II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat 2.1.1 Pengertian Hutan rakyat dalam pengertian peraturan perundang-undangan (UU No 5/1967 dan penggantinya UU No.41/1999), adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturanaturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (Suharjito 2000). Pengertian hutan rakyat tersebut menyebabkan persepsi bahwa hutan rakyat dilihat berdasarkan status kepemilikan lahannya bukan dari pelakunya atau subyek yang mengelola hutan. Menurut Suharjito (2000), terdapat konsekuensikonsekuensi yang dihasilkan dari pengertian tersebut, yaitu: a. Hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh keluarga petani sebagai anggota suatu kelompok masyarakat adat diklaim pemerintah sebagai hutan negara dan tidak termasuk ke dalam hutan rakyat. b. Hutan yang tumbuh diatas tanah milik dan diusahakan oleh orang-orang kota atau perusahaan swasta yang menyewa atau membeli tanah masyarakat lokal dapat dikategorikan sebagai hutan rakyat. Berbagai pengertian yang berkaitan dengan hutan rakyat: a.
Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, berkisar antara seperempat hektar atau lebih.
b.
Hutan adat atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuantujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.
c.
Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada
8 sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah. Istilah hutan rakyat tidak dikenal dalam kelompok-kelompok masyarakat pengelola hutan, kata tersebut tidak lazim dalam kelompok masyarakat. Istilah yang digunakan sehari-hari berbeda-beda antar kelompok masyarakat, ada talun, leuweung (Jawa Barat), wono (Jawa Tengah), lembo (Kutai), simpukng (Dayak Benuaq), repong (Sumatera) dan lain-lain sebutan (Hendra 2009). Keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikro organisme, mineral tanah, air, dan udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya (Suharjito 2000). Tradisi yang muncul tumbuh setahap demi setahap, sebagai proses kreatif rakyat mengolah dan mengelola sumberdaya alam yang ada di sekitarnya, untuk kepentingan
mempertahankan
hidupnya.
Tradisi
tersebut
berbasis
pada
pengalaman dan kearifan serta pengetahuan lokal. Hingga kini tradisi tersebut terus berkembang dan dipertahankan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat.
2.1.2 Luas dan produktifitas kayu hutan rakyat Menurut Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan pada tahun 1992/1993 luas hutan rakyat di pulau Jawa berkisar 105.354 ha, sedangkan pada tahun 1993/1994 berkembang menjadi 228.520 ha dan pada tahun 2000 hutan rakyat sudah mencapai 1.265.460,26 ha, di mana sebagian besar (1.151.653,13 ha) merupakan swadaya masyarakat (Jauhari 2003). Khusus di Jawa Barat dan Banten luas hutan rakyat masing-masing adalah 166.524,41 ha dan 19.611,66 ha (Mindawati et al. 2006). Luas dan produksi kayu hutan rakyat terus meningkat, pada tahun 2008 (BPKH Wilayah XI 2009) menyatakan luas hutan rakyat di Pulau Jawa - Madura mencapai ± 2,58 juta ha dengan potensi kayu ± 74,75 juta m3. Sebaran luas dan produksi kayu untuk setiap propinsi dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.
9
Gambar 2. Luas HR (ha) per propinsi di P. Jawa -Madura s/d tahun 2008
Gambar 3. Potensi kayu (juta m3) per propinsi di P. Jawa-Madura s/d tahun 2008
Luas hutan rakyat di Jawa Barat menempati posisi terbesar yaitu sekitar 37% dari total luas hutan rakyat di P. Jawa-Madura demikian pula dengan potensi kayu yang dihasilkan mencapai 26,2 juta m3 atau 35% dari total produksi kayu hutan rakyat di Jawa-Madura pada tahun 2008. Peranan hutan rakyat dari segi ekonomi cukup penting mengingat kurang lebih 70% konsumsi kayu di pulau Jawa berasal dari hutan rakyat, baik untuk
10 kayu pertukangan, pemasok industri maupun kayu bakar (Perum Perhutani 1995; LP IPB 1990). Umumnya kayu dari hutan rakyat tersebut dimanfaatkan oleh industri kecil pengolahan kayu untuk dijadikan barang jadi maupun barang setengah jadi.
2.1.3 Pemilihan jenis di hutan rakyat Menurut Herawati (2005) dikatakan bahwa berbagai pertimbangan dalam pemilihan jenis yang akan dikembangkan di hutan rakyat diutamakan pada aspek ekonomi, teknis, sosial dan lingkungan agar jenis yang diusahakan dan dikembangkan dapat menghasilkan secara optimal. Aspek ekonomi yaitu dapat memberikan penghasilan dan mudah dipasarkan serta memenuhi standar bahan baku industri. Aspek teknis yaitu mudah dibudidayakan. Aspek sosial yaitu jenis yang dipilih harus jenis yang cepat menghasilkan setiap saat, dikenal dan disukai masyarakat. Aspek lingkungan yaitu dimana jenis yang dipilih harus sesuai dengan iklim, jenis tanah dan kesuburan serta keadaan fisik wilayah. Hasil penelitian Supangat et al. (2002) menunjukkan bahwa petani memilih atau menentukan suatu jenis tanaman yang ditanam di lahannya tidak selalu berdasarkan kesesuaian lahan tapi lebih ke faktor lain, seperti faktor bibit yang tidak membeli (41%), pemasaran bagus (38%), kayunya mempunyai nilai jual tinggi (17%) dan meniru nenek moyang (4%). Jenis-jenis yang ditanam di hutan rakyat umumnya adalah jenis asli setempat (indigenous species) maupun jenis-jenis introduksi (exotic species). Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-II/2007 terdapat uraian jenis-jenis kayu yang dihasilkan dari hutan hak atau hutan rakyat, diantaranya adalah mindi. Selain mindi, jenis eksotik lainnya yang termasuk jenis kayu rakyat (menurut PP.33/Menhut-II/2007) adalah mahoni, gmelina dan karet. Pengembangan jenis-jenis eksotik, khususnya di hutan rakyat adalah karena jenisjenis tersebut mampu tumbuh dengan baik dan telah melalui tahap adaptasi, aklimatisasi dan domestikasi sehingga mampu tumbuh dan beregenerasi dengan baik. Selain itu kayu yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomis dan dikenal di pasaran.
11 2.1.4 Pengadaan benih di hutan rakyat Penanaman di hutan rakyat secara umum belum menggunakan benih dan bibit yang berkualitas, padahal kualitas tersebut akan mempengaruhi keragaan (perfomance) dan produktivitas tegakan. Kualitas benih ditentukan salah satunya oleh asal dimana benih tersebut dikumpulkan
atau tipe sumber benih yang
digunakan. Berdasarkan hasil penelitian Widiarti (2005) terhadap masyarakat sekitar Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Lampung menyatakan hanya 7,8% petani yang membeli bibit yang berasal dari tempat lain, selebihnya petani menggunakan bibit yang berasal dari tegakannya sendiri, baik dari benih ataupun cabutan. Hal ini dilakukan pula oleh masyarakat di Desa Sukaraja, Bogor, umumnya mereka menanam pohon dengan menggunakan benih yang berasal dari tegakan sekitar (Komunikasi pribadi dengan pemilik penggergajian rakyat di Desa Sukaraja 2007). Keterbatasan pengetahuan dan informasi tentang penggunaan benih berkualitas menyebabkan petani hutan masih menggunakan benih yang berasal dari tegakan yang ada dan biasanya dari 1 atau 2 pohon saja, tanpa memperhitungkan penampakan (fenotipe) dari pohon tersebut atau kriteria yang disyaratkan dalam pemilihan pohon induk untuk sumber benih. Menurut Roshetko et al. (2004), sebagian besar benih yang digunakan petani hutan dikumpulkan dari pohon-pohon di lahan petani dan adat. Kelebihan proses ini adalah benih segera tersedia, proses pengumpulannya tidak mahal dan pohon-pohon tidak memerlukan pengelolaan khusus. Namun pada awal penanaman, benih untuk sumber benih ini seringkali dikumpulkan dari beberapa pohon (1 hingga 5 pohon), asalnya tidak diketahui dan diduga keragaman genetiknya sempit. Selain itu kriteria pemilihan pohon benih yang utama adalah melimpahnya panen benih bukan kualitas pohon, juga benih dikumpulkan dari pohon yang terisolir, sehingga faktor-faktor ini menyebabkan benih yang dihasilkan mutu fisiologik dan genetiknya di bawah optimal.
2.2 Profil Tanaman dan Kayu Mindi Pohon mindi atau sering disebut geringging merupakan salah satu jenis pohon cepat tumbuh dan selalu hijau di daerah tropis dan menggugurkan daun pada musim kemarau. Mindi mampu pula tumbuh di daerah beriklim sedang
12 (temperate), hingga ketinggian diatas 1200 m diatas permukaan laut (dpl). Di Himalaya mindi mampu tumbuh pada ketinggian 1800-2200 m dpl dan tahan terhadap suhu dingin 3-10ºC, bahkan pada tanaman tua mampu bertahan pada suhu -15ºC. Tanaman mindi suka cahaya, agak tahan kekeringan dan agak toleran terhadap salinitas tanah, namun tidak toleran terhadap tanah asam (Ahmed dan Idris 1997).
2.2.1 Habitus Tinggi pohon dapat mencapai 45 m, tinggi bebas cabang 8- 20 m, diameter sampai 60 cm. Tajuk menyerupai payung, percabangan melebar, kadang menggugurkan daun. Pohon mindi termasuk jenis yang tumbuh cepat, dengan batang lurus, bertajuk ringan, berakar tunggang dalam dan berakar cabang banyak ( Ahmed dan Idris 1997). Pohon mindi di kebun rakyat Cimahpar, Bogor umur 10 tahun mempunyai tinggi bebas cabang sekitar 10 m dan diameter 38,20 cm (Badan Litbang Kehutanan 2001).
2.2.2 Morfologi Batang silindris, tegak, tidak berbanir, kulit batang (pepagan) abu-abu coklat, beralur membentuk garis-garis dan bersisik. Pada pohon yang masih muda memiliki kulit licin dan berlentisel. Daun majemuk ganda menyirip ganjil, anak daun bundar telur atau lonjong, pinggir helai daun bergerigi. Bunga majemuk malai, pada ketiak daun, panjang malai 10-22 cm, warna keunguan, berkelamin dua (biseksual) atau bunga jantan dan bunga betina pada pohon yang sama. Buah bulat atau jorong, tidak membuka, ukuran 2-4 cm x 1-2 cm, kulit luar tipis, licin, berkulit kering keriput, kulit dalam keras, buah muda hijau, buah masak kuning, dalam satu buah umumnya terdapat 4-5 biji. Biji kecil 3,5 x 1,6 mm, lonjong, licin, warna coklat, biji kering warna hitam (Ahmed dan Idris 1997).
2.2.3 Hama Penyakit Pohon mindi mudah diserang penggerek pucuk Hypsipyla robusta Moore dan batangnya kadang-kadang diserang kumbang ambrosia Xyleborus ferrugineus (Martawijaya et al. 1989) yang mengakibatkan kualitas kayunya menurun.
13 Pengendalian hama penggerek pucuk dapat dilakukan dengan tindakan silvikultur, antara lain menggunakan bibit tanaman yang tahan serangan hama, dapat pula dengan membuat hutan tanaman campuran. Cara pemberantasan lainnya adalah dengan menyuntikkan insektisida Nuvacron 20 SCW, Dimecron 50 SCW atau Gusadrin 15 WSC melalui takikan di batang (Badan Litbang Kehutanan 2001).
2.2.4
Sifat kayu Kayu teras berwarna merah coklat muda keunguan, gubal berwarna putih
kemerahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Serat lurus atau agak berpadu, berat jenis rata-rata 0,53. Penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur 3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial). Kayu mindi tergolong kelas kuat III-II. Pengeringan alami, pada papan tebal 2,5 cm dari kadar air 37% sampai 15% memerlukan waktu 47 hari, dengan kecenderungan pecah ujung dan melengkung. Pengeringan dalam dapur pengering dengan bagan pengeringan yang dianjurkan adalah suhu 60-80 % dengan kelembaban nisbi 80-40% (Martawijaya et al. 1989).
2.2.5 Manfaat kayu Kayu mindi merupakan salah satu jenis kayu dari hutan rakyat yang sudah terbukti baik sebagai bahan baku mebel untuk ekspor dan domestik. Kayu mindi sesuai untuk mebel karena kayunya bercorak indah, mudah dikerjakan termasuk kelas kuat III-II dan dapat mengering tanpa cacat (Basri dan Yuniarti 2006). Mebel kayu mindi dapat terdiri dari kayu utuh atau merupakan kombinasi antara kayu utuh dan panel kayu yang dilapisi venir mindi. Produk lantai kayu biasanya berupa parket atau mozaik. Bahan baku untuk lantai mindi yang berupa parket berupa kayu lapis indah (multipleks) dan berupa produk perekatan terdiri dari 3 lapis kayu gergajian atau bagian bawah venir sedangkan bagian atas dan tengah berupa kayu gergajian. Pada saat ini kayu gergajian mindi tebal 5 mm dipakai untuk bagian atas lantai parket 3 lapis dan produknya di ekspor. Di sisi lain, kayu mindi yang berukuran kecil dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat barang kerajinan (Badan Litbang Kehutanan 2001).
14
2.2.6 Manfaat non kayu Daun dan biji mindi telah dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Kandungan bahan aktif mindi yaitu azadirachtin, selanin dan meliantriol, dikandung pula oleh tumbuhan mimba. Ekstrak daun mindi dapat digunakan pula sebagai bahan untuk mengendalikan hama termasuk belalang. Charleston et al. (2006) menyatakan bahwa ekstrak daun mindi yang disemprotkan pada tanaman kubis, mampu mengurangi kerusakan pada tanaman kubis yang disebabkan oleh serangan hama Plutella xylostella. Kulit mindi dipakai sebagai penghasil obat untuk mengeluarkan cacing usus. Kulit, daun dan akar mindi telah digunakan sebagai obat rematik, demam, bengkak dan radang. Suryati (2006) melaporkan bahwa komponen kimia yang terkandung dalam ekstrak kulit batang mindi adalah senyawa triterpen dan steroid. Senyawa ini bersifat antifeedant, penghambat pertumbuhan serangga, antijamur, antivirus, antibakteri dan antikanker. Pemanfaatan lebih lanjut dari senyawa ini untuk bidang pengobatan dan bidang pertanian (bioinsektisida).
2.2.7 Nilai ekonomi Berdasarkan data yang diperoleh dari pengrajin/industri pengolahan kayu mindi di Bogor, Sukabumi dan Jakarta pada tahun 2000 (Badan Litbang Kehutanan 2001), nilai ekonomi kayu mindi tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Biaya produksi dan pendapatan usaha dari pemanfaatan kayu mindi No.
Jenis Produk
Harga jual (Rp)
1.
Tegakan (Pohon)
250.000,-
2.
3
Kayu bundar (m )
300.000,-
3.
Kayu gergajian (m3)
4.
Meubel
Biaya Produksi (Rp)
Pendapatan (Rp)
Pelaku
250.000,-
Petani Pemilik
250.000,-
50.000,-
Pedagang pengumpul
850.000,-s/d 1.900.000,-
710.000,-
140.000,-s/d 1.190.000,-
Industri penggergajian
- Dalam negeri (unit)
250.000,-s/d 500.000,-
175.000,- s/d 441.000,-
26.000,- s/d 75.000,-
Perajin Meubel
- Ekspor,FOB (unit)
935.000,1.995.000,-
935.000,1.995.000,-
Industri mebel (kursi,meja dan tempat tidur)
15 No.
Jenis Produk
Harga jual (Rp) 2.975.000,Sumber :Badan Litbang Kehutanan 2001
Biaya Produksi (Rp)
Pendapatan (Rp) 2.975.000,-
Pelaku
Berdasarkan Tabel 1 di atas, kayu mindi yang telah diolah mempunyai nilai tambah, sedangkan jika kayu dijual dalam bentuk tegakan atau kayu bundar, nilai tambahnya masih lebih rendah.
2.3
Perbenihan Jenis Mindi Kegiatan perbenihan suatu jenis tanaman hutan meliputi semua aspek yang
berkaitan dengan sebaran tempat tumbuh, keragaman genetika populasi, sistem pengadaan benih, teknik penanganan benih dan perkecambahan hingga sistem distribusi dan sertifikasi benih.
2.3.1 Sebaran tempat tumbuh dan habitat mindi Mindi (Melia azedarach L.) termasuk dalam famili Meliaceae. Tanaman ini berasal dari bagian Selatan Asia menyebar hingga Afrika Timur, Timur Tengah, benua Amerika serta Indonesia. Di Indonesia tumbuh di Jawa, khususnya di dataran tinggi. Di Jawa Barat dapat ditemukan di daerah Bogor, Sukabumi, Cianjur dan Bandung. Di Jawa Timur tumbuh di Bondowoso juga tumbuh di Bali dan Nusa Tenggara. Mindi tumbuh subur pada tanah berdrainase baik, tanah yang dalam, tanah liat berpasir dengan pH 5,5 – 6,5. Mindi dapat tumbuh di bukit-bukit rendah hingga dataran tinggi (ketinggian 700– 1400 m diatas permukaan laut), curah hujan di atas 900 mm/tahun, termasuk tipe iklim A-C (Wulandini et al. 2004; Martawijaya et al. 1989; Soerianegara et al. 1995). Informasi mengenai sebaran tumbuh dan kondisi tempat tumbuh yang sesuai untuk jenis mindi akan sangat diperlukan untuk membangun sumber benih jenis ini. Selain itu informasi ini sangat diperlukan untuk mengetahui keragaman genetik dari populasi mindi yang sudah ada saat ini sebagai modal dalam pembangun sumber benih, yaitu sebagai sumber plasma nutfah.
2.3.2
Keragaman genetik populasi tanaman mindi
16 Untuk meningkatkan produktivitas tegakan maka diperlukan upaya peningkatan mutu genetik. Peningkatan ini dapat dicapai melalui kegiatan pemuliaan pohon. Modal utama dalam kegiatan ini adalah adanya keragaman genetik. Keragaman genetik adalah variasi yang dapat diwariskan dalam suatu populasi sebagai hasil dan perbedaan alel yang ada dalam gen. Oleh karena itu penggunaan keragaman genetik dalam program pemuliaan merupakan modal dasar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan pengembangan jenis dengan sifat unggul seperti dalam kecepatan adaptasi lingkungan, pengembangan tanaman yang resisten terhadap hama dan penyakit dan lain lain (Jayusman 2006; Zobel dan Talbert 1984). Timbulnya keragaman genetik pada suatu jenis tanaman dapat disebabkan antara lain oleh keragaman antar provenansi, keragaman antar tempat tumbuh, keragaman antar pohon dan keragaman di dalam pohon itu sendiri. Keragaman genetik antar individu atau populasi suatu jenis tanaman penting untuk diketahui sebagai dasar dalam melakukan seleksi. Seleksi dilakukan dalam rangka memilih sifat-sifat yang diinginkan dari suatu pohon, yang selanjutnya akan dikembangkan dalam suatu tegakan.
Untuk mengetahui adanya
keragaman
genetik dapat
digunakan beberapa metode seperti metode isoenzim dan analisis
asam
deoksinukleat (DNA). Salah satu teknik analisis DNA yang dapat digunakan adalah teknik mengamplifikasi DNA yang didasarkan pada penggunaan primer atau oligonukleotida dengan susunan acak (Aritonang et al. 2007). Teknik ini dikenal dengan teknik Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) dan dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat keragaman DNA antara spesies-spesies yang mempunyai hubungan dekat juga dapat mendeteksi adanya variasi susunan nukleotida dalam DNA. Teknik ini sudah dilakukan untuk mendeteksi keragaman genetik berbagai populasi tanaman hutan di antaranya adalah jenis dukuh (Song et al. 2000), jeruk (Karsinah et al. 2002), jambu mete (Samal et al. 2003), Melia volkeensii (Runo et al. 2004), sandalwood (Rimbawanto et al. 2006), ulin (Rimbawanto et al. 2006), merbau (Rimbawanto dan Widyatmoko 2006), mimba (Kota et al. 2006), Pulai (Hartati et al. 2007), sungkai (Imelda et al. 2007), meranti (Siregar et al. 2008). gaharu (Siburian 2009; Widyatmoko et al 2009) dan jelutung (Purba dan Widjaya 2009).
17
2.3.3 Sistem pengadaan benih Sistem pengadaan benih suatu jenis tanaman dimulai dengan sumber benih, hal ini akan berkaitan dengan mutu genetik benih yang dihasilkan. Kelas sumber benih ditentukan oleh sumber materi genetik yang digunakan dalam membangun sumber benih ini. Terdapat tujuh klasifikasi sumber benih ( Peraturan Menteri Kehutanan. No.P.01/Menhut-II/2009) yaitu : (1) tegakan benih teridentifikasi, (2) tegakan benih terseleksi, (3) areal produksi benih, (4) tegakan benih provenan, (5) kebun benih semai, (6) kebun benih klon dan/atau (7) kebun pangkas. Sistem pengadaan benih di hutan rakyat dilakukan melalui pembangunan kebun benih petani (Bramasto 2002; Mulawarman et al. 2003), tujuannya adalah peningkatan mutu genetik dan produktivitas tanaman. Kebun benih petani dibangun di lahan desa atau pengangonan atau di lahan kelompok petani sendiri dengan menyisihkan lahannya untuk digunakan bersama membangun kebun benih. Pembangunan kebun benih desa dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut (Bramasto 2002; Roshetko et al. 2004) : a. Persiapan benih : meliputi kegiatan koleksi benih yang berasal minimun dari 25-30 pohon induk baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Kemudian dilakukan ekstraksi, sortasi, pengujian,pengepakan dan pelabelan benih. b. Pembibitan di persemaian : meliputi persiapan media tabur dan media sapih,penaburan benih,penyapihan bibit,pemeliharaan bibit dan monitoring jumlah bibit siap tanam. c. Penanaman : dengan membuat pola tanam yang disesuaikan dengan kondisi luasan lahan skala kecil. Pola tanam campuran, pola tanam barisan dan pola tanam monokultur. d. Pemeliharaan : dilakukan untuk memacu pertumbuhan pohon, percepatan bunga dan buah serta menjaga kesehatan tegakan dari serangan hama dan penyakit. Pemeliharaan yang dilakukan terhadap kebun benih petani hutan rakyat meliputi pengendalian gulma, pemangkasan, penjarangan dan pemupukan.
18 Sistem pengadaan benih juga meliputi kegiatan produksi benih, yaitu menentukan saat panen serta teknik pemanenannya. Tanaman mindi umumnya berbunga pada awal musim kemarau dan buah masak pada musim hujan. Namun hal ini tidak sepenuhnya tepat, karena tanaman mindi mengalami musim berbunga dan berbuah berbeda antara tempat satu dengan lainnya. Tanaman di Jawa Barat berbunga dalam bulan Maret sampai dengan Mei, di Jawa Timur antara bulan Juni sampai dengan Nopember, di Nusa Tenggara Barat dalam bulan September dan Juni. Buah masak dalam bulan Juni, Agustus, Nopember dan Desember. Saat panen buah mindi yang paling tepat adalah pada waktu kulit buah sudah berwarna hijau kekuningan, dengan cara dipetik langsung saat masih di pohon atau memungut langsung buah yang telah jatuh di permukaan tanah. Produksi buah segar mencapai 10 – 15 kg per pohon (Nurhasybi dan Danu 1997).
2.3.4 Teknik penanganan benih dan perkecambahan Penanganan benih akan menentukan kualitas fisik dan fisiologik benih, sehingga benih harus ditangani dengan baik, agar benih yang sudah dikumpulkan dapat dipertahankan mutunya. Kegiatan penanganan benih mindi meliputi sortasi buah, ekstraksi benih, pembersihan benih, sortasi benih, pengeringan benih, pengujian benih dan penyimpanan benih. Tidak sulit melakukan sortasi buah mindi karena ukurannya yang cukup besar. Ekstraksi benih mindi dilakukan secara manual yaitu dengan cara buah diperam hingga daging buah menjadi lunak. Selanjutnya buah digosok-gosok dengan tangan menggunakan pasir kemudian dicuci dengan air mengalir (Nurhasybi dan Danu 1997). Benih yang sudah diekstraksi kemudian dikeringanginkan di dalam ruangan selama ± 3 hari (sampai kadar air mencapai 15–20%). Benih mindi termasuk semi rekalsitrant, hanya dapat disimpan pada kadar air (15 – 20 %). Benih dengan kondisi segar (kadar air sekitar 22%) dibungkus plastik dan dimasukkan ke dalam kaleng lalu disimpan di ruangan dengan suhu 18–20°C dan kelembaban relatif 70–80%. Dengan perlakuan demikian benih mampu disimpan selama 10–12 minggu dan daya kecambah menurun menjadi 20–30% setelah disimpan. Kulit benih mindi cukup keras, sehingga mengalami dormansi fisik (kulit benih), tanpa perlakuan pendahuluan, benih akan berkecambah secara alami
19 setelah 3 bulan. Pematahan dormansi dapat dilakukan secara fisik dan kimiawi (Pramono dan Danu 1998). Secara fisik dengan meretakkan kulit benih dan secara kimiawi melalui perendaman dalam larutan asam sulfat (H2SO4 ) pekat (95–97%) selama 40 menit (Suciandri dan Bramasto 2005). Selain dengan asam sulfat, dapat pula digunakan air kelapa muda, menurut Kurniaty et al. (2003) dikatakan bahwa benih cempaka yang direndam dalam air kelapa muda selama 120 menit mampu ditingkatkan daya kecambahnya. Benih kemiri yang direndam dalam air kelapa muda selama 4 jam mempunyai daya kecambah sebesar 53,33% (Suita et al. 2005). Setelah dilakukan pematahan dormansi benih dikecambahkan pada bak tertutup plastik transparan dengan media campuran tanah dengan pasir (1:1). Penyemaian dilakukan dengan cara membenamkan benih ke dalam media dengan posisi mendatar sedalam ¾ bagian, selanjutnya ditutup dengan pasir halus (Pramono dan Danu 1998).
2.3.5
Sistim distribusi dan sertifikasi benih Benih yang dihasilkan dari kebun benih desa juga dapat dijadikan
komoditi hasil hutan non kayu yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Hal ini perlu didukung oleh sistem dokumentasi benih yang baik agar benih yang didistribusikan mempunyai identitas yang jelas. Kebun benih desa yang telah dibangun apabila telah memenuhi kriteria suatu sumber benih dapat disertifikasi, sehingga benih yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dari tegakan benih asalan. Konsep ini sudah dilakukan oleh kelompok tani Desa Cibugel di Kabupaten Sumedang Jawa Barat, dengan jenis tanaman suren (Toona sinensis) seluas 1 ha di lahan milik desa dengan difasilitasi oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan dan Indonesian Forest Seed Project (Saefullah 2004; Iriantono et al. 2004).
2.4
Sebaran Populasi Tanaman Mindi di Jawa Barat Sebaran populasi mindi di Jawa Barat menurut Pramono et al. (2008),
menyebar di beberapa wilayah, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Subang, Kabupaten
20 Purwakarta, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bogor. Ketinggian tempat dari setiap lokasi tersebut cukup bervariasi, yaitu mulai dari ketinggian 250 m diatas permukaan laut (dpl) sampai 1700 m dpl, namun populasi mindi banyak ditemukan pada
ketinggian tempat
500–700 m dpl. Secara ringkas sebaran
populasi mindi pada setiap wilayah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran populasi tanaman mindi pada beberapa wilayah di JawaBarat No.
Wilayah
Kecamatan/Desa
Curah hujan (mm/tahun)
Ketinggian (m dpl)
1
Kabupaten Bandung
Soreang, Kotawaringin,Pasir jambu, Pengalengan, Cimaung, Cangkuang dan Banjaran.
1200 – 1600
700 – 1420
2
Kabupaten Sumedang
Cimalaka,Rancakalong, Cibugel, Sumedang Selatan , Buah Dua, Ciherang dan Sumedang Utara
2000 – 3000
650 – 750
3
Kabupaten Subang
Kalijati, Segalaherang dan Jalan Cagak
2000 – 5000
400 – 1100
4
Kabupaten Purwakarta
Wanayasa, Bojong, Tegal waru dan Darangdan
2532 – 5339
500 – 850
5
Kabupaten Kuningan
Babakan rema
2000 – 3000
400 – 500
6
Kabupaten Garut
Cilawu, Cisewu dan Talegong
3000 – 4000
900 – 1000
7
Kabupaten Bogor
Sukaraja dan Megamendung
2200 – 4500
250-1700
Sumber : Pramono et al. (2008)