Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Keragaan Varietas Unggul Baru Inpari 10 di Lahan Kering Kabupaten Batang dan Temanggung Provinsi Jawa Tengah The Performance of New Varieties Inpari 10 in Dry Land Batang and Temanggung Central Java Anggi Sahru Ramadhon 1*) Zaqiah Mambaul Hikmah 2) dan Johanes Amirullah3) 1*) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah 2) Balai Besar Penelitian Tanaman Padi 3) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatra Selatan Email :
[email protected]
ABSTRACT Inpari 10 are new varieties that have many advantages in addition to high production (potential 7 t / ha), Inpari 10 also has early maturity (112 days). Old early maturing rice is rice with a lifespan of less than 115 days. These varieties are likely to be developed in the face of drought because rice can be harvested more quickly before the dry season, especially sub-optimal dilahan ie dry land. This study was conducted to determine the performance and adaptability of Inpari 10 good views of growth and yields in the two districts that have agroekosistem different namely Batang district represents dry land with topography lowland (± 50 meters above sea level) and Waterford represent the plain medium with a height of ± 600 masl. The research was conducted in June-September 2013. The study design using a randomized block design with planting location (L1 = L2 =, Batang and Temanggung) as a treatment. Data collected was processed using SAS tools and if significantly different test with DMRT further. The results showed that the high growth of plants in Batang higher than in Waterford. Inpari 10 panicle length, number of grains per panicle and filled grain number per panicle were planted in Batang higher compared to those grown in Waterford. However, grain yields were not significantly different between the planted Rod and Waterford. Trunk Inpari rice paddy in 10 by 8 tonnes / ha and Waterford 7 tonnes / ha. Key word : Inpari 10, Low Land
ABSTRAK Inpari 10 merupakan varietas unggul baru yang mempunyai banyak keunggulan selain produksi yang tinggi (potensi 7 t/ha), Inpari 10 juga mempunyai umur genjah (112 hari). Padi berumur genjah yaitu padi dengan umur kurang dari 115 hari. Varietas ini sangat berpotensi dikembangkan saat menghadapi musim kemarau karena padi dapat dipanen lebih cepat sebelum musim kemarau terutama dilahan sub optimal yaitu lahan kering. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaan dan daya adaptasi Inpari 10 baik dilihat dari pertumbuhan maupun hasil panen di dua kabupaten yang mempunyai agroekosistem berbeda yaitu Kabupaten Batang mewakili lahan kering dengan topografi dataran rendah (±50 mdpl) dan Temanggung mewakili daerah dataran medium dengan 1
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
ketinggian ±600 mdpl. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-September tahun 2013. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan lokasi tanam (L1 = Kabupaten Batang dan L2 = Kabupaten Temanggung) menggunakan varietas Inpari 10 dengan 3 ulangan. Data yang terkumpul diolah menggunakan alat bantu SAS dan jika berbeda nyata dilakukan uji lanjut dengan uji DMRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman Inpari 10 di Kabupaten Batang lebih tinggi daripada di Temanggung. Panjang malai Inpari 10, jumlah gabah per malai dan jumlah gabah isi per malai yang ditanam di Batang lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditanam di Temanggung. Namun hasil panen gabah tidak berbeda nyata antara yang ditanam di Batang dan Temanggung. Di Batang GKG padi Inpari 10 sebesar 8,6 ton/ha dan Temanggung 7 ton/ha. Kata kunci : Inpari 10, lahan kering
PENDAHULUAN
Swasembada beras berkelanjutan menjadi salah satu program strategis Kementerian Pertanian dimana target produksi padi yang harus dicapai tahun 2015 adalah 73,4 juta ton GKG. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam pencapaian target produksi tersebut melalui berbagai hal diantaranya perbaikan jaringan irigasi, bantuan benih, bantuan pupuk, optimasi lahan dan pendampingan oleh berbagai steak holder (peneliti, penyuluh, mahasiswa, TNI dan pendamping lainnya) selain itu inovasi teknologi tetap ditekankan dalam upaya peningkatan produksi salah satunya melalui penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Upaya pemerintah tersebut tentunya tidak serta merta dapat dilaksanakan sesuai harapan, banyak tantangan yang harus diantisipasi dan diselesaikan pemerintah misalnya alih fungsi lahan, peningkatan jumlah penduduk, terjadinya anomali iklim/perubahan iklim yang berakibat pada kekeringan atau banjir, peningkatan hama serta penyakit dan penggunaan varietas yang tidak sesuai spesifik lokasi atau rendahnya penggunaan varietas unggul. Isu saat ini yang menjadi perhatian pemerintah dalam peningkatan produksi adalah menurunnya realisasi tanam padi dibanding tahun sebelumnya dan banyaknya tanaman padi puso akibat kekeringan. Pada tahun 2015 ini diprediksi terjadi elnino yang berdampak pada kemarau panjang. Hal tersebut merupakan salah satu dampak dari adanya perubahab iklim. Las et al, (2011) menyatakan bahwa ciri utama dari perubahan iklim adalah meningkatnya frekuensi maupun intensitas terjadinya cuaca ekstrim yang dapat
2
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
mengancam kelestarian sumberdaya alam dan kelangsungan hidup manuasia. Fenomena El-nino dan La-nina merupakan dampak perubahan iklim yang berakibat pada pergeseran awal musim dan periode masa tanam (Runtunuwu dan Syahbuddin, 2007). Fenomena Elnino dibidang pertanian yaitu areal pertanaman yang terancam kekeringan semakin meluas. Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim Badan Litbang Pertanian (2009) memprediksi bahwa areal pertanaman padi sawah yang terancam kekeringan secara nasional dalam satu atau dua dekade mendatang meningkat dari 0,3 – 1,4 % menjadi 3,1 – 7,8 %, sementara areal yang mengalami puso akibat kekeringan meningkat dari 0,04 – 0,41 % menjadi 0,04 – 1,87 %. Mitigasi, adaptasi dan antisipasi perubahan iklim dapat ditempuh dalam menghadapi perubahan iklim. Badan Litbang Pertanian (2012) menyatakan secara operasional pendekatan yang dapat dilakukan dalam mempertahankan dan meningkatkan produksi padi diarahkan pada 1) upaya adaptasi melalui perbaikan varietas padi yang mampu mengatasi cekaman lingkungan seperti kekeringan, banjir dan salinitas, 2) mitigasi melalui perbaikan varietas, pengelolaan tanaman dan lahan yang akan menghasilkan sistem produksi padi yang mampu mengurangi laju emisi GRK. Program penelitian padi, telah dikaji ulang dan disesuaikan dengan upaya untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim melalui perakitan varietas toleran. Baik itu rendaman, kekeringan, suhu tinggi, dan salinitas. Perbaikan hasil dan ketahanan tanaman terus dilakukan agar tetap bisa berproduksi tinggi pada lingkungan yang mengalami cekaman abiotik. Badan Litbang Pertanian telah merilis berbagai macam varietas padi yang mampu mengatasi cekaman kekeringan yaitu salah satunya Inpari 10. Inpari 10 merupakan varietas unggul baru yang mempunyai banyak keunggulan diantaranya toleran kekeringan dengan potensi hasil 7 t/ha, Inpari 10 juga mempunyai umur genjah (112 hari). Padi berumur genjah yaitu padi dengan umur kurang dari 115 hari. Varietas Inpari 10 juga memiliki batang kokoh, tahan rebah dan agak tahan terhadap hama wereng batang coklat (WBC) dan penyakit hawar daun bakteri (HDB) strain III. Varietas ini sangat berpotensi dikembangkan saat menghadapi musim kemarau karena padi dapat dipanen lebih cepat sebelum musim kemarau terutama dilahan sub optimal yaitu lahan kering. Dimana lahan kering sangat potensial dikembangkan untuk memenuhi target swasembada padi. Keunggulan varietas ini mampu ditanam dilahan yang kering dan sawah sehingga disebut juga varietas amphipi. Penelitian mengenai keragaan dan daya adaptasi Inpari 10 diberbagai ekosistem yang
3
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
berbeda sangat diperlukan untuk mengetahui keragaan dan daya adaptasi Inpari 10 baik dilihat dari pertumbuhan maupun hasil panen.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni – September 2013 di lahan kering dengan dua agrosistem yang berbeda yaitu Kabupaten Batang dan Temanggung Jawa Tengah. Kabupaten Batang mewakili agroekosistem dataran rendah dan Kabupaten Temanggung mewakili agroekosistem dataran medium. Varietas yang ditanam yaitu Inpari 10 vrietas ini berumur genjah dan termasuk jenis padi Amphibi, yaitu jenis padi yang dapat di tanam baik pada lahan kering maupun sawah. Komponen teknologi yang diintroduksikan berupa jumlah benih 30 kg/ha, umur bibit kurang dari 25 HSS, jumlah bibit sebanyak 2-3 bibit/lubang tanam, sistem tanam legowo 2:1, pupuk yang digunakan berdasarkan permentan 40/2007 baik di Temanggung maupun di Kabupaten Batang. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lokasi tanam sebagai perlakuan (L1 = Kabupaten Batang dan L2 = Kabupaten Temanggung). Masing-masing perlakuan di ulang sebanyak 3 ulangan. Adapun parameter yang diamati meliputi parameter pertumbuhan dan hasil. Parameter pertumbuhan antara lain tinggi tanaman dan jumlah anakan. Parameter hasil yaitu komponen hasil dan ubinan. Komponen hasil diantaranya panjang malai, jumlah gabah isi dan hampa per malai, serta hasil/produksi. Data yang terkumpul kemudian diolah menggunakan alat bantu SAS dan jika berbeda nyata dilakukan uji lanjut dengan uji DMRT dengan taraf 5%.
HASIL
Pertumbuhan tanaman. Parameter pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada pertumbuhan tinggi dan jumlah anakan. Inpari 10 yang adaptif terhadap berbagai ekosistem menunjukkan keragaan pertumbuhan tinggi tanaman yang berbeda antara di dataran rendah dan dataran medium. Tinggi tanaman Inpari 10 berdasarkan buku deskripsi varietas dapat mencapai 110 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi tanaman padi Inpari 10 di lokasi penelitian tidak lebih tinggi dari deskripsi varietas, akan tetapi dari dua
4
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Kabupaten yang di uji, tinggi tanaman Inpari 10 di Kabupaten Batang (100 cm) lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Temanggung (88 cm).
Gambar 1 . Pertumbuhan tinggi tanaman
Rata-rata jumlah anakan Inpari 10 yang ditanam di Kabupaten Batang mencapai 21 anakan per rumpun pada umur 45 HST. Jumlah ini lebih banyak bila dibandingkan dengan anakan Inpari 10 di Temanggung yang hanya 20 anakan per rumpun. Namun saat menjelang panen jumlah anakan produktif di Kabupaten Batang dan Temanggung tidak berbeda jauh (Gambar 2).
Gambar 2. Perkembangan jumlah anakan
5
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Keragaan Komponen Hasil dan Produksi Inpari 10 Laeya. Komponen hasil yang dimaksud dalam penelitian ini adalah panjang malai, jumlah gabah isi/malai dan jumlah gabah hampa/malai. Sedangkan produksi yang dimaksud adalah produksi padi hasil ubinan dan dikonversi pada kadar air 14% sehingga menjadi gabah kering giling (GKG). Tabel 1 menunjukkan bahwa panjang malai di dua ekosistem lokasi penelitian berbeda dimana panjang malai Inpari 10 di Batang (26,97 cm) lebih panjang dibandingkan di Temanggung (23,9 cm). Komponen hasil lain yang diamatai adalah jumlah gabah isi per malai. Sama halnya panjang malai, jumlah gabah isi permalai juga menunjukkan adanya perbedaan antara Inpari 10 di kabupaten Batang dengan di Kabupaten Temanggung dimana jumlah gabah isi di Kabupaten Batang (148,5 bulir per malai) lebih banayak dibanding Kabupaten Temanggung (108 bulir per malai). Lain halnya dengan komponen jumlah gabah hampa per malai, ternyata di Temanggung (7,25 bulir) lebih kecil dibandingkan dengan di Batang yang mencapai 15,18 bulir hampa per malai. Produksi/hasil Inpari 10 di dua Kabupaten tersebut secara deskriptif berbeda dimana produksi Di Kabupaten Batang mencapai 8,6 t/ha GKG dan Temanggung 7,0 t/ha GKG akan tetapi hasil Uji DMRT tidak berbeda nyata. Hasil ini memenuhi potensi hasil Inpari 10 pada deskripsi varietas yaitu 7,0 t/ha dan bahkan di Batang bisa melebihi potensi hasilnya 8,6 t/ha.
Tabel 1. Analisa hasil dan kohasil Panjang Jumlah Gabah Jumlah Gabah GKG Malai Isi/Malai Hampa/Malai Batang 26.97 a 148.4 a 15.18 a 8.6 a Temanggung 23.9 b 108.0 b 7.25 b 7.0 a Keterangan : Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT. Lokasi
PEMBAHASAN Antisipasi perubahan iklim yang berdampak pada menurunnya produksi padi telah dilakukan dengan cara perakitan varietas yang toleran. Salah satunya varietas unggul baru Inpari 10 Laeya. Varietas ini dapat ditanam di lahan sub optimal terutama lahan kering. Lahan kering dengan ekosistem yang berbeda menunjukkan keragaan Inpari 10 hal yang
6
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
berbeda pula. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan Inpari 10 Laeya di Kabupaten Batang lebih tinggi dibandingkan di Kabupaten Temanggung. Hal ini dapat terjadi karena faktor ketinggian tempat. Lakitan (2007) menyatakan bahwa ketinggian tempat dapat berpengaruh pada radiasi matahari dan suhu. Semakin tinggi tempat maka suhu semakin rendah. Suhu mempengaruhi metabolisme yang tercermin dalam berbagai karakter seperti laju pertumbuhan, pembungaan, pembentukan buah, dan pematangan jaringan atau organ tanaman yang pada akhirnya akan mempengaruhi umur panen. Hasil penelitian Chairuman (2012) di Kabupaten Tapanuli Utara menunjukkan bahwa tinggi tanaman Inpari 10 Laeya hanya 77 cm lebih rendah dibandingkan dengan diskripsi varietas dan anakan produktif mencapai 18,8 anakan/rumpun. Penelitian sebelumnya di Buleleng Bali pada tahun 2011 menunjukkan rata-rata tinggi tanaman Inpari 10 Laeya 113,6 cm dan rata-rata anakan produktif 16,8 anakan per rumpun. Ketinggian tempat berpengaruh pada keragaan tinggi dan jumlah anakan Inpari 10 Laeya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil gabah di Kabupaten Batang mencapai 8,6 ton/ha lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Temanggung. Hasil gabah yang tinggi disertai dengan panjang malai yang lebih panjang dan gabah isi yang lebih banyak. Menurut Atman (2005), salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan hasil gabah varietas Batang Piaman adalah meningkatnya nilai komponen pertumbuhan dan komponen hasil tanaman, antara lain: jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, dan persentase gabah bernas. Semakin panjang malai, anakan produktif dan jumlah gabah isi yang semakin besar serta sedikitnya jumlah gabah hampa akan meningkatkan hasil produksi. Hasil produksi gabah di Kabupaten Batang dan Temanggung berdasarkan hasil analisis tidak berbeda nyata dikarenakan oleh jumlah gabah hampa Inpari 10 Laeya di Kabupaten Batang yang tinggi. Tingginya jumlah gabah hampa ini dimungkinkan karena adanya serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) di Kabupaten Batang. Hasil pengamatan, jenis OPT yang menyerang adalah wereng batang coklat dengan intensitas 5 – 10 %, tikus dan penggerek batang dengan intensitas serangan 7 – 10 %. Serangan OPT cenderung lebih banyak saat tanaman fase vegetatif sedangkan setelah memasuki fase generatif serangan berkurang. Varietas ini terbukti tahan terhadap serangan hama wereng batang coklat terbukti dapat bertahan dan berproduksi optimal sampai dengan panen.
7
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Varietas Inpari 10 sebagai varietas unggul baru mempunyai daya adaptasi yang cukup tinggi di lahan kering dengan ekosistem yang berbeda yaitu dataran rendah dan medium. Hasil panen gabah di dua ekosistem juga masih sesuai dengan deskripsi varietas yaitu 7-8 ton/ha. Selain itu Inpari 10 mempunyai bentuk gabah yang ramping dan panjang serta pulen yang tidak bebeda jauh dengan varietas Ciherang yang banyak digemari oleh petani dan konsumen bersa di Jawa Tengah.
KESIMPULAN
Keragaan varietas unggul baru Inpari 10 Laeya di lahan kering dengan dua ekosistem yang berbeda (dataran rendah dan medium) menunjukkan hasil yang berbeda.
Pertumbuhan tinggi tanaman Inpari 10 Laeya di Kabupaten Batang lebih tinggi daripada di Temanggung. Namun jumlah anakan per rumpun yang dihasilkan tidak berbeda.
Panjang malai Inpari 10 dan jumlah gabah isi per malai yang ditanam di Kabupaten Batang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang ditanam di Kabupaten Temanggung. Tetapi hasil gabah yang dihasilkan tidak berbeda antara Kabupaten Batang dan Temanggung. Di Kabupaten Batang GKG padi Inpari 10 sebesar 8,6 t/ha dan Temanggung 7 t/ha.
SARAN
Inpari 10 perlu di rekomendasikan kepada petani di Kabupaten Batang dan Temanggung sebagai alternatif pilihan pengganti varietas yang sudah umum di tanam petani pada musim kemarau (kering). Selain itu Dinas Pertanian atau Kementerian Pertanian semestinya menjadikan Inpari 10 sebagai salah satu varietas yang benihnya di perbantukan.
Kementerian Pertanian melalui BPTP Jawa Tengah perlu melakukan penelitian lanjutan terhadap Inpari 10 dimusim berikutnya (musim berbeda) sehingga hasil yang didapatkan akan lebih meyakinkan dan memantapkan inpari 10 untuk dikembangkan di Kabupaten Batang dan Temanggung.
8
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
DAFTAR PUSTAKA Atman. 2005. Pengaruh sistem tanam bershaf dengan P-starter (shafter) pada padi sawah varietas Batang Piaman. Jurnal Stigma Vol. XIII No. 4, Oktober-Desember 2005. Faperta Universitas Andalas Padang; hlm 579-582. Badan Litbang Pertanian, 2012. Perubahan Iklim dan Inovasi Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Jakarta. Bappenas, 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Milenium Development Goals Indonesia 2007. Diterbitkan oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Boer R., A. Buono, Sumaryanto, E. Surmaini, A. Rakhman, W. Istiningtyas, K. Kartikasari, and Fitriyani, 2009. Agricultural Sector. Technical Report on Vulnerability and Adaptation Assessment to Climate Change for Indonesia’s Second National Communication. Ministry of Environment and United Nations Development Programme, Jakarta. Boar R., 2008. Pengembangan Sistem Prediksi Perubahan Iklim untuk Ketahanan Pangan. Laporan Akhir Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Pertanian. Bogor. Boar R., 2007. Fenomena Perubahan Iklim : Dampak dan Strategi Menghadapinya. Dipersentasikan pada Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan, Bogor. 8 November 2007. Chairuman, Novia. 2013. Kajian Adaptasi Varietas Unggul Baru Padi Sawah Berbasis Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Dataran Tinggi Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara. Jurnal online Pertanian Tropic Pasca Sarjana FP. USU No 1 (1). Doorenbos J and Kassam AH. 1979. Yield response to water. FAO ; Irrigation and drainage paper;33. Rome. 193p. Fagi, AM., Las I., Pane H., Abdulrachman S., Widiarta IN., Baehaki dan Nugraha US., 2002. Anomali Iklim dan Produksi Padi; Srategi dan Antisipasi Penanggulangan. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sukamandi. 41p. http://news.okezone.com.Perubahan Iklim. Diunduh tanggal 20 Oktober 2013. http://jatim.litbang.pertanian.go.id/ind/phocadownload/p8.pdf. Diunduh tanggal 21 September 2015 9
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
IPCC, 2007. Climate Change : The Physical Science Basis. Summary for Policymarkers. Intergovermental Panel on Climate Change, Genava. IRRI, 2007. Coping With Climate Change. Climate Change Threatens to Affect Rice Production Across the Globe-what is Known About the Likely Impact, and What Can be Done About it? Rice Today July – September 2007.p. 10 -13 KP3I (Konsorium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim). 2009. Laporan Akhir Kegiatan 2008-2009. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Lakitan, Benyamin, 2007. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Makarim, A.K. & I. Las. 2005. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Irigasi melalui Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Hal. 115-127. Las I., 2010. Teknologi Pertanian Siasati Perubahan Iklim. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Unpublished. Las I., P. Setyanto, K. Nugroho, A. Mulyani dan F. Agus, 2011a. Perubahan Iklim dan Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Las I., A. Pramudia, E. Runtunuwu, dan P. Setyanto, 2011b. Antisipasi Perubahan Iklim dalam Mengamankan Produksi Beras Nasional. Majalah Pengembangan Inovasi Pertanian Vol 4. No 1. 2011. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Makarim, A.K. dan Ikhwani, 2011. Antisipasi Dampak Banjir dan Tindakan Adaptasi pada Usahatani Padi Akibat Perubahan Iklim Global. J. Tanah dan Lingkungan 12 (2) : 1 – 15. IPB. Runtunuwu E. dan H. Syahbuddin, 2007. Perubahan Pola Curah Hujan dan Dampaknya Terhadap Potensi Periode Masa Tanam. Jurnal Tanah dan Iklim NO 26: 1 – 12. ISSN 1410-7244 Runtunuwu E., dan Istiqlal Amien, 2010. Dampak dan Antisipasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol. 7 2010. Balai Penelitian Aroklimat dan Hidrologi, Bogor.
10
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Runtunuwu E. dan H. Syahbudin, 2012. Dampak dan Antisipasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol. 9 No. 1, 2012. Balai Penelitian Aroklimat dan Hidrologi, Bogor. UCAR (University Consortium for Atmospheric Research). 1994. El-nino and Climate Predection, Report to the Nation on Our Changing Planet. NOAA, Washington D.C.
11