24
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hutan Rakyat Hutan rakyat adalah tegakan hutan yang di miliki oleh masyarakat baik
secara individu maupun berkelompok yang berada pada lahan pribadi dengan status kepemilikan lahan yang bervariasi. Sementara Manajemen Hutan berkaitan dengan segala daya dan upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengelola tegakan tanaman hutan dengan melakukan suatu praktek sistem silvikultur mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pemanenannya. Manajemen yang dilakukan paling tidak berkaitan dengan upaya untuk perbaikan kesejahteraan dan sekaligus memelihara ekosistem hutan. Bila dikaitkan dengan karakteristik partisipasi tersebut Martinus (2000) menjelaskan bahwa dalam pembangunan hutan rakyat: a. Masyarakat memiliki akses dan control terhadap lahan dan sumberdaya hutan; b. Memiliki kontrol terhadap keputusan lokal, dapat memiliki inisiatif sendiri, dan berusaha sendiri; c. Memiliki cara penyelesaian terhadap permintaan atas sumberdaya yang meminimalkan konflik; d. Memiliki hubungan yang bersifat komplementar dan sinergik diantara pemilik hutan; e. pembagian yang merata atas keuntungan yang berkaitan dengan hutan. 2.1.1 Bentuk Hutan Rakyat Purwanto (2004) menyatakan bahwa Lembaga Penelitian IPB (1983) membagi hutan rakyat kedalam tiga bentuk, yaitu : (1) Hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur. (2) Hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanan secara campuran.
25
(3) Hutan rakyat wana tani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain yang dikembangkan secara terpadu. Disamping pola-pola tersebut terhadap beberapa model hutan rakyat yang dikelola berdasarkan karakteristik dan potensi daerah masing-masing untuk mengembangkan tanaman kayu pada lahan masyarakat seperti hutan rakyat getah merah (Palaquium gutta) di P. Lingga, pengelolaan Hutan Kemenyan di Kabupaten Toba Samosir, Hutan Damar Mata Kucing di Lampung Barat, dan hutan rakyat campuran yang didominasi oleh tegakan “boangin” (Casuarina ungbuniana). Hal ini menunjukan bahwa pengelolaan hutan rakyat sudah membudaya dibeberapa daerah. 2.1.2 Peranan Hutan Rakyat Mengingat latar belakang sekarang pembangunan hutan rakyat, maka setiap kegiatan hutan rakyat selalu berhubungan dengan perbaikan aspek sosial ekonomi rakyat yang terlibat beserta aspek lingkungan fisik dimana hutan rakyat itu berada. Dua aspek ini merupakan dua kelompok yang saling mempengarui satu sama lain. Upaya perbaikan pada satu aspek saja dengan mengabaikan aspek yang lain tidak akan memberikan hasil. Tetapi upaya perbaikan satu aspek dengan memperhatikan aspek yang lain akan memberikan efek yang simultan/ saling mendukung satu sama lain. Purwanto (2004) menyatakan
bahwa hutan rakyat memiliki potensi
untuk : (1) peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. (2) pemenfaatan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak produktif dan mengelolanya menjadi lahan yang subur. (3) Peningkatan produksi kayu bakar dan penyediaan kayu perkakas, bahan bangunan dam alat rumahtangga. (4) Penyedia bahan baku industri seperti kertas, korek api, dan lain-lain. (5) Menciptakan lapangan kerja bagi penduduk pedesaan. (6) mempercepat rehabilitasi lahan kritis. Direktur BIKPHH (2006) menjelaskan bahwa sejalan dengan upaya pemberantasan illegal logging, Uni Eropa telah memberikan respon melalui Forest Law Enforcement Governence and Trade –Voluntary Partnership
26
Agreement (FLEGTVPA) bahwa Negara-negara di eropa masyarakat status legalitas produk hasil hutan bagi pengekspor produk hasil hutannya ke eropa. Hal ini tentunya juga membuka peluang bagi hutan rakyat untuk dapat lebih berkembang diwaktu-waktu yang akan datang.
2.1.3 Pengelolaan Hutan Rakyat Berdasarkan ketentuan formal yang ada maka pembangunan hutan rakyat sesungguhnya didasarkan pada semangat desentralisasi melalui pelimpahan kewenangan dan administrasi pada pemerintahan daerah. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa serta instansi formal disektor kehutanan daerah dianggap lebih mengetahui potensi dan persebaran hutan rakyat. Keterlibatan pemerintah daerah dalam pengurusan administrasi formal pembangunan hutan rakyat merupakan bukti dari semangat tersebut. Oleh karena itu efektivitas dan efisiensi peran daerah menjadi sangat penting untuk memfasilitasi, mengkoordinasi, dan meregulasi pengembangan hutan rakyat1. Sejalan dengan semangat desentralisasi, pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi juga sedang mencari bentuk administrasi pemerintahan daerah pada umumnya dan di sektor kehutanan khususnya. Dimana Kabupaten Kuantan Singingi merupakan kabupaten baru yang dibentuk tahun 1999 yang juga terinspirsi dari eforia pelimpahan kewenangan pada pemerintah daerah. Secara umum, luasnya kawasan hutan dan praktek pengelolan sumberdaya hutan di daerah sedikit banyak memberikan inspirasi bagi praktek management hutan pada lahan di luar kawasan hutan Negara. 2.1.4
Pola Pengembangan Hutan Rakyat Pola pengembangan hutan rakyat, pada prakteknya masih berjalan sampai
dengan saat ini baik dari aspek pelaksanaannya di lapangan serta kesediaan data realisasi kegiatannya. Hutan rakyat yang dilaksanakan melalui program lain 1
Peraturan Menteri No. P51/2006, P.62/2006 dan P.31/2007 melibatkan kepala bupati/walikota, desa dan dinas kabupaten/kota untuk melaksanakan administrasi formal hutan rakyat (penunjukan P@SKAU dan pemeriksaan lapangan dan rekomendasi potensi dan permohonan blanko SKAU ke Dishut Provinsi) di daerah
27
seperti GNRHI, penghijauan dan lain-lain tidak menjadi objek studi mengingat pada hutan rakyat dengan pola tersebut tidak terekam data yang pasti dilapangan. Studi hutan rakyat pada studi ini mengacu kepada praktek pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan secara intensif oleh masyarakat dan lembaga non pemerintah/swasta yang secara intensif dilaksanakan di lapangan. Perkembangan pembangunan hutan rakyat yang masih terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi mengindikasikan bahwa pola pembangunan yang ada akan menjadi tren ataupun pola yang akan dilaksanakan diwaktu-waktu yang akan datang. Untuk itu evaluasi terhadap pelaksanaannya merupakan upaya yang bermanfaat guna perbaikan dan pembenahannya di waktu yang akan datang. Berdasarkan data yang ada maka realisasi pembangunan hutan rakyat setiap tahun disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.Realisasi pembangunan Hutan Rakyat per Tahun 2009 di kabupaten Kuantan Singingi Kerjasama awal
Kerjasama baru
60.00
2 daur
6 daur
470.00
239.00
2 daur
6 daur
Sikijang
160.00
124.00
2 daur
Singaruntang Petapusan
Sigaruntang
140.00
70.00
2 daur
6 daur
5
PHBM Petapusan
Setiang
517.00
133.00
2 daur
6 daur
6
Teratak Baru
Teratak Baru
450.00
176.00
2 daur
6 daur
7
Gunung Melintang
Gn.Melintang
295.00
295.00
1 daur
6 daur
2,160.00
1,097.00
No
Nama HR
Lokasi (Desa)
Luas (ha)
1
HR Lubuk kKebun
Lubuk Kebun
120.00
2
HR Rambahan
Rambahan
3
HR Sikijang
4
jumlah
Jumlah peserta
Sumber : Departemen Planning PT. Riau Andalan Pulp and Paper
2.2 Desentralisasi Dalam Pengembangan Hutan Rakyat Beberapa definisi desentralisasi dalam kontek Indonesia pada dasarnya berkaitan dengan pergeseran manajemen, otoritas dan peran institusi,. Berdasarkan beberapa definisi maka dijelaskan bahwa desentralisasi adalah masalah “transfer manajemen” (Yuono, 2001), “pendelegasian wewenang” Usman
(2001)
sedangkan
Koswara
(2001)
mendefinisikan
sebagai
“Pendelegasian otoritas” berturut-turut dari pemerintah pusat kepada pemerintah
28
daerah, dari pemerintah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah. Sejak diimplementasikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, ada beberapa pergeseran administrasi pada banyak sektor kecuali ”Lima Sektor” yang masih dipegang oleh Pemerintah Pusat yakni urusan luar negeri, pertahanan dan keamanan, pengadilan, moneter dan fiskal serta agama. Kedua undang-undang ini menentukan kebijakan baru yang berhubungan dengan pergeseran desentralisasi otoritas dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan keseimbangan fiskal antara tingkat pemerintahan. Usman (2001) mengklarifikasi lima prinsip dasar bagi desentralisasi yakni “Demokrasi, Keterlibatan, Masyarakat dan pemberdayaan, Kesetaraan dan Keadilan, Pengenalan akan potensi dan keberagaman dalam agama dan Penguatan Legistatif daerah” yang menjadi batas minimal dalam implementasi desentralisasi. Diantara beberapa sektor, sektor kehutanan adalah salah satu sektor yang didesentralisasi ke pemerintah daerah. Implementasi desentralisasi sektor kehutanan ini telah menyedot perhatian dari masyarakat baik dalam negeri maupun internasional yang mengharapkan perlunya implementasi yang baik dari aspek prosesnya2 a.
Desentralisasi Administrasi Ada beberapa perubahan peran dan tanggungjawab antara tingkat
pemerintahan pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten/kota dalam manajemen sumberdaya hukum berdasarkan perspektif ini maka pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sehingga pelaksanaan/ petugas yang memiliki otoritas berada di lapangan yakni oleh pemerintah daeerah (Usman, 2001) Pemerintah provinsi memiliki peran ganda yakni merupakan daerah otonom sekaligus sebagai representasi dari pemerintah pusat di daerah. Pemerintah provinsi bertanggug jawab dalam mengelola beberapa aspek khususnya yang berkaitan dengan administrasi lintas kabupaten ataupun beberapa otoritas yang belum ditangani oleh pemerintah kabupaten (Usman, 2001)
2
Lembaga nasional dan internasional seperti Greenpeace, Uni Eropa, dan LSM dalam negeri telah banyak menyuarakan akan lemahnya penyelenggaraan managment hutan lestari sejak 2000 dan degradasi konservasi hutan seperti koncervasi Hutan Tanjung Putting (Lampung Post, April 26, 2006)
29
Kabupaten memegang peran dan tanggung jawab sebagaimana di tentukan dalam UU No. 2/1999 dalam batas wilayah. Dalam pelaksanaannya, ada kepentingan ekonomi dan politisi yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan daerah dalam rangka memegang kontrol dan manajemen sumberdaya hutan yang mengakibatkan penataan ulang terhadap struktur institusional (Simarmata, 2000) dimana lebih jauh dijelaskan bahwa struktur pemerintah baru dan cenderung lebih memantapkan kebijakan kabupaten. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi/ menciptakan “ketegangan wewenang” antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. b. Desentralisasi Kehutanan Pembahasan tentang ketentuan formal yang terkait dengan sektor kehutanan sesungguhnya tidak dapat terlepas dari isu pergeseran kewenangan antara pemerintah daerah serta pendelegasian administrasi pemerintahan. Kehutanan adalah salah satu sektor yang telah didesentralisasikan ke pemerintah daerah tentunya studi tentang hutan rakyat juga tidak terlepas dari semangat tersebut. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan formal yang dibuat pemerintah sedikit banyak menujukan semangat yang sama. Berdasarkan hal tersebut maka untuk memberikan wawasan tentang administrasi formal tentang hutan rakyat perlu penjelasan pendorong dan semangat pemerintahan daerah dalam menangani masalah sektor kehutanan. A. Pendorong Desentralisasi Kehutanan Sejelan dengan proses desentralisasi di Indonesia, terjadi tekanan pada pemerintah pusat untuk memantapkan kerangka pada system politik yang demokratis dan fungsi pemerintahan yang demokratis. (Usman, 2001). Proses ini mempengaruhi sektor kehutanan yang dicirikan oleh peran yang lebih pada pemerintah daerah terhadap manajemen sumber daya hutan. Salah satu tujuan yang paling utama dari desentralisasi adalah pelaksanaan administrasi dan pelayanan yang lebih efektif (Usman, 2001) yang menganggap bahwa pemerintah daerah lebih mengerti dan lebih responsif terhadap keinginan dari masyarakat dibandingkan dengan pemerintah pusat. Usman (2001) menyatakan bahwa berdasarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 paling tidak ada dua prinsip utama yakni pemerataan dan keadilan
30
dan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat yang memperkuat semangat desentralisasi. Masyarakat lokal mengklaim keuntungan atas sumber daya hutan yang dieksploitasi di wilayahnya yang sebelumnya dianggap tidak fair dimana manajement hutan sebelumnya dianggap lebih menguntungkan pemerintah pusat. Karena hal ini maka dianggap perlu untuk memberikan kuota yang lebih akan sumberdaya hutan bagi daerah. Sehingga disentralisasi dijadikan momentum untuk memberikan legitimasi formal bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintah secara lebih signifikan. Simarmata (2001) menyimpulkan bahwa desentralisasi paling tidak memberikan efek perubahan pada peraturan daerah, peningkatan pendapatan daerah, kontrol terhadap manajemen sumber daya alam dan pemerintah dan institusi lokal. Untuk itu berdasarkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 31/2002 tentang pemerintahan Daerah, desentralisasi manajemen hutan dilaksanakan melalui: - Desentralisasi melalui distribusi wewenang dan tanggung jawab pada peran dinas kehutanan provinsi dan kabupaten / kota. - Dekonsentrasi yang dilaksanakan melalui unit pelaksana teknis dibawah Kementrian Kehutanan. - Tugas perbantuan oleh kehutanan daerah terhadap otoritas Kementrian Kehutanan. Hal-hal tersebut diatas menyebabkan peningkatan peran pemerintah daerah dan pelimpahan wewenang pada pemerintah daerah yang lebih rendah. Hal ini dilaksanakan guna melaksanakan peran-peran baru dari pemerintah daerah untuk malaksanakn upaya-upaya yang berkaitan dengan kebijakan dan peraturan serta pemberdayaan masyarakat. B.Penciptaan Peraturan Daeerah Akibat dari peningkatan peran dan tanggung jawabnya, pemerintah daerah harus mengelola administrasi publiknya. Hal yang paling nyata dari peningkatan ini adalah perubahan-perubahan melalui penciptaan peraturan daerah khususnya
31
yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang nampaknya menjadi topik utama diskusi antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat3 Tujuan yang nyata dari penciptaan peraturan daerah adalah untuk meningkatan pendapatan daerah (Saad, 2001) dimana “penciptaan peraturan berkaitan dengan pajak lokal dan levie namun tidak mempertimbangkan income dan asset”. Lebih jauh Usman (2001) menyatakan bahwa otonomi lebih berkaitan dengan “otoritas untuk mengelola dan peningkatan pendapatan” yang dilakukan oleh pemerintah daeah sebagai indikasi keberhasilan implementasi proses desentralisasi. Walaupun sampai saat ini masih terdapat masalah yang berkaitan antara peningkatan pajak dan levi dengan penyediaan layanan oleh pemerintah daerah (Usman, 2001). Simarmata (2000) menyimpulkan bahwa paling tidak 6000 peraturan daerah telah diterbitkan oleh 368 kabupaten dimana 3000 diantaranya telah dan dalam revisi karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Lebih jauh studi yang dilakukan oleh Chistanty (2004) disebutkan bawa kurang lebih 340 peraturan daerah ditahun 2001 dari 28 provinsi dianggap tidak konsisten dan bahkan menyalahi aturan yang lebih tinggi yakni sebanyak 35 (10 %) sampai serius, 144 (42 %), dan 58 (17 %) agak serius. 2.2.1 Kebijakan Pembangunan Hutan Berkaitan dengan management hutan oleh pemerintah, sebagai mana dijelaskan Perencanaan Kehutanan Nasional menetapkan kebijakan utama disektor kehutanan yakni pemberantasan illegal logging, pencegahan dan mangemen kebakaran hutan, rekstrukturisasi industri kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan desetralisasi sektor kehutanan4. (Wardoyo, 2004) menyatakan bahwa kebijakan kehutanan sejak 1999 mengarah pada praktek maneagemen hutan yang sejalan dengan prinsip kelestarian sebagai respon pada kesepakatan nasional dan internasional dalam management sumberdaya hutan. 3
4
Adanya beberapa negosiasi antara beberapa pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terhadap sumber daya alam yang dimiliki walaupun secara formal telah peraturan yang menetapkan tentang hal tersebut. Hal ini biasanya terjadi pada daerah-daerah yang memliki kekayaan alam yang banyak. (contoh: Pemerintah Kalimantan Tengah tentang Eksploitasi Hutan). Program Perencanan Pembangunan Kehutanan (Departemen Kehutanan)
32
Kebijakan ini ditunjukan dalam Peraturan MentriNo.576/1993 yang menetapkan kriteria dan indikator Manajement Sumberdaya Alam yang Lestari Peraturan Menteri No. 610/1993 yang menetapkan kriteria dan indikator bagi Manajemen Sumberdaya Hutan Lestari pada tingkat unit. Implementasi manajemen hutan terdiri dari manajemen hutan, penyusunan perencanaan manajemen hutan, perencanaan pengusahaan hutan dan perencanaan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.34/2002 dimana implementasi pengusahaan hutan yang lestari adalah syarat utama dalam perpanjangan ijin pengusahaan hutan sebagaimana dicantumkan pada Ayat 50. untuk itu, pemerintah melakukan penilaian pada kinerja managemen hutan pada konsesi sebagaimana diatur dalam pasal 81 ayat 1. Penilaian
kinerja
manajemen
hutan
pada
konsesi
dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Menteri No. 4795/2002 dan No.206/2002 dimana menentukan kriteria dan indikator bagi pengusahaan hutan alam yang lestari. Sementaara penilaian kelestarian hutan tanaman dilaksanakan dalam Peraturan Mentri No.177/2003 dan No.178/2003 dimana masing-masing menetapkan kriteria dan indikator dari kelestarian pengusahaan hutan tanaman. Sistem konsesi yang telah dilaksanakan sejak 1970 memungkinkan pemegang konsesi untuk memungut kayu di hutan (Christanty, 2004) dimana hal ini menjadi cikal bakal skema pengusahaan hutan di Indonesia. Dimana dalam pelaksanaannya kepada pemegang diwajibkan menyusun Rencana Pengusahaan Hutan, Rencana Karya Lima Tahunan dan Rencana Karya Tahunan dibawah bimbingan dan arahan dari Pemerintah (Dinas Kehutanan). Untuk mangontrol pemintaan kayu dari hutan, penilaian Industri Pengolahan Kayu Hulu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34/2002 pasal57 ayat 2 dan 3 dilaksanakan tiap 3 tahun yang menilai kinerja industri kehutanan dan menetapkan prosedur dan kriteria penilaian industri kehutanan. Menunjuk pada pasal 57 Peraturan Mentri No. 6884/2002 dan No. 303/2003 menetapkan kriterian dan prosedur evaluasi industri kehutanan dan prosedur penilaian industri kehutanan. Namun sejalan dengan semangat desentralisasi maka sesuai ketentuan…..maka
kepada
Industri Pengolahan Kayu hanya
diwajibkan
melaporkan kepada pemerintah tentang rencana produksinya sebagaimana
33
tertuang dalam (Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri). Hal ini merupakan perubahan kebijakan yang ditunjukan untuk mempermudah ketentuan perijinan oprasional industri disektor kehutanan. 2.2.2 Kebijakan Pembangunan Hutan Rakyat Pembangunan hutan rakyat pada awalnya adalah merupakan strategi pemerintah untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam dalam bentuk eksploritasi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Departemen kehutanan mengagendakan bahwa tahun 2010 -2024 akan melakukan penanganan hutan rakyat secara lebih serius. Kebutuhan bahan baku industri kehutanan yang mencapai 80 juta m3 pertahun masih jauh dalam kemampuan hutan Negara untuk memenuhinya yakni baru sebesar 25 juta m3 pertahun5. Lebih jauh ditetapkan bahwa pola kemitraan yang telah dibangun (seperti:di Bandar Lampung sejak tahun 2007) dan akan dilaksanakan sebagai pilar utama yakni : kelompok tani hutan rakyat, pengusaha industri kehutanan dimana pemerintah baik berupa pola kemitraan umum maupun kemitraan inti plasma akan menjadi perhatian utama pemerintah. Disamping itu, akan difokuskan kebijakan yang mendukung berdirinnya sentra-sentra industri kehutanan dan basis data tentang hutan rakyat. Namun dalam prespektif yang lebih luas, proses penurunan kualitas hutan yang terus berlangsung selama ini di sebabkan oleh illegal logging, perambahan, kelangkaan bahan baku industri, dan penurunan kualitas ekosistem hutan, serta isu kesejahteraan
masyarakat
sekitar
yang
menyebabkan
pemerintah
harus
memformulasikan program-program prioritas untuk mengatasinya. Sementara (Purwanto,2004) menyatakan bahwa pembangunan hutan rakyat terinspirasi dari kisah sukses dari proyek kegiatan penghijauan dalam penanganan lahan kritis. Kemudian manfaat ekonomi yang telah dirasakan oleh masyarakat peserta penghijauan memberikan inspirasi bagi mereka untuk mengembangkan sendiri budidaya tanaman kehutanan sehingga berkembang sentra-sentra hutan rakyat. Namun dari dua latar belakang tersebut memiliki persamaan atau satu isu sentral
5
Publikasi dari Departemen Kehutanan pada 23 juni 2009 (pukul 07 : 51): Dephut Agendakan Penanganan Hutan Rakyat”(Dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Hutan Rakyat Provinsi lampung).
34
yakni kesejahteraan masyarakat.Untuk itu maka pembangunan hutan rakyat merupakan cikal bakal upaya masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Kebanyakan permasalahan kehutanan adalah berpangkal dari isu kesejahtraan masyarakat sekitar hutan. Dimana taraf hidup masyarakat yang masih bersifat subsisten mengakibatkan tekanan yang besar terhadap karena hutan dianggap sebagai sumberdaya yang paling dekat dan berada di lingkungannya. Berpijak dari isu utama tersebut maka pemerintah mencanangkan program pemberdayaan masyarakat desa hutan. Dan program pembangunan hutan rakyat adalah salah satu perwujudannya. Disisi lain, kebijakan ini sekaligus memberikan peran kepada masyarakat untuk terlibat dalam upaya keberlangsungan industri kehutanan, penurunan illegal logging, perambahan dan sekaligus peningkatan kwalitas ekosistem hutan. Syahadat (2006) menyatakan bahwa hutan rakyat mempunyai 3 (tiga) yaitu: a. Fungsi konservasi, b. Fungsi Lindung, dan c. Fungsi produksi. Sedangkan pemanfaatan hutan rakyat yang berfungsi produksi dapat berupa : a. Pemanfaatan hasil hutan kayu, b. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan c. Pemanfaatan jasa lingkungan. Berdasarkan hasil tersebut maka pengembangan hutan rakyat dimungkinkan budidaya tanaman hutan sebagai penghasil kayu sekaligus hasil hutan ikutan seperti buah, bungan, lebah, resin dan lain-lain. Lebih jauh dijelaskan bahwa pasal 15, ayat (2), Peraturan Mentri Kehutanan No. P.26/2005 menyataka bahwa pemanfaatan hutan hak/rakyat yang berfungsi produksi dapat berupa : a. Pemanfaatan hasil hutan kayu; b. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan c. pemanfaatan jasa lingkungan. Kebijakan ini kemudian disusul dengan ketentuan penataan hasil hutan dari hutan hak oleh pemerintah .hal ini dilakukan untuk memberikan melindungi hak-hak masyarakat atas hasil hutannya, memberikan jaminan legalitas kepada pihak-pihak yang mempergunakan hasil hutan dari hutan hak serta sebagai pembeda dengan hasil hutan yang berasal dari hutan negara. Namun mengingat kebijakan ini juga bertujuan untuk mendorong kegiatan ekonomi masyarakat baik perseorangan maupun kelompok maka penatausahaan hasil hautan dari hutan hak ditetapkan ketentuan formal yang lebih sederhana dibandingkan dengan peñatausahaan dari hutan Negara.
35
Kebijakan pembangunan hutan rakyat setidaknya mempertimbangkan dua aspek utama yaitu legalitas lahan dan jenis tanaman yang diusahakann. Sesuai pasal 2 P. 51/2006, legalitas lahan ditetapkan berdasarkan ketentuan kepemilikan lahan yang dibuktikan atas title/hak atas tanah sementara Pasal 4 menetapkan jenis tanaman dianggap sebagai hasil upaya budidaya masyarakat. Semangat yang menjadi dasar pembangunan hutan rakyat mengacu pada ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam P.51/2006 adalah upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya terhadap masyarakat yang memiliki area yang secara formal memiliki setatus kepemilikan terhadap lahannya. Lahan tersebut sesuai Pasal 1 butir c menyatakan bahwa lahan masyarakat merupakan lahan perorangan atau masyarakat diluar kawasan hutan Negara berupa pekarangan, lahan pertanian dan kebun. Sehingga hutan rakyat juga merupakan hutan hak. Sesuai pasal 1 butir a. ditetapkan bahwa Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada di luar kawasan hutan (hutan Negara) dan dibuktikan dengan alas title atau hak atas tanah. Guna dilaksanakan
mencapai
semangat
melalui
peningkatan
ketentuan
ini
kesempatan
maka kerja
implementasinya dan
peningkatan
produktivitas lahan. Guna menjamin status kepemilikan terhadap hasil hutannya, ditetapkan dokumen kepemilikan hasil hutan dari hutan rakyat yang berupa Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) dimana ketentuan ini merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah No. 34/2002 penerapan SKAU ini dimaksudkan sebagai upaya penerapan peredaran hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak sebagaimana ditetapkan pada Pasal 3 P.51/2006 Kegiatan pembangunan hutan disamping aspek lahan sesungguhnya berkaitan dengan jenis tanaman yang diusahakan. Mempertimbangkan perlunya ketentuan yang mengatur penggunaan SKAU, pemerintah menetapkan jenis yang mempergunakan SKAU untuk pengangkutan hasil hutan dari hutan hak dari jenijenis baru dari daerah yang mempergunakan SKAU setelah terlebih dahulu mendapatkan penetapan dari Departemen Kehutanan. Terbukanya usaha dari daerah mengenai jenis tanaman hutan rakyat yang dapat diusahakann disebabkan
36
oleh keterbatasan data base yang dimiliki oleh Departemen Kehutanan mengenai sebaran dan jenis tanaman pada hutan rakyat di daerah6. Namun untuk jenis-jenis tanaman yang sudah banyak dikenal masyarakat Indonesia dan menjadi bahan konsumsi (makanan) dankebutuhan kayu masyarakat maka pengangkutannya mempergunakan Nota yang diterbitkan penjual sebagaimana ditetapkan Pasal 10.a. P.33/2007. Untuk jenis-jenis yang ditetapkan dalam P.51/2006 pada awalnya berpedoman pada Keputusan Mentri Kehutanan No. 126/2003 yang selama ini diterapkan pada pengusahaan hutan Negara. Namun mengingat ketentuan tersebut dirubah dengan menambahkan kode “KR” yang merupakan inisial Kayu Rakyat. Ketentuan ini untuk mengidikasikan bahwa untuk jenis-jenis yang belum dianggap /diatur sebagai kayu tanaman pada hutan rakyat masih terdapat kewajiban pemenuhan kewajiban kepada Negara berupa Provinsi Sumber Daya Hutan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa untuk jenis-jenis yang lain yang belum ditetapkan sebagai jenis-jenis tanaman pada hutan rakyat merupakan tegakan alam yang tumbuh secara alami sehingga merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Negara. Pemerintah daerah pada tingkat desa memegang peranan penting dalam menentukan legalitas status lahan dan tanaman yang hendak dimanfaatkan dalam hutan rakyat. Sesuai dengan Pasal 5 P.51/2006, Pejabat Daerah di Desa (Kepala Desa/Lurah) diangkat sebagai penerbit Dokumen SKAU. Penetapan Pejabat Daerah sebagai asessor dalam pemanfaatan hutan rakyat didasarkan pada anggapan bahwa Pejabat Daerah adalah pihak yang paling mengetahui atas status hutan rakyat ditempatnya sekaligus bertanggung jawab terhadap kebenaran praktek pemanfaatan hasil hutan dari hutan rakyat7
6
Lampiran P.33/2007 menetapkan jenis kayu rakyat yang dapat diangkut mempergunakan Blanko SKAU dan terdapat ketentuan jenis-jenis tertentu yang dap dianggap sebagai jenis tanaman yang berasal dari hutan rakyat. Hal ini didasarkan pada karakteristik jenis0-jenis tanaman pada msingmasing daerah (ie. Bayur (Pterospermum javanicum ), Terap (Arthocarpun elasticus) dan Medang(Litsea sp) hanya diakui di Provinsi Sumatera Barat. Namun sebaliknya terdapat jenisjenis yang tidak dianggap sebagai tanaman rakyat)ie. Jati (Tectona grandis ) dan Mahoni (Swietenia sp) yang tidak berlaku di Banten, Jabar, Jateng, Jatim, DIY, Sulteng, NTT dan NTB. 7 Pasal 5.P.51/2006 menetapkan bahwa Kepala Desa /Lurah diangkat sebagai Pejabat Penerbit Dokumen SKAU yang diangkat oleh Bupati/ Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten / kota.
37
2.2.3 Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sesungguhnya didasari pada paradigma pemberdayaan masyarakat walaupun masih terdapat kendala dan masalah dalam aplikasinya serta terdapat variasi keterlibatan masyarakat karena adanya variasi sumberdaya yang dimilikinya. a.
Isu Pemberdayaan Masyarakat Disamping upaya peningkatan pendapatan daerah, desentralisasi juga
dianggap sebagai dinggap sebagai kesenpatan untuk meningkatkan peran masyarakat dalam kegiatan sosial dan ekonomi. Usman (2001) menyatakan bahwa dua diantara lima prinsip dasar dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan dan peningkatan pemerataan dan keadilan. Walaupun dalam praktekya masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam pemberdayaan masyarakat karena desentralisasi dalam kasus tertentu masih tetap menghambat pemberdayaan masyarakat karena adanya dominasioleh elit-elit di Daerah(Simarmata, 2000). Walaupun begitu disisi lain banyak LSM nasional dan daerah telah menyesuaikan kepentingan masyarakat melalui kritik terhadap praktek administrasi pemerintah dan eksploitasi sumberdaya alam yang memberikan manfaat bagi perbaikan governance, akuntabilitas, keadilan dan lainlain. b. Spektrum Partisipasi Dalam menjelaskan pertisipasi masyarakat dalam manajemen hutan sesungguhnya dapat dijelaskan melalui peran dan posisi masyarakat pelaksanaan pembangunan hutan masyarakat baik secara individu, posisinya dalam komunitasnya maupun peran dan posisinya dalam proses kerjasama dengan pihak lain. Karena rakyat secara indipidu tidak dapat dipisahkan dari masyarakat maka peran dan posisi rakyat dan komunitasnya akan saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk itu maka pembangunan hutan rakyat sesungguhnya harus dilihat dalam konteks proses partisipasi yang terjadi. Martinus (2000) menyatakan ada tujuh tipe partisipasi berdasarkan (Hobley, 1996) yakni: 1. Keberadaan masyarakat dalam badan tersebut tidak dipilih dan tidak memiliki kewenangan (manipulative participation);
38
2. Masyarakat hanya diberitahu apa yang telah diputuskan melalui pengumuman oleh administatur (passive participation); 3. Masyarakat dipintai pendapatnya namun analisis dan keputusan dibuat oleh pihak luar (participation by consultation); 4. Masyarakat mengeluarkan sumberdaya berupa (yaitu lahan dan tenaga) dan memperolah penghasilan, makan dan intensif lain tetapi mereka tidak dapat memperpanjang
intensif
yang
diterima
bila
partisipasinya
berakhir
(participastion for material incentives); 5. Masyarakat dapat memberikan jawaban atas tujuan program yang dibuat oleh pihak luar (funcional participation); 6. Masyarakat terlibat dalam proses analisis, perumusan rencana dan pembentukan dan penguatan institusi lokal. Partisipasi adalah hak dan bukan alat untuk mencapai tujuan. Satu kelompok memegang control atas keputusan dan sumberdaya dan berperan dalam mempertahankan keberlangsungan pola partisipasinya dan prakteknya (interactive participation); 7. Inisiatif masyarakat secara mandiri dimana kontak dengan pihak luar didasarkan kepada kebutuhan masyarakat. Meereka menentukan atas keputusan dan sumberdaya yang depergunakan (self mobilization); Lebih
jauh
Martinus
(2000)
menjelaskan
bahwa
Inoue
(1998)
mengklasifikasikan partisipasi masyarakat dengan pihak luar dalam proses pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat sebagai tenaga kerja yang diupah, sukarela, penyedia dana, dan lain-lain (participatory to-down approach); 2. Perencanaan dibuat oleh pihak luar dan masyarakat melaksanakan dan setiap perubahan atas rencana dilakukan melalui diskusi, seminar dan lain-lain (professional-guided participatory approach); 3. Proses belajar dimana professional berperan sebagai fasilitator Martinus (2000) menyatakan bahwa tiga kategori ini merupakan penyederhanaan dari tujuh partisipasi sebagaimana tersebut di atas. Dimana participatory to-down approach meliputi : manipulative participation,passive participation, participation by consultation and participation for material incentives, Propessional-guided participactory approach meliputi: fungsional
39
participation dan the endogenous bottm-up approach meliputi: interactive participation and self-mobilization.
1.
Status dan Kepemilikan Lahan Istilah area hutan berdasarkan UU No. 4/1999 memberikan otoritas kepada
Kementrian Kehutanan untuk menerapkan manajemen hutan pada kawasan hutan. Sebelumnya istilah kawasan hutan diterapkan untuk memantapkan area hutan melalui koordinasi yang melibatkan beberapa sektor yang terkait dan tingkat pemerintahan untuk memformulasikan kawasan hutan definitive melalui Integrasi dan harmonisasi tata ruang Provinsi (RTRWP) dan tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Kawasan hutan didefinisikan sebagai areal ditata dan diatur oleh pemerintah dimana kawasan hutan sebagaimana dijelaskan dalam bagian 2 pasal 5 berupa Hutan Negara dan IUPHHK. Hutan rakyat sesungguhnya berada di luar kawasan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang tersebut namun penetapan RTRWP menjadi hal yang krusial untuk menetapkan legal status dari lahan hutan rakyat. Namun dalam studi ini yang dibahas adalah kawasan hutan yang diluar kawasan hutan Negara yakni areal yang memiliki alas title atau hak yang dimiliki oleh masyarakat atau badan tertentu yang disebut dengan Hutan Hak/Rakyat. Dalam hal ini pemerintah menerapkan peraturan formal tentang manajemen hutan hak yang dikeluarkan oleh Instansi Sektoral Pemerintah. Dalam implementasinya instansi sektoral baik di pusat maupun di daerah secara aktif menerapkan sistem administrasinya dengan melibatkan peran instansi non sektoral di daerah baik di tingkat pemerintahan desa, kecamatan maupun kabupaten sebagai pemegang otoritas di lapangan. Verifikasi legalitas pelaksanaan pembangunan hutan rakyat sangat ditentukan oleh peran dan integritas pemegang otoritas di daerah karena dianggap sebagai pihak yang paling mengetahui kondisi baik de-fakto maupun de-jure terhadap permohonan pembangunan hutan hak. Otoritas tidak mensyaratkan perijinan bagi pembangunan hutan rakyat tetapi bersifat klarifikasi hak atas tanah bagi pelaksana. Namun pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan atas hutan
40
rakyat masih diawasi dan dibawahi pembinaan pemerintah dan instansi sektoral di daerah. Lebih jauh dalam praktek di lapangan, keberadaan hutan rakyat dan hutan adat sering dipertukarkan keberadaannya untuk kepentingan tertentu khususnya berkaitan dengan konflik lahan antara masyarakat dengan pihak luar (perusahaan). Walaupun UU No. 41/1999 mengatur mengenai keberadaan hutan adat sebagaimana dituangkan dalam bagian 2 Ayat 5 tetapi pembuktian keberadaannya merupakan hal yang sulit. Hal ini disebabkan keberadaan hutan adat8 tidak tertulis dan merupakan warisan dari generasi ke generasi yang kadang-kadang tidak secara utuh ditransformasikan / dilimpahkan kepada komunitasnya karena adanya perubahan susunan komunitas karena perpindahan penduduk dan masuknya pendatang dari luar.
2.
Manajemen Hutan Manajemen hutan adalah suatu bentuk manajemen yang khusus yang
menggabungkan antara manajemen pembangunan dengan aplikasi teknologi yang mengadaptasi kondisi alam dan aspek sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Untuk itu pemahaman tentang fungsi dan klarifikasi hutan serta aplikasi sistem silvilkultur adalah sesuatu modal dasar yang harus dikuasai.
3.
Fungsi dan Klasifikasi Hutan Manajemen hutan berhubungan dengan upaya mengelola sumber daya
hutan yang sesuai dengan tujuan dari suatu perencanaan melalui implementasi beberapa kegiatan. Nugroho (2002) menyatakan bahwa manajemen hutan berhubungan dengan aplikasi aspek teknis yang sesuai terhadap tegakan hutan yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan kelestarian fungsi hutan. Manajemen hutan dilaksanakan berdasarkan konsep kelestarian fungsinya yakni konservasi, perlindungan dan pengusahaan. Fungsi konservasi dan perlindungan dilaksanakan melalui pemeliharaan dan peningkatan keberadaanya sementara pengusahaan hutan dilaksanakan berupa ekstraksi atas maksimum tiap 8
Hutan adat adalah hutan dalam wilayah suatu komunitas tertentu sebagai bagian siklus hidup komunitas tersebut (Raden B. and Nababan A, 2003. at http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/Pengelolaan _Hutan_Berbasis.html at July 20, 2006)
41
dari produksi hutan. Berdasarkan istilah fungsi hutan kebijakan manajemen hutan telah diterapkan beberapa kebijakan yang menentukan administrasi dan praktek terhadap sumber daya hutan. Menurut UU No.41/1999 ,fungsi hutan diklasifikasikan sebagai fungsi perlindungan, preseropasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan konservasi ditunjukan untuk mempertahankan tumbuhan dan satwa yang ada di hutan tersebut dan memelihara ekosistemnya. Hutan lindung ditunjukan sistem penyangga kehidupan, memelihara sistem air, mencegah banjir, kontrol erosi, pencegahan intrusi air laut, dan menjaga kesuburan tanah. Hutan produksi difungsikan sebagai produksi hasil hutan yang terdiri dari hutan tetap, hutan produksi terbatas, hutan konversi. Fungsi-fungsi hutan tersebut didasarkan pada klasifikasi yang ditentukan oleh kelerengan, sensifitas erosi dan tingkat curah hujan9. Dalam prakteknya pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan lebih berpedoman kepada menejemen fungsi hutan produksi yakni menghaslkan hasil hutan kayu. Aspek-aspek lainnya dari kondisi fisik dan lahan pada hutan rakyat seperti asfek konservasi dan preservasi tidak/ kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari praktek system silivikultur yang diterapkan yakni berupa Sistim Silvikultur Tebang Habis (THPB). Walaupun secara fisik, masih perlu beberap pertimbangan yang mempertimbangkan aspek-aspek yang lain dari menejemen hutan.
4. Sistem Silvikultur Dalam praktek menejemen hutan,dikenal istilah system silvikultur yang mengelola tegakan tanaman. Ada beberapa definisi silvikultur namun yang paling umim adalah ditekankan pada fungsi hutan dan pemeliharaan ekosistemnya. Smith (1986) menyatakan bahwa sivikultur menerapkan perlakuan terhadap tegakan dalam rangka memelihara dan meningkatkan pengusahaan untuk berbagai tujuan sementara Nyland (1996) menekankan pada kelestarian hutan pada :Fungsi Ekologi” dan “Ekosistem Hutan”. Dalam study ini, sistem silvikultur yang
9
Definisi Bahan Planologi Kehutanan
42
dilaksanakan adalah bertujuan untuk mengelola tegakan untuk menghasilkan kayu dengan tetap mempertahankan fungsi ekologinya. Beberapa definisi silvikultur dapat dijelaskan sebagai berikut: -
Praktek sivikultur adalah aplikasi berbagai perhatian terhadap tegakan hutan untuk memelihara dan meningkatkan pengusahaan untuk berbagai tujuan (Smith, 1986)10
-
Silvikultur memasukan fungsi ekologi pada jangka panjang dan kesehatan dan produktifitas ekosistem hutan (Nyland, 1996)11
-
Silvikultur
adalah
seni
dan
ilmu
untuk
mengontrol
kemantapan,
pertumbuhan, komposisi dan kualitas vegetasi hutan untuk mencapai berbagai tujuan sumberdaya hutan12 -
Silvikultur
adalah
seni
dan
ilmu
untuk
mengontrol
kemantapan,
pertumbuhan, komposisi, kesehatan dan kualitas hutan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai sipemilik dan masyarakat dalam rangka kelestarian13 Umumnya sistem silvikultur menerapkan program perencanaan yang mengelola sepanjang umur tegakan untuk mencapai tujuan tertentu seperti produksi kayu, pengembangan satwa, kualitas air, rekreasi dan estetika ataupun gabungan diantaranya. Namun secara umum aspek yang menjadi pertimbangan utama adalah produk hasil hutan dan regenerasi tegakan hutan. Berdasarkan komposisi umum tegakan, ada dua tipe tegakan hutan dalam praktek manajeman hutan di Indonesia yakni hutan seumur (even-aged-stand) dan tidak seumur (uneven aged stands).berdasarkan tingkat intervensi manusia, Evan (2000) mengklasivikasi sumberdaya hutan sebagai tegakan tidak terganggu (undisrubed forest), hutan yang dimodifikasi (semi natural forest) dan hutan tanaman (forest plantation). Hutan buatan dilaksanakan dengan melakukan 10
“Sivikultural practice consists pf the varios treatments that may be applied to forest stand to maintain and enhance their utilityfor any purpose” David M Smith (1986) 11 “Silviculture also ensures the long-term continuity pf essential ecilogic functions, and the health end productivity of forested ecosystems’ Ralph Nyland (1996) 12 “Silviculture is the art end science of controlling the establishment ,growth, coposition, and quality of forest vegetation for the full range of forest resource objective” pada http://www.for.gov.bc.ca/hfp/training /00014/chap1frt.htm 13 “Silviculture is the art and science of controlling the establishment, growth,composition,health, and quality of forests meet diverse needs values of landowners and society on a sustainable basis”
43
aforestasi atau reforestasi (Evan, 2000) dengan melakukan penanaman pada lahan hutan. Ada beberapa sistem silvikultur yang digunakan seperti penebangan sistem jalur (stip clear cut system), penebangan system blok (blok clear cut system),dan lain-lain
14
.Tegakan hutan ini secara umum dicirikan oleh tegakan yang seumur
dengan jenis yang sama pada satu petak sebagai bagian dari konsesi. Di Indonesia, tegakan seumur terdapat pada hutan tanaman dengan sistem tebang hasil dan permudaan buatan. Umumnya hal ini terjadi setelah perlakuan regenerasi tertentu melalui replanting, coppicing, dan lain-lain dimana dimaksudkan untuk mencapai kondisi monakultur (satu jenis species tanaman). Tegakannya memiliki ukuran/ dimensi yang relative seragam “bell-shape diameter distribution” dengan sebagian kecil tegakan yang seragam dibawah ratarata diameter seluruh tanaman. Dalam tegakan seumur dikenal adanya rotasi yang menentukan siklus dan regenerasi tegakan sebagaimana ditetapkan dalam rencana manejemen hutan. Beberapa ciri tegakan seumur adalah memiliki satu kelas umur, memiliki canopy dan ketinggian yang seragam15. Sementara tegakan tidak seumur diciptakan oleh kelas umur radom dalam tegakanya seperti “multi-cohort” atau all-aged” atau jika ada kelompok kecil bagian yang seumur. Distribusi umur tegakan dipenuhi oleh siklus gangguan yang bersifat radom yang menyebabkan kematian yang terbesar “scattered mortality” yang membuat distribusi kelas umur yang tersebar dalam seluruh tegakan. Masing-masing tegakan bersaing memperoleh cahaya, bertahan dari gangguan angin, hama dan penyakit,. Dalam kontek Indonesia hutan alam dari hutan buatan cenderung bersifat tegakan tidak seumur. Manajemen
hutan
alam
menerapkan
diantaranya
pengurangan
keberagaman hutan sehingga tegakan menjadi lebih mudah diprediksi keadaannya dalam hal pembangunan tegakan atau “stand development” dan melalui terobosan “regenerasi cutting” supaya memberikan kesempatan regenerasi secara terus menerus. Definisi tegakan tidak seumur dicirikan oleh adanya lebih dari satu kelas
14 15
Devinisi dapat diperiksa pada http://www.for.gov.bc.ca/htf/training/00014varclear.htm#clear) Definisi tegakan seumur : “Even-aged stands generally have one age class, although two age classes can be found in some two-layered natural or managed stands. These stands generally have a well-developed canopy with a regular top at uniform height” (http://www.for.giv.bc.ca/hfp/training/00014/chap1frt.htm)
44
umur, tinggi, dan diameter yang terdistribusi berupa seedling sapling, pole dan pohon16. Dalam manajemen hutan ada dua tipe sistem sivikultur yang diterapkan dikenal sistem tebang pilih dari sistem tebang habis dengan sistem pemudahan buatan. Kedua sistem silvikultur ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Sistem tebang pilih diterapkan pada hutan yang merupakan tegakan klimak. Tingkat pemanenannya didasarkan pada batas tiap tegakan hutan. Tingkat ekploitasididasarkan pada batas tingkat tiap dari tegakan hukum supaya tegakan yang masih tinggal masih dapat tumbuh dan mencapai hutan klimak melalui proses alami. Tebang habis dengan permudaan buatan dilaksanakan pada lahan hutan yang dimulai dari penanaman jenis pohon hutan dimana secara fisik sesuai dengan kebutuhan
bahan
baku
industri
ataupun
keuntungan
ekonomi
melalui
pemeliharaan dan nilai tegakan. Kepentingan fisik dan ekonomi menentukan jenis dan siklus/ rotasi penanaman hutan. Hal ini mengarah pada pemilihan jenis yang biasanya bersifat cepat tumbuh dan secara ekonomi bernilai tinggi bila dipasarkan baik kepada industri maupun pemanfaatan lainya. Rotasi jenis tanaman menentukan ukuran hutan/konsensi dan jumlah petak yang dibuat guna menetapkan
tingkat
pemanenan
minimal
yang
secara
ekonomi
masih
menguntungkan pada setiap tahunnya pada petak-petak secara bergiliran sampai kembali kepada petak semula. 2.2.4 Manajemen Hutan Lestari Didalam sektor kehutanan ada konsep yang berhubungan dengan kelestarian dalam pengelolaan hutan. Penilaian yang dilakukan dalam manajemen hutan tersebut berhubungan dengan kemampuan/ upaya untuk mengelola tegakan hutan sehingga terdapat keberlangsungan kegiatan persiapan lahan., penanaman, pemeliharaan dan pemanenan secara kontinyu sepanjang tahun. Dan pada gilirannya keberlangsungan pengelolaan tegakan hutan memberikan dampak pada
16
Definisi tegakan tidak seumur “uneven-aged stands have at least thee well-represented and well-defined age classes, differing in height, age,and diameter. Often these classes can be broadly defined as : regeneration (or regeneration and sapling), pole, and maure (or small and large sawn timber” (http//www.for.gov.bc.ca/hfp/training/00014/chap1frt.htm))
45
pelestarian ekosistem dan pembangunan ekonomi dan kultur pengelolanya yang dalam hal ini adalah masyarakat pengelola hutan rakyat. Sejalan dengan tujuan dari
studi
ini
maka
kelestarian
dimaksudkan
untuk
memformulasikan
keberlangsungan paengusahaan, kemantapan lahan , dan sumber daya hutan rakyat, kontinyuitas pemanfaatan dan peredaran hasil hutan dari hutan rakyat dan peningkatan sosial ekonomi rakyat. Untuk memperluas wawasan tentang manajemen hutan, dicoba dijelaskan tentang definisi dan prinsip pengelolaan hutan lestari. 1) Definisi Menejemen Hutan Lestari Seperti sektor kehutanan, hutan rakyat seharusnya mempergunakan prinsip kelestarian pembangunan. Konsep kelestarian ini dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai keseimbangan antara tiga peran sumberdaya hutan yakni berhubungan dengan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Namum aspek lingkungan harus menjadi pertimbangan utama dengan maksud untuk menjaga dua aspek lainnya. Mekanisme ini secara alami berlangsung seperti itu dan bukannya sebaliknya. Menurut ITTO, definisi menejemen hutan lestari mendefinisikan bahwa : Manajemen hutan lestari adalah proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang jelas dari manajemen yang berhubungan dengan produksi yang kontinyu dari produk dan layanan hutan tertentu tanpa mengurangi nilai hutannya dan produksi diwaktu yang akan datang tanpa mengabaikan dampak negative terhadap lingkungan fisik dan sosial17 Penjelasan lebih lanjut tentang pembangunan lestari (Gregopoulus, 2002) mendefinisikan pada aspek sosial manusia sepenuhnya dimana dalam hal ini menyangkut: pemberantasan kemiskinan, stabilitas populasi, penciptaan lapangan kerja, hak azazi manusia
dan lain-lain yang harus disusun dalam kerangka
pembangunan lestari. 2) Prinsip Manajemen Hutan Lestari
17
Depinisi ITTO tentang menejemen Hutan Lestari adalah : Sustainable forest management is the processof managing forest to achieve one or more clearly specified objectives of management with regard to the productin of a continuous flow of desired forest products and services without undue reduction of its inberent clues and future productivity and without undue undesirable effects on the physical and social environment”
46
Sample et al (1996) menyatakan bahwa ada cara untuk melihat menejemen
hutan
yang
mempertimbangkan
konsep
kelestarian
dimana
menunjukan pergeseran bagaimana cara mengelola sumberdaya hutan yang tidak hanya memfokuska pada produksi kayu tetapi juga memelihara kualitas ekosistem. Konsep kelestarian manajemen hutan dimulai dengan mengelola proses biologi dengan kepentingan sosial ekonomi dari pihak-pihak yang sesuai dengan dimensi tempat dan waktu. Menejemen hutan memperkuat produktivitas sumberdaya hutan atau hasil hutan lestari dengan melaksanakan silvikultur untuk menjaga dan meningkatkan produksi kayu untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini dilakukan untuk mencegah gangguan social ekonomi yang terkait dengan definisi sumberdaya hutan melalui karakteristik pengusahaan yang terbaharukan dari sumberdaya hutan. Dalam konsep pengusahaan hutan, manajemen hutan sebagaimana didefinisikan oleh Sample et al (1996) menunjukan bahwa sumberdaya hutan dikelola untuk memproduksi hasil secara periodik dalam aspek volume kayunya. Dalam manajemen ini tidak dimaksud untuk meningkatkan produksi tetapi lebih cenderung pada upaya untuk meningkatkan kualitas tegakan dan hasilnya. Peningkatan produksi akan merusak stabilitas kualitas tegakan dimana pada gilirannya akan mengurangi hasilnya. Dan akan makin terlihat dampaknya dalam jangka yang panjang. Sample
et al (1996) mendefinisikan
manajemen hutan lestari
berhubungan dengan “sustained-yield forestry, non declining-even flow, custodial management, dan multiple uses”. Sustained-yield foresty merefleksikan upaya untuk menjaga produksi kayu yang teratur dan mejaga proses alami dari produktifitasnya yang mengarah pada pemanfaatan hutan yang lebih luas yang menjamin keberadaan hutan. “Non declining –even flow” menunjukan tingkat produksi tahunan yang tetap yang sama atau lebih kecil dari tingkat reversibilitas hutan untuk mempermuda kembali. “Custodial management” menunjukan preservasi keberadaan hutan terhadap ancaman illegal logging, kebakaran hutan, konversi lahan untuk menjaga fungsi ekosistem hutan. Sementara “Multiple Uses” menujukan upaya untuk meningkatkan tingkat produksi yang dapat diperbaharui
47
yang dihasilkan dari produksi yang tetap tanpa mengurangi produktivitas lahan hutan. Dengan mempertimbangkan semua peran hutan akan mendefinisikan konsep menejemen hutan lestari secara tepat yang cenderung menyeimbangkan pendekatan terhadap produksi hutan lestari dan fungsi hutan yang banyak sebagai representasi dari nilai pasar dan non pasar.
2.3 Manajemen Strategi Strategi adalah bakal tindakan yang menuntut keputusan manajemen puncak dan sumberdaya perusahaan untuk merealisasikannya. Strategi mempengaruhi kehidupan organisasi dalam jangka panjang, paling tidak selama lima tahun. Oleh karena itu, sifat strategi adalah berorientasi ke masa depan. Strategi mempunyai konsekuensi multifungsional atau multidivisional dan dalam perusahaannya perlu mempertimbangkan faktor-faktor internal maupun eksternal yang dihadapi perusahaan (David, 2004). Tahapan manajemen strategi diawali dengan perumusan strategi. Strategi dirumuskan melalui tahapan: 1) analisis arah, yaitu untuk menentukan visi-misitujuan jangka panjang yang ingin dicapai, 2) analisis situasi, yaitu tahapan membaca situasi dan menentukan Kekuatan-Kelemahan-Peluang-Ancaman yang menjadi dasar perumusan strategi, 3) penetapan strategi, yaitu tahapan untuk identifikasi alternatif dan memilih strategi yang akan dijalankan. Tahap selanjutnya setelah perumusan strategi adalah implementasi strategi, yaitu membuat rencana pencapaian 9sasaran) dan rencana kegiatan (program dan anggaran) yang sesuai dengan visi-misi-tujuan dan strategi yang telah ditetapkan (Tripomo dan Udan, 2005). Menurut David (2004) proses penyusunan strategi dilakukan dengan melalui tiga tahap analisis, yaitu tahap masukan, tahap analisis, dan tahap keputusan. Tahap akhir analisis kasus adalah memformulasikan keputusan yang akan diambil. Keputusannya didasarkan atas justifikasi yang dibuat secara kualitatif maupun kuantitatif, terstruktur maupun tidak terstruktur, sehingga dapat diambil keputusan yang signifikan dengan kondisi yang ada. Kerangkan analisa penyusunan strategi menurut David (2004) tertera pada Gambar 1.
48
Tahap 1: Tahap Masukan (Input Stage)
Tahap 2: Tahap penggabungan Analisis (Matching Stage)
Tahap 3: Tahap Pengambilan Keputusan (Decision stage) Gambar 1. Kerangkan Analisis Penyusunan Strategi
Tahap Masukan Tahap ini pada dasarnya tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan data internal. Data eksternal dapat diperoleh dari lingkungan di luar organisasi. Sedangkan data internal dapat diperoleh di dalam organisasi itu sendiri. Tahap masukan proses penyusunan strategi tertera pada Gambar 2.
Tahap Masukan (Input Stage)
Analisa Faktor Internal (IFE) Analisa Faktor Eksternal (EFE)
Gambar 2. Tahap Masukan Proses Penyusunan Strategi
49
Tahap penggabungan – Analisis Setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh terhadap kelangsungan organisasi, tahap selanjutnya adalah memanfaatkan semua informasi tersebut dalam model-model kuantitatif perumusan strategi. Dalam hal ini digunakan model matrik SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematika untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan organisasi. Dengan demikian perencanaan strategi (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis organisasi (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah analisis SWOT. Tahap penggabungan ini tertera pada Gambar 3. Tahap Penggabungan - Analisis (Matching Stage)
SWOT Analisis
Gambar 3. Tahap Penggabungan (Matching Stage) Proses Penyusunan Strategi Matrik Strengths – Weaknesses – Opportunities – Threats (SWOT) merupakan mathing tools yang penting untuk membantu mengembangkan empat tipe strategi. Keempat tipe strategi yang dimaksud adalah: Strategi SO (Strength – Opportunity), Strategi WO (Weakness-Opportunity), Strategi ST (Strengththreat), dan strategi WT (Weakness-Threat). Strategi SO menggunakan kekuatan internal organisasi untuk meraih peluang-peluang yang ada di luar organisasi. Strategi WO bertujuan untuk memperkecil kelemahan-kelemahan internal organisasi dengan memanfaatkan peluang-peluang eksternal. Strategi ST bertujuan untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman eksternal. Strategi WI merupakan
50
taktik untuk bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman.
Tahap Pengambilan Keputusan Setelah tahapan-tahapan terdahulu dibuat dan dianalisa, maka tahap selanjutnya adalah menetapkan strategi atau Decision Stage. Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) merupakan teknik yang secara obyektif dapat menetapkan strategi alternatif yang diprioritaskan. QSPM adalah alat yang direkomendasikan untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif secara objektif, berdasarkan key diidentifikasikan
success factors internal-eksternal yang telah
sebelumnya.
Tujuan
QSPM
adalah
untuk
menetapkan
kemenarikan relatif (relative attractiveness) dari strategi-strategi yang bervariasi yang telah dipilih, untuk menentukan strategi mana yang dianggap paling baik untuk diimplementasikan. Tahap pengambilan keputusan ini tertera pada Gambar 4. Tahap pengambilan Keputusan (Decision Stage)
QSPM
Gambar 4. Tahap Pengambilan Keputusan dalam Proses Penyusunan Strategi
2.4 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian tentang hutan rakyat telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian tersebut mengamati beberapa sisi yang berbeda tentang hutan rakyat baik aspek pengusahaannya faktor-faktor penentu kegiatan keterlibatan hutan rakyat, inventarisasi dan identifikasi pola pengusahaan hutan rakyat, potensi dan keanekaragaman jenis, sertifikasi serta sistem pemasarannya. Penelitian tersebut berupa penelitian tingkat sarjana dan jurnal penelitian. Kajian terhadap beberapa penelitian tersebut dapat diserap faktor-faktor penggerak minat petani terhadap pelaksanaan kegiatan hutan rakyat dan sistem pengusahaannya. Secara umum pelaksanaan kegiatan sistem pengusahaan hutan rakyat didorong oleh kesadaran petani hutan rakyat untuk meraih kesempatan peningkatan keserjahteraan dengan mengalokasikan sumber daya lahan sistem
51
budidaya, pilihan jenis dan sistem pemasarannya. Berdasarkan evaluasi tersebut dapat diperbandingkan kemungkinan alternatif strategi pengembangan hutan rakyat yang paling sesuai untuk kondisi sosial dan kultur masyarakat lokal. Untuk tingkat sarjana, penelitian yang dilakukan adalah mengidentifiksi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melaksanakan pembangunan hutan rakyat guna mencapai perbaikan pendapatan dan kesempatan kerja. Pada penelitian lain diinventarisasi jenis tanaman dan pola pengusahaannya, potensi serta sistem pemasarannya. Azmi (2008) dalam penelitiannya mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani untuk mengikuti hutan rakyat. Tujuan penelitian adalah: 1) mengidentifikasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam implementasi Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), 2) mengevaluasi pengaruh program PHBM terhadap pendapatan dan curahan kerja khususnya bagi masyarakat yang menjadi peserta program, 3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk ikut serta dalam program PHBM. Data yang diperoleh merupakan data primer dan sekunder yakni melalui wawancara dengan responden dan data statistik terkait. Pengambilan responden dilaksanakan secara purposive sampling terhadap pihak-pihak yang relevan. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif yakni untuk mengetahui permasalah dan implementasi program PHBM dan mengetahui pengaruh program terhadap pendapatan dan curahan kerja keluarga. Dari hasil kedua analisis ini dipergunakan untuk mengetahui prospek program PHBM selanjutnya. Hasil dari
penelitian diperoleh kesimpulan bahwa : faktor-faktor
pendapatan dan curahan kerja anatara peserta dan non perseta program PHBM tidak signifikan. Namun manfaat program PHBM menymbangkan pendapatan sebesar 21,31%. Safitri
(2009),
mengidentifikasi
dan
menginventarisasi
pola-pola
pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Biru-Biru Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengidentifikasi kegiatan pengelolaan hutan rakyat dan 2) mengetahui beberapa karakteristik hutan rakyat (pola pengelolaan,
52
pola penggunaan lahan, struktur tegakan dan ratio antara pohon kayu dan pohon buah. Data yang dikumpulkan dapat berupa data kualitatif maupun kuantitatif. Data kualitatif dipergunakan untuk mengetahui karakteristik hutan rakyat khususnya pola pengelolaan, pola penggunaan lahan sementara data kualitatif dipergunakan untuk mengetahui struktur tegakan, ratio dan potensi hutan rakyat. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa : 1) pola pengelolaan hutan rakyatnya adalah agroforestry (wanatani), hutan rakyat campuran dan hutan rakyat murni, 2) jenis yang umum diusahakan adalah mahoni, 3) tingkat penggunaan lahan relatif kurang intensif yakni sebesar : 72,72% dengan potensi rata-rata : 0,74 m3/Ha, 4) hutan rakyat di Kec. Biru-Biru bukan merupakan pendapatan utama petani. Prastiyo (2009) mengidentifikasi potensi dan pemasaran
produk dari
hutan rakyat bambu (Studi Kasus Desa Petumbukan, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat). Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengetahui potensi dan sistem pengelolaan hutan rakyat bambu di Desa Pertumbukan Kec. Wampu Kabupaten Langkat, 2) mengetahui produk-produk bambu yang dihasilkan dari hutan rakyat bambu, 3) mengetahui saluran pemasaran produk-produk bambu. Data diperoleh berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa inventarisasi bambua, data sosek, bentuk pengelolaan dan hasil pemasaran sementara data sekunder meliputi kondisi umum lokasi penelitian, data pemerintahan desa dan kecamatan. Pengambilan data primer dengan metode sensus yakni mengambil seluruh petani hutan rakyat bambu yang ada d Desa Pertumbukan. Wawancara dan diskusi diberlakukan kepada responden/ pelaku (aktor utama atau yang mewakili) yang terkait/ berperan dalam hutan rakyat bambu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) potensi bambu adalah 77 rumpun/Ha dengan jumlah 3.446 batang/ha, 2) produk yang dihasilkan berupa tepas kodean dan tepas sisik, 3) saluran pemasaran yang diterapkan berupa 5 saluran distribusi. Untuk tingkat pasca sarjana, penelitian yang dilakukan lebih bersifat makro yang mengangkat aspek yang strategis seperti penerapan sertifikasi serta
53
pengenalan jenis tanaman hutan rakyat yang diusahakan dalam rangka mengetahui kecenderungan pemanfaatan antara sebagai penghasil kayu dan non kayu. Maryudi (2005) dalam rangka peningkatan nilai jual produk dari hutan rakyat mencoba mengangkat isu sertifikasi produk hasil hutan rakyat. Ide ini berangkat dari asumsi sertifikasi produk hutan rakyat merupakan kesempatan bagi petani hutan rakyat untuk meningkatkan rentabilitas petani hutan rakyat. Namun berdasarkan pengalaman di lapangan, sertifikasi hutan rakyat belum dapat terlaksana secara optimal. Dalam penelitian tersebut dicoba untuk diuraikan beberapa kendala dalam sertifikasi hutan rakyat. Dalam tulisan tersebut disimpulkan bahwa kendala sertifikasi Hutan Rakyat dikelompokkan dalam dua hal yakni kendala internal dan kendala eksternal. Kendala internal berupa : kurangnya keperdulian petani tentang sertifikasi, tingginya biaya sertifikasi dan proses managemen yang lemah dan belum berkembangnya kelembagaan hutan rakyat. Sedangkan kendala eksternal : kurangnya minat pasar terhadap produk bersertifikat, persyraratan yang ketat akan sertifikasi, Hal-hal tersebut menyebabkan upaya sertifikasi produk hutan rakyat menjadi kurang menjadi prioritas petani dan belum dapat dijalankan dengan baik. Sementara Sendjoto (2008) mencoba mengidentifikasi keanekaragaman tanaman pada Hutan Rakyat di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan sebaran hutan rakyat di Kabupaten Tanah Laut serta menginventarisasi jenis tanaman/tumbuhan dan potensinya. Bahan dan metode yang dipergunakan adalah penapisan peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Tanah Laut terhadap batas fungsi kawasan, pemaduserasian dengan citra landsat, dan penafsiran hutan rakyat pada citra landsat, sehingga pada akhirnya diperoleh peta kerja lokasi penelitian. Dari peta tersebut lokasi kemudian disurvei lapangan. Dari setiap lokasi, dicatat informasi tentang jenis hutan rakyat, jenis tanaman, tahun tanam, dan luas tanaman serta dibuat plot ukur
(20x20) m2. Potensi hutan rakyat (jumlah jenis
tanaman/tumbuhan, jumlah batang, volume) dihitung berdasarkan tiga parameter (jenis tanaman, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang). Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa : 1) hutan rakyat di Kabupaten Tanah laut diusahakan secara monokultur dan multikultur, 2) hutan
54
rakyat monokultur seperti : karet, kelapa, jati dan akasia sementara hutan rakyat multikkultur meliputi beberapa jenis yang diusahakan sesuai dengan kebutuhan pemiliknya, 3) dari kerapatan dan potensi tanaman, kecenderungan yang diusahakan oleh petani adalah (i) tanaman yang hasil utamanya bukan kayu, (ii) durian dan rambutan untuk kelompok kayu lain. Penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan cukup signifikan berkaitan dengan objek penelitian yang akan diamati dalam penelitian strategi pembangunan hutan rakyat di Kec. Logas Tana Darat. Walaupun dalam penelitian tersebut belum banyak menyinggung tentang hal-hal yang bersifat strategis seperti peran kebijakan formal, lembaga di daerah, potensi dan kelemahan petani hutan rakyat untuk melaksanakan pembangunan dan pengelolaan hutan rakyat. Namun gambaran umum penelitian tersebut menunjukkan bahwa petani harus berpendapat
secara
mandiri
untuk
mengambil
keputusan
melaksanakan
pembangunan/ pengelolaan hutan rakyat atau tidak. Karakteristik yang sangat berbeda antara pola pembangunan hutan rakyat para petani dalam penelitianpenelitian tersebut dengan petani hutan rakyat di Kec. Logas Tanah Darat adalah ada tidaknya peran/ bimbingan pihak luar dalam kegiatan tersebut. Rangkuman mengenai hutan rakyat yang telah dilaksanakan terdahulu dapat diperiksa pada Tabel 2 Tabel 2. Penelitian Terdahulu tentang Hutan Rakyat No 1.
Nama dan Judul Penelitian Azmi (2008) Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengikuti Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PMBH) Serta Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Dan Curahan Kerja (Studi Kasus Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor)
Kesimpulan
2.
Safitri (2009) Identifikasi dan Inventarisasi Bentuk pengelolaa hutan rakyat di Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Biru-Biru adalah Kecamatan Biru-Biru Kabupaten hutan rakyat agroforestry Deli Serdang (wanatani), hutan rakyat
Faktor pendapatan dan curahan kerja petani peserta PHBM dan petani non PHBM tidak berbeda nyata namun manfaat PHBM tetap dapat dirasakan karena dapat menyumbangkan 21,31 % pendapatan. Status kepemilikan lahan dan usahatani pribadi dan kepemilikan profesi lain dibdang non usahatani memperkecil peluang program PHBM.
55
campuran dan hutan rakyat murni. Karakteristik hutan rakyat campuran berupa campuran tanaman pertanian dan tanaman kayu-kayuan dengan pola swadaya. Intensitas penggunaan lahan yang rendah (72,72 %) dengan jenis yang dominan Mahoni (Swietenia mahagoni) dengan potensi per Ha: 0,74 m3. Hutan rakyat bukan merupakan sumber pendapatan utama petani (peringkat ke-2 setelah pertanian) dengan kontribusi pendapatan sebesar Rp. 47.900.000,(21,82%). 3.
Prastiyo (2009) Identifikasi Potensi dan Pemasaran Produk Dari Hutan Rakyat Bambu (Studi Kasus Desa Petumbukan, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat) .
4.
Maryudi (2005) Beberapa Kendala Sertifikasi Hutan Kendala sertifikasi Hutan Rakyat Rakyat dikelompokkan dalam dua hal yakni kendala internal dan kendala eksternal. Kendala internal berupa : kurangnya keperdulian petani tentang sertifikasi, tingginya biaya sertifikasi dan proses managemen yang lemah dan belum berkembangnya kelembagaan hutan rakyat. Sedangkan kendala eksternal : kurangnya minat pasar terhadap produk bersertifikat, persyraratan yang ketat akan sertifikasi, Hal-hal tersebut menyebabkan upaya sertifikasi
Potensi bambu sebesar 77 rumpun/Ha dengan jumlah 3.446 batang/Ha. Produk yang dihasilkan adalah tepas kodean dan tepas sisik. Saluran pemasaran menerapkan 5 pola distribusi (lembaga pemasaran yang terdiri dari para petani). Pengepul I : petani yang sekaligus agen lokal, Pengepul II : agen yang datang dari luar desa, Pengepul III : pengusaha panglong, dan konsumen akhir (masyarakat)
56
produk hutan rakyat menjadi kurang menjadi prioritas petani dan belum dapat dijalankan dengan baik. 5.
Sendjoto (2008) Keanekaragaman Tanaman pada Hutan rakyat di Kabupaten Tanah Hutan Rakyat di Kabupaten Tanah laut diusahakan secara Laut Kalimantan Selatan monokultur dan multikultur. Hutan rakyat monokultur seperti : karet, kelapa, jati dan akasia sementara hutan rakyat multikkultur meliputi beberapa jenis yang diusahakan sesuai dengan kebutuhan pemiliknya. Berdasarkan Surat Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut No. 522/202/PPHH/Dishut tanggal 21 Mei 2007, pada hutan rakyat campuran ditemukan 16 jenis kayu rakyat dan 27 jenis kayu lain. Sementara menurut SK Menhut No. 272/Menhut-V/2004 terdapat 44 jenis tanaman hutan rakyat dan 16 diantaranya tergolong dalam tanaman multiguna. Dari kerapatan dan potensi tanaman, kecenderungan yang diusahakan oleh petani adalah (i) tanaman yang hasil utamanya bukan kayu, (ii) durian dan rambutan untuk kelompok kayu lain.