7
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Mangrove 2.1.1
Pengertian Ekosistem Mangrove Ekosistem
merupakan
unit
fungsional
antara
komunitas
dengan
lingkungan abiotiknya (Partanto dan Al barry, 1994). Sedangkan mangrove sering dikatakan sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau yang tumbuh khas di wilayah tropis dan dipengaruhi oleh kondisi pasang surut (Hogarth, 2007; Dahuri et al., 2008; Nagelkerken et al., 2008; Akamatsu, 2009) yang didominasi oleh spesies yang khas dan mempunyai kemampuan pada wilayah yang lembab dan berlumpur (Nybakken, 1992). Sehingga ekosistem mangrove dapat didefinisikan sebagai hutan intertidal yang sangat produktif yang terdistribusi sepanjang pantai tropis dan mampu menstabilkan zona pantai dari erosi serta bertindak sebagai zona penyangga antara darat dan laut (Prasad dan Ramanthan, 2008). Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem terpenting dalam sistem ekologi di daerah pantai Indonesia (Bengen dan Dutton, 2004). Sedangkan Nursal et al., (2005); Tam et al., 2009) berpendapat bahwa hutan mangrove merupakan tipe vegetasi yang khas terdapat di daerah pantai tropis, mempunyai periode basah dan kering, karena mereka secara periodik tergenangi oleh arus masuk dan keluar. Vegetasi mangrove umumnya tumbuh subur di daerah pantai yang landai di dekat muara sungai dan pantai yang terlindung dari kekuatan gelombang (Kusmana et al., 2008). Dalam ekosistem mangrove terdapat gabungan komponen daratan dan komponen lautan, dimana termasuk di dalamnya adalah flora dan fauna yang hidup saling bergantungan satu dengan yang lain. Parameter pembatas bagi persebaran mangrove adalah iklim, geomorfologi dan sedimentologi pantai, range pasang surut, pengaruh air tawar dan hidrologi (Woodroffe, 1992 in Perry dan Berkeley, 2009) dan terletak pada garis lintang sekitar antara 25 N dan 25 S (Knox, 2000). Sedangkan Kennish (2001) berpendapat antara 28°N dan 25°S. 2.1.2
Distribusi dan Zonasi Mangrove di beberapa pantai tropis yang landai dapat tumbuh dengan
lebat dan mempunyai lebar mencapai 5 km yang dimulai dari tepi menuju ke laut
8 dan dapat tumbuh hingga ribuan hektar pada estuaria (Knox, 2000). Menurut Spalding et al., (1997) in Hogarth (2007) luas mangrove yang ada di dunia mencapai 18.000.000 ha, dan menurut Wilkie and Fortuna (2003) in McLeod dan Salm (2006) pada tahun 2003 turun menjadi 14.653.000 ha dari total yang hidup di daerah tropis dan sub tropis. Indonesia dikenal mempunyai keanekaragaman jenis mangrove tertinggi di dunia (Nontji, 1987). Indonesia memiliki kekayaan 202 jenis mangrove yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas (Bengen, 2002). Sedangkan Nontji (1987) berpendapat bahwa tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan, 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis). Menurut Bengen (2002) dan Nybakken (1992), vegetasi mangrove terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga yaitu : Avicennia, Sonneratia, Rhizopora,
Bruguiera,
Ceriops,
Xylocarpus,
Lumnitzera,
Languncularia,
Aegeceras, Snaeda dan Conocarpus yang termasuk dalam delapan famili. Namun demikian dari keseluruhan jenis diatas, hanya 47 jenis tumbuhan yang spesifik berupa hutan mangrove. Hogarth (2007) berpendapat bahwa tumbuhan spesifik mangrove (true mangrove) berjumlah 55 spesies yang terbagi dari 20 genera dan dimiliki oleh 16 famili. Menurut Noor et al., (2006), tipe vegetasi mangrove terbagi atas empat bagian antara lain : a. Mangrove terbuka, mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Termasuk mangrove jenis ini adalah Avicennia marina. b. Mangrove tengah, mangrove yang berada di belakang mangrove zona terbuka. Pada lokasi ini didominasi oleh Rhizophora. c. Mangrove payau, mangrove yang berada disepanjang sungai berair payau hingga air tawar. Pada lokasi ini biasanya didominasi oleh Nypa atau Sonneratia. d. Mangrove daratan, mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan tertinggi dan jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini
9 termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis. 2.1.3
Karakteristik Abiotik dan Lingkungan Hidup Mangrove Mangrove
memiliki
tipe
karakter
khusus
dalam
mendukung
perkembangannya. Terdapat 3 komponen yang mengatur lingkungan hidup mangrove diberbagai lokasi, yaitu : geofisika, geomorfik, dan biologis (Thom, 1982 in Knox, 2000). Sedangkan menurut Hutabarat et al., (2009); Dahuri et al., (2008); Bengen dan Dutton (2004), ada beberapa parameter lingkungan utama karakter abiotik yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu : a. Suplai air tawar dan salinitas Karakteristik habitat yang menonjol di daerah hutan mangrove diantaranya adalah suplai atau pasokan air tawar yang cukup dari darat seperti dari sungai, mata air, dan air tanah. Tingkatan salinitas pada air dikategorikan sebagai oligohalin (yaitu apabila memiliki salinitas 0.5 – 5 ppt), mesohalin (apabila mempunyai salinitas antara 5 – 30 ppt) dan polyhalin (yaitu dengan salinitas sebesar 18 – 30 ppt) (Bengen dan Dutton, 2004). Nirarita et al, (1996) in Nursal et al., (2005) berpendapat bahwa airnya payau mempunyai salinitas 2 - 22 ppt atau asin dengan salinitas sekitar 38 ppt. Berbedanya salinitas tersebut dikarenakan masuknya dan bercampurnya air polihalin dan air dengan salinitas rendah dalam hutan mangrove. Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) sangat mempengaruhi keberlangsungan ekosistem mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung dari : (a) frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, (b) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfir. Walaupun ekosistem mangrove memiliki mekanisme adaptasi terhadap salinitas yang tinggi, namun tidak adanya suplai air tawar yang mengatur kadar garam dan isi air tergantung dari tipe tanah dan sistem pembuatan irigasi.
10 b. Pasokan nutrien Pasokan nutrien tidak semata-mata diproduksi secara langsung oleh ekosistem mangrove, namun juga disuplai oleh sungai dan laut (Bengen dan Dutton, 2004). Nutrien sangat dibutuhkan oleh mangrove untuk melangsungkan hidupnya. Dalam memelihara produktivitasnya, ada dua hal yang sangat mempengaruhi konsentrasi relatif dan nisbah (rasio) optimal dari nutrien : (1) frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan oleh air asin atau air tawar, dan (2) dinamika sirkulasi internal dan kompleks detritus. Proses-proses tersebut sangat mempengaruhi terhadap pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove.
c. Substrat Vegetasi mangrove umumnya tumbuh pada tanah lumpur, namun berberapa spesies dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil, dan tanah gambut (Kusmana et al., 2008). Tanah mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, oksigen rendah, dan kaya bahan organik. Pembentukan tanah mangrove dipengaruhi: (1) faktor fisik, seperti transport nutrien oleh arus pasang surut dan aliran sungai; (2) faktor fisik-kimia, seperti agregasi berbagai partikel; dan (3) faktor biotik, seperti produksi dan perombakan bahan organik. Tanah mangrove tersusun atas pasir (sand), lumpur/ debu (silt) dan tanah liat (clay) dengan komposisi berbeda-beda. Karakteristik habitat yang menonjol di daerah hutan mangrove diantaranya adalah jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, lahan tergenang air laut secara periodik, kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen diatur oleh velositas air tawar, muatan sedimen, dinamika pasang-surut dan gerakan angin. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies mangrove tergambar dari kemampuan hutan mangrove dalam menahan berbagai akibat yang menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan sedimentasi dalam ambang batas kritis meliputi: (1) penggumpalan sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh hutan mangrove; (2) nutrien, bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan nutrien dan menyaring bahan beracun (waste toxic).
11 d. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut sangat dibutuhkan oleh tumbuhan dan hewan yang berasosiasi dengan mangrove dalam melangsungkan proses fotosintesis dan respirasi (Aksornkoae, 1993). Tanah mangrove umumnya berupa lumpur yang selalu jenuh air, sehingga hampir tidak memiliki rongga udara untuk menyerap oksigen. Jumlah oksigen terlarut dalam perairan mangrove umumnya lebih rendah dari pada laut terbuka (Bengen dan Dutton, 2004). Kandungan ini semakin rendah pada tempat yang memiliki bahan organik berlebih, mengingat oksigen diserap untuk peruraian bahan organik, sehingga terbentuk zona anoksik. Oksigen pada permukaan sedimen digunakan bakteri untuk mengurai bahan organik dan respirasi (Aksornkoae, 1993). Oksigen ini diperoleh dari sirkulasi pasang-surut dan pengaruh atmosfer. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tumbuhan mangrove beradaptasi melaui sistem perakaran yang khas. Sebagai contoh adalah Aegialites dan Sonneratia spp. menyiasatinya dengan adanya pneumatofora. Kekurangan oksigen juga dipenuhi oleh adanya lubang-lubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan, misalnya kepiting. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah, keanekaragaman tumbuhan dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi terjadi pada siang hari dan terendah pada malam hari.
e. Pasang-surut air laut Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas area mangrove Aksornkoae (1993). Salinitas air meningkat pada saat pasang naik, dan menurun pada saat pasang surut. Hal ini dapat membatasi zonasi dan distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal (Kusmana et al., 2008). Indonesia pada umumnya memiliki tipe pasang surut mixed semi diurnal tides yaitu dengan 2 kali pasang tertinggi dan 2 kali surut terendah dalam sehari dengan posisi ketinggian yang tidak sama (Bengen dan Dutton, 2004). Area pantai diantara pasang tertinggi highest high water spring tide (HHWST) dan surut terendah low water spring tide (LLWST) atau yang disebut daerah intertidal. Adapun daerah yang ada di tengah tengahnya mid tide level
12 (MTL) sampai dengan HHWST merupakan daerah pertumbuhan mangrove (Bengen dan Dutton, 2004). Pada area yang selalu tergenang hanya R. mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera dan Xylocarpus jarang mendominasi area ini. Pasang surut juga berpengaruh terhadap perpindahan massa air tawar dan laut, sehingga mempengaruhi distribusi vertikal spesies mangrove. Ekosistem mangrove yang tumbuh di daerah pasang harian memiliki struktur dan kesuburan yang berbeda dari daerah semi-diurnal atau pasang campuran (Aksornkoae, 1993). Rentang pasang surut dapat mempengaruhi sistem perakaran mangrove. Di daerah dengan rentang pasang yang lebar, pneumatofora Rhizophora, Sonneratia, dan Aegialites tumbuh lebih tinggi daripada di daerah yang rentangnya sempit. Tomlinson (1986) dan UNEP (1994) in Bengen dan Dutton (2004) menyatakan bahwa mangrove sejati terbatas pada daerah intertidal diantara muka laut saat neap tide dan spring tide. Apabila mangrove hidup dalam kondisi yang optimal misalnya didaerah delta sungai, estuaria dan laguna, maka pohon mangrove bisa tumbuh mencapai 45 m sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi yang tinggi. Hutchings dan Saenger (1987) menambahkan hubungan antara faktorfaktor kimia fisika dan proses kehidupan penting bagi mangrove pada Gambar 2.
Sumber : Hutchings dan Saenger (1987) Gambar 2 Skema keterkaitan antara faktor fisik-kimiawi dengan tumbuhan mangrove
13 2.1.4
Karakteristik Biotik Mangrove
Menurut Soerinaga dan Indrawan (1984) in Bengen dan Dutton (2004), kunci karakteristik hutan mangrove yang ada di Indonesia adalah : 1. Terpengaruh oleh kondisi pasang surut 2. Tidak terpengaruh oleh perubahan musim 3. Tumbuh di tanah khususnya tanah liat berlumpur dan berpasir yang tergenang oleh air laut 4. Berada pada pantai landai 5. Tidak terstruktur pada lapisan tegakan hutan 6. Tinggi pohon mencapai 30 m 7. Terdiri dari pohon asosiasi yang tumbuh mulai dari laut menuju bagian dalam, yaitu : Avicennia, Sonneratia, Rhizophora/ Bruguiera, Bruguiera, Xylocarpus, Lumnitzera dan Nypa fruticans 8. Ditumbuhi spesies ikutan : Acrostichum aureum, Acanthus ilicifolius, A. ebracteatus Vegetasi hutan mangrove di Indonesia sangat beragam, dengan beberapa faktor yang mempengaruhi zonasi dan keanekaragamannya (Bengen, 2002; Bengen dan Dutton, 2004). Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi zonasi beberapa vegetasi mangrove disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi zonasi beberapa vegetasi mangrove
1 2
Rhizopora mucronata Rhizopora apiculata
10 - 30 10 - 30
Toleransi terhadap gelombang dan angin Tinggi Sedang
3
Bruguiera gymnorrhiza
10 - 30
Rendah
Tinggi
4
Lumnitzera littoralis
10 - 30
Sangat rendah
Sedang
5 6 7
Bruguiera parviflora Rhizopora stylosa Sonneratia alba
10 - 30 10 - 30 10 - 30
Rendah Sedang Sedang
Tinggi Tinggi Tinggi
8
Sonneratia caseolaris
10 - 30
Sedang
Tinggi
9
Avicennia spp.
10 - 30
Sedang
Tinggi
10
Xylocarpus granatum
10 - 30
Rendah
Sedang
No
Nama tumbuhan
Salinitas (ppt)
Sumber : Bengen (2002); Bengen dan Dutton (2004)
Toleransi terhadap lumpur Tinggi Tinggi
Frekuensi penggenangan 29 hari/ bulan Beberapa hari/ bulan Beberapa hari/ bulan Beberapa hari/ bulan <9 hari/ bulan <9 hari/ bulan 10-19 hari/ bulan 10-19 hari/ bulan 10-19 hari/ bulan 9 hari/ bulan
14 2.1.5
Fungsi dan Manfaat Mangrove Terdapat banyak fungsi ekosistem mangrove yang dapat dirasakan baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Bengen dan
Dutton (2004)
mengelompokkan fungsi terpenting ekosistem mangrove menjadi 6 bagian, yaitu : (1) sebagai pelindung dari erosi yang disebabkan oleh gelombang dan angin; (2) produsen bahan organik sehingga bisa menjadikannya sebagai rantai makanan bagi ikan, kepiting dan udang; (3) daerah pelindung bagi fauna muda seperti burung, kelelawar dan sebagai feeding ground dan spawning ground bagi ikan dan udang tertentu; (4) sebagai penghasil bahan baku industri; (5) sebagai pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya; dan (6) sebagai tempat wisata dan rekreasi. Selain manfaat diatas, mangrove memiliki manfaat yang diklasifikasikan menjadi 3, yaitu manfaat fisik, manfaat ekonomi dan manfaat biologi. Dari segi fisik mangrove mumpunyai fungsi sebagai ekosistem yang menjaga garis pantai agar tetap stabil dan kokoh dari abrasi air laut (Furukawa et al., 1997 in Perry dan Berkley, 2009); menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru; sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke danau, atau sebagai filter air asin menjadi air tawar; sebagai pengurai bahan organik (Anwar dan Subiandono, 1997 in Bengen dan Dutton, 2004). Adapun fungsi mangrove dari segi biologi adalah sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang serta berkembang biak bagi ikan, udang, burung dan satwa lain (Bengen dan Dutton, 2004); sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika; sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut (Kon et al., 2009); sebagai kawasan pemijahan (spawning ground) oleh bermacam-macam ikan, krustasea (kepiting dan udang), bivalvia, dan gastropoda (Bengen dan Dutton, 2004); Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar. Zamroni dan Rohyani (2008) menambahkan bahwa produksi serasah di Pantai Teluk Sepi dengan luas 128,74 ha dapat mencapai 9,9 ton/ha/tahun, selain itu mangrove juga berperan sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi udang (Macia et al., 2003); sebagai daerah mencari makanan (feeding ground) bagi
15 plankton juga sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan dan biota lainnya (Bengen dan Dutton, 2004). Mangrove juga membantu dalam memberi perlindungan terhadap lamun dan ekosistem terumbu karang dari dampak negatif pengkayaan nutrien dan sedimentasi (Adame et al., 2010). Fungsi lain yang dimiliki ekosistem mangrove adalah fungsi ekonomi, misalnya sebagai penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, tekstil, makanan ringan; penghasil bibit ikan, udang, kerang dan kepiting, telur burung serta madu; penghasil kayu bakar, arang serta kayu untuk bangunan dan perabot rumah tangga (Bengen dan Dutton, 2004). Selain itu ekosistem mangrove memiliki fungsi wisata yang bermanfaat untuk dinikmati secara langsung yang sekaligus berfungsi untuk melestarikan keberadaan mangrove di lokasi wisata, konservasi dan penelitian (Bengen, 2002). Beberapa penelitian telah menyatakan hubungan antara mangrove dan pencemaran terhadap lingkungan. Misalnya yang dilakukan oleh Chiu dan Chou (1991 dan 1995) in Sadooni dan El-Kassas (1999) yang mempelajari tentang pengaruh distribusi logam berat pada hutan mangrove di daerah estuaria Thamsui, Taiwan. Hasil dari studi menyebutkan bahwa konsentrasi logam berat secara berurutan menurun mulai dari akar ke batang, daun dan bibit serta terdapat korelasi positif antara jumlah logam berat yang terdapat dalam jaringan tubuh dengan di substrat. Pada penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa logam berat yang terdapat bibit mangrove Kandelia candel lebih banyak ditemukan dari pada dalam padi sehingga dapat disimpulkan bahwa mangrove jenis ini dapat beradaptasi dengan logam berat dalam jumlah yang lebih besar. Penelitian lain yang dilakukan oleh Boeer (1993) in Sadooni dan ElKassas (1999) menyatakan bahwa respon pneumatofora Avicennia marina memiliki lebih banyak cabang pada lingkungan yang tercemar oleh minyak dibandingkan pada lingkungan yang tidak terjadi pencemaran. Demikian pula yang dilakukan oleh Dasiva et al., (1997) in Sadooni dan El-Kassas (1999) yang meneliti dampak pencemaran petroleum pada ekosistem mangrove di Brazil. Hasil penelitian menyatakan bahwa polusi minyak berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah pneumatofora, kerusakan bentuk daun, buah dan penurunan litter production. Selanjutnya Zhang et al., (2010) menyatakan bahwa mangrove
16 spesies Sonneratia apetala Buch-Ham lebih efektif meremove nutrien daripada logam berat. Pada pencemaran organik, Tam dan Wong (1995, 1996, 1999) dan Tam et al., (2009) telah membuktikan efisiensi penggunaan lahan basah mangrove dalam meremove nitrogen dan polutan lainnya. Lahan basah merupakan sistem ekologi yang memanfaatkan sumber daya alam melibatkan vegetasi, tanah, dan kumpulan mikroba yang berhubungan untuk pemurnian limbah. Sistem ini menarik, karena memberikan alternatif biaya rendah, pemeliharaan yang mudah dan sederhana dalam upaya pengolahan air limbah (Tam et al., 2009). Karakteristik dan perendaman pasang surut yang unik di lahan basah mangrove menyediakan alternatif lingkungan berupa aerobik dan anaerobik, yang sesuai untuk proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Tam et al., 2009). Selanjutnya Sartoris et al., (2000) menambahkan bahwa kemampuan removing nitrogen berbanding lurus dengan luas lahan basah dan biomassa tanamannya. Boto (1982) in Prasad dan Ramanathan (2008) menambahkan bahwa ekosistem mangrove secara general berfungsi juga sebagai penyerap (sink) nutrien-nutrien dan materi terlarut serta berfungsi pula sebagai sumber materi organik. Mangrove di wilayah terlindung mampu mendeposisikan sedimen halus yang pada umumnya mengandung banyak nutrien, logam berat dan mineral. Silva et al. (2007) menambahkan bahwa mangrove berfungsi penting dalam mengendalikan eutrofikasi pada area pantai tropis. Oleh karena itu mangrove sangat
sesuai
untuk
penelitian
biogeochemical,
hydrogeochemical
dan
hidrological processes (Prasad dan Ramanathan, 2008). 2.2 Pencemaran Lingkungan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil 2.2.1
Pengertian Pencemaran Definisi pencemaran adalah perubahan-perubahan sifat fisik, kimia dan
biologi yang tidak diinginkan oleh udara, tanah dan air (Oddum, 1971). Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997, Pencemaran didefinisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
17 Pramudianto
(1999)
mendefinisikan
pencemaran
laut
sebagai
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan fungsinya. Demikian juga Kennish (2001) mendefinisikan bahan pencemar sebagai introduction matterial atau ekstraksi material dan energi oleh manusia kepada lingkungan, sehingga konsentrasi zat ini menjadi lebih tinggi atau bahkan lebih rendah di bawah tingkat alami sehingga kondisi lingkungan berubah. Perubahan terhadap lingkungan tersebut membahayakan bagi kelangsungan hidup biota maupun manusia yang disebabkan oleh limbah dari proses baik yang diakibatkan oleh alam maupun oleh manusia. UNEP (1993) in Anna (1999) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara pencemar (pollutants) dan limbah (waste). Pencemar merupakan bahan dan energi yang dibuang ke lingkungan dan dapat merusak ataupun membunuh makhluk hidup maupun makhluk tak hidup yang mendiami lingkungan tersebut. Adapun limbah rumah tangga yang sering disebut sebagai limbah domestik merupakan buangan dari rumah tangga, institusi, fasilitas komersial, dan fasilitasfasilitas lain yang sejenis yang bervariasi kuantitas dan komposisinya dari waktu kewaktu (Mukhtasor, 2007). Limbah tersebut memberikan dampak yang sangat merugikan. Kennish (2001) memberikan contoh dampak antropogenik pada ekosistem perairan dan laut yang terbagi menjadi tiga kategori : (1) terjadinya pencemaran; (2) hilangnya habitat dan terjadi perubahan; dan (3) pemanfaatan sumberdaya dan eksploitasi yang berlebihan. 2.2.2
Bahan Pencemar Bahan pencemar atau disebut pulutan merupakan bahan yang bersifat
asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang merusak ekosistem sehingga mengganggu fungsinya dari fungsi asalnya (Effendi, 2003). Pulutan sendiri berdasarkan cara masuknya ke lingkungan diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu secara alami (misalnya letusan gunung berapi, banjir dan fenomena alam lainnya) dan antropogenik (misalnya kegiatan perindustrian, rumah tangga, pertanian, dan perikanan).
18 Sedangkan beban pencemar didefinisikan sebagai jumlah total bahan pencemar yang masuk ke lingkungan dalam hal ini perairan baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia misalnya industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung dari aktivitas manusia di sekitar perairan dan di bagian hulu sungai yang mengalir ke arah laut (Suharsono, 2005). Selanjutnya menurut Jeffries dan Mils (1996) in Effendi (2003) berdasar sifat toksiknya, polutan dibagi menjadi 2 yaitu polutan tak toksik dan polutan toksik. a. Polutan tak toksik Pada dasarnya jenis polutan ini telah ada di alam. Bahan ini menjadi polutan ketika melebihi ambang batas yang dapat ditolelir sehingga menyebabkan terganggunya kesetimbangan ekosistem melalui perubahan proses sifat fisikakimia perairan. Sebagai contoh adalah pasokan nutrien/ zat hara yang berlebihan pada perairan, maka akan menyebabkan peristiwa eutrofikasi yang pada akhirnya akan memacu terjadinya blooming algae yang dapat mengganggu kesetimbangan ekosistem. Contoh lain adalah bahan tersuspensi. Bahan tersuspensi dapat mempengaruhi sifat fisik perairan berupa penetrasi cahaya. Penetrasi cahaya kedalam perairan dapat terhambat sehingga menyebabkan terganggunya proses fotosintesis.
b. Polutan toksik Polutan toksik pada umumnya berupa bahan yang bukan alami, misalnya pestisida, deterjen dan bahan artifisial lainnya. Polutan ini dapat menyebabkan kematian. Selain menyebabkan kematian, polutan ini juga dapat mengganggu pertumbuhan, tingkah laku dan karakteristik morfologi. Pulutan ini bersifat stabil (persisten) sehingga sulit untuk terdegradasi. Mason (1993) in Effendi (2003) mengelompokkan polutan ini menjadi lima, yaitu : 1. Logam (metals) meliputi timbal, nikel, cadmium, zinc, copper, dan merkuri 2. Senyawa
organik,
meliputi
pestisida
organoklorin,
herbisida,
PCB,
hydrocarbon petroleum, aromatic polinuklir, dibenzodioksin berklor, senyawa
19 organometalik, fenol, formaldehida. Pada umumnya senyawa ini berasal dari aktivitas industri, pertanian dan rumah tangga 3. Gas, misalnya klorin dan amonia 4. Anion misalnya sianida, flourida, sulfide dan sulfat 5. Asam dan alkali Adapun bagan proses transformasi dan pengaruh bahan pencemar dalam ekosistem ditampilkan pada Gambar 3. Sumber
Pencemar
Distribusi dan Transformasi
Pencemar
Lintasan dan Fluk Biogeokimia
Udara
Penyerapan dan Pemaparan
Air
Tanah
Sistem Lingkungan
Organisme
Sifat fisika kimia
Sifat Biokimia
Toksik Letal Sub Letal
Biokonsentrasi Bioakumulasi Biomagnifikasi
Respon Organisme
Reproduksi Migrasi Mortalitas
Respon Populasi
Perubahan Sifat dan Dinamika Populasi
Respon Komunitas
Perubahan Struktur dan Fungsi Komunitas
Diversitas Asosiasi
Respon Ekosistem
Perubahan fungsi Ekosistem
Produktivitas Nutrient Rate
Gambar 3 Proses transformasi dan pengaruh bahan pencemar dalam ekosistem (Sanusi dan Putranto, 2009) Beban pencemar yang dikeluarkan dari limbah rumah tangga menurut USEPA ditampilan pada Tabel 2.
20 Tabel 2 Volume rata-rata limbah domestik Volume Rata-rata limbah domestik (liter/orang/hari) Brown & Caldwell (1984) 250.6 Anderson & Slegrist (1989) 268.0 Anderson dkk. (1993) 191.9 Mayer dkk (1999) 261.3 Weight average 259.7 Sumber : USEPA (2002) in Mukhtasor (2007) Sedangkan di Jawa Timur berdasarkan studi yang dilakukan oleh BTKL Studi
pada tahun 2005 in Mukhtasor (2007) diketahui bahwa produksi limbah air dari sumber domestik di Kabupaten Sumenep adalah 203.61 liter/orang/harinya. 2.2.3
Faktor Penyebab Pencemaran Pencemaran pada umumnya terjadi akibat proses alam maupun akibat ulah
tangan manusia. Sutamihardja et al., (1982) mengklasifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan pencemaran di laut, antara lain : 1. Erosi dan sedimentasi akibat kerusakan hutan di daerah hulu sungai yang bermuara ke laut serta penggalian pasir dan kerikil di sungai-sungai tersebut 2. Limbah pertanian berupa pestisida dan pupuk yang digunakan dalam usaha pertanian yang masuk ke sistem perairan sehingga akhirnya bermuara ke laut 3. Air selokan yang berasal dari kota maupun pusat penduduk 4. Permasalahan pokok akibat aktivitas perminyakan. Beberapa peristiwa tersebut antara lain : ceceran minyak dari buangan secara kontinyu; pembuangan air ballast; permasalahan mengenai kecelakaan transportasi baik dalam hal pipa pengiriman maupun transportasi oleh kapal serta aktivitas pelabuhan 5. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), berupa air panas yang berasal dari air pendingin yang dibuang ke perairan yang pada akhirnya akan meningkatkan
suhu
perairan
sehingga
mengakibatkan
terganggunya
lingkungan bagi kelangsungan hidup biota di perairan tersebut 6. Aktivitas industri yang membuang limbah sisa industri ke perairan Selanjutnya Alamsyah dan Benny (1999); Dahuri (2008) menambahkan bahwa pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) maupun
21 kegiatan atau aktivitas di lautan (sea-based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat dibagi atas kontaminasi secara fisik dan kimiawi. Secara umum, kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : penebangan hutan (deforestation), buangan limbah industri (disposal of industrial wastes), buangan limbah pertanian (disposal of agricultural wastes), buangan limbah cair domestik (sewage disposal), buangan limbah padat (solid wastes disposal), konversi lahan mangrove dan lamun, dan reklamasi di kawasan pesisir. Sedangkan kegiatan atau aktivitas di laut (sea-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir
dan
laut antara lain : perkapalan, dumping di laut, pertambangan,
eksplorasi dan eksploitasi minyak, budidaya laut (mariculture), dan perikanan (fishing). Tabel 3 menyajikan urutan kepentingan sumbangan setiap sumber pencemar terhadap bahan pencemar di lingkungan pesisir dan lautan. Tabel 3 Sumber pencemar (pollutants) di wilayah pesisir dan lautan Pencemar Pertanian (pullutants)
Limbah Cair
Sedimen Nutrien Logam beracun Zat kimia beracun Pestisida Organisme exotik Organisme patogen Sampah Bahanbahan penyebab turunnya oksigen terlarut
*** *** *
** *** *
Limbah Cair Perkotaan *** ** *
*
**
*
***
*
*
***
*
* ***
*** **
* *
Sumber Pertambangan
***
* **
*** *
Sumber : Brodie (1995) in Dahuri (2008) Keterangan : *** : Sumber terbesar ** : Sumber moderat * : Sumber terkecil
Budidaya perikanan
*
Industri
Pelayaran
* * *** **
* *
* * ** *
**
* *
**
22 2.2.4
Analisis Beban Pencemar Beban pencemar merupakan istilah yang dikaitkan dengan jumlah total
bahan pencemar yang masuk ke dalam suatu lingkungan yang dihasilkan oleh manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya pada suatu kurun waktu tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung (Sutisna, 2007). Besarnya beban pencemar sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang berada di sekitar aliran air yang masuk ke daerah tersebut. Selain itu besarnya beban pencemar juga sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada saat pasang, beban limbah yang masuk akan sangat kecil dikarenakan tertahan oleh tingginya atau terjadinya peningkatan oleh massa air yang berasal dari laut. Sedangkan sebaliknya pada saat surut beban limbah yang ke muara dan pantai akan besar (Rafni, 2004; Hadi, 2005 in Mezuan, 2007). Dalam suatu analisis beban pencemar, sangat diperlukan penggunaan metode yang tepat dan sesuai dengan tujuan analisis. Memilih metode yang tepat merupakan masalah utama yang biasa dihadapi dalam suatu penelitian. Pemilihan metode seharusnya didasarkan pada kondisi lingkungan, seperti proses percampuran, tingkat pembilasan, volume pengenceran, penggunaan lahan, keberadaan spesies terancam punah, dan waktu pembuangan limbah. Suatu limbah dapat dikatakan sebagai sumberdaya apabila masih bisa ditolelir oleh ekosistem, namun sebaliknya bisa dikatakan sebagai bahan pencemar apabila dapat mengganggu keberadaan dan stabilitas ekosistem. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung dari aktivitas manusia yang mendiami sekitar aliran perairan mulai dari hulu sungai yang mengalir kearah laut (Suharsono, 2005). Seperti dikatakan diatas, bahwa pemilihan metode harus didasarkan pada tujuan dari suatu penelitian. Apabila suatu penelitian tersebut dilakukan untuk memberikan perhatian yang menarik bagi media dan masyarakat, maka metode yang pertama ini memberikan solusi analisis untuk memberikan asumsi bahwa seluruh limbah yang dihasilkan oleh manusia adalah pencemar. Metode pendekatan kedua adalah dengan mengasumsikan bahwa seluruh limbah dari masyarakat adalah pencemar, sedangkan limbah yang berasal dari proses-proses alam seperti banjir, letusan gunung berapi dan lain sebagainya sebagai rona awal. Pendekatan ketiga dalam penetapan metode analisis beban pencemar adalah dengan menggunakan metode penelitian langsung terhadap
23 seluruh objek yang dibagi dalam bagian kecil. Setiap bagian kecil tersebut kemudian dihitung beban limbah, kapasitas asimilasi dan status pencemarannya. Dari pada dua metode sebelumnya, metode ketiga ini memang lebih baik dan biasa digunakan pada penelitian skala regional, urban, dan lokal. Adapun metode pendekatan keempat adalah dengan menganalisis beban limbah dengan tujuan untuk mengetahui nilai lebih dan berkurangnya kapasitas asimilasi dari beban limbah kimia yang berbeda. Metode ini hampir sama dengan metode ketiga dengan keunggulan dan kekurangan yang hampir sama pula. 2.2.5
Kapasitas Asimilasi Pada dasarnya limbah bisa berfungsi sebagai sumberdaya dan juga bisa
menjadi bahan pencemar lingkungan. Perbedaan utama yang dapat dianalisis adalah karakteristik dari lingkungan penerima limbah, kualitas dari limbah yang dibuang dan juga waktu dari pembuangan limbah itu dilakukan (UNEP, 1993 in Anna, 1999). Limbah yang dapat dinetralkan dapat dikategorikan sebagai gangguan biasa sedangkan yang merusak lingkungan dikatakan sebagai pencemar. Demikian halnya limbah yang melewati atau yang diterima ekosistem mangrove, apabila tidak mengganggu ekosistem mangrove maka hanya dikategorikan sebagai gangguan biasa, namun apabila sampai merusaknya maka dikategorikan sebagai pencemar. Kemampuan dalam menerima limbah tanpa merusak ekosistem tersebut disebut sebagai kapasitas asimilasi. Nemerow (1991) in Mezuan (2007) menambahkan bahwa kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Jadi, kapasitas asimilasi merupakan kemampuan dari suatu lingkungan ataupun ekosistem dalam menerima limbah ataupun bahan pencemar tanpa menyebabkan gangguan ataupun kerusakan bagi lingkungan ataupun ekosistem tersebut. Perhitungan kapasitas asimilasi sangat tergantung dari lingkungan studi dan bersifat sangat spesifik, sehingga antara suatu lingkungan dengan lingkungan yang lain akan berbeda penilaiannya. Salah satu metode yang digunakan dalam menghitung kapasitas asimilasi adalah dengan membandingkan antara kualitas air dengan jumlah beban pencemar limbah. Kapasitas asimilasi dapat ditentukan
24 dengan cara memplotkan nilai-nilai kualitas perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah yang dikandungnya pada suatu grafik. Setelah itu hasil yang diperoleh direferensikan dengan baku mutu yang berlaku dan berkaitan dengan biota laut (Rajab, 2005). Referensi yang dipakai dalam penentuan ini adalah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran 8). Adapun yang disebut nilai kapasitas asimilasi merupakan hasil perpotongan pada grafik dari hasil komparasi antara beban pencemar dengan baku mutu air laut bagi kehidupan biota tersebut. 2.3 Parameter Kualitas Air Kualitas air didefinisikan sebagai sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi, dan komponen lain dalam air (Effendi, 2003). Dahuri (2005) menambahkan bahwa kondisi kualitas air suatu lingkungan dapat menggambarkan apakah suatu lingkungan itu tercemar atau tidak. Penentuan tingkat tercemar atau tidaknya suatu lingkungan dapat dilakukan dengan mengukur konsentrasi berbagai bahan pencemar. Adapun pengukuran kualitas air dilakukan dengan maksud untuk : 1) mengetahui nilai kualitas air dalam bentuk, fisika, kimia dan biologi, 2) membandingkan nilai kualitas air dengan baku mutu yang berlaku sesuai dengan peruntukannya, 3) menilai kelayakan sumber daya air untuk keperluan tertentu (Siregar, 2005). 2.3.1
TSS (Total Suspended Solid) Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid) merupakan padatan
dengan diameter > 1 µm yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut, dan tidak dapat langsung mengendap, yang terdiri dari partikel-partikel dengan ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya. Padatan tersebut tersaring pada kertas milipore dengan ukuran pori sebesar 0,45 µm (Hariyadi et al., 1992 in Rafni, 2004). Apabila nilai TSS suatu perairan tinggi maka nilai kecerahan perairan tersebut akan rendah, demikian sebaliknya semakin rendah nilai TSS maka semakin tinggi kecerahan pada perairan tersebut. Padatan tersuspensi akan berpengaruh kuat terhadap keberadaan biota melalui dua mekanisme. Pertama,
25 menghalangi penetrasi sinar matahari yang secara langsung akan menghambat proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton sehingga berakibat berkurangnya pasokan oksigen. Kedua secara langsung kandungan TSS yang tinggi dapat mengganggu biota (Effendi, 2003). Nybakken (1992) menambahkan bahwa semakin tinggi nilai TSS maka dapat mangakibatkan penurunan kedalaman eufotik yang menyebabkan semakin berkurang pula perairan produktif. 2.3.2
Kebutuhan Oksigen Biokimia dan Kimiawi (BOD5) Bahan organik yang mengalir pada saluran air sangat sulit untuk
dipisahkan sesuai dengan yang ditujukan. Hal tersebut dikarenakan limbah tersebut langsung tercampur dengan segala bahan yang ada pada saluran tersebut. Oleh karena itu tidak ada tes khusus yang menyediakan pengukuran secara spesifik. Namun demikian terdapat 3 cara pengukuran yang pada umumnya digunakan untuk memperkirakan kandungan bahan organik di perairan. (Effendi, 2003) menyatakan bahwa tiga cara tersebut adalah dengan memperkirakan Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total Organik Carbon (TOC). BOD merupakan jumlah oksigen yang didigunakan dalam proses biokimia bahan organik oleh organisme yang terdapat dalam air, pada keadaan aerobik yang diinkubasi pada suhu 200C selam 5 hari (BOD5) (APHA, 2005). Pengukuran dengan dilakukan inkubasi selama 5 hari ditujukan untuk meminimalkan oksidasi amonia yang juga mengkonsumsi oksigen. Proses oksidasi amonia (nitrifikasi) berlangsung pada hari ke 8-10, sehingga dengan masa inkubasi 5 hari diperkirakan 70-80% bahan organik telah mengalami oksidasi (Effendi, 2003). Nilai BOD5 di suatu perairan dapat dijadikan petunjuk dalam menentukan tingkat pencemaran bahan organik suatu perairan (Tabel 4). Tabel 4 Kriteria tingkat pencemaran perairan berdasarkan konsentrasi BOD 5 Konsentrasi BOD5 (ppm) Tingkat Pencemaran < 2.90 Tidak Tercemar 3.00 - 5.00 Tercemar Ringan 5.10 – 14.90 Tercemar Sedang >15.00 Tercemar Berat Sumber : Lee et al. (1978) in Rafni 2004
26 2.3.3
Unsur Nitrogen (NH3, NO2, NO3) Diantara dissolved nutrient yang ada, nitrogen merupakan penyebab utama
terjadinya eutrofikasi (Elser et al., 1990 in González-Alcaraz et al., 2010). Nitrogen dan senyawanya tersebar sebanyak 78% di atmosfer bumi (Effendi, 2003). Meskipun dalam jumlah yang melimpah, namun demikian tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh organisme (Dugan, 1972 in Effendi, 2003). Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3 (amonia), NH4 (amonium), NO3 (nitrat). Fiksasi nitrogen atmosfer oleh akar yang berasosiasi dengan bakteri merupakan sumber nitrogen yang penting bagi tumbuhan darat (Hogarth, 2007). Nitrogen diperairan dibedakan menjadi dua yaitu nitrogen anorganik yang terdiri dari amonia (NH3), amonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan molekol nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Sedangkan dalam bentuk organik berupa protein, asam amino dan urea. Bentuk-bentuk nitrogen tersebut mengalami transformasi baik dengan melibatkan atau tidak melibatkan makrobiologi maupun mikrobiologi sebagai bagian dari siklus nitrogen. Nasib nitrogen di lahan basah meliputi : (1) rilis ke air pasang dan diekspor ke lingkungan air sekitarnya; (2) adsorpsi ke partikel sedimen, (3) penyerapan dan asimilasi oleh tanaman termasuk makroalga dan plankton, dan (4) konversi mikroba, khususnya dalam proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Tam et al., 2009). Nitrifikasi adalah proses aerobik yang mengoksidasi NH4+ menjadi NO3-, Sedangkan denitrifikasi adalah proses heterotrofik anoxic yang mereduksi NO3- menjadi gas N2 ke atmosfer. Proses Nitrifikasi dan denitrifikasi diyakini menjadi mekanisme penting dan dalam jangka panjang, khususnya untuk loading nitrogen tingkat tinggi (Ullah and Faulkner, 2006). Adapun proses tersebut yang terjadi pada ekosistem mangrove untuk lebih jelasnya ditampilkan pada Gambar 4.
27
Atmosphere
NH4+
Aerobic Zone
NO2-
NO3-
Anaerobic Zone
NH4+
NO3-
N2
N2O
Gambar 4 Chemistry of nitrogen compounds in mangrove soil (Boto, 1984 in Hogarth, 2004) Adapun transformasi nitrogen mikrobiologis mencakup hal-hal sebagai berikut (Effendi, 2003) : a. Asimilasi nitrogen anorganik (amonia dan nitrat) oleh tumbuhan dan mikroorganisme untuk membentuk nitrogen organik, misalnya asam amino dan protein. Di perairan, proses ini terutama dilakukan oleh bakteri autotrof dan tumbuhan. b. Fiksasi
gas
nitrogen
menjadi
amonia
dan
nitrogen
organik
oleh
mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh beberapa jenis algae Cyanophyta (blue green algae) dan bakteri. c. Nitrifikasi, yaitu oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat. Proses oksidasi ini dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8 dan pada pH < 7 berkurang secara nyata. Bakteri nitrifikasi bersifat mesofilik, menyukai suhu 300C. d. Amonifikasi nitrogen organik untuk menghasilkan amonia selama proses dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan jamur. Autolysis (pecahnya) sel dan ekskresi amonia oleh zooplankton dan ikan juga berperan sebagai pemasok amonia. e. Denitrifikasi, yaitu reduksi nitrat (NO3) menjadi nitrit (NO2), dinitrogen oksida (N2O) dan molekul nitrogen (N2). Proses reduksi nitrat berjalan optimum pada kondisi anoksik (tidak ada oksigen). Proses ini juga melibatkan bakteri dan jamur. Dinitrogen oksida adalah produk utama dari denitrifikasi
28 pada perairan dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen adalah produk utama dari proses denitrifikasi pada perairan dengan kondisi anaerob. Sumber utama nitrogen antropogenik adalah berasal dari wilayah pertanian yang menggunakan urea secara intensif dan berasal dari limbah domestik (rumah tangga). Tingginya konsentrasi nitrogen suatu perairan maka akan dapat memicu pertumbuhan alga secara tidak terkontrol (blooming algae). Konsentrasi nitrogen pada perairan tidak tercemar adalah 0.1 – 5 mg/L sedangkan di perairan tercemar berat, kadar nitrogen mencapai 100 mg/L (Dojildo and Best, 1992 in Putri 2006). Nitrat (NO3) merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Demikian halnya dengan amonium, namun amonium lebih disukai oleh tumbuhan. Kadar nitratnitrogen pada perairan alami tidak pernah melebihi 0.1 mg/L. Apabila suatu perairan memiliki kadar nitrat sebesar 5 mg/L maka mengindikasikan bahwa perairan tersebut mengalami pencemaran antropogenik yang berasal dari aktifitas manusia dan kotoran hewan (Effendi, 2003). Selanjutnya Effendi (2003) menambahkan bahwa kadar nitrat yang melebihi 0.2 mg/L di suatu perairan dapat memicu
terjadinya
eutrofikasi
yang
implikasinya
dapat
menstimulasi
pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara cepat (blooming). 2.3.4
Fosfor Fosfor merupakan salah satu nutrien yang dimanfaatkan dalam
pertumbuhan algae. Dalam perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa organik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik. Sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis terlebih dahulu untuk dapat membentuk ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai fosfor. Kadar fosfor dalam perairan alami jarang yang melebihi 1 mg/L (Boyd, 1988 in Effendi 2003). Selanjutnya Effendi (2003) menambahkan bahwa berdasarkan kadar ortofosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : (1) perairan oligotrofik, dengan kadar ortofosfat 0.003 – 0.01 mg/L; (2) perairan mesotrofik, dengan kadar ortofosfat sebesar 0.011 – 0.003 mg/L; dan (3) perairan eutrofik yang memiliki
29 kadar ortofosfat 0.031 – 0.1 mg/L (Vollenweider in Wetzel, 1975 in Effendi, 2003). 2.3.5
Suhu Suhu air sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : musim,
ketinggian dari permukaan laut, lintang, penutupan awan, sirkulasi udara, aliran, serta kedalaman suatu perairan (Effendi, 2003). Terkait dengan mangrove, suhu sangat berpengaruh terhadap proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi (Aksornkoae, 1993). Organisme baik teresterial terlebih akuatik sangat dipengaruhi oleh suhu. Perubahan suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan, maupun perkembangbiakan biota. Hal tersebut dikarenakan organisme akuatik khususnya memiliki kisaran suhu tertentu dalam melangsungkan hidupnya. Suhu berpengaruh baik dalam proses fisik, kimia maupun biologi air. Perubahan suhu sangat mempengaruhi terhadap proses metabolisme dan respirasi baik mangrove maupun organisme air. Bagi organisme air perubahan suhu perairan 100C dapat meningkatkan 2 – 3 kali lipat konsumsi oksigen Organisme akuatik (Effendi, 2003). Terkait dengan makrozoobentos Hutagalung (1988) in Amrul (2007) menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan mollusca adalah 15 – 280C. Siagian (2001) in Suwondo et al., (2010) menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan organisme bentik adalah berkisar antara 25-320C. Welch (1980) in Diniarti (2010) menambahkan bahwa suhu diatas 34 – 400C merupakan suhu letal yang dapat menyebabkan kematian bagi makroavertebrata bentik. Secara umum mangrove memiliki kondisi pertumbuhan optimum pada suhu di daerah tropis (Aksornkoae, 1993). Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20 oC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 50C, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 100C. Suhu optimum untuk pertumbuhan mangrove jenis Avicennia marina berkisar 18 – 200C, Rhizophora stylosa, Ceriops spp, Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan tertinggi daun segar dicapai pada suhu 26 – 280C, suhu optimum Bruguiera spp 270C, dan Xylocarpus spp berkisar antara 21 – 260C (Aksornkoae, 1993).
30 2.3.6
Salinitas Salinitas merupakan jumlah berat semua garam dalam gram yang terlarut
dalam satu liter air yang biasanya dinyatakan dalam bentuk satuan per mil atau gram per liter (Nontji, 1987). Gradien salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan debit air dari sungai (run off), pasang surut serta dinamika perairan lainnya. Ketersediaan air tawar dan pengaruh pasang surut sangat berdampak pada nilai salinitas yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam kaitannya dengan mangrove, salinitas memiliki peran penting bagi pertumbuhan, daya adaptif, dan zonasi mangrove (Aksornkoae, 1993). Mangrove dapat tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas air payau (> 0,5‰) sampai dengan salinitas air laut 30‰ - 33‰. Salinitas yang tinggi (> 35‰) dapat berpengaruh buruk bagi vegetasi mangrove, karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif (Bengen, 2000). Sedangkan terkait dengan makrozoobentos, salinitas merupakan salah satu parameter yang memiliki peran penting dalam mempengaruhi penyebarannya selain kandungan bahan organik dan fraksi sedimen (Wu dan Richard, 1981 in Emiryati, 2004). 2.3.7
Derajat Keasaman (pH) pH merupakan gambaran jumlah aktivitas ion hidrogen dalam perairan.
Setiap organisme memiliki kisaran pH yang berbeda pula dalam tingkat toleransinya. pH yang paling disukai oleh biota akuatika dalah 7 - 8.5 (Effendi, 2003). Nilai pH juga sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi perairan. Nilai pH sangat dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut dan masukan air tawar dari daratan. Nilai pH diklasifikasikan menjadi 3 yaitu, pH = 7 adalah netral; pH berkisar antara 0 - <7 adalah asam dan nilai pH berkisar antara >7 – 14 adalah basa. 2.3.8
Oksigen Terlarut (DO) Kadar oksigen terlarut sangat mempengaruhi kelangsungan hidup
organisme yang ada didalamnya. Kadar oksigen terlarut sangat dipengaruhi oleh kualitas air lainnya, misalnya kekeruhan, suhu, salinitas, TSS, pergerakan massa air, tekanan atmosfer. Effendi (2003) menyatakan bahwa DO berfluksuasi baik secara harian maupun musiman dimana fluktuasi tersebut sangat dipengaruhi oleh
31 percampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah. Berubahnya konsentrasi DO sangat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek secara langsung berupa kematian bagi biota dan secara tidak langsung didapat dari meningkatnya konsentrasi toksisitas bahan pencemar perairan yang dapat membahayakan biota (Emiryati, 2004). Effendi (2003) menambahkan bahwa dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol. Sedangkan pada ekosistem mangrove, Aksornkoae (1993) menambahkan bahwa DO sangat bervariasi tergantung waktu, musim, dan kekayaan tumbuhan serta organisme akuatik pada ekosistem mangrove. 2.4 Sedimen Sedimen adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi secara umum. Sedangkan Nurjaya et al., (2006) mendefinisikan bahwa sedimen merupakan partikel anorganik yang tidak menyatu (terlepas satu sama lain) terakumulasi di dasar laut. Sedimen berasal dari berbagai sumber baik hasil dari pelapukan (weathering), erosi, proses vulkanik, aktivitas biologi dan kimiawi. Jadi, sedimen merupakan salah satu bagian dari ekosistem perairan yang sangat berperan dalam siklus biogeokimia dari suatu unsur elemen atau unsur kimia, karena dalam sedimen terjadi proses transformasi suatu senyawa atau unsur kimia (menentukan spesiasi kimia). Partikel sedimen mempunyai ukuran yang bervariasi, mulai yang besar sampai yang halus. Berdasarkan skala Wentworth sedimen diklasifikasikan sebagai berikut (Tabel 5).
32 Tabel 5 Skala Wentworth Nama Batuan ((boulder) Batuan bulat (cobble) Batuan kerikil (pebble) Butiran (granule) Pasir paling kasar (very coarse sand) Pasir kasar (coarse sand) Pasir sedang (medium sand) Pasir halus (fine sand) Pasir sangat halus (very fine sand) Lempung (silt) Liat (clay)
Ukuran (mm) > 256 256 – 64 64 – 4 4–2 2–1 1 – 0.5 0.5 – 0.25 0.25 – 0.12 0.125 – 0.0625 0.0625 – 0.0039 < 0.0039
Pengendapan sedimen atau sedimentasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kecepatan arus, kondisi dasar perairan, turbulensi, densitas sedimen, bentuk sedimen dan diameter sedimen (Libes, 1992 dan Odum, 1971 in Idris 2000) sedimen dengan diameter 104 µm akan tererosi oleh arus dengan kecepatan 150 cm/det dan terbawa arus pada kecepatan antara 90-150 cm/det, selanjutnya akan mengendap pada kecepatan < 90 cm/det. Hal yang sama untuk sedimen halus dengan diameter 102 µm, sedimen ini tererosi pada kecepatan arus >30 cm/det dan terdeposisi pada kecepatan < 15 cm/det (Holme dan Mclyntyre 1971 in Amrul 2007). Selanjutnya Wood (1986) in Amrul (2007) menyatakan partikel yang halus akan mengendap pada kecepatan arus 5 cm/det tetapi dapat kembali keperairan dengan kecepatan arus 15 cm/det. Tabel 6 Kecepatan endapan sedimen Tipe Sedimen
Diameter (µm)
Pasir halus 250 – 125 Pasir sangat halus 125 – 62 Silt 31.2 – 3.9 Clay 1.95 – 0.12 Sumber : King (1976) in Supriharyono (2000)
Kecepatan Endapan (cm/detik) 1.2037 0.3484 0.0870 – 0.0014 3.47 x 10-4 - 1.16 x 10-6
Tekstur sedimen sangat menentukan terhadap daya dukung limbah yang masuk. Semakin kasar tekstur sedimen maka kemampuan untuk menerima limpahan limbah semakin besar. Hal ini berkaitan dengan kondisi oksidatif
33 sedimen. Kondisi yang oksidatif menyebabkan hasil degradasi bahan-bahan organik tidak akan bersifat toksik, namun sebaliknya akan lebih bisa bermanfaat bagi organisme akuatik pada umumnya. Berbeda halnya dengan tekstur sedimen halus dimana daya dukungnya terhadap masukan limbah relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh sudah adanya konsentrasi bahan organik yang harus didekomposisi sebelumnya. Masukan limbah apalagi dalam jumlah banyak dan konstan akan menyebabkan keadaan anoksik pada sedimen. Kondisi seperti ini menyebabkan hasil dekomposisi bahanbahan organik kebanyakan bersifat toksik bagi organisme akuatik. 2.5 Makrozoobentos Zoobentos adalah hewan yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan (Odum, 1983). Makrozoobenthos merupakan organisme akuatik yang hidup di dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat yang sangat dipengaruhi oleh substrat dasar serta kualitas perairan. Makrozoobenthos berperan penting dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan organik maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi organisme konsumen yang lebih tinggi. Selain itu bentos berfungsi juga menjaga stabilitas dan geofisika sedimen. Penurunan komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman dari makrozoobenthos biasanya merupakan indikator adanya gangguan ekologi yang terjadi pada sungai tersebut (Setiawan, 2009). Komunitas fauna bentik ini pada dasarnya terbagi menjadi 5, yaitu Mollusca, Crustacea, Polychaeta, Echinodermata, dan kelompok lain yang terdiri dari beberapa takson kecil seperti Sipunculidae (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Berdasarkan keberadaannya di perairan, makrobentos digolongkan menjadi kelompok epifauna, yaitu hewan bentos yang hidup melekat pada permukaan dasar perairan, sedangkan hewan bentos yang hidup didalam dasar perairan disebut infauna. Tidak semua hewan dasar hidup selamanya sebagai bentos pada stadia lanjut dalam siklus hidupnya. Hewan bentos yang mendiami daerah dasar misalnya, kelas polychaeta, echinodermata dan moluska mempunyai stadium larva yang sering kali ikut terambil pada saat melakukan pengambilan contoh plankton.
34 Bentos sebagaimana hewan lain memiliki tingkat kesesuaian tertentu dalam hidup di lingkungan. Semakin tinggi tingkat toleransi yang dimiliki bentos, maka semakin luas pula tingkat penyebarannya. Sebaliknya semakin rendah atau sempit tingkat toleransi kehidupan bentos terhadap lingkungan, maka semakin sempit pula tingkat penyebarannya. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan terhadap lingkungan, maka dapat dipastikan terjadi pula perubahan terhadap kelimpahan jenis, kepadatan, dan keanekaragaman. Hal yang umum digunakan dalam mengetahui pencemaran lingkungan dengan menggunakan bentos adalah dengan cara menghitung indeks diversitas. Alasannya adalah apabila lingkungan berubah maka diversitas akan berubah pula. Adapun parameter yang digunakan adalah : kelimpahan spesies, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi (Gray, 1981; Krassulya, 2001 in Rafni, 2004). Menurut Putri (2006), terdapat 3 alasan mengapa bentos dapat dijadikan indikator lingkungan : 1. Memiliki tingkat kepekaan yang berbeda-beda terhadap jenis pencemaran 2. Memberikan reaksi yang cepat terhadap perubahan yang terjadi 3. Memiliki mobilitas yang rendah sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya serta mudah ditangkap dan diidentifikasi Bentos memiliki perbedaan kepekaan terhadap pencemaran yang disebabkan oleh bahan organik. Perbedaan tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok (Bengen et al., 1995) : 1. Kelompok intoleran, yaitu bentos yang dapat melangsungkan kehidupannya dalam kisaran toleransi yang sempit sehingga sangat jarang ditemukan di perairan yang kaya akan bahan organik dan tidak dapat berkembangbiak dengan baik apabila habitatnya mengalami penurunan kualitas lingkungan. Contoh dari kelompok ini adalah Ephemera simulans, Chimmara obscura, Mesouvelia sp, Helicus eithophilus, dan Anopheles punctipenis. 2. Kelompok fakultatif. Kelompok ini memiliki tingkat toleransi yang lebih lebar dibandingkan dengan kelompok intoleran sehingga kelompok ini dapat hidup dan berkembang dalam lingkungan yang tercemar berat. Contoh spesies yang ada di kelompok ini adalah : Stenonema heterotarsela, Argion maculatum,
35 Taenioptery maura, Agobus stagninus, Conydalis comubus, Hydropsyche bronta, Chironomus decorus, dan Helodrilus chlorotica. 3. Kelompok toleransi yaitu kelompok bentos yang dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi lingkungan luas dan dapat dijumpai di lokasi tercemar. Contoh : Chironomus riparium, Limnodrilus sp, dan Tubifex sp. Berdasarkan keberadaan kelompok bentos intoleran, fakultatif dan toleran, tingkat pencemaran suatu lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok (Tabel 7). Tabel 7 Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan keberadaan kelompok bentos Kondisi perairan Tidak tercemar
Tercemar sedang
Tercemar
Tercemar berat
Struktur Komunitas Komunitas makrozoobentos yang seimbang dengan beberapa spesies intoleran yang hidup diselingi kelompok fakultatif, tidak terdapat spesies yang mendominasi Terdapat sejumlah spesies intoleran yang hilang dan beberapa kelompok fakultatif. Terdapat satu atau beberapa spesies toleran yang mulai mendominasi Komunitas mokrozoobentos dengan jumlah terbatas diikuti oleh hilangnya kelompok intoleran dan fakultatif. Ditemukan kelompok toleran yang mulai melimpah manandakan perairan tercemar bahan organik Hilangnya seluruh makrozoobentos dan diganti oleh cacing oligochaeta dan organisme yang mampu bernafas di udara
2.6 Pulau-Pulau Kecil 2.6.1
Pengertian Pulau-Pulau Kecil Pulau-pulau kecil (PPK) merupakan 7% dari wilayah dunia. PPK
mempunyai berbagai macam pengertian, diantaranya menurut SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002 yang mendefinisikan bahwa pulau kecil merupakan pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 dan mempunyai penduduk kurang dari 200.000 orang. Menurut definisi yang dikeluarkan oleh PBB dalam UNCLOS (United Nation Convention of the Law on The Sea), definisi pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan saat air pasang. Sedangkan menurut Monk et al. (2000) in Siregar
36 (2008) mendefinisikan pulau sebagai suatu masa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh air laut. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Adapun definisi pulau kecil berdasarkan pembentukannya, pulau kecil terbagi menjadi dua tipe yaitu pulau oseanik dan pulau kontinental. Lebih lanjut lagi, pulau oseanik dapat digolongkan atas dua kategori yaitu pulau vulkanis dan pulau karang (pulau datar). Adapun perbandingan ciri-ciri pulau oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua disajikan pada Tabel 8.
37 Tabel 8 Perbandingan umum ciri-ciri umum pulau oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua PULAU OSEANIK
Jauh dari benua Dikelilingi oleh laut luas
Area daratan kecil
Suhu udara stabil Iklim sering berbeda dengan pulau continental terdekat
Umumnya karang atau vulkanik Sedikit mineral penting
Tanahnya porous/permeabel
Keanekaragaman hayati rendah Pergantian spesies cukup tinggi Tingginya pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
Sedikit sumberdaya daratan
Sumberdaya laut lebih penting Jauh dari pasar
PULAU KONTINENTAL Karakteristik Geografis Dekat dengan benua Dikelilingi sebagian oleh laut yang sempit Area daratan besar
Area daratan sangat besar
Suhu udara bervariasi Iklim musiman
Sedimen atau metamorphosis Beberapa mineral penting
Beragam tanahnya
Keanekaragaman hayati tinggi Pergantian spesies biasanya rendah Sedikit pemijahan missal hewan laut bertulang belakang
Suhu agak bervariasi Iklim mirip benua terdekat Karakteristik Geologi Sedimen atau metamorphosis Beberapa mineral penting Beragam tanahnya Karakteristik Biologi Keanekaragaman hayati sedang Pergantian spesies agak rendah Seringnya pemijahan misal hewan laut bertulang belakang Karakteristik Ekonomi Sumberdaya daratan agak luas Sumberdaya laut lebih penting Lebih dekat pasar
BENUA
Sumberdaya daratan luas
Sumberdaya laut sering tidak penting Pasar relatif mudah
Sumber : Salm et al. 2000 in Bengen dan Retraubun (2006)