II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ekosistem Mangrove Definisi mangrove telah
banyak dilaporkan oleh para ahli, antara lain
Macnae (1968); Chapman (1976); Lear & Turner (1977) ; Steenis (1978); Odum (1982); Kusmana (2002) ; Soerianegara & Indrawan (1982) ; Saenger (1983); Tomlinson (1986) ; Nybakken (1988). Mangrove digunakan untuk menunjukkan tumbuhan golongan pohon dan semak yang telah mengembangkan adaptasi pada lingkungan pasang surut air laut (intertidal). Mangrove merupakan hutan dengan pohon-pohon yang selalu hijau, toleran terhadap kadar garam tinggi, tumbuh subur pada pantai yang terlindung dari hempasan ombak besar, muara-muara sungai, dan delta pada negara-negara tropis dan sub tropis. Steenis (1978) berpendapat bahwa, mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut. Menurut Saenger et al. (1983) yang dimaksud dengan sumberdaya mangrove adalah : ( 1 ). Satu atau lebih tumbuhan khas mangrove (exclusive mangrove) yang hanya tumbuh di habitat mangrove, (2). Satu atau lebih tumbuhan yang berasosiasi dengan tumbuhan khas mangrove, tetapi tumbuhan tersebut hidupnya tidak terbatas di mangrove, (3). Biota (hewan) darat dan
laut yang berasosiasi dengan habitat mangrove, dan (4). Berbagai
proses esensial yang berperan penting dalarn memelihara kelestarian fungsi hutan mangrove. Nybakken (1988) menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Kusmana (2002) mendefinisikan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas di daerah pasang surut. Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas genangan pada saat pasang rendah. Hutan mangrove biasa juga dikenal dengan sebutan hutan pantai (coastal woodland ), hutan pasang surut (tidal forest), dan hutan bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat di daerah tropika dan sub tropika.
8
Ekosistem mangrove telah banyak dikaji oleh para ilmuwan (misalnya : Field 1995; Spalding et al. 1997; Dahdouh-Guebas et al. 2001). Vegetasi mangrove telah mengembangkan pola adaptasi secara morfologi dan fisiologi untuk hidup pada daerah pasang surut (intertidal). Pola adaptasi
yang
dikembangkan oleh vegetasi mangrove terhadap lingkungan pasang surut, yang mudah dikenali
adalah sistem akar udara. Fungsi utamanya adalah untuk
pertukaran gas, memperkokoh tegaknya batang pada daerah lumpur dan penyerapan unsur hara. Terdapat perbedaan struktur akar napas antar jenis yang berbeda. Misalnya akar udara pada Avicennia spp, akar pancang pada Sonneratia spp, akar lutut pada Bruguiera spp, akar papan pada Xylocarpus spp, dan akar tunjang pada Rhizophora spp (Tomlinson 1986). Adaptasi terhadap kadar garam yang berlebih dalam tubuh vegetasi mangrove, merupakan hal penting bagi beberapa jenis agar tetap eksis pada lingkungan salin. Spesies Avicennia spp, Aegiceras spp dan Aegialitis spp, menghilangkan kelebihan kadar garam melalui kelenjar pengeluaran (excretion glands) FAO (2007).
Untuk meningkatkan perkembangbiakan secara alami,
beberapa spesies mangrove telah mengembangkan sistem reproduksi yang sangat efisien. Pada familia Rhizophoracea, misalya Rhizophora spp, Bruguiera spp dan Ceriops spp mempunyai mekanisme adaptasi dengan karakter biji (propagul) bersifat vivipary, yaitu biji telah berkecambah dan berkembang ketika buah masih menempel pada pohon induk, atau dapat dipadankan sebagai tumbuhan yang melahirkan. Pada marga lain, misalnya Aegiceras, Avicennia, dan Nypa bersifat cryptovivipary (Barik et al. 1996) B. Fungsi Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove memiliki sejumlah fungsi penting, baik dalam skala lokal maupun nasional. Banyak nelayan, petani dan penduduk pedesaan hidupnya bergantung pada ekosistem mangrove, untuk memenuhi berbagai keperluan, baik berupa produk kayu (misalnya kayu bangunan, kayu bakar, dan arang kayu), maupun
hasil non-kayu (seperti bahan makanan, atap rumah, pakan ternak,
alkohol, gula, obat-obatan dan madu). Mangrove dapat juga
dimanfaatkan
sebagai sumber penghasil tannin (FAO 1994). Nilai ekonomi hutan mangrove di
Teluk Kotania Provinsi Maluku, pada tahun 1999 mencapai Rp. 64,8 milyar atau Rp. 60,9 Juta/ha, (Supriadi & Wouthuyzen 2005). Ekosistem mangrove mendukung konservasi keanekaragaman hayati, dengan menyediakan tempat tinggal, tempat berkembang biak, tempat pengasuhan anak dan tempat mencari makan berbagai jenis hewan. Termasuk beberapa golongan hewan yang terancam kepunahan, mulai dari golongan reptil, amphibi, aves, dan mamalia. Ekosistem mangrove dapat juga melindungi ekosistem terumbu karang (coral reefs), dan padang lamun (sea grass) ( FAO 2007 ). Fungsi penting lain dari ekosistem mangrove adalah kedudukan ekosistem mangrove sebagai mata rantai yang menghubungkan ekosistem laut dan darat. Hutan mangrove menghasilkan bahan organik dalam jumlah besar, terutama bentuk seresah. Seresah mangrove merupakan sumber bahan organik penting dalam rantai makanan di dalam hutan mangrove. Seresah tersebut akan mengalami dekomposisi akibat aktifitas mikroorganisme. Hasil dekomposisi ini akan menjadi sumber nutrisi fitoplankton dalam kedudukannya sebagai produsen primer, dan kemudian zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energi utama, dalam kedudukakannya sebagai konsumen primer. Zooplankton akan dimakan oleh crustaceae dan ikan-ikan kecil, selanjutnya jenis-jenis ini merupakan sumber energi bagi tingkat yang lebih tinggi dalam rantai makanan. Bahan organik yang dihasilkan oleh hutan mangrove, akan memberikan sumbangan pada rantai makanan di perairan pantai dekat hutan mangrove, sehingga perairan pantai disekitar hutan mangrove mempunyai produktivitas yang tinggi (Lear & Turner, 1977). Berbagai jenis ikan baik yang komersial maupun non-komersial juga bergantung pada keberadaan ekosistem mangrove (FAO 2007). C. Distribusi dan Komposisi Mangrove Distribusi jenis vegetasi mangrove secara umum telah dikaji oleh beberapa penulis (misalnya : Tomlinson 1986; Ellison et al. 1999). Ekosistem mangrove umumnya tumbuh subur di daerah tropik dan sub tropik. Penyebaran geografi mangrove dapat dibagi menjadi dua daerah utama, yaitu kelompok belahan bumi bagian barat dan belahan bumi bagian timur. Kelompok belahan bumi bagian
10
barat terdiri dari; wilayah Afrika-Amerika, meliputi; pantai lautan Atlantik, pantai lautan Pasifik dan kepulauan Galapagos. Belahan bumi timur meliputi ; Afrika Timur, Laut Merah, India, Asia Tenggara, Jepang selatan, Australia, Selandia Baru, dan Kepulauan Pasifik Selatan. Sekitar 80% dari mangrove yang ada, ditemukan di wilayah Indo-Pasifik (Mastaller 1997). Luas hutan mangrove Indonesia berkisar antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha) (Spalding et al. 1997). Areal mangrove yang luas di Indonesia terutama terdapat di pantai timur Sumatra, dan pantai barat dan selatan Kalimantan, serta Papua. Ekosistem mangrove yang masih baik ditemukan di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia (Noor et al. 1999). Di Sulawesi Tenggara luas hutan mangrove sekitar 54.259 ha, yang tersebar di Kabupaten Kendari, 16,750 ha, Kolaka 8,000 ha, Muna 16,600 ha, dan Kabupaten Buton 12,900 ha (Anonim 2000). Hasil analisis Citra Landsat ETN 7 2008 dan data lapangan pada saat penelitian ini dilakukan, luas hutan mangrove di Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sekitar 1.046,126 ha. Komposisi spesies mangrove relatif terbatas, apabila dibandingkan dengan tumbuhan pada hutan hujan tropis. Jumlah spesies mangrove yang pasti masih terdapat perbedaan diantara para ahli, Tercatat 50 sampai 70 spesies menurut klasifikasi yang berbeda (misalnya:Tomlinson 1986; Saenger et al. 1983; Lugo & Snedaker 1975; Aksornkoae et al. 1992), dengan keanekargaman yang tertinggi ditemukan di Asia. Di Indonesia komposisi spesies mangrove berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Kusmana (1993) melaporkan
di Kalimantan Timur
ditemukan 8 spesies, di Teluk Bintuni Irian Jaya 12 spesies (Kusmana et al. 1997), di
Delta Tampina Kabupaten Luwu Sulawesi
spesies (Mustafa & Prawitosari, 1990), dan di
Pantai
Selatan ditemukan 10 Lanowulu
Sulawesi
Tenggara ditemukan 9 spesies (Jamili 2005) Meskipun komposisi jenis mangrove berbeda antara berbagai tempat, tetapi secara umum spesies yang menyusun komunitas mangrove terdiri atas : (1) Pohon-pohon yang termasuk dalam marga/genus Rhizophora spp, Bruguiera spp, Ceriops spp (familia Rhizophoraceae), Avicennia spp (familia Avicenniaceae),
Sonneratia spp (familia Sonneratiaceae), Xylocarpus spp (familia Meliaceae), Lumnitzera spp (familia Combretaceae), (2) Jenis-jenis perdu, seperti Aegialitis spp (familia Plumbaginaceae), dan Scyphipora sp (familia Rubiaceae), (3) golongan palm seperti Nipa frukticans dan golongan paku-pakuan, seperti Acrosticum sp. Golongan liana yang umum ditemukan di komunitas mangrove adalah Derris heptaphyla (Chapman 1976). D. Struktur Vegetasi Tegakan Mangrove Struktur vegetasi merupakan organisasi individu di dalam ruang yang membentuk suatu tegakan. Dalam ekologi vegetasi sedikitnya ada 5 level struktur vegetasi, yaitu fisiognomi vegetasi, struktur biomasa, struktur life form, struktur floristik, dan struktur tegakan/stand . Suatu tegakan dapat dibedakan dari tegakan sekitarnya oleh komposisi, umur, struktur, tempat tumbuh atau geografi (Barbour et al. 1987). Dalam
kajian
struktur
tegakan
salah
satunya
bertujuan
untuk
menggambarkan jumlah individu tumbuhan menurut kelas ukuran pohon, biasanya mencakup tinggi dan diameter batang tiap spesies yang terdapat di dalam tegakan tersebut. Informasi distribusi diameter batang merupakan salah satu hal yang penting untuk menggambarkan keadaan suatu tegakan mangrove. Sebaran diameter batang pada suatu areal hutan berperan penting dalam hubungannya dengan kepentingan ekologi, dengan asumsi bahwa pertumbuhan umur suatu tumbuhan, akan diikuti pula dengan meningkatnya ukuran diameter batangnya, maka ukuran diameter batang dapat digunakan untuk memperkirakan umur suatu tumbuhan. Penyebaran berbagai kelompok umur dalam suatu populasi menentukan status reproduktif yang sedang berlangsung dan dapat digunakan untuk memprediksi gambaran populasi pada masa yang akan datang. Tahap perkembangan tumbuhan yang umum teramati dapat berlangsung sebagai berikut : biji yang dapat berkecambah (viable seed), semai (seedling), usia muda (juvenil), dewasa vegetatif (mature vegetatif), dewasa generatif (mature generatif), dan tua (senescent) Barbour et al. (1987). Daniel et al. (1979) membuat acuan klasifikasi tegakan berdasarkan kelas umur. Atas dasar ini tegakan secara umum
dibedakan
atas
tegakan
seumur dan tegakan tidak
seumur. Diantara bentuk tegakan seumur dan tidak seumur, terdapat bentuk-
12
bentuk lain, seperti bentuk berlapis, bentuk tidak teratur, dan tegakan cadangan. Tegakan seumur merupakan tegakan yang terdiri dari pohon yang sama, ditanam pada waktu yang sama atau dalam waktu yang bersamaan. Dalam bentuk model ini dapat diamati pula ciri-ciri yang dimiliki, yaitu tajuk yang seragam, kelas diameter yang terbanyak terdapat pada ukuran rata-rata. Tegakan tidak seumur secara teoritis, terdiri dari pohon-pohon pada segala tingkatan umur, mulai dari semai sampai usia tua. Ciri-ciri lain yang dapat diamati pada tegakan model ini adalah adanya tajuk yang terputus dan tidak seragam. Jumlah pohon yang tersebar berada dalam kelas diameter kecil. E. Zonasi Mangrove Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga kondisi lingkungan mangrove khas, kenyataan ini mungkin yang menyebabkan komposisi spesies mangrove relatif rendah, namun demikian kerapatan populasi masing-masing spesies
umumnya besar.
Walaupun habitat mangrove bersifat khusus, tetapi setiap spesies mempunyai kisaran ekologis tersendiri dan masing-masing spesies mempunyai relung (niche) yang khusus, sehingga menyebabkan terbentuknya berbagai macam zona (mintakat). Perkembangan mangrove dalam komunitas zona, seringkali diintepretasikan sebagai tingkat perbedaan dalam suksesi (perubahan secara progesif dalam komposisi spesies selama perkembangan vegetasi). Tumbuhan yang tumbuh mulai dari garis pantai menuju daratan membentuk perbedaan yang gradual. Tidak ada model zonasi mangrove yang berlaku secara universal (Nybakken 1998), tetapi skema umum mangrove untuk penggunaan secara luas pada daerah Indo-Pasifik dapat digunakan. Daerah yang menghadap ke laut dari mangrove pasifik sebagian besar didominasi oleh satu atau lebih spesies Avicennia spp. Bagian pinggir Avicennia spp biasanya cukup sempit dan umumnya berasosiasi dengan Sonneratia spp yang tumbuh pada daerah yang senantiasa basah. Dibelakang pinggiran Avicennia spp terdapat zona Rhizophora spp yang didominasi oleh satu atau lebih spsies Rhizophora spp. Zona berikutnya adalah Bruguiera spp dan zona terakhir merupakan zona Ceriops spp.
Lear & Tunner (1977) memberikan contoh zonasi di daerah Timur Australia, yang memiliki iklim yang cocok untuk pertumbuhan mangrove. Zonasi tersebut terdiri atas : 1. Landward zone (zona ke area darat). Zona ini sering dijumpai sebagai zona yang sempit, karena bercampur dengan tumbuhan darat. Kebanyakan spesies mangrove yang ditemukan pada zona ini adalah Exoecaria agallocha L., Lumnitzera littorae (Jack.) Voiigt., Lumnitzera rasemosa Wild., Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou., Ceriops. tagal (Perr.) C.B.Rob., Aegiceras corniculatum (L.) Blanco., Avicennia marina (Forsk) Vierh., dan Heritiera littoralis Drynand. 2. Zona Ceriops spp. Zona ini hampir seragam, dengan ketinggian hampir mencapai 5 m yang didominasi oleh Ceriops spp. Spesies ini merupakan zona yang paling lebar di daerah yang bercurah hujan sedang. Pada daerah Queensland zona ini diwakili oleh Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou. 3. Zona Bruguiera spp. Pada zona ini puncak kesuburannya di temukan di Australia Timur Laut. Zona ini didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. yang berasosiasi dengan Xylocarpus granatum Koenig., Xylocarpus australosicus dan Heritiera littoralis Drynand. 4. Zona Rhizophora spp. Zona ini sering terdiri dari Rhizophora stylosa Griff. yang terletak dibelakang seaward zone, pada kebanyakan komunitas mangrove di Australia. 5. Zeaward zone. Zona ini merupakan spesies pionir, umumnya didominasi oleh Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Selain spesies tersebut, Sonneratia spp juga merupakan spesies pionir dalam zona ini. Penjelasan tentang zonasi di atas merupakan pola yang berlaku pada suatu tempat, dan tidak semua mangrove memiliki pola zonasi yang sama untuk seluruh daerah. Habitat mangrove di Indonesia mempunyai kisaran variasi sifat fisik dan kimia yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain, maka diduga setiap daerah mempunyai pola zonasi yang berbeda. Setiap jenis mangrove menduduki mintakat yang cocok untuk pertumbuhannya. Penelitian di kawasan hutan mangrove milik Perhutani Jawa Tengah di Cilacap, diketahui bahwa pada lapisan terluar dicirikan oleh Avicennia alba
14
Blume. dan Sonneratia alba J. Sm. Lapisan kedua didominasi oleh Rhizophora mucronata
Lamk. yang disertai dengan Bruguiera sp. dan Aegiceras
corniculatum (L.) Blanco. Kemudian lapisan terakhir didominasi oleh Ficus sp, Carava sp., Exoecaria sp., dan Heritiera sp. (Marsono 1989). Jamili (1998) melaporkan bahwa pada komunitas magrove di Pantai Napabalano Sulawesi Tenggara, dapat dibedakan menjadi 4 zona, yaitu : 1. Zona Avicennia. Zona ini merupakan lapisan yang paling luar, yaitu daerah yang langsung berbatasan dengan laut, merupakan zona sempit dengan ketebalan sekitar 40 m. Pada zona ini jenis yang dominan adalah Avicennia marina (Forsk) Vier. yang berasosiasi dengan jenis Sonneratia alba J.SM. Kedua jenis tersebut merupakan jenis pionir pada endapan lumpur yang berasal dari sungai Lambiku. 2. Zona Rhizophora mucronata Lamk. Pada zona ini didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk dengan ketebalan sekitar 160 m. Walaupun pada zona ini didominasi oleh R. mucronata Lamk, tetapi bukan merupakan tegakan murni (pure stand). Spesies lain yang ditemukan pada zona ini antara lain R. apiculata Blume. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. dan Sonneratia alba J.Sm. 3. Zona Rhizophora apiculata Blume. Zona ini merupakan zona dengan ketebalan yang paling luas, dengan ketebalan 440 meter. R. apiculata Blume. mencapai puncak kesuburannya pada stand nomor 18 dan 19 (370-380 m) dari zona terluar ke arah darat. Pada kedua stand tersebut Rhizophora apiculata Blume merupakan tegakan murni (pure stand). 4. Zona Ceriops sp. Zona ini berkembang pada bagian paling belakang/arah darat (460 – 720 m) dari formasi terdepan. Ceriops umumnya berupa belukar dengan ketinggian yang hampir seragam, dengan rata-rata ukuran diameter batang relatif lebih rendah, apabila dibandingkan spesies lain yang menyusun tegakan pada kawasan ini. Tegakan pada zona ini diwakili oleh Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob. yang membentuk tegakan murni.
F. Regenerasi Vegetasi Mangrove Proses regenerasi pada hutan mangrove cukup unik, hal in sesuai keadaan lingkungannya yang khas yaitu berair dan berlumpur. Sehingga beberapa spesies mempunyai mekanisme adaptasi dengan karakter propagul maupun biji yang bervariasi, beberapa bersifat viviparous antara lain seperti Rhizophora, Avicennia dan Ceriops. Regenerasi pada hutan mangrove yang mengalami gangguan biasanya mengalami banyak kendala seperti ketiadaan benih maupun degradasi lingkungan. Hamilton & Snedakeer (1984) menyatakan bahwa masalah regenerasi alami harus mendapat perhatian karena beberapa
mengalami
kegagalan pada daerah tertentu. Hal ini disebabkan keberhasilan regenerasi alami sangat rendah, seperti di Matang Malaysia hanya 50%, dan bahkan di Sarawak Malaysia hanya berkisar 10%. Berkaitan dengan keberhasilan regenerasi ini, Barik et al. (1996) mengemukakan
bahwa keberhasilan regenerasi pohon didalam suatu hutan
ditentukan oleh kesuksesan menyelesaikan beberapa kejadian dalam siklus hidupnya, seperti produksi biji dan dispersal pada tempat yang sesuai, perkecambahan dan keluarnya kecambah, establishment dan pertumbuhan kedepan. Produksi biji dari pohon-pohon mungkin dibatasi oleh faktor-faktor ekstrinsik seperti ketersediaan sumberdaya, kegagalan polinasi, predasi pada bunga, buah dan daun, dan kondisi iklim, sampai dengan faktor intrinsik seperti umur, ukuran tumbuhan, dan konstituen genetiknya. Hong & San (1993)
menyatakan bahwa pertumbuhan mangrove
bergantung pada faktor-faktor seperti tekstur tanah, salinitas, luas pasang surut dan densitas pohon. Pertumbuhan ditemukan paling tinggi di tempat dengan salinitas 10 –20 ‰ dan pertumbuhan menurun pada tempat dengan salinitas 25-34 ‰. Selanjutnya dikatakan bahwa lama aliran pasang surut juga merupakan faktor yang penting yang mengatur pertumbuhan dan distribusi spesies mangrove. Sedangkan Aksornkae (1993) menyatakan bahwa pada hutan mangrove karakteristik fenologi meliputi; pembungaan, berbuah, propagul dewasa dan buah dewasa. Selanjutnya dikatakan bahwa, pertumbuhan diameter dan tinggi batang Rhizophora apiculata akan bertambah dengan bertambahnya umur, namun terjadi perbedaan dengan perbedaan lokasi dan kondisi lingkungan.
16
Produksi biji mangrove umumnya melimpah, dan secara normal tidak mempunyai masalah dengan regenerasi alami dari area yang dieksploitasi dan kecambah cukup eksis atau survive dari pemanenan (Hamilton & Snedakeer 1984). Pola produksi biji berbeda diantara populasi dari spesies yang sama yang teradaptasi pada mikrohabitat yang berbeda, dan individu-individu pohon dalam suatu populasi juga sangat berbeda dalam ukuran dan buah yang dihasilkan. Produksi biji diantara populasi juga berbeda karena perbedaan didalam jumlah individu yang berbuah dan jumlah biji yang dihasilkan per individu yang berproduksi (Barik et al. 1996). G. Faktor Lingkungan Vegetasi Mangrove Ekosistem
mangrove
merupakan
ekosistem
yang
spesifik,
karena
merupakan peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga faktorfaktor lingkungan ekosistem mangrove cukup kompleks, dan berbeda dengan faktor lingkungan pada ekosistem darat maupun ekosistem laut. Chapman (1976) mengemukakan bahwa ada 7 faktor yang dibutuhkan mangrove untuk dapat tumbuh dengan baik, yaitu : (1) Temperatur, perkembangan mangrove yang baik umumnya terdapat pada daerah yang beriklim tropika dan sub-tropika; (2) Arus laut yang tidak terlalu deras; (3) Perlindungan, mangrove akan tumbuh dengan baik pada wilayah yang memiliki perlindungan terhadap hempasan ombak yang keras; (4) Pantai dangkal; (5) Perairan asin, meskipun tidak menjadi syarat mutllak bagi pertumbuhan mangrove, perairan asin dapat dapat membantu perkembangan spesies mangrove tertentu; (6) Pasang-surut, pasang surut dapat membantu pemintakatan spesies mangrove tertentu;
(7) Substrat lumpur,
meskipun mangrove dapat tumbuh pada substrat berpasir, batu karang, dan gambut, namun pada umumnya mangrove sangat sesuai tumbuh pada substrat lumpur atau tanah berlumpur. Kemudian menurut Soekardjo (1993), ekosistem mangrove dapat tumbuh dengan baik apabila memenuhi 4 persyaratan, yaitu : (1) Temperatur, mangrove tumbuh dengan baik pada iklim tropika dan sub-tropika; (2) Curah hujan, mangrove tumbuh dengan baik dengan curah hujan sekitar 1.000 mm/thn; (3) Tempat tumbuh, mangrove hanya cocok di mintakat pesisir dan muara; (4) Tanah, mangrove dapat hidup pada tanah salinitas tinggi. Mangrove tumbuh subur di areal yang secara teratur disapu oleh pasang-surut dan sapuan air
tawar (fresh water seepage). Sapuan air tawar dibutuhkan untuk menghilangkan salinitas yang berlebihan. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa kondisi lingkungan yang mempengaruhi perkembangan ekosistem mangrove secara sederhana dapat dibedakan atas :
1. Salinitas Umumnya mangrove tumbuh pada daerah air asin atau payau. Steenis (1978) menyatakan bahwa spesies mangrove tidaklah mutlak tumbuh pada air asin atau payau. Sedangkan Lear & Turrner (1977) mengemukakan bahwa beberapa spesies mangrove dalam pertumbuhannya tidak memerlukan garam. Bruguiera sp dan Rhizophora sp dapat tumbuh dan berbunga di dalam plot, dengan menggunakan substrat pasir dan perlakukan air tawar. Mangrove kebanyakan
tergolong tumbuhan halophyte, yaitu tumbuhan
yang dapat beradaptasi terhadap salinitas tinggi. Chapman (1976) mengemukakan bahwa Rhizophora mucronata, R. apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, dan parviflora
B.
merupakan golongan halophytes obligat dan jenis Xylocarpus
granatum dan Nypa fructicans merupakan golongan halophytes fakultatif.
2. Pasang surut Faktor fisik yang sangat berpengaruh pada hutan mangrove salah satunya adalah pasang-surut. Pasang-surut adalah naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik selama interval waktu tertentu (Nybakken, 1988) Perbedaan jumlah pasang (air naik) dan surut (air turun) per hari dan ketinggiannya pada berbagai belahan bumi tidak sama. Pasang-surut yang terdiri atas satu pasang dan satu surut per hari disebut pasang -surut diurnal. Pasangsurut yang mempunyai dua pasang dan dua surut per hari disebut pasang- surut semidiurnal. Jika ada percampuran antara diurnal dan semi-diurnal disebut pasang-surut campuran. Ketinggian air pasang dan surut bervariasi dari hari ke hari (Nybakken 1988).
18
Adanya
pasang-surut
ini
menyebabkan
mangrove
secara
periodik
mengalami periode penggenangan (innudation). Watson (1928) membagi daerah genangan air pasang di semenanjung Malaya, menjadi 5 kelas, yaitu: a. Tempat yang digenangi oleh air pasang 56- 62 kali per bulan (all higt tides). Di tempat seperti ini jarang suatu jenis dapat hidup, kecuali Rhizophora mucronata yang tumbuh di tepi sungai. b. Tempat yang digenangi oleh air pasang 45-56 kali per bulan (medium higt tides). Di tempat ini tumbuh spesies Sonneratia dan Avicennia. Berbatasan dengan sungai R. mucronata merajai. c. Tempat yang digenangi oleh air pasang 20- 45 kali per bulan (normal higt tides). Tempat ini mencakup sebagian besar hutan mangrove yang ditumbuhi R. mucronata, R. apiculata, Ceriops tagal, dan Bruguiera parviflora. d. Tempat yang digenangi oleh air pasang 2-20 kali per bulan (spring tides). Di sini Rhizophora diganti oleh Bruguiera. Pada tempat berlumpur keras Bruguiera cylindrica membentuk tegakan murni dan di tempat yang drainasenya lebih baik tumbuh Bruguiera parviflora kadang-kadang Bruguiera sexangula. e. Tempat yang digenangi oleh air pasang 2 kali per bulan (exeptional higt tides). Disini Bruguiera gymnorrhiza berkembang dengan baik sering bersama- sama dengan tumbuhan paku dan kadang-kadang R. apiculata. Ke arah darat sering ditumbuhi oleh tegakan Oncosperma tigillaria. De Haan diacu dalam Chapman (1976) yang melakukan kajian di hutan mangrove Cilacap (Jawa Tengah), membagi kelas genangan menjadi 4 kelas, yaitu: a. Salinitas 10 - 30%o, tanah digenangi 1-2 kali sehari, atau sekurang-kurangnya 20 hari per bulan. Spesies Avicennia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak atau Rhizophora pada tanah yang agak lebih keras membentuk mintakat luar. b. Salinitas 10-30%o, tanah digenangi 10-9 hari per bulan. Bruguiera gymnorrhiza tumbuh baik dan tegakannya membentuk mintakat tengah.
c. Salinitas 10- 30%o, tanah digenangi 9 hari, atau sekurang-kurangnya 4 kali per bulan. Spesies Xylocarpus dan Heritiera berkembang disini dan membentuk mintakat ke tiga. d. Salinitas 10 - 30%o, tanah digenangi hanya beberapa hari saja per bulan. Spesies Bruguiera, Soyphyphora dan Lumnitzera berkembang baik dan membentuk mintakat dalam. 3. Substrat Substrat mangrove sangat dipengaruhi oleh pasang-surut. Substrat yang berdekatan dengan pantai, umumnya berpasir. Bagian tepi sungai dan bagian arah menuju darat umumnya merupakan tanah lempung (clay). Menurut Nybakken (1988), aggregasi butiran tanah pada hutan mangrove mudah terurai atau terdispersi oleh air dan menyebabkan tanah berlumpur. Konstribusi lumpur kurang baik, sehingga sering dijumpai tanah mangrove mengalami kondisi anoksik. 4. Oksigen Tanah Kandungan oksigen dalam mangrove hanya sedikit. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen tersebut, umumnya mangrove mempunyai akar napas (aerial root) yang disebut pneumatophores. Selain adanya bentuk akar yang khas tersebut, kekurangan oksigen juga dapat dipengaruhi dengan adanya lubanglubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan-hewan, misalnya kepiting (Soeroyo 1993). Pada anggota Rhizophora ditunjang oleh akar udara (prop atau akar jangkar) yang melengkung dari batang pokok dan juga berasal dari cabang bawah. Pada marga Bruguiera dan Ceriops mempunyai perakaran samping yang menuju (muncul) ke atas permukaan tanah dan kembali lagi ke dalam tanah, yang disebut akar lutut. Sedangkan pada Sonneratia dan Avicennia mempunyai sistem perakaran yang meluas dari akar-akar samping yang dangkal. Akar-akar udara (pneumatophora) ini berbentuk kerucut dan muncul ke permukaan tanah. Pada Heritiera littoralis dan Xylocarpus granatum mempunyai sistem perakaran penyokong yang berbelok-belok (akar papan).