Edisi No. 7 | November 2014
Kebakaran Hutan dan Lahan, Siapa yang Melanggengkan..?
20 | Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014
Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014 | 21
LaporanUtama
Editorial
Tandan Sawit Edisi No. 7
K
ebakaran hutan telah menjadi rutinitas tahunan yang seakan tidak pernah ada penyelesaian. Kabut asap pun selalu menghadirkan kesengsaraan di kala musim kemarau datang menggantikan musim penghujan. Tahun ini, kebakaran yang melalap ribuan hektare hutan di kawasan Sumatra lagilagi memantik derita bagi rakyat. Di Riau, asap pekat membuat sekitar 30 ribu warga terjangkit penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Pemerintah Provinsi Riau bahkan telah menetapkan wilayahnya dalam kondisi luar biasa ISPA. Begitu pula di Jambi dan Sumatera Selatan, asap tebal akibat pembakaran hutan memaksa rakyat menghirup udara beracun. Sekolah-sekolah diliburkan dan warga harus bertopengkan masker saat menekuni aktivitas sehari-hari. Asap malah sudah menyebar ke mana-mana hingga Sumatra Utara. Bandara Kuala Namu pun terganggu. Hampir setiap hari puluhan penerbangan, baik dari maupun ke bandara internasional, itu tertunda. Kita prihatin bencana demi bencana tak kunjung reda menerpa bangsa ini. Setelah Gunung Sinabung mengamuk, setelah banjir menerjang, dan setelah Gunung Kelud mengganas, kini giliran kebakaran hutan membuat rakyat sengsara. Namun, yang membuat kita lebih prihatin, kebakaran hutan ialah bencana yang lebih diakibatkan ulah manusia. Bila kita menyebut erupsi Gunung Kelud dan Sinabung sebagai bencana alam, kita harus menyatakan secara lebih tegas bahwa pembakaran lahan atau hutan sebagai kejahatan manusia. Kebakaran hutan yang membara setiap tahun mayoritas dipicu pembakaran lahan sebagai cara paling mudah dan murah untuk membuka lahan buat perkebunan. Amat jarang kebakaran lahan terjadi akibat ulah alam semacam gesekan ilalang yang kemudian memercikkan api di lahan yang kering kerontang. Kenapa para pembakar hutan tak pernah jera beraksi? Jawabannya ialah lemahnya pencegahan dan loyonya penindakan terhadap mereka. Pemerintah pasti paham bahwa tangan-tangan kotor manusia merupakan penyebab utama kebakaran hutan. 90% kebakaran hutan akibat ulah korporasi perkebunan, termasuk perusahaan asing. Namun, pemahaman itu tak dibarengi dengan langkah nyata agar kebakaran tak terulang. Ketika pembakaran hutan kian sering terjadi, hukum cuma garang terhadap pelaku perseorangan, tetapi lunglai untuk korporasi. Untuk kasus 2013 saja, tujuh perusahaan yang telah ditetapkan sebagai tersangka hingga saat ini masih dalam proses. Hukuman terhadap pembakar hutan juga terbilang ringan, hanya berupa vonis penjara mulai 8 bulan hingga 8 tahun. Semestinya, mereka juga harus dihantam palu perdata dengan keharusan membayar ganti rugi atas rusaknya ekologi. Sudah saatnya pemerintah memandang kebakaran hutan bukan sekadar sebagai bencana, melainkan lebih merupakan kejahatan manusia. Tanpa konsistensi pencegahan dan penindakan tegas terhadap pelaku, percayalah, kabut asap akibat kebakaran hutan akan terus membuat kita kalang kabut.
Penanggung Jawab Jefri Gideon Saragih Pemimpin Redaksi Jopi Peranginangin Dewan Redaksi Bondan Andriyanu, Jefri Gideon Saragih, Nurhanudin Ahmad, Ratri K, Yoka Eryono, Jumadi Jaya, Y. Hadiana, Jopi Peranginangin, Ronald Siahaan, Eep Saifulloh, Harizuddin, Carlo Lumban Raja, Sukardi, Maryo Saputra Tata Letak Jopi Peranginangin Alamat Redaksi Perkumpulan Sawit Watch Bogor Baru Taman Jalan Cisangkui Blok B 6/1 Kel. Tegal Lega, Bogor Tengah, Jawa Barat - 16127 Telp: 02518352171 Fax: 02518352047 Web: www.sawitwatch.or.id Twitter: @SawitWatch
Salam Redaksi
Daftar Isi
Kebakaran Hutan dan Lahan, Siapa Diuntungkan? .... Halaman 03 Derita Rakyat di Negeri Terkepung Asap..... Halaman 06 Presiden Harus Menindak Pelaku Pembakar Hutan di Sumatera Selatan..... Halaman 08 Ke(pem)bakaran Hutan dan Lahan Terus Berulang .... Halaman 10 Kebakaran Hutan Dari Masa Ke Masa ..... Halaman 11 Pembangunan Berkelanjutan, Menguak Kutukan Sawit ..... Halaman 12 JOKOWI - KPK Harus Segera Blusukan dan Ambil Alih Penegakan Hukum atas..... Halaman 15 Festival Desa 2014: Merayakan Keberagaman Pangan Kita...... Halaman 16 Penerapan HCV/HCS Jangan Jadi Ajang Cuci Dosa........ Halaman 18 Darurat Hentikan Perbudakan Di Perkebunan Sawit ........ Halaman 19
Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat bersifat sukarela dan tidak mendapatkan honor. Ketentuan ini diberlakukan karena media Tanda Sawit bukan media komersil.
2 | Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014
Kebakaran Hutan dan Lahan, Siapa Diuntungkan?
Kawasan hutan yang terbakar
H
ingga saat ini kejadian kebakaran hutan dan lahan masih terus berlangsung. Menurut catatan sejarah, kebakaran hutan besar di Indonesia pada Abad ke-20 terjadi pada tahun 1982/1983 terutama di Kalimantan Timur dimana terdapat 3,6 juta hektare hutan dan lahan terbakar. Studi yang dilakukan ITTO-GTZ menyimpulkan penyebab kebakaran adalah perubahan struktur vegetasi akibat pembalakan kayu yang dimulai pada 1970-an. Dampaknya jutaan hektare lahan hutan dibagi-bagi ke dalam kawasan Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang mengakibatkan ledakan kayu di Sumatera dan Kalimantan yang mengubah bentang alam dari kedua pulau tadi lebih dari dua dekade. Akibat pelaksanaan logging ini adalah jumlah log yang tidak termanfaatkan tergeletak di lantai hutan. Tentu saja itu mengakibatkan terjadinya penumpukan bahan bakar sehingga rawan terjadi kebakaran. Kebakaran hutan yang terjadi pada masa orde baru (Pemerintahan Soeharto), yakni tahun 1982/1983 (3.600.000 ha), 1987 (66.000 ha), 1991 (500.000 ha), 1994 (5.110.000 ha), 1997/1998 (10.000.000 ha)
belum direspons dalam bentuk kebijakan undang-undang yang spesifik dan jelas. Dalam masa-masa itu, Pemerintah Soeharto lebih melihat kebakaran hutan bukan suatu masalah yang perlu direspons secara penting dan mendesak lewat suatu kebijakan undang-undang. Dalam praktek penanganannya di masa tersebut, kebakaran hutan ditangani oleh Kementerian Kehutanan, sedangkan kebakaran lahan ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Pada tahun 1995, menteri kehutanan lewat SK Menteri Kehutanan No 188/kpts-II/1995 membentuk Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (PUSDALKARHUTNAS). Pada tahun yang sama juga, Kementerian Lingkungan Hidup lewat SK Kementerian Lingkungan Hidup No KEP-18/ MENLH/3/1995 membentuk Badan Koordinasi Nasional Kebakaran Lahan. Pada 1997 lewat SK Menteri Lingkungan Hidup No KEP-40/MENLH/09/1997 dibentuk Tim Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Selain itu, hal yang jamak ditemukan pada masa-masa itu adalah pembakaran lahan untuk pembukaan perkebunan besar kelapa sawit, dimana terjadi tumpang tindih dengan masa-masa masyarakat lokal/
adat melakukan pembukaan lahan dengan pembakaran terbatas. Saling lempar dan tuduh antara pemerintah, masyarakat/NGO, dan pengusaha perkebunan terlihat intens pada tahun 1997-1998-an. Penegakan hukum tidak sepenuhnya terjadi, karena belum adanya kebijakan setingkat undang-undang yang secara eksplisit menghukum dan mendenda bagi pihak yang menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan. Setelah kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 yang sangat hebat, Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk merespons kebakaran hutan dan lahan tersebut. Sedikitnya terdapat beberapa kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam merespons kebakaran hutan dan lahan, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan, serta turunan kebijakan nasional yakni PP Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014 | 3
LaporanUtama
LaporanUtama
Lahan terbakar di areal konsesi perkebunan sawit di Dumai, Riau.
Libatkan Perusahaan Salah satu contoh kasus kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau dan melibatkan salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia untuk duduk dalam meja pengadilan. Pada 9 September 2014, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pelalawan, Riau, menghukum terdakwa Danesuvaran KR Singam dan terdakwa PT Adei Plantation and Industry yang diwakili Tan Kei Yoong karena kelalaiannya lahan KKPA Batang Nilo Kecil terbakar seluas 40 dari 541 hektare pada Juli 2013 yang berakibat pada kerusakan lingkungan hidup. PT Adei Plantation and Industry diwakili Tan Kei Yoong dihukum pidana denda Rp 1,5 miliar subsider 5 bulan kurungan yang dalam hal ini diwakili Tan Kei Yoong dan memulihkan lahan yang rusak seluas 40 hektare dengan pengomposan yang menelan biaya Rp 15,1 miliar. Danesuvaran KR Singam dihukum 1 tahun penjara, denda Rp 2 miliar subsider 2 bulan kurungan. Putusan hakim berbeda dengan tuntutan Penuntut Umum. PT Adei Plantation and Industry dituntut denda Rp 5 miliar dan Pidana Tambahan Rp 15,7 miliar. Danesuvaran KR Singam 5 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Mereka dituntut karena sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Hakim juga menilai pemerintah daerah melalui Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pelalawan juga tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan sungguh-sungguh. Selain sebagai regulator, pemerintah juga harus berperan sebagai pengawas dan tidak hanya menerima laporan dari pemrakarsa AMDAL. BLH harus memastikan bahwa AMDAL yang telah disetujunya telah dijalankan dengan baik. “Atas putusan ini, Kementerian terkait harus mengevaluasi dan memberi sanksi administratif kepada Bupati Pelalawan dan Gubernur Riau karena telah lalai mengawasi AMDAL PT Adei Plantation and Industry, termasuk me-review izin usaha perusahaan,” kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari. Meski hakim telah memvonis kedua terdakwa tersebut, “Kami menilai hakim telah gagal membuktikan bahwa lahan tersebut sengaja dibakar bukan karena kelalaiannya. Ini karena hakim tidak memaknai dengan benar scientific evidence,” kata Made Ali dari Riau Corruption Trial. Data Walhi Riau menyebut, PT Adei Plantation & Industry ialah salah satu anak perusahaan grup Kuala Lumpur Kepong (KLK) yang bermarkas di Malaysia. Di Indonesia
4 | Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014
KLK memiliki 17 anak usaha perkebunan kelapa sawit yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan. “Kegiatan anak usaha mereka khususnya di Riau kerap merusak gambut berkontribusi pada kerusakan lingkungan belum lagi lahan yang mereka kelola milik masyarakat adat,” kata Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau. Buktinya? Riko menyebut tahun 1999, ketika PT Adei mengelola HGU-nya di Desa Batang Nilo Kecil. HGU tersebut tumpang tindih dengan lahan masyarakat adat tiga persukuan Piliang, Melayu, dan Pelabi. Akhirnya itulah lahan yang dijadikan KKPA. Namun tetap saja yang kelola PT Adei. Gambut yang terbakar di areal KKPA yang dibakar di areal PT Adei membuktikan perusahaan tidak mampu menjaga gambutnya yang memang rawan terbakar. Ini menambah bukti bahwa kerusakan gambut memang sengaja dilakukan oleh perusahaan. “Kami mengimbau kepada Presiden agar turun tangan memperbaiki gambut dengan cara merevisi izin perusahaan sawit di Riau yang beroperasi di areal gambut,” kata Riko. Roundtable on Sustanable Palm Oil (RSPO) sebagai salah satu lembaga sertifikasi untuk perkebunan sawit berkelanjutan harus menghukum KLK Grup karena terbukti telah melanggar hukum Indonesia serta prinsip dan
kriteria yang ada dalam RSPO. “Kami mendesak agar KLK Grup dikeluarkan dari keanggotaan RSPO karena telah melakukan praktek bisnis merusak lingkungan hidup,” kata Riko Kurniawan. Bahwa ringannya putusan pemidanaan yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pelalawan terhadap korporasi yang terafiliasi dengan Kuala Lumpur Kepong Group tersebut menambah rentetan panjang keberpihakan ‘hukum’ kepada korporasi asal Malaysia ini. Berdasarkan catatan Jikalahari, pada 1 Oktober 2001, PT. Adei Plantation & Industry yang diwakili oleh C. Goby selaku General Manager yang bertanggungjawab terhadap pembakaran areal perkebunan kelapa sawitnya yang berada di Kabupaten Kampar dijatuhkan pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp 250.000.000. Hanya saja putusan yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat yang terdampak asap tersebut, malah diringankan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Riau dengan pidana penjara selama delapan bulan dan denda 100 juta rupiah. Kesaktian PT Adei Plantation ketika berhadapan dengan hukum juga terlihat dari putusan bebas yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Pelalawan terhadap tiga pengurusnya, yaitu Goh Tee Meng, Tan Kei Yoong dan Danesuvaran KR. Singgam terkait dengan perkara Izin Usaha Perkebunan (IUP) illegal yang terungkap ketika penyidikan kasus perkara pembakaran areal perkebunaannya pada 2013. Putusan bebas dalam perkara izin usaha perkebunan ilegal ini dianggap janggal. “Putusan Bebas dari Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara IUP Illegal kebun KKPA PT Adei Plantation & Industri yang didasarkan pada pertimbangan tidak terpenuhinya unsur ‘setiap orang’ karena alasan kewarganegaraan ketiga terdakwa merupakan alasan yang mengada-ada dan tidak berdasar hukum,” imbuh Riko. Kekecewaan Riko tersebut sesuai dengan fakta dan dasar norma hukum menurut Dosen Fakultas Hukum UNNES Semarang, Bagus Hendradi Kusuma. Karena pada prinsipnya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan mempunyai kecacatan yuridis terkait pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini berakibat penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi pada UU Perkebunan harus tunduk pada aturan umum sistem induk hukum pidana nasional yang dimuat dalam Buku I KUHP (dapat dilihat dari ketentuan Pasal 103 KUHP). Pasal 59 KUHP menentukan “Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”. Ketentuan KUHP mensyaratkan hanya pengurus korporasi yang terlibat dalam suatu tindak pidana sajalah yang dapat diposisikan sebagai subjek hukum yang harus dimintakan pertanggungjawabannya. Berdasarkan fakta persidangan diketahui ketiga petinggi PT Adei Plantation, Goh Tee Meng, Tan Kei Yoong dan Danesuvaran KR. Singgam merupakan pengurus korporasi yang bertanggung jawab terhadap pengurusan izin usaha perkebunan kelapa sawit untuk lokasi yang dikelola dengan pola KKPA antara Koperasi Petani Sejahtera PT Adei Plantation. Pengelololaan perkebunan kelapa sawit seluas 540 hektare tidak disertai Izin Usaha Perkebunan, bertentangan dengan Pasal 46 ayat (1) jo. Pasal 17 ayat (1) UU Perkebunan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 17 ayat (1) UU Perkebunan tersebut merujuk pada pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/ OT.140/2/2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang dalam pasal 6 mensyaratkan “usaha budidaya tanaman perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang luas lahannya 25 ( dua puluh lima) hektar atau lebih wajib memiliki izin”. Dengan merujuk pada Pasal 55 ayat (1) ke-1 yang menegaskan perbuatan pidana terkait perizinan perkebunan ini dilakukan secara
bersama-sama, maka Goh Tee Meng, Tan Kei Yoong dan Danesuvaran KR. Singgam memiliki peranan dalam setiap proses perizinan yang tidak mereka lakukan, sehingga tidak beralasan kiranya apabila Majelis Hakim dalam perkara a quo mengenyampingkan aturan umum baik sebagai pelaku maupun turut melakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Bahkan Bagus menambahkan rumusan Jaksa Penuntut Umum di kemudian hari patut mempertimbangkan penggunaan Pasal 55 ayat (2) KUHP mengenai uitlocker (penganjur) untuk menjerat pengurus korporasi, apabila di dalam suatu rumusan aturan perundang-undangan tidak mengatur secara eksplisit sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Dengan melihat salah satu contoh kasus di provinsi Riau, ini merupakan bentuk nyata bahwa ketegasan hukum bagi perusahaan pelaku pembakaran belumlah sekuat yang diharapkan. “Harapannya ada upaya tegas dan menimbulkan efek jera bagi pelaku pembakaran lainnya,” kata Bondan, Departemen Kampanye Sawit Watch. Menurut Bondan setidaknya ada beberapa aspek yang melanggengkan kebakaran hutan dan lahan, diantaranya adalah: Pelepasan perizinan bagi perkebunan kelapa sawit dan usaha skala besar lainnya di ekosistem gambut. Lalu penegakan dan pengawasan hukum yang belum optimal atas pelaku pembakaran. Aspek lainnya adalah lempar tanggung jawab atas siapa pelaku pembakaran hutan dan lahan sebagai akibat dari adanya celah hukum dan ekspansi perkebunan Kelapa sawit adalah salah satu penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Adanya ketimpangan penguasaan lahan di wilayah-wilayah kebakaran hutan dan lahan. Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan tidak berkolerasi positif terhadap penanganan secara langsung terhadap kejadian kebakaran lahan di konsesi perkebunan kelapa sawit.***
Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014 | 5
LaporanUtama
LaporanUtama
Derita Rakyat di Negeri Terkepung Asap
Suasana kota pekanbaru yang pekat karena asap dari pembakaran lahan dan hutan
T
ak bisa di sangkal bahwa kelapa sawit adalah sektor yang berkontribusi besar terhadapa pendapatan Negara. Total yang disumbangkan kelapa sawit untuk devisa Negara mencapai 19,1 miliar dolar AS atau Rp.219,65 triliun rupiah. Angka yang fantastik ini menjadikan sektor kelapa sawit penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi. Namun, kelapa sawit juga tercatat sebagai sektor yang berkontribusi besar terhadap bencana sebagai dampak dari kerusakan ekologi di Indonesia, yakni asap tanah longsong, banjir dan yang paling fenomenal adalah bencana asap sebagai dampak dari kebakaran hutan dan lahan. Perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu penyumbang asap terbesar dari tahun ke tahun. Skenario mendorong perkebunan sawit berkelanjutan yang ramah lingkungan melalui sertifikasi tak menyusutkan jumlah titik api di kebun sawit, sebaliknya jumlah titik api dari tahun ke tahun semakin meluas. Hasil investigasi Sawit Watch, sejak Januari sampai dengan September 2014, jumlah titik api yang tersebar diseluruh Indonesia adalah 8094. Data di bulan September sendiri, jumlah titik api yang terlihat adalah 1891, dan terseber di seluruh Indonesia. Dari total jumlah titik api ini paling banyak terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pulau Sumatera
sendiri menyumbang lebih dari 700 titik api, Kalimantan 500 titik api dan sisanya terdapat di Sulawesi, Maluku dan Papua. Jumlah titik api yang begitu banyak ini, berdasarkan data Sawit Watch terdapat di perkebunan kelapa sawit. Data ini sejalan dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Riau mencapai lebih dari 1 juta ha, Jambi dan Sumatera Selatan lebih dari 800 ribu hektare. Sehingga tidak heran jika kebakaran lahan yang terjadi di wilayah ini terdapat di areal perkebunan kelapa sawit. Jumlah titik api yang banyak di tiga wilayah ini seolah sudah menjadi hal biasa bagi pemerintah. Masyarakat yang terkena dampak dipaksakan untuk menerima asap sebagai bencana alam yang tidak dapat dihindarkan. Seperti yang terjadi di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan masyarakat menjadi sasaran dari asap yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit. Dampak buruk yang bisa diderita oleh masyarakat akibat dari menghirup asap akibat kebakaran lahan tidak sederhana karena dapat menyebabkan kematian. Fakta ini sangat menyedihkan karena disatu sisi pemerintah selalu membanggakan kelapa sawit sebagai sektor yang sangat berperan dalam menyumbang devisa bagi negara namun disisi lain, kelapa sawit menjadi sumber bencana bagi masyarakat yang setiap tahun harus
6 | Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014
menghirup asap. Kebanggaan yang berlebihan dari sektor ini menjadikan pemerintah lupa akan dampak yang terjadi terutama kebakaran lahan di perkebunan kelapa sawit. Devisa dan asap yang disumbangkan sektor ini tidak membuat pemerintah Indonesia untuk mulai berbenah dan menyiapkan langkah-langkah dalam menggulangi aktifitas rutin tahunan ini. Tetapi sebaliknya yang terjadi adalah pemerintah hanya menyiapkan langkah-langkah untuk memperluas lahan perkebunan kelapa sawit sampai dengan tahun 2020. Berdasarkan rencana jangka penjang Kementrian Pertanian, luas perkebunan kelapa sudah direncanakan mencapai 20 juta ha pada tahun 2020. Untuk saat ini, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 9,2 juta ha (Kementrian Perkebunan,2013), sedangkan data Sawit Watch sendiri luas perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 13,5 juta Ha (Sawit Watch, 2014). Terdapat beberapa respon Pemerintah Indonesia dalam menangani fakta-fakta kebakaran hutan dan lahan di sekitar perkebunan kelapa sawit, yakni: 1. Pemerintah Indonesia sibuk meneriakkan adanya kampanye hitam oleh pihak-pihak tertentu yang tidak suka dengan produk kelapa sawit Indonesia tanpa mau berbenah dengan melihat fakta yang sebenarnya terjadi di
perkebunan kelapa sawit. 2. Pemerintah terus berjuang untuk memasukkan produk kelapa sawit Indonesia masuk dalam beberapa produk yang diakui oleh APEC tanpa adanya usaha nyata yang dilakukan untuk menjadikan produk ini ramah sosial dan ramah lingkungan. 3. Pemerintah Indonesia sibuk mensertifikasi perkebunan kelapa sawit Indonesia melalui Indonesia Sustainable Palm Oil, dengan menargetkan pada akhir tahun 2014 semua perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah tersertifikasi. Fakta yang terjadi saat ini adalah kebakaran lahan yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh kebakaran lahan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit. Hal ini seharusnya tidak menjadi prioritas, melainkan proses pencegahan dan penanganan yang terencana dari kebakaran lahan ini seharusnya merupakan prioritas utama. 4. Pemerintah hanya mementingkan kepentingan negara lain yang terkena imbas dari asap daripada mementingkan kesehatan masyarakatnya sendiri yang setiap tahun merasakan dampak buruk dari kebakaran lahan. Sehingga kesan yang muncul adalah pemerintah “takut” dengan negara lain sehingga mengabaikan warga negaranya sendiri. 5. Pemerintah Indonesia banyak menuding masyarakat yang membakar lahan dan cenderung mengabaikan fakta bahwa dibalik semua kasus kebakaran lahan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dan dalam penanganan terhadap hal ini, pemerintah Indonesia sangat cepat untuk menindak masyarakat dan lambat dalam menindak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan pembakaran lahan. Beberapa hal di atas adalah indikasi kegagalan pemerintah dalam menangani dan mengelola kebakaran hutan dan lahan di sekitar perke-
bunan kelapa sawit dan lebih mementingkan tindakan-tindakan yang mengedepankan kampanye produk kelapa sawit tanpa adanya langkahlangkah perubahan nyata yang dilakukan. **** Bahwa kebakaran hutan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pola kebijakan peruntukan lahan dan hutan di Indonesia, sejak rezim HPH dimulai dan bergeser ke sektor perkebunan, HTI dan tambang, wilayah hutan hujan tropis Indonesia mengalami degradasi menjadi lahan kritis dan hutan sekunder. Hutan Indonesia yang seharusnya menjadi ecosystem komplek yang dapat mempertahankan kelembabannya, kehilangan banyak mata rantai siklus hidrologis membuat hutan menjadi kering dan rentan terbakar, ditambah vegetasi hutan yang berubah menjadi lahan sekunder dan kritis didominasi tumbuhan perintis dan semak yang padat semakin meningkatkan resiko kebakaran. Kebakaran rutin hutan satu dekade ini tidak saja dikarenakan perubahan mata rantai ekologis, tetapi juga dipengaruhi oleh unsur kesengajaan pelaku usaha perkebunan skala besar dalam pembukaan lahan, dan kelalaian pelaku usaha industri bubur kertas dalam menjalankan tata kelola produksi dan lingkungan. Bencana ekologis yang tidak terkendali pasti berasal dari proses pengeluaran izin penguasaan wilayah tidak terkendali.
Bahwa dari 300-an titik api yang terjadi di Propinsi Riau tahun ini justru dari wilayah konsesi HTI dan wilayah perkebunan, ini menunjukan bahwa proses pengeluaran izin tidak berdasarkan kajian yang memadai dan kalaupun mempunyai kajian lingkungan, penerapan kaidah lingkungan dalam praktek Industri HTI dan Perkebunan masih jauh dari sikap bertanggung jawab. Dalam kesempatan yang sama menanggapi bahwa kebakaran hutan diluar konsesi tidak tertutup juga kemungkinan kebakaran merupakan modus operandi pihak tertentu yang menginginkan lahan menjadi kritis agar proses mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan atau konsesi menjadi lebih cepat. Terhadap kebakaran lahan di wilayah konsesi seharusnya pemerintah dapat mengambil sikap tegas dengan menggunakan Undang undang Perkebunan dan Undang undang kehutanan, bisa atas kesengajaan pembakaran dan bisa juga karena kelalaian. Karena pihak yang mendapatkan izin penguasaan dan pengelolaan suatu wilayah harus bertanggung jawab terhadap kejadian diatas wilayah hak atau izinnya. Jika pemerintah tak kunjung tegas terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan, rakyat yang akan menuai derita. Derita rakyat di negeri terkepung asap akibat dari mandul-nya hukum dihadapan pemilik modal.***
Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014 | 7
LaporanUtama
LaporanUtama
Presiden Harus Menindak Pelaku Pembakar Hutan di Sumatera Selatan
P
Anak-Anak di Sumsel rentan terserang penyakit ISPA akibat kepungan asap
8 | Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014
residen Jokowi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta segera mengambil alih penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan di Sumatera Selatan. Sebab selama ini penegakan hukum pemerintah daerah terhadap pelaku kejahatan lingkungan sangat lemah. Lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan menguatkan indikasi praktek mafia perizinan dan korupsi di sektor Sumber Daya Alam yang massif dan terstruktur. Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan bahkan menilai rapat Koordinasi Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dengan 17 perusahan HTI dan perkebunan yang tertutup dipertanyakan. Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada Pasal 10 menyatakan, semua Informasi terkait hajat hidup orang banyak/publik apalagi kasus bencana, harus di buka seluas luasnya. Hal itu bertujuan agar masyarakat tahu dan menyikapi dengan kritis apa yang sedang dibahas pemerintah dan perusahaan pembakar hutan. Apalagi dari hasil rapat tersebut pemerintah hanya meminta perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan memeriksa lahan konsesi mereka dan mengajak perusahaan untuk melakukan pemadaman bersama sama dengan pemerintah. ‘’Sikap pemerintah yang lemah di depan perusahaan pelaku kejahatan lingkungan hidup, menunjukan ketidakberpihakan terhadap lingkungan hidup dan jutaan rakyat korban bencana ekologis kabut asap,’’ ujar Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumatera Selatan. Sikap tersebut dikhawatirkan tidak memberi efek jera dan malah
memberi peluang bencana asap kebakaran hutan dan lahan yang berulang, seperti 17 tahun terakhir. Pemerintah seharusnya memproses secara hukum para perusahaan penjahat lingkungan hidup sesuai Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang PPLH dan Undang-Undang sektoral lainnya, seperti UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dalam Pasal 108 dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. “Bukan malah bersikap lembut terhadap mereka yang telah menyebabkan jutaan rakyat menghirup udara yang tingkat ISPU-nya di atas 300 atau dikatagorikan sangat berbahaya,” tambahnya. Pemerintah didesak mengambil langkah hukum dengan mempidanakan pemilik perusahaan, menuntut ganti kerugian, mencabut izin dan menyita seluruh aset yang dimiliki perusahaan. Penyitaan aset itu untuk mengganti semua kerugian yang dialami negara, rakyat dan lingkungan hidup, baik kerugian langsung maupun tidak langsung. Mandulnya penegakan Hukum terhadap perusahaan pembakar lahan merupakan bentuk Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan. Ini menguatkan indikasi praktek mafia perizinan dan korupsi di sektor Sumber Daya Alam di pemerintahan daerah
Sumatera Selatan sangatlah massif dan terstruktur. Berdasarkan kajian Walhi Sumsel, hampir semua perizinan di sektor SDA seperti HTI dilakukan menjelang proses pergantian kepala daerah. ‘’Jika dugaan ini benar, wajar pemerintah daerah tidak melakukan tindakan represif terhadap perusahaan-perusahaan ini. Pemerintah Pusat harus cepat mengambil alih upaya penegakan hukum,’’ kata Hadi. Sebab menurutnya, yang dilakukan pemerintah propinsi dan daerah dengan perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan tak lebih dari sekedar negosiasi bisnis. Sehingga masyarakat Sumatera Selatan tidak lagi mempercayai upaya penegakan hukum oleh Pemerintah Provinsi. Mereka dinilai akan terus melindungi pelaku kejahatan lingkungan hidup. Selain itu, Walhi juga meminta KPK untuk memonitor anggaran-anggaran pemerintah yang dikeluarkan untuk membiayai penanggulangan kabut asap. Karena terdapat indikasi kesengajaan agar dana pemerintah puluhan miliar terus turun untuk menanggulangi kabut asap. Padahal seharusnya penanggulangan menjadi tanggung jawab perusahaan pembakar hutan, bukan rakyat, Terakhir, masyarakat dan Walhi memperingat-
kan Pemprov Sumsel untuk membuka seluas-luasnya akses publik atas informasi kebakaran hutan dan juga rapat-rapat koordinasi upaya penanggulangan bencana asap. Termasuk penyebaran dokumentasi hasil melalui media. Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar dalam Raker Komite II DPD RI beberapa waktu lalu telah menargetkan penurunan gas rumah kaca, tingkat dan beban pencemaran pada udara, air, dan tanah. Serta peningkatan kapasitas aparat pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kuatnya penegakan hukum lingkungan. Beberapa kasus hutan tanpa izin pun akan diselidiki. ‘’Demikian juga dengan kasus-kasus terkait usaha perkebunan,’’ ujarnya, di Senayan, Kamis (6/11). KPK juga telah memasukan masalah kehutanan dalam prioritas pencegahan di era kepemimpinan Abraham Samad. Bahkan KPK, bersama Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) telah membuat kajian soal kehutanan pada 2010 dilanjutkan menandatangani peraturan bersama terkait tata ruang kawasan hutan.***
Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014 | 9
LaporanUtama
LaporanUtama
Ke(pem)bakaran Hutan dan Lahan Terus Berulang
K
asus kebaran hutan terus terjadi pada tahun 1997 - 1998, terjadi di 23 propinsi (dari 27 propinsi di Indonesia pada waktu itu), pada areal hampir seluas 10 juta Ha, yang kemudian ternyata diketahui sebagian besar diantaranya adalah berada pada konsesi perusahaan perkebunan dan wilayah yang diperuntukkan bagi aktivitas perkebunan. Pada saat itu, hampir seluruh wilayah ASEAN terkena dampaknya dan Indonesia mendapat kecaman serius dari Negara-negara tetangga. Periode 1999 – 2007, kerugian dari kebakaran hutan dan lahan cukup besar. Di Sumatera, kerugian mencapai US $ 7,8 milyar dan Kalimantan mencapai US $ 5,8 milyar, gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total kerugaian di seluruh Indonesia. (WALHI, 2006). Pada 2013, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengalokasikan dana sekitar 25 milyar rupiah untuk program pemadaman kebakaran hutan ini. Sawit watch mencatat setiap tahun kebakaran hutan selalu terjadi. Tahun 2006 = 146.264 titik api, Tahun 2007 = 37.909 titik api, Tahun 2008 = 30.616 titik api, tahun 2009 = 29.463 titik api, tahun 2010 = 9.898 titik api, tahun 2011 = 22.456 ttk api, Tahun 2012 Agustus = 5.627, Tahun 2014 = 8094 titik api. Hasil investigasi Sawit Watch menunjukan beberapa fakta bahwa ada indikasi terjadi pembakaran hutan dan lahan pada wilayah konsesi tertentu. Hal ini terlihat dari titik api yang berulang dari tahun ke tahun dan tidak pada titik yang sama, tetapi pada wilayah konsesi yang sama. Seolah-olah kebakaran dapat memilih wilayah mana yang dapat terbakar dalam satu wilayah konsesi. Titik-titik api seperti ‘smartfire’, dimana terjadi pada satu batas konsesi dan tidak dapat melampui batas konsesinya. Dari investigasi tersebut, Sawit Watch menyimpulkan beberapa aspek yang melanggengkan kebakaran hutan dan lahan sebagai berikut:
1. Perijinan bagi perkebunan kelapa sawit dan usaha lainnya di ekosistem gambut; 2. Penegakan dan pengawasan hukum yang belum optimal; 3. Lempar tanggungjawab akibat celah hukum; 4. Terungkapnya fakta kebakaran hutan dan lahan untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit; 5. Ketimpangan penguasaan lahan di wilayah-wilayah kebakaran hutan dan lahan; 6. Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan tidak berkolerasi positif terhadap secara langsung terhadap kejadian kebakaran lahan di konsesi perkebunan kelapa sawit. Data sebaran titik api didalam konsesi lebih dari 50% belum dapat menggambar fakta sesungguhnya, dimana terjadi pola sebaran titik api yang berada di luar konsesi, namun pola yang terlihat pada citra menunjukkan bahwa lokasi tersebut adalah perkebunan sawit. Hal ini terjadi dikarenakan akses data perijinan yang belum transparan dan data yang tersediaapun masih dipertanyakan keakuratannya oleh beberapa pihak yang berkompeten di bidangnya. Kebakaran hutan adalah kejahatan yang secara sistemik dan terus menerus dilakukan. Penerima manfaat atas kejadian pembakaran ini adalah perusahaan-perusahaan perkebunan hutan tanaman dan perkebunan kelapa sawit. Pemerintah harus merogoh kocek Negara untuk penanggulangan dampak yang ditimbulkan. Padahal dalam kasus kebakaran hutan seperti ini, seharusnya menjadi tanggungjawab pemegang konsesi untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan situasinya. Pemerintah selalu membiarkan kejadian ini terus berulang dan tanpa proses penegakan hukum serta penerapan sanksi kepada pelaku. Penerima dampak kerugian terbesar atas kebakaran hutan ini adalah masyarakat, mulai dari terganggunya berbagai aktivitas akibat asap, seperti penerbangan, dan moda transportasi lainnya, memperbesar
10 | Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014
kemungkinan terjadinya kecelakaan lalu lintas, penyakit terutama ISPA, dan lain sebagainya. Sawit Watch merekomendasikan pemerintahan Jokowi dan kabinet kerja untuk segera melakukan tindakan cepat dan sistematis untuk mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan, sebagai berikut: 1. Pembangunan dan pengembangan data dan peta ekosistemekosistem gambut yang akurat, terintegrasi, transparan, dan konsisten yang dikerjakan secara kolaboratif oleh berbagai lembaga. Data dan peta ekosistem gambut ini diharapkan disepakati oleh berbagai lembaga tersebut, serta data dan peta ekosistem gambut tersebut ditetapkan oleh badan pemerintah yang mempunyai otoritas. 2. Perlindungan terhadap ekosistem-ekosistem gambut yang tersisa, artinya perijinan perkebunan kelapa sawit di ekosistem gambut perlu ditinjau ulang dan dilarang. 3. Perbaikan terhadap berbagai kebijakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan terutama celah-celah kebijakan yang masih ada sehingga kejadian kebakaran hutan dan lahan tidak berulang. 4. Peran serta masyarakat dalam ekosistem gambut perlu diperkuat dan dilembagakan dalam kerangka perlindungan dan pengelolaan ekosistem-ekosistem gambut. 5. Pemerintah bersama-sama pihak lain harus mencari terobosanterobosan agar terjadi penurunan ketimpangan penguasaan lahan dan konflik-konflik agrarian dapat diselesaikan secara sistematis. 6. Peta ekosistem gambut yang juga memberikan informasi daerah yang terbakar, sebagai engingat kepada masyarakat atas wilayah yang potensi terbakar agar mudah di akses oleh publik hingga tingkat desa.***
Kebakaran Hutan dan Lahan Dari Masa ke Masa Tahun
Luas (ha)
15.510 BC – 1650 AD 1877 1915
Keterangan Kebakaran hutan pertama di Kalimantan Timur Kebakaran hutan pertama yang tercatat
80.000
Kebakaran hutan besar Indonesia di abad 20 terjadi pada tahun 1982/1983 terutama di Kal-Tim dimana 3.6 juta ha hutan dan lahan terbakar (Saharjo, 2008). Studi yang dilakukan ITTO-GTZ menyimpulkan bahwa penyebab kebakaran adalah perubahan struktur vegetasi akibat pembalakan kayu yang dimulai sekitar 1970-an, dimana jutaan ha lahan hutan dibagi-bagi kedalam kawasan HPH yang mengakibatkan boom kayu di Sumatra dan Kalimantan yang merubah lansekap dari kedua pulau tadi lebih dari dua dekade.
1982/1983
1987
1991
1994
1997/1998
2006 - Sekarang
3.600.000
Akibat pelaksanaan logging ini mengakibatkan jumlah log yang tidak termanfaatkan tergeletak di lantai hutan yang mengakibatkan terjadinya penumpukan bahan bakar sehingga rawan api (Saharjo, 2008). Kegagalan pemerintah dan HPH dalam melindungi logging area dan penutupan jalan logging tua mengakibatkan invasi oleh peladang ke dalam hutan dan menambah pelik permasalahan karena mereka menggunakan api dalam pembukaan lahannya. Hess (1994) dalam WRI (20..) menghitung akibat kebakaran hutan adalah 9 milyard dollar dimana 8,3 milyard dolar berasal dari hilangnya tegakan hutan.
66.000
Dampak kebakaran hutan 1987 tidak sehebat pada kebakaran hutan 1982/1983 (Saharjo, 2008). Namun banyak bagian dari Indonesia yang terkena dampak yaitu Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Bali, Nusa Tenggara dan Timor. Menurut data resmi pemerintah (DepHut), luas areal yang terbakar adalah 66,000 ha. Sumber apinya adalah peladang berpindah dan juga dilaporkan adanya batubara yang menyala dan menjadi penyulut kebakaran yang terjadi di tanaman dan areal konservasi terutama di Bukit Suharto. Akan tetapi pernyataan tentang sumber api ini dibantah oleh kelompok lingkungan yang justeru menyalahkan management HPH yang seadanya sebagai dalangnya (Saharjo, 2008).
500.000
Kebakaran hutan tahun 1991 ini meledak di daerah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Saharjo, 2008). Luas areal terbakar menurut data resmi pemerintah adalah 500.000 ha. Akibat asapnya menyebabkan sebagian besar alat-alat transportasi tidak berjalan dan banyak terjadi kecelakaan. Akibatnya banyak penerbangan domestik ditunda karena jarak pandang yang pendek, sehingga mengakibatkan hilangnya biaya operasi penerbangan sekitar Rp. 6,5 juta. Menurut perkiraan Menteri Kehutanan saat itu kehilangan akibat keruskana karena kebakaran adalah Rp.175 Milyar. Sementara penyebab kebakarannya adalah perubahan lahan, baik yang dilakukan oleh pengusaha HTI maupun peladang berpindah.
5.110.000
Kebakaran hutan pada tahun 1994 (Saharjo, 2008) ini mengakibatkan hilangnya hutan dan lahan sebesar 5.4 juta ha. Propinsi di Sumatra dan Kalimantan adalah yang paling menderita akibat dampak asap yang ditimbulkannya yang juga menyeberang ke negara tetangga seperti Singapore, Malaysia dan Brunei. Jarak pandang berkisar kurang dari 500 m di Singapore dan dampak asapnya baru berakhir pada bulan September 1994. Akibat jarak pandang yang pendek ini mengakibatkan gangguan terhadap lalu-lalang pesawat terbang yang berakibat pada menurun drastisnya jumlah wisatawan yang datang (Saharjo, 2008). Sebagian kebakaran terjadi di lahan pertanian. Gambut menjadi sensitive dan mudah terbakar, periode pembakaran yang relatif lama mengakibatkan produksi asap yang berlebihan (Saharjo, 2008). Kerugian akibat lenyapnya log versi DepHut adalah US$ 15.4 juta. Sementara penyebab kebakarannya adalah kegiatan tebas-tebang-bakar yang dilakukan oleh HPH/HTI dan perkebunan. Namun menurut MenHut saat itu tidk tertutup kemungkinan penyebabnya adalah undur kesengajaan akibat adanya ketegangan antara penduduk lokal dengan pengusaha HPH dan perkebunan.
10.000.000
Kebakaran hutan tahun 1997/1998 ini adalah yang paling parah dalam dua dekade belakangan ini (Saharjo, 2008). Luas areal yang terbakar menurut ADB adalah 9.75 juta ha dengan luasan areal terbakar tersebar di beberapa pulau seperti, Sumatra 1.7 juta ha, Kalimantan 6.5 juta ha, Jawa 0.1 juta ha, Sulawesi 0.4 juta ha, dan Irian Jaya 1 juta ha. Dengan pembagian menurut tipe hutan yang terbakar adalah, hutan pegunungan 0.1 juta ha, hutan dataran rendah 3.3 juta ha, gambut 1.5 juta ha, lahan pertanian dan alang-alang terbuka 4.5 juta ha, HTI dan perkebunan 0.3 juta ha. Penyebab kebakarannya adalah: pembakaran untuk konversi lahan dengan tujuan bisnis secara besar-besaran, peladang, pembakaran oleh HPH, pembakaran di lahan pertanian, unsur kesengajaan dan kelalaian.
6-80.000 (tahun 1986)
Kebakaran akhir-akhir ini khususnya pada periode 5 tahun terakhir memiliki ke khasan karena terjadi dengan modus operandi yang jelas yaitu penyiapan lahan untuk pembakaran baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan baik kehutanan maupun perkebunan serta bertambah parah lagi ketika lahan-lahan ex-HPH dan ex-Perkebunan yang mulai tidak bertuan telah dimanfaatkan oleh pihak ketiga (Saharjo, 2008). Dampak terhadap lingkungan menjadi-jadi karena instansi yang berwenang sudah mulai kewalahan dan tidak sedikit yang ikut bermain karena menyangkut mitra bisnis atasannya. Hasilnya adalah dampak yang makin parah terhadap kehidupan manusia maupun mahluk hidup lainnya. Beberapa kejadian kebakaran yang dapat dicatat pada periode ini adalah kejadian kebakaran pada tahun 2002, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009.
Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014 | 11
Opini
Opini
Pembangunan Berkelanjutan, Menguak Kutukan Sawit Anugerah Perkasa
JAKARTA - Saya menghadiri satu diskusi kecil tentang industri kelapa sawit di kawasan Jendral Sudirman, Jakarta Selatan pada awal pekan lalu. Hanya ada enam peserta plus dua penyaji presentasi. Komputer jinjing disiapkan, demikian pula proyektor. Ada kopi hangat dan air putih yang menemani. Tiga lembar fotokopi presentasi pun dibagikan. Diskusi berlangsung interaktif: pertanyaan dapat menyela di tengahtengah pemaparan. Siang itu, hujan mulai tumpah. Butiran-butiran airnya terlihat jelas dari balik jendela. “Bagaimana dengan nasib kelompok adat dan petani kecil?” kata saya, dalam satu kesempatan. Selama pemaparan, saya tak melihat jelas posisi kelompok-kelompok yang selama ini menjadi korban ekspansi industri kelapa sawit. Keduanya lebih banyak bercerita soal peluang bisnis untuk industri keuangan-macam asuransi-dan pendanaan untuk perubahan iklim. Bagi saya, ekspansi kelapa sawit kian identik dengan perampasan lahan. Ini macam yang terjadi di Sumatra hingga Papua. Saat kami berdiskusi di dalam ruangan yang berpendingin, puluhan petani Jambi dan Suku Anak Dalam (SAD) masih setia berjalan kaki dari Jambi menuju Jakarta sejak pertengahan Oktober.
Saya bertemu sebagian dari mereka pada awal tahun lalu. Baik di Jakarta maupun di Jambi. Ada Abas Ubuk dan Kutar, pemimpin adat suku tersebut. Ada pula Muhammad Soleh, petani yang mengikuti aksi jalan kaki untuk kedua kalinya. Konflik mereka masih berlangsung dengan satu perusahaan yang sama: PT Asiatic Persada, yang sempat dimiliki Wilmar International namun diduga beralih ke Ganda Group. Mekanisme untuk penyelesaian masalah yang ditempuh pun sudah bermacam-macam: melalui Compliance Advisor Ombudsman milik the International Finance Corporation (IFC), mendesak pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional hingga aksi ekstrim: berjalan kaki pada tahun lalu. Namun hingga kini, mereka masih terusir dari tanahnya sendiri. “Kami ingin pemerintah yang baru dapat menyelesaikan masalah ini,” kata Soleh ketika saya meneleponnya. “Tak lagi dipingpong, macam pemerintahan yang lama.” “Apa yang akan dilakukan sesampainya di Jakarta?” “Kami meminta Presiden Jokowi dapat menyelesaikan masalah ini.” Hubungan penggunaan lahan dan ekspansi industri kelapa sawit memang tak sederhana. Selama permintaan minyak sawit dan turunannya masih besar, sejauh itu
12 | Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014
pula perampasan lahan yang dialami macam Soleh-bukan tak mungkinkembali berulang. Satu riset yang diluncurkan pada September berjudul Consumer Goods and Deforestation: An Analysis of the Extent and Nature of Illegality in Forest Conversion for Agriculture and Timber Plantations, menggambarkan bagaimana peningkatan permintaan sejumlah barang konsumen, memicu konversi kawasan hutan secara ilegal. Riset itu dilakukan Forest Trends, satu asosiasi multipihak asal Washington D.C, Amerika Serikat yang memberikan informasi kritis terhadap pelaku pasar soal industri yang berkaitan dengan hutan. Laporan tersebut menegaskan komoditas berbasis pertanian macam kelapa sawit, kedelai maupun kayu tropis diproduksi secara ilegal dari hutan tropis dalam belasan tahun terakhir. Masalahnya, Amerika Serikat, China, India, Uni Eropa dan Rusia adalah juga pembeli terbesar dari pelbagai komoditas tersebut. Selain itu, ada pula temuan soal dugaan korupsi tingkat tinggi dalam pemberian izin konversi lahan untuk komoditas pertanian,-yang merupakan hal umum terjadi bagi negara-negara yang diteliti. “Brasil dan Indonesia bersamasama menyumbang 75% area global hutan tropis, diperkirakan konversi ilegal terjadi untuk pertanian komer-
sial selama 2000-2012,” demikian laporan Forest Trends. “Indonesia mengekspor sekitar 75% minyak sawit dan kayu, kebanyakan untuk bubur kertas dan kertas.” Kegiatan Ilegal Data resmi menyatakan Indonesia sendiri memproduksi sekitar 26 juta ton minyak sawit mentah di area sekitar 7 juta hektare hingga akhir tahun lalu. Kegiatan ilegal yang dilakukan di kawasan hutan dalam penelitian Forest Trends adalah a.l. penggunaan api untuk pembersihan lahan, minimnya konsultasi dan kompensasi yang tak adil terhadap masyarakat adat dan yang tinggal di kawasan hutan, serta tak dihormatinya regulasi yang bertujuan untuk meminimkan dampak negatif peralihan fungsi lahan. Analisis itu menemukan kawasan hutan tropis di Indonesia yang diduga secara ilegal digunakan untuk produk ekspor pertanian mencapai 7,4 juta hektare sepanjang 2010-2012. Dengan luas ini, Indonesia menempati posisi pertama dari total tujuh negara yang mengalami masalah serupa macam Brasil dan Malaysia dengan masingmasing mencapai 6,5 juta hektare dan 1,5 juta hektare dari hutan
tropis yang dimiliki keduanya. Untuk apa saja sebenarnya minyak sawit mentah? Data dari WWF International menyebutkan sedikitnya 12 produk global, baik kosmetika maupun makanan, mengandung minyak sawit dan seringkali hadir dalam pelbagai supermarket. Ada cokelat, es krim, margarin, mie instan, kue kering, lipstik, minyak goreng, sampo hingga biodiesel. “Selama 20 tahun terakhir, deforestasi didorong terutama oleh ekspansi pertanian komersial, khususnya monokultur kelapa sawit dan hutan tanaman,” demikian riset Forest Trends melihat Indonesia. “Pendorong lainnya adalah penebangan kayu, pembangunan infrastruktur, akuakultur, kebakaran lahan dan yang meningkat, pertambangan.” Sesaat pikiran saya membayangkan Dusun Tanah Menang, tempat saya menemui Kutar, pemimpin SAD pada awal tahun lalu. Atau Kasmaboti dan Dimas Rahmat Saputra, ibu dan anak asal Dusun Pinang Tinggi, yang juga digusur aparat militer pada akhir 2013-dan membuat mereka mengungsi ke Jakarta- karena konflik agraria dengan PT Asiatic Persada. Perampasan lahan memang identik dengan kekerasan demi kekerasan. Lebih buruknya, tanpa mempedulikan
perempuan dan anak kecil di dalamnya. Ada perampasan lahan di Jambi, ada pula penguasaan lahan Riau. Pemilik konsesi besar ternyata identik dengan pembakaran lahan. Hasil audit enam lembaga pemerintah pada Oktober menemukan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan kertas- konsesi yang dominan-, menjadi sejumlah aktor dalam dugaan pembakaran hutan dalam 2 tahun terakhir di Riau. Selama sedikitnya 17 tahun, masyarakat provinsi tersebut mengalami kerugian berlipat. Mulai dari kesehatan sampai ekonomi. Infeksi pernafasan atas, iritasi kulit dan mata hingga terganggunya kegiatan ekonomi keseharian. Situs resmi Pemerintah Provinsi Riau menyebutkan kerugian akibat kebakaran hutan pada tahun ini mencapai Rp20 triliun. Audit itu memaparkan, sepanjang Januari-Maret lalu terdapat 12.000 lebih titik api yang dimiliki sekitar 90% oleh provinsi tersebut. Selain 12 perusahaan kertas yang tak patuh dalam upaya pencegahan kebakaran, laporan audit itu menemukan lima perusahaan perkebunan sawit lainnya, melakukan hal serupa. Enam lembaga yang melakukan audit kepatuhan-UKP4, Kementerian
Kabut asap dan sawah kering akibat perkebunan sawit skala besar di Sungai Raya
Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014 | 13
Opini
Darurat
JOKOWI - KPK Harus Segera Blusukan dan Ambil Alih Penegakan Hukum atas Perusahaan Pembakar Hutan dan Lahan di Sumsel
R
Perumahan buruh di salah satu perkebunan di Berau, Kalimantan Timur
Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Badan Pengelola REDD+ dan Pemerintah Provinsi Riau-memaparkan adanya ketidakmampuan perusahaan dalam menjaga konsesinya, serta kelalaian pemerintah daerah. Hal inilah yang terkait erat dengan kebakaran hutan dan lahan. Dalam penelitian terpisah, masing-masing Jambi dan Riau memiliki sedikitnya total luas area perkebunan sawit mencapai 612.096 hektare dan 2,11 juta hektare pada 2010. “Dipertimbangkan untuk melakukan evaluasi luas konsesi dan kemampuan manajerial perusahaan yang mengajukan izin,” papar audit tersebut. “Perlu tindakan segera dan tegas untuk menghentikan okupasi yang telah terjadi.” “Kebakaran hutan, siapa yang melanggengkan?” kata Bondan Andriyanu, Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch dalam satu diskusi. “Beberapa aspek adalah pelepasan izin untuk perusahaan sawit serta skala besar lainnya, dan tak optimalnya penegakan hukum.” Data Sawit Watch sepanjang 2001-2014 menyatakan terdapat pola api cerdas, yakni terjadinya titik
api pada batas konsesi perusahaan perkebunan tertentu. Kebakaran lahan pada tahun ini, tak hanya terjadi di Riau, melainkan juga di Sumatra Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ini adalah pelbagai provinsi yang kaya dengan sumber daya alam: ada perkebunan sawit, tanaman industri hingga pertambangan batu bara. Khusus di Riau, kebakaran terjadi pada lahan gambut milik perusahaan perkebunan yang terletak di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Pelalawan. Masalah lainnya, penegakan hukum yang tak maksimal membuat perusahaan kebun sawit tak jera membakar hutan. Saya cukup mengkhawatirkan masalah serupa akan terjadi di masamasa mendatang. Ini karena ekonomi tengah membuncah di Asia Tenggara, dengan agribisnis sebagai motor penggeraknya. Dari Indonesia hingga Malaysia. Dari Laos hingga Myanmar. Dari tanaman industri hingga kelapa sawit. Saya kira, penguasaan lahan yang timpang akan terus terjadi jika tak ada perubahan dalam masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dalam 5 tahun mendatang. Kekha-
14 | Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014
watiran atas meningkatnya kekerasan seiring perkembangan agribisnis di Asia Tenggara, pun diingatkan oleh puluhan aktivis dan komisi hak asasi manusia yang berkumpul di Yangon, Myanmar. “Masyarakat lokal dan adat masih dirugikan dengan investasi agribisnis skala besar dan pendorong utamanya adalah hak kepemilikan mereka yang tak jelas,” kata Tint Lwin Thaung dari RECOFTC, The Center for People and Forests yang berbasis di Thailand. “Hal ini diperburuk dengan konversi lahan yang sudah dimiliki atau ditempati masyarakat lokal.” Agenda besar rupanya tak hanya mampir di Jakarta atau Yangon. Pada awal pekan ini, Negeri Jiran tengah menjadi tuan rumah berkumpulnya perusahaan kelapa sawit dan organisasi sipil-termasuk Sawit Watch, dalam pertemuan ke -12 the Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), asosiasi yang meningkatkan standar agar perkebunan sawit tak berdampak negatif pada lingkungan dan masyarakat. Bertempat di hotel Shangri-La, Kuala Lumpur, tema perhelatan yang dipampang adalah Sustainability: What’s Next? ***
apat Kordinasi Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan pada Rabu, 5 November 2014 kemarin, di gelar secara tertutup dan melibatkan 17 Perusahaan baik HTI dan Perkebunan yang dilahan konsesinya terdapat kebakaran, perlu dipertanyakan. Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada Pasal 10 menyatakan bahwa, semua Informasi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak/publik apalagi kasus bencana, harus di buka seluas luasnya. Dengan tujuan agar masyarakat tahu dan menyikapi dengan kritis apa yang sedang dibahas oleh pemerintah dengan perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan tersebut. Juga untuk melindungi hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sesuai bunyi pembukaan UUD 45 pasal 28 H, yang menyatakan bahwa Hak atas Lingkungan Hidup yang baik dan sehat adalah Hak Asasi Manusia dan juga diturunkan dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 65. Apalagi hasil dari rapat tersebut berdasarkan berita beberapa media cetak (6/11), pemerintah hanya meminta perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan untuk memeriksa lahan konsesi mereka dan mengajak perusahaan untuk melakukan pemadaman bersama-sama dengan pemerintah. Sikap pemerintah yang lemah di depan perusahaan pelaku kejahatan lingkungan hidup, menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap lingkungan hidup dan juga terhadap jutaan rakyat yang menjadi korban bencana ekologis kabut asap. Sikap tersebut juga
menurut kami tidak akan memberikan efek jera di kemudian hari dan malah akan memberi peluang bencana asap kebakaran hutan dan lahan akan terjadi kembali di Sumatera Selatan seperti yang dialami selama 17 Tahun terakhir. Pemerintah harusnya memproses secara hukum para perusahaan Penjahat Lingkungan Hidup sesuai UndangUndang No. 32 tahun 2009 tentang PPLH dan Undang-Undang sektoral lainnya, seperti UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dalam Pasal 108 dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Bukan malah bersikap lembut terhadap mereka yang telah menyebabkan jutaan rakyat menghirup udara yang tingkat ISPU-nya di atas 300 (sangat berbahaya). Adapun proses hukum yang diharapkan oleh rakyat untuk dilakukan pemerintah adalah mempidanakan pemilik perusahaan, menuntut ganti kerugian, mencabut izin dan menyita seluruh asset yang dimiliki perusahaan, untuk mengganti semua kerugian yang dialami pemerintah, rakyat dan lingkungan hidup, baik kerugian langsung maupun tidak langsung. Mandulnya penegakan Hukum terhadap perusahaan pembakar lahan ini juga merupakan bentuk Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan menguatkan indikasi praktek mafia perizinan dan korupsi di sektor Sumber Daya Alam di dalam tubuh pemerintahan daerah di Sumatera Selatan sangatlah massif dan terstruktur. Berdasarkan kajian Walhi Sumsel, hampir semua perizinan di sektor Sumber Daya Alam seperti HTI (penyumbang asap kebakaran hutan dan lahan) semuanya dilakukan menjelang prosesi pergantian kepala daerah, yang artinya jika dugaan ini
benar maka wajar jika pemerintah tidak akan melakukan tindakan represif terhadap perusahaan-perusahaan ini, layaknya istilah “Jeruk tidak akan makan Jeruk”. Untuk itu menurut Walhi Sumsel, dibutuhkan upaya cepat dan tegas dari Pemerintah Pusat untuk mengambil alih upaya penegakan hukum, karena yang dilakukan oleh pemerintah propinsi dan daerah saat berhadapan dengan perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan tak lebih dari sekedar “negosiasi bisnis”. Walhi Sumatera Selatan mendesak Presiden Jokowi untuk segera blusukan ke Sumatera Selatan dan segera mengambil alih upaya penegakan hukum terhadap perusahaanperusahaan tersebut. Kami tidak lagi mempercayai upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumater Selatan yang terus melindungi pelaku kejahatan lingkungan hidup. Kami juga meminta KPK untuk memonitor anggaran-anggaran pemerintah yang dikeluarkan untuk membiayai penanggulangan kabut asap. Terindikasi ada kesengajaan agar dana pemerintah puluhan milyar dapat terus digunakan untuk menanggulangi kabus asap, padahal seharusnya itu adalah tanggung jawab perusahaan pembakar hutan, bukan dengan menghabiskan uang rakyat untuk menanggulangi bencana kabut asap (bukan bencana alam). Terakhir, kami memperingatkan Pemprov Sumsel untuk membuka seluas-luasnya akses publik atas informasi kebakaran hutan dan juga rapat-rapat kordinasi untuk upaya-upaya penanggulangan bencana asap, termasuk penyebaran dokumentasi hasil melalui media-media mainstream atau media sosial. Artikel dikutip dari Blog Walhi Sumsel
Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014 | 15
Pangan
Pangan
Festival Desa 2014: Merayakan Keberagaman Pangan Kita, Mendukung Para Penghasil Pangan Lokal
Suasana penyelenggaraan Festival Desa 2014 di Bumi Perkemahan Ragunan
P
ada 24 – 26 Oktober, bumi perkemahan Ragunan riuh oleh semarak kegiatan festival desa. Kawasan bumi perkemahan Ragunan disulap dengan menggunakan potensi lokal yaitu bambu, sekaligus membawa pesan tentang “daya lenting” masyarakat di pedesaan, juga perlunya mendukung agar kehidupan mereka tidak “patah”. Kawasan bumi perkemahan yang telah disulap menjadi kawasan desa tersebut dipartisi menjadi beberapa ruang seperti toko/kedai, ruang terbuka, workshop dan diskusi serta ruang pameran. Berbagai aksesoris yang mencirikan kehidupan desa ditampilkan dalam bentuk info grafis, foto dan instalasi seni, kesenian. Ada juga ruang pameran produk masyarakat desa, seperti aneka pangan lokal, karya seni (sarung, lurik dan lainnya) yang mendukung sumber penghasilan keluarga penghasil pangan. Dan tak ketinggalan juga pameran teknologi tepat guna bagi komunitas. Di bagian lain dalam arena bumi perkemahan Ragunan ada beragam festival seperti festival tempe, sagu, padi dan mangrove. Selain itu terdapat juga berbagai macam workshop seperti workshop berkebun (membuat kompos, tatakura, pupuk,
menata), workshop pranata mangsa sebagai salah satu pengetahuan untuk mengatasi perubahan iklim, Pangan Sehat untuk Menjaga Kesehatan dan sebagainya. Festival desa kali ini juga dimeriahkan berbgai aktifitas yang memancing daya kreatifitas lomba memasak, pemutaran film pendek, lomba gambar, yoga dan lain-lain. Berbagai macam aktivitas tersebut di atas adalah bagian dari rangkaian festival desa. Ini adalah penyelenggaraan ketiga kalinya. Festival Desa pertama kali digelar pada 23-25 Maret 2012, tema yang diusung saat itu adalah “Saling Jaga, Saling Dukung”, untuk menyatukan kembali hubungan antara produsen di desa dengan konsumen kota yang terputus. Sementara festival desa kedua digelar pada November 2013. Temanya adalah “Merawat Sumber Pangan Kita”. Pada pelaksanaan festival kali ini, tema yang diusung adalah “merayakan keberagaman pangan kita, mendukung para penghasil pangan lokal”. Pilihan tema tersebut didasarkan pada situasi pangan Indonesia yang kian memprihatinkan. Karena faktanya, tren impor pangan Indonesia mengalami peningkatan, bahkan jumlahnya 4 kali lipat pada 2003.
16 | Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014
Nilai impor pangan Indonesia sebelum 2013 sebesar US$ 3,34 miliar dan kemudian melonjak menjadi US$ 14,9 miliar pada 2013. Inilah sebabnya dipermukaan, krisis pangan tidak terasa. Dari bahan pangan pokok hingga bumbu masak, garam salah satunya. Sementara jumlah penghasil pangan Indonesia semakin sedikit. Selama 2003-2013, jumlah petani berkurang sebanyak 5 juta orang. Mereka meninggalkan sawah karena tidak bisa lagi menjadi sumber penghidupan yang layak. Di pesisir, nelayan pun meninggalkan kapalnya, mencari sumber penghidupan lain. Pasa saat yang sama, kapal-kapal asing menjaring ikan di laut nusantara, bahkan lumbung ikan nusantara, kota Ambon kadang kesulitan mendapatkan ikan karena habis dicuri. Belum lagi munculnya fenomena perubahan iklim yang membuat petani kesulitan menghasilkan produk pangan. Petani kesulitan mengaturmasa tanam, sehingga berulang kali gagal panen. Serangan hama tikus dan wereng tidak juga berhenti. Sementara di pesisir, kapal-kapal nelayan lebih sering bersandar dari pada mengantarkan pemiliknya menjala ikan.
Ironisnya, beragam sumber pangan diberbagai wilayah nusantara mulai tidak dikenal lagi oleh masyarakat Indonesia. Padahal keberagaman ini dapat memenuhi kebutuhan gizi dan juga menjadi strategi untuk mengatasi perubahan iklim. Sumber pangan yang beragam juga dapat membuat kita perlahan-lahan dapat melepas dari ketergantung pada satu jenis bahan pokok: nasi putih! Desa-desa di seluruh negeri memiliki potensi untuk menyediakan bahan pangan yang sehat: minyak kelapa, gula merah (kelapa, lontar, aren), garam rakyat, ikan segar, kopi special, coklat lezat, dan rempah-rempah berharga. Sayangnya, masyarakat malah jarang yang kenal atau malah sudah berhenti mengunakannya. Ketersediaan pangan tersebut dihasilkan oleh 29,6 juta keluarga petani berlahan sempit, yang secara bersama-sama menyediakan padi dan sumber karbohidrat lainnya seperti umbi-umbian, jagung, juga sayuran dan buah-buahan. Kebutuhan protein disediakan oleh 2,7 juta kepala keluarga nelayan tangkap dan 4 juta kepala keluarga yang mengupayakan perikanan budidaya (seperti lele, nila,patin dan lainnya). Namun perjuangan kaum penyedia pangan tersebut sangat berat. Tantangan yang dihadapi para produsen pangan skala kecil yang hidup dipedesaan luar biasa besar. Mereka harus berjuang ditengah keterbatasan akses terhadap modal, lahan yang terbatas; akses terhadap pasar yang kian sulit karena dikuasai oleh jaringan tertentu, minimnya dukungan untuk mengatasi cuaca ekstrim yang mengganggu produksi, serta peran perempuan yang masih belum diakui baik oleh masyarakat dan juga negara. Berbagai persoalan tersebut di atas yang melatari Aliansi Desa Sejahtera (termasuk Sawit watch didalamnya) dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya bergerak dan bersama-sama mempromosikan berbagai produk pangan lokal. ADS meyakini bahwa dengan hanya dengan mengenal beragam jenis pangan lokal dan mendukung para produsen
Kampanye perlindungan petani di Festival Desa 2014
pangan di pedesaan, maka sumber pangan Indonesia dapat terselamatkan. Termasuk menghadirkan pangan yang sehat bagi para konsumen di perkotaan. Festival desa adalah salah satu momentum membangkitkan kembali gairah masyarakat untuk mengenal produk-produk masyarakat desa dan pangan lokal. Tujuan dari pelaksanaan festival desa ini adalah media untuk mempertemukan produsen pangan di pedesaan dengan konsumen kota dan juga komunitas dan pribadi yang peduli keragaman pangan, dan terus saling mengenal dan menjaga hubungan antara masyarakat desa dan kota, serta membangun pemahaman bahwa kekayaan pangan yang dimiliki negeri ini harus terus dijaga, dinikmati dan dirayakan seb-
agai wujud rasa syukur dan dukungan terhadap para produsen pangan. Pangan Sehat yang dihasilkan komunitas juga perlu dikonsumsi setiap hari sebagai dasar untuk hidup yang lebih berkualitas. Selain itu, pelaksanaan festival desa 2014, juga membawa misi agar masyarakat kota yang sudah dan mau menerapkan hidup sehat dapat membangun sistem pangan yang sehat dan berkeadilan bersama para penghasil pangan skala kecil kita yang hidup di desa/kampong/nagari di seluruh negeri. Dan juga diharapkan, bahwa festival desa ini bisa menyediakan ruang untuk mengenal kekayaan pangan dan kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan para penghasil pangan kita, melalui aneka kegiatan yang menyenangkan.***
Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014 | 17
Darurat
Darurat
Penerapan HCV/HCS Jangan Jadi Ajang Cuci Dosa: Masalah dan Praktik Buruk Harus Diselesaikan Lebih Dahulu
Lahan gambut rusak terbakar di areal konsesi perusahaan perkebunan sawit PT SSS
K
uala Lumpur (16/11) Sawit Watch. Meskipun beberapa industri perkebunan kelapa sawit telah ada yang berkomitment untuk menerapkan High Conservation Value (HCV) dan High Carbon Stock (HCS), bukan berarti bahwa semua persoalan lingkungan dan sosial telah selesai. Berbagai problem sosial dan lingkungan yang selama ini telah muncul tidak dapat begitu saja dianggap clear ketika komitment penerapan HCV/HCS tersebut digelontorkan oleh beberapa industri kelapa sawit. Masih banyak tanggung jawab masa depan dan masalah masa lalu yang harus diurai hingga selesai. Persoalan penting yang harus diselesaikan antara lain adalah penegasan terhadap hak-hak masyarakat, perbaikan terus menerus terhadap lingkungan dan alam serta system pengelaolaan perkebunan kelapa sawit yang ramah terhadap masyarakat local [local friendly] dan ramah lingkungan [environment friendly] dan ketaatan tanpa syarat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku, baik peraturan local, nasional ataupun ketentuan adat setempat. Implementasi HCV / HCS oleh industry besar kelapa sawit jangan hanya dijadikan sebagai “image building”
sementara dalam praktik masih terus menerus muncul masalah-masalah dilapangan. Harus juga ditekankan komitment tindakan berupa sanksi apabila komitment tersebut dilanggar, baik itu sanksi ekonomi dipasar minyak sawit maupun sanksi sosial seperti kesediaan untuk menerima tangungjawab secara adat dan hukum jika terjadi pelangaran atas komitment tersebut. Sawit Watch Indonesia menegaskan dan mengerti betul bahwa selama ini berbagai komitment yang sudah dikeluarkan bahkan hukum formil yang harusnya dijalankan masih banyak yang dilanggar, oleh karennya maka apapun yang terjadi kedepan, SW memastikan akan melakukan upaya-upaya serius mempengaruhi pasar dan public serta kebijakan terkait dengan komitment HCV/HCS tersebut. SW sudah sangat siap untuk melakukan upaya kampanye internasional dan advokasi, baik bersifat litigasi maupun non-litigasi untuk memastikan bahwa kedepan dapat ditekan lebih serius praktik-praktik buruk yang terjadi dalam rantai industri kelapa sawit. Kami akan mencatat setiap langkah dan gerak dari praktik-praktik atas komitment
18 | Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014
yang disampaikan. Sawit Watch juga telah memetakan situasi lapangan dari berbagai masukan yang disampaikan oleh banyak pihak diantaranya dalam Pertemuan Para Pihak yang membicarakan mengenai perlindungan kawasan hutan dan hak kelola masyarakat melalui penerapan HCV/ HCS oleh industry perkebunan kelapa sawit, yang dilaksanakan di Kuala Lumpur tanggal 16 November 2014. Dimana berbagai pihak menyampaikan bahwa status hukum HCV/HCS yang belum jelas, tidak melibatkan masyarakat dalam penetapan wilayah yang terindikasi HCV/HCS berdampak pada konflik baru yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan dan juga hilangnya hak kelola masyarakat serta akses terhadap kawasan kelola tradisonal masyarakat dari hutan. Oleh karena itu kami memandang penting untuk semua pihak serius dan terus menerus memastikan praktikpraktik industri perkebunan kelapa sawit dimanapun agar mentaati peraturan yang berlaku, menghormati masyarakat adat dan budayanya serta konsisten dengan komitmennya sendiri.***
Hentikan Perbudakan Di Perkebunan Sawit
E
kspansi perkebunan kepala sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 13,5 juta hektar dengan jumlah buruh mencapai lebih dari 7 juta orang (Sawit Watch 2014). Dari jumlah tersebut, diperkirakan sekitar 70 % merupakan buruh harian lepas (BHL). Di tengah berbagai keuntungan dan kesuksesan yang dinikmati oleh perkebunan sawit, kondisi yang dialami buruh justru sangat memprihatinkan. Pertama, tidak adanya dokumentasi perikatan kerja antara buruh dengan perkebunan. Kondisi seperti ini mengaburkan pertanggungjawaban hubungan kerja antara buruh dan perkebunan. Ketiadaan dokumentasi perikatan kerja ini merupakan gejala terjadinya informalisasi hubungan kerja. Informalisasi hubungan kerja ini ditandai dalam bentuk penggunaan buruh kontrak, buruh borongan, pelibatan anak isteri tanpa ikatan kerja yang jelas. Informalisasi tenaga kerja ini memunculkan persoalan perlindungan tenaga kerja, tidak saja dalam hal perlindungan upah, tetapi juga jaminan kerja, kesehatan dan hak-hak normatif lainnya. Kedua, massifnya buruh harian lepas (BHL) dan buruh kontrak tanpa jaminan tertulis/mekanisme formal dalam rangka peningkatan status. Ketiga, upah murah berbasis target kerja. Sistem pengupahan berbasis target kerja ini menyebabkan peluang besar terjadinya reduksi upah yang sebenarnya sudah tidak layak. Keempat, minimnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Potensi kecelakaan kerja di perkebunan cukup tinggi. Namun, tiadanya penyebaran informasi yang cukup bagi buruh tentang resiko dan penanggulangan kecelakaan terutama penyediaan P3K dan pondok berlindung ketika cuaca buruk serta pembiaran buruh bekerja tanpa menggunakan peralatan perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) merupakan kenyataan di perkebunan sawit. Buruh perempuan, terutama yang bekerja dibagian pemupukan dan penyemprotan sangat rentan menderita penyakit akibat kerja. Terkena tetesan dan terhirup racun pestisida, herbisida, fungisida dan insektisida adalah resiko bagi pekerjaan yang berhubungan dengan penyemprotan. Sementara itu, bersentuhan langsung dengan pupuk tanpa alat pengaman yang layak merupakan rutinitas yang dialami buruh perempuan yang bekerja dibagian pemupukan. Kelima, penggunaan buruh anak. Investigasi yang dilakukan Sawit Watch di perkebunan sawit di Indonesia. Buruh anak direkrut langsung maupun melalui pemborong dan ditugaskan untuk mengerjakan pekerjaan sama seperti buruh dewasa. Selain itu, potret anak tanpa kewarganegaraan (stateless childrens) yang banyak ditemukan di kebunkebun di sepanjang perbatasan dengan Malaysia sebagai akibat dari pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami oleh buruh-buruh perempuan di perkebunan sawit. Keenam, kebebasan berserikat di perkebunan hanya menjadi bagian dari standar perusahaan dan catatan diatas kertas semata. Buruh perkebunan yang mencoba membangun serikat diintimidasi, dimutasi, upah dikurangi dan diancam PHK.
Kondisi buruk yang dialami buruh perkebunan sawit di Indonesia mengindikasikan adanya praktek kerja paksa. Berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak buruh memperlihatkan perusahaan perkebunan sawit masih memandang buruh sebagai objek eksploitasi dalam rangka menghasilkan keuntungan maksimal. Workshop Perumusan Prinsip Kerja Layak Di Perkebunan Sawit yang dilaksanakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada 14-15 November 2014 menghasilkan kesamaan pemahaan bahwa perkebunan sawit harus menata ulang sistem perburuhannya bila tidak ingin melanggengkan sistem perburuhan yang tidak manusiawi. Sistem Buruh Harian Lepas pada prakteknya telah melanggengkan sistem perbudakan dan harus dihentikan. Kebijakan perlindungan terhadap kelompok rentan seperti anak-anak dan buruh perempuan harus dirumuskan dan diimplemetasikan. Dari pelaksanaan workshop, terdapat beberapa rekomendasi yang ditujukan ke beberapa pihak sebagai berikut: Kepada pemerintah Indonesia: 1. Merubah sistem perburuhan di perkebunan kelapa sawit dengan menetapkan aturan tersendiri tentang buruh perkebunan kelapa sawit. Rekomendasi ini didasari kondisi kerja buruh perkebunan sawit dan buruh manufaktur sangat berbeda. 2. Menindak tegas perusahaan perkebunan yang melanggar ketetapan perundang-undangan seperti keterlambatan pengangkatan buruh BHL menjadi buruh tetap, keterlambatan pendaftaran buruh menjadi peserta jamsostek, tiadanya jaminan K3 dan tidak adanya perlindungan terhadap buruh perempuan. 3. Menindak tegas perkebunan yang menggunakan buruh anak. Kepada Perkebunan Sawit Skala Besar (PSB): 1. Mereformasi sistem perburuhan diperkebunan sawit yang memastikan setiap buruh mendapat kesempatan untuk promosi dan kenaikan status. 2. Menentukan upah layak yang sesuai dengan kondisi buruh di perkebunan sawit, yang berbeda dengan kondisi buruh industri, karena medan yang berat, akses terhadap pendidikan, bahan pangan dan kebutuhan pokok yang sulit. 3. Memastikan setiap BHL yang telah bekerja lebih dari 3 bulan untuk diangkat menjadi buruh tetap sesuai undang undang. Kepada RSPO: 1. Perlu mempertimbangkan kepesertaaan serikat buruh dalam RSPO 2. Dalam proses penilaian dan pemberian sertifikasi kepada perusahaan anggota RSPO harus menjadikan isu ini sebagai pertimbangan utama dalam kategori sosial 3. Mendesak RSPO untuk segera membentuk kelompok kerja untuk mendefenisikan standar hidup layak untuk buruh dan mekanisme penyelesaian hubungan industrial di perkebunan sawit skala besar.***
Tandan Sawit, Edisi No. 7 | November 2014 | 19