7
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994). Menurut Nybakken (1982), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove dicirikan oleh: tumbuhan dari 9 genus (Avicennia, Snaeda, Laguncularia, Lumnitzera, Conocarpus, Aegiceras, Aegialitis, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Sonneratia),
memiliki
akar
napas
(pneumatofor),
adanya
zonasi
(Avicennia/Sonnetaria, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Nypa), tumbuh pada substrat tanah berlumpur/nerpasir dan variasinya, salinitas bervariasi. Menurut Haan (1935) dan Watson (1935) dalam Departemen Kehutanan (1994) menyebutkan bahwa tempat tumbuh hutan mangrove adalah: tempat yang memiliki salinitas (0% dengan sedikit dipengaruhi pasang surut sampai salinitas 10-30% dengan digenangi 1-2 kali/hari), dan tempat yang digenangi (kadang-
8
kadang digenangi oleh air pasang tertinggi sampai tempat digenangi air pasang dengan genangan 56-62 kali/bulan). Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove Zonasi Hutan Mangrove Jenis-jenis pohon mangrove cenderung tumbuh dalam zona-zona atau jalur-jalur. Berdasarkan hal tersebut, hutan mangrove dapat dibagi ke dalam beberapa mintakat (zona), yaitu Sonneratia, Avicennia (yang menjorok kelaut), Rhizophora, Bruguiera, Ceriops dan asosiasi Nypa. Pembagian zona tersebut mulai dari bagian yang paling kuat mengalami pengaruh angin dan ombak, yakni zona terdepan yang digenangi air berkadar garam tinggi dan ditumbuhi pohon pioner (misalnya Sonneratia Sp.) dan di tanah lebih padat tumbuh Avicennia sp. Makin dekat ke darat makin tinggi letak tanah dan dengan melalui beberapa zone peralihan akhirnya sampailah pada bentuk klimaks. Pada endapan lumpur yang kokoh lebih umum terdapat Avicennia marina, sedang pada lumpur yang lebih lunak diduduki Avicennia alba (Van Steenis, 1958). Di belakang zone-zone ini Bruguiera cylindrica tercampur dengan Rhizophora apiculata, R. mucronata, B. parviflora, dan Xylocarpus granatum (yang puncak tajuknya dapat mencapai 35-40 meter). Habitat Meskipun habitat hutan mangrove bersifat khusus, setiap jenis biota laut di dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan masing-masing mempunyai relung khusus (Steenis 1958); Hal ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam komunitas dan bahkan zonasi, sehingga komposisi jenis berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Steenis (1958) mengemukakan bahwa faktor utama yang mengakibatkan adanya ''Ecological Preference" berbagai jenis adalah kombinasi faktor-faktor tersebut berikut ini: 1) Tipe tanah: keras atau lembek, kandungan pasir dan liat dalam berbagai perbandingan.
9
2) Salinitas: variasi harian dan nilai rata-rata pertahun secara kasar sebanding dengan frekuensi, kedalaman dan jangka waktu genangan . 3) Ketahanan jenis terhadap arus dan ombak. 4) Kombinasi perkecambahan dan pertumbuhan semai dalam hubungannya dengan amplitudo ekologi jenis-jenis terhadap tiga faktor di atas. Klasifikasi Tempat Tumbuh Pengaruh pasang surut terhadap penyebaran jenis-jenis mangrove Indonesia belum diteliti dengan terperinci. Di Semenanjung Malaya hal ini telah dikerjakan oleh Watson (1928) dalam Steenis (1958) yang menghasilkan suatu klasifikasi genangan air pasang berdasarkan sifat-sifat pasang di suatu tempat. Diperkirakan klasifikasi ini berlaku juga untuk kawasan Indonesia. Watson (1928) mengemukakan adanya korelasi antara jenis-jenis dengan tinggi pasang dan lamanya tempat digenangi air. Dikenal lima kelas genangan, yaitu: 1) Kelas 1: Tempat digenangi oleh air pasang (All high tides), genangan per bulan 56 kali sampai 62 kali. Di tempat seperti ini jarang suatu jenis dapat hidup, kecuali Rhizophora mucronata yang tumbuh di tepi sungai. 2) Kelas 2: Tempat digenangi oleh air pasang agak besar (Medium high tides). Di tempat ini tumbuh jenis-jenis Avicennia dan Sonneratia. Berbatasan dengan sungai R. mucronata merajai. 3) Kelas 3: Tempat digenangi oleh pasang rata-rata (Normal high tides). Tempat ini mencakup sebagian besar hutan mangrove yang ditumbuhi oleh R. mucronata, R. apiculata, Ceriop tagal dan Bruguiera parviflora. 4) Kelas 4: Tempat digenangi oleh pasang perbani (Spring tides). Di sini Rhizophora diganti oleh Bruguiera. Pada lumpur yang keras Bruguiera cylindrica membentuk tegakan murni dan di tempat dengan drainase lebih tumbuh B. parviflora kadang-kadang dengan B. sexangula. 5) Kelas 5: Tempat kadang-kadang digenangi oleh pasang tertinggi (Exeptional or equinoctical tides). Disini B. gymnorrhiza berkembang dengan baik, sering bersama-sama dengan pakis dan bersama-sama R.apiculata. Ke arah darat sering ditumbuhi tegakan nibung (Oncosperma filamentosa).
10
Klasifikasi tempat tumbuh hutan bakau berdasarkan salinitas dan genangan air pasang surut (Haan, 1935) dalam Steniis (1958): 1) Kelas 1: Salinitas 10-30%, tanah digenangi 1-2 kali sehari atau sekurangkurangnya 20 hari per bulan, jenis Avicennia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak atau Rhizophora pada tanah yang lebih keras, membentuk zona luar. 2) Kelas 2: Salinitas 10-30%, tanah digenangi 10-19 hari per bulan, Bruguiera gymnorrhiza tumbuh baik dengan tegakan membentuk zona tengah. 3) Kelas 3: Salinitas 10-30 %, tanah digenangi 9 hari atau kurang sebulan, jenisjenis Xylocarpus dan Heritiera berkembang disini dan membentuk zona ke 3. 4) Kelas 4: Salinitas 10-30%, tanah digenangi hanya beberapa hari saja dalam setahun, Rhizophora dan Lumnitzera berkembang baik. 5) Kelas 5: Salinitas 0%, tanah sedikit dipengaruhi pasang surut. 6) Kelas 6: Salinitas 0%, tanah dipengaruhi oleh perubahan permukaan air hanya pada musim basah. Adaptasi Flora Mangrove a. Adaptasi terhadap konsentrasi garam tinggi Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove dikelompokkan menjadi: (1) salt-excreting mangrove, seperti jenis Avicennia, Aegiceras, dan Aegialitis, dan (2) non-salt excreting mangrove, seperti jenis Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, dan lain-lain. Sehubungan dengan ini Hutching dan Saenger (1987) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam sebagai berikut: 1) Sekresi garam (salt extrusion/salt secretion) Flora mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian mengekskresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Mekanisme ini dilakukan oleh
Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis,
Acanthus, Laguncularia dan Rhizophora (melalui unsur-unsur gabus pada daun).
11
2) Mencegah masuknya garam (salt exclusion) Flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam, melalui saringan (ultra filter) yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras, Aegalitis, dan Acrostichum. 3) Akumulasi garam (salt accumulation) Flora mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun penyimpan garam umumnya sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Mekanisme adaptasi akumulasi garam ini terdapat pada Excoecaria, Lumnitzera, Avicennia, Osbornia, Rhizophora, Sonneratia dan Xylocarpus. b. Adaptasi terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang Untuk menghadapi habitatnya berupa substrat lumpur dan selalu tergenang (reaksi anaerob), flora mangrove beradaptasi dengan membentuk akar-akar khusus untuk dapat tumbuh dengan kuat dan membantu mendapatkan oksigen. Bentuk perakaran mangrove tersebut adalah sebagai berikut: 1) Akar pasak (pneumatophore) Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang keluar ke arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avicennia, Xylocarpus dan Sonneratia. 2) Akar lutut (knee root) Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan substrat kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutut seperti ini terdapat pada Bruguiera spp.
12
3) Akar tunjang (stilt root) Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizophora spp. 4) Akar papan (buttress root) Akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng, mirip struktur silet. Akar ini terdapat pada Heritiera. 5) Akar gantung (aerial root) Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada Rhizophora, Avicennia dan Acanthus. c. Adaptasi Reproduktif 1) Pembungaan dan polinasi Kebanyakan spesies mangrove di daerah subtropis, seperti halnya Australia mulai berbunga pada musim semi dan berlanjut pada musim panas (saat kondisi lingkungan menguntungkan). Polen yang berukuran kecil dan tidak bertangkai, memungkinkan polinasi dengan bantuan angin, serangga dan burung. 2) Produksi propagul Kebanyakan mangrove di daerah subtropis menghasilkan propagul masak pada musim panas, pada daerah tropik mangrove berbunga dan berbuah umumnya pada awal musim kemarau. 3) Vivipari dan Kriptovivipari Untuk mengantisipasi habitatnya yang tergenang atau substratnya yang berlumpur, biji flora mangrove telah berkecambah selama masih melekat pada pohon induknya. Fenomena ini disebut vivipari dan kriptovivipari. Vivipari adalah
13
perkecambahan dimana embrio keluar dari pericarp selagi masih menempel pada ranting pohon, kadang-kadang berlangsung lama pada pohon induknya. 4) Penyebaran propagul dan pembentukannya Biji-biji tumbuhan mangrove yang disebarkan oleh burung misletoe (Dicaeum hirundinacum) mampu mempertahankan viabilitasnya selama berada dalam saluran pencernaan burung. Kebanyakan spesies mangrove bijinya mengapung pada air laut (walaupun tenggelam pada air tawar). Propagul dari pohon-pohon mangrove mempunyai daya apung sehingga dapat beradaptasi terhadap penyebaran oleh air. Faktor-faktor Lingkungan Mangrove Struktur, fungsi ekosistem mangrove, komposisi dan distribusi spesies, dan pola pertumbuhan organisme mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove adalah: a. Cahaya Intensitas cahaya, kualitas, dan lama penyinaran merupakan faktor penting bagi tumbuhan. Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800 kkal/m2/hari. Pada saat masih kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Hasil penelitian Komar et al. (1992) menunjukkan bahwa: -
Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata.
-
Intensitas
cahaya
75%
mempercepat
pertumbuhan
bibit
Bruguiera
gymnorrhiza. -
Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza.
14
b. Curah hujan Jumlah, lama, dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan distribusi tumbuhan. Selain itu, curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan lain, seperti suhu air dan udara, salinitas air permukaan tanah dan air tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Kartawinata (1977) menyatakan bahwa berdasarkan klasifikasi Iklim Schmidt dan Ferguson-1951, hutan mangrove di Indonesia berkembang pada daerah dengan tipe curah hujan A, B, C, dan D dengan nilai Q yang bervariasi mulai 0 sampai 73,7%. Sementara itu, Aksornkoae (1993) menginformasikan bahwa tumbuhan mangrove umumnya tumbuh baik di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun.
Namun juga ditemukan pada daerah yang
bercurah hujan tinggi, yaitu 4000 mm/th yang tersebar lebih dari saru periode 8-10 bulan per tahun. c. Suhu Udara Suhu penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Aksornkoae (1993) dalam Kusmana (1993) menyatakan bahwa pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20oC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5oC, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 10oC. Berdasarkan hasil penelitian Kusmana (1993) diketahui bahwa hutan mangrove yang terdapat di bagian timur pulau Sumatera tumbuh pada suhu ratarata bulanan dengan kisaran dari 26,3oC sampai dengan 28,7oC. Hutching dan Saenger (1987) mendapatkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan mangrove, yaitu Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 1820oC, R. stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28oC, suhu optimum Bruguiera spp. 27oC, Xylocarpus spp. berkisar antara 21-26oC dan X. granatum 28oC.
15
d. Angin Angin berpengaruh terhadap ekosistem mangrove melalui aksi gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman. Pada daerah pantai yang mudah terkena angin badai, tajuk pohon mangrove di sepanjang pantai tersebut biasanya patah dan struktur pepohonan umumnya lebih pendek. Namun demikian, mangrove memainkan peranan penting dalam mengurangi pengaruh badai pantai pada wilayah yang berada di antara daratan dan lautan. e. Pasang surut Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Dinamika pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik, dan menurun selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horisontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya R. mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang. Pasang surut juga berpengaruh terhadap perpindahan massa antara air tawar dengan air laut, dan oleh karenanya mempengaruhi distribusi vertikal organisme mangrove. Durasi pasang juga memiliki efek yang mirip pada distribusi spesies, struktur vegetatif, dan fungsi ekosistem mangrove. Hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang diurnal memiliki struktur dan kesuburan yang berbeda dari hutan mangrove yang tumbuh di daerah semi-diurnal, dan berbeda juga dengan hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang campuran.
16
f. Salinitas Lingkungan asin (bergaram) diperlukan untuk kestabilan ekosistem mangrove, seperti halnya banyak jenis yang kurang bersaing di bawah kondisi air tawar (Lugo 1980). Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. Salinitas yang sangat tinggi (hypersalinity) misalnya ketika salinitas air permukaan melebihi salinitas yang umum di laut (±35 ppt) dapat berpengaruh buruk pada vegetasi mangrove, karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif. Akibatnya, tajuk mangrove semakin jauh dari tepian perairan secara umum menjadi kerdil dan berkurang komposisi jenisnya. Meskipun demikian, beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi, seperti yang dilaporkan oleh. Wells (1982) dalam Aksornkoae (1993), bahwa di Australia Avicennia marina dan Excoecaria agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimum 63 ppt, Ceriops spp. 72 ppt., Sonneratia spp. 44 ppt., Rhizophora apiculata 65 ppt dan Rhizophora stylosa 74 ppt. g. Tanah Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah gambut. Lear dan Turner (1977) dalam Soeroyo (1993) menyatakan bahwa tanah di hutan mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, oksigen sedikit dan kaya akan bahan organik. Susunan jenis dan kerapatan pada hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh susunan tekstur tanah dan konsentrasi ion tanah yang bersangkutan. Pada lahan mangrove yang tanahnya lebih banyak terdiri atas liat (clay) dan demu (silt), terdapat tegakan yang lebih rapat dari lahan yang tanahnya mengandung liat dan debu pada konsentrasi yang lebih rendah. Tanah dengan konsentrasi kation Na > Mg > Ca atau K, tegakan dikuasai oleh jenis Avicennia spp., atau Sonneratia spp., atau Rhizophora spp., atau Bruguiera spp. Adapun pada tanah dengan susunan konsentrasi kation Mg > Ca > Na atau K tegakan dikuasai oleh nipah (Nypa
17
fruticans). Lebih lanjut pada tanah dengan susunan kation Ca > Mg > Na atau K tegakan dikuasai oleh jenis Melaleuca spp. (Wiroatmodjo 1994). Tanah-tanah mangrove umumnya mengandung zat besi dan bahan-bahan organik yang tinggi, ditambah dengan keberadaan sulfat dari pasang air laut membuat tanah menjadi rentan khsusnya terhadap asam sulfat karena oksidasi, seperti yang sering terjadi pada saat pembuatan tambak. Pada kondisi anaerob yang berlaku secara umum, sulfat dari air laut direduksi menjadi sulfida (FeS) atau pirit (FeS 2 ) oleh bakteribakteri perombak sulfat yang termasuk, paling tidak 2 marga bakteri, yaitu Desulfovibrio dan Desulfomaculum. Drainase alami atau buatan dan aerasi sedimen yang mengandung pirit mendorong terjadinya oksidasi dan formasi asam sulfat (H 2 SO 4 ) yang dilepaskan dalam jumlah besar dalam keadaan tidak ada kalsium karbonat (CaCO 3 ), melalui reaksi kimia sebagai berikut: 2FeS 2 + 2H 2 O + 7O 2 2FeSO 4 + H 2 SO 4 Ketika reaksi tersebut terjadi-seringkali sebagai akibat dari pembuatan tambak atau dikonversi menjadi lahan pertanian-pH tanah turun menjadi 3 atau kurang. Kondisi ini merupakan masalah yang sangat serius untuk budidaya perairan dan pertanian serta regenerasi hutan mangrove. Ancaman asam sulfat harus dipertimbangkan secara hati-hati dalam konversi mangrove untuk penggunaan lain, begitu juga dengan ancaman kontaminasi asam terhadap lingkungan. Dilaporkan bahwa kematian massal ikan terjadi saat hujan lebat diakibatkan oleh pencucian asam tanah ke sungai (Dunn 1975). Pertumbuhan Mangrove Jenis Bakau (Rhizophora mucronata) Pertumbuhan hutan mangrove sangat erat kaitannya dengan pendangkalan pantai dan penyempitan laut. Menurut Hutabarat dan Evans (1985), daerah hutan bakau merupakan suatu tempat yang bergerak, dimana tanah lumpur dan daratan secara terus menerus dibentuk oleh tumbuh-tumbuhan yang kemudian secara perlahan-lahan berubah menjadi daerah semi terrestrial (semi daratan). Sampai saat ini tidak banyak tulisan yang memuat penelitian mengenai hutan mangrove, khususnya di bidang sivikulturnya. Kebanyakan tulisan-tulisan yang ada hanya mengenai ekosistem dan ekologi hutan mangrove. Hal tersebut
18
diakui oleh Kartawinata (1978) yang dikutip oleh Anwar et al. (1984), hampir semua jenis yang membentuk hutan mangrove di Indonesia sudah diketahui, misalnya mengenai variasi komposisi jenis, silvikultur hutan, cara pemencaran bibit, pembungaan dan pembuahan, komposisi fauna, perputaran hara, produktivitas dan dinamika ekosistem. Menurut La Rue dan Mosich (1954) dikutip oleh Chapman (1976), jika biji jatuh dari pohon induk saat air surut, hal ini kemungkinan akan menghasilkan semai mangrove, karena ketika biji jatuh langsung ditancapkan ke lumpur, pada saat itu akar yang baru, membentuk hipokotil. Jika biji jatuh pada waktu air pasang, maka biji akan terbawa oleh air dan
mengapung
tanpa
terjadi
perkembangan
akar,
walaupun
terjadi,
perkembangan akar tersebut akan sangat lambat sekali. Setelah air surut, biji akan terdampar dan saat itu akar akan tumbuh keluar. a. Taksonomi dan Penyebaran Sifat umum dari perkembangan biji mangrove secara vivipar, yaitu biji telah berkecambah sewaktu masuk di dalam buah yang masih melekat pada tumbuhan induk. Cara yang khas ini diperlihatkan oleh Rhizophora spp. Lembaga semai dapat menembus buah yang masih bergantungan, yang panjangnya seperti anak panah tetai berat di bagian bawahnya. Kemudian semai jatuh dengan akar ke bawah, sehingga ujung akar itu dapat menancap ke dalam lumpur bila air sedang surut dan membentuk akar-akar cabang dalam waktu beberapa jam saja serta tumbuh di tempat itu. Bila air sedang pasang dan semai akarnya belum kuat melekat di lumpur, maka semai tersebut akan hanyut terbawa air ke tempat lain dan bila air surut akan tumbuh dengan normal kembali bila keadaan menguntungkan (Polunin 1960). Jenis Rhizophora mucronata bisa mencapai ketinggian 27 m dengan diameter 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap hingga hitam dan terdapat celah horizontal. Akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari percabangan bagian bawah. Berikut merupakan sistematika tumbuhan bakau (Polunin 1960).: Phyllum
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
19
Ordo
: Malpighiales
Famili
: Rhizophoraceae
Genus
: Rhizophora
Spesies
: Rhizophora mucronata
Nama daerah: Bangka itam, dongoh korap, bakau hitam, bakau korap, bakau merah, jankar, lenggayong,belukap, lolaro. Penyebaran mangrove jenis Rhizophora mucronata di dunia disajikan pada Gambar 2.
Source : UNEP-WCMC, 2001.
Gambar 2. Penyebaran mangrove jenis Rhizophora mucronata di dunia b. Pertumbuhan tinggi Pertumbuhan tinggi tanaman dapat didefinisikan sebagai bertambah besarnya tanaman yang diikuti oleh peningkatan bobot kering. Menurut Baker (1950), yang dimaksud dengan pertumbuhan pada suatu pohon adalah pertambahan tumbuh dalam besar dan pembentukan jaringan baru, pertumbuhan tersebut dapat pula diukur dari berat seluruh tanaman (biomassa). Dijelaskan pula bahwa pertumbuhan suatu pohon meliputi pertumbuhan bagian atas dan bagian bawah. Adapun faktor-faktor yang menentukan kecepatan pertumbuhan tinggi antara lain unsur-unsur hara yang ada dalam tanah, kandungan air dan cahaya. c. Pertumbuhan Diameter Menurut Baker (1950), pertumbuhan diameter pohon sangat penting dalam bidang kehutanan terutama untuk menghasilkan kayu gergajian, dijelaskan bahwa pertumbuhan lingkaran tahun pada pohon adalah hasil dari perkembangan cambium dam lapisan dari jaringan meristematik sel-sel.
20
Budidaya Tumbuhan Bakau (Rhizophora mucronata) a. Penyiapan lokasi penanaman Ada beberapa aspek Karakteristik lahan yang perlu diperhatikan adalah: kondisi tanah, salinitas, frekuensi pasang surut, kedalaman dan lama penggenangan pasang surut yang berkaitan dengan topografi dan ketinggian tempat dari permukaan laut, keterbukaan lahan terhadap angin dan kekuatan arus, keberadaan hama pengganggu dan ketersediaan benih (propagul). Faktor-faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh dari fenomena pasang surut dan ketinggian dari rata-rata muka laut. Sebagai contoh, keterkaitan antara faktor lingkungan dengan penyebaran jenis-jenis mangrove dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Keterkaitan antara faktor-faktor Lingkungan dengan Penyebaran Beberapa Jenis Pohon Mangrove Secara Alami Zonasi
Pinggir pantai
Pola Pasang Surut
Harian
Frekuensi Tipe Penggenangan Salinitas Tanah (hari/bulan)
20+
10-30
Koral, berpasir, lempung berpasir
Tengah
Harian
10-19
10-30
Berdebu sampai liat berdebu
Pedalaman
Tergenang hanya saat
4-9
0-10
Berdebuliat
Jenis-jenis Pohon Mangrove Avicennia marina, Sonneratia, S. caseolaris, Rhizophora stylosa, R. mucronata dan R. apiculata A. alba, A. Officinalis, R. mucronata, Aegiciras comiculatum, A. floridum, Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, Ceriops tagal, C. decandra, Excoecaria agallocha, Lumnitzera racemora, Xylocarpus granatum. A. alba, B. sexangula, Ceriops
21
Pola Frekuensi Tipe Jenis-jenis Pohon Pasang Penggenangan Salinitas Tanah Mangrove Surut (hari/bulan) pasang berdebu tagal, Excoecaria purnama sampai agallocha, Heritiera liat littoralis, Scyphiphora hydrophylacea, Xylocarpus granatum, X. mekongensis, Nypa fruticans Muara sungai: Avicennia marina, A. officinalis, Aegiciras comiculatum, A. floridum, Camtostemon philippensis, R. apiculata, R. mucronata, R. stylosa Hulu sungai: A. Jarang Berpasir alba, A. officinalis, Pinggir tergenang: sampai Aegiciras sungai 2 0-10 air tawarliat comiculatum, A. (Riverine) payau berdebu floridum, Camptostemon philippensis, E. agallocha, Heritiera litoralis, Nypa fruticans, R. mucronata, R. apiculata, Xylocarpus granatum, X. Mekongensis Zonasi
(Sumber : Strategi Nasional Mangrove 2004)
Pengetahuan tentang faktor-faktor lingkungan tersebut di atas akan memudahkan kita dalam menentukan jenis yang paling sesuai pada lokasi yang akan kita tanam dan teknik pendekatan yang akan digunakan dalam penanaman mangrove
22
b. Penyiapan Benih Pada dasarnya tanaman mangrove berbuah hampir sepanjang tahun, namun ada beberapa periode waktu dimana jenis-jenis tertentu berbuah sangat banyak atau dengan kata lain puncak musim berbuah. Tabel 2. Musim Buah Beberapa Jenis Mangrove No
Spesies
1 2 3 4 5 6
Rhizophora apiculata R. mucronata Bruguiera gymnorrhiza Sonneratia alba Avicennia marina Xylocarpus granatum
Bulan J F M A M J J A
S
O
N D
(Sumber : Strategi Nasional Mangrove,2004) Buah atau biji yang dipilih adalah benih yang berasal dari buah yang matang, sehat, segar dan bebas dari hama Tabel 3. Karakteristik Benih Matang No 1
2 3
4 5 6
Warna atau ciri lain Rhizophora Warana kotiledon berubah dari Panjang ± 20 cm apiculata Diameter ± 14 mm dari hijau muda menjadi merah kekuningan R. mucronata Warna kotiledon berubah dari hijau Pajang ± 50 cm muda menjadi kuning Bruguiera Warna hipokotil berubah dari hijau Panjang ± 20 cm gymnorrhiza menjadi coklat kemerahan atau merah kehijauan Sonneratia alba Diameter buah ± 40 Buah matang terapung di air mm Avicennia marina Berat ± 1,5 gr Warna kulit berubah dari hijau muda menjadi hijau kekuningan Xylocarpus Buah retak, warna biji coklat Berat biji ± 30 gr granatum berbercak abu-abu. Radikula tampak jelas. Bila buah tenggelam di air berarti belum matang Spesies
Ukuran
(Sumber : Strategi Nasional Mangrove,2004)
23
c. Pembuatan Tempat Persemaian Lokasi persemaian sebaiknya di lokasi yang datar dan bersih dari gangguan tanaman pengganggu seperti semak-semak. Apabila lokasi tersebut masih dalam keadaan bersemak, maka sebaiknya dilakukan dahulu pembersihan lahan
daerah
tersebut.
Pada
saat
pemilihan
lokasi
persemaian,
perlu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a) Terletak pada zona pasang surut yang tidak terlalu kuat. Tinggi permukaan tanah persemaian ± 60 cm di bawah garis pasang tertinggi saat pasang purnama. b) Tanah relatif keras c) Tidak terdapat akumulasi garam, salinitas < 30 o/ oo d) Tidak terpengaruh oleh ombak atau aliran air sungai e) Topografi tidak berubah oleh hujan deras f) Mudah kering dan tidak tergenang secara permanen g) Tersedia tanah untuk media h) Dekat dengan areal penanaman i) Untuk persemaian sementara sebaiknya terdapat naungan pohon Ukuran persemaian sangat bervariasi tergantung pada luasan yang akan kita tanam. Oleh karena itu sebelum membuat perkiraan maka sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu berapa luasan yang akan kita tanam sehingga diketahui jumlah bibit yang akan kita perlukan. d. Penanaman Setelah lahan benar-benar siap untuk ditanam, maka dilakukan pemancangan ajir yang berfungsi sebagai penahan bibit agar tidak tumbang. Fungsi lain ajir adalah untuk mengetahui lokasi tanaman, menyeragamkan jarak tanam, tanda tanaman baru. Ajir dibuat dari kayu atau bambu dengan ukuran tinggi 1,5-2 m, lebar 3-4 cm. Posisi ajir diupayakan sampai dasar lumpur (tanah keras), agar dapat dipakai sebagai ikatan bagi bibit yang ditanam. Mengingat kondisi lokasi penanaman berlumpur dalam (>1 meter), maka teknik tanam
24
dilakukan dengan polybag tidak perlu dibuka, tetapi pada bagian bawah diberi lubang atau sobekan. e. Pemeliharaan dan Monitoring Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan adalah penyiangan, penyulaman, penjarangan dan pengontrolan terhadap kondisi tanaman.
Pemeliharaan awal
paling tidak dilakukan selama 1 tahun, terutama dari gangguan gulma dan serangan hama. Monitoring tanaman perlu dilakukan setiap bulan, agar setiap perkembangan kondisi tanaman diketahui. Kondisi Lingkungan Mangrove di Hutan Lindung Angke Kapuk a. Konsep Ekologi Restorasi Hutan mangrove memiliki beberapa karakteristik tertentu, dimana pada kondisi yang baik karakteristik ini akan tetap terjaga dan akan membuat hutan mangrove dapat tumbuh dan lestari meskipun tanpa bantuan manusia. Namun karakteristik yang terdapat pada hutan mangrove ini juga sangat rentan, yaitu pada saat terjadi gangguan akan menyebabkan kondisi struktur hutan menjadi rusak sehingga hutan tidak dapat menjalankan fungsinya. Dalam hal ini juga terdapat kecenderungan jika terjadi gangguan pada salah satu karakteristik, maka akan terjadi gangguan pula terhadap karakteristik yang lain. Berbagai
aktivitas
pemanfaatan
sumberdaya
hutan
dan
berbagai
kepentingan di dalamnya berdampak pada terganggunya fungsi hutan. Sebagian besar gangguan kerusakan hutan diantaranya karena aktivitas akibat logging, shifting cultivation, dan tambak. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 3 di bawah ini
25
Gambar 3. Alasan dilakukannya restorasi Pada dasarnya konsep kegiatan restorasi adalah proses pengembalian atau pemulihan (improving) kondisi hutan yang rusak yang meliputi fungsi, struktur, komposisi dan produktivitasnya dengan tujuan dimana kondisi hutan nantinya menjadi lebih baik dan mendekati aslinya (originality). Oleh karena itu melalui restorasi diharapkan fungsi hutan nantinya dapat kembali seperti semula. Pulihnya fungsi hutan bila terdapat struktur hutan yang sesuai untuk fungsinya. Sehingga dalam restorasi yang perlu dibangun adalah struktur hutannya yang rusak, meliputi kerapatan tegakan, komposisi jenis, pola distribusinya
serta
berlangsungnya
siklus
hara
tertutup
di
dalamnya.
Pembangunan kembali struktur hutan tersebut harus mengacu pada proses suksesi dan karakter hutan mangrove. Salah satu lokasi restorasi mangrove ini adalah lahan terdegradasi yang merupakan lahan terbuka, hampir tidak ada vegetasi tumbuh di atasnya sebagai akibat dari pemanfaatannya untuk berbagai kepentingan dan faktor alam. Dampak dari hilangnya vegetasi memacu terjadinya erosi tanah, hilangnya biodiversitas, kerusakan habitat wildlife, dan berkurangnya kapasitas lahan untuk pertumbuhan tanaman. Untuk menekan dampak lebih lanjut, lahan ini harus dipulihkan melalui aktivitas rehabilitasi lahan.
26
Tujuan utama dari kegiatan restorasi adalah mengembalikan kondisi lahan atau hutan yang rusak dengan memperbaiki lahan tersebut agar kembali fungsinya seperti sebelum dirusak. Yang dimaksud fungsi hutan di sini mencakup: -
Fungsi hutan sebagai habitat utama untuk flora dan fauna
-
Sebagai tempat menyimpan keanekaragaman genetik
-
Konservasi tanah, air, hara, dan keanekaragaman hayati
-
Sebagai sumber pembangunan ekonomi
-
Memelihara keseimbangan iklim lokal dan kondisi iklim global.
b. Reklamasi Kegiatan reklamasi pada lokasi ini merupakan proses civil engineering untuk mempersiapkan lahan yang terabrasi yang bertujuan menyiapkan lahan untuk penanaman. Dalam kegiatan ini yang dilakukan adalah pengurukan, pengangkutan, penimbunan pada kedalaman atau tingkat tertentu agar jika mau mengadakan penanaman, kondisi lahan sudah layak untuk ditanami. Kondisi yang kerusakannya sangat berat harus direklamasi terlebih dahulu karena kegiatan rehabilitasi tidak dapat dilaksanakan sebelum kondisi yang sangat rusak itu diperbaiki sampai kondisi lapang siap ditanam kembali. Kondisi lahan yang kerusakannya masih ringan, kegiatan rehabilitasi masih dapat dilaksanakan tanpa melakukan reklamasi. Namun demikian pemilihan metode rehabilitasi yang tepat harus disesuaikan dengan tingkat dan jenis kerusakan pada lahan tersebut.