II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Lindung Anonymous (1967) dalam Purwanto (1986) menyebutkan bahwa berdasarkan fungsinya hutan negara dapat dibagi empat yaitu hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan hutan wisata (taman wisata dan taman buru). Kriteria penetapan Hutan Lindung telah diputuskan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980 pada tanggal 24 November 1980. Penetapan hutan lindung yang telah dikukuhkan sebelumnya, dinyatakan tetap sebagai hutan lindung selama belum diadakan peninjauan dan penetapan kembali sesuai dengan kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung berdasarkan surat keputusan tersebut di atas. Anonymous (1967) dalam Purwanto (1986) mendefinisikan bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukan sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta pemelihara kesuburan tanah. Kittredge (1948) dalam Purwanto (1986) menyebutkan bahwa hutan lindung adalah suatu kawasan yang ditumbuhi sebagian atau seluruhnya oleh vegetasi berkayu, terutama dikelola atas dasar pengaruhnya yang menguntungkan terhadap pergerakan air dan tanah. Dalam keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa Hutan Lindung adalah hutan yang memilki sifat yang khas yang mampu memberikan perlindungan terhadap kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, mencegah erosi dan banjir serta memelihara kesuburan tanah (LPP Mangrove, 1998).
2.2. Hutan Mangrove 2.2.1. Pengertian Hutan Mangrove Kata mangrove berasal dari perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968) dalam (Syah, 2003). Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan baik untuk komunitas pohon-pohonan atau rumput-
rumputan/semak belukar yang tumbuh di laut maupun untuk individu jenis tumbuhan lainnya yang berasosiasi dengannya. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis tumbuhan, dan mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-individu jenis mangrove tersebut. Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978, yang dimaksud dengan hutan mangrove atau hutan payau adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut yaitu tergenang air laut pada waktu pasang dan bebas dari genangan pada waktu surut (Syah, 2003). Berbagai referensi lain mendefinisikan hutan mangrove sebagai berikut : a) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000).; b) adalah hutan yang berada di air payau, perbatasan antara daratan dan lautan di daerah tropika dan subtropika, merupakan ekosistem kaya yang dapat menyediakan berbagai macam barang dan jasa bernilai ekonomi (Spaninks dan Beukening, 1997) dalam (Muliady, 2002); c) adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1992) dalam (Muliady, 2002); d) adalah hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipenuhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Schyphyphora, dan Nypa (Soerianegara, 1996 dalam R. Muliady, 2002); e) adalah tumbuhan halopit yang tumbuh di daerah pasang surut di sepanjang areal pantai, dimana diantara seluruh sistem makrofit laut, mangrove adalah satu-satunya kelompok tumbuhan yang memiliki areal biomas dan ditemukan mulai dari daerah yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah setara ketinggian rata-rata air laut, terhampar mulai dari
daerah tropis sampai daerah subtropis (Arksornkoae, 1993) dalam (Muliady, 2002). Muliady (2002) menyatakan beberapa pengertian hutan mangrove di atas dapat memberikan gambaran secara umum bahwa hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, berkembang di antara batas-batas permukaan air pasang dan sedikit di atas rata-rata permukaan air laut. Hutan ini didominasi oleh tumbuhan halopit yang terdiri dari jenis pohon Avicennia, Sonneratia,
Rhizophora,
Bruguiera,
Ceriops,
Lumnitzera,
Excoecaria,
Xylocarpus, Aegiceras, Schyphyphora, dan Nypa. Sedangkan menurut Saenger et al. dalam Anwar et al. (1984) dalam Syah (2003), walaupun belum ada definisi mengenai ekosistem mangrove yang dapat diterima secara umum, ia mengusulkan agar di dalam definisi ekosistem hutan mengrove harus mencakup hal-hal di bawah ini : a) Satu atau lebih pohon mangrove yang khas. b) Setiap jenis yang tidak khas tumbuh bersama jenis yang khas. c) Biota yang hidup di dalamnya seperti hewan daratan atau laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri, dan lainnya, baik yang menetap atau sementara hidup di daerah tersebut. d) Proses-proses yang penting untuk mempertahankan ekosistem ini baik yang ada di daerah bervegetasi atau luarnya. e) Daerah-daerah terbuka atau berlumpur yang terletak diantara hutan sebenarnya dan laut. Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut, tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Terdapat pada tanah lumpur, pasir atau lumpur berpasir. Mangrove merupakan vegetasi khas di zona pantai, floranya berhabitus semak hingga berhabitus pohon besar dan tingginya antara 50-60 m dan hanya mempunyai satu stratum tajuk (Istomo, 1992).
2.2.2. Karakteristik dan Ciri Hutan Mangrove Menurut Bengen (2002), karakteristik hutan mangrove adalah sebagai berikut : a) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. b) daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. c) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat dan d) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2 sampai 22 per mil) hingga asin (mencapai 38 per mil). Soerianegara dan Indrawan (2002) menerangkan ciri-ciri hutan mangrove sebagai berikut : a) tidak terpengaruh iklim b) terpengaruh pasang surut c) tanah tergenang air laut, tanah lumpur atau berpasir terutama tanah liat d) tanah rendah pantai e) hutan tidak mempunyai stratum tajuk f) pohon-pohon dapat mencapai tinggi 30 meter g) jenis-jenis pohon mulai dari laut ke darat adalah Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Xylocarpus sp., Lumnitzera sp., Bruguiera sp. h) tumbuh-tumbuhan bawah terdiri dari Acrosthicum aurum, Acanthus ilicifolius, Acanthus ebracteatus. i) tumbuh dipantai merupakan jalur. Samingan (1973) dalam Sulistiadi (1986) melaporkan bahwa mangrove mempunyai ciri bentuk akar khusus yang toleran terhadap keadaan yang khusus pula akan nutrisi, asimilasi air dan oksigen di dalam lumpur anaerobik.
2.2.3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia. Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia (Lpp mangrove, 2000) dalam (Syah, 2003). Menurut Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/1978, pengusahaan hutan mangrove ditujukan untuk menghasilkan kayu sebagai bahan arang, kayu bakar dan serpih kayu (Setiaji, 2001). Soerianegara (1996) dalam Muliady (2002), manfaat atau fungsi hutan mangrove meliputi fungsi hayati perairan, fungsi fisik dan kimiawi perairan. Fungsi hayati perairan meliputi; sebagai sumber makanan/kesuburan tanah, tempat berlindung, tempat berbiak dan tempat pembesaran, sedangkan fungsi fisik dan kimiawi perairan meliputi; seperti penahan gelombang, penahan angin, penahan intrusi air laut, pencegah erosi tanah, pengendali banjir dan pelindung terhadap pencemaran. Bengen (2000) mengemukakan bahwa fungsi dan manfaat hutan mangrove yaitu : a) sebagai peredam gelombang dan angin, pelindung dan abrasi, penahan lumpur perangkap sedimen. b) penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove c) daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya d) penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan bakar arang dan bahan baku kertas (pulp) e) pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya dan f) sebagai tempat pariwisata.
Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan dan daerah pembesaran berbagai jenis ikan dan udang, serta spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan perairan laut di depannya. Lebih jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman dan plasma nutfah yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan kanopi yang rapat serta kokoh hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dan gempuran gelombang tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya. Secara ekonomi potensi mangrove diperoleh dari tiga sumber yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai, serta pariwisata alam (Syah, 2003). Kusmana et al (2003) menyatakan fungsi mangrove dapat dikategorikan kedalam tiga macam fungsi yaitu fungsi fisik, fungsi biologis dan fungsi ekonomis. Peranan ekosistem mangrove terhadap struktur komunitas ikan di pantai utara Kabupaten Subang terutama pada fungsi dasar sebagai daerah asuhan ikan dan daerah yang bebas dari ikan predator. Hal tersebut didasarkan pada kualitas ekosistem mangrove yang memiliki kerapatan bervariasi, produksi serasah sedang, dan kelas genangan yang tinggi dicirikan oleh keberadaan ikan-ikan muda (juvenile). Kondisi ini memperlihatkan kontribusi ekosistem mangrove sebagai tempat tumbuh besar dan mencari makan bagi beragam komunitas ikan (Kawaroe et al, 2001) dalam (Sofian, 2003). Manfaat hutan mangrove di BKPH Cikiong, KPH Purwakarta terdiri dari 2 bagian, yaitu manfaat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan manfaat produksi. Kedua manfaat tersebut di atas baik secara langsung maupun tidak langsung bagi sosial ekonomi masyarakat, terutama masyarakat lokal (Arief, 2002). Ekosistem mangrove BKPH Cikiong sangat penting untuk memelihara dan membentuk tanah, sebagai cadangan asimilasi tersier sampah, dan secara global memelihara dan mempertahakan siklus karbondioksida, nitrogen dan sulfur. Kemudian ekosistem mangrove ini memainkan peranan yang penting dalam
stabilisasi dan promosi lahan, fiksasi lumpur, penurunan kecepatan angin, pasang surut dan energi gelombang. Selain memberikan manfaat perlindungan fisik bagi kawasan tepi pantai, secara ekologis mangrove juga sebagai kawasan pemijahan untuk berbagi jenis ikan komersial serta konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini menunjukan bahwa mangrove memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi. Penanaman mangrove merupakan salah satu metoda alternatif yang murah biayanya dan sangat efektif untuk mengontrol erosi, perlindungan daerah pantai dan mengembalikan fungsi-fungsi mangrove lainnya. Hal ini merupakan salah satu pertimbangan yang dilakukan oleh pengelola hutan mangrove di BKPH Cikiong sejak tahun 1967, akibat adanya pengrusakan hutan di daerah ini secara besar-besaran. Kemudian kegiatan ini secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan nilai komersial yang cukup tinggi, baik nilai komersial tegakan mangrove beserta hasil ikutannya maupun nilai jasa dari ekosistem ini berupa keindahan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan ekowisata. Kegiatan produksi yang saat ini dilakukan di kawasan mangrove BKPH Cikiong, KPH Purwakarta hanya diarahkan pada kegiatan produksi perikanan. Sedangkan kegiatan produksi lainnya belum dikelola dengan optimal. Kegiatan produksi perikanan di kawasan ini umumnya dilakukan dengan cara : 1) pola empang parit tradisional; 2) pola empang parit yang disempurnakan; dan 3) pola komplangan. 2.2.4. Ancaman terhadap Hutan Mangrove Dahuri
(1996)
dalam
Suhendrata
(2001)
dalam
Sofian
(2003)
menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat mengancam kelestarian mangrove, yaitu : a) tanah timbul dan tanah tenggelam b) masalah sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat c) kegiatan pembangunan di darat d) kegiatan pembangunan di laut e) menajemen pengelolaan hutan mangrove Kawaroe et al. (2001) dalam Sofian (2003) menyatakan dampak yang diakibatkan oleh pemanfaatan ekosistem mangrove yang tidak terkendali adalah
kerusakan ekosistem mangrove karena terputusnya mata rantai kehidupan antara ekosistem mangrove dengan ekosisitem lain maupun di dalam ekosistem itu sendiri. Keadaan ini secara jelas akan mengurangi fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang kehidupan biota air yang memanfaatkan keberadaan hutan mangrove tersebut sebagai tempat pembiakan dan pembesaran (spawning dan nursery ground) serta tempat mencari makan (feeding ground). Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan dan pelabuhan), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, khususnya ekosistem hutan mangrove semakain meningkat pula. Hal ini berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove secara langsung (penebangan atau konversi lahan) maupun secara tidak langsung (pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan) (Bengen, 2000). Kegiatan penebangan oleh penduduk dapat mengakibatkan kematian vegetasi hutan mangrove, yang berdampak serius terhadap perikanan pantai (Anonimous, 1986) dalam (Setiaji, 2001). Pertambakan udang pada hutan mangrove secara besar-besaran dan modern menyebabkan kerusakan dan ketidakseimbangan alam, antara lain penurunan produksi perikanan seperti yang terjadi di Bagan siapi-api dan Teluk Jakarta (Atmawidjaja, 1987). Gangguan keamanan hutan di wilayah kawasan payau KPH Purwakarta biasanya berupa perusakan tanaman, bencana alam banjir dan pendudukan lahan. Arief (2002) menyatakan bahwa permasalahan di areal hutan mangrove BKPH Cikiong, KPH Purwakarta sudah ada sejak awal tahun 60-an, ketika terjadi penyerobotan lahan yang menyebabkan sebagian besar hutan mangrove alam di kawasan tersebut mengalami kerusakan. Saat ini muncul permasalahan lain yang hampir serupa yaitu perambahan kawasan yang terjadi di areal hutan di sepanjang kanal yang melintasi areal hutan mangrove. Di lokasi tersebut, perambah menebang pohon, membuka hutan mangrove dan mendirikan bangunan di atasnya yang pada akhirnya perambah akan mengklaim lahan mangrove yang telah dibuka sebagai miliknya. Permasalahan di areal hutan mangrove BKPH Cikiong tidak hanya menimpa perum perhutani sebagai pihak yang menguasai lahan, tetapi juga
menimpa para pesanggem (penggarap tambak). Permasalahan ini biasa muncul ketika para pesanggem memanen hasil tambaknya. Pada saat itu, banyak masyarakat di luar pesanggem turut melakukan pemanenan hasil budidaya perikanan yang bukan haknya. Permasalahan di kawasan hutan mangrove BKPH Cikiong tidak hanya disebabkan oleh faktor manusia, tetapi juga oleh faktor alam seperti banjir. Banjir besar yang terjadi di akhir tahun 2000 dan menggenangi hutan mangrove selama kurang lebih 2 bulan, telah menyebabkan puluhan hektar hutan mangrove yang ada di BKPH Cikiong mengalami kerusakan (kematian). Pada bulan Januari 2001, pohon mangrove di areal tersebut sudah terlihat kering dan mati (Arief, 2002). 2.2.5. Pengelolaan Hutan Mangrove Salah satu cara pengelolaan hutan mangrove yaitu sistem tumpang sari. Tambak tumpangsari merupakan suatu pola sylvofishery yang diterapkan pada pelaksanaan program Perhutanan Sosial di kawasan hutan mangrove, dimana para petani memelihara ikan dan udang agar kesejahteraannya meningkat sekaligus merehabilitasi hutan mangrove (Perum Perhutani, 1998) dalam (Sofian, 2003) Arief (2002), menyatakan program Perhutanan Sosial di BKPH Cikiong direncanakan sejak tahun 1987, dalam bentuk rencana operasional seluas 25 ha (satu unit). Pelaksanaan Perhutanan Sosial yang diterapkan di areal tersebut adalah sistem sylvofishery (tambak tumpangsari). Kegiatan ini adalah rangkaian kegiatan terpadu antara pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan payau dengan kegiatan budidaya ikan. Program sylvofishery dilaksanakan di petak 43 dengan melibatkan sebanyak 9 KTH. Setiap petani yang digabung dalam program Perhutanan Sosial ini disebut pesanggem dan dibuat perjanjian tertulis dengan pihak Perum Perhutani. Perjanjian ini berlaku selama enam tahun dan akan diperbaharui setiap kali habis masa kontraknya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Koordinator KTH RPH Cibuaya tahun 1994, jumlah anggota KTH tercatat 181 orang dengan luas garapan 1.302,55 ha (Arief, 2002).
Sistem sylvofishery yang diterapkan di wilayah BKPH Cikiong didasarkan pada sistem yang digunakan adalah sebagai berikut : a) Pola Empang Parit Tradisional Dalam pola empang parit tradisional, lahan hutan dan empang berada dalam satu hamparan. Pengelolaan air diatur dalam satu pintu air. b) Pola Empang Parit yang Disempurnakan Pola empang parit yang disempurnakan merupakan pengembangan dari pola empang parit tradisional. Perbedaanya terletak pada pintu air untuk pemeliharaan yang terdiri atas 3 (tiga) buah pintu, yaitu 2 buah pintu masuk dan 1 buah pintu keluar. Ditambah lagi dengan saluran air pasang surut bebas untuk hutan. c) Pola Komplangan Dengan pola ini areal budidaya ikan dengan hamparan tegakan hutan terpisah oleh tanggul yang diberi dua buah pintu air sebagai penghubung yaitu satu untuk pintu masuk air dan satu untuk keluar air. Pada areal tegakan hutan terdapat saluran pasang surut bebas. Fahrudin (1996) dalam Sofian (2003) menyimpulkan bahwa proporsi pemanfaatan hutan untuk tambak intensif yang paling baik adalah 25% dari total luas hutan mangrove di Kabupaten Subang. Bila proporsi pemanfaatan untuk tambak intensif lebih besar dari 50% luas hutan mangrove, maka manfaat relatif yang diperoleh akan lebih kecil daripada pemanfaatan untuk hutan mangrove dengan pola tumpangsari. Tetapi kenyataannya, keterbatasan modal yang ada pada masyarakat menyebabkan kecenderungan untuk memperbesar luas lahan garapan tambak dan bukan meningkatkan produktifitas lahan. Selain itu, untuk meningkatkan produktifitas tambak melalui intensifikasi tambak mengandung resiko lebih besar daripada budidaya tambak secara tradisional. Hal ini terlihat dari hanya 3,36% masyarakat yang melakukan budidaya monokultur udang, itu pun dengan teknik budidaya tradisional. Berdasarkan kecenderungan yang ada di masyarakat, Fahrudin (1996) menyatakan bahwa upaya untuk mempertahankan hutan mangrove tetap menghadapi tantangan besarnya peningkatan permintaan lahan mangrove untuk
tambak ekstensif walaupun pengelolaan hutan mangrove dengan tambak tumpangsari menghasilkan nilai manfaat yang relatif besar. Hasil penelitian pendahuluan menunjukan bahwa seluruh hutan lindung mangrove di BKPH Cikiong adalah berupa tambak dengan kondisi hutan mangrove sangat bervariasi. Tambak dikelola oleh para pesanggem yang diikat oleh suatu perjanjian dengan perum perhutani. Dalam perjanjian yang ada saat ini, tidak ada kewajiban bagi pesanggem untuk melakukan rehabilitasi, mereka hanya diwajibkan untuk memelihara tanaman yang ada dan melakukan penyulaman tanaman mangrove yang mati. Situasi di lapangan menunjukan kondisi sebaliknya, banyak mangrove yang ditanam malah dicabuti. Artinya sistem pengkelasan hutan mangrove menjadi disinsentif bagi keberhasilan reboisasi hutan lindung mangrove. Hal ini terbukti dari banyaknya lahan areal tambak yang turun kelas jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi hutan mangrove di BKPH Cikiong telah mengalami kerusakan yang cukup parah, karena hutan yang bervegetasi mangrove kurang dari 40% (Tabel 2). Tabel 2. Luas dan Persentase Kelas Tambak di BKPH Cikiong. RPH
Jml petak
Pakis Pangkaran Cikeruh Ciwaru Cibuaya
9 10 7 15 13
Luas Total (Ha) 842,88 1365,12 1143,10 1926,81 1302,71
Luas dan persentase lahan pesanggem berdasrkan kelas (Ha) I
%
II
%
III
%
IV
%
94,76 9,35 28,48 6,5 17,3
11,24 0,68 2,49 0,34 1,33
190,96 43,89 415,52 84,58 91,4
22,66 3,22 36,35 4,39 7,02
203,35 144,85 340,22 184,97 278,71
24,13 10,61 29,36 9,60 21,40
353,80 1167,03 358,85 1650,79 915,3
41,98 85,49 31,39 85,67 70,26
Sumber BKPH Cikiong, 2005.
2.2.6. Rehabilitasi mangrove Rehabilitasi yaitu kegiatan untuk meningkatkan manfaat dan kelestarian wilayah mangrove sesuai dengan fungsinya (Wiroatmojo dkk, 1993) dalam (Siregar, 1998). Sedangkan Prastowo (1993) dalam Siregar (1998) menyebutkan bahwa rehabilitasi mangrove perlu dilaksanakan untuk memulihkan dan meningkatkan fungsi perlindungan, fungsi pelestarian dan fungsi reproduksi. Kegiatan reboisasi yang dilakukan terhadap hutan yang telah gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan untuk mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan
seperti ini menjadi salah satu andalan kegiatan rehabilitasi di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah ditebas dan dialihkan fungsinya kepada kegiatan lain. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini telah dirintis sejak tahun 1960 di kawasan pantai utara Pulau Jawa (Bengen, 2000). Sekitar 20.000 ha hutan mangrove yang rusak di pantai utara Pulau Jawa dilaporkan telah berhasil direhabilitasi dengan menggunakan tanaman utama Rhizophora sp. dan Avicennia sp. dengan persen tumbuh hasil penanaman berkisar antara 60-70% (Soemodihardjo dan Soerianegara, 1986) dalam (Bengen, 2000). Hal yang serupa juga dilakukan pada sekitar 105 ha hutan mangrove yang rusak di Cilacap, dimana telah berhasil direhabilitasi dengan menggunakan tanaman pokok Rhizophora sp. dan Bruguiera sp. Secara umum, upaya rehabilitasi hutan mangrove hampir selalu mengalami kegagalan atau persen keberhasilannya sangat rendah. Sebagai ilustrasi, keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove di KPH Purwakarta hanya sekitar 44,61%, bahkan di BKPH Cikiong hanya 14,79% saja. Rendahnya keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove tersebut diantaranya disebabkan oleh pencabutan tanaman muda oleh masyarakat yang mengusahakan tambak dan konversi lahan mangrove untuk lahan pemukiman serta sawah. Dengan paradigma baru dibidang kehutanan saat ini bahwa setiap kegiatan pengurusan hutan harus melalui pendekatan partisipasi masyarakat, maka di dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, partisipasi masyarakat sangat diutamakan
dalam
rangka
mengembangkan
potensi
dan
pemberdayaan
masyarakat, demi tercapinya tujuan dan sasaran program rehabilitasi hutan dan lahan. Tujuan utama dilakukan rehabilitasi hutan mangrove dan pantai adalah untuk mengembalikan aneka fungsi ekosistem baik fungsi ekologis maupun ekonomis. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka jenis-jenis yang akan ditanam maupun pola tanamnya harus dirancang sedemikian rupa sehingga mendatangkan manfaat yang optimal. LPP Mangrove (2003) menyatakan rehabilitasi kawasan mangrove dilakukan sesuai dengan manfaat dan fungsi yang seharusnya berkembang, serta aspirasi dari masyarakat. Rencana rehabilitasi disusun dengan mempertimbangkan
zonasi kawasan, manfaat, fungsi, serta aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan rencana rehabilitasi adalah pendekatan fisik, pendekatan biologis dan pendekatan sosial. Pendekatan fisik dimaksudkan sebagai upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan kawasan pantai dengan membangun bangunan fisik (alat pemecah ombak, cerucuk, dan sebagainya) untuk mengurangi energi gelombang laut yang mengenai bibir pantai. Pendekatan biologi merupakan upaya vegetatif (penanaman pohon mangrove dan pohon hutan pantai) untuk memperkuat bibir pantai dan mencegah terjadinya erosi. Sedangkan pendekatan sosial merupakan upaya meningkatkan dan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan di kawasan pantai. Upaya rehabilitasi akan sia-sia apabila kegiatan tersebut hanya berhenti setelah dilakukan penanaman dan pemasangan alat pemecah ombak. Oleh karena itu penguatan dan pengembangan kelembagaan konservasi kawasan pantai perlu dikembangkan dengan tetap melibatkan semua pihak. Menurut LPP Mangrove (2004), aspek-aspek perencanaan yang perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan rehabilitasi mangrove antara lain : a) Aspek ekologis dan fisik lahan b) Aspek sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat sekitar yang akan direhabilitasi c) Aspek finansial dari kegiatan yang akan dilaksanakan d) Aspek teknis (terutama teknis silvikultur) untuk melakukan kegiatan rehabilitasi yang direncanakan e) Aspek ketenagakerjaan yang digunakan Secara umum, beberapa tahapan kegiatan yang harus dilakukan di dalam kegiatan rehabilitasi adalah sebagai berikut : a) Seleksi dan persiapan areal penanaman b) Pendekatan rehabilitasi c) Pemilihan jenis yang sesuai d) Pembuatan persemaian e) Penanaman f) Pemeliharaan
2.3. Kinerja Proyek Menurut Kadariah (1999) dalam Rusmana (2005) menyebutkan proyek adalah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan manfaat (benefit) atau suatu aktifitas yang mengeluarkan uang dengan harapan mendapatkan hasil (return) di waktu yang akan datang dan yang dapat direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan sebagai satu unit. Sedangkan Pasaribu (1979) dalam Rusmana (2005), proyek adalah suatu pelaksanaan pekerjaan yang terencana mencakup serangkaian kegiatan yang saling berkaitan dan terkoordinasi, untuk mencapai tujuan khusus, dengan sejumlah dana dan jangka waktu tertentu. Kinerja merupakan ukuran seberapa besar atau seberapa jauh efisiensi serta keefektifan seseorang atau kelompok, seberapa baik menetapkan dan mencapai sasaran yang tepat (Stoner dan Freeman, 1992) dalam (Witria, 2004). Sedangkan menurut Suwarto (1999) dalam Rusmana (2005) menyatakan bahwa kinerja merupakan fungsi dari interaksi antara kemampuan dan motivasi dimana jika kemampuan dan motivasi memiliki nilai tinggi maka kinerjanya akan tinggi pula. Kinerja merupakan suatu kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu yang menghantarkan pada suatu penilaian. Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu kegiatan/proyek berdasarkan suatu standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Beberapa kegunaan penilaian kinerja menurut George A. Smith, et al. dalam Gracia (1996) dalam Witria (2004) adalah sebagai berikut : a) Penilaian; menghitung tingkat keberhasilan proyek b) Navigasi; membantu proyek tetap dalam arah tujuan yang ditetapkan sebelumnya c) Alat diagnosa; menentukan bagian mana yang memerlukan perhatian serta mengetahui problem yang ada d) Monitor; mengetahui kemajuan/kinerja sesuai dengan yang diharapkan e) Accountability; mengevaluasi apakah proyek tersebut menguntungkan bagi peserta proyek.
2.4. Penutupan Lahan Menurut Aldrich (1981) dalam Lo (1995) dalam Suheri (2003), lahan merupakan materi dasar dari suatu lingkungan, yang diartikan berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi tanah, topografi, hidrologi, dan biologi. Penutupan lahan menurut Lillesend dan Kiefer (1990) dalam Suheri (2003) merupakan istilah berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. pengertian serupa ditambahkan Berley (1961) dalam Lo (1995) dalam Suheri (2003) bahwa penutupan lahan menggambarkan kontruksi vegetasi dan buatan yang menutup lahan. Secara umum ada tiga kelas data yang mencakup penutupan lahan : 1. Struktur fisik yang dibangun manusia. 2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang 3. Tipe pembangunan Istilah penggunaan lahan menurut Lillesend dan Kiefer (1990) dalam Suheri (2003) berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsirkan secara langsung dari penutupan lahannya. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena aktifitas manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda (Lillesend dan Kiefer, 1990). Faktor-faktor perubahan lahan yang terdapat pada beberapa literatur diuraikan oleh beberapa jenis kegiatan yang dapat mencirikan terjadinya perubahan lahan, misalnya gangguan terhadap hutan, penyerobotan lahan, dan perladangan berpindah. Lillesend dan kiefer (1990) dalam Suheri (2003) menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang merubah lahan pada waktu yang berbeda. Pola-pola perubahan lahan seperti yang dikutip oleh Melte dan Caroll (1994) dalam Basuni (2003) terjadi akibat responnya terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan populasi, kebijakan pemerintah, degradasi lahan, dan faktor sosial ekonomi lainnya.
2.5. Metode Valuasi Contingent (MVC) Keuntungan ekonomi dari kebijaksanaan perubahan kualitas lingkungan adalah nilai uang dari peningkatan lingkungan alam dan lingkungan buatan manusia yang dihasilkan oleh kebijaksanaan tersebut atau terhindarnya biaya yang besar dalam menangani kerugian yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan. Kebijaksanaan lingkungan akan menjadi efektif jika memberikan benefit ekonomi dari pelaksanaannya. Secara ideal, nilai ini adalah jumlah dari nilai-nilai yang ditentukan oleh seluruh individu baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai ini bisa dinyatakan dalam bentuk uang yang sering dikaitkan dengan istilah Kemauan Untuk Membayar-KUMB (Willingness to pay) untuk barang-barang lingkungan yang disediakan (Yakin, 1997). Telah banyak metode penilaian ekonomi terhadap barang lingkungan. Sampai saat ini telah berkembang sekitar lima belas jenis metode penilaian ekonomi perubahan kualitas lingkungan. Yang paling populer adalah Metode Valuasi Contingent-MVC (Contingent Valuation Method) yang dianggap superior untuk saat ini (Bishop and Herberlein, 1990; Hoehn, 1990; Johson, Bregenzer and Shelby, 1990; Hoevenagel, 1994) dalam (Yakin, 1997). Metode Valuasi Contingent (MVC) adalah metode teknik survey untuk menanyakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan, jika pasarnya betul-betul tersedia atau jika ada cara-cara pembayaran lain seperti pajak diterapkan. Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan untuk diterapkan dalam menilai keuntungan dari penyediaan barang lingkungan pada lingkup masalah lingkungan yang luas, juga mampu menentukan pilihan estimasi harga pada kondisi ketidakmenentuan (Yakin, 1997). Dalam hal ini, orang diasumsikan bertindak seperti yang dia katakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan kepadanya akan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Dengan dasar asumsi ini, maka pada dasarnya metode MVC ini menilai barang lingkungan dengan menanyakan dua pertanyaan berikut :
1. Berapakah jumlah maksimum uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga (Willingness to pay) setiap bulan atau setiap tahunnya untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan 2. Berapakah jumlah maksimum uang yang bersedia diterima oleh seseorang atau rumah tangga (Willingness to accept) setiap bulan atau setiap tahunnya sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan (dampak negatif dari lingkungan). Asumsi dasar MVC adalah sebagai berikut : 1) bahwa individu-individu memahami benar pilihan-pilihan yang ditawarkan pada mereka dan bahwa mereka cukup tahu kondisi lingkungan yang dinilai, dan 2) apa yang dikatakan orang adalah sungguh-sungguh apa yang mereka lakukan jika pasar untuk barang lingkungan itu benar-benar terjadi. Untuk
mendapatkan
penilaian
keuntungan
yang objektif dengan
menggunakan MVC maka harus diperhatikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil akhir penelitian, antara lain: 1. Penentuan populasi dan objek yang dinilai 2. Desain daftar pertanyaan 3. Metode bertanya 4. Ketersediaan data penunjang 5. Analisis data Metode bertanya yang bisa ditempuh dalam mengajukan pertanyaan kepada responden sangat beragam. Pendekatan ini terdiri dari Metode Tawar Menawar-MTM; Metode Pertanyaan Terbuka-MPT; Metode Kartu PembayaranMKP; Metode Pertanyaan Pilihan Dikotomi-MPPD; dan Metode Rengking-MRC, yang masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan (Tabel 3). Tabel 3.
Kelebihan dan Kelemahan Kelima Metode Penentuan Nilai KUMB (Yakin, 1997)
Metode MPT1 MTM1 MKP1 MPPD1 Penerapan W/T/P W/T W/P W/T/P Kesesuaian Rendah Menengah Menengah Tinggi Kemungkinan Bias Tidak Ya Ya Ya Kesulitan estimasi Tidak Tidak Tidak Ya Kompatibel Tidak Tidak Tidak Ya Catatan : W = wawancara langsung; T = melalui telepon; P = melalui pos Kriteria
MRC W/T/P Tinggi Ya Ya Ya
Menurut Yakin (1997), kesalahan potensial estimasi nilai lingkungan dengan metode ini meliputi kesalahan hipotesis, kesalahan strategi, kesalahan informasi, kesalahan titik awal nilai tukar, dan kesalahan alat. Dengan adanya kemungkinan terjadinya beberapa kesalahan estimasi nilai lingkungan dengan menggunakan MVC ini, maka dalam merancang suatu daftar pertanyaan serta menentukan
strategi
dalam
melakukan
memperhatikan potensi estimasi di atas.
survey
atau
wawancara
harus