II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua
tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi, tumbuhan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur. Lahan merupakan matrik dasar kehidupan manusia dan pembangunan karena hampir semua aspek kehidupan pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung, berkaitan dengan permasalahan lahan (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995). Terdapat perbedaan antara penutup lahan (land cover) dengan penggunaan lahan (land use). Penutup lahan didefinisikan sebagai bahan-bahan seperti vegetasi dan pondasi yang menutup tanah. Sedangkan inti dari penggunaan lahan adalah aktivitas manusia yang mencirikan suatu daerah sebagai daerah industri, pertanian, atau pemukiman (Marsh,1991, dalam Saefulhakim, 1994). Penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1997). Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Sepuluh kelas penggunaan lahan menurut Barlowe (1978) adalah sebagai berikut: 1) lahan pemukiman , 2) lahan industri dan perdagangan, 3) lahan bercocok tanam, 4) lahan peternakan dan penggembalaan, 5) lahan hutan, 6) lahan mineral/pertambangan, 7) lahan rekreasi, 8) lahan pelayanan jasa, 9) lahan transportasi dan 10) lahan tempat pembuangan. Perubahan penutupan lahan merupakan bentuk peralihan dari penutupan lahan sebelumnya ke penutupan lahan yang lain, yang berarti berubahnya luas dan lokasi penggunaan lahan tertentu pada suatu kurun waktu. Perubahan penggunaan lahan dan penutupan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat
3
berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan. Secara umum Barlowe (1978) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan adalah faktor fisik dan biologi (sumberdaya alam dan sumberdaya manusia), faktor ekonomi, dan kelembagaan. Proses perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat tidak dapat diubah (irreversible), contohnya adalah lahan-lahan sawah yang dikonversikan ke berbagai aktivitas urban sangat kecil kemungkinannya untuk kemudian dikembalikan lagi menjadi sawah. Oleh karenanya proses-proses perubahan penggunaan lahan harus selalu ditempatkan dalam perspektif perencanaan jangka panjang (Rustiadi, 2001). Alih fungsi lahan berskala luas maupun kecil seringkali memiliki permasalahan klasik berupa: 1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, 2) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Ketiga masalah tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan
dengan
pendekatan-pendekatan
parsial,
namun
memerlukan
pendekatan-pendekatan intregatif (Rustiadi et al, 2005). Perkembangan kota dan wilayah yang dicerminkan oleh pembangunan fisik sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan kebijaksanaan ekonomi. Dengan kata lain, perkembangan kota dan wilayah pada dasarnya adalah wujud fisik perkembangan ekonomi. Pembangunan fisik kota dan wilayah yang ditandai oleh perubahan penggunaan lahan sangat dirasakan khususnya pada metropolitan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang dan Bekasi). Sebagai contoh, pada tahun 1990 kawasan Puncak, Kabupaten Bogor didominasi oleh hutan, dengan luas 758,43 Ha, atau sekitar 53,04% dari luas keseluruhan. Penggunaan lahan dominan kedua adalah sawah, yaitu sebesar 254, 79 Ha atau sekitar 17,82 % dari luas kawasan Puncak. Sepuluh tahun berikutnya atau pada tahun 2001 menunjukan suatu perubahan yang sangat drastis dimana hutan berkurang menjadi sekitar 580,99 Ha atau sekitar 40,63% dari seluruh luas penggunaan lahan. Hutan di daerah Puncak dan sekitarnya berkurang sekitar 177,44 Ha atau berkurang sekitar 12,41 % dari luasan awalnya. Permukiman aatau kawasan permukiman
4
menjadi penggunaan lahan terbesar kedua dengan luas 443,73 Ha atau meningkat 14,66 %. (Aditya, D. A, 2007)
2.2.
Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang
udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (Pasal 1 butir 1 UU No. 26/2007). Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang ( UU No. 26 Tahun 2007). Berdasarkan UU No.26/2007, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang, baik untuk wilayah administratif (seperti propinsi, kabupaten dan kota), maupun untuk kawasan fungsional (seperti kawasan perkotaan dan perdesaan); pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan 1) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, 2) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan 3) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang (UU Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007, Pasal 5)
2.3.
Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan salah satu produk ilmu
komputer yang paling mutakhir saat ini. Pengertian tentang SIG sangat beragam.
5
Hal ini sejalan dengan perkembangan SIG itu sendiri sejak pertama kali SIG dikembangkan oleh Tomlinson tahun 1967. Murai (1999) mengartikan SIG sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data berefrensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumberdaya alam, lingkungan, transportasi fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya. Menurut Aronoff (1993), SIG merupakan sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografi. Sedangkan Bernhardsen (2001) mendefinisikan SIG sebagai sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk akusisi dan verifikasi data, kompilasi data, penyimpanan data, perubahan dan pembaharuan data, manajemen dan pertukaran data, manipulasi data, pemanggilan dan presentasi data serta analisa data. Walaupun SIG tak lepas dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer sera manajemen data dan informasi yang berhubungan dengan permukaan bumi. Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial (Star dan Estes, 1990 dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Menurut Barus dan Wiradisastra (2000) Sistem Informasi Geografi atau disingkat sebagai SIG, terjemahan dari Geographical Information System (GIS), pada saat ini sudah merupakan teknologi yang dianggap biasa pada kalangan perencanaan atau kelompok-kelompok lain yang berkecimpung dalam hal pemetaan sumberdaya maupun dalam berbagai bidang lainnya seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. SIG juga unggul dalam mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisis dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi.
6
2.4.
Penginderaan Jauh, Citra Ikonos dan Quickbird Lillesand dan Kiefer (1994) menyatakan bahwa penginderaan jauh adalah
ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Menurut Kennie dan Matthews (1985) secara fisik penginderaan jauh adalah pengukuran dan perekaman variasi-variasi energi elektromagnetik yang terjadi ketika energi itu berinteraksi dengan atmosfer dan permukaan bumi. Data penginderaan jauh dapat berupa (1) data analog, misalnya foto udara cetak atau data video, dan (2) data digital, misalnya matriks/raster nilai kecerahan yang diperoleh menggunakan penyiam, susunan linier (linier array) atau susunan luasan (area array) (Jensen, 1996). Data analog penginderaan jauh dianalisis dengan metode visual, sedangkan data digital dianalisis dengan metode digital. Untuk melengkapi proses penginderaan jauh, data yang dikumpulkan oleh sistem penginderaan jauh harus dianalisis melalui interpretasi dan teknik pengukuran untuk memperoleh informasi yang berguna mengenai obyek-obyek yang diteliti (Avery dan Berlin, 1992). Data penginderaan jauh mempunyai karakteristik khusus yang dikenal dengan istilah resolusi. Resolusi adalah ukuran kemampuan sistem optik untuk membedakan sinyal-sinyal yang dekat secara spasial atau sama secara spektral (Jensen,
1996).
Terdapat
tiga
resolusi
yang
umum
digunakan
untuk
mengidentifikasi karakteristik citra, yaitu resolusi spektral, resolusi spasial, resolusi temporal dan resolusi radiometrik. Resolusi spektral berhubungan dengan nomor dan ukuran interval panjang gelombang spesifik pada spektrum elektromagnetik yang peka diindera (Jensen, 1996). Resolusi spasial adalah ukuran angular terkecil atau pemisahan linier antara dua obyek yang dapat dipisahkan oleh sensor atau dengan kata lain ukuran keruangan yang direkam sensor ke dalam satu piksel (Jensen, 1996). Resolusi temporal menunjukkan frekuensi sensor merekam citra pada daerah tertentu (Jensen, 1996). Resolusi temporal ini sangat berguna untuk mendeteksi perubahan di permukaan bumi. Resolusi radiometrik adalah ukuran sensitivitas sensor untuk membedakan aliran radiasi (radiant flux) yang dipantulkan atau diemisikan dari suatu obyek permukaan bumi. Citra yang mempunyai resolusi radiometrik yang
7
lebih tinggi akan memberikan variasi informasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan citra yang mempunyai resolusi radiometrik yang lebih rendah. (Sidik, A. 2008) Ikonos merupakan satelit observasi komersial bumi yang dapat mendeteksi obyek sampai dengan ketelitian satu meter. Citra Ikonos diluncurkan pertama kali pada tanggal 24 september 1999 di California. (Wikipedia. 2010) Ikonos menghasilkan dua macam data: multispektral pada empat interval panjang gelombang, yaitu merah (0,45-0,52 µm), biru (0,52-0,60 µm), hijau (0,63-0,69 µm), infra merah dekat (0,76-0,90 µm), serta pankromatik (0,45-0,90 µm). Memiliki resolusi spasial (1x1) m untuk citra pankromatik, dan (4x4) m untuk citra multispektral. Resolusi temporal Ikonos adalah 14 hari, ini berarti sensor merekam daerah yang sama setiap 14 hari. (Sidik, A. 2008) Quickbird merupakan citra satelit dengan resolusi yang tinggi, yang dimiliki perusahaan penyedia citra satelit dari Amerika Serikat yaitu Digital Globe. Satelit-nya sendiri mengumpulkan citra pankromatik (warna hitam putih) dengan resolusi spasial 0,6 meter dan juga mengumpulkan citra satelit multispektral (berwarna) dengan resolusi spasial 2,4 meter. Dengan tingkat resolusi spasial yang tinggi seperti itu, bangunan seperti rumah, gedung-gedung perkantoran, dan banyak bangunan lainnya akan tampak dengan cukup jelas. (Umardani, M. 2010) Citra Quickbird menghasilkan dua macam data: multispektral pada empat interval panjang gelombang, yaitu biru (0,45 -0,52 µm), hijau (0,52-0,60 µm), merah (0,63-0,69 µm), infra merah dekat (0,76-0,90 µm), serta pankromatik (0,50-0,90 µm). Resolusi temporal Quickbird adalah 20 hari. (Sidik, A. 2008)
2.5.
Analisis Skalogram Analisis skalogram merupakan salah satu alat untukmengidentifikasi pusat
pertumbuhanwilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya, dengan demikian dapat ditentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktifitas suatu wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang akan menjadi daerah belakang (hinterland).
8
Hirarki dari pusat pelayanan yang lebih tinggi memiliki sarana pelayanan yang lebih banyak dan lebih beragam. Adanya hirarki secara teoritis mencerminkan adanya perbedaan masa, dimana hirarki yang lebih tinggi mempunyai masa yang lebih besar daripada yang berhirarki lebih rendah. (Rustiadi et al 2005).
9