TINJAUAN PUSTAKA
Lahan Gambut sebagai Lahan Basah Lahan basah (wetlands) adalah wilayah-wilayah yang tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya terkadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau, atau asin. Gambut terbentuk oleh lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara (anaerob) akibat keadaan hidro-topografi berupa genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan. Dengan kata lain, pada kondisi ini laju penimbunan bahan organik lebih besar daripada mineralisasinya (Noor 2001). Gambut merupakan ekosistem alami penting dengan nilai tinggi untuk konservasi keanekaragaman hayati, regulasi iklim, dan kesejahteraan manusia. Dinamika gambut sangat sensitif terhadap perubahan siklus hidrologi. Jika dilakukan drainase atau reklamasi, gambut berangsur-angsur akan menyusut dan mengalami subsiden/amblas, yaitu penurunan permukaan tanah. Kondisi ini disebabkan oleh proses pematangan gambut dan berkurangnya kandungan air. Menurut Barchia (2006) laju subsiden juga sangat dipengaruhi oleh ketebalan gambut, pada gambut dalam laju subsiden akan lebih besar dari pada gambut sedang dan gambut dangkal. Gambut dikategorikan sebagai freshwater wetlands yang terbentuk pada kondisi palustrin. Widjaya-Adhi (1988) diacu dalam Barchia (2006) menjelaskan karakteristik gambut, yaitu 1) mempunyai kandungan bahan organik tinggi (>85 persen); 2) mengandung C-organik 12-18 persen bergantung pada fraksi liat; 3) ketebalan gambut >40 cm jika kerapatan isinya >0.1 g/cm3 atau >60 cm jika kerapatan isinya 0,1 g/cm3; 4) berdasarkan ketebalan gambut dapat dibagi 4, yaitu a) gambut dangkal (50100 cm), b) gambut sedang (100-200 cm), c) gambut dalam (200-300 cm), dan d) gambut sangat dalam (>300 cm);
12
5) berdasarkan kandungan serat, gambut dibedakan atas a) fibrik, kadar serat 2/3 volume dikategorikan sebagai bahan gambut yang dekomposisinya belum sempurna,
b)
saprik,
tingkat
dekomposisinya
paling
sempurna
dan
mengandung serat <1/3 volume, dan c) hemik, dikategorikan sebagai tingkat intermediet yang proses dekomposisinya berada antara fibrik dan saprik. Gambut memiliki tingkat kemasaman tanah yang tinggi disebabkan oleh tingginya kandungan asam-asam fenolat yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung lignin. Gambut sebagian besar bereaksi masam sampai sangat masam dengan pH <4. Gambut tropik umumnya memiliki topografi berbentuk kubah (dome). Dari pinggir ke arah tengah makin mendekati puncak kubah permukaan lahan makin meningkat dengan perbedaan tinggi kurang 1 m pada setiap jarak 1 km. Perbedaan tinggi permukaan gambut berhubungan dangan ketebalan gambut. Menurut Noor (2001), informasi perbedaan tinggi permukaan ini penting dalam perencanaan jaringan tata air atau drainase. Dengan demikian, kekeringan akibat pengaliran air yang berlebihan atau banjir pada musim hujan dapat dihindari. Kubah gambut biasanya dibiarkan sebagai reservoir yang berfungsi menyimpan air pada musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau. Kerusakan atau penyusutan wilayah kubah gambut dapat menyebabkan kelangkaan air di wilayah sekitarnya. Faktor-faktor iklim yang penting di kawasan gambut tropik adalah curah hujan, suhu dan kelembaban. Dalam konteks ekologi, ekosistem gambut mempunyai peranan sebagai wilayah penyangga (buffer zone) lingkungan. Hal ini terlihat pada fungsi gambut dalam lingkup hidrologis, biogeokimia, dan ekologis. Dalam sistem hidrologis, ekosistem gambut selain sebagai daerah tampung air, juga penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system). Kehilangan kesempatan mengkonservasi air berarti juga dapat menimbulkan ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayati (Barchia 2006). Dijelaskan lebih lanjut bahwa eksploitasi gambut yang berlebihan dapat menurunkan kelembaban gambut dan drainase berlebihan dapat menimbulkan kering takbalik (irreversible drying) pada bahan gambut, dan gambut akan membentuk pasir semu. Drainase yang berlebihan, yaitu melampaui batas kritis kering takbalik, menyebabkan gambut berubah sifat menjadi hidrofob. Semakin besar efek pengering, semakin besar sifat menolak air gambut dan semakin sukar melembabkannya kembali. Hidrofobisitas gambut
13
yang dikeringkan disertai pemadatan gambut akibat subsiden menyebabkan gambut menjadi rentan terhadap erosi permukaan. Ekosistem gambut merupakan ekosistem yang rentan, yang cepat sekali rusak oleh perubahan yang sedikit saja. Hutan gambut dapat dikatakan sekali panen akan hilang sehingga dapat digolongkan menjadi sumber daya alam hayati (Reksowardoyo 1988 diacu dalam Barchia 2006).
Ekowisata Wisata adalah suatu pergerakan temporal manusia menuju tempat selain dari tempat biasa mereka tinggal dan bekerja, yang selama mereka tinggal di tujuan tersebut mereka melakukan kegiatan, dan diciptakan fasilitas untuk mengakomodasi kebutuhan mereka (Gunn 1994). Sementara Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) mendefinisikan kegiatan wisata sebagai kegiatan perjalanan seseorang untuk kesenangan (pleasure) minimal satu hari dan tidak lebih dari satu tahun untuk wisatawan mancanegara dan enam bulan bagi wisatawan domestik. Menurut UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Istilah ekowisata merupakan terjemahan dari istilah ecotourism yang timbul sebagai sikap atau kritik terhadap kegiatan pariwisata massal yang dianggap merusak lingkungan dan kebudayaan. Penggunaan istilah ini dimaksudkan untuk menggambarkan konsep pariwisata yang termasuk bukan pariwisata berskala besar serta mengikuti prinsip-prinsip berkelanjutan. Akar dari ekowisata terletak pada kegiatan wisata alam dan wisata ruang terbuka. Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumber daya pariwisata. The International Ecotourism Society
(2000)
mengartikannya
sebagai
perjalanan
wisata
alam
yang
bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (responsible travel to natural areas that conserves the environment and improves the well-being of local people) (Damanik dan Weber 2006). Dijelaskan lebih lanjut bahwa ada lima pilar utama yang menopang bangunan perencanaan ekowisata, yakni a) pembangunan pariwisata berkelanjutan; b) struktur administrasi dan politik pariwisata yang mencakup pemerintah lokal; c) peraturan perundang-undangan; d) otonomi
14
daerah; e) keragaman potensi wisata. Wearing dan Neill (1999) diacu dalam Gilbert (2003) menegaskan bahwa ekowisata adalah bagian dari pendidikan lingkungan, pembinaan sikap dan perilaku yang kondusif untuk menjaga lingkungan alami dan pemberdayaan masyarakat lokal, oleh karena itu, ekowisata
merupakan
industri
yang
berkelanjutan.
Menurut
Organisasi
Pariwisata Dunia (UNWTO), pariwisata yang melibatkan perjalanan ke alam pada daerah yang relatif tidak terganggu dengan tujuan tertentu, yaitu mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan, tanaman dan juga hewan liar, serta berbagai aspek budaya yang ada (baik dari masa lalu dan masa kini yang ditemukan di daerah tersebut), didefinisikan sebagai ekowisata. Suatu jumlah optimal kegiatan pengunjung ramah lingkungan, tidak adanya dampak serius pada ekosistem dan masyarakat lokal, dan keterlibatan positif masyarakat lokal dalam menjaga keseimbangan ekologi adalah beberapa elemen kuncinya. Dalam pengembangan ekowisata perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut (Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan 2001) 1) konservasi; 2) pendidikan; 3) ekonomi; 4) peran aktif masyarakat; 5) wisata. From (2004) diacu dalam Damanik dan Weber (2006) menyusun tiga konsep dasar yang lebih operasional tentang ekowisata, yaitu sebagai berikut. 1) perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, 2) wisata yang mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan dikelola masyarakat kawasan wisata itu, dan 3) perjalanan wisata yang menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal. Ekowisata merupakan tipe wisata alternatif dari wisata massal sehingga memiliki segmen yang signifikan dalam pasar wisata. Selain kesadaran lingkungan yang berkembang sejak akhir tahun 1980, pengembangan bentuk wisata alternatif juga dapat dihubungkan dengan terlalu akrabnya konsumen dengan wisata masal dan sebagian menginginkan
jenis-jenis liburan baru
(Holden 2000). Menurut Damanik dan Weber (2006), beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan ekowisata adalah sebagai berikut: (1) pengembangan produk wisata yang bernilai ekologi tinggi (green product);
15
(2) seleksi kawasan wisata yang menawarkan keanekaragaman hayati (biodiversity); (3) pengabaian produk dan jasa yang banyak mengonsumsi energi dan yang menimbulkan limbah (polusi, kongesti, dan lain-lain); (4) penciptaan standarisasi dan sertifikasi produk wisata berbasis ekologi; (5) pelatihan dan penguatan kesadaran lingkungan di kalangan warga masyarakat; (6) pelibatan penduduk lokal dalam kegiatan penyediaan dan pengelolaan jasa wisata; (7) pengembangan kolaborasi manajemen trans-sektoral dalam pengembangan ekowisata. Perencanaan Lanskap Lanskap sangat berkaitan dengan konsep ruang di alam. Ruang adalah wadah kehidupan manusia beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya meliputi bumi, air, dan ruang angkasa sebagai satu kesatuan. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur yaitu (1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk, dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah. Perencanaan lanskap merupakan suatu kegiatan yang melibatkan pemanfaatan alam (lingkungan) untuk kebutuhan manusia, dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan seni. Alam memiliki karakter khusus yang memerlukan penanganan yang berbeda dalam usaha pemanfaatannya. Perencanaan lanskap diperlukan untuk memelihara dan menjaga karakter alam sekaligus menjadikan alam tersebut memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Menurut Gold (1980), perencanaan lanskap adalah penyesuaian antara lanskap dan program yang akan dikembangkan untuk menjaga kelestarian ekosistem dan pemandangan lanskap sehingga mencapai penggunaan terbaik. Proses perencanaan yang baik harus merupakan suatu proses yang dinamis, saling terkait, dan saling menunjang. Perencanaan secara umum adalah mengorganisasikan masa depan untuk mencapai tujuan tertentu (Inskeep 1991). Dijelaskan selanjutnya bahwa tahaptahap perencanaan lanskap meliputi hal-hal berikut:
16
(1) studi persiapan yang merupakan penilaian kelayakan kegiatan dilakukan, untuk melihat ada atau tidaknya potensi pengembangan; (2) penentuan tujuan yang merupakan penentuan hasil yang diinginkan dari pengembangan; (3) survei yang merupakan pengumpulan data, kuantitatif dan kualitatif untuk semua aspek yang relevan; (4) analisis dan sintesis berupa analisis yang dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif, merupakan aktivitas utama yang tergantung pada ketersediaan data survei, mengidentifikasi peluang dan masalah atau batasan untuk pengembangan; (5) rumusan kebijakan dan rencana yang merupakan kegiatan mempersiapkan dan mengevaluasi alternatif kebijakan dan garis besar rencana (atau skenario); (6) rekomendasi yang berupa penyampaian rencana detil yang dibuat berdasarkan analisis dan sintesis, serta rumusan kebijakan dan rencana yang telah dipilih; (7) pelaksanaan
dan
pemantauan,
pelaksanaan
dilakukan
bila
telah
dipertimbangkan dari persiapan rencana, terutama dalam perumusan kebijakan dan rencana, serta pada rekomendasi sehingga rencana akhir menjadi realistik untuk dicapai dan dapat dilaksanakan; pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa tujuan dikerjakan, sesuai dengan jadwal pengembangan, dan tidak menimbulkan masalah ekonomi, lingkungan, atau sosial budaya. Menurut Simonds dan Starke (2006), perencanaaan tapak umumnya mengikuti langkah-langkah berikut yang beberapa di antaranya dapat dilakukan secara bersamaan, yaitu pendefinisian maksud dan tujuan; pengumpulan informasi topografi; pengembangan program; pengumpulan data dan analisis; pengenalan tapak; pengorganisasian perlengkapan dan dokumen rencana acuan, persiapan studi lanjut; perbandingan analisis dengan studi perbaikan untuk mendapatkan konsep yang sesuai dan disetujui; pengembangan dari rencana pengembangan pendahuluan dan menghitung biaya; persiapan rencana pembangunan, spesifikasi, dan penawaran dokumen. Kegiatan pembangunan sering dikaitkan dengan proses perencanaan sehingga perencanaan dapat menentukan arah suatu pembangunan. Menurut Inskeep (1991), untuk mengoptimalkan kegiatan wisata dan meminimalkan
17
dampak yang ditimbulkan karena kegiatan ini, diperlukan perencanaan dan manajemen yang baik, dan terintegrasi dengan perencanaan pembangunan secara keseluruhan. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa terdapat beberapa alasan khusus perlunya suatu perencanaan wisata, yaitu sebagai berikut. 1)
Pariwisata modern merupakan hal yang relatif baru di banyak daerah, dimana pemerintah dan swasta belum memiliki pengalaman yang cukup dalam penanganannya sehingga diperlukan perencanaan.
2)
Pariwisata adalah kegiatan yang memiliki kompleksitas, multisektoral, serta terkait dengan sektor lain, untuk itu perlu koordinasi dan perencanaan yang lebih terpadu.
3)
Pada
umumnya
kegiatan
wisata
adalah
menjual
produk
dengan
memberikan pengalaman pada pengunjung melalui berbagai fasilitas sehingga ada dampak sosial dan lingkungan yang harus diperhitungkan dalam perencanaan. 4)
Kegiatan pariwisata membawa dampak ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu perlu optimalisasi kegiatan dan perencanaan yang terintegrasi.
5)
Manfaat dan masalah sosial budaya yang muncul karena kegiatan pariwisata memerlukan penanganan berupa kebijakan untuk mengkonservasi objekobjek budaya yang berharga.
6)
Pembangunan fasilitas dan atraksi untuk pariwisata menimbulkan dampak pada kondisi fisik lingkungan, dengan perencanaan diharapkan dapat meminimalkan
degradasi
lingkungan
dan
mengupayakan
konservasi
lingkungan. 7)
Adanya slogan keberlanjutan sebagai isu global akan menentukan tipe keberlanjutan
yang
tepat
dan
tidak
merusak
dan
menghambat
pembangunan. 8)
Perubahan tren pasar dan keadaan lainnya memerlukan fleksibilitas perencanaan.
9)
Kegiatan wisata perlu keahlian tertentu dan tenaga kerja yang potensial, oleh karena itu, dalam perencanaan wisata perlu dibuat rencana pelatihan.
10) Perlu ada struktur organisasi, promosi, dan regulasi yang mengatur kegiatan wisata. 11) Perlu program dan dasar yang rasional bagi publik dan swasta dalam kaitannya dengan rencana investasi yang mereka lakukan.
18
Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem informasi geografis (SIG) atau geographic information system (GIS) adalah
sistem
komputer
yang
mempunyai
kemampuan
pemasukan,
pengambilan, analisis data, dan penampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. SIG dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis, dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI 2002). Pendekatan-pendekatan kelokasian atau lebih dikenal dengan istilah pendekatan keruangan/spasial sangat penting di dalam melakukan analisisanalisis fenomena yang terjadi di bumi ini, baik yang sifatnya fisik maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan seperti ekonomi, politik, lingkungan, dan budaya. Jika fenomena itu dapat ditangkap informasinya secara utuh berikut lokasi dan polanya, hal tersebut dapat membantu dalam menyelesaikan atau mencari solusi dari permasalahan yang terkait dengan muka bumi. SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra 1997). SIG adalah suatu sistem Informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geografis di bumi (georeference). Di samping itu, SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. SIG dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sistem manual (analog) dan sistem otomatis (yang berbasis digital komputer). Perbedaan yang paling mendasar terletak pada cara pengelolaannya. Sistem informasi manual biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar transparansi untuk tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik, dan laporan survei lapangan. Kesemua data tersebut dikompilasi dan dianalisis secara manual dengan alat tanpa komputer. SIG otomatis telah menggunakan komputer sebagai sistem pengolah data melalui proses digitasi. Sumber data digital dapat berupa citra satelit atau foto udara digital serta foto udara yang terdigitasi. Data lain dapat berupa peta dasar terdigitasi.
19
SIG dapat dibagi ke dalam empat komponen utama, yaitu perangkat keras (digitizer, scanner, central procesing unit (CPU), hard-disk, dan lain-lain), perangkat lunak (ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS, MapInfo, dan lain-lain), organisasi (manajemen), dan pemakai (user). Kombinasi yang benar antara keempat komponen utama ini akan menentukan kesuksesan suatu proyek pengembangan sistem informasi geografis. Data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, sehingga analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta, sedangkan data atribut merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial. Butler (1993) diacu dalam Bahaire dan Elliot (1999) menyatakan bahwa sistem informasi geografis mempunyai potensi-potensi dalam pemecahan masalah pariwisata, yaitu 1) dapat menginventarisasi secara sistem atas sumber daya pariwisata dan menganalisis tren pariwisata, dan 2) dapat digunakan untuk memonitor perkembangan aktivitas wisata, dengan pengintegrasian pariwisata, sosial budaya, lingkungan, dan data ekonomi. Scenic Beauty Estimation (SBE) Scenic beauty diartikan sebagai keindahan alami (natural beauty), estetik lanskap (landscape aesthetics), atau sumber pemandangan (scenic resource) untuk memecahkan kemonotonan (Daniel dan Boster 1976). Estetika digunakan sebagai dasar dalam kualitas visual. Dijelaskan lebih lanjut oleh Daniel dan Boster (1976) bahwa keindahan pemandangan lanskap merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting walaupun secara obyektif keindahan pemandangan sulit untuk diukur. Scenic Beauty Estimation (SBE) yang dikembangkan oleh Daniel dan Boster (1976) adalah model penilaian yang paling umum digunakan untuk mengevaluasi psikofisik preferensi indah. Hal ini digunakan untuk mempelajari hubungan antara atribut biofisik lingkungan dan preferensi keindahan tanpa mempertimbangkan proses perantara yang mungkin mempengaruhi preferensi penilaian. Ditemukan bahwa nilai-nilai preferensi berkorelasi dengan bentuk fisik,
20
prinsip-prinsip formal desain, dan atribut psikologis lanskap untuk menyatakan persoalan teoritis dan empiris dalam estetika lanskap (Gobster dan Chenoweth 1989 diacu dalam Chiang et al. 2010). Perubahan penampilan lanskap dapat dilihat dari proses biofisik dan pendapat manusia sangat penting sebagai indikator dari kualitas keindahan visual. Persepsi seseorang terhadap kualitas lanskap ditentukan oleh interaksi yang kuat antara variabel lanskap dan pengetahuan seseorang mengenai lanskap tersebut (Nasar 1988). Keindahan pemandangan adalah suatu konsep yang interaktif karena sebagian besar ditentukan oleh penilaian manusia, karena kualitas estetika dari suatu ruang merupakan hasil dari kombinasi penampilan lanskap itu sendiri dengan proses psikologis (tanggapan, pemahaman, dan emosi) dari pengamat lanskap tersebut (Daniel dan Boster 1976). Pendugaan keindahan merupakan salah satu cara untuk menentukan kualitas suatu lanskap. Pendugaan keindahan lanskap menggunakan metode SBE meliputi 3 langkah, yaitu mempresentasikan lanskap dengan menggunakan slide foto, mempresentasikan silde terhadap responden, dan mengevaluasi penilaian slide dari responden. Lanskap
dipresentasikan
dalam
bentuk
foto
dengan
melakukan
pemotretan. Slide foto kemudian dipresentasikan kepada responden untuk memperoleh
penilaian
responden
terhadap
lanskap.
Slide
foto
yang
dipresentasikan disusun secara acak. Responden yang dipilih adalah mahasiswa karena mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat yang dianggap kritis dan peduli terhadap lingkungan, serta jumlah responden antara 20-30 sudah dianggap mewakili. Kuisioner dibagikan kepada responden dan selanjutnya diberikan penjelasan mengenai penilaian terhadap kondisi kawasan. Selama presentasi, slide diputar satu-persatu dengan durasi waktu penyajian 7-10 detik untuk masing-masing slide. Responden menilai setiap slide dengan skala 1-10 yang menggambarkan kualitas pemandangan dari paling rendah sampai paling tinggi (Daniel dan Boster 1976). Setelah semua hasil kuisioner terkumpul dilakukan analisis data untuk mendapatkan nilai kualitas pemandangan (SBE). Nilai SBE menggambarkan kualitas pemandangan lanskap mulai dari paling tinggi hingga paling rendah yang relatif terhadap lanskap standar. Lanskap yang digunakan sebagai standar adalah lanskap yang memiliki nilai z mendekati nol dan nilai SBE-nya nol. Data untuk setiap lanskap dikelompokkan berdasarkan rangking penilaian 1-10, untuk setiap rangking dihitung jumlah frekuensi, frekuensi kumulatif, dan nilai z
21
berdasarkan tabel. Dengan data ini selanjutnya dihitung nilai z rata-rata untuk setiap lanskap. Dari keseluruhan z untuk tiap titik ditentukan satu nilai z dari titik sebagai standar untuk penghitungan nilai SBE (Daniel dan Boster 1976). Dari nilai SBE untuk setiap lanskap yang diperoleh lalu ditentukan kualitas keindahannya, selanjutnya lanskap dapat dikelompokkan menjadi lanskap yang memiliki kualitas pemandangan tinggi, sedang, dan rendah.
Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical hierarchy process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty tahun 1970, seorang ahli matematika. Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut ke dalam bagian-bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel, dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Metode ini dimaksudkan untuk mengorganisasikan informasi dan berbagai keputusan secara rasional (judgement) agar dapat memilih alternatif yang paling disukai. Metode ini dimaksudkan untuk membantu masalah kualitatif yang kompleks
dengan
memakai
perhitungan
kuantitatif,
melalui
proses
pengekspresian masalah dimaksud dalam kerangka berpikir yang terorganisasi, sehingga dimungkinkan dilakukannya proses pengambilan keputusan secara efektif.
Metode
ini
memiliki
keunggulan
tertentu
karena
mampu
menyederhanakan persoalan yang kompleks menjadi persoalan yang terstruktur sehingga mendorong dipercepatnya proses pengambilan keputusan terkait. Untuk mengolah data dengan metode AHP ini dapat dilakukan dengan aplikasi perangkat lunak CDP V3.04 dan Expert Choice (Eriyatno dan Sofyar 2007). AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, yang dengannya pengambil keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan. Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hierarki kriteria, pihak yang berkepentingan, dan hasil dengan
22
menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas. Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat (Saaty 1991). AHP membuat para pembuat keputusan untuk mendapatkan skala prioritas atau pertimbangan dari pengalaman, pandangan, intuisi, dan data asli. Dalam menjalankannya, AHP tidak hanya mendukung pembuat keputusan untuk menyusun kerumitan dan melatih penilaian, tetapi membuat pertimbangan subjektif dan objektif dalam menganalisis keputusan. Beberapa ide dasar kerja dari AHP adalah sebagai berikut. 1) Penyusunan hierarki Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki. 2) Penilaian kriteria dan alternatif Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1993), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. 3) Penentuan prioritas Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan, nilai-nilai perbandingan kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. 4) Konsistensi logis Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis, konsistensi memiliki dua makna, pertama adalah objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi, arti kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari nilai bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan “sama penting”, ini berarti bahwa nilai atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang “penting absolut” jika dibandingkan dengan yang lainnya. Skala Saaty dapat dilihat pada Tabel 1.
23
Tabel 1 Skala banding secara berpasangan (Saaty 1993) Tingkat Kepentingan
Definisi
Penjelasan
1
Kedua elemen sama penting
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lain
Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen jika dibandingkan dengan elemen yang lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibandingkan dengan elemen yang lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya
Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktik
9
Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lainnya
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangakan yang berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara dua pilihan
Keterangan: Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i