yang berbeda.
- Pemeliharaan
Petani, dengan atau tanpa dibantu buruh tani. Pupuk swadaya
Penyediaan Input - Benih
- Pupuk - Obat-obatan - Alsin
Panen, Pascapanen
Pemasaran
Petani, secara individu
Petani, melalui kelompok tani/gapoktan, swadaya. Petani, secara individu, swadaya Petani secara individu, menggunakan alsin milik sendiri atau sewa jasa alsin milik perorangan Petani secara individu, dibantu jasa kelompok pemanen, kegiatan ngaritangkut. Petani menjual ke tengkulak yang datang dari rumah ke rumah
Petani, melalui kelompok tani/ gapoktan, program optimasi lahan terkait pelaksanaan percontohan PPM. Sda Sda UPJA, dengan alat milik UPJA dan bantuan dari Dit PSP. Dikoodinir oleh pelaksana percontohan, menggunakan combine harvester untuk panen, perontokkan, dan pengarungan. Petani menjual ke tengkulak yang datang dari rumah ke rumah
Pengadaan sarana produksi biasanya dilakukan oleh petani secara individu, sedangkan dalam PPM pengadaan sarana produksi ditangani oleh gapoktan dan poktan. Petani bertanggung jawab dalam aplikasi di lahan masing-masing, dengan pendampingan yang intensif dari pihak terkait (penyuluh, TNI, aparat desa, aparat
52
dinas kecamatan sampai pusat). Sekalipun dilakukan secara individu, pengadaan sarana produksi menurut petani tidak mengalami hambatan, sarana produksi mudah dicari di kios-kios sekitar desa. Keserempakan dalam olah tanah dan tanam menjadi faktor kunci dalam PPM. Jika biasanya petani bebas dalam menyelesaikan pengolahan lahannya dan tanam, maka dalam PPM seluruh proses tersebut ditargetkan selesai dalam seminggu. Tanam tidak bisa benar-benar dilakukan dalam satu tahap,melainkan tiga tahap, dimana tahap pertama 58 %, kedua 36 %, dan ketiga 6%. Sarana produksi untuk kegiatan PPM seluas 100 ha di Desa Gabusan, Kecamatan Jati berasal dari bansos Program Optimasi Lahan senilai Rp 205 juta. Gapoktan berperan dalam mengusulkan dan menerima bansos Optimasi Lahan tersebut, dan mendistribusikannya kepada petani yang terlibat dalam kegiatan PPM melalui kelompoknya masing-masing. Aplikasi sarana produksi tersebut di lahan usahatani menjadi tanggung jawab petani pemilik/penggarap masing-masing. Tabel 25. Jenis, Jumlah, dan Nilai Sarana Produksi untuk kegiatan Optimasi Lahan seluas 100 ha di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015. Jenis sarana produksi
Jumlah
Benih padi (kg) Pupuk kompos/organik (kg) Pupuk Urea (kg) Pupuk NPK (kg) PPC/POC (liter) Pestisida (liter atau kg) Total
2.500 100.000 10.000 15.000 1.500 300
Harga satuan (Rp/satuan) 8.000 600 1.800 2.300 40.000 75.000
Nilai (Rp000) 20.000 50.000 18.000 34.500 60.000 22.500 205.000
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus Gapoktan Desa Gabusan, Kab. Blora, 2015
Paket Optimasi Lahan tersebut nampaknya sama, di Soppeng, Blora, dan Sukoharjo, baik dalam jenis, jumlah dan nilainya. Hal itu berarti penyediaan paket tersebut tidak didasarkan pada kondisi spesifik lokasi tanah (berdasarkan uji kandungan unsur hara tanah). Seperti telah dikemukakan diatas, aplikasi benih berbeda antara yang dipraktikkan petani dengan PPM, yaitu 40 kg/ha yang biasa dilakukan oleh petani, sedangkan PPM 25 kg/ha.Aplikasi pupuk dan pestisida terdapat perbedaan antara keduanya.Pupuk yang diaplikasikan petani jauh lebih banyak dibandingkan PPM, terutama dalam penggunaan Urea (petani 250kg/ha, PPM 100 kg/ha) dan petani 53
menggunakan Phonska hingga 300kg/ha sedangkan PPM menggunakan NPK 150 kg/ha. Penggunaan pupuk kandang sudah biasa dilakukan oleh petani setempat, karena rata-rata memelihara sapi/kambing, hanya saja pupuk kandang yang digunakan petani berupa kotoran ternak yang langsung diletakkan di lahan tanpa proses pengolahan (fermentasi) lebih dulu. Hasil panen dijual kepada tengkulak yang datang ke rumah-rumah. Belum ada kegiatan pemasaran bersama, baik yang dikelola oleh poktan maupun gapoktan. Dalam
pelaksanaan
PPM
hingga
musim
berikutnya
belum
ada
introduksi
kelembagaan terkait pemasaran hasil. 3.4. Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Kabupaten Cilacap 3.4.1. Perkembangan Pertanian dan Dukungan Mekanisasi Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015), diketahui bahwa dalam kurun waktu 2011-2014 luas panen padi sawah mengalami peningkatan tipis sebesar 1,39 %/tahun, yaitu dari 126,28 ribu ha pada tahun 2011 menjadi 129,22 ribu ha pada tahun 2014. Akibat peningkatan luas panen tersebut, produksinya meningkat sebesar 0,56 %/tahun, yaitu dari 765,87 ribu ton pada tahun 2011 menjad 793,34 ribu ton pada tahun 2013 dan sedikit menurun menjadi 761,57 ribu ton pada tahun 2014. Sementara produktivitasnya selama kurun waktu tersebut mengalami penurunan sebesar 0,82 %/tahun. Tabel 26.
Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Cilacap, 2011-2014
Tahun
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Ton/ha)
2011 2012 2013 2014 r (%/tahun)
126.283 122.989 131.851 129.222 1,39
765.875 737.497 793.337 761.571 0,56
6,06 6,00 6,02 5,89 -0,82
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
Kondisi perkembangan pertanaman padi sawah di Kabupaten Cilacap tentu tidak terlepas dari kesungguhan petani dalam mengelolaan lahan pertaniannya, keberadaan baku lahan sawah yang ada saat ini, dukungan ketersediaan air irigasi dan dukungan alat mesin pertanian. Pada analisis ini, yang akan ditelaah lebih lanjut 54
sesuai keperluan kajian dan data yang diperoleh adalah terkait kondisi baku lahan sawah yang ada dan mekanisasi pertanian. Bila ditelusuri atas luas baku lahan sawah berdasarkan frekuensi tanam padi, maka diperoleh informasi bahwa dari total baku sawah 64.520 ha sebagian besarnya (88,56%) telah ditanami padi 2 kali dalam setahun. Sementara lahan sawah yang dapat ditanami padi hingga 3 kali dalam setahun hanya sekitar 6,48%, dan sisanya ditanami padi sekitar 1 kali dalam satu tahun (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap, 2015). Tabel 27. Luas Baku Lahan Sawah Berdasarkan Frekuensi Tanam Padi di Kabupaten Cilacap, 2014. Uraian 1. Ditanam Padi > 3 kali 2. Ditanam Padi 2 kali 3. Ditanam Padi <= 1 kali Total
Persen (%)
Luas (Ha) 4.180 57.140 3.200 64.520
6,48 88,56 4,96 100
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
Di Kabupaten Cilacap, perkembangan mekanisasi pertanian cukup pesat dimana salah satunya ditandai oleh semakin berkembangnya penggunaan alat mesin pertanian, baik untuk pengolahan lahan, tanam dan panen hasil pertanian. Berdasarkan data hingga posisi tahun 2014, jumlah traktor yang ada mencapai 3.391 unit yang tersebar di 24 kecamatan dan pada tahun 2015 terdapat tambahan traktor sebanyak 25 unit. Sebagian besar traktor tersebut adalah traktor roda 2 yang lebih fleksibel dalam penggunaannya terutama pada lahan sawah dengan tofografi yang berteras. Tabel 28. Jumlah Alat dan Mesin Pertanian di Kabupaten Cilacap, 2014 dan 2015 (Unit) Uraian 1. Traktor a. Besar (R4) b. Kecil (R2) Total Traktor 2. Transplanter 3. Power thresher 4. Mini Combine Harvester
Posisi Hingga 2014
Pengadaan 2015
Total
2 3.389 3.391 6 2.678 8
15 10 25 2 8 1
17 3.399 3.416 8 2.686 9
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
55
Aktivitas tanam pun di Cilacap saat ini dominan telah menggunakan alat
transplanter yang jumlahnya masih terbatas yaitu sekitar 6 unit, dan terdapat tambahan pada tahun 2015 sebanyak 2 unit. Karena itu, penggunaan alat tanam dengan caplak dan manual nantinya akan semakin menurun. Selanjutnya untuk peralatan panen padi sawah saat ini dilakukan dengan menggunakan power thresher dan mini combine harvester. Penggunaan power
thresher pada panen padi sawah di Kabupaten Cilacap masih tinggi, dengan jumlah tahun 2014 hingga mencapai 2.678 unit dan tambahan tahun 2015 sebanyak 8 unit. Adapun combine harvester di Cilacap hingga tahun 2014 baru sekitar 8 unit, dan terdapat tambahan 1 unit pada tahun 2015. Masih terbatasnya penggunaan combine
harvester di Kabupaten Cilacap antara lain disebabkan kondisi lahan yang ada, dan harga combine harvester pun cukup mahal sekitar Rp 280 juta/unit untuk ukuran 60 PK. Combine harvester tidak bisa digunakan bila kondisi lahannya adalah lahan basah dengan kedalaman > 20 cm dan kondisi tanah di bawahnya lembek. Berdasarkan hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap alsintan diperoleh informasi bahwa rasio luas lahan terhadap traktor sekitar 19 : 1. Artinya setiap traktor yang ada (sebagian besar merupakan traktor roda 2) harus dapat melayani lahan sekitar 20 ha (Tabel 29). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah traktor yang ada di Kabupaten Cilacap sudah mendekati ideal. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal traktor roda 2 agar tercapai kondisi impas minimal dapat mengolah lahan antara 11-15 ha/tahun. Saat ini di Kabupaten Cilacap semua lahan telah diolah secara mekanisasi, yaitu dengan menggunakan traktor. Tabel 29. Rasio Luas lahan dan Jumlah Alsintan di Kabupaten Cilacap, 2015 Rasio Luas Lahan: Alsintan 1. 2. 3. 4.
Lahan Lahan Lahan Lahan
: : : :
Traktor Transplanter Power thresher Combine Harvester
Angka Rasio (ha: unit) 19 : 1 8.065 : 1 24 : 1 50 : 1
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap, diolah (2015).
Lebih lanjut hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap transplanter sekitar 8.065 : 1. Artinya setiap trasplanter yang ada harus dapat melayani lahan 56
sekitar 8.065 ha (Tabel 29). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah transplanter yang ada di Kabupaten Cilacap masih sangat kurang. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal transplanter tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan tanam sekitar 32 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan tanam padi sawah di Cilacap masih dominan menggunakan alat tanam seperti dengan caplak dan secara manual kegiatan tanamnya. Rasio luas baku lahan terhadap alat panen power thresher sekitar 24: 1. Artinya setiap power thresher yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 24 ha (Tabel 29). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah power thresher yang ada di Kabupaten Cilacap sudah sangat cukup. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian PSEKP di Sulawesi Selatan (2015) yang menyatakan bahwa arael power thresher dalam setahun (rata-rata sekitar 2 ha/hari dan masa tanam/musim sekitar 15 hari) sehingga dapat bekerja ideal seluas 30 ha/musim. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Cilacap sebagian besar menggunakan power thresher, dan sebagian kecil sesuai dengan kondisi dan kesesuaian lahannya telah menggunakan alat panen mini combine harvester. Sementara untuk rasio luas baku lahan terhadap alat panen combine harvester sekitar 50: 1. Artinya setiap combine harvester yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 42-50 ha (Tabel 4). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah
combine harvester yang ada di Kabupaten Cilacap masih sangat kurang. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal
combine harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Cilacap masih sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester. Kedepan penggunaan combine
harvester dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat
dibandingkan dengan jumlah saat ini. Sementara itu, dengan tingkat produksi gabah yang ada di Kabupaten Cilacap sebesar 761.571 ton ternyata untuk gabah yang diproses menjadi beras di dalam wilayah dilayani oleh sekitar 1.907 unit RMU. Keberadaan RMU di Kabupaten Cilacap sebagian besar berskala kecil. Menurut Ditjen P2HP (2010) bahwa penggilingan Padi skala Kecil (PPK) adalah penggilingan padi dengan kapasitas produksi < 0,75 ton 57
beras per jam dengan konfigurasi mesin penggilingan padi terdiri dari husker dan
polisher (H-P). Penggilingan padi kecil biasanya hanya melakukan 1 kali penyosohan atau disebut dengan penggilingan padi 1 phase. Sementara
Penggilingan Padi
Sedang (PPS) adalah penggilingan padi dengan kapasitas produksi 0,75 – 3 ton beras per jam dengan konfigurasi mesin penggilingan padi terdiri dari cleaner,
husker, separator dan polisher. Penggilingan padi menengah dapat melakukan 2 kali proses penyosohan atau disebut dengan penggilingan padi 2 phase. Adapun penggilingan Padi Besar (PPB) adalah penggilingan padi dengan kapasitas produksi > 3 ton beras per jam dengan konfigurasi mesin penggilingan padi terdiri dari dryer,
cleaner, husker, separator dan polisher. Penggilingan padi besar dapat melakukan 3 kali atau lebih proses penyosohan atau disebut dengan penggilingan padi 3 phase. Berdasarkan informasi, bahwa kondisi RMU saat ini di beberapa sentra produksi padi di kecamatan di Cilacap sudah di bawah kapasitasnya. Pihak RMU terkadang melayani gilingan produksi gabah dari luar wilayah kecamatan, bahkan juga berasal dari luar kabupaten. Tabel 30. Jumlah RMU Berdasarkan Skala di Kabupaten Cilacap, 2014 No
Skala RMU
Jumlah (Unit)
1
Skala Kecil
2
Skala Menengah
1.034
3
Skala Besar Total
37 1.907
836
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
3.4.2. Analisis Manfaat Pengembangan Pertanian Melalui Penerapan Mekanisasi Analisis Manfaat Usahatani Seperti halnya di Soppeng, Sukoharjo dan Blora, di Cilacap kegiatan Pertanian Modern di desa juga belum full mechanized pada semua aktivitas usahatani, akan tetapi baru terbatas pada pengolahan lahan, tanam dan panen. Selain itu, penggunaan mesin panen (combine harvester) juga cukup terbatas dapat dilaksanakan pada musim MH atau MT1, namun tetap dapat melakukan panen dengan
mesin
Combine
Harvester
pada
musim
MH.
Oleh
karena
itu,
58
membandingkan manfaat adanya program Pertanian Modern dapat dilakukan pada saat musim MH atau MT-1. Perbandingan usahatani padi pada MT-1 antara pertanian Modern dan Non Modern (Konvensional) disajikan pada Tabel 33. Beberapa hal juga perlu dijelaskan terkait perbedaan komponen biaya usahatani antara pertanian modern dan non modern yang menyebabkan perbedaan efesiensi biaya dan pendapatan. Perbedaan tersebut hampir sama seperti halnya di lokasi kajian lainnya yaitu: (a) pada usahatani
pertanian
modern,
petani
tidak
lagi
melakukan
menyemai
dan
mengadakan benih sendiri, tetapi komponen biaya benih sudah masuk kedalam biaya transplanter, sementara pada pertanian nonmodern masih menggunakan benih dan membuat perbenihan sendiri, (b) pada pertanian modern menggunakan herbisida untuk
memberantas
rumput,
sedangkan
pada
nonmodern masih
menggunakan tenaga kerja penyiangan, (c) pada pertanian modern menggunakan
tranplanter untuk kegiatan tanam, sedangkan pada nonmodern menggunakan tenaga manusia/upahan pada kegiatan tanamnya, dan (d) pada usahatani modern menggunakan alat combine harvester dalam kegiatan memanen, sehingga petani memperoleh harga yang lebih baik dan kualitas gabah yang bagus serta penyusutannya kecil antara 3-5%, sedangkan pada non modern tidak (sebagian ditebaskan) dan menggunakan tenaga manusia dengan upah bawon, serta kehilangan hasil bisa mencapai 10-17%. Tabel
31
menunjukkan
bahwa
usahatani
padi
pada
PPM
dengan
menggunakan alat mekanisasi pertanian lebih efisien dan lebih menguntungkan, dengan indikasi sebagai berikut (per musim tanam): (a) total biaya produksi pada pertanian modern lebih rendah yakni Rp12,76 juta/ha, sementara pada pertanian nonmodern mencapai Rp15,03 juta/ha atau selisihnya sekitar 15%, (b) nilai produksi pada pertanian modern mencapai Rp 35,20 juta/ha, sedangkan pada nonmodern hanya Rp 31,90 juta/ha hal ini sebagai akibat tingkat produktivitas yang dihasilkan lebih tinggi pada pertanian modern dibandingkan nonmodern (8,00 ton/ha vs 7,25 ton/ha), dan (c) tingkat keuntungan pada pertanian modern lebih tinggi (Rp 22,44 juta/hektar) dibanding dengan nonmodern (Rp 16,87 juta/hektar).
59
Tabel 31. Usahatani Padi Sawah Pertanian Modern dan Non-Modern di Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten, Cilacap MT-1 2015 (Rp/hektar) No
Uraian
Modern (A)
Non-Modern (B)
Perubahan (%) ( A-B)
1
Faktor Produksi : a. Benih 320.000 0 b. Pupuk an organik 458.000 458.000 c. Pupuk organik 0 0 d. Pestisida 665.000 665.000 2 Tenaga Kerja : a. Traktor 900.000 900.000 b. Transplanter 1.571.500 0 c. Combine Harvester 2.971.429 0 d. Tanam 0 2.000.000 e. Penyiangan 750.000 750.000 f. Pemupukan 300.000 300.000 g. Panen 0 4.500.000 3 Biaya Lain : a. Sewa lahan 5.000.000 5.000.000 b. PBB 140.000 140.000 3 Total Biaya 12.755.929 15.033.000 4 Nilai Produksi 35.200.000 31.900.000 5 Keutungan 22.444.071 16.867.000 6 R/C Rasio 2,76 2,12 Sumber : Wawacara dengan Kelompok UPJA, Desa Bojong, Cilacap (2015)
-100,00 0,00 0,00 0,00 -100,00 0,00 0,00 -100,00 0,00 0,00 -15,15 10,34 33,06
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan efisiensi biaya; (a) seperti telah diungkapkan sebelumnya adalah bahwa pada pertanian modern petani tidak menangani pengadaan benih dan perbenihan, biaya sudah termasuk di dalam biaya
sewa Transplanter yaitu sebesar Rp 1,571 juta/hektar, sementara pada pertanian non modern selain harus mengeluarkan biaya benih sebesar Rp 320.000 juga petani harus mengeluarkan biaya tanam sebesar Rp 2 juta/hektar, (b) biaya penyiangan lebih efisien dari pada menggunakan biaya tenaga kerja penyiangan, (c) biaya panen dengan combine harvester disamping lebih cepat juga lebih murah dibanding dengan nilai bawon, dimana nilai bawon dengan perbandingan 7:1, maka biaya bawon dapat mencapai Rp 4,5 juta/ha; (d) Nilai R/C pada pertanian modern lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian nonmodern (2,76 vs 2,12). Berdasarkan kesimpulan di atas, selain terjadi efisiensi dalam penggunaan biaya produksi,
juga pada pertanian modern jumlah produksi
lebih banyak 60
dihasilkan dari panen karena kehilangan hasil lebih kecil dibandingkan dengan pertanian nonmodern. Hal ini debabkan dengan penggunaan mesin combine
harvester gabah langsung di-blower sehingga kebernasan gabah menjadi lebih bagus dan kehilangan hasil juga semakin kecil dibandingkan dengan panen konvensional/manual (8,0 ton/ha vs 7,25 ton/ha). Analisis Manfaat Usaha Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada Kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten- Cilacap UPJA Desa Bojong memiliki 10 unit traktor tangan yang diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Sesuai dengan data dan spesifikasi traktor yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Keputusan Peraturan Desa sesuai rapat UPJA tentang penetapan wilayah kerja traktor yaitu seluas 10-12 hektar sawah layanan per unit traktor, (b) harga traktor tangan adalah Rp 15,5 juta/unit, (c) umur ekonomis traktor adalah 15 tahun dan masa olah tanah adalah 2 kali per tahun yaitu selama 30 hari selama 2 kali musim tanam, (d) Nilai sisa traktor setelah 15 tahun adalah Rp 4 juta (26%) dan (e) harga sewa traktor sebesar Rp 900 ribu/ha. Pada Tabel 32 disajikan analisis finansial usaha traktor tangan di lokasi kajian. Tabel 32. Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Desa Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 (Rp/ha) No. 1
2 3 4
Komponen Biaya: 1.1. BBM 1.2. Oli: a. Mesin b. Gardan c. Gemuk/stempet 1.3. Spare part & service 1.4. Penyusutan 1.5. Operator 1.7.Total Pendapatan dari Sewa Keuntungan R/C rasio
Satuan
Volume
Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp)
Pangsa (%)
Liter
15,00
7.500
112.500
Liter Liter Kg Unit Ha -
0,60
30.000
1,00
900.000
18.000 2.494 2.493 41.667 31.944 360.000 569.098 900.000 330.902 1.58
12,50 2,00 0,28 0,28 4,63 3,55 40,00 63,23 100,00 36,77
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
61
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa traktor sebesar Rp 900 ribu/ha, total biaya usaha jasa traktor senilai Rp 569 ribu/ha atau sebesar 63,25% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp 331 ribu/ha atau sekitar 36,77% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar 1,58. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah untuk operator mencapai 40% dari total penerimaan danurutan kedua adalah biaya bahan bakar yaitu sebesar 12,50%. Berdasarkan informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan yang dengan hanya 12 hektar itu kurang memadai, karena pengembalian investasi traktor harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu lima tahun maka luas layanan pengolahan lahan minimal harus sekitar 25 hektar per musim tanam dengan asumsi semua faktor input (BBM, Oli dan Spare part adalah konstan). Sebenarnya pada analisis ini belum memperhitungkan perbedaan biaya operasional pada MT1 (MK1), dimana pada MK1 penggunaan bahan bakar relatif lebih efisien mencapai 3-4 liter, sehingga tingkat keuntungan akan lebih besar sekitar 5% dari pada musim MT-I, karena pada MT-II tidak dilakukan pembajakan terutama pada lahan sawah yang masih tergenang air (basah). Upaya untuk memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah mengembangkan wilayah layanan pengolahan tanam ke daerah lain, termasuk ke luar daerah jika memungkinkan. Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian modern, kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah lama penggunaannya secara luas dimasyarakat, sehingga dalam perkembangannya rasio pengelolaan traktor dengan luas lahan yang ada untuk diolahnya di lokasi kajian semakin mengecil. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh UPJA tentu harus melebarkan jangkauannya ke wilayah yang memang alsintannya masih terbatas.
Analisis Usaha Transplanter pada Kelompok UPJA Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten- Cilacap UPJA Desa Bojong memiliki 3 unit transplanter yang diusahakan untuk melayani penanaman padi pada lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui kelayakan usaha transplanter ini, maka berikut analisis finansial usaha transplanter. 62
Sesuai dengan data dan spesifikasi transplanter kelompok UPJA yaitu sebagai berikut: (a) situasi dan kondisi ketebalan lumpur yang ada di sawah desa Bojong, sehingga luas layanan yaitu 11 hektar sawah layanan per musim per unit
transplanter, (b) harga transplanter adalah Rp 75 juta, (c) umur ekonomis transpalnter adalah 10 tahun dan masa tanam adalah 2 kali per tahun, yaitu periode waktu tanamanya 20-30 hari dalam dua kali musim tanam,
transplanter
(d) Nilai sisa
setelah 10 tahun adalah 10% (Rp 7,5 juta) dan (e) harga sewa
transplanter sebesar Rp 1,4 juta/ha. Berikut pada Tabel 33 disajikan analisis finansial usaha transplanterdi lokasi kajian. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa transplanter Rp 1,4 juta/ha, total biaya usaha jasa transplanter senilai Rp 868 ribu/ha atau sebesar 61,975% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp 532 ribu/ha atau sekitar 38,03% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar 1,61. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah biaya penyusutan mencapai
22,53%
dari
total
penerimaan
danbiaya
pengadaan
benih
dan
pengerjaannya mencapai 15,82%, sedangkan operator adalah urutan ketiga yaitu sebesar 15,00%. Menurut informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan yang dengan hanya 11 hektar itu sangat investasi
kurang memadai, karena pengembalian
transplanter harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia
ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun, luasan arela yang dilayani transplanter minimal mencapai BEP adalah sekitar 19 ha/musim tanam. Kendala utama pengembangan Transplanter secara umum di Kabupaten Cilacap adalah: (a) jenis dan kondisi lahan yang memungkinkan digunakan
transplanter pada MH dan MK, (2) retensi tenaga kerja manual tanam masih cukup tinggi, karena mereka mengharapkan keikutsertaan dalam panen. Upaya untuk memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah mengembangkan wilayah layanan penanam sampai ke daerah lain. Secara umum pada penggunaan alat transplanter dalam rangka mendukung pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman sangatlah penting. Namun, jumlah alat transplanter masih terbatas jumlahnya, sehingga rasio luas lahan untuk diolahnya terhadap alat transplanter di lokasi kajian masih besar, 63
artinya peluang pengembangan alat mekanisasi transplanter masih sangat besar. Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan alat transplanter masih perlu terus ditingkatkan. Tabel 33. Struktur ongkos dan sewa Transplanter di UPJA Desa Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 No. Komponen 1
Harga satuan (Rp)
Nilai (Rp)
Pangsa (%)
Biaya penyediaan Benih : 1.1. Benih Padi 1.2. Tenaga pembenihan
2
Satuan Volume
Kg
24,5
7.000
171.500
12,25
HOK
1
50.000
50.000
3,57 -
Biaya: 2.1. BBM
Liter
7,00
7.400
51,800
3.70 -
2.2. Oli: a. Mesin
Liter
0,05
30.000
1.500
0,11
b. Hidroulik
Liter
0,05
40.000
2.000
0,14
c. Gemuk/stempet
Kg
2,493
0,18
2.3. Spare part & service
Unit
62.843
4,49
2.4. Penyusutan
-
315.421
22,53
2.5. Operator
-
210.000
15,00
2.7.Total
-
867.556
61,97
1.400.000
100,00
532.444
38,03
3
Pendapatan dari Sewa
4
Keuntungan
5
R/C rasio
Ha
1,00
-
1.400.000
1,61
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Analisis Usaha Power Thresher pada kelompok UPJA Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten- Cilacap UPJA Desa Bojong memiliki 5 unit power thresher yang diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di Desa Bojong. Spesifikasi power thresher yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang penetapan wilayah power thresher yaitu seluas 15 hektar sawah layanan per unit
power thresher, (b) harga power thresher adalah Rp 12 juta/unit, (c) umur ekonomis power thresher adalah sekitar 8-10 tahun dan masa panen adalah dua kali per tahun dimana periode kerja power thresher dalam satu kali musim panen sekitar 3 minggu (21 hari), (d) Nilai sisa power thresher setelah 8-10 tahun adalah Rp 1,2
64
juta (10%) dan (e) harga sewa power thresher sebesar Rp 720 ribu/ha. Pada Tabel 34 disajikan analisis finansial usaha power thresher di lokasi kajian. Tabel 34. Struktur Ongkos dan Sewa Power thresher di UPJA Desa Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 No. 1
Komponen
Satuan
Volume
Liter
3,57
Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp)
Pangsa (%)
7.400
26.418
3,67
Biaya: 1.1. BBM 1.2. Oli:
0,00
a. Mesin
Liter
0,714
30.000
21.429
2,98
b. Gardan
Liter
0,5
30.000
15.000
2,08
c. Gemuk/stempet
Kg
15.000
2,08
1.3. Spare part & service
Unit
20.605
2,86
1.4. Penyusutan
-
45.000
6,25
1.5. Operator
-
120.000
16,67
1.7.Total
-
263.452
36,59
720.000
100,00
456.548
63,41
2
Pendapatan dari Sewa
3
Keuntungan
4
R/C rasio
Ha
1
-
720.000
2,73
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Nilai sewa power thresher Rp 720.000/ha, total biaya usaha jasa power
thresher senilai Rp 263.000 /ha atau sebesar 36,59% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha power thresher sebesar Rp 457 ribu/ha atau sekitar 63,41% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar 2,73. Komponen terbesar dari biaya usaha power thresher adalah biaya operator mencapai 16,67% dari total penerimaan dan penyusutan mencapai 6,25%. Pada kegiatan usaha jasa power thresher ini (UPJA), setiap petani yang menggunakan jasa panen alsintan power thresher harus membayar (mengeluarkan) sebanyak 25 kg per setiap 1 ton hasil panen. Dari hasil tersebut, maka UPJA harus mengalokasikan 1/7 untuk bagian operator dan yang membantu operasional power
thresher dan sisanya untuk bagian UPJA tersebut. Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan
power thresher saat ini sekitar 15 ha/musim yang dinilai masih kurang memadai. Idealnya area layanan power thresher seluas 30 ha/musim. Juga terdapat power
thresher yang masuk dari daerah lain, sehingga tidak terjadi kekurangan pada saat
65
panen padi. Saat ini, kegiatan panen padi sawah di Cilacap sebagian besar menggunakan power thresher, dan sebagian kecil menggunakan alat panen mini
combine harvester.
Pemilihan alsin disesuaikan dengan kondisi dan kesesuaian
lahannya telah. Secara umum pada penggunaan alat panen power thresher dalam rangka mendukung pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat pemanen sangatlah penting. Jumlah alat power thresher di lokasi kajian Desa Bojong memang masih kurang, namun dalam lingkup Kabupaten Cilacap keberadaan alsintan ini sudah cukup. Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan power thresher secara khusus dapat disediakan pada daerah yang masih membutuhkannya, atau melalui relokasi/optimalisasi penggunaan alsintan power thresher dari wilayah yang cukup ke wilayah yang masih kekurangan.
Analisis Usaha Combine Harvester pada kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap UPJA Desa Bojong memiliki 3 unit power mini Combine Harvester yang diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di Desa Bojong. Untuk mengetahui kelayakan usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha
combine haevester. Sesuai dengan data dan spesifikasi Combine Harvester yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang wilayah yang memungkin kondisi lahannya dpat dilayani dalam panenya oleh
Combine Harvester adalah bisa seluas 50 hektar sawah layanan per unit Combine Harvester, (b) harga mini Combine Harvester adalah Rp 240 juta/unit, (c) umur ekonomis Combine Harvesteradalah sekitar 10 tahun dan masa panen adalah 2 kali per tahun dimana periode kerja Combine Harvesterdalam satu kali musim panen sekitar 3 minggu (21 hari), (d) Nilai sisa Combine Harvestersetelah 10 tahun adalah Rp 24 juta (10%) dan (e) harga sewa Combine Harvestersebesar Rp 2,97 juta/ha. Nilai sewa Combine Harvester Rp 2,97 juta/ha, total biaya usaha jasa Combine
Harvester senilai Rp 1,86 juta/ha (62,66% terhadap penerimaan), dan keuntungan usaha Combine Harvester sebesar Rp 1,11 juta/ha (37,34% dari penerimaan) serta perolehan R/C rasio sebesar 1,60. Komponen terbesar dari biaya usaha Combine
Harvester adalah biaya operator mencapai 53,85% dari total penerimaan, biaya spare part sekitar 3,77% dan penyusutan hanya mencapai 2,63% (Tabel 35). 66
Petani yang menggunakan jasa panen alsintan Combine Harvester harus membayar jasa dalam bentuk natura sebesar 1:7, yaitu jika mendapat 7 ton hasil panen maka Combine Harvester memperoleh 1 ton bagian. Dari bagian Combine
Harvester tersebut, sekitar 35% dialokasikan untuk operator dan yang membantu operasional Combine Harvester dan sisanya 65% untuk bagian UPJA tersebut. Tabel 35. Struktur Ongkos dan Sewa Mini Combine Harvester di UPJA Desa Bojong, kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 No. Komponen 1
Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp)
Pangsa (%)
7,00
6.900
48.300
1,63
Liter
0,37
30.000
11.100
0,37
Liter
0,25
30.000
7.500
0,25
Satuan
Volume
Liter
a. Mesin b. Gardan
Biaya: 1.1. BBM 1.2. Oli:
c. Gemuk/stempet
Kg
5.000
0,17
1.3. Spare part & service
Unit
112.000
3,77
1.4. Penyusutan
-
78.000
2,63
1.5. Operator
-
1.600.000
53,85
1.7.Total
-
1.861.900
62,66
2.971.429
100,00
1.109.529
37,34
2
Pendapatan dari Sewa
3
Keuntungan
4
R/C rasio
Ha
1
-
2.971.429
1,60
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Rataan luas lahan layanan Combine Harvester sekitar 50 ha. Ideal combine
harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Adapun alasan masih rendahnya penggunaan combine
harvester pada sistem panen di lokasi kajian disebabkan oleh: (a) jumlah combine Harvester masih terbatas, dimana UPJA baru memiliki 3 unit, (b) kondisi lahan, terutama pada MT-I tidak memungkinkan menggunakan combine harvester, dan (c) masih adanya retensi dari tenaga kerja panen yang masih cukup tinggi, sehingga UPJA tidak terlalu bersemangat untuk menggunakan combine harvester, walaupun sebenarnya untuk memperoleh combine harvester cukup mudah, baik dengan cara sewa atau pun pembelian melalui kredit. Masih terbatasnya penggunaan combine harvester di Kabupaten Cilacap antara lain disebabkan selain oleh kondisi lahan yang ada, juga harga combine harvester pun cukup mahal sekitar Rp 280 juta/unit untuk ukuran 60 PK. Combine harvester 67
tidak bisa digunakan bila kondisi lahannya adalah lahan basah dengan kedalaman > 20 cm dan kondisi tanah di bawahnya lembek. Untuk mengoptimalkan peran mesin
combine harvester, UPJA telah melakukan ekspansi lokasi panen ke luar Jawa yaitu ke Sumatera. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Cilacap masih sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester. Ke depan penggunaan
combine harvester dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah saat ini. 3.4.3. Pengembangan Pertanian Melalui Kelembagaan Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA) Kelembagaan UPJA sesungguhnya telah lama berkembang di Indonesia, tetapi baru secara formal berkibar sejak dikeluarkannya Permentan No.25/2008 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian. Dengan dikeluarkannya Permentan ini, Pemerintah Daerah diberi mandat untuk membina dan memfasilitasi UPJA yang terdapat di daerahnya masing-masing, sehingga UPJA tersebut dapat menuju ke arah kelembagaan yang profesional. UPJA adalah suatu lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendapatkan keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/ gapoktan. Latar belakang kegiatan penumbuhan dan pengembangan UPJA ini antara lain adalah: (1) masih kurang optimalnya kepemilikan alsintan oleh petani, (2) masih rendahnya tingkat penguasaan
informasi dan teknologi dalam pengelolaan
mekanisasi pertanian, dan (3) terdapatnya indikasi penurunan daya dukung lahan pertanian. Sementara tujuan penumbuhan dan pengembangan UPJA adalah untuk mendorong
pengembangan
dan
kemajuan
kinerja
UPJA,
mengoptimalkan
pemanfaatan alsintan dari aspek teknis, ekonomis, organisasi dan aspek penunjang. UPJA mempunyai fungsi sebagai pelayanan jasa alsintan dalam penanganan budi daya (penyiapan lahan, pemberian air irigasi, penanaman, pemeliharaan, perlindungan tanaman), pelayanan pengolahan hasil pertanian (jasa pemanenan, perontokan, pengeringan dan penggilingan padi), dan secara luas mendorong pengembangan produk dalam rangka peningkatan nilai tambah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani. Pengembangan UPJA ke depan meliputi berbagai subsistem yaitu Kelembagaan UPJA, Penyediaan alsintan, suku cadang, 68
pelayanan, perbaikan, perbengkelan, pengguna jasa alsintan (kelompok tani, gapoktan, P3A), Permodalan dan pendanaan, Pembinaan dan pengendalian oleh instansi. Pengembangan mekanisasi di Jawa Tengah dan khususnya di Kabupaten Cilacap didukung tumbuhnya bengkel alat mesin pertanian (alsintan). Data pada tahun 2013, di Jawa Tengah telah terdapat 11 bengkel alsintan yang dibina oleh Balai Alsintan Jateng yang tergabung ke dalam Paguyuban Bengkel Alsin Jawa Tengah. Bengkel alsin mulai berkembang karena semakin banyak petani yang menggunakan
alsintan
untuk
menggarap
lahan
pertaniannya,
antara
lain
penggunaan traktor untuk mengolah lahan pertanian. Kegiatan yang dilakukan oleh bengkel alsintan tidak hanya sebatas pada perbaikan alsintan saja melainkan merancang teknologi alsintan yang dapat disesuaikan dengan pemesanan. Melalui kelembagaan UPJA dan Paguyuban Bengkel Alsintan di Jateng, maka bahwa Jateng yang merupakan salah satu sentra produksi pangan, sangat didukung oleh kondisi mekanisasi pertanian yang maju. Pada tahun 2015, guna mendukung swasembada pangan di Kabupaten Cilacap, sebanyak 49 mesin traktor tangan dan 22 pompa air merupakan bantuan dari Presiden RI.
Upaya tersebut dalam rangka meningkatkan produksi melalui
peningkatan Indeks Pertanaman (IP), sehingga diperlukan tambahan jumlah alat mesin, khususnya untuk tanaman pangan. Kebijakan pengembangan mekanisasi pertanian harus mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, mutu dan nilai tambah, mendorong tumbuhnya industri alat dan mesin dalam negeri dan mendorong kemitraan antara industri besar dan UKM. Strategi yang perlu ditempuh dalam pengembangan mekanisasi pertanian adalah membangun industri pertanian di pedesaan berbasis mekanisasi pertanian pada sentra produksi. Unit traktor tangan diserahkan kepada 49 kelompok tani, Gapoktan dan Unit Pengelola Jasa Alsintan (UPJA) di 20 kecamatan. Sementara 22 mesin pompa air diserahkan kepada 22 kelompok tani, Gapoktan dan P3A di 13 wilayah kecamatan. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015), bahwa jumlah kelompok tani di Kabupaten Cilacap berjumlah sekitar 2.033 kelompok dan jumlah gapoktan sebanyak 279. Adapun jumlah kelompuk Usaha Pengelola Jasa Alsintan (UPJA) sebanyak 115 UPJA. Jumlah UPJA terbanyak terdapat di Kecamatan 69
Gandrungmangu sebanyak 23 UPJA, dan UPJA yang paling aktif terdapat di Kecamatan Kawunganten. Jumlah UPJA di Kawunganten berjumlah 2 UPJA, dan UPJA teraktif adalah UPJA Setia Dadi. Tabel 36. Jumlah Kelompok Tani, Gapoktan dan UPJA di Kabupaten Cilacap, 2014. No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Dayeuhluhur Wanareja Majenang Cimanggu Sidareja Cipari Kadungreja Patimuan Gandrungmangu Karangpucung Cilacap Selatan Cilacap Tengah Cilacap Utara Kesugihan Jeruklegi Kawunganten Bantarsari Kampung Laut Sampang Maos Adipala Kroya Binangun Nusawungu Jumlah
Kel. Tani
Gapoktan
UPJA
155 147 135 96 80 84 125 109 106 92 13 20 26 110 65 96 65 34 55 53 92 93 95 87 2.033
14 16 17 15 10 11 11 7 14 14 2 3 5 16 13 12 8 4 10 10 16 17 17 17 279
4 8 4 4 6 3 11 7 23 0 0 1 1 12 12 2 2 1 2 3 1 5 1 2 115
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
UPJA Setia Dadi berada di Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten, berdiri sejak tahun 2014 dan berbadan hukum dengan akta notaris. Pada awal berdirinya hanya memiliki 2 unit alsintan yaitu hand traktor, dan saat ini telah memiliki antara lain: (1)
Hand tractor 10 unit, (2) Power Thresher 5 unit, (3) Dryer 1 unit, (3) Transplanter 1 unit, (4) Combine Harvester 3 unit, (5) RMU 1 unit, (6) Alat Bengkel 1 unit. Adapun daerah operasional kegiatan UPJA Setia Dadi yaitu meliputi seluruh kecamatan di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Jepara, Kabupaten Subang, dan bahkan luar Jawa seperti Palembang dan Lampung. Areal operasional ini terutama 70
pada kegiatan aktivitas panen dengan alat panen Combine Harvester. UPJA ini juga sebagai tempat belajar UPJA lain dan petani/kelompok tani dari berbagai daerah, yaitu dalam Kabupaten Cilacap sendiri, Kabupaten Jepara, Kabupaten Tegal, Kabupaten Klaten, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Semarang, Provinsi Papua, Riau, Sulawesi Selatan dan Maluku. Berkembangnya UPJA Sido Dadi tidak terlepas dari keaktifan dan soliditas pengurus UPJA terutama Ketuanya. Jumlah pengurus UPJA sebanyak empaat orang, dan anggota melingkupi petani di Desa Bojong. Luas Lahan sawah di Desa Bojong mencapai 921 hektar, yang mencakup lahan pemilikan perorangan seluas 531 ha, lahan bengkok seluas 100 ha, dan lahan Perhutani (sawah) seluas 290 ha. 3.4.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran
Kelembagaan Pengelolaan Usahatani Dan Penyediaan Input Pengelolaan usahatani pada daerah yang mendapat pelayanan Usaha Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA) sepenuhnya dilaksanakan oleh petani. Hanya saja petani menggunakan jasa Alsintan untuk melakukan pengolahan tanah, penanaman, dan pemanenan. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa total luas lahan sawah di lokasi kajian Desa Bojong Kawunganten mencapai 921 hektar, yang mencakup: lahan pemilikan perorangan seluas 531 ha, lahan bengkok seluas 100 ha, dan lahan Perhutani (sawah) seluas 290 ha. Pada lokasi tersebut, penanaman lahan seluruhnya menggunakan jasa traktor yang ada di desa tersebut. Jumlah traktor keseluruhan terdapat 72 unit dimana 10 diantaranya adalah milik UPJA. UPJA melakukan inisiatif melakukan pertemuan/rembugan diantara para pemilik traktor perorangan yang dihadiri oleh seluruh aparat desa termasuk Babinsa untuk menetapkan Perdes (Peraturan Desa) tentang pengaturan luas maksimal pelayanan untuk masingmasing traktor yang ada di Desa Bojong. Di antara keputusan yang dibuat adalah: (a) menetapkan luas maksimal pelayanan masing-masing traktor yaitu berkisar antara 10-12 hektar per unit traktor. Hal ini dengan mempertimbangkan jadwal pengaturan air, jadwal tanam, dan jumlah traktor, (b) menetapkan besaran biaya atau upah traktor untuk pengolahan tanah sampai siap tanam, dimana untuk tahun 2014/2015 ditetapkan sebesar Rp 900.000 per hektar, yang tidak dibedakan antara musim MT-I (MH) dengan MT-II (MK1), dan (c) menetapkan larangan adanya 71
traktor dari luar daerah/desa untuk melakukan pengolahan lahan sawah di Desa Bojong, hal ini tentu dengan memperhatikan bahwa jumlah traktor di desa ini sudah melebihi luas areal yang ideal untuk satu unit traktor, yaitu idealnya adalah 15-20 hektar per musim. Secara sosiologis, penggunaan traktor di desa ini sudah sangat diterima dan bahkan terindikasi kelebihan alat traktor. Hal yang mendasari bahwa masyarakat bahwa traktor ini diterima secara social adalah : (a) ketersediaan tenaga kerja untuk mengolah sudah kurang, bahkan untuk tanaga kerja muda sudah tidak ada, karena
opportunity cost tenaga kerja di luar sektor pertanian lebih tinggi dan lebih bergengsi, (b) waktu yang dibutuhkan dalam pengolahan lahan sangat cepat untuk mengejar
jadwal
tanam,
sehingga
yang
memungkinkan
adalah
dengan
menggunakan traktor, (c) lebih efisien bagi sisi pemilik lahan, dan (d) tidak ada ketergantungan, karena traktor setiap saat senantiasa stand by. Sementara terkait dengan mengadaan input seperti benih, pupuk dan pestisida. Pemenuhan benih dan pestisida tersedia dua pilihan yaitu langsung membeli ke kios saprotan atau dapat juga memperoleh melalui kelompok atau gapoktan. Bagi petani yang langsung membelinya ke kios saprotan adalah petani yang memiliki sumberdaya modal yang cukup, yang memang harganya lebih murah namun harus dibayar secara tunai. Sementara petani yang kurang mampu biasanya memperoleh dari kelompok tani atau gapoktan, dimana pembayarannya adalah dengan cara dibayar setelah panen, namun konsekuensinya harga diperhitungkan berbeda (sedikit lebih mahal). Pupuk hampir seluruhnya diperoleh melalui kelompok atau gapoktan, karena perencanaan pengadaan dan perolehan pupuk menyesuaikan dengan RDKK yang sudah di rencanakan dan dikelola oleh kelompok. Bagi petani keberadaan kelompok
atau gapoktan sangat menolong, terutama jika terjadi
musibah serangan OPT dan kekeringan. Jika terjadi kegagalan panen, maka akan ada penangguhan pembayaran sarana produksi ke kelompok atau gapoktan, yang didalamnya juga merupakan kelompok UPJA. Selain itu, pada UPJA juga tersedia pelayanan jasa tanam dengan alat transplanter. Pada pengelolaan usahatani khususnya adalah pengadaan benih padi, maka ketersedian benih dengan mempertimbangkan varietas, ketepatan, dosis benih sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan, ketika petani menggunakan 72
jasa transplanter, maka pengadaan benih dan persemaiannya tidak mungkin dilakukan oleh petani, akan tetapi dipenuhi oleh pemilik UPJA. Sistem persemaian dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian yang cukup memadai atau berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah). Dengan demikian adopsi inovasi khususnya penggunaan varietas unggul dan efisiensi penggunaan benih padi menjadi
sangat
ideal
jika
menggunakan
transplanter. Namun disayangkan
penggunaan transplanter memiliki keterbatasan terutama pada MT-I (MH), sehingga dari 921 hektar sawah hanya baru sekitar sekitas 50 hektar saja yang menggunakan jasa transplanter. Pada saat MH, penggunaan transplanter terkendala oleh kedalaman lumpur sawah. Di samping itu, untuk jasa tanam masih bersaing dengan kelompok tanam manual, dimana pada kondisi saat ini masih mengharapkan lapangan pekerjaan untuk kegiatan tanam tersebut. Hal ini mengingat, aktivitas kegiatan tanam yang dilakukan secara manual berkaitan dengan kesempatan memanen hasil padi yang ditanamnya. Penyediaan benih yang berkualitas pada petani atau sawah yang sudah mendapat palayanan jasa transplanter dapat dilakukan oleh UPJA dan menjadi bagian usaha UPJA dalam penyediaan benih. Pada luasan 50 hektar, UPJA dapat melakukan penangkaran benih dari label biru untuk dijadikan label ungu, sehingga kualitas benih dapat terkontrol, atau UPJA dapat menyesuaikan penggunaan varietas sesuai dengan perkembangan pasar gabah dan mempertimbangkan eksplosif hama penyakit. Jumlah benih yang digunakan per hektarnya pun juga dapat dikontrol, sehingga menjadi lebih efisien dan pertumbuhan anakan akan menjadi lebih baik. Selain itu, bagi petani yang penggunaan jasa transplanter lebih cepat dan lebih murah dibanding dengan harus menggunakan jasa tanam manual. Upah jasa tanam manual cukup mahal yaitu Rp 45.000 per hari, sedangkan jika dengan pelaksanaan borongan 16 orang x Rp 45.000. Pada tanam manual, petani juga harus menyiapkan benih dan pengolahan perbenihan sendiri.
Kelembagaan Pascapanen dan Pemasaran Pengelolaan panen, di lokasi kajian Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten sebagian besar masih menggunakan panen sistem manual, dimana panen menggunakan tenaga rombongan sekitar 10-15 orang dengan menggunakan sabit
73
dan dirontokan dengan menggunakan power thresher. Adapun upah yang diberikan adalah 1/7 bagian pemanen, dan 6/7 bagian pemilik lahan sawah. Pada bagian 1/7 tersebut, sekitar 25 kg per bau (1 bau= 0,714 ha) diberikan untuk biaya thresher. Masih terdapat sekitar 750 hektar sawah di Desa Bojong sistem panennya menggunakan manual, karena: (a) jumlah combine Harvester masih terbatas, dimana UPJA baru memiliki 3 unit, (b) kondisi lahan, terutama pada MT-I tidak memungkinkan menggunakan combine harvester, dan (c) masih adanya retensi dari tenaga kerja panen yang masih cukup tinggi, sehingga UPJA tidak terlalu bersemangat untuk menggunakan Combine Harvester, walaupun sebenarnya untuk memperoleh Combine harvester cukup mudah baik dengan cara sewa atau pun pembelian melalui kredit. Untuk mengoptimalkan peran mesin harvester, UPJA telah melakukan ekspansi lokasi panen ke luar Jawa yaitu ke Sumatera. Pada kegiatan panen manual sesungguhnya juga terdapat kendala yang dihadapi petani, yaitu: (a) kehilangan hasil masih relatif tinggi, karena ada ” moral hazard” dimana ada kelompok panen yang terkadang diantaranya juga sebagai pemilik bebek, sehingga gabah banyak tercecer dan malai juga masih banyak yang tidak terpanen, (b) pengerjaannya lebih lama, (c) jaminan ketersediaan tenaga panen tidak terjamin, dan (d) biaya panen relatif lebih mahal. Sebagian besar petani biasanya menjual hasilnya dalam bentuk gabah kering panen (GKP), setelah mereka menyisihkan gabah untuk keperluan rumah tangganya. Penjualan gabah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dijual ke kelompok tani atau UPJA, atau juga petani dapat menjual gabahnya ke para tengkulak. Gabah yang dibeli kelompok tani/UPJA selanjutnya dijual sesuai permintaan gabah dari BULOG Kabupaten Ciamis. BULOG biasanya membeli gabah sesuai persyaratan/spesifikasi tertentu yang harus dipenuhi kelompok tani/UPJA, dan biasanya volumenya telah ditentukan. Harga gabah yang diterima UPJA berbeda antara musim MT-I dan MT-II, pada MT-II harga gabah mencapai Rp 4.200/kg dan pada MT-I hanya sekitar Rp. 3.800/kg. Pada kedua musim tersebut, harga gabah di masyarakat umumnya berada di atas harga patokan pembelian Pemerintah, sehingga pemerintah untuk pengadaan stok gabah otomatis harus membeli dengan harga yang sama dengan harga yang terdapat di masyarakat. 74
3.5.
Peluang dan Kendala Pengembangan Pertanian Modern Melalui Mekanisasi Pertanian
Pertanian modern dapat menjadi suatu wujud sistem usahatani dengan spesialisasi produk yang sangat beragam, penggunaan tradeable input makin tinggi dan sudah mempraktekkan sistem manajemen usahatani lebih efisien. Salah satu ciri praktek pertanian modern adalah penggunaan mekanisasi pertanian yang sudah berjalan secara intensif dan efisien. Mekanisasi pertanian dapat diartikan sebagai pengenalan dan penggunaan dari setiap bantuan yang bersifat mekanis untuk melangsungkan operasi pertanian. Secara umum mekanisasi pertanian dapat juga diartikan sebagi penerapan ilmu teknik untuk mengembangkan, mengorganisasi, dan mengendalikan operasi di dalam produksi pertanian. Ruang lingkup mekanisasi pertanian juga berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan modernisasi pertanian. Mekanisasi pertanian bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, meningkatkan produktifitas lahan, dan menurunkan ongkos produksi. Penggunaan alat dan mesin pada proses produksi dimaksudkan untuk meningkatkan efesiensi, efektifitas, produktivitas, kualitas hasil, dan mengurangi beban kerja petani. Oleh karena itu, agar pemanfaatan potensi lahan yang tersedia tersebut dapat optimal, perlu didukung oleh sistem mekanisasi pertanian yang baik. Pengembangan Pertanian yang ditopang oleh mekanisasi pertanian menjadikan pertanian lebih maju dan modern yang dapat dicontoh oleh daerah lainnya. Berdasarkan Pedoman Umum (Pedum) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), bahwa setiap provinsi minimal ada satu percontohan Pertanian Modern. Kata kunci Pertanian Modern paling menonjol adalah : (a) full mechanized dan (b) integrated farming. Namun pada kenyataannya pada lokasi yang sudah melaksanakan pertanian modern baru sebagian kegiatan yang menggunakan mekanisasi dan pengelolaannya terintegrasi. Pada pengertian terintegrasi, dengan tujuan untuk meningkatkan populasi tanaman per satuan luas dan memudahkan mobilitas alsintan pada suatu hamparan, maka pada tingkat tertentu batas-batas galengan diintegrasikan. Walaupun hal ini dilapangan masih menjadi pembahasan, karena masyarakat menganggap bahwa aset lahan itu merupakan satu-satunya barang yang berharga, mereka masih meragukan akan 75
keamanan kepemilikan lahan mereka, dan secara teknik topografi sebenarnya kondisinya tidak memungkinkan jika seluruh sawah pertanian modern semuanya dihilangkan galengannya (dengan luas pertanian modern 100 hektar) dan pengelolaannya diintegrasikan. Artinya dalam pelaksanaan pertanian modern, memerlukan waktu yang lama untuk sosialisasi dan persiapan dengan matang sehingga petani dapat secara rasional menerima konsep tersebut. Hal ini tentu tidaklah mudah untuk dilaksanakan, dimana pada konsep pertanian modern salah satu kata kuncinya adalah integrated farming, diantaranya sebagian petani tidak lagi secara penuh mengelola usahataninya sehingga harus mencari pekerjaan di sektor pertanian.
Permasalahannya, kesempatan kerja di sektor non pertanian belum
tumbuh dengan baik. Pertanian Modern diintroduksikan dalam bentuk PPM di tiga lokasi yaitu : Kabupaten Soppeng, Sulsel; Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Blora, Jateng. Para petani di lokasi kajian cukup merespon dengan baik sistem pertanian modern dengan konsep pengelolaan usahatani secara corporate dan konsolidasi lahan. Konsolidasi lahan dilokasi PPM direspon petani dengan mengecilkan galengan sawah. Di Sukoharjo, petani pernah melakukan pengecilan galengan sawah, dalam hal ini galengan sawah belum bisa dihilangkan karena masih diperlukan agar saat pengairan satu petakan sawah dapat optimum pengenangannya.
Pengelolaan
lahan/sawah oleh 1-2 orang petani pemilik dengan luasan 3 ha hasil konsolidasi dan petani lainnya secara konsep akan diberikan mata pencaharian lainnya non usahatani, sulit dilaksanakan.
Pada dua lokasi PPM lainnya, yaitu Soppeng dan
Blora, konsolidasi lahan merupakan tantangan yang berat.
Hal ini disebabkan
karena pematang memiliki fungsi sebagai batas kepemilikan lahan dan berfungsi sebagai penahan air, agar air tidak terus mengalir ke lahan yang lebih rendah. Pada
pelaksanaannya,
sangat
sulit
mengkonsolidasi
lahan
terutama
penghilangan galengan sawah karena infrstruktur irigasi yang belum siap, dan air sering sulit masuk dari satu petakan ke petakan lainnya mengingat tofografi lahan yang cenderung tidak rata dan letaknya seringkali tidak simetris. Seperti telah dikemikakan ditas, pola pengelolaan secara corporate, dimana beberapa petani akan diberikan mata pencaharian non usahatani dalam prakteknya sangat sulit karena kebiasaan petani dan juga keterampilan yang dimiliki petani. Selain itu, permodalan 76
juga masih menjadi kendala untuk pelaksanaannya. Permasalahan sosial lainnya tentu akan muncul ketika pengelolaan lahan dengan meniadakan galengan, sementara masalah admistrasi lahan secara baik belum dipersiapkan oleh BPN untuk keperluan tersebut dan juga dukungan infrastruktur irigasi yang belum sepenuhnya memadai untuk kegiatan usahatani dengan konsolidasi lahan. Pada kegiatan pertanian modern dengan dukungan mekanisasi pertanian dapat diartikan sebagai pengenalan dan penggunaan dari setiap bantuan yang bersifat mekanis untuk melangsungkan operasi pertanian. Mesin pertanian yang relatif baru berkembang yaitu alat mesin tanam (transplanter) dan alat panen (combine
harvester). Sementara alsintan lainnya yang sudah lama berkembang dan eksis dalam kegiatan usahatani dan pasca panen adalah traktor, power thresher dan RMU (Rice Milling Unit). Kegiatan
mekanisasi
pertanian
berjalan
dapat
meningkatkan
efesiensi,
efektifitas, produktivitas, kualitas hasil, dan mengurangi beban kerja petani. Pengembangan Pertanian yang ditopang oleh mekanisasi pertanian akan dapat menjadikan sosok pertanian lebih maju dan modern yang dapat dicontoh oleh daerah lainnya, terutama disekitar lokasi percontohan. Peluang dalam peningkatan pelaksanaan Pertanian Modern adalah: (a) perlunya meningkatkan peran dan kelembagaan UPJA untuk meningkatkan pemanfaatan alsin dan pengembangan jumlahnya untuk mendukung program peningkatan produksi padi, (b) karena salah satu jargon pertanian modern adalah
full mechanize, maka bantuan alsintan yang cukup intensif dan diharapkan akan meningkatkan produksi pasca modernisasi pertanian melalui dukungan alsintan, (c) dengan
waktu
yang
cukup
untuk
penyempurnaan
konsep
dan
dukungan
infrastruktur serta pendukungnya, maka peluang pengembangan pertanian modern akan berhasil dengan baik. Kabupaten Cilacap merupakan daerah yang yang mempunyai UPJA terbaik secara nasional. Penggunaan alsin untuk usaha pertanian telah berkembang dengan baik, namun tidak menjadi lokasi percontohan pertanian modern. Dalam kasus ini, Kabupaten Cilacap pada tahun 2014 sebenarnya sudah mendapat tawaran untuk menjadi daerah contoh pengembangan Pertanian Modern, namun pada saat itu, terkendala oleh beberapa hal, diantaranya: (a) belum adanya sosialisasi yang baik 77
terhadap masyarakat, sehingga masyarakat masih meragukan manfaat Pertanian Modern, (b) waktunya terlalu pendek untuk melakukan sosialisasi dan pendekatan terhadap masyarakat, (c) belum jelasnya beberapa pengertian terkait peraturan dalam Pertanian Modern, seperti dihilangkannya galengan, dimana masyarakat merasa khawatir akan terjadi konflik dengan sesama petani ketika sawahnya bersatu tanpa
sekat
galengan,
(d)
kepemilihan
lahannya
sempit,
sehingga
untuk
mengkonsolidasikan usahatani seluas 100 hektar dengan melibatkan sekitar 300-400 petani dan harus dengan musyawarah, dapat dibayangkan kesulitannya dengan cukup beragamnya pemikiran petani sebanyak itu.
Walaupun demikian, masih
terdapat peluang untuk pelaksanaan Pertanian Modern di Kabupaten Cilacap antara lain adalah: (a) pemerintah pusat telah melihat dari keberhasilan UPJA yang merupakan peluang besar untuk mendapat program tersebut, (b) karena salah satu jargon pertanian modern adalah full mechanize, maka dari sisi pengelolaan alsintan di Cilacap telah menjadi rujukan daerah lain, (c) dengan waktu yang cukup untuk memberikan
pemahaman
kepada
petani,
maka
peluang
tahun
mendatang
diharapkan petani akan siap untuk menerima Pertanian Modern. Dengan luas 100 hektar, tentu tidak sampai setengah luas pertanian sawah di desa dapat diorganisasikan menjadi pertanian modern. 3.6.
Pembelajaran dan Indikasi Kebijakan yang Dibutuhkan untuk Pertanian Modern.
Dari pengamatan, diskusi dan pembahasan kajian pertanian modern ini dapat ditarik suatu pembelajaran serta indikasi kebijakan yang dibutuhkan agar penerapan konsep pertanian modern lebih efektif dikemudian hari. Pemilahan pembelajaran dan indikasi kebijakan yang dibutuhkan meliputi : (1) konsep dan persiapan implementasi pertanian modern, (2) dukungan prasarana alsintan, faktor produksi dan teknologi budi daya, (3) koordinasi lintas sektor (BPN, PU pengairan, Kemperindag, dll), (4) manajemen sumberdaya manusia. Didalam pelaksanaannya pertanian modern ini, antar daerah sangat bervariasi mulai dari belum bisa dilaksanakan, sudah dilaksanakan tetapi belum sepenuhnya modern, dan ada yang sudah lebih maju. Kabupaten yang belum mampu melaksanakan Pertanian modern pada tahun 2015 adalah di kabupaten Cilacap, diantara alasannya adalah : (a) petani belum memahami dan menerima untuk
78
dilakukan konsolidasi lahan dan pengelolaan terintegrasi, (b) petani belum meyakini keberhasilan pertanian modern, dan (c) petani masih belum membayangkan mau bekerja apa jika lahan mereka dikelola oleh korporasi, karena di Cilacap
untuk
kegiatan tertentu masih cukup tersedia tenaga kerja. Sedangkan
kabupaten yang sudah menerapkan pertanian modern tetapi
belum sempurna atau baru sebagian kegiatan yang dikelola secara modern adalah di Kabupaten Soppeng, Sulsel; Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Di ketiga kabupaten pertanian modern baru terlaksana pada tahap kegiatan pengolahan lahan, penanaman dan panen. Konsolidasi lahan per 3 hektar tetapi pada saat ini kembali diberi galengan dengan ukuran galengan kecil, karena permasalahan
pengaturan
irigasi
dan
batas
kepemilikan
lahan.
Kegiatan
pemeliharaan, pemanenan dan penjualan hasil masih dilakukan secara individu. Permasalahan yang dipandang belum bisa terselenggaranya pertanian modern secara sempurna adalah : (a) Waktu persiapan untuk pelaksanaan PPM kurang memadai, sehingga dalam perjalanannya banyak kendala, misalnya memberikan pemahaman dan keyakinan kepada petani memerlukan waktu yang cukup, termasuk untuk melakukan konsolidasi dengan pihak-pihak terkait, seperti pemerintah desa, PU pengairan, dll, (2) Fasilitas sarana dan prasarana belum berimbang antara luas areal PPM dengan jumlah alsintan yang disediakan, misalnya jumlah traktor dan
transplanter tidak memadai, jumlah tray kurang. Kualitas alsintan yang diadakan beberapa kurang memadai sehingga agak menghambat pelaksanaan PPM, (3) antara konsep dengan implementasi masih belum sinkron sehingga menghambat terlaksananya pertanian modern, misalnya dalam konsep petani yang bergabung akan diberi modal untuk sektor nonpertanian, itu sama sekali tidak ada realisasinya, sehingga petani tetap fokusnya kepada petani sawah, sementara sebagian kegiatan sudah diambil alih oleh mekanisasi, dan (4) koordinasi dengan lembaga lain yang mendukung pertanian modern masih lemah, misalnya dengan perbankan dan Bulog. Dari segi adopsi dan diffusi inovasi percontohan pertanian modern ini cukup berhasil, khususnya penggunaan alsin. TR4 dulu ditolak dengan alasan membuat tanah jadi keras, kini petani malah menginginkan bantuan TR4 karena bekerja mengolah tanah lebih cepat, dan hasil olahannya bisa halus karena disertai dengan TR2 di belakangnya. 79
Penerapan paket teknologi SRI, khususnya tanam 1 bibit/lubang, tanam benih muda maksimal umum 12 hari, sistem pertanian hemat air yaitu genangan hanya setinggi 3 cm dan intermeten, tandur jajar legowo 2:1 cukup berhasil, walaupun ternyata tingkat adopsinya setelah program belum menggembirakan.
Sebelum
dilakukan percontohan, petani enggan menerapkan teknologi ini karena berbeda dengan kebiasaan petani. Setelah percontohan terbukti bahwa penerapan teknologi tersebut bisa meningkatkan hasil dari rata-rata 6,7 ton/ha menjadi 9,2 ton/ha (laporan 8,05
ton/ha), petani mulai menerapkan teknologi di atas dalam
usahataninya.
Teknologi
lain yang coba diterapkan
adalah
pengurangan
penggunaan pupuk Urea dari 200 kg/ha menjadi 150 kg/ha serta penggunaan pupuk organik.
Dalam hal penggunaan pupuk, setelah program, petani masih memilih
menggunakan sebagaimana yang biasa dilakukan sebelumnya dengan alasan petani tidak bisa menggunakan pupuk berimbang (hanya menggunakan Urea dan NPK Pelangi, tanpa ZA, KCL, pupuk cair, pupuk organik) karena keterbatasan modal, sehingga penggunaan pupuk Urea lebih banyak (kata petani dengan pupuk Urea hasilnya cepat terlihat yaitu tanaman kelihatan hijau) dan penggunaan pupuk yang lain di bawah anjuran. Pelaksanaan percontohan di Soppeng yang melibatkan seluruh pihak terkait di delapan kecamatan yang ada, mempercepat penyebaran adopsi inovasi alsin maupun teknologi budi daya ke wilayah kecamatan yang lain. Diffusi inovasi diharapkan dapat dipacu oleh adanya agen perubahan (Babinsa, penyuluh, tokoh tani) dari masing-masing kecamatan yang telah dilibatkan dalam pelaksanaan PPM. Dari segi konstruksi kelembagaan, pelaksanaan percontohan melibatkan banyak pihak, namun minim konstruksi kelembagaan yang berbasis pada kekuatan yang dimiliki oleh petani dan kelompok-kelompok setempat. Singkatnya waktu pelaksanaan juga membuat konstruksi kelembagaan tidak menjadi fokus utama, karena bagian ini memang perlu waktu lama dan hasilnya tidak segera dapat dilihat. Konstruksi kelembagaan sangat penting dan sudah seyogyanya menjadi fokus dalam kegiatan PPM. Terdapat empat elemen dasar kelembagaan yang perlu diperhatikan dalam mengkonstruksi kelembagaan, yaitu: (1) stakeholder dengan posisi dan perannya, (2) jaringan dan interaksi yang berpola, (3) aturan main yang adil bagi semua 80
pelaku yang terlibat, dan (4) sarana pendukung, berupa sarana benda-benda seperti alsin, sarana produksi. Elemen dasar kelembagaan tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Pelaku (stakeholder) dengan posisi dan perannya.
Pelaku dalam proses
produksi komoditas pertanian, khususnya padi adalah : a) petani (pemilik, pemilik penggarap, penggarap – individu, kelompok tani, gapoktan), b) produsen/penjual sarana produksi (benih/bibit, pupuk, obat-obatan), c) produsen/penjual alsin dan bengkel alsin serta UPJA, d) penjual jasa tenaga kerja pertanian (perorangan/kelompok : olah tanah, tanam, pemeliharaan, panen, angkut), e) pembeli hasil pertanian (pedagang pengumpul, pedagang besar,
RMU
-
swasta
(perorangan,
kelompok,
perusahaan,
koperasi,
pemerintah : Bulog/Dolog), f) Lembaga keuangan, g) Lembaga pemerintah (dinas terkait, penyuluh). 2. Jaringan dan interaksi yang berpola. pelaku, yang
masing-masing
Budi daya padi melibatkan banyak
memiliki
posisi
dan peran
yang saling
melengkapi. Agar aktivitas dalam proses produksi dapat belangsung dengan lancar, maka harus dibangun jaringan antar pelaku sedemikian rupa sehingga interaksi antar pelaku bisa terpola. 3. Aturan main yang adil. Aturan main harus dikonstruksi secara bersama oleh pihak-pihak yang terkait. Aparat dinas dalam hal ini bisa menjadi fasilitator dalam proses konstruksi aturan main. 4. Sarana pendukung. Sarana pendukung dalam proses budi daya padi terdiri dari lahan, jaringan irigasi, jalan usahatani, sarana produksi, peralatan (termasuk alsin). Keempat elemen kelembagaan ini harus terkelola dengan baik agar kegiatan pertanian modern ini bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah skala percontohan.
Percontohan
seluas 100 ha, melibatkan banyak pihak, bahan dan alat, yang sebagian darinya harus didatangkan dari luar. Kondisi ini tidak bisa terus menerus dilakukan, alternatifnya adalah membuat skala percontohan dengan basis kemampuan mandiri komunitas dalam penyediaan bahan, alat dan tenaga kerja, serta kemampuan mengelola seluruh aktivitas dan hasilnya. Kepemilikan alsin sesuai jenis dan jumlah (sesuai kapasitas) bisa digunakan sebagai basis untuk menentukan luasan 81
percontohan. Dengan menghitung kepemilikan alsin UPJA Semangat di kabupaten Soppeng misalnya, maka percontohan lebih optimal jika dilakukan pada lahan sawah seluas 20-50 ha. Pelaksanaan percontohan sangat singkat, hanya 1 musim tanam. Akan lebih baik jika pelaksanaan tidak hanya dibatasi satu musim, karena esensi penerapan pertanian modern sebagai
suatu inovasi adalah pada perubahan perilaku dalam
adopsi inovasi. Perubahan perilaku mencakup tiga ranah yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan, sedangkan adopsi inovasi mencakup tahapan-tahapan awareness,
interest, evaluation, trial, adoption. Perubahan perilaku dan adopsi inovasi perlu waktu, tidak sama bagi setiap individu, prosesnya bisa cepat atau lambat. Keberadaan kelompok dapat membuat individu mengikuti proses di atas sesuai dengan yang dialami oleh individu dominan yang menjadi panutan. Segi koordinasi, dedikasi dan komitmen petugas pelaksana juga harus diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan pertanian modern. Dinas terkait beserta jajarannya dari tingkat provinsi hingga tingkat lapangan, yang dibantu juga dengan aparat TNI, sangat besar perannya dalam memberikan fasilitasi, pendampingan, dan pembinaan kegiatan PPM serta mobilisasi massa, sehingga kegiatan tersebut dapat terlaksana.
Selain itu, pengalaman sangat membantu dalam pelaksanaan PPM.
Seperti contoh, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Soppeng telah memiliki pengalaman melakukan kegiatan yang hampir sama walau dengan skala yang lebih kecil (dengan biaya APBD), kegiatan pertanian full mekanisasi bukanlah hal baru. sehingga
Koordinasi berbagai instansi yang terlibat dikonstruksi dengan baik, pengerahan
sumber
daya
dapat
diarahkan
untuk
mendukung
terlaksananya kegiatan PPM. Ketersediaan data base tentang lahan, air, kelompok tani/gapoktan, alsin dari berbagai dinas terkait yang dapat diakses oleh Dinas TPH memperlancar terlaksananya kegiatan sejak persiapan hingga pelaksanaan. Dukungan Pemda Setempat dan Pihak lainnya juga merupakan salah satu faktor yang penting dalam pelaksanaan PPM. Pemda setempat, baik di tingkat I dan II sangat berperan dalam mendukung terlaksananya PPM, baik dalam bentuk fasilitasi dan pendampingan, juga dalam hal penyediaan akomodasi dan konsumsi pihakpihak yang terlibat selama pelaksanaan. Peran yang tak kalah penting juga dilakukan oleh Tim Teknis, dalam melakukan pendampingan teknologi, sekali pun 82
harus banyak beradu argumentasi dengan petani dalam penerapan inovasi. Pelaksanaan PPM juga melibatkan LSM. Kabupaten Soppeng, sebagai contoh,
dianggap sudah lebih lengkap
mengimplementasikan pertanian modern dari sisi penerapan alsintan.
Dari hasil
pemantauan penerapan pertanian modern di Soppeng sudah terlaksana mulai dari pengolahan lahan, tanam, panen dan sampai pemasaran (resi Gudang). Hal ini dapat terlaksana karena kondisi lingkungannya sangat mendukung, diantaranya adalah : (a) pemerintah dan masyarakat sejalan berkeinginan keras untuk meningkatkan produksi memecahkan permalahan yang terkait dengan pertanian padi sawah, (b) karena kelangkaan tenaga kerja disatu sisi dan ketersediaan lahan di sisi lain, maka memudahkan penerapan pertanian modern, (c) karena skala hamparan sawah yang luas menyebabkan menjadi sangat layak untuk melakukan investasi alsintan dan ini mendorong para pemuda untuk terjun ke dunia bisnis pertanian padi sawah, (d) dengan kondisi luas areal yang hamparannya luas dan posisi wilayah yang terpencil (remote), maka penerapan pertanian modern dari pengolahan lahan sampai dengan panen, pasca panen dan penjualan menjadi mendesak (urgent) untuk dimasukan dalam satu satuan kegiatan pertanian modern. 4. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 4.1.
Kesimpulan
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan : 1. Alsintan memiliki keunggulan secara teknis maupun ekonomis. Prasyarat pengembangan mekanisasi pertanian antara lain adalah adanya fasilitas penyediaan alsintan, konsolidasi lahan pertanian, dan kemudahan akses perbankan. Dalam pelaksanaan PPM, konsolidasi lahan adalah hal yang sangat sulit mengingat galengan masih digunakan sebagai penahan air dan batas kepemilikan. Namun hal tersebut bisa diatasi dengan memperkecil galengan atau meratakan galengan sementara untuk jalan alsin pada saat kegiatan yang menggunakan alsin.
Umumnya untuk fasilitas penyediaan
alsintan ini dapat melalui bantuan dari pemerintah pusat/daerah, dan optimalisasi kinerja UPJA (Usaha Pelayanan Jasa Alsintan).
83
2. Pengembangan usahatani padi melalui penerapan penggunaan alat dan mesin pertanian
menyebabkan
terjadi
efisiensi
waktu,
biaya
tenaga
kerja,
percepatan IP, kualitas kerja dan produk meningkat, minat tenaga kerja muda disektor pertanian meningkat, terjadinya efisiensi biaya, dan penggunaan benih berkualitas dengan jumlah benih yang berkurang. Selain penggunaan alat dan mesin pertanian, dalam suatu hamparan, pengelolaan usahatani dilakukan
secara
terpadu
untuk
memudahkan
pengelolaan
tanaman,
meningkatkan efisisensi biaya produksi, meningkatkan posisi tawar kelompok, meningkatkan harga output, dan meningkatkan nilai tambah petani (dengan system penjualan dengan di timbang yang terukur).
Namun pengelolaan
usahatani terpadu belum sepenuhnya dilaksanakan di lokasi PPM, saat ini baru pada kegiatan olah tanah dan tanam. 3. Pengelolaan
usaha
alsintan
sudah
relatif
baik,
tetapi
masih
perlu
dikembangkan secara profesional dengan memperluas jaringan kerja, seperti pengelolaan UPJA di Kabupaten Cilacap, sehingga pemanfaatan alsin lebih efisien.
Pengelolaan alsintan oleh UPJA di lokasi PPM telah dilakukan secara
profesional, dimana biaya untuk operasional alsintan selalu diupayakan bersumber dari hasil alsintan itu sendiri dan diupayakan tidak bersumber dari kas UPJA. Hampir setiap bulan UPJA berkumpul diantara anggota untuk membahas berbagai persoalan yang ada baik yang menyangkut kegiatan pengelolaan alsintan, kegiatan usahatani dan kegiatan lainnya terkait UPJA. Namun masih ada UPJA di lokasi contoh yang belum menentukan aturan main dari
penyewaan
alsin,
terutama
alsin
yang
baru
dimiliki
(bantuan
Pemerintah). 4. Beberapa kegiatan PPM merupakan adopsi inovasi baru, kegiatan tersebut antara lain adalah : sistem persemaian dengan menggunakan transplanter yang memerlukan keahlian yang cukup memadai atau berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah). Adopsi inovasi penggunaan varietas unggul dan efisiensi penggunaan benih padi menjadi sangat ideal jika menggunakan transplanter. Namun penggunaan
transplanter
pada saat MH
sering
terkendala oleh kedalaman lumpur sawah, sehingga dibutuhkan modifikasi sesuai dengan kondisi wilayah. Disamping itu, untuk jasa tanam masih 84
bersaing dengan kelompok tanam manual, dimana pada kondisi saat ini masih mengharapkan
lapangan
pekerjaan
untuk
kegiatan
tanam
tersebut.
Keserempakan dalam olah tanah dan tanam menjadi faktor kunci dalam PPM. Jika biasanya petani bebas dalam menyelesaikan pengolahan lahannya dan tanam, maka dalam PPM seluruh proses tersebut ditargetkan selesai dalam seminggu. Hal ini merupakan tantangan bagi aparat dinas, tim teknis, dan penyuluh untuk mengubah perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) agar introduksi inovasi PPM secara keseluruhan dapat diterima dan diadopsi oleh petani. 5. Dalam pelaksanaan PPM hingga musim berikutnya belum ada introduksi kelembagaan terkait pemasaran hasil. Belum ada kegiatan pemasaran bersama, baik yang dikelola oleh poktan maupun gapoktan. Pedagang hasil bumi, merupakan pelaku yang berperan dalam pembelian gabah milik petani. Pedagang ini menjalin kerjasama dengan beberapa pengusaha penggilingan. Harga yang ditawarkan oleh pedagang ini untuk petani setempat sedikit di atas harga pasar. Selain itu, hasil panen dijual kepada tengkulak yang datang ke rumah-rumah. 6. Penyediaan sarana produksi saat ini masih disediakan melalui Paket Optimasi Lahan pada PPM. Paket tersebut nampaknya sama baik dalam jenis, jumlah, dan nilainya pada ketiga lokasi PPM. Hal itu berarti penyediaan paket tersebut tidak didasarkan pada kondisi spesifik lokasi tanah (berdasarkan uji kandungan unsur hara tanah).
Namun sebagian petani menyatakan bahwa
akses untuk memperoleh sarana produksi mudah didapat asal tersedia modal. Selain sarana produksi, ketersediaan air/sarana irigasi pada lokasi PPM juga perlu diperhatikan karena hal ini diperlukan dalam percepatan tanam. 7. Permasalahan yang dihadapi pada saat ini terkait implementasi program pertanian modern tersebut adalah: (1) Masih terdapat kekurangan beberapa alsintan seperti: traktor roda 4, transplanter dan combine harvester, (2) keterbatasan tray/nampan untuk pembibitan, (3) Masih terbatasnya sarana pendukung seperti gudang alsintan dan perbengkelan, (4) keterbatasan RMU yang ada di lokasi percontohan, dan (5) Terbatasnya sarana untuk
85
menyimpan
gabah
yang
dihasilkan,
sehingga
dibutuhkan
gudang
penyimpanan gabah hasil panen. 4.2. Implikasi Kebijakan Untuk mempercepat penerapan pertanian modern yang berkelanjutan beberapa implikasi kebijakan yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah: 1. Perlu persiapan waktu untuk mensosialisasikan pertanian modern kepada masyarakat dan stakeholder terkait dan menciptakan komitmen bersama untuk implementasi pertanian modern tersebut. Hal ini terutama yang menyangkut perubahan sikap dan keyakinan untuk menerima/adopsi inovasi seperti pertanian modern memerlukan waktu, ketekunan dan kegigihan bahkan perlu domentrasi plot (dempot) atau demfarm sehingga petani menjadi sadar, yakin, berkeinginan dan meniru atau adopsi inovasi tersebut. 2. Perlunya roadmap kecil (specific road map) untuk pertanian modern, sehingga bisa menerapkan langkah dan prioritas, seperti pilihannya pada apakah pertanian modern ini akan diterapkan secara sempurna menurut siklus usahatani padi mulai dari pengolahan tanah sampai dengan panen dan pemasaran atau akan diterapkan secara bertahan tetapi sempurna, misalnya pengolahan tanah dan tanam saja, dilanjtukan dengan pemeliharaan teritegrasi dan dilanjutkan dengan tahapan panen, pascapanen dan pemasaran. 3. Perlu adanya program pendamping, sesuai dengan konsep pertanian modern dimana kelebihan tenaga kerja akan diserap oleh sektor non pertanian. Semua pilihan tahapan memiliki prasyarat yakni kelengkapan penerapan konsep dan sarana alsintan yang memadai. Yang dimaksud implementasi kelengkapan konsep adalah pembukaan kesempatan kerja sektor non pertanian yang terkait dengan pertanian atau tidak terkait harus secara in line dalam waktu yang sama dengan penerapan pertanian modern itu sendiri, karena ketika pertanian modern di implementasikan, maka akan terjadi kelebihan tenaga kerja dari pertanian yang harus difasilitasi jenis pekerjaannya. 4. Terkait dengan fasilitasi alsintan, baik pada pertanian modern atau program lain seperti UPSUS, maka hendaknya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk para produsen alsintan. Alsintan yang diproduksi masal harus 86
sudah melalui kajian atau lolos uji sehingga menjadi layak pakai oleh masyarakat. Disamping itu kesiapan melempar ke pasaran umum harus di uji tingkat kesiapannya termasuk didalamnya adalah: kesediaan spare-part, layanan purna jual, dll. Saat ini hampir sebagian besar alsintan yang ada belum layak pakai atau tidak lolos uji dan tidak siap pelayanan purna jualnya. 5. Dari pengalaman, ada permasalahan pada satu lokasi pertanian modern tetapi tidak merupakan masalah pada lokasi lain, misalnya di kabupaten Sukoharjo keterbatasan jumlah tray menjadi masalah persemaian, sedangkan di Soppeng dan Cilacap hal ini tidak menjadi masalah karena ada metoda lain. Berdasarkan keadaan tersebut, perlu dibangun system pengembangan SDM, seperti pusatpusat pelatihan yang tumbuh dari kelompok lintas daerah sebagai ajang studi banding yang difasilitasi oleh pemeritah. 6. Karena permasalahan yang terkait dengan alam sebagai resources endownment, maka penerapan pertanian modern tentu tidak dengan serta merta dapat dilaksanakan dengan mudah pada seluruh wilayah persawahan, karena terkait dengan kedalam lumpur sawah, topografi, keadaan sosial dll, sehingga perlu ada kajian yang berlanjut untuk penggambaran (mendelineasi) daerah mana saja yang layak untuk dikembangkan sebagai pertanian modern, semi modern dan konvensional. 7. Perlu adanya jaminan ketersediaan sarana produksi seperti : pupuk, pestisida, air irigasi dan membentuk kelembagaan pasar dengan cara memperkuat gapoktan atau koperasi tani. DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2015. Prospek Pengembangan Modernisasi Pertanian-Full Mekanisasi. Bogor BB. Mektan. 2014. Data Analisis Alsintan dan Titik Impasnya. Balai Besar Mekanisasi Pertanian. Serpong. BPS. 2015. Berita Resmi Statistik No. 28/03/TH.XVIII, 2 Maret 2015. Jakarta Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap. 2015. Data Alat dan Mesin Pertanian, 2014 dan Pengadaan Alsintan 2015. Cilacap. ___________________________________________. 2015. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Cilacap 2011-2015. Cilacap.
87
___________________________________________. 2015. Luas Baku Lahan Sawah Untuk Pertanaman Padi 2014. Cilacap. ___________________________________________. 2015. Data Kelompok Tani, Gapoktan dan UPJA 2014. Cilacap. Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo. 2015. Data Alat dan Mesin Pertanian, 2014. Sukoharjo. ___________________________________________. 2015. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Sukoharjo 2011-2014. Sukoharjo. ___________________________________________. 2015. Luas Baku Lahan Sawah Untuk Pertanaman Padi 2014. Sukoharjo. ___________________________________________. 2015. Data Kelompok Tani, Gapoktan dan UPJA 2014. Sukoharjo. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2010. Pedoman Teknis Revitalisasi Penggilingan Padi Kecil. Ditjen P2HP (Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian) Kementerian Pertanian RI. Jakarta. PSEKP. 2015. Hasil penelitian Pertanian Modern di Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan. Analisis Kebijakan, Tidak dipublikasikan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Sinaga, Rudolf dan B. White. 1980. Beberapa Aspek Kelembagaan di Pedesaan Jawa dalam Hubungannya dengan Kemiskinan Struktural. Dalam Kemiskinan Struktural : Suatu Bunga Rampai. Pusat Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta. http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=7&aid=4803.Tabloid Agribisnis Dwimingguan Agrina, 6 Januari 2014 www.rri.co.id/purwokerto/post/berita/153803/cilacap/dukung_swasembada_pangan _traktor_dan_pompa_air_bantuan_presiden_ri_dibagikan.html. 2 April 2015. Di Unduh 1 September 2015.
88