7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Mangrove 2.1.1. Karakteristik Hutan Mangrove Kawasan hutan mangrove selain berfungsi secara fisik sebagai penahan abrasi pantai, sebagai fungsi biologinya mangrove menjadi penyedia bahan makanan bagi kehidupan manusia terutama ikan, udang, kerang dan kepiting, serta sumber energi bagi kehidupan di pantai seperti plankton, nekton dan algae. Menurut Supriharyono (2000), 38 jenis mangrove yang tumbuh di Indonesia, di antaranya meupakan marga Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus,
Barringtonia,
Luminitzera
dan
Ceriops.
Secara
ekologis,
pemanfaatan hutan mangrove di daerah pantai yang tidak dikelola dengan baik akan menurunkan fungsi hutan mangrove itu sendiri dan akan berdampak negatif pada potensi biota dan fungsi ekosistem hutan lainnya sebagai habitat. Sekitar 89 spesies mangrove yang diperkirakan tumbuh di dunia terdiri atas 31 genera dan 22 famili. Tumbuhan mangrove tersebut umumnya hidup di hutan pantai Asia Tenggara, yaitu sekitar 74 spesies dan hanya sekitar 11 spesies yang hidup di daerah Caribbean. Dari jumlah ini, sekitar 51% atau 38 spesies hidup di Indonesia. Jumlah ini belum termasuk spesies ikutan yang hidup bersama di daerah mangrove (Saparinto 2007). Snedaker (1978) mengemukakan hutan mangrove sekelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropika dan subtropika yang terlindung dan merupakan lahan pantai dengan tipe tanah anaerob. Hutan mangrove adalah hutan dengan vegetasi yang hidup di muara sungai, daerah pasang surut dan tepi laut (Baehaqie dan Indrawan 1993). Hutan mangrove disebut juga coastal woodland atau “tidal vegetation” atau “hutan bakau” atau “rawa garam” atau “intertidal zone” (Allen 1973). Mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak akibat adanya pembentukan tanah lumpur dan daratan secara terus-menerus oleh tumbuhan sehingga secara perlahan-lahan berubah menjadi semi daratan. Kostermans (1982) menyebut mangrove sebagai vegetasi berjalan yang cenderung mendorong terbentuknya
8
tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi baru pada tanah timbul tersebut. Agustina et al. (2007) juga mengemukakan berbagai bentuk adaptasi vegetasi mangrove sebagai berikut : 1. Adaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, vegetasi mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas, yaitu : a. bertipe cakar ayam
yang mempunyai pneumatofora untuk
mengambil oksigen dari udara, seperti pada Avicennia spp., Xylocarpus spp., dan Sonneratia spp. b. bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel, seperti pada Rhizophora spp. 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : a. memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungi menyimpan garam; b. berdaun tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam; c. daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut dengan mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Selain untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsure hara dan menahan sedimen. 2.1.2. Zonasi Hutan Mangrove Pada umumnya lebar zona mangrove jarang melebihi 4 km, kecuali pada beberapa estuarine serta teluk yang dangkal dan tertutup, pada daerah seperti ini lebar zona mangrove dapat mencapai 18 km seperti di Sungai Sembilang Sumatera Selatan atau lebih 30 km seperti di Teluk Bintuni Papua. Hutan mangrove juga menembus hulu sepanjang tebing sungai sejauh 300 km sepanjang Sungai Fly di Nugini. Mangrove biasanya tidak terdapat pada atol-atol dan pulau-pulau yang terisolasi seperti di Hawaii (Saparinto 2007).
9
Habitat tumbuhan mangrove sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, diantaranya adalah : a. Pasang surut Pasang surut adalah proses naik turunnya muka air laut secara periodik karena gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari. Naik turunnya muka laut dapat terjadi sekali sehari (pasang surut tunggal) atau dua kali sehari (pasang surut ganda). Sedangkan pasang surut yang bererilaku di antara keduanya disebut pasang surut campuran(Saparinto 2007). Pasang surut menentukan zonasi komunitas mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi horizontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rhizophora yang tumbuh baik, sedang Bruguiera dan Xylocarpus jarang mendominasi daerah yang sering tergenang (Saparinto 2007). b. Salinitas Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 - 30‰. Beberapa spesies dapat tumbuh dengan salinitas tinggi yaitu Avicennia sp dan Excoecaria sp yang tumbuh dengan salinitas maksimum 63‰, Ceriops sp 72‰, Sonneratia sp 44‰, Rhizophora apiculata 65‰ dan R. stylosa 74‰. Curah hujan juga dapat mempengaruhi kadar garam suatu perairan dan permukaan tanah mangrove, selain berpengaruh kepada suhu air dan udara. dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun (Saparinto 2007). Banyak pohon mangrove tumbuh di lingkungan air asin dan air tawar. Mangrove tumbuh baik di daerah pasang surut dengan salinitas yang bervariasi dan kurangnya kompetisi dengan tumbuhan jenis lain yang tidak
beradaptasi
dengan
air
bergaram
menyebabkan
mendominasi vegetasi kawasan pantai (Saparinto 2007).
mangrove
10
c. Suhu Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh radiasi matahari, posisi matahari, letak geografis, musim, kondisi awan, serta proses interaksi air dan udara, seperti alih panas, penguapan dan hembusan angin. Suhu air di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28 – 380C. suhu dekat pantai umumnya lebih tinggi di bandingkan dengan suhu di areal lepas pantai (Saparinto 2007). Suhu yang baik untuk vegetasi mangrove tidak kurang dari 200C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 50C, sedangkan suhu di atas 40 0C cenderung tidak berpengaruh nyata pada tingkat kehidupan mangrove. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan yang baik pada mangrove jenis Avicennia sp pada suhu 18 – 20 0C, Rhizophora sp, Ceriops sp, Excoecaria sp dan Lumnitzera sp adalah ada suhu 26 – 28 0C. sedang Bruguiera sp pada 27 0C, dan Xylocarpus sp berkisar 21 – 28 0C. Saparinto 2007). d. Cahaya Radiasi matahasri juga penting dalam melengkapi cahaya yag dibutuhkan oleh tanaman hijau untuk digunakan pada proses fotosintesis. Vegetasi mangrove tidak dapat hidup tanpa adanya cahaya matahari yang cukup. Akibatnya penyebaran komunitas mangrove dibatasi dengan adanya intensitas cahaya matahari pada suatu daerah. Keberadaan cahaya matahari juga berpengaruh terhadap suhu di suatu daerah perairan. Umumnya vegetasi mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi
mangrove.
Kisaran
intensitas
cahaya
optimal untuk
pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari. Pada saat masiih kecil (semai) vegetasi mangrove membutuhkan naungan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan : - intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rhizophora.
11
- intensitas
cahaya
75% mempercepat pertumbuhan bibit
Bruguiera. - intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit Rhizophora dan Bruguiera. e. Tanah Tanah-tanah di hutan mangrove di Indonesia terdiri dari tanahtanah bertekstur halus, tingkat kematangan yang rendah, kadar garam dan alkalinitas tinggi, mengandung sulfat masam atau bahan sulfidik, kandungan liat dan debu yang umumnya tinggi (Snedaker dan Snedaker 1984). Agustina et al. (2007) mengemukakan penyebaran zonasi hutan mangrove yang dipengaruhi faktor salinitas sebagai salah satu faktor lingkungan adalah sebagai berikut : 1. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10 – 30%. a. Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan, hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh; b. Area yang terendam 10 – 19 kali per bulan; ditemukan Avicennia alba, Avicennia marina, Sonneratia sp dan dominan Rhizophora sp. c. Area yang terendam kurang dari Sembilan kali setiap bulan; ditemukan Rhizophora sp., Bruguiera sp. d. Area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun; Bruguiera gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apiculata masih dapat hidup. 2. Zona air tawar hingga air payau dengan salinitas berkisar antara 0 – 10%. a. Area yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang surut; terdapat asosiasi Nypah. b. Area yang terendam secara musiman; didominasi Hibiscus. Nybakken (1988) mengemukakan bahwa bakau dapat berkembang sendiri pada tempat yang terdapat gelombang. Kondisi fisik pertama yang harus terdapat pada daerah bakau ini adalah gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat menyebabkan
12
partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur, sehingga subsrat pata rawa bakau umumnya adalah lumpur. Pada keadaan ini, daerah tersebut seperti pantai berlumpur dimana terdapat sirkulasi interstitial yang minimal dan jumlah bakteri yang banyak, menimbulkan kondisi anoksik. Mungkin hal ini juga yang menerangkan mengapa bajau mempunyai akar yang dangkal dan atau pneumatofor. 2.1.3. Potensi dan Sebaran Hutan Mangrove Potensi ekosistem mangrove Indonesia dengan luasan mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara merupakan ekosistem mangrove dengan tingkat keragaman jenis tertinggi di dunia. Pada tahun 1982, luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar, terutama terdapat di sepanjang pesisir pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua (FAO, 1982). Data luasan ini pada tahun 1990 kemudian berubah menjadi 3.707.100 hektar (FAO, 1990 dalam Arief, 2005). Sumber lain menyebutkan bahwa dari sekitar 15,9 juta ha mangrove di seluruh dunia, 27 % di antaranya berada di Indonesia. Data yang terungkap menyatakan bahwa selama periode 1982 – 1993, terjadi penurunan luas hutan mangrove dari ± 4 juta ha menjadi 2,5 juta ha. Penyebabnya karena peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove dalam peruntukan lain seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman kawasan pesisir (Siahaan 2004). Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) tahun 1999, luas potensial hutan mangrove di Indonesia adalah 8,6 juta ha, terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8 juta ha terdapat di luar kawasan hutan. Berdasarkan kondisi yang ada diperkirakan bahwa 1,7 juta (44,73%) hutan mangrove di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha hutan (87,50 %) mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak. Penyusutan luasan mangrove tercepat terjadi di Pulau Bali yang tinggal 25,64% dan Jawa yang tinggal 34,65% (Saparinto 2007). 2.2. Biomassa dan Karbon Biomassa hutan dinyatakan dalam satuan berat kering oven per satuan luas, yang terdiri dari berat daun, bunga, buah, cabang, ranting, batang, akar serta pohon mati. Besarnya biomassa hutan ditentukan oleh diameter, tinggi, kerapatan
13
tegakan, dan kesuburan tanah. Penghitungan biomassa hutan tropis sangat diperlukan, untuk mengetahui potensi dan pengaruhnya pada siklus karbon (Morikawa 2002). Dari biomassa hutan, kurang lebih sebanyak antara 45 dan 50 persen mengandung karbon (Brown 1997; International Panel on Climate Change 2003). Selanjutnya dinyatakan oleh Nelson et al. (1999), bahwa data biomassa suatu ekosistem sangat berguna untuk mengevaluasi pola produktivitas berbagai macam ekosistem yang ada. Tegakan hutan mempunyai potensi besar dalam menyerap dan mengurangi kadar karbondioksida di udara melalui kegiatan konservasi dan perbaikan manajemen tegakan hutan. Hutan alam memiliki fungsi ekologis yang sangat vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Salah satu diantaranya adalah fungsi hutan alam dalam menjaga iklim di dalam kawasan hutan maupun di luar hutan. Hal ini terkait dengan kemampuan tegakan hutan untuk menyerap karbondioksida dan melepaskan oksigen dalam proses fotosintesis. Dengan semakin banyaknya karbondioksida yang diserap oleh tanaman dalam bentuk biomassa akan dapat membantu mengurangi efek gas rumah kaca di atmosfer. Efek gas rumah kaca yang semakin meningkat di atmosfer akan menyebabkan peningkatan pemanasan global dan pada akhirnya akan merubah fungsi ekologis hutan (Houghton et. al. 1996). Secara ekologis, hutan merupakan ekosistem masyarakat tumbuhan yang didalamnya terjadi interaksi dengan lingkungan, memiliki fungsi sebagai penghasil oksigen dan penghasil biomassa dari hasil pemanfaatan karbon dioksida, energi matahari dan air. Terkait dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global, maka salah satu cara untuk menjaga fungsi ekologis hutan adalah dengan melaksanakan mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) dalam perdagangan karbon internasional. Isu REDD ini semakin menguat sebagaimana amanat hasil dari COP-13 (Conference on Parties-13) di Bali.
Hutan alam memiliki potensi yang besar untuk
diikutsertakan dalam mekanisme REDD. Hal ini disebabkan oleh hutan tropis Indonesia merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah Brazil (Masripatin 2007).
14
Ekosistem mangrove sebagaimana ekosistem hutan lainnya memiliki peran sebagai penyerap (rosot) karbondioksida (CO2) dari udara. Menurut International Panel on Climate Change/IPCC (2003) sampai akhir tahun 1980 emisi karbon di dunia adalah sebesar 117±35 G ton C akibat pembakaran fosil berupa bahan bakar minyak dan batubara, alih fungsi hutan dan pembakaran hutan. Sedangkan secara global, deforestasi memberikan sekitar 20 % dari total emisi (Houghton 2005). Untuk mengatasi masalah tersebut, peran hutan sebagai penyerap CO2 harus ditingkatkan melalui sistem pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman (Brown et al. 1996) yang sinergis dengan fungsi sosial dan nilai ekonomi hutan. Rosot karbondioksida berhubungan erat dengan biomassa tegakan. Jumlah biomassa suatu kawasan diperoleh dari produksi dan kerapatan biomassa yang diduga dari pengukuran diameter, tinggi, berat jenis dan kepadatan setiap jenis pohon. Biomassa dan rosot karbon pada hutan tropis merupakan jasa hutan di luar potensi biofisik lainnya, dimana potensi biomassa hutan yang besar adalah menyerap dan menyimpan karbon guna pengurangan kadar CO2 di udara. Manfaat langsung dari pengelolaan hutan berupa hasil kayu secara optimal hanya 4,1% sedangkan fungsi optimal dalam penyerapan karbon mencapai 77,9% (Darusman 2006). Hutan tropika banyak mengandung biomassa dan menyimpan karbon pada tanaman baik yang hidup maupun yang sudah mati baik demikian pula yang sukar lapuk dalam tanah, maupun yang mudah lapuk (Whitmore 1985). Namun, penelitian pendugaan biomassa dan kandungan karbon di hutan tropis masih sangat sedikit dilakukan. Padahal pendugaan biomassa pada hutan di negara tropis pada dasarnya sangat dibutuhkan karena potensi biomassa hutan yang besar dalam menyerap karbon. Lebih lanjut hutan tersebut mempunyai potensi yang besar dalam pengurangan kadar CO2 melalui konservasi dan manajemen kehutanan (Brown et al. 1996). Penelitian tentang karbon tanah dan pendugaan karbon tegakan Avicennia marina (Forsk.) Vierh. di Ciasem, Purwakarta, menunjukkan bahwa hasil rata-rata kandungan karbon organik tanah dari lima plot pengambilan contoh tanah adalah sebesar 2,9%. Kandungan karbon organik tanah ini tergolong sedang. Penelitian ini telah menghasilkan pendugaan biomassa dan karbon dengan menggunakan
15
persamaan allometrik untuk tanaman mangrove Avicennia marina (Forsk.) Vierh. pada kelas diameter 6,4 cm – 35,2 cm sebagai berikut : untuk biomassa atas Y = 0,1848(DBH)2,3524 R2 = 0,9839, untuk biomassa bawah Y = 0,1682(DBH)1,7939 R2 = 0,8581, dan untuk biomassa total Y = 0,2905(DBH)2,2598 R2 = 0,9815. Tegakan Avicennia marina (Forsk.) Vierh. di BKPH Ciasem memiliki potensi kandungan biomassa total sebesar 364,9 ton/ha dan kandungan karbon sebesar 182,5 ton/ha. Nilai serapan CO2 total tegakan Avicennia marina (Forsk.) Vierh. di BKPH Ciasem adalah 669,0 ton/ha dengan nilai serapan CO2 rata-rata 14,2 ton/ pohon (Dharmawan dan Siregar 2008). Selanjutnya hasil penelitian tentang kandungan karbon hutan mangrove di Sungai Subelen Siberut menunjukkan bahwa biomassa dan kandungan karbon pada hutan mangrove ini relatif rendah, masing-masing dari jenis Rhizophora apiculata Blume, R. mucronata Blume dan jenis Bruguiera gymnorrhiza (L). Savigny adalah 49,13 ton/ha atau 24,56 ton C/ha setara dengan rosot karbondioksida (CO2) 90,16 ton CO2/ha (Bismark et al. 2008). Kandungan karbon dapat diduga melalui persamaan regresi allometrik dari biomassa pohon yang didasarkan pada fungsi diameter pohon. Beberapa penelitian yang menduga potensi karbon melalui persamaan regresi allometrik telah dilakukan diantaranya adalah Hilmi (2003) yang telah membangun model penduga biomassa untuk kelompok jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp., dimana kandungan biomassa pohon merupakan fungsi dari diameter pohon. Demikian juga seperti yang dilakukan oleh Onrizal (2004), menduga kandungan karbon dan fungsi biomassa pohon pada hutan kerangas dengan menggunakan peubah diameter dan atau tinggi pohon. Pendugaan biomassa dapat dijadikan sebagai penduga kasar dari laju produktivitas suatu individu jenis atau komunitas (Hutching and Saenger 1987). Pada setiap kelas diameter pohon, bahan organik batang merupakan bahan organik terbesar, sedangkan yang terendah adalah pada bunga dan buah. Bahan organik pohon tersebut akan terakumulasi pada batang, terutama pada segmen batang yang pertama. Hal ini disebabkan karena bahan organik pohon terdiri dari 60-65% bahan organik batang (White and Plaskett 1981).
16
Cara menghitung biomassa dapat dilakukan dengan metode sampling dengan pemanenan (destructive sampling) secara in situ; sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling) dengan data pendataan hutan secara in situ; pendugaan melalui penginderaan jauh dan pembuatan model. Masing-masing metode di atas menggunakan persamaan allometrik untuk mengekstrapolasi cuplikan data ke area yang lebih luas. Penggunaan persamaan allometrik standard yang telah dipublikasikan sering dilakukan, tetapi karena koefisien persamaan allometrik ini bervariasi untuk setiap lokasi dan spesies, penggunaan persamaan standard ini dapat mengakibatkan galat (error) yang signifikan dalam mengestimasikan biomassa suatu vegetasi (Australian Greenhouse Office 1999). Metode ini dilaksanakan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan termasuk akarnya, mengeringkannya dan menimbang berat biomassanya. Pengukuran dengan metode ini untuk mengukur biomassa hutan dapat dilakukan dengan mengulang beberapa area cuplikan atau melakukan ekstrapolasi untuk area yang lebih luas dengan menggunakan persamaan allometrik. Meskipun metode ini terhitung akurat untuk menghitung biomass pada cakupan area kecil, metode ini terhitung mahal dan sangat memakan waktu. Prosedur umum untuk membuat estimasi berat dari individu masing-masing pohon yang menjadi bagian dalam pemanenan biomassa (destructive sampling) adalah sebagai berikut (Hitchcock and McDonnell 1979 dalam Sutaryo 2009): • Menebang pohon dan memisahkan material yang ada sesuai dengan komponen dari pohon tersebut. • Membagi dan menimbang setiap komponen bagian-demi bagian. • Mengambil subsample dari masing-masing komponen. • Menentukan volume dari sub sample dengan metode penenggelaman dalm air atau metode lainnya (optional). • Mengeringkan dengan oven dan menimbang masing-masing sub sampel. • Menetapkan total berat kering dari masing-masing bagian. • Menerapkan faktor kepadatan berat basah dan berat kering untuk setiap komponen. • Menjumlahkan berat masing-masing komponen menjadi berat keseluruhan pohon. Berat basah keseluruhan pohon dan komponen-komponennya dapat
17
dibagi atau dibedakan dengan cara ini atau melalui cara sampling. Membagi berdasarkan kadar air dan berat kering umumya memerlukan proses laboratorium. Metode untuk mengestimasikan berat dan volume semak dan vegetasi lain mengandung prinsip yang sama dengan pengukuran untuk pohon. Variabel bebas untuk fungsi (persamaan) berat kering dalam beberapa kasus dapat pula disamakan seperti tinggi dan densitas vegetasi. Adapun metode pengambilan sampel dengan non-destruktive merupakan cara sampling dengan melakukan pengukuran tanpa melakukan pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan dengan mengukur tinggi atau diameter pohon dan menggunakan persamaan allometrik untuk mengekstrapolasi biomassa. Beberapa bentuk persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa atas permukaan pada berbagai jenis pohon. Tabel 1 Beberapa persamaan allometrik Jenis Pohon Estimasi Biomassa Pohon (kg/pohon)
Referensi
Pohon bercabang Semua jenis mangrove Avicennia marina
Y = 0,11ρD2,62 Y =116,6[(DBH)2H]0,8877 Y = 0,1848D2,3524
Ketterings et al. (2001) Komiyama et al.(1988) Dharmawan dan Siregar (2008)
Rhizophora mucronata R. mucronata R. apiculata Ceriops tagal var australis
Y = -0,1811D0,6590 Y = 0,4049D2,20 log Y=2,420 log GBH-1,832
Kairo (2001) Slim et al. (1996) Ong et al. (2004) Clough and Scott, (1989)
log Y = -0,9789+2,6848logDBH
Keterangan : Y = biomassa; D = diameter; DBH = diameter setinggi dada; GBH = keliling setinggi dada (cm)
Kusmana (1993) dalam penelitiannya melakukan kajian terhadap tiga jenis mangrove di Talidendang Besar, Sumatera. Salah satu di antaranya adalah R. apiculata. Berikut disajikan bentuk persamaan allometrik yang diperoleh berdasarkan berat kering masing-masing bagian morfologi pohon, leaf area dan volume batang untuk jenis R. apiculata.
18
Tabel 2 Persamaan allometrik jenis R. apiculata (Kusmana 1993) No Bagian Pohon B. parviflora 2
0,90232
R
1 2
Batang Cabang
W = 0,08070(D H) W = 0,02940(D2H)0,90380
0,99 0,97
3 4
Bunga dan buah Daun
W = 0,00208(D2H)0,74774 W = 0,33853(D2H)0,40441
0,96 0,92
5 6
Prop-root Leaf area
W = 0,03594(D2H)0,81637 W = 0,82118(D2H)0,47367
0,95 0,89
7
Volume batang
W = 0,00009(D2H)0,92397
0,98
2. 3. Penambangan Batubara Sukandarrumidi (2009) mengemukakan bahwa saat batubara akan ditambang, terlebih dahulu dilakukan pengupasan tumbuhan dan tanah penutup. Pengupasan tanah penutup dalam jumlah banyak dilakukan dengan alat-alat berat, antara lain dengan wheel tractor. Hasil kupasan ini disingkirkan dan diangkut dengan tract loader dan truck dikumpulkan di suatu tempat. Tanah hasil pengupasan ini dimanfaatkan untuk reklamasi. Apabila proses pengupasan tanah penutup yang dilakukan secara besar-besaran sudah mencapai pada lapisan batubara, maka sebagian dari lapisan tanah tersebut akan bercampur dengan lapisan batubara. Kejadian ini merupakan awal terbentuknya pengotoran pada batubara oleh bahan anorganik (dalam bentuk tanah) maupun bahan organik (dalam bentuk sisa tumbuhan). Bau belerang mulai muncul dan temperatur udara di lapangan mulai meningkat. Pengotoran dalam bentuk tanah dan sisa tumbuhan ini tidak akan terjadi pada saat penambangan lapisan batubara berikutnya dilakukan. Pada batubara yang berhasil ditambang akan terikut bahan pengotor yang relatif lebih bervariasi (pengotor bahan anorganik dan anorganik). Kondisi ini wajar untuk penambangan di daerah atau lapangan penambangan batubara yang baru dibuka. Fragmen batubara dengan berbagai ukuran diangkut dengan truk dari tempat penambangan melalui jalan khusus berupa jalan tambang ke tempat penimbunan (stock pile). Di stock pile batubara digiling dengan mesin penggiling batubara (crusher), dipilah dengan ayakan (sieve) ukuran tertentu (sesuai dengan kebutuhan buyer). Penggilingan dilakukan di tempat terbuka. Bila batubara hasil penggilingan beum diangkut, disarankan agar timbunan batubara diaduk-aduk
19
dengan wheel loader. Maksudnya agar temperature udara dalam tumpukan batubara dapat dikendalikan sehingga tidak timbula panas. Bila hal ini tidak dilakukan sangat dimungkinkan terjadi kebakaran karena batubara bersifat terbakar dengan sendirinya (self ignition). Batubara di wilayah Kalimantan umumnya dipindahkan dari tempat penimbunan sementara ke ponton (kapal angkut) menggunakan ban berjalan atau belt conveyor. Ponton yang sudah berisi batubara ditarik oleh kapal tunda (tugboat) melalui alur sungai ke tempat penampungan di pelabuhan. Batubara dari tempat ini kemudian dimuat pada kapal pengangkut yang selanjutnya siap dikirim ke buyer (Sukandarrumidi 2009).
2.4. Emisi Karbondioksida Gas karbondioksida dapat menyerap radiasi infra merah yang dipancarkan oleh bumi sehingga radiasi inframerah ini tidak dapat lepas ke angkasa luar (efek rumah kaca), sehingga karbondioksida yang banyak di atmosfer dapat menyebabkan perubahan ikim global. Menurut Prawirowardoyo (1996), karbondioksida yang masuk ke dalam atmosfer dapat berasal dari dua sumber yaitu sumber alami dan buatan. Sumber alami yang tergolong penting meliputi proses pernafasan makhluk hidup di seluruh permukaan bumi serta perubahan bahan organik. Sedangkan sumber buatan meliputi pembakaran bahan bakar fosil, industry semen, pembakaran hutan dan perubahan tata guna lahan. Konsentrasi karbondioksida di udara akan terus meningkat dari tahun ke tahun sebesar 1,8 ppm atau 0,5% tiap tahunnya. Emisi karbondioksida, metana dan nitro-oksida mengalami peningkatan sejak tahun 1970 hingga 2004. Pada tahun 2004, sumber emisi karbondioksida didominasi oleh bahan bakar fosil, sebesar 57% dari total emisi CO2 ekuivalen. Selebihnya antara lain berasal dari deforestasi dan perubahan tata guna lahan (IPCC, 2001 dalam Ravindranat dan Ostwald 2008). Deforestasi merupakan sumber potensial penghasil emisi karbondiokasida. Hutan sebagai salah satu pengurani CO2 dalam keseimbangan CO2 sehingga bila terjadi penggundulan hutan maka akan terjadi pelepasan sejumlah CO2 ke atmosfer. Emisi CO2 yang dihasilkan oleh proses respirasi berdasarkan proses reaksi :
20
6CO2 + C6H12O6 6CO2 + 6 H2O Sedangkan penguraian CO2 oleh tumbuhan dengan bantuan sinar matahari berdasarkan persamaan reaksi fotosintesis : 6CO2 + 6H2O 6O2 + C6H12O6 Deforestasi yang terjadi antara lain disebabkan oleh kebakaran hutan, illegal logging, proyek pembangunan dan perluasan wilayah perkotaan, pertambangan dan perladangan berpindah. Konversi hutan menjadi tanah ladang atau perkebunan juga akan mengurangi kemampuan daratan dalam mengurangi CO2 sehingga CO2 akan terlepas ke atmosfer. Slamet dan Haryanto (2006) mengemukakan jumlah emisi dari tiga jenis kebakaran yang dihasilkan dan disimulasikan berdasarkan pendekatan dan estimasi sumber-sumber penghasil CO2 serta menghitung emisi CO2 berdasarkan sumber dan sinker (perosot) dengan menggunakan model dinamis dan software Powersim 2.5, yaitu kebakaran tajuk, kebakaran permukaan, dan kebakaran bawah. Riau menghasilkan emisi sebesar 2.246,96 gCO2/m2 untuk kebakaran permukaan, kebakaran tajuk 631,08 g CO2/m2 dan kebakaran bawah 529,59 g CO2/m2. Simulasi jenis kebakaran hutan untuk Sumatera Selatan menghasilkan emisi CO2 1895,53 g/m2 untuk kebakaran permukaan, kebakaran tajuk 539,19 g CO2/m2, dan kebakaran bawah 599,64 g CO2/m2 (Slamet and Haryanto 2006).