KARAKTER AGRONOMIS DAN PRODUKTIVITAS TUJUH VARIETAS UNGGUL KEDELAI DI LAHAN KERING BERIKLIM KERING Awaludin Hipi, Nani Herawati, Yurista Sulistyawati, dan Sudarto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB Jl. Raya Peninjauan Narmada Lombok Barat Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Lahan kering di Nusa Tenggara Barat dengan tipe iklim kering, sesuai untuk pengembangan kedelai. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mendapatkan varietas unggul kedelai yang mampu beradaptasi dengan baik dan berproduksi tinggi di lahan kering beriklim kering. Pengkajian disusun mengikuti rancangan acak kelompok. Tujuh varietas sebagai perlakuan yaitu Burangrang, Anjasmoro, Panderman, Kaba, Tanggamus, Dering dan Gema, diulang empat kali. Variabel yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, jumlah polong/tanaman, bobot ubinan, kadar air panen, produktivitas dan bobot 100 biji. Varietas Kaba menghasilkan jumlah cabang produktif, dan jumlah polong/tanaman yang lebih tinggi dibanding varietas lain. Varietas Kaba, Anjasmoro, dan Burangrang memberikan produktivitas yang tinggi masingmasing 2,47 t/ha, 2,41 t/ha, dan 2,35 t/ha. Varietas Burangrang dan Anjasmoro dipilih untuk dikembangkan, karena memiliki ukuran biji yang besar, produktivitas tinggi, berbulu sehingga tidak disukai hama, dan bijinya mengkilap. Kata kunci: kedelai, preferensi petani, lahan kering
ABSTRACT Agronomic characteristic and productivity seven superior varieties of soybean at dry land. Dryland in West Nusa Tenggara with a dry climate type is suitable for the development of soybean. The aim of this study was to obtain soybean varieties that can well adapted and high production in dry land with dry climates. Assessment to prepared following a randomized block design. Seven varieties as a treatment that is Burangrang, Anjasmoro, Panderman, Kaba, Tanggamus, Dering-1, and Gema. The treatment was repeated four times. Variables observed that plant height, number of productive branches, number of pods per plant, weight of tile, harvest moisture content, productivity, and weigh of 100 kernel. Kaba varieties able to produce a number of productive branches and number of pods per plant were higher than other varieties. Kaba, Anjasmoro, and Burangrang varieties gave high productivity respectively 2.47 t/ha, 2.41 t/ha, and 2.35 t/ha. Based on preferences of the farmers, varieties Anjasmoro and Burangrang chosen to be developed in location, because it has a large seed size, high productivity, resisten to the pests, and shiny seeds. Key words: soybean, preferences of the farmers, dry land
PENDAHULUAN Kedelai adalah salah satu dari tujuh komoditas prioritas yang diprogramkan Kementerian Pertanian untuk ditingkatkan produksinya guna mengurangi impor. Produksi kedelai pada tahun 2013 mencapai 808 ribu ton, dengan produktivitas mencapai 1,45 t/ha. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, pada tahun 2013 pemerintah telah meng-
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
149
impor sebanyak 1,39 juta ton (BPS 2013). Arah pengembangan kedelai ke depan sebesar 2,7 juta ton, luas areal tanam 1,8 juta ha dan produktivitas 1,48 t/ha (Kementan 2009). Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi penghasil kedelai di Indonesia, di mana pada tahun 2012 dan 2013 menduduki peringkat ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada tahun 2013, luas panen kedelai di NTB 85.364 ha, dengan produksi 97 ribu ton, dan produktivitas 1,14 t/ha (BPS 2013). Sementara berdasarkan hasil penelitian, potensi hasil varietas unggul dapat mencapai 3,25 t/ha (Balitkabi 2010). Senjang produktivitas kedelai di tingkat petani dengan potensi genetik tanaman masih cukup tinggi, karena sebagian besar petani belum menggunakan benih bermutu dari varietas unggul dan teknik pengelolaan tanaman belum optimal (Adisarwanto 2004). Sebagian besar lahan di Propinsi NTB berupa lahan kering seluas 1.807.463 ha atau 84% dari luas wilayah NTB. Lahan kering adalah hamparan lahan yang memperoleh lengas tanah dari air hujan, tidak pernah tergenang atau digenangi air selama sebagian besar waktu dalam setahun (Rahman et al. 2007). Topografi lahan kering di Provinsi NTB cukup beragam, mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit dan bergunung dengan kemiringan antara 0% hingga >40%. Sebagian besar lahan kering di Provinsi NTB memiliki tingkat kemiringan di atas 15%. Kesuburan tanah sangat rendah yang dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik, agregat tanah kurang mantap, peka terhadap erosi, dan kandungan hara utama (N, P, K) relatif rendah. Musim hujan berlangsung dari bulan Desember hingga Maret atau 4 bulan sedang musim kemarau berlangsung dari bulan April hingga November atau 8 bulan. Menurut klasifikasi iklim Oldeman et al. (1980), daerah yang memiliki bulan basah kurang dari 3 bulan dan antara 3–4 bulan dengan bulan kering 4–6 bulan dan di atas 6 bulan digolongkan ke dalam iklim D3, D4, E3 dan E4 atau daerah dengan tipe iklim kering. Karakteristik biofisik lahan kering di NTB, sesuai untuk pengembangan tanaman kedelai yang tidak menghendaki lahan yang basah. Di lain pihak, Borges (2005) menjelaskan bahwa jika terjadi cekaman kekeringan pada waktu pembungaan menyebabkan kerontokan bunga, dan polong. Cekaman kekeringan pada stadia pengisian polong menyebabkan menurunnya jumlah polong isi dan ukuran biji. Liu (2004) menyatakan bahwa cekaman kekeringan mendorong perubahan konsentrasi Absisic acid (ABA) dalam tanaman sehingga menurunkan pembentukan polong sampai 40%, mendorong kerontokan polong, dan menurunkan ukuran biji. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan produksi kedelai adalah mengembangkan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan adaptif pada kondisi lingkungan tertentu dan sesuai dengan preferensi konsumen. Suatu varietas dikatakan adaptif jika dapat tumbuh baik pada wilayah penyebaran, produksi tinggi dan stabil, bernilai ekonomi tinggi, dapat diterima masyarakat dan berkelanjutan (Somaatmadja 2005). Hingga saat ini Balitkabi telah menghasilkan sejumlah varietas unggul kedelai yang memiliki keunggulan masing-masing. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengevaluasi adaptasi dan produktivitas varietas unggul kedelai di lahan kering beriklim kering.
BAHAN DAN METODE Kajian dilaksanakan di Desa Nggembe Kabupaten Bima pada MH 2013/2014. Lokasi kajian merupakan lahan kering beriklim kering dengan pengairan berasal dari hujan. Pengkajian disusun mengikuti rancangan acak kelompok dengan tujuh varietas kedelai sebagai perlakuan, dan diulang empat kali. Varietas kedelai yang diuji adalah Burangrang, 150
Hipi et al.: Karakter Agronomis dan Produktivitas Beberapa Varietas Unggul Kedelai di Lahan Kering
Anjasmoro, Panderman, Tanggamus, Kaba, Dering 1 dan Gema, berasal dari Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang. Penyiapan lahan dilakukan dengan menggunakan herbisida purnatumbuh dari golongan glifosat dan paraquat. Penyemprotan dilakukan sebelum tanam dengan dosis 3–4 liter/ha. Sebelum ditanam, benih diberi perlakuan dengan fungisida dosis 200 g/50 kg. Penanaman menggunakan tugal dengan jarak tanam 40 cm antarbaris dan 10–15 cm dalam baris, 2–3 biji/lubang tanam. Pupuk yang digunakan adalah NPK (15:15:15) dengan dosis 100 kg/ha dan pupuk cair 1 liter/ha. Pengendalian OPT berdasarkan pengamatan di lapang. Jika sudah mencapai ambang ekonomi maka pengendalian dilakukan secara kimiawi. Penyiangan dilakukan dua kali, dan bergantung keadaan rumput. Panen dilakukan pada saat biji mencapai fase masak yang ditandai dengan 95% polong telah berwarna cokelat atau kehitaman dan sebagian besar daun tanaman sudah rontok. Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, jumlah polong/ tanaman, bobot ubinan, kadar air panen, produktivitas dan bobot 100 biji pada kadar air 11%. Data dianalisis dengan analisis ragam (Anova) dengan bantuan software SAS versi 9,0. Jika terdapat pengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi Kajian Lokasi pengkajian seluas 470 ha adalah lahan kering beriklim kering, kondisi lahan berbatu, dengan 3–4 bulan basah. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan jika ditinjau dari segi kedalaman lapisan olah (±15 cm) dan bulan kering berkisar antara 8–9 bulan, maka lokasi kajian tergolong agak sesuai (S3) (Landon 1984). Pola tanam didominasi oleh kedelai–bera, dengan pola monokultur kedelai. Usahatani kedelai dilakukan pada musim hujan yang umumnya ditujukan untuk memproduksi benih yang akan digunakan di lahan sawah pada MK.I. Varietas kedelai yang banyak ditanam yaitu Anjasmoro, Argomulyo, dan Burangrang yang sudah lama dibudidayakan secara turun-temurun oleh petani dan tidak berlabel. Pengelolaan tanaman sudah cukup intensif, yaitu dengan pemupukan NPK, pengendalian hama dan penyakit, namun selalu mengalami keterlambatan penyiangan. Produktivitas kedelai berkisar antara 0,75–1,2 t/ha. Selain untuk pertanaman kedelai, lahan kering juga digunakan untuk menanam tanaman kehutanan seperti jati, yang biasanya ditanam sebagai pembatas lahan.
Keragaan Agronomis dan Produktivitas Varietas Unggul Kedelai Berdasarkan analisis ragam (Tabel 1), parameter tinggi tanaman dan kadar air tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar varietas. Jumlah cabang menunjukkan perbedaan yang nyata, sementara jumlah polong/tanaman, bobot ubinan, bobot 100 biji, dan produktivitas menunjukkan sangat berbeda nyata antar varietas. Pengaruh blok tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada semua parameter. Hal ini berarti pengujian tidak dipengaruhi oleh penempatan blok perlakuan, tapi dipengaruhi oleh perbedaan varietas.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
151
Tabel 1. Analisis ragam parameter agronomis beberapa varietas unggul kedelai. Kuadrat tengah Sumber keragaman
Derajat bebas
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah cabang
Jumlah polong/ tanaman
Bobot ubinan (6,25 m2)
Kadar air (%)
Bobot 100 butir (g)
Produkti vitas (t/ha)
Varietas Blok Galat
6 3 18
91,06 tn 21,06 tn 73,36
2,80* 0,17 tn 0,77
933,41** 189,59 tn 166,94
0,125** 0,013 tn 0,04
5,25 2,55 tn 2,11
50,48** 0,16 tn 0,43
0,24** 0,04 tn 0,03
Total
27
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata;* = berbeda nyata; ** = berbeda sangat nyata.
Tinggi tanaman cenderung tidak berbeda nyata (Tabel 2), tertinggi pada varietas Kaba 92,2 cm, dan terendah varietas Panderman 77,8 cm. Varietas Kaba konsisten menghasilkan jumlah cabang dan jumlah polong/tanaman yang lebih banyak dibanding varietas lain berturut-turut 6,9 dan 110,2. Jumlah cabang yang banyak, memungkinkan terbentuknya polong yang banyak. Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah cabang, dan jumlah polong/tanaman beberapa varietas kedelai. Nggembe. Bima. 2014 Varietas Burangrang Anjasmoro Panderman Tanggamus Kaba Dering Gema Rata-rata
Tinggi tanaman (cm) 79,0 a 82,1 a 77,8 a 85,0 a 92,2 a 82,0 a 81,1 a 82,73
Jumlah cabang produktif 5,0 b 4,8 b 5,0 b 5,0 b 6,9 a 4,8 b 4,3 b 5,11
Jumlah polong per tanaman 59,8 bc 75,1 bc 63,0 bc 84,3 b 110,2 a 73,3 bc 69,4 bc 75,70
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%.
Hakim (2012) menyatakan bahwa tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman, dan indeks panen merupakan karakter morfologi yang digunakan sebagai kriteria seleksi genotipe kedelai berdaya hasil tinggi dan berperan penting dalam menentukan hasil kedelai. Amarullah dan Hatam (2000) menyatakan bahwa kriteria seleksi genotipe berdaya hasil tinggi adalah jumlah polong per tanaman, ukuran biji, jumlah cabang, dan tinggi tanaman. Sementara Akhter dan Sneller (1996) dalam Hakim (2012) menitikberatkan pada jumlah polong per tanaman, ukuran biji, jumlah cabang, dan jumlah buku subur menjadi kriteria seleksi genotipe kedelai berdaya hasil tinggi. Bobot ubinan (6,25 m2) berbeda nyata antarvarietas berdasarkan analisis ragam, dimana varietas Kaba, Anjasmoro, dan Burangrang mencapai bobot ubinan yang lebih tinggi dibanding varietas lainnya, masing-masing 1,61 kg, 1,59 kg, dan 1,53 kg (Tabel 3). Kadar air saat panen tergolong rendah, berkisar antara 12,2–15,0%, karena brangkasan kedelai setelah panen dihamparkan/dikeringkan di lahan, kemudian dirontok. Pengamatan terhadap produktivitas (kadar air 11%) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antarvarietas yang diuji berdasarkan analisis ragam, di mana varietas Kaba, Anjasmoro, dan Burangrang memberikan hasil yang tinggi masing-masing 2,47 t/ha, 2,41 t/ha, dan 152
Hipi et al.: Karakter Agronomis dan Produktivitas Beberapa Varietas Unggul Kedelai di Lahan Kering
2,35 t/ha, sementara hasil varietas Dering, Tanggamus, Panderman, dan Gema > 2 t/ha (Gambar 1). Produktivitas varietas Kaba yang tinggi berkorelasi dengan jumlah cabang produktif dan jumlah polong/tanaman.
Gambar 1. Rata-rata produktivitas beberapa varietas kedelai di lahan kering beriklim kering. Nggembe, Bima MH. 2013/2014. Huruf yang sama pada balok data menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Potensi hasil kedelai di lahan kering ini lebih tinggi dibanding lahan sawah yang dilaporkan oleh Basuki et al. (2011). Penelitian di Setanggor Lombok Tengah digunakan varietas Anjasmoro dan Burangrang dengan hasil berkisar antara 0,88–1,83 t/ha, dan di Sakra Barat Lombok Timur 0,80–1,43 t/ha (Hipi et al. 2008). Demikian pula pengujian di lahan kering di Seram Utara Maluku Tengah menggunakan varietas Kaba, Anjasmoro, dan Tanggamus hasilnya berkisar antara 1,08–1,78 t/ha (Alfons, 2009). Tabel 3. Rata-rata bobot ubinan, kadar air panen, dan bobot 100 biji beberapa varietas kedelai. Nggembe, Bima. 2014. Varietas Burangrang Anjasmoro Panderman Tanggamus Kaba Dering Gema Rata-rata
Bobot ubinan (6,25 m2) (kg) 1,53 a 1,59 a 1,24 b 1,24 b 1,61 a 1,24 b 1,28 b 1,39
Kadar air panen (%) 14,03 a 14,95 a 12,66 a 12,48 a 14,48 a 12,15 a 14,53 a 13,61
Bobot 100 butir (g) 16,93 b 17,23 a 18,20 a 11,12 cd 9,90 e 10,86 d 11,85 c 13,73
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%.
Hasil analisis ragam terhadap bobot 100 biji menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antarvarietas, dimana varietas Panderman dan Anjasmoro memiliki bobot 100 butir yang lebih tinggi, yaitu 18,20 g dan 17,23 g (Tabel 2), sementara varietas Kaba memiliki bobot 100 butir yang rendah yaitu 9,90 g. Komponen hasil seperti bobot 100 biji lebih dominan ditentukan oleh sifat genetik tanaman, karena berkaitan dengan kemampuan tanaman beradaptasi dengan lingkungan tumbuh (Kasno et al. 1987). Walaupun penampilan agronomis dan produktivitas varietas Kaba tinggi, namun petani lebih menyukai varietas Burangrang dan Anjasmoro, karena memiliki ukuran biji yang
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
153
besar, produktivitas tinggi, berbulu yang tidak disukai hama, dan bijinya mengkilap (Burangrang).
KESIMPULAN 1. Varietas Kaba menghasilkan jumlah cabang produktif, dan jumlah polong/tanaman yang lebih tinggi dibanding varietas lain. 2. Varietas Kaba, Anjasmoro, dan Burangrang memberikan produktivitas yang tinggi di lahan kering masing-masing 2,47 t/ha, 2,41 t/ha, dan 2,35 t/ha. 3. Varietas Burangrang dan Anjasmoro dipilih petani, karena selain produktivitasnya tinggi, juga ukuran biji besar dan mengkilap. Varietas ini dapat direkomendasikan untuk dikembangkan di lahan kering di lokasi pengkajian.
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. 2004. Strategi peningkatan produksi kedelai sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mengurangi impor. Orasi Pengukuhan APU. Badan Litbang Pertanian. 50 hlm. Akhter M, C.H. Sneller. 1996. Yield and yield components of early maturing soybean genotypes in the Mid-South. Crops. Sci. 36: 877–882. Alfons J.B. 2009. Kajian Uji multilokasi dan adaptasi beberapa galur harapan/varietas unggul baru kedelai pada agroekosistem lahan sawah dan lahan kering di Maluku. Dalam Darman MA, M. Arifin, Irsal L, Rachmat H, Sjahrul B (Penyunting). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Lahan Kering. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Amarullah, M. Hatam. 2000. Correlation between grain yield and agronomic parameters in mungbean (Vigna radiata L.). J. Bio. Sci. 3: 1242–1244. Balitkabi. 2010. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balikabi. Malang. [BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2013. Statistik Pertanian Indonesia. Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Jakarta (ID): (www.bps.go.id) [10 Pebruari 2014]. Basuki I, Wirajaswadi L., Adyana P.C., Untung S., Wahyu K.W., Herawati N. 2011. Model Pengembangan Pertanian Pedesaan melalui Inovasi di Nusa Tenggara Barat. Laporan Akhir. BPTP NTB. Borges, R. 2005. Crops-Soybean. .(www.blackwell.com). Diakses 6 April 2013. Hakim, L. 2012. Komponen hasil dan karakter morfologi penentu hasil kedelai. J. Penelitian Pertanian. 31(3): 173–179. Hipi A, Y.A. Hadi, M. Zairin, M.R. Ridho, M. Yunus, I Novitasari. 2008. Gelar Varietas Unggul Padi dan Palawija Mendukung Program P4MI di Kabupaten Lombok Timur. Laporan Akhir. BPTP NTB. Kasno, A. Bahri, A.A. Mattjik, S. Solahudin, S. Somaatmadja, Subandi. 1987. Telaah interaksi genotipe dan lingkungan pada kacang tanah. Penelitian Palawija 2: 81–88. Kementan. 2009. Rencana strategis kementerian pertanian tahun 2010– 2014. (http://www.deptan.go.id) [10 desember 2010]. Landon J.R. 1984. Booker tropical soil manual. Longman, Inc.,New York. 441p. Liu, F. 2004. Physiological Regulation of Pod Set in Soybean (Glycine max L. Merr.) During Drought at Early Reproductive Stages. Ph.D. Dissertation. Department of Agricultural Sciences, The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhagen.45p.
154
Hipi et al.: Karakter Agronomis dan Produktivitas Beberapa Varietas Unggul Kedelai di Lahan Kering
Rahman A., I.G.M. Subiksa, Wahyunto. 2007. Perluasan areal tanaman kedelai ke lahan suboptimal. Dalam Sumarno, Suyamto, Adi Widjono, Hermanto, Husni Kasim (Peny.). Kedelai “Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Somaatmadja, S. 1995. Peningkatan produksi kedelai melalui perakitan varietas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
155