IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)
Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas permukaan (hutan, semak, dll), kemudian api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai hutan, terutamanya lahan gambut. Penyebab kebakaraan hutan secara garis besar dikarenakan oleh dua hal, yaitu kebakaran yang terjadi karena alam itu sendiri atau kebakaran yang terjadi akibat ulah manusia. Kebakaran yang terjadi akibat alam misalnya, karena petir, karena kemarau yang panjang, sehingga matahari akan membakar tanaman yang kering melalui hal sederhana seperti adanya percikan api karena pembiasan cahaya dari kaca/kaleng yang mengkilap. Sedangkan kebakaran oleh manusia misalnya hutan sengaja di bakar karena ingin membuka lahan. Kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar pernah terjadi di Indonesia pada tahun 19821983, 1991,1994 dan 1997-1998, 2006, dan kembali kebakaran hutan dan lahan terjadi pada tahun 2015. Kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 khususnya di Sumatera dan Kalimantan telah menyebabkan 80 persen wilayah di Sumatera tertutup asap pekat. Akibat kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas hidup utamanya kesehatan masyarakat, ekonomi dan sosial masyarakat secara nasional namun juga telah mempengaruhi negara tetangga. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya serius untuk menanggulanginya dengan menganalisa penyebab kebakaran hutan dan lahan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengendalikan kebakaran hutan dan lahan dengan memobilisasi dukungan sarana dan prasarana baik di tingkat pusat maupun daerah (Manggala Agni, SPORC), serta melibatkan berbagai pihak, termasuk Pemerintah daerah (Mendagri), BNPB, dan TNI. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan instruksi melalui KepmenLHK Nomor: SK.368/MenLHK-Setjen/2015 tanggal 8 September 2015 tentang Penanganan Khusus Krisis Kebakaran Lahan/Hutan dan lingkup KLHK dan membentuk Tim Kerja Klarifikasi Pelanggaran Izin Karena Kebakaran Lahan/Hutan. Salah satu tugas tim kerja adalah melakukan pemetaan areal yang mengalami kebakaran di perusahaan perkebunan dan kawasan hutan. Untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran dan luasan kebakaran lahan/hutan (burned area), kiranya perlu dilakukan identifikasi dan analisis pada areal bekas terjadi kebakaran hutan, salah satunya adalah melalui pemanfaatan teknologi penginderaan jauh. Salah satu upaya yang sudah dilakukan Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan adalah dengan melakukan pemantauan melalui data titik panas (hotspot) yang diperoleh dari citra satelit NOAA AVHRR maupun MODIS Aqua-Terra. Saat ini pengolahan data titik panas dilaksanakan oleh Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Ditjen PPI, KLHK. Dalam upaya mendukung pelaksanaan tim kerja, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan melaksanakan kegiatan pemantauan kebakaran hutan dan lahan melalui penyediaan informasi spasial areal bekas kebakaran hutan dan lahan di sebagian wilayah Indonesia yang selanjutnya dimanfaatkan untuk identifikasi bekas kebakaran tersebut berdasarkan wilayah administrasi, fungsi kawasan hutan, penutupan lahan, areal konsesi ijin usaha pemanfaatan hutan (HPH/HTI), dan areal hak guna usaha (perkebunan).
1
I.
SUMBER DATA Data yang dipergunakan dalam identifikasi dan analisa luasan bekas kebakaran hutan dan lahan berupa citra penginderaan jauh dan informasi geospasial tematik. Rincian tentang sumber data diuraikan dalam butir berikut. A. HOTSPOT MODIS TERRA/AQUA •
Resolusi temporal
: Harian (siang dan malam)
•
Satelit
: Terra MODIS dan Aqua MODIS
•
Penyedia
: NASA – FIRMS (Fire Information for Resource Management System)
•
Produk
: FIRMS MODIS Fire Archive
•
Liputan
: Seluruh Indonesia
•
Rentang waktu
: Tahun 2015 (atau rentang waktu tertentu yang ingin digunakan)
•
Sumber
: LAPAN (http://modis-catalog.lapan.go.id/monitoring/)
B. LANDSAT 7/8 •
Resolusi temporal
: 16 harian
•
Resolusi spasial
: 30m
•
Sumber
: USGS (http://earthexplorer.usgs.gov/)
C. DATA PERIZINAN •
Pemanfaatan KH
: Sumber KLHK
•
Pelepasan KH
: Sumber KLHK
•
Bidang tanah
: Sumber BPN
•
Sumber
: KLHK
D. DATA TEMATIK LAIN 1. Lahan gambut •
Resolusi spasial : 1:250.000
•
Sumber
: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Kementerian Pertanian
2. Fungsi kawasan hutan: Sumber KLHK 3. Batas administrasi •
Resolusi spasial : 1:250.000
•
Sumber
: BIG/DEPDAGRI
2
II.
METODOLOGI
1) Pengumpulan data titik panas pada periode waktu tertentu. Pengumpulan data titik panas diperoleh dari web LAPAN (http://modiscatalog.lapan.go.id/monitoring/) yang merupakan data olahan dari citra MODIS Terra/ Aqua. Data titik panas yang dikumpulkan berdasarkan periode pengamatan tertentu dapat berupa harian, mingguan, bulanan maupun tahunan.
3
2) Estimasi areal kebakaran dengan analisa kerapatan titik panas (point density analysis). Analisa kerapatan titik panas sangat mudah dan cepat untuk menentukan indikasi luas areal kebakaran. Areal indikasi terbakar yang memiliki titik panas mengelompok menghasilkan luas areal yang cukup menggambarkan seberapa luas areal terbakar. Bila titik panas menyebar maka kesalahan yang dihasilkan dari analisa kerapatan ini akan tinggi.
3) Deliniasi areal kebakaran berdasarkan data citra Landsat terbaru sesuai dengan data titik panas pada periode tertentu. Citra Landsat dengan resolusi 30 meter mampu menunjukkan areal terbakar secara jelas. Deliniasi dilaksanakan secara manual agar tidak terpengaruh oleh kesalahan atmosfer pada citra Landsat. Pada areal terbakar sering didapati penutupan kabut asap tipis dan awan sehingga menyulitkan untuk dilaksanakan deliniasi secara otomatis. Metode ini juga dapat mendeteksi areal terbakar yang tidak ditunjukkan oleh keberadaan titik panas. Keterbatasan metode ini antara lain cakupan awan, perbedaan waktu perolehan data antara Landsat (16 harian) dan Modis Hotspot ( Harian).
4
4) Analisa lanjutan dengan menggunakan data tema kehutanan lainnya. Analisa dilaksanakan untuk mengetahui dimana saja lokasi kebakaran tersebut. Kebakaran lahan dan hutan dapat terjadi di kawasan hutan yang dibebani izin maupun tidak.
5) Verifikasi lapangan. Pengecekan lapangan dilaksanakan untuk menilai keakuratan hasil deliniasi dan kesesuaian hasil areal kebakaran dengan kondisi nyata di lapangan.
5
III.
KESIMPULAN
Pemantauan areal bekas kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan cepat, tepat, mudah dan murah dengan bantuan teknologi informasi, penginderaan jauh dan system informasi geografis. Keterbatasan metode ini antara lain cakupan awan, perbedaan waktu perolehan data antara Landsat (16 harian) dan Modis Hotspot ( Harian). Luas areal bekas kebakaran juga dapat dijadikan dasar penyidikan untuk menangkap tersangka pembakar lahan dan hutan Kegiatan pemantauan kebakaran hutan dan lahan diharapkan mampu memberikan informasi teliti untuk cakupan wilayah luas tanpa memakan waktu yang lama untuk mendapatkannya.
*****
6