Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
KERAGAAN 12 VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) DAN VARIETAS UNGGUL HIBRIDA (VUH) DALAM USAHA PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI KEC. DOKO KABUPATEN BLITAR PADA DUA MUSIM TANAM YANG BERBEDA Evy Latifah dan Sudarmadi Purnomo Balai Pengkajian Tanaman Pangan Jawa Timur Jl. Raya Karangploso KM 4 Malang Email :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian bertujuan mengkaji penampilan 12 varietas unggul baru (VUB) dan varietas unggul hibrida (VUH) dalam meningkatkan produksi padi di kecamatan Wlingi kabupaten Blitar pada dua musim tanam yang berbeda dilaksanakan pada lahan sawah intensif (LSI) di desa Doko, kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar. Waktu tanam terdiri dari 2 musim tanam, yaitu (1) Musim tanam I (MT I), yaitu antara Juli 2009 sampai dengan Oktober 2009,(2) MT II Pebruari sampai dengan Mei 2010. Desa Doko, kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar mempunyai ketinggian antara 650 m-700 m dpl, curah hujan tinggi, iklim basah menurut Oldeman, status hara P tanah rendah. Rancangan percobaan yang digunakan di setiap musim tanam menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri dari 12 varietas unggul baru (VUB) padi, yaitu (1) Intani 2, (2) Bernas Prima, (3) SL8SHS, (4) Hipa 6 Jete, (5) Inpari 1, (6) Inpari 6, (7) Mekongga, (8) Ciherang, (9) Dodokan, (10) GB10-970, (11) Siluganggo, dan (2) Sri Jaya. Empat varietas dari 12 varietas tersebut, yaitu Intani 2, Bernas Prima, SL8SHS, dan Hipa 6 Jete adalah padi varietas unggul hibrida (VUH padi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awal musim kemarau jenis padi varietas unggul hibrida SL 8 SHS (9,10 t/ha) menghasilkan gabah kering panen yang paling tinggi dan diikuti Intani 2 (9,03 t/ha). Sedangkan pada musim hujan, varietas unggul baru Inpari 13 (6,58 t/ha) mampu menghasilkan gabah kering panen paling tinggi yang secara nyata tidak berbeda dengan Ciherang (6,29 t/ha) dan mampu mengalahkan varietas unggul hibrida. Kata Kunci : Keragaan, VUB, VUH, musim tanam PENDAHULUAN Stabilitas ketahanan pangan nasional terganggu dan terancam akibat fluktuasi produksi beras /padi dari tahun ke tahun sehingga pemerintah bertekad untuk mempercepat upaya peningkatan produksi padi nasional dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Produktivitas padi sawah Indonesia masih rendah, meskipun pada tahun 2006 terjadi peningkatan produksi sebesar 54.454.097 ton gabah kering giling (GKG) (0,56%) jika dibandingkan dengan produksi tahun 2005 sebesar 54.151.097 ton GKG (Badan Pusat Statistik, 2007). Strategi pencapaian peningkatan produksi padi dilakukan melalui peningkatan produktivitas, perluasan areal, pengamanan produksi dan kelembagaan disertai pembiayaan. Hasil pencapaian program tersebut diharapkan Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
mencapai predikat swasembada beras bahkan surplus yang dapat diekspor ke luar negeri (Ratna dan Mewa, 2010). Optimasi produktivitas padi di lahan sawah merupakan salah satu peluang peningkatan produksi gabah nasional. Peningkatan produksi ini harus didukung dengan pengendalian hama penyakit, pemupukan yang efisien, pengendalian gulma yang intensif, penggunaan lahan yang mempunyai sifat fisik tanah yang baik, serta penggunaan benih bermutu serta adaptif pada kondisi lingkungan yang berbeda (Makarim et al., 2000). Salah satu upaya peningkatan produksi adalah penggunaan varietas unggul memberikan manfaat teknis dan ekonomis, dikarenakan pertumbuhan tanaman menjadi serempak, rendemen lebih tinggi, mutu hasil lebih tinggi sesuai selera konsumen, dan tanaman yang mempunyai ketahanan tinggi terhadap gangguan hama dan penyakit serta adaptasi terhadap lingkungan yang dapat memperkecil penggunaan input seperti pupuk dan pestisida (Suryana dan Prajogo,1997). Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Kontribusi nyata varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain tercermin dari pencapaian swasembada beras pada tahun 1984. Varietas sebagai salah satu titik tumpu utama peningkatan produksi padi adalah perakitan dan perbaikan varietas unggul baru (Balitpa,2004). Pada tahun 2009 di kabupaten Blitar mampu menghasilkan padi dengan jumlah gabah kering giling 10855,8 ton dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 15299,2 ton dan tidak berubah pada tahun 2011 tetap 15299,2 ton. Sedangkan rata-rata produktivitas padi tahun 2009 adalah 60,52 kw/ha meningkat menjadi 60,83 kw/ha pada tahun 2010 dan tidak terjadi peningkatan lagi pada tahun 2011(Anonym, 2012). Kecamatan Doko adalah sebuah kecamatan di kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur yang berada pada kaki gunung kawi ini berbatasan langsung dengan kabupaten Malang. Kecamatan Doko yang merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Blitar terdiri dari desa Plumbangan, desa Doko, desa Genengan, desa Suru, desa Sidorejo, desa Resampombo dan desa Jambepawon. Dalam upaya meningkatkan produksi padi di kecamatan Doko ini perlu dilakukan pengkajian untuk mengetahui keragaan 12 varietas unggul baru (VUB) dan varietas unggul hibrida (VUH) dalam usaha peningkatan produksi padi di kecamatan Doko kabupaten Blitar pada dua musim tanam yang berbeda. METODE Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah intensif (LSI) di desa Plumbangan, kecamatan Doko, Kabupaten Blitar. Waktu tanam terdiri dari 2 musim tanam, yaitu (1) Musim tanam I (MT I), yaitu antara Juli 2009 sampai dengan Oktober 2009,(2) MT II Pebruari sampai dengan Mei 2010. Desa Plumbangan, kecamatan Doko, Kabupaten Blitar Plumbangan, kecamatan Doko, Kabupaten Blitar mempunyai ketinggian antara 650 m - 700 m dpl, curah hujan tinggi, iklim basah menurut Oldeman, status hara P tanah rendah. Rancangan percobaan yang digunakan di setiap musim tanam menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri dari 12 varietas padi, yaitu (1) Intani 2, (2) Bernas Prima, (3) SL8SHS, (4) Hipa 6 Jete, (5) Inpari 1, (6) 2
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
Inpari 6, (7) Mekongga, (8) Ciherang, (9) Dodokan, (10) GB10-970, (11) Siluganggo, dan (2) Sri Jaya. Empat varietas dari 12 varietas tersebut, yaitu Intani 2, Bernas Prima, SL8SHS, dan Hipa 6 Jete adalah padi varietas unggul hibrida (VUH padi), varietas selebihnya merupakan varietas unggul baru (VUB). Kegiatan pengkajian menggunakan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007) yang komponennya terdiri dari varietas unggul, tanam bibit muda, jajar legowo, pemupukan organik, pemupukan N berdasarkan BWD, pemupukan P dan K berdasarkan hasil PUTS, monitoring OPT, pengelolaan pengairan secara intermiten. Teknis pelaksanaan pengkajian, (a) Pengelolaan tanah dilakukan sesuai dengan yang dilakukan petani, yaitu tanah dibajak kemudian digaru masing-masing satu kali; (b) Pembuatan petakan 4m x 5m sebanyak 12 perlakuan kali 3 ulangan, sehingga ada 36 petak, yang mana batas antar petak dibuat pematang selebar 25 cm dengan tinggi 20 cm, sedangkan batas antar ulangan dibuat selokan selebar 30 cm; (c) Tanam bibit dengan sistem jajar legowo 40x20x10 cm, bibit ditanam pada umur 15-18 hari, 1-2 tanaman per lubang; (d) Pemupukan dengan pupuk organik sebanyak 2 t/ha diberikan sebelum tanam dengan cara disebar dan dibenamkan ke dalam tanam; (e) Pemupukan anorganik (250/ha Urea, 75 kg/ha Phonska); (f) penyiangan gulma dengan osrok, 3 kali; (g) Pengendalian hama dan penyakit mengikuti kaidah PHT; (h) Pengairan normal dilakukan sesuai kebiasaan petani; (i) Panen dilakukan saat biji padi menunjukkan masak fisiologis dengan kadar air 20 %. Parameter yang diamati yaitu hasil panen gabah kering panen (GKP), umur panen, jumlah anakan produktif per rumpun, beserta parameter vegetatifnya yaitu tinggi tanaman, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi, dan jumlah gabah hampa .Contoh tanaman yang diamati terdiri dari 10 rumpun per petak, kecuali hasil panen menggunakan ubinan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan varietas unggul hibrida rata-rata menunjukkkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding varietas unggul baru inbrida. Varietas unggul hibrida SL 8SHS memiliki penampilan pertumbuhan paling tinggi dibanding varietas yang lain, demikian pula dengan panjang malai perbedaannya tidak nyata dengan varietas Dodokan, Inpari 1 dan Intani 1 masih mampu menghasilkan malai yang cukup panjang. Walaupun Dodokan dan Inpari 1 merupakan varietas Inbrida panjang malainya mampu menandingi varietas unggul hibrida walaupun dianalisa secara statistik tidak berbeda nyata. Varietas hibrida SL 8SHS pada musim tanam ke dua pada awal kemarau mampu menghasilkan gabah yang paling tinggi dibandingkan varietas lain diikuti satu tingkat dibawahnya yaitu Intani 1 yang keduanya merupakan varietas unggul hibrida. Tingginya hasil gabah SL 8 SHS ini didukung oleh banyaknya jumlah gabah isi tiap malai (198,8) dan beratnya bobot 1000 butir biji (22,6 gram). Intani 1 mampu menghasilkan gabah yang setingkat lebih rendah dibawah SL 8 SHS walaupun jumlah gabah hampa Intani 1 paling tinggi. Untuk hasil gabah tertinggi berikutnya varietas hibrida adalah Hipa 6 jete mampu menghasilkan 8,5 t/ha didukung kemampuan Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
menghasilkan jumlah malai tiap rumpunnya paling tinggi dibanding varietas yang lain mampu menghasilkan rata-rata 20,6 . VUB Inpari 1 menunjukkan hasil gabah yang paling tinggi yaitu 7,96 t/ha walaupun tidak berbeda nyata dengan varietas inbrida yang lain, tingginya hasil gabah ini didukung oleh banyaknya jumlah malai setiap rumpun (19,90) dan sedikitnya jumlah gabah hampa yang dihasilkan (18,5) disertai banyaknya biji setiap malai (160). Inpari 6 menghasilkan gabah hampa setiap malai mencapai 52,6, tetapi mempunyai bobot 1000 bijinya 23,9 gram sehingga hasil gabahnya secara nyata tidak berbeda dengan Inpari 1. Untuk Ciherang, Mekongga dan Dodokan merupakan varietas inbrida yang berada pada tingkat medium, menunjukkan pertumbuhan tanaman tidak terlalu tinggi dibanding varietas yang lain demikian pula gabah hampa yang dihasilkan cukup tinggi, kecuali Mekongga hanya sedikit dan bobot 1000 biji yang cukup berat serta mampu menghasilkan gabah yang secara nyata tidak berbeda dengan Inpari 1 dan Inpari 2. Soemartono et al. (1985) menyatakan bahwa hasil-hasil fotosintesis dan asimilasi yang disimpan pada daun akan ditranslokasikan ke malai melalui pembuluh floem dengan bantuan air yang diserap oleh akar tanaman. Namun banyaknya jumlah gabah permalai tidak mempengaruhi persentase gabah hampa melainkan mempengaruhi bobot 1000 butir tanaman padi. Varietas– varietas yang menghasilkan pertumbuhan tinggi tanaman lebih rendah ditampilkan oleh Silugonggo, Srijaya dan galur G7B. Kedua varietas dan galur ini mempunyai gabah hampa relatif tinggi kecuali Silugonggo. Tetapi galur G7B mempunyai berat 1000 biji lebih tinggi dibanding Silunggo dan Srijaya, meskipun jumlah malainya paling sedikit dibanding kedua varietas tersebut, dengan demikian Silugonggo mampu menghasilkan berat gabah yang relatif lebih tinggi dibanding kedua varietas yang lain, walaupun dianalisa secara statistik tidak berbeda nyata dengan galur G7B dan Srijaya. Tabel 1. Penampilan Tinggi Tanaman Dan Tujuh Komponen Hasil Pada Sebelas Varietas Padi Yang Di Tanam Di Doko, Blitar Pada MT I, 2009-2010 Karakter ∑malai/ rumpun
Varietas Intani 2
Tinggi tanaman (cm) 99.067 ab
15,07d
Panjang ∑gabah malai isi/malai (cm) 24,27a 175,1b
∑gabah hampa/ Malai 96,5a
Bobot 1000 butir biji (g)
Hasil gabah (t/Ha)
20,8bcd
9.03b
SL8SHS
104.733 a
13,93cd
22,43a
198,8a
47,0d
22,6ab
9.10 a
Hipa6Jete Inpari 1 Inpari 6 Mekongga
93.133bcdef 87.667efg 95.933bcd 98.067bc
20,60a 19,90abc 17,40abcd 16,67abcd
24,50a 24,37a 24,03a 24,00a
164,7c 160,0c 162,3c 140,2d
71,3b 18,5f 52,6c 16,0f
18,0cd 18,4cd 23,9ab 20,5abc
8.50c 7.96 cd 7.58 cd 7.53cd
Ciherang 94.000bcde 13,93d 23,13a 134,4d 37,9e Dodokan 92.600cdef 20,27ab 24,67a 160,3c 38,0e G7B 87.200fg 16,07bcd 24,00a 140,2d 49,0cd Silogonggo 85.600g 19,80abc 23,83a 140,2d 16,0f Sri Jaya 90.733efg 19,20abcd 22,23a 166,8bc 38,0e Keterangan:Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang dengan DMRT pada taraf 0,05
4
20,4bcd 7.53cd 20,8bcd 7.70cd 25,1a 7.20cd 19,9bcd 7.30cd 17,8d 7.03d sama tidak berbeda nyata
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
Tabel 2 dibawah menunjukkan hasil gabah yang ditentukan oleh beberapa komponen hasil (tinggi tanaman, jumlah malai, jumlah gabah, jumlah gabah hampa, rata-rata panjang malai, hasil GKP dan bobot 1000 biji) pada musim tanam ke 2. Dapat dilihat Inpari-13 (6,58 t/ha) menghasilkan gabah kering panen paling tinggi yang tidak berbeda dengan Ciherang (6,29 t/ha) kemudian diikuti Mekongga (6,12 t/ha), Silugonggo (6,11 t/ha) dan SL 8 SHS (6,04 t/ha). Dengan demikian diketahui bahwa pada musim hujan varietas inbrida lebih tahan penyakit sehingga mampu menghasilkan produksi lebih tinggi kecuali SL 8 SHS (6,04 t/ha) masih mampu bertahan menghasilkan gabah yang cukup tinggi tidak berbeda nyata dengan Inpari 13. Tingginya hasil gabah kering panen yang dicapai Inpari 13 didukung tinggi tanaman, panjang malai paling tinggi,serta jumlah gabah hampa yang relatif sedikit walaupun bobot 1000 bijinya tidak terlalu tinggi. Inpari 13 diketahui cocok ditanam di lokasi Doko pada musim hujan karena mampu menghasilkan jumlah butir gabah yang tinggi diikuti jumlah gabah hampa yang cukup rendah. Ciherang yang produksi gabahnya setingkat lebih rendah dari pada Inpari 13 dikarenakan memiliki jumlah gabah hampa yang lebih tinggi walaupun bobot 1000 butir nya hampir sama. Varietas inbrida Mekongga dan Silugonggo menghasilkan gabah yang hampir sama, tetapi komponen yang mendukung pada Mekongga mempunyai kelebihan jumlah gabah hampa lebih sedikit dan jumlah gabah per malai lebih banyak tetapi mempunyai jumlai malai perumpun lebih sedikit. Jumlah gabah yang terbentuk pada masing-masing malai menurut Darwis (1979 dalam Tiur, 2009) ditentukan oleh panjang malai, dimana masing-masing akan menghasilkan gabah. Perkembangan jaringan pembuluh sumbu utama malai ke cabang malai dan dari cabang malai ke gabah dipengaruhi oleh ketersediaan air dan unsur hara yang diserap dari tanah. Semakin kuat jaringan pembuluh maka semakin banyak gabah yang terbentuk dan perkembangan gabah lebih cepat. Silugonggo mempunyai jumlah gabah hampa yang tinggi tetapi mempunyai jumlah malai perumpun lebih tinggi walaupun jumlah gabah per malai nya berada pada tingkat menengah. Pada muism hujan GKP pada tingkat moderat dihasilkan oleh varietas hibrida Hipa 6 Jete, kemudian varietas unggul baru inbrida Inpari 1, Inpari 6, galur G7 B, dan Sri jaya. Dimana ke lima varietas ini diuji secara statistik tidak terjadi perbedaan yang nyata. Dilihat dari gabah hampa yang dihasilkan ternyata Inpari 1 paling sedikit menghasilkan gabah hampa dan hal ini juga terjadi pada awal musim kemarau, demikian pula Hipa 6 jete, Inpari 6, galur G7 B dan Sri jaya menghasilkan jumlah gabah hampa yang cukup banyak baik pada musim tanam I dan II. Tabel 2. Penampilan Tinggi Tanaman Dan Tujuh Komponen Hasil Pada Dua Belas Varietas Padi Yang Di Tanam Di Doko, Blitar Pada MT II, 2009-2010 No
Varietas
Karakter Tinggi Tanaman
Jml malai/ Rumpun
Jumlah gabah/malai
%Gabah hampa/malai
Rata2 panjang malai
Hasil GKP
Bobot 1000 biji (gr)
1
Intani-2
112.6 a
9.7 ef
167.5 ab
26.03 abc
24.6 a
4.68 bc
26.11 ab
2
Bernas Prima
108.1 b
9.4 f
170.7 bc
15.82 c
24.1 b
4.11 d
25.05 c
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
3
SL-8 SHS
115 a
9 ef
123.5abc
18.15 abc
19.8 ab
6.04abc
29.16 a
4
Hipa 6 Jete
107.3 a
12.6 abcd
124.4 bc
32.03 a
24.5 a
5.67 abc
25.53 ab
5
Inpari – 1
93.5 ab
15.5 a
125 abc
10.91 c
24.6 a
5.96 abc
29.81 a
6
Inpari – 6
112.8 a
10.6 de
113.1 bc
14.01 c
22.9 ab
5.25abc
27.33 ab
7
Inpari – 13
106.7 a
13.7 abcd
141.4 abc
11.96 c
24.8 a
6.58 a
28.38 ab
8
Mekongga
99.1 ab
11.8 bcde
128.9 abc
13.29 c
23.5 ab
6.12 abc
26.72 ab
9
Ciherang
102.5 ab
14.1 abcd
133.8 abc
20.55 abc
23.1 ab
6.29 ab
28.65 ab
10
Dodokan
96.1 ab
15 ab
91.7 c
10.22 c
23.3 ab
4.62 c
20.39 bc
11
G 7B10970C
97.5 ab
14.2 abc
120 bc
14.15 c
22.9 ab
5.67 abc
30.9 a
12
Silugonggo
95.8 ab
16 a
112 bc
21.27 abc
22.3 ab
6.11 abc
24.55 ab
13
Sri Jaya
106.1 a
10.9 cde
98.1 c
15.43 bc
22.3 ab
5.52 abc
26.69 ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf 0,05
Pada musim hujan Srijaya lebih adaptif karena menghasilkan gabah pada tingkat moderat (5,52 t/ha) masih lebih tinggi daripada Intani 2, Inpari 6, Bernas prima dan Dodokan. Intani 2 dan Dodokan pada musim hujan menghasilkan GKP yang lebih rendah, kemungkinan karena ke dua varietas ini pada musim hujan lebih rentan penyakit sehingga produksinya tidak dapat maksimal seperti halnya pada musim kemarau mampu menghasilkan GKP cukup tinggi. Sedangkan Bernas prima menghasilkan produksi gabah yang paling rendah dibanding varietas lainnya. Kemungkinan akibat kualitas benih yang kurang memadai sehingga perlu pemilihan benih yang tepat sebelum pelaksanaan tanam. Hal ini dikarenakan pada musim awal musim kemarau Bernas prima juga tidak dapat tumbuh sehingga tidak dapat menampilkan data Bernas prima pada musim tanam I diatas. Anakan Produktif Tabel 3. Efek Lokasi Tanam Terhadap Jumlah Anakan Produktif Varietas-Varietas Padi Menuju IP Padi 400, MT I Dan MT II, 2009-2011 No.
6
Varietas
Jumlah anakan produktif per rumpun padi MT I MT II
1 Intani 2 2 Bernas Prima
15,07 c -
9,9 a 9,0 a
3
SL8SHS
13,93 d
8,5 a
4 5 6 7 8 9
Hipa6Jete Inpari 1 Inpari 6 Mekongga Ciherang Dodokan
20,60 a 19,90 a 17,40 bc 16,67 bc 13,93 d 20,27 a
9,7 a 13,7 a 11,2 a 10,0 a 10,3 a 12,9 a
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
10 G7B 11 Silogonggo 12 Sri Jaya
16,07 bc 19,80 a 19,20 ab
Juni, 2012
11,8 a 11,4 a 14,1 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf 0,05
Hasil analisis menunjukkan bahwa musim tanam juga mempengaruhi anakan produktif per rumpun varietas-varietas padi. Pada MT II menampilkan anakan produktif per rumpun padi untuk semua varietas nyata lebih banyak daripada musim tanam I (Tabel 3). Di antara 12 varietas padi yang diuji tampak adanya variasi jumlah anakan produktif. Varietas-varietas super genjah jumlah anakan produktifnya lebih banyak daripada varietas genjah, tetapi jika dikaitkan dengan produktivitas (Tabel 3), varietas super genjah hasilnya nyata lebih rendah daripada varietas genjah. Dalam hal ini hasil gabah pada varietas ditentukan oleh panjang, volume dan jumlah butir gabah. Hal ini Nampak pada varietas Silugonggo, Dodokan dan Srijaya berada pada kelas tinggi untuk semua lokasi menghasilkan anakan yang lebih banyak. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada awal musim kemarau jenis padi varietas unggul hibrida SL 8 SHS (9,10 t/ha) menghasilkan gabah kering panen yang paling tinggi dan diikuti Intani 2 (9,03 t/ha). Sedangkan pada musim hujan ternyata varietas unggul baru Inpari 13 (6,58 t/ha)mampu menghasilkan gabah kering panen yang paling tinggi yang secara nyata tidak berbeda dengan Ciherang (6,29 t/ha) mampu mengalahkan varietas unggul hibrida kecuali SL 8 SHS (6,04 t/ha) masih mampu menghasilkan gabah kering panen yang tidak berbeda nyata dengan Inpari 13 . UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. Kasijadi yang telah mendukung dan membimbing terlaksananya kegiatan pengkajian yang telah dilkasanakan di desa Plumbangan Kec Doko Blitar. DAFTAR PUSTAKA Anonym. 2012. Sistem Informasi Profil Daerah Kota http://blitarkota.net/profil/frameok.php?kode=0301&&menu=2)Diakses 23/6/2012 jam 12.30.
Blitar.
BPS. 2007. Badan Pusat Statistika. www.bps.go.id. Diakses 25/11/2012 jam 12.00. Darwis (1979 dalam Tiur Hermawati, 2009). Keragaan Padi Varietas Indragiri Pada Perbedaan Umur Bibit Dengan metode SRI (System Of Rice Intensification). Percikan. Vol. 99 Edisi April 2009. Makarim, A.K., U.S Nugraha, dan U.G. Kartasasmita. 2000. Teknologi Produksi Padi Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Ratna Wulandari dan Mewa Ariani, 2010. IP Padi 400, Terobosan Untuk Meraih Swasembada Berkelanjutan. (http://banten.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com content&view=article&id=219&itemid=12 diakses 3/5/12 jam 09.35 Sumartono, B. Samad, dan R. Harjono. 1985. Bercocok Tanam Padi. Yasaguna Jakarta. Suyana dan U.H. Prajogo. 1997. Subsidi Benih dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Produksi Pangan. Kebijakan Pembangunan Pertanian. Analisis Kebijaksanaan Antisipatif dan Responsif. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
8
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012