5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan adalah suatu proses reaksi yang menyebar secara bebas dari perpaduan antar unsur oksigen, bahan bakar hutan dan panas yang mengkonsumsi bahan bakar alam yang terdapat di hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting – ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan, dan pohon segar lainnya untuk tingkat terbatas yang ditandai dengan adanya panas, cahaya dan asap (Brown & Davis 1973). 2.2. Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan penggembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997). Kebakaran hutan disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Secara alami kebakaran dipengaruhi oleh beberapa faktor alam yang berkaitan, yaitu iklim (kemarau panjang, petir dan daya alam lainnya), jenis tanaman (misalnya pinus, mengandung resin), tipe vegetasi (alang-alang, hutan terbakar, hutan-hutan monokultur tertentu), bahan-bahan sisa vegetasi (serasah, ranting kering), humus dan lain-lain (Direktorat Perlindungan Hutan, 1983 dalam Franky, 1999). Suratmo (1985) menyatakan bahwa penyebab kebakaran hutan pada umumnya adalah : 1.
Dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
2.
Api berasal dari ladang yang berdekatan dengan hutan.
3.
Bara dari kereta api.
4.
Api dari pekerja hutan dan penebang pohon.
5.
Api dari perkemahan (api unggun).
6.
Petir.
7.
Api dari perokok dan orang-orang yang lewat dekat hutan.
6
8.
Sebab lain-lain,misalnya api dari gunung berapi.
9.
Tidak diketahui penyebabnya. Penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari
kegiatan atau permasalahan seperti sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah, pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit, penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara. Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). 2.3. Iklim Cuaca dan iklim merupakan faktor yang menentukan kadar air bahan bakar, terutama karena hujan (Brown & Davis 1973). Dengan cara yang saling berhubungan cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan seperti iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim kebakaran, cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar untuk terbakar, cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran (Chandler et al. 1983). Menurut Sulistyowati (2004) terdapat beberapa unsur iklim yang berpengaruh terhadap kebakaran diantaranya adalah suhu udara, kelembapan udara, curah hujan dan kecepatan angin. Ketiga unsur tersebut memiliki nilai korelasi dan tingkat pengaruh yang berbeda-beda dengan titik panas. Suhu, kelembapan relatif, dan angin tidak berhubungan erat dan tidak berpengaruh nyata. Curah hujan memiliki korelasi/hubungan cukup erat dan berpengaruh nyata. Banyaknya curah hujan juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino dan La Nina. Fenomena El Nino disebabkan suhu dipermukaan laut di wilayah Pasifik
7
lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan laut di perairan Indonesia. Sedangkan fenomena La Nina adalah kebalikan dari El Nino. Tinggi rendahnya intensitas curah hujan berpengaruh pada jumlah kejadian kebakaran yang diidentifikasi dengan adanya hotspot. Semakin rendahnya intensitas curah hujan semakin meningkatnya jumlah hotspot yang terjadi demikian sebaliknya (Anggraini & Trisakti 2011). Kejadian El Nino dan La Nina tahun 1982-2009 terdapat pada Gambar 1.
Gambar 1 Kejadian El Nino (merah) dan La Nina (biru) selama periode 19822009 sebaliknya (Anggraini & Trisakti 2011) Indonesia memiliki tiga tipe curah hujan yaitu monsunal, equatorial, dan lokal. Iklim dan musim berbeda-beda pada setiap daerah di Indonesia. Perbedaan iklim dipengaruhhi oleh faktor pengendali iklim yang mencangkup radiasi surya, letak geografis, ketinggian, posisi lokasi terhadap laut, pusat tekanan tinggi dan rendah, aliran massa udara, halangan oleh pengunungan, dan arus laut (Slamet & Berliana 2007). Dalam Slamet dan Berliana (2007) pembagian periode curah hujan yang digunakan berdasarkan penelitian The How Liong et al (2006) bahwa terjadi pembalikan fasa terhadap siklus bilangan sunspot dari periode 1950-1975 (periode I) ke periode 1976 -2000 (periode II). Pembalikan fasa mengakibatkan terjadinya perubahan iklim ekstrim di Indonesia. Wilayah Sumatra Selatan (Palembang) memiliki musim basah periode I dari Oktober ke Mei dengan bulan kering
8
sebanyak satu bulan yang terpisah oleh bulan lembab. Sementara periode II memiliki dua kali musim basah. Musim basah panjang dari Oktober sampai Pebruari dan musim basah pendek dari April ke Juni. Musim kering hanya selama dua bulan (Juli-Agustus) dengan dua bulan lembab (September dan Maret). Periode III mirip dengan periode II sehingga yang terjadi pergeseran bulan basah antara periode I dan II. Perbandingan kriteria bulan terdapat pada Gambar 2 Kriteria bulan kering, lembab, dan basah adalah dari Schmidth-Fergusson dengan kategori sebagai berikut : - Bulan kering (BK)
: bulan dengan curah hujan <60 mm
- Bulan lembab (BL)
: bulan dengan curah hujan antara 60-100 mm
- Bulan basah (BB)
: bulan dengan curah hujan >100 mm.
Gambar 2 Perbandingan bulan basah, lembab, dan kering untuk tiga periode Lokasi Palembang laut (Slamet & Berliana 2007) 2.4. Hotspot Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di sekitarnya (Menhut 2009). Hotspot dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya kebakaran suatu lahan/hutan tetapi pembakaran biomasa dalam jumlah besar, gunung berapi, cerobong api pengeboran minyak, dan hotspot palsu juga dapat dideteksi sebagai hotspot. Hotspot palsu disebabkan oleh gelombang radio dan efek sun glint. Gelombang radio dapat mengganggu penerimaan hotspot dan muncul sebagai hotspot palsu sedangkan efek sun glint terjadi ketika satelit melalui dan tegak lurus dengan sebuah permukaan yang sangat luas dan dapat memantulkan cahaya
9
matahari. Kebakaran hutan yang dideteksi sebagai hotspot adalah kebakaran dengan luas dan intensitas tertentu. Menurut Albar (2002) secara terminologi hotspot adalah satu piksel daerah yang memiliki suhu lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh oleh sensor satelit data dijital. Salah satu sensor satelit yang digunakan untuk memonitoring permukaan bumi adalah Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). MODIS merupakan sensor yang terdapat pada satelit Terra (EOS AM-1), yang diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM-1) yang diluncurkan pada 4 Mei 2002). MODIS merekam permukaan bumi setiap hari dengan cakupan wilayah 2330 Km dan menggunakan 36 spektral band. Pemanfaatan data MODIS untuk memantau perubahan lahan dan kebakaran hutan telah banyak dilakukan (Suwarsono et al. 2009; Cassanova et al. 2004, diacu dalam Anggraini & Trisakti 2011) MODIS (Terra/Aqua) dapat mendeteksi kebakaran hutan/lahan seluas 1000 m2. Dalam kondisi pengamatan yang optimal (dekat nadir, asap sedikit/tidak ada, permukaan bumi yang relatif homogen) kebakaran hutan/lahan dengan ukuran 100 m2 dapat dideteksi. Namun dalam kondisi bebas awan/asap/polusi (sangat jarang sekali) kebakaran seluas 50 m2 dapat dideteksi (FIRMS 2012). Hotspot dapat diartikan bahwa terjadi kebakaran terjadi di dalam lingkup pixel berukuran 1 Km2. Pixel merupakan unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu pixel pada citra satelit NOAA, TERRA dan AQUA setara dengan + 1 Km2. Namun 1 pixel tidak selalu setara dengan 1 Km2 ketika berada di pinggiran lintasan. Ketika terjadi kebakaran pada koordinat tertentu maka koordinat tersebut akan ditampilkan di tengah pixel meskipun kebakaran berada di pinggir pixel, sehingga untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran harus menelusuri kurang lebih 1 Km2 dari lokasi koordinat hotspot tersebut. Data hotspot disajikan dalam bentuk koordinat hotspot dari titik panas. Koordinat hotspot berada di tengah piksel sebuah citra satelit. Titik panas dari lokasi kebakaran hutan di lapangan dapat bergeser hingga radius 1 km di sekeliling koordinat hotspot.
10
Dalam menentukan hotspot nilai ambang suhu sehingga suatu titik diidentifikasi sebagai hotspot yaitu 315K (420C) pada siang hari dan 310K (370C) pada malam hari (Dephut-JICA 2002). 2.5. Panjang Derajat Lintang Bujur Koordinat geografis pada permukaan bumi dinyatakan dalam satuan sudut (derajat), dimana satu lingkaran memiliki 360 derajat, 60 menit per derajat, dan 60 detik per menitnya. Pengukuran lintang dan bujur pada permukaan bumi mengacu pada besaran sudut di suatu model elipsoida bumi, sehingga panjang 1 derajat lintang akan berbeda-beda sesuai dengan posisinya di permukaan bumi. Panjang 1 derajat lintang di ekuator adalah sebesar 110,57 km (68,7 mil), sedangkan di kutub sebesar 111.69 km (69,4 mil). Panjang derajat lintang dijelaskan pada Tabel 1 (Kirvan 1997), sehingga panjang satu derajat lintang di sekitar khatulistiwa adalah sekitar 110,574 km. Tabel 1 Jarak derajat lintang (Kirvan 1997) derajat 0° 15° 30° 45° 60° 75° 90°
110.574 km 110.649 km 110.852 km 111.132 km 111.412 km 111.618 km 111.694 km
111.320 km 107.551 km 96.486 km 78.847 km 55.800 km 28.902 km 0.000 km
Panjang derajat bujur bergantung pada radius lingkaran lintang. Untuk bidang lengkung (bulatan) radius nilai radius pada lintang adalah
dan
panjang arc untuk satu derajat (/180 radian) bertambah dengan
Jika bumi dimodelkan seperti elips maka persamaan dimodifikasi menjadi
Dimana e merupakan penyimpangan elipsoid yang berhubungan dengan x mayor dan minor (equator dan polar ) sehingga
11
2.6. Spatial Data mining (SDM) Spatial data mining merupakan salah satu proses yang digunakan dalam melakukan analisis terhadap data spasial. Spatial Data Mining (SDM) merupakan proses menemukan sesuatu yang menarik yang sebelumnya tidak diketahui, tetapi memiliki potensi yang besar dan bermanfaat dari data spasial yang besar (Roddick & Spiliopoulou 1999; Shekhar & Chawla 2003). Tujuan dari SDM adalah menemukan pola atau informasi yang tersembunyi dan berguna dari basis data spasial (Leung 2010). 2.7. Spatiotemporal Data Data spatiotemporal diindek dan diambil sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Periode waktu yang melekat pada data spasial yang berlaku dan disimpan dalam basis data yang valid (Birant & Kut 2007). A
AB
B
Ruang
Perubahan
t1
t2
tn
Waktu
Gambar 3 Ilustrasi perubahan data spatiotemporal (Rahim 2006) Menurut Rahim (2006) data spatiotemporal dalam kenyataannya merupakan data spasial yang berubah seiring waktu. Gambar 3 merupakan ilustrasi perubahan objek A menjadi AB dan B dalam waktu t1 ke tn. Data spatiotemporal merupakan rangkaian perubahan data spasial yang akan terjadi hingga waktu ke n dan pergerakan lokasi geografis (geographic movement). Informasi geografis terdiri dari informasi ruang, atribut, dan waktu. Ruang mendeskripsikan lokasi dan bentuk. Atribut mendeskripsikan tipe fitur, nama dan informasi lain yang berhubungan. Waktu mendeskripsikan perilaku perubahan dan
12
selalu berhubungan dengan perubahan geografis. Sehingga ruang dan atribut memiliki hubungan dengan waktu. 2.8. Penggerombolan Spasial Penggerombolan merupakan proses penggolongan data ke dalam kelas atau clustering, sehingga objek di dalam suatu penggerombolan memiliki tingkat persamaan lebih tinggi dari pada objek yang terdapat pada penggerombolan yang lain (Han & Kamber 2006). Metode ini akan membentuk data menjadi k grup partisi dengan persyaratan minimal memiliki satu anggota pada setiap grup dan setiap objek pada basis data harus berada dalam satu grup partisi. Penggerombolan spasial dapat diterapkan pada sekelompok objek spasial yang serupa secara bersama-sama, dengan asumsi implisit bahwa pola cenderung dikelompokkan dalam ruang dibandingkan dengan pola acak. Sebagai fungsi dari data mining, penggerombolan spasial dapat digunakan sebagai alat yang berdiri sendiri untuk mendapatkan wawasan tentang distribusi data, mengamati karakteristik setiap penggerombolan, dan fokus pada kelompok penggerombolan tertentu untuk analisis lebih lanjut (Han et al. 2001). Segmentasi atau penggerombolan melibatkan partisi satu kumpulan data yang dipilih ke dalam kelompok yang bermakna atau kelas. Proses pengelompokan dapat mengakibatkan partisi yang berbeda pada suatu data, tergantung pada kriteria khusus yang digunakan untuk penggerombolan. Jadi sebelum melakukan penggerombolan dibutuhkan praproses dalam satu kumpulan data. Langkah-langkah dasar untuk proses penggerombolan disajikan Gambar 4 (Fayyad et al. 1996).
Gambar 4 Tahapan proses penggerombolan (Fayyad et al. 1996).
13
2.9. Penggerombolan Spatiotemporal Penggerombolan spatiotemporal adalah proses dalam mengelompokkan objek berdasarkan persamaan spatial dan temporal (Kisilevich et al. 2010). Dimensi temporal mendeskripsikan perubahan objek dari data dan dimensi spasial mendeskripsikan lokasi dari suatu objek tersebut. Dapat ditemukan berbagai bentuk penggerombolan secara spatiotemporal. Dari beberapa kemungkinan bentuk penggerombolan spatiotemporal diantaranya stasionary, muncul kembali, jarang dan trak (Poelitz & Andrienko, 2010) . 1. Stasionary yaitu penggerombolan terbatas dalam ruang dan diperpanjang dalam waktu selama rentang waktu pada data atau dari saat beberapa waktu tertentu sampai akhir periode waktu yang diteliti. 2. Reappearing yaitu beberapa penggerombolan temporal terjadi pada tempat yang sama dan dipisahkan oleh interval waktu dimana tidak ada atau sangat sedikit peristiwa terjadi di tempat ini. Terdapat dua jenis penggerombolan muncul kembali yaitu penggerombolan regular (periodic) dan irregular. Penggerombolan regular yaitu penggerombolan temporal yang dipisahkan oleh interval waktu dengan panjang interval kira-kira sama. Penggerombolan irregular yaitu penggerombolan temporal yang dipisahkan oleh interval waktu dengan panjang interval yang tidak sama. 3. Occasional yaitu penggerombolan yang terbatas waktu sehingga tidak ada penggerombolan lainnya yang terjadi pada tempat yang sama. 4. Track yaitu penggerombolan temporal padat dalam peristiwa yang kemudian dialihkan dalam ruang sehubungan dengan peristiwa sebelumnya. 2.10.
DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering of Applications with Noise) Density-based clustering algoritma (algoritma penggerombolan berbasis
kepadatan) mengelompokkan titik berdasarkan kepadatan data di suatu wilayah. Algoritma DBSCAN diperkenalkan pertama kali oleh Ester tahun 1996. Algoritma DBSCAN mengidentifikasi anggota suatu penggerombolan dari kepadatan suatu titik. Ide dasar DBSCAN yaitu untuk setiap titik dari penggerombolan sekitar radius tertentu harus memiliki setidaknya minimum jumlah titik sehingga wilayah dengan kepadatan yang tinggi menandakan terdapat
14
suatu penggerombolan sedangkan wilayah dengan kepadatan rendah diidentifikasi sebagai titik noise. Jika neighboorhood dengan radius
dari suatu objek disebut sebagai Eps-
neighborhood dari suatu objek dan MinPts merupakan jumlah minimum tetangga dari pusat objek (core) suatu penggerombolan. Konsep DBSCAN adalah sebagai berikut (Ester et al. 1996) : 1. Eps-neighborhood dari suatu titik p, dinotasikan dengan
yang
. Titik p merupakan
didefinisikan oleh
directly density-reachable dari titik q wrt Eps, MinPts jika dan |
(kondisi titik pusat).
2. Core objek merupakan titik yang memiliki jumlah minimum (MinPts) pada radius Eps neighborhood. 3. Suatu objek p merupakan directly density reachable dari objek q jika p berada pada radius epsilon dari q dan q merupakan core objek. 4. Titik p merupakan density reachable dari titik q wrt. Eps dan MinPts jika terdapat rantai titik dari
sehingga
directly density reachable
sehubungan dengan Eps dan MinPts, untuk
. Gambar 5
merupakan hubungan q sebagai core point dan p sebagai border point. Titik p directly density reachable dari q sedangkan q tidak directly density reachable dari p. Directly density-reachable simetrik untuk pasangan titik pusat tetapi tidak simetrik jika salah satunya merupakan titik border.
p
q
Gambar 5 Directly density reachable 5. Suatu objek merupakan density-connected pada objek q sehubungan dengan Eps dan MinPts dalam himpunan objek D jika terdapat suatu objek sehingga kedua p dan q merupakan density reachable dari 0 sehubungan dengan Eps dan MinPts (Gambar 6).
15
p
o
q
Gambar 6 Density connected DBSCAN mencari sebuah cluster dengan memeriksa Eps-neighborhood pada setiap titik dalam suatu basis data. Jika Eps-neighborhood dari suatu titik x memiliki lebih dari MinPts, suatu penggerombolan baru dengan titik x sebagai pusat penggerombolan terbentuk, kemudian secara iteratif menggabungkan penggerombolan density-reachable sampai tidak terdapat lagi titik yang dapat ditambahkan dalam penggerombolan. 2.11.
ST-DBSCAN Algoritma ST-DBSCAN memerlukan empat parameter input yaitu Eps1,
Eps2, MinPts dan
. Eps1 digunakan untuk mengukur parameter jarak pada
atribut spasial (lintang dan bujur). Eps2 digunakan untuk mengukur parameter jarak untuk atribut non spasial. MinPts merupakan jumlah minimum anggota titik didalam Eps1 dan Eps2. Parameter terakhir
digunakan untuk mencegah
penemuan penggerombolan gabungan karena perbedaan kecil nilai non spasial dari lokasi tetangga. Algoritma ST-DBSCAN dibangun dengan memodifikasi algoritma DBSCAN. Berbeda dengan algoritma penggerombolan berbasis kepadatan lainnya, Algoritma ST-DBSCAN memiliki kemampuan untuk menemukan penggerombolan
yang berkaitan dengan nilai-nilai non spasial, spasial dan
temporal dari objek. Ketiga modifikasi yang dilakukan dalam algoritma DBSCAN adalah sebagai berikut, (i) algoritma ST-DBSCAN dapat mengelompokkan data spatiotemporal sesuai dengan atribut non spasial, spasial dan temporal. (ii) DBSCAN tidak mendeteksi titik noise ketika kepadatan bervariasi tetapi algoritma ini mengatasi masalah ini dengan menetapkan faktor kepadatan untuk setiap penggerombolan. (iii) Untuk mengatasi konflik pada perbatasan objek dilakukan
16
dengan membandingkan nilai rata-rata penggerombolan yang akan datang dengan nilai baru (Birant & Kut 2007). Algoritma dimulai dengan titik pertama p dalam basis data D dan mengambil semua titik density reachable dari p sehubungan dengan Eps1 dan Eps2. Jika p adalah objek inti, penggerombolan terbentuk. Jika p adalah border objek, tidak ada poin yang density reachable dari p dan algoritma akan mengunjungi titik berikutnya dari basis data. 2.12. Metode Prototipe Prototipe merupakan salah satu pengembangan model yang berkembang (evolutionary process model). Model ini merupakan model iterasi yang dikelompokan dalam berbagai cara yang memungkinkan software engineer mengembangkan perangkat lunak lebih lengkap Gambar 7 ( Pressman 2005).
Gambar 7 Metode Prototipe (Pressman) Metode prototipe biasanya digunakan jika pengguna hanya mampu mendefinisikan
tujuan
umum
perangkat
lunak
tetapi
tidak
mampu
mengidentifikasi detail input, pemrosesan, atau kebutuhan output. Dalam kasus lain pengembang tidak yakin pada keefisienan algoritma, penyesuaian sistem operasi atau bentuk interaksi pengguna dan mesin yang seharusnya sehingga pengembangan prototipe menjadi pilihan yang terbaik. Iterasi model prototipe adalah sebagai berikut :
17
1. Komunikasi. Proses ini merupakan suatu proses dimana terdapat pertemuan antara pengembang aplikasi dan pengguna dan mendefinisikan keseluruhan kebutuhan perangkat lunak, mengidentifikasi kebutuhan yang diketahui dan skema yang diperintahkan. 2. Perencanaan dan Perancangan Melalui perencanaan dan pemodelan yang merupakan keseluruhan perancangan desain cepat terfokus kepada representasi aspek perangkat lunak yang terlihat oleh pengguna (seperti disain antar muka/format tampilan output). Desain cepat akan memandu dalam proses pembuatan prototipe. 3. Pembangunan Prototipe Prototipe menyajikan mekanisme untuk mengidentifikasi kebutuhan perangkat lunak. 4. Evaluasi user dan feedback Feedback digunakan untuk menyaring kebutuhan perangkat lunak, iterasi sebagai prototipe beralih untuk melengkapi kebutuhan pengguna dalam waktu yang sama memungkinkan pengguna lebih mengerti apa yang dibutuhkan.