TINJAUAN PUSTAKA Penutupan dan Penggunaan Lahan Rustiadi et al. (2009), penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda.
Penggunaan lahan (lahan use)
menyangkut aktivitas pemanfaatan lahan oleh manusia, sedangkan penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik. Lillesand dan Kiefer (1990), menyatakan bahwa pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan penting untuk berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan permukaan bumi. Penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Arsyad (2010) penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
baik
material
maupun
spiritual.
Penggunaan
lahan
dapat
dikelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu: 1
Penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan dan dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut, berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan seperti tegalan (pertanian lahan kering atau pertanian pada lahan tidak beririgasi).
2 Penggunaan lahan bukan pertanian yang dapat dibedakan kedalam lahan kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya. Menurut FAO (1976) dalam Arsyad (2010), penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok yaitu (1) penggunaan lahan secara umum (major kind of land use) adalah penggolongangan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi, dan (2) penggunaan lahan secara terperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu.
7
Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah menjadi pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan ini bersifat permanen dan tidak dapat kembali (irreversible) tetapi jika beralih guna menjadi perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan penggunaan lahan pertanian berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat (Winoto et al. 1996 ). Sitorus et al. (2006) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi dibidang pertanian atau perkebunan. Dalam kondisi ini akan terjadi perubahan lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan. Perubahan yang dilakukan oleh masyarakat terjadi dalam skala kecil dan umumnya hanya perubahan jenis tanaman komoditas tertentu menjadi komoditas lain. Faktor-faktor Penyebab Perubahan Penggunaan Lahan Winoto et al. (1996) menyatakan bahwa faktor-faktor pendorong terjadinya alih guna tanah pertanian ke non pertanian tidak sepenuhnya bersifat alamiah tetapi ada juga yang secara langsung atau tidak langsung dihasilkan oleh proses kebijaksanaan
yang
dihasilkan
oleh
pemerintah.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi alih guna tanah pertanian ke non pertanian baik yang lahir melalui proses pengaturan dan kebijaksanaan maupun yang lahir melalui mekanisme alamiah yang terjadi dalam masyarakat ada yang memperlambat ada juga yang mempercepat laju alih guna tanah, bahkan ada diantara faktor-faktor tersebut yang berinteraksi satu dengan lainnya melalui mekanisme feedback loop (baik positif maupun negatif) dalam arti satu faktor akan memperkuat faktor lainnya dengan
8
secara timbal balik memberikan dampak ganda terhadap percepatan laju alih guna tanah pertanian ke non pertanian. Selanjutnya, Saefulhakim et al. (1999) melakukan kajian terhadap strukturstruktur utama yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan, dengan alat analisis multinomial logit model dihasilkan faktor-faktor yang secara nyata menentukan perubahan penggunaan lahan yaitu tipe penggunaan lahan sebelumnya, status kawasan dalam kebijakan tata ruang, status perijinan penguasaan lahan, karakteristik fisik lahan, karakteristis sosial ekonomi wilayah dan karakteristik interaksi spasial aktivitas sosial ekonomi internal dan eksternal wilayah. Vagen (2006) menggunakan analisis multinomial logit model untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan perubahan lahan hutan di Mandagaskar dengan hasil bahwa faktor aksesibilitas dan ketinggian tempat mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam mempengaruhi perubahan penggunaan lahan hutan dibandingkan perubahan kapadatan penduduk dan lereng. Dengan menggunakan metode yang sama Andriyani (2007) melakukan analisis spasial perubahan penggunaan lahan dan faktor-faktor penyebabnya di Kabupaten Serang-Provinsi Banten. Hasil analisis Andriyani (2007) menunjukkan penyebab utama terjadinya perubahan lahan disebabkan oleh dinamika sosial ekonomi yang ada di wilayah tersebut, selain itu faktor fisik yang signifikan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan menjadi pemukiman adalah kemiringan lereng. Kajian yang serupa dilakukan oleh Muiz (2009) dan Niin (2010) dengan metode yang sama. Kajian yang dilakukan oleh Muiz (2009) fokus pada analisis perkembangan wilayah dan perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi pada periode 1997-2006. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penyebab utama perubahan penggunaan lahan adalah kerapatan jalan, pemekaran kecamatan, elevasi, jenis tanah, kemiringan lereng dan perubahan hirarki kecamatan. Sementara Niin (2010) melakukan analisis perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Katingan dan Kota Palangka Raya pada periode tahun 1990-2006, dimana faktor fisik
lahan merupakan variabel
yang paling konsisten
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lainnya diikuti faktor kebijakan penggunaan lahan dan faktor sosial ekonomi. Kajian mengenai perubahan penggunaan lahan pertanian dan faktor penyebab pada
9
lanskap pegunungan studi kasus di Pyrenees-Perancis dihasilkan bahwa perubahan teknologi dan kebijakan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan tata guna lahan (Mottet et al. 2006).
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Analisis Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu peralatan tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990).
Marwoto dan Ginting
(2009) menyatakan bahwa teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi yang dapat mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat akan data yang spasial, faktual dan aktual. Kemampuan penyediaan data dan informasi kebumian yang bersifat dinamik bermanfaat dalam pembangunan di era otonomi daerah. Purba dan Indriasari (2009) menyatakan bahwa teknologi penginderaan jauh semakin berkembang melalui kehadiran berbagai sistem satelit dengan berbagai misi dan teknologi sensor. Aplikasi satelit penginderaan jauh telah mampu memberikan data atau informasi tentang sumber daya alam secara teratur. Teknik penginderaan jauh untuk mengkaji daerah perkotaan dan menduga populasi telah digunakan semenjak tahun 1950. Lopez et al. (2001) melakukan kajian prediksi perubahan penggunaan lahan dan tutupan lahan di pinggiran kota studi kasus di Kota Morelia-Mexico, menggunakan foto udara dan GIS dengan metode analisis regresi dan rantai markov dihasilkan bahwa adanya hubungan yang erat antara pertumbuhan kota dengan pertumbuhan penduduk serta antara pertumbuhan kota dan perubahan tutupan lahan terutama perkebunan dan lahan pertanian. Marwoto dan Ginting (2009) melakukan penyusunan data dan karakteristik daerah tangkapan air danau sentani Kabupaten Jayapura serta perubahan penutupan lahan menggunakan data penginderaan jauh dihasilkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun luasan penutupan/penggunaan lahan yang berkurang adalah hutan dan danau sentani akibat dari terjadinya sedimentasi sungai yang bermuara di danau sentani, sedangkan penutupan/penggunaan lahan ladang/tegalan dan semak belukar mengalami peningkatan. Selanjutnya, Purwadhi et al. (2009)
10
melakukan pemantauan perubahan lingkungan pantai Jakarta menggunakan citra penginderaan jauh resolusi tinggi dihasilkan bahwa sebagian besar garis pantai Jakarta Utara berubah relatif cepat, erosi pantai terjadi sangat cepat dan reklamasi secara modern terjadi di pantai yang sekaligus mengubah penggunaan lahan dari tambak menjadi permukiman, dari laut menjadi tempat rekreasi, permukiman dan pergudangan. Jaya (2010) menyatakan bahwa pada saat ini, penginderaan jauh tidak hanya mencakup kegiatan pengumpulan data mentah, tetapi juga mencakup pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual (interpretasi), analisis citra dan penyajian data yang diperoleh. Sarana penginderaan jauh ini mampu memberikan data yang unik yang tidak bisa diperoleh dengan menggunakan sarana lain, mempermudah pekerjaan lapangan dan mampu memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relatif singkat serta dengan biaya yang relatif murah. Sementara itu, Prahasta (2008)
menyatakan bahwa dengan adanya
fenomena pemanasan global dalam beberapa tahun terakhir ini: es kutub mencair, iklim sulit ditebak, permukaan air laut naik beberapa centimeter, air laut makin masuk ke darat, bentuk pantai berubah, intruisi air laut makin sering terjadi, banjir, persediaan air bersih terganggu, beberapa pulau kecil dan wilayah darat seputar pantai sangat berpotensi tenggelam dalam beberapa tahun ke depan, potensi bergesernya batas-batas terluar wilayah Indonesia dan datum vertikal yang sangat berpotensi untuk bergeser. Teknologi penginderaan jauh dan pengolahan citra digital dapat menjadi salah satu alat bantu analisis yang tangguh dalam menghadapi fenomena-fenomena seperti ini, demikian pula untuk aplikasiaplikasi di bidang geodesi, hidrografi, oseanografi, kelautan, coastal dan lain sebagainya. Berikutnya, Sitorus et al. (2006) menyatakan bahwa deteksi perubahan meliputi aplikasi sejumlah multi temporal untuk analisis kuantitatif pengaruh temporal dari suatu fenomena. Keunggulan pengumpulan data berulang, synoptic views, dan format digital yang sesuai untuk pengolahan komputer, data penginderaan jauh menjadi sumber data utama yang digunakan untuk aplikasi deteksi perubahan LULC.
11
Sistem Informasi Geografis merupakan suatu teknologi informasi yang berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data bereferensi spasial dan berkoordinat geografis. Aplikasi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Di bidang bisnis dan perencanaan pelayanan seperti analisis wilayah pasar dan prospek pendirian suatu bisnis baru. Di bidang lingkungan aplikasi SIG digunakan dalam dan analisis kesenjangan. Seperti juga penginderaan jauh yang telah diaplikasikan oleh berbagai kalangan dan kepentingan, maka aplikasi SIG telah digunakan baik oleh kalangan swasta, perguruan tinggi maupun pemerintah daerah. Aplikasi SIG untuk tugas dan kewenangan pemerintah daerah sebagian besar berkaitan dengan data geografis dengan memanfaatkan keandalan SIG antara lain: kewenangan di bidang pertanahan, pengembangan ekonomi, perencanaan penggunaan lahan, kesehatan, perpajakan, infrastruktur (jaringan jalan, perumahan, transportasi), informasi kependudukan, pengelolaan darurat dan pemantauan lingkungan (Barus dan Wiradisastra 2000). SIG memiliki kemampuan untuk menguraikan fenomena dipermukaan bumi kedalam bentuk beberapa layer atau coverage data spasial. Dengan layer ini permukaan bumi dapat direkonstruksi kembali atau dimodelkan dengan menggunakan data ketinggian berikut layer tematik yang diperlukan. SIG memiliki kemampuan untuk menggunakan data spasial maupun data atribut secara terintegrasi, sehingga sistem ini dapat menjawab pertanyaan spasial sekaligus non spasial.
Pertanyaan-pertanyaan spasial maupun non spasial yang bersifat
konseptual yang dapat dijawab oleh SIG adalah sebagai berikut (Prahasta 2009): 1.
Apa objeknya …?
2.
Dimana lokasinya … ?
3.
Apa yang telah berubah sejak …?
4.
Apa pola spasial yang ada …?
5.
Apa pemodelannya …?
Melalui pertanyaan pertama dapat dicari keterangan (atribut) atau deskripsi mengenai suatu fenomena yang terdapat pada lokasi tertentu, sedangkan pertanyaan kedua adalah mengidentifikasi fenomena yang deskripsinya (salah satu
12
atau lebih atributnya) ditentukan. Dengan pertanyaan SIG ini dapat menemukan lokasi memenuhi beberapa syarat atau kriteria sekaligus. Sementara untuk mendapatkan informasi kecenderungan (trend) perubahan spasial maupun atribut dari berbagai unsur peta dapat diperoleh melalui pertanyaan ketiga, yaitu dengan membandingkan beberapa layers (data spasial) dari beberapa kali pengamatan atau pengukuran secara periodik dengan menggunakan fungsi analisis spasial maupun atribut. Selanjutnya SIG dapat mempresentasikan penyimpanganpenyimpangan atau anomali data aktual terhadap pola-pola yang dikenali melalui pertanyaan keempat. Melalui pertanyaan kelima dapat dilakukan pemodelan yang digunakan untuk fungsi dasar manipulasi (misal transformasi), proyeksi dan analisis untuk menyelesaikan persoalan yang cukup kompleks. Sistem informasi geografis (SIG) di Indonesia sudah popular dalam 2 dekade terakhir ini dan penerapannya tidak hanya di kalangan lembaga pemerintahan saja tetapi juga di dunia swasta. Ada yang memakai SIG sebagai sarana (tool), sebagai teknologi atau sebagai database untuk berbagai penerapan dalam pengelolaan sumber daya alam, sosial, ekonomi dalam perencanaan yang bersifat/berbasis spasial (keruangan) dan sebagai sistem pendukung keputusan (decision support system) berdasarkan kriteria tunggal atau kriteria banyak ( Rais 2004) Prahasta (2009) menyatakan bahwa SIG merupakan sistem komputer yang sangat powerful baik dalam menangani masalah basis data spasial maupun nonspasial. Sistem ini merelasikan lokasi geografis (data spasial) dengan informasi deskripsinya (non spasial) sehingga memungkinkan para penggunanya untuk secara mudah membuat peta (analog dan digital) dan kemudian menganalisa informasinya dengan berbagai cara. Dengan perangkat SIG, para pengguna dapat menyatakan relasi, keterkaitan, atau hubungan (relationship), pola (pattern), dan trend (kecenderungan) yang terdapat diantara unsur-unsur spasialnya misalnya dalam menentukan lokasi rawan bencana, zona habitat spesies flora dan fauna yang dilindungi, dan menentukan daerah atau wilayah mana yang sesuai untuk suatu pengembangan. Chang (2004) menyatakan bahwa GIS mempunyai peranan penting dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk perencanaan penggunaan lahan,
13
penilaian bencana alam, analisis habitat satwa liar, pemantauan zona riparian dan manajemen hutan. Lebih lanjut GIS telah digunakan untuk analisis kriminal, perencanaan darurat, pendataan
pengelolaan lahan, analisis pasar dan
perencanaan transportasi. Dan integrasi GIS dengan teknologi lain telah diaplikasikan dalam presisi pertanian, pemetaan interaktif di internet dan layanan berbasis lokasi. Prahasta (2001) menyatakan bahwa sebenarnya banyak sekali aplikasiaplikasi yang dapat ditangani oleh SIG diantaranya: (1)
Aplikasi SIG dibidang sumberdaya alam yang meliputi inventarisasi, manajemen dan kesesuaian lahan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, perencanaan tataguna lahan, analisis daerah rawan bencana alam dan sebagainya.
(2)
Aplikasi SIG dibidang perencanaan meliputi perencanaan permukiman transmigrasi,
perencanaan
tata
ruang
wilayah,
perencanaan
kota,
perencanaan lokasi dan relokasi industri, pasar permukiman, dan sebagainya. (3)
Aplikasi SIG dibidang lingkungan berikut pemantauannya (pencemaran sungai, danau, laut, evalusai pengendapan lumpur/sedimen baik di sekitar danau, sungai atau pantai, pemodelan pencemaran udara, limbah berbahaya dan sebagainya).
(4)
Aplikasi SIG dibidang pertanahan meliputi manajemen pertanahan, sistem informasi pertanahan, dan sejenisnya.
(5)
Aplikasi di bidang biologi dan lingkungan hidup meliputi inventarisasi, kesesuaian lahan, dan manajemen kawasan untuk perlindungan flora dan fauna yang dilindungi, dan sebagainya.
Hirarki Wilayah Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan/atau aspek fungsional. Tarigan (2005) menyatakan bahwa suatu wilayah sangat terkait dengan hirarki fasilitas kepentingan umum di masing-
14
masing wilayah. Hirarki wilayah dapat membantu untuk menentukan fasilitas kepentingan umum bukan hanya menyangkut jenisnya, tetapi juga kapasitas pelayanan dan kauntitasnya. Jenis fasilitas itu mungkin harus ada di seluruh wilayah, semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga semakin luas wilayah pengaruhnya. Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa secara teoritis hirarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah yang ditunjukkan oleh kapasitas secara totalitas yang tidak terbatas infrastruktur fisiknya saja tetapi juga
kapasitas
kelembagaan,
sumberdaya
manusia
serta
kapasitas
perekonomiannya. Secara historis, pertumbuhan suatu pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang baik. Secara operasional, pusat-pusat wilayah mempunyai hirarki spesifik yang hirarkinya ditentukan oleh kapasitas pelayanannya. Kapasitas pelayanan (regional services capacity) yang dimaksud adalah kapasitas sumberdaya suatu wilayah (regional resources), yang mencakup kapasitas sumberdaya sosial (social capital) dan sumberdaya buatan (man-made resources/infrastructure). Disamping itu, kapasitas pelayanan suatu wilayah dicerminkan pula oleh magnitude (besaran) aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang ada di suatu wilayah. Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat-pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari: (1) jumlah sarana pelayanan, (2) jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana pelayanan.
Perencanaan dan Penataan Ruang Wilayah Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa penataan ruang dilakukan sebagai: (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya efisiensi dan produktifitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, (3) menjaga
15
keberlanjutan pembangunan. Sebagai suatu proses terdapat setidaknya dua unsur penting dalam penataan ruang yaitu menyangkut unsur kelembagaan/institusional penataan ruang dan menyangkut proses fisik ruang. Dardak (2005) menyatakan bahwa rencana tata ruang sebagai produk yang dihasilkan proses perencanaan tata ruang, pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia yang melakukan aktivitas sosialekonomi dan aktivitas lainnya dengan lingkungannya, baik alam maupun buatan, dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan. Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang kabupaten/kota. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) merupakan strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Negara, yaitu arahan pengembangan sistem nasional yang meliputi sistem permukiman dalam skala Nasional, jaringan prasarana wilayah yang melayani kawasan produksi dan pemukiman lintas provinsi dan pulau, penentuan wilayah yang akan diprioritaskan pengembannya pada waktu yang akan datang dalam skala Nasional, dan penetapan kawasan tertentu. RTRW Provinsi merupakan penjabaran RTRWN ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang dalam skala wilayah provinsi, yaitu berupa arahan lokasi dan struktur pemanfaatan ruang yang sifatnya lintas kabupaten dan kota agar kawasan dan wilayah tetap terjaga fungsi pengembangan ekonomi secara efisien, pemanfaatan sumber daya alamnya terjaga secara lestari dan mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan wilayah kabupaten/kota, dan kawasan serta antar sektor kegiatan secara sinergis dan efektif. RTRW Kabupaten maupun kota memberi arahan pengelolaan pemanfaatan ruang yang mengacu pada struktur makro, penetapan lokasi investasi, sistem pelayanan infrastruktur lingkup kabupaten maupun kota, arahan pengendalian rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam lingkup kabupaten/kota (Dardak 2005).