32
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteritik Ekosistem Lahan Gambut Lahan gambut berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat diatasnya terbentuk di daerah yang topografinya rendah dan bercurah hujan tinggi atau di daerah yang suhunya rendah. Tanah gambut mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi (> 12% carbon) dan kedalaman gambut minimum 50 cm. Tanah gambut diklasifikasikan sebagai Histosol dalam sistem klasifikasi FAO yaitu yang mengandung bahan organik lebih tinggi dari 30 %, dalam lapisan setebal 40 cm atau lebih pada bagian 80 cm teratas profil tanah (Rina et al. 2008). Gambut merupakan sumberdaya alam yang banyak memiliki kegunaan antara lain untuk budidaya tanaman pertanian maupun kehutanan dan akuakultur. Selain itu, dapat digunakan untuk bahan bakar, media pembibitan, ameliorasi tanah dan untuk menyerap zat pencemar lingkungan. Menurut Radjagukguk (2003) lahan gambut tropika yang terdapat di Indonesia dicirikan oleh antara lain : (1) biodiversitas (keragaman hayati) yang khas dengan kekayaan keragaman flora dan fauna; (2) fungsi hidrologisnya, yakni dapat menyimpan air tawar dalam jumlah yang sangat besar, dimana 1 juta lahan gambut tropika setebal 2 m ditaksir dapat menyimpan 1,2 juta m3; (3) sifatnya yang rapuh (fragile) karena dengan pembukaan lahan dan drainase (reklamasi) akan mengalami penurunan muka tanah (subsidence), percepatan peruraian dan resiko pengerutan tak balik (irreversible drying) serta rentan terhadap bahaya erosi; (4) sifatnya yang praktis tidak terbarukan karena membutuhkan waktu 5000 - 10.000 tahun untuk pembentukannya sampai mencapai ketebalan maksimum sekitar 20 m, sehingga taksiran laju penurunannya adalah 1 cm dalam 5 tahun di bawah vegetasi hutan; (5) bentuk lahan dan sifat-sifat tanahnya yang khas, yakni lahannya berbentuk kubah keadaannya yang jenuh atau tergenang pada kondisi alamiah serta tanahnya mempunyai sifat-sifat fisika dan kimia yang sangat berbeda dengan tanah-tanah mineral. Hutan rawa gambut berfungsi sebagai pengatur tata air, dimana kubah gambut menjaga permukaan air bawah tanah dan mencegah intrusi air laut. Selain
33
itu, juga mengatur air pada lahan-lahan pertanian serta sumber air minum penduduk dan pemukiman sekitarnya. Pembangunan saluran drainase pada aktivitas perkebunan dapat menyebabkan gambut menjadi kering, teroksidasi dan menyusut yang mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah. Laju subsidensi dalam skenario paling konservatif sekitar 5 cm dalam 1 tahun. Subsidensi yang terjadi di dekat pantai merupakan ancaman serius dari intrusi air laut yang mengancam produktivitas pertanian, termasuk perkebunan kelapa sawit itu sendiri (Brady, 1997; Hooijer et al. 2006; Wosten dan Ritzema, 2002). Lahan gambut terdiri 3 jenis yaitu gambut dangkal dengan lapisan < 50 cm, gambut sedang dengan tebal lapisan 50 – 100 cm dan gambut dalam dengan lapisan > 200 cm. Lahan gambut mempunyai sifat marginal dan rapuh, maka dalam pengembangannya dalam skala luas perlu kehati-hatian. Kesalahan dalam reklamasi dan pengelolaan lahan mengakibatkan rusaknya lahan dan lingkungan (Widjaja et al. 1992). Lahan gambut yang terlantar akibat kebakaran sehingga tidak bisa ditanami memiliki permukaan lahan yang tidak rata. Topografi lahan juga dipengaruhi oleh besarnya penurunan muka tanah dari gambut akibat kebakaran dan intensifikasi pengelolaan. Dradjat et al. (1986) diacu dalam Rina et al. (2008) melaporkan laju penurunan muka tanah dalam 1 bulan mencapai 0,36 cm selama 12-21 bulan setelah reklamasi di Barambai (Kalimantan Selatan). Sedangkan untuk gambut saprik di Talio (Kalimantan Tengah) laju subsiden setiap bulan mencapai 0,178 cm dan gambut hemik 0,9 cm bulan. Demikian juga pada lokasi yang sama penurunan muka tanah di Desa Babat Raya dan Kolam Kanan Kecamatan Barambai Kalimantan Selatan mencapai antara 75-100 cm dalam masa 18 tahun (April 1978 - September 1996) (Noorginayuwati et al.1996 diacu dalam Rina et al. 2008). Terjadinya penurunan muka tanah disebabkan oleh pengeringan yang berlebihan, kebakaran atau pembakaran, intensifikasi pemanfaatan dan upaya konservasi yang kurang memadai. Oleh karena itu untuk pemanfaatan lahan gambut perlu disesuaikan dengan tipe hidrologi lahan gambut. Pola pemanfaatan lahan yang sesuai dengan setiap tipologi dan tipe luapan air yang dianjurkan untuk lahan gambut disajikan pada Tabel 2.
34
Tabel 2. Penataan dan pola pemanfaatan lahan yang dianjurkan pada setiap tipologi lahan bergambut. Tipologi Lahan Kode Tipologi SMP G0 G1 G2 G3-4 D
Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut Bergambut G. Dangkal G. Sedang G. Dalam Dome Gambut
A
Tipe Luapan Air B C
D
-
Sawah
Sawah
Sawah
Sawah Sawah -
Sawah Sawah Konservasi Konservasi Konservasi
Tegalan Tegalan Kebun Kebun Konservasi
Tegalan Tegalan Kebun Kebun Konservasi
Sumber : Rina et al. 2008 SMP = Sulfat Masam Potensial; G = gambut; D = Dome (kubah gambut)
Salah satu upaya dapat dilaksanakan untuk memanfaatkan lahan gambut dan mengurangi resiko terjadinya
kebakaran di lahan gambut adalah
memperpendek masa bera. Pengaturan pola tanam dan pola usaha tani merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan intensitas pertanaman dan memperpendek masa bera. Lahan gambut tropis adalah komponen penting dari siklus karbon global dan menjadi perhatian penting bagi The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Lahan gambut menyimpan sekitar 2150 sampai 2875 t C ha-1 dengan laju penyerapan sebesar 0,01-0,03 Gt C tahun-1 (Maltby dan Immirzi, 1993). Lahan gambut juga mempunyai peran penting dalam fungsi penting sebagai daerah tangkapan air, sistem kontrol, pengatur fluktuasi air, pencegah banjir dan pencegah terjadinya penggaraman air (saline water intrusion). Selain itu, lahan gambut air tawar di Indonesia merupakan tempat yang baik untuk berkembangbiak dan penghasil ikan (MacKinnon et al. 2000). Kesuburan alamiah lahan gambut sangat beragam, tergantung pada beberapa faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi; (b) komposisi tanaman penyusun gambut; (c) tanah mineral yang berada di bawah lapisan tanah gambut. Gambut digolongkan ke dalam tiga tingkat kesuburan yang didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O dan kadar abu yaitu : (1) gambut eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi; (2) gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan yang sedang; (3) gambut oligotrofik dengan tingkat kesuburan yang rendah (Andriesse, 1974; Polak 1949 diacu dalam Hartatik
dan
35
Suriadikarta. 2003). Kandungan hara pada masing-masing tingkat kesuburan lahan gambut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambut Tingkat kesuburan Eutrofik Mesotrofik Oligotrofik
Kandungan P2O5 CaO K2 O Abu (%) ………….. % bobot kering gambut ………………….. > 0,25 >4 > 0,1 > 10 0,20-0,25 1-4 0,1 5-10 0,05-0,20 0,25-1 0,03-0,1 2-5
Sumber : Polak, 1949 diacu dalam Hartatik dan Suriadikarta, 2003
Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat. Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (–COOH) dan fenol (C6H4OH) yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak. Diperkirakan bahwa 85 % sampai 95% muatan pada bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut (Andriesse, 1974; Miller dan Donahue, 1990 diacu dalam Rina et al. 1996). Tingkat dekomposisi gambut dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme heterotrofik, dimana pada gambut oligotrofik banyak menghasilkan asam karboksilat. Tingkat kematangan gambut sangat mempengaruhi sensitivitas mikroorganisme heterotrofik terutama pada tingkat kematangan gambut eutrofik (Wright et al. 2009). 2.2. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal Pengembangan pertanian di lahan gambut trofik dihadapkan pada beberapa masalah biofisik antara lain : (1) lahan gambut sebagian besar terhampar di atas lapisan pirit yang mempunyai potensi keasaman tinggi dan pencemaran dari hasil oksidasi seperti Al, Fe dan asam organik lainnya; (2) lahan gambut cepat mengalami perubahan lingkungan fisik setelah direklamasi antara lain menjadi kering tidak balik, berubah sifat menjadi hidrofob dan terjadi subsidence (penurunan muka tanah); (3) lahan gambut mudah dan cepat mengalami degradasi kesuburan karena kehilangan unsur hara malalui pencucian oleh aliran
36
permukaan; (4) kawasan gambut merupakan lingkungan yang mempunyai potensi jangkitan penyakit (virulensi) tinggi. Perkembangan organisme pengganggu tanaman (gulma, hama dan penyakit tanaman) dan gangguan kesehatan manusia (malaria, cacing) cukup tinggi (Noor, 2001). Dalam kurun waktu sejak dibukanya atau dimanfaatkannya lahan oleh petani menunjukkan terjadinya perubahan agrofisik lahan, terutama ketebalan gambut dari lahan yang diusahakan (Rina et al. 1996). Hasil pengamatan terhadap karakteristik dan perubahan agrofisik lahan usaha tani pada rawa gambut di beberapa daerah disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik dan perubahan kondisi agrofisik pada lahan gambut. Lokasi Kondisi Agrofisik
Pinang Habang
Tahun Buka/ditempati 1976 Tebal Lapisan Gambut Awal (cm) 50 -100 Tebal Lapisan Gambut 1996 (cm) 5 - 20 Kedalaman Lapisan Pirit (cm) pH Tanah 4,4 Kadar Fe (ppm) -
Surya Kanta
Gandaria
Kantan Atas
1981 100 - 150 25 - 50 50 - 60 4,4 10 -25
1927 50 - 100 5 - 20 3,5 3-5
1982 100 - 150 25 - 50 80 - 110 3,8 5 - 10
Sumber : Rina et al. 1996
Permasalahan sosial ekonomi juga banyak terjadi disekitar lingkungan perkebunan, terutama perkebunan negara dan swasta nasional. Konflik sosial yang muncul umumnya berkaitan dengan kepemilikan lahan karena adanya perubahan luasan dan status kepemilikan lahan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan penguasaan lahan, hilangnya kearifan lokal dan budaya setempat (Setyarso dan Wulandari, 2002). Pengelolaan yang bersifat integratif diperlukan untuk menghindari munculnya permasalahan konflik sosial, sehingga diperlukan model pengelolaan yang memperhatikan berbagai aspek pada karakteristik sumberdaya lokal yang berpengaruh terhadap lahan gambut tersebut. Berbagai karakteristik sumberdaya lokal yang mempengaruhi pengelolaan lahan gambut meliputi antara lain :
37
1. Karakteristik biofisik lahan gambut
Aspek biofisik lahan gambut yang harus dipertimbangkan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit meliputi kondisi fisiografi lahan (tipe luapan), kedalaman, tingkat kematangan, lapisan sub stratum gambut. Aspek biologi meliputi biomassa, biodiversitas dan habitat flora dan fauna dengan nilai konservasi tinggi. Perbedaan tipe luapan di atas memberikan konsekuensi diperlukannya sistem penataan air dan penggunaan lahan atau pola tanam yang spesifik sesuai dengan kondisi biofisik lingkungan, termasuk kemampuan masyarakatnya. 2. Karakteristik sosial ekonomi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat menjadi pertimbangan dalam pembukaan lahan gambut. Aspek kelembagaan petani merupakan faktor penentu dalam keberhasilan pengembangan usaha pertanian di wilayah pedesaan. Penguatan kelembagaan petani melalui kelompok tani atau gapoktan membentuk kerjasama yang kuat sesama petani seperti dalam pengelolaan air, pengendalian hama tanaman, pengendalian kebakaran dan pemasaran.
Kelembagaan
eksternal
usaha
tani
seperti
pelayanan
penyuluhan, koperasi, pengadaan sarana dan prasarana produksi (pupuk, pestisida, alsintan,
dsb), pelayanan peminjaman modal, pelayanan
pemasaran merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan usaha pertanian lahan gambut (Noor, 2011). 3. Pengetahuan dan keterampilan masyarakat.
Pengetahuan dan keterampilan tradisional
masyarakat
mengandung
sejumlah besar data empirik potensial yang berhubungan dengan fakta, proses dan fenomena perubahan lingkungan pada lahan gambut. Hal ini membawa implikasi bahwa pengetahuan tradisional dapat memberikan gambaran
informasi
yang berguna
bagi
perencanaan dan
proses
pembangunan perkebunan kelapa sawit. Keyakinan tradisional dipandang sebagai sumber informasi empirik dan pengetahuan penting yang dapat ditingkatkan dan saling melengkapi dalam memperkaya keseluruhan pemahaman
ilmiah
(Rambo,1984;
Noorginayuwati et al. 2008).
Lovelace,
1984
diacu
dalam
38
Pembangunan perkebunan hendaknya dapat menjaga nilai-nilai sosial yang terdapat di masyarakat seperti kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilainilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari (UU No.32 Tahun 2009). Aspek kelembagaan merupakan faktor penting dalam pembangunan pertanian termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Salah satu model kelembagaan adalah induced innovation model yang menjelaskan adanya keterkaitan beberapa faktor antara lain : (1) resource endowment; (2) cultural endowment; (3) technology; (4) institution. Dari model ini dapat dikembangkan bahwa proses produksi dapat dirubah untuk memungkinkan anggota masyarakat dapat memanfaatkan peluang produksi dan peluang pasar sebaik-baiknya. Perubahan kelembagaan dalam pembangunan pertanian seperti perubahan penguasaan lahan komunal menjadi lahan individual serta modernisasi hubunganhubungan yang ada dalam sistem penguasaan lahan (Taryoto, 1995). Konsep pemberdayaan dibangun dari kerangka logik sebagai berikut bahwa : (1) proses pemusatan kekuasaan yang berawal dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja yang lemah dan masyarakat pemilik faktor produksi yang kuat; (3) kekuasaan akan menata sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tidak berdaya. Kondisi ini menciptakan adanya dikotomi yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi tersebut, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (Wiranto, 2001). Menurut Haeruman (2000) diacu dalam Wiranto (2001) strategi utama dalam pemberdayaan masyarakat adalah : (1) memperkuat lembaga dan organisasi masyarakat dengan membuka ruang yang seluas-luasnya bagi inisiatif masyarakat; (2) mengurangi berbagai aturan yang menghambat; (3) mengembangkan budaya kemandirian, keswadayaan dan kesetiakawanan; (4) mengembangkan jaringan kerja sumberdaya, lingkungan alam dan sosial budaya setempat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat.
39
Keterlibatan dunia usaha untuk mengatasi permasalahan menjadi awal yang baik untuk memelihara hubungan sosial dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan suatu kelembagaan agar kemitraan antara dunia usaha, pemerintah dan masyarakat dapat terjalin dengan baik. Program pengembangan masyarakat (comunity development) dan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bentuk kemitraan yang harus ditingkatkan keberadaannya. Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) adalah keinginan, kemampuan dan komitmen dunia usaha untuk membantu pemerintah menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan atau memecahkan masalah sosial atas dasar inisiatif sendiri (Dirjen Pemberdayaan Sosial, 2007). Penerapan pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal sangat penting. Hal ini disebabkan lahan gambut merupakan salah satu lahan yang potensial dikembangkan dimasa yang akan datang. Menurut Sabiham (2007) menyatakan beberapa kunci pokok penggunaan lahan gambut berkelanjutan : (1) legal aspek yang mendukung pengelolaan lahan gambut; (2) penataan ruang berdasarkan satuan sistem hidrologi; (3) pengelolaan air yang memadai sesuai tipe luapan
dan
hidrotopografi;
(4)
pendekatan
pengembangan
berdasarkan
karakteristik tanah mineral di bawah lapisan gambut; (5) peningkatan stabilitas dan penurunan sifat toksik bahan gambut. Selain itu, dalam pengelolaan lahan gambut harus didukung dengan teknologi budidaya spesifik lokasi dan ketersediaan lembaga pendukung. Sistem usaha tani lahan rawa menurut Suprihatno et al. (1999) hendaknya didasarkan kepada sistem usaha tani terpadu yang bertitik tolak kepada pemanfaatan hubungan sinergis antar subsistem agar pengembangannya tetap menjamin kelestarian sumberdaya alam. Secara garis besar ada dua sistem usaha tani terpadu yang cocok dikembangkan di lahan rawa, yaitu sistem usaha tani berbasis tanaman pangan dan sistem usaha tani berbasis komoditas andalan. Sistem usaha tani berbasis tanaman pangan ditujukan untuk menjamin keamanan pangan petani. Sedangkan sistem usaha-tani berbasis komoditas andalan dapat dikembangkan dalam skala luas dalam perspektif pengembangan sistem dan usaha agribisnis.
40
Konservasi lahan dalam sistem usaha tani berhubungan dengan persepsi petani dan kondisi serta situasi usaha tani (Subagyo et al. 1996). Menurut Fisher (1986) prilaku petani ditentukan oleh hasil dari permasalahan yang dihadapi dalam melakukan usaha pertanian di lahan gambut. Kendala usaha pertanian di lahan gambut meliputi aspek agrofisik lahan dengan daya dukung yang rendah, aspek lingkungan dengan tingkat pencemaran dan pemasaman dari kemungkinan teroksidasinya pirit cukup tinggi, termasuk teknologi budidaya yang diterapkan, aspek sosial ekonomi petani yang kurang mendukung (Susanto, 2008; Sumawijaya et al. 2006). Pengelolaan sumberdaya alam memerlukan pengembangan konsep yang bersifat interdisiplin dan interaktif. Pendekatan berpikir sistem dapat memberikan informasi yang lebih baik bagi pengelola atau pemegang kebijakan untuk mempelajari kompleksitas. Metode berpikir sistem menyediakan pengetahuan tentang sebuah mekanisme untuk membantu pengelola sumberdaya dan pemegang kebijakan dalam mempelajari hubungan sebab dan akibat dari proses yang berlangsung, mengidentifikasi permasalahan utama dan mendefinisikan tujuan yang ingin dicapai (Gao et al. 2003) Bosch et al. (2003) diacu dalam Marimin (2004) menyatakan bahwa sistem sumberdaya alam bersifat kompleks dan dinamis. Berbagai perubahan berlangsung secara terus-menerus dan sulit untuk di prediksi. Pendekatan yang kolaboratif lintas disiplin merupakan kekuatan untuk menciptakan hubungan antara ilmu pengetahuan, sumberdaya alam, manajemen dan kebijakan. Gips (1986) diacu dalam Reijntjes et al. (1992) menyebutkan bahwa pertanian berkelanjutan harus memenuhi beberapa indikator antara lain : 1.
Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari manusia, tanaman, hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Hal itu akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan dan masyarakat dipertahankan melalui proses biologi (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui.
41
2.
Berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis dapat diukur dari produk usaha tani yang langsung namun juga dalam hal fungsi melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko.
3.
Adil, yang berarti sumberdaya alam dan kekuasaan di distribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam pengembilan keputusan, baik di lapangan maupun di masyarakat.
4.
Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar, seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara.
5.
Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus seperti pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan tekhnologi yang baru dan sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial dan budaya. Untuk mencapai perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan harus
memperhatikan komunitas yang terdapat pada lokasi tersebut. Pendekatan komunitas berkelanjutan (sustainable community) merupakan alternatif dalam menyelesaikan persoalan kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan dan kerusakan tata sosial lokal yang muncul dari pembaungunan yang dilaksanakan (Susan, 2009). Komunitas berkelanjutan dapat dikatakan sebagai kemandirian dan prestasi ekonomi
dengan
menciptakan
mekanisme
sosial
mengenai
pencapaian
kesejahteraan secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme dimana pemerintah bertanggung jawab dalam menciptakan struktur kondusif berkaitan dengan praktek ekonomi komunitas berkelanjutan. Sedangkan swasta
42
dan masyarakat sipil bertanggung jawab dalam dimensi peningkatan kapasitas kelembagaan komunitas.
2.3. Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut Agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia. Fokusnya adalah pada bentuk, dinamika dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana seluruh elemen terlibat (Reijntjes et al. 1992). Perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut sebagai suatu agroekosistem mempunyai ciri khas yang ditentukan oleh kondisi biofisik, sosioekonomi, budaya dan politik serta kondisi kerumahtanggaan petani. Agroekologi perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari usaha pertanian yang merupakan suatu sistem. Sistem dapat dikatakan sebagai kumpulan beberapa komponen atau unsur yang mempunyai keterkaitan dan mempunyai tujuan tertentu (Pramudya, 2006). Reijntjes et al. (1992) menyebutkan bahwa sistem
pertanian merupakan usaha tani yang dikelola berdasarkan kemampuan ligkungan fisik, biologis dan sosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki oleh petani. Pada hakekatnya lahan adalah sumberdaya alam yang harus dialokasikan untuk berbagai kegiatan kehidupan. Sifat sumberdaya lahan berdasar pada kenyataan bahwa lahan mempunyai tiga jenis nilai yaitu ricardiant rent (mencakup sifat kualitas dari tanah), locational rent (mencakup lokasi relatif dari tanah) dan environmental rent (mencakup sifat tanah sebagai suatu komponen utama dari ekosistem) (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Reijntjes et al. (1992) menyebutkan beberapa prinsip ekologi dalam sistem pertanian berkelanjutan adalah : (1) menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman, khsususnya dalam mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan dalam tanah; (2) mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur hara; (3) meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara dan air dengan cara pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi; (4) meminimalkan serangan hama dan penyakit tanaman melalui pencegahan dan perlakukan yang aman; (5) saling
43
melengkapi dan sinergi dalam menggunakan sumberdaya genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungsional yang tinggi. Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan mencakup 3 komponen utama yakni : (1) integritas lingkungan; (2) efisiensi ekonomi; (3) keadilan kesejahteraan (Kay dan Alder, 1999). Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) terdiri atas praktek-praktek ekologi (kebutuhan lingkungan dan didasarkan atas prinsip-prinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat, kesamaan sosial dan kesehatan, kesejahteraan penduduk) dan semangat ekonomi (ketahanan pangan, kelayakan ekonomi dan bernuansa teknologi). Pengertian dan pendekatan tersebut menunjukkan bahwa sistem pertanian berkelanjutan harus dapat memenuhi indikator dari berbagai aspek (Trupp, 1996). Indikator sistem pertanian berkelanjutan adalah pendapatan masyarakat petani yang cukup tinggi, tidak menimbulkan kerusakan dan dapat dikembangkan dengan sumberdaya yang dimiliki petani. Wosten et al. (2006) menyebutkan bahwa keberhasilan pengelolaan gambut trofis dilakukan dengan pengaturan tata air (hidrologi) yang dipadukan dengan peningkatan ekonomi rumah penduduk lokal dan penegakan hukum. Keberlanjutan sistem usaha tani bergantung pada 3 karakteristik utama, yaitu kemampuan untuk mengendalikan kehilangan tanah, efektifitas dalam meningkatkan pendapatan petani dan secara sosial agroteknologi yang digunakan harus dapat diterima dan dapat diterapkan (acceptable dan replicable) dengan sumberdaya yang ada, termasuk pengetahuan, keterampilan dan persepsi petani (Sinukaban, 2007). Selanjutnya Sabiham (2007) menyebutkan bahwa ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi jangka panjang, dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan, mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi. Pendapatan yang diperoleh petani harus dapat memenuhi kebutuhan hidup petani secara layak. Pendapatan yang tinggi dapat diperoleh jika produksi yang diperoleh dari usaha tani juga tinggi dan sangat bergantung pada sistem
44
pengelolahan lahan. Produksi tanaman akan optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman. Selain itu komoditi yang dipilih juga harus mempunyai nilai ekonomi tinggi dan sesuai dengan keinginan ataupun kebiasaan petani. Pertanian berkelanjutan harus pula di indikasikan dengan tidak terjadinya kerusakan lingkungan. Kondisi ini memerlukan teknologi tepat guna, kebijakan dan pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah (Adnyana, 2006; Suryanto, 1991). Keberhasilan budidaya suatu jenis komoditas tanaman sangat tergantung kepada kultivar tanaman yang ditanam, agroekologis/lingkungan tempat tumbuh tempat melakukan budidaya tanaman dan pengelolaan yang dilakukan oleh petani/pengusaha
tani.
Khusus
mengenai
lingkungan
tempat
tumbuh
(agroekologis), walaupun pada dasarnya untuk memenuhi persyaratan tumbuh suatu tanaman dapat direkayasa oleh manusia, namun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam rangka pengembangan suatu komoditas tanaman, pertama kali yang harus dilakukan mengetahui persyaratan tumbuh dari komoditas yang akan dikembangkan kemudian mencari wilayah yang mempunyai kondisi agroekologis yang relatif sesuai. Kartasasmita (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor kunci yang mempengaruhi perkembangan dan keberhasilan perkebunan kelapa sawit antara lain : (1) kemauan politik pemerintah (pusat dan daerah); (2) koordinasi dan sinkronisasi antar instansi pemerintah; (3) profesionalitas para pelaku di lapangan; (4) komitmen dari perbankan dalam pendanaan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sehingga pengembangan sistem perkebunan kelapa sawit agar memperhatikan pendidikan petani, dukungan empat faktor kunci tersebut dan memanfaatkan otonomi daerah.
Hasibuan (2005) menyebutkan
bahwa paradigma pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah pembangunan kemandirian lokal dengan ciri-ciri
: (1) pembangunan berorientasi terhadap
pemenuhan kebutuhan nyata masyarakat setempat (community oriented); (2) pembangunan
yang
didasarkan
pada
sumberdaya
masyarakat
setempat
(community based); (3) pengelolaan pembangunan oleh masyarakat setempat (community managed); (4) pendekatan pembangunan manusia : pemberdayaan
45
(empower), keadilan (equity), produktivitas (productivity) dan berkesinambungan (sustainable). Proses pembukaan lahan rawa gambut pada perusahaan perkebunan skala industri (6.000 ha) dilakukan dengan tahapan antara lain sebagai berikut : (1) pembukaan lahan
adalah proses pembukaan hutan,
umumnya
areal
perkebunan sebelumnya merupakan bekas hutan dan sebagian semak belukar. Sebelum dimulai proses pembukaan lahan terlebih dahulu dibuat peta orientasi untuk perencanaan tata ruang dan tata letak meliputi pembuatan jalan untuk pengukuran, sekaligus memeriksa keadaan topografi, sumber air dan contoh tanah; (2) pembuatan rintisan dengan membagi blok-blok seluas 50 ha. Pembagian tersebut sangat berguna untuk menentukan pancang penebangan dan pengawasan pekerjaan. Pembukaan lahan untuk lokasi penanaman kelapa sawit dilakukan dengan cara penebangan pohon dan pembabatan semak belukar. Bekas tebangan tersebut diletakan dan disusun sesuai jalur yang telah direncanakan; (3) agar areal dapat dijangkau terlebih dahulu dibuat jalan rintis sekaligus dikaitkan dengan mengimas. Perkebunan kelapa sawit umumnya memerlukan kedalaman drainase (muka air tanah) setidaknya 50-80 cm, sebagai syarat penanaman kelapa sawit (Agus dan Subiksa, 2008). Untuk itu, dibangun saluran (drainase) untuk menurunkan muka air gambut di seluruh areal perkebunan. Turunnya permukaan air tanah akan menyebabkan gambut kering, proses ini akan menyebabkan oksidasi gambut dan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa jika permukaan air tanah gambut turun sebesar 80 cm menghasilkan emisi 20 ton C ha -1 th -1 (Hooijer et al. 2006).