26
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biomassa dan Karbon Hutan Biomassa merupakan jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) persatuan unit area pada suatu waktu yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per ha (Brown 1997). Menurut Whitten et al. (1984), diacu dalam Rizon (2005), biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering persatuan luas (ton/ha). Biomassa dibedakan ke dalam dua kategori yaitu biomassa di atas permukaan (above ground biomass) dan biomassa bawah permukaan (below ground biomass). Biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktifitas, umur tegakan dan distribusi organik. Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Faktor iklim seperti curah hujan dan suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon (Kusmana 1993). Pendugaan
bomassa
di
atas
permukaan
tanah
dapat
diukur
menggunakan metode langsung (destructive) dan metode tidak langsung (non destructive). Pendugaan biomassa pohon dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi alometrik biomassa. Pendugaan biomassa dengan metode tidak langsung menggunakan allometrik dapat lebih cepat dilaksanakan dan area yang lebih luas dapat dijadikan contoh. Diperkirakan 45%-50% komponen penyusun biomassa adalah karbon (Brown 1997). Persamaan allometrik yang disesuaikan dengan kondisi nasional sangat disarankan untuk digunakan (IPCC 2006). Upaya pengembangan allometrik lokal berdasarkan kondisi tapak maupun jenis atau kelompok jenis diperlukan untuk meningkatkan akurasi (Kettering 2001). Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga dapat menyediakan simpanan karbon. Selain itu, karbon juga tersimpan dalam material yang sudah mati dalam serasah batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore 1985). Suhendang (2002) menyatakan bahwa sumberdaya hutan di Indonesia memiliki potensi tinggi dalam hal keanekaragaman hayati dan potensi
27
penyerapan karbon. Diperkirakan hutan di Indonesia dengan luas 120,4 juta hektar mampu menyerap dan menyimpan karbon sebesar 15,05 milyar ton karbon. Lasco (2002) menyatakan bahwa cadangan karbon di hutan tropis Asia berkisar antara 40–250 ton C/ha untuk vegetasi dan 50–120 ton C/ha untuk tanah. Sedangkan Murdiyarso et al. (1994) memperkirakan bahwa hutan tropis di Indonesia mempunyai cadangan karbon berkisar antara 161–300 C/ha. Akumulasi
kandungan
biomassa
hutan
dipengaruhi
oleh
teknik
pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur yang digunakan. Pinard dan Putz (1997) menyebutkan bahwa kandungan biomassa hutan hujan tropika di Asia Tenggara berkisar antara 400 – 500 ton/ha (berat kering oven) termasuk biomassa akar. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelepasan cadangan karbon ke atmosfir antara lain intensitas pemanenan hutan dan proses dekomposisi (Ojima et al. 1996). Menurut Brown (1999), bagian terbesar gudang karbon dalam proyek berbasis hutan adalah dalam biomassa hidup, biomassa mati, tanah dan produk kayu. Biomassa hidup mencakup komponen bagian atas dan bagian bawah (akar), pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan bawah), semak dan paku-pakuan. Biomassa mati mencakup serasah halus dan sisa kayu kasar, dan tanah mencakup mineral, lapisan organik dan gambut. Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan gudang karbon yang perlu diukur dan dimonitor tergantung kepada proyek yang dilakukan, kapasitas penyimpanan karbon, laju dan arah perubahan persediaan karbon, biaya pengukuran. Berdasarkan IPCC (2006), sumber karbon utama dalam hutan adalah biomassa atas tanah dan bawah tanah, bahan organik mati (kayu mati dan serasah) dan bahan organik tanah. Berikut ini definisi sumber karbon beradasarkan IPCC guideline tahun 2006.
28
Tabel 1 Sumber karbon hutan Sumber Biomassa
Atas tanah
Bahan organik mati
Tanah
Penjelasan Semua biomassa dari vegetasi hidup di atas tanah, termasuk batang, tunggul, cabang, kulit, daun serta buah. Baik dalam bentuk pohon, semak maupun tumbuhan herbal. Ket: tumbuhan bawah di lantai hutan yang relatif sedikit, dapat dikeluarkan dari metode penghitungan.
Bawah Tanah
Semua biomassa dari akar yang masih hidup. Akar yang halus dengan diameter kurang dari 2 mm seringkali dikeluarkan dari penghitungan, karena sulit dibedakan dengan bahan organik mati tanah dan serasah.
Kayu mati
Semua biomassa kayu mati, baik yang masih tegak, rebah maupun di dalam tanah. Diameter lebih besar dari 10 cm.
Serasah
Semua biomassa mati dengan ukuran > 2 mm dan diameter kurang dari sama dengan 10 cm, rebah dalam berbagai tingkat dekomposisi.
Bahan organik tanah
Semua bahan organik tanah dalam kedalaman tertentu (30 cm untuk tanah mineral). Termasuk akar dan serasah halus dengan diameter kurang dari 2mm, karena sulit dibedakan.
Sumber: IPCC, 2006
Menurut Thomson (2008), peranan hutan mencegah dan mengurangi emisi karbon atau mitigasi perubahan iklim dapat dilihat dari berbagai kemungkinan berikut: 1. Penggunaan energi dari biomassa kayu dan sisa-sisa industri kayu menggantikan bahan bakar fosil. 2. Penggantian bahan-bahan bangunan yang diproduksi dengan bahan bakar fosil seperti baja, bata dan aluminium dengan produk kayu. 3. Mengurangi kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca. 4. Mempertahankan penutupan hutan dan potensinya untuk mencegah perubahan iklim. 5. Pengaturan
kegiatan
manajemen
hutan
untuk
menangkap/menyerap
tambahan CO 2 di atmosfir 6. Penangkapan dan penyimpanan karbon dalam pool karbon hutan dan penggunaan kayu dalam jangka panjang. 7. Mengembangkan pasar perdagangan karbon dan menciptakan insentif untuk kegiatan kehutanan yang mengurangi emisi industri dan penghasil polutan lainnya.
29
Mitigasi perubahan iklim adalah pencegahan dan pengurangan pengaruh perubahan iklim melalui pencegahan emisi gas rumah kaca. Malmsheimer et al. (2008) menyebutkan bahwa pencegahan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dapat dilakukan dengan substitusi kayu, substitusi biomassa dan menghindari konversi lahan. Pengurangan gas rumah kaca di atmosfir dapat dilakukan melalui penyerapan vegetasi hutan, penyimpanan dalam produksi kayu. Khusus untuk penyerapan karbon di atmosfir melalui vegetasi hutan merupakan fungsi dari produktivitas hutan dalam tapak baik dalam bentuk penyimpanan dalam (pool) tanah, serasah, bahan kayu yang jatuh, kayu mati yang masih tegak, batang hidup, cabang dan dedaunan hidup. Maness (2007) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dilakukam dalam 3 strategi: 1. Strategi perlindungan stok dengan mencegah emisi (mitigasi) melalui 3 cara yaitu: -
menghindarkan
konversi
lahan
yang
secara
permanen
menjadi
penggunaan lain. -
menunda waktu panen.
-
mengurangi gangguan kebakaran dan hama penyakit.
2. Strategi penyerapan, yaitu hutan menyerap CO 2 dari udara melalui tiga cara: -
Penanaman hutan yang baru pada lahan yang sebelumnya tidak berhutan.
-
Penerapan pengelolaan hutan yang dapat menambah simpanan karbon.
-
Menghasilkan produksi dan penggunaan produksi kayu yang lebih awet.
3. Strategi penggunaan energi yang dapat diperbaharui. 2.2.
Perdagangan Karbon di Sektor Kehutanan Perhatian dunia internasional terhadap iklim bumi mengemuka pada
tahun 1980an terakhir ketika suhu bumi dirasakan meningkat secara nyata (Ojima et al. 1996). Hutan dianggap sebagai salah satu pemecahan untuk perubahan Iklim sekaligus sebagai penyumbang emisi. Deforestasi dan degradasi hutan memberikan 12-20% dari emisi karbon dunia dan merupakan sumber utama emisi bagi banyak negara berkembang tropis (IPCC 2007; Van der Werf et al. 2009; CAIT 2010). Salah satu komitmen yang dihasilkan KTT bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 adalah menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim melalui
30
konvensi PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC). Dalam konvensi tersebut disepakati juga untuk membagi negara-negara yang meratifikasi menjadi dua kelompok, yaitu negara-negara Annex I (negara-negara maju) dan negaranegara non-Annex I (negara-negara berkembang). Pertemuan UNFCCC pada COP III di Kyoto (Jepang) tahun 1997 menghasilkan Protokol Kyoto yang menegaskan beberapa hal berikut: -
Negara-negara Annex I (pada umumnya negara maju/industri) akan mengurangi emisi dari enam gas rumah kaca : karbondioksida, metana, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan laporan tahun 1990 untuk diterapkan pada periode 2008-2012.
-
Untuk mencapai target yang ditetapkan, Protokol Kyoto dilengkapi dengan emission trading, joint implementation dan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism -CDM).
-
Emission trading (ET) merupakan mekanisme tukar menukar kredit emisi antara negara Annex I dalam memenuhi target mereka.
-
Joint implementation mewadahi mekanisme untuk melakukan investasi proyek pengurangan emisi di suatu negara Annex-I oleh suatu negara AnnexI lainnya. Kredit pengurangan emisi yang diperoleh dari pelaksanaan proyek tersebut akan diberikan
kepada
negara
yang
melakukan investasi.
Selanjutnya, mekanisme yang melibatkan negara berkembang (bukan negara Annex-I) adalah yang dikenal sebagai mekanisme pembangunan bersih (CDM). -
CDM merupakan mekanisme yang memungkinkan negara Annex-I dan negara berkembang bekerja sama untuk melakukan “pembangunan bersih”. Dengan fasilitas CDM, negara Annex-I dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisinya dengan melakukan proyek pengurangan emisi di suatu
negara
berkembang
dan
negara
berkembang
mendapatkan
kompensasi finansial dan teknologi dari kerja-sama tersebut. Tujuan CDM Pasal 12 adalah membantu negara berkembang melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan turut menyumbang pencapaian tujuan pengurangan emisi global, serta untuk membantu negara Annex-I mencapai target pengurangan emisi. Investasi negara Annex-I di negara berkembang yang menghasilkan penurunan emisi akan disertifikasi dan kredit
31
dari pengurangan emisi yang disertifikasi (certified emission reduction, CER) tersebut akan diberikan kepada negara Annex-I. COP IV UNFCCC di Buenos Aires (Argentina) tahun 1998 menghasilkan Rancangan Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan of Action – BAPA). Para pihak (dalam BAPA) mengalokasikan waktu dua tahun untuk memperkuat komitmen terhadap konvensi dan penyusunan rencana serta pelaksanaan Protokol Kyoto. COP VI Bagian II menghasilkan Kesepakatan Bonn (Bonn Agreement) dalam rangka implementasi BAPA. Bali roadmap sebagai hasil COP XIII UNFCCC di Bali tahun 2007 berisi beberapa hal berikut: 1. Adaptasi Negara-negara peserta bersepakat untuk membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang melalui metode Clean Development Mechanism. (CDM). 2. Teknologi Negara-negara peserta bersepakat untuk memulai program strategis untuk memfasilitasi teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. 3. Reducing emissions from deforestation and degradation in developing countries. 4. Kelangsungan pasca Protocol Kyoto REDD merupakan salah satu agenda penting negosiasi yang mencakup empat (4) isu utama: (1) metode penentuan emisi, preferensi dan pemantauan yang diperlukan sebagai dasar penentuan besar penurunan emisi yang berhasil dicapai dari upaya mencegah konversi dan kerusakan hutan (2) panjang periode waktu yang digunakan untuk menentukan emisi referensi, (3) basis perhitungan penurunan emisi apakah berdasarkan tingkat proyek atau wilayah (4) mekanisme pendanaan. REDD sebagai program pencegahan deforestasi dan degradasi dalam mengurangi emisi karbon untuk mencegah dan mengurangi perubahan iklim kemudian berkembang menjadi REDD plus (REDD+). Perkembangan tersebut seiring dengan adanya konsensus bahwa kegiatan REDD harus diperluas. REDD+ menambahkan strategi mengurangi emisi dengan memasukkan peranan konservasi, pengelolaan hutan lestari dan kegiatan peningkatan stok karbon hutan.
32
REDD+ memperluas cakupan kegiatan yang dapat dimasukkan sebagai upaya mengurangi emisi sehingga diharapkan hasil dari kegiatan tersebut mampu mengurangi emisi karbon yang dihasilkan. Gambar berikut memberikan informasi tentang emisi karbon yang dihasilkan tanpa REDD, dengan REDD dan dengan REDD+.
Sumber: CIFOR 2009
Gambar 1 Emisi karbon tanpa REDD, dengan REDD dan dengan REDD+ Pemikiran dasar dari REDD+ adalah pembayaran yang sesuai dengan kinerja. Artinya, pembayaran akan bergantung pada hasil dari tindakan-tindakan REDD+. Alasan utama untuk pembayaran berdasarkan hasil (dan bukan pembayaran berdasarkan masukan) adalah bahwa mengaitkan insentif secara langsung dengan masalah akan membawa hasil yang paling efektif. Misalnya, pembayaran atas reformasi kebijakan tidak dapat dilakukan hanya dari keefektifan penerapan suatu kebijakan, atau apakah reformasi tambahan lainnya akan diperlukan. Mewujudkan REDD+ di suatu negara harus memperhatikan tiga unsur pokok yaitu: insentif, informasi dan institusi (3Is). Insentif terdiri dari pembayaran imbalan sesuai kinerja dan berbagai perubahan kebijakan. Insentif REDD+ mengalir dari berbagai sumber internasional ke sebuah dana nasional atau anggaran rutin (misalnya, departemen keuangan), kemudian menuju ke tingkat subnasional melalui anggaran pemerintah atau pembayaran langsung kepada pemegang hak karbon. Pemegang hak karbon mencakup pemilik lahan perorangan, masyarakat, pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) dan berbagai lembaga pemerintah. Elemen kedua adalah informasi REDD+, yaitu data pengurangan emisi hutan atau peningkatan cadangan karbon untuk setiap hutan, berdasarkan jenis dan lokasinya. Negara-negara perlu menyediakan informasi yang dapat
33
dipercaya tentang perubahan nyata cadangan karbon hutan yang dicapai untuk memperhitungkan dana dari sumber-sumber internasional. Informasi ini akan dikumpulkan dan diproses melalui suatu sistem MRV nasional, regional dan internasional dan menyerahkannya kepada lembaga REDD+ nasional yang berwenang (dana atau kas negara), suatu institusi UNFCCC dan untuk pembeli kredit REDD+ internasional. Pembayaran untuk pemegang hak karbon lokal akan ditetapkan dengan menggunakan informasi ini. Elemen ketiga adalah institusi REDD+ yang akan mengatur aliran informasi tentang perubahan cadangan karbon antar tingkat, dan aliran insentif ke arah pemegang hak karbon. Sejumlah institusi ini dapat berasal dari institusi yang sudah ada dan akan melibatkan lembaga yang berwenang untuk pembayaran REDD+ dan sistem MRV. Lembaga pembayaran REDD+ ini akan menjembatani dana dari tingkat internasional ke tingkat subnasional sesuai dengan volume, lokasi, dan jenis pengurangan emisiInstitusi atau kelembagaan yang efektif dibutuhkan untuk mengelola informasi dan insentif (Angelsen, 2010). Meridian Institute (2009), menerapkan REDD+ dapat dilakukan dalam tiga tahap yaitu: 1.
Tahap kesiapan Sejumlah negara menyiapkan strategi REDD+ nasional melalui proses konsultasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan; memulai mengembangkan
kemampuan
dalam
pemantauan,
pelaporan
dan
pembuktian (MRV); dan memulai tindakan uji coba. 2.
Tahap kesiapan lebih lanjut Fokus pada tahapan ini adalah menerapkan kebijakan dan tindakan untuk mengurangi emisi (seperti yang diatur dalam strategi REDD+ nasional dan yang akan dibuktikan dengan sejumlah indikator tidak langsung (proxy indicators).
3.
Tahap ketaatan penuh sesuai dengan UNFCCC Pada tahap ini, negara-negara berhutan tropis akan mendapatkan pembayaran hanya dari pengurangan emisi dan peningkatan cadangan karbon sesuai dengan tingkat rujukan yang telah disepakati bersama. Kelebihan
pendekatan
REDD+
secara
bertahap
terletak
pada
keluwesannya. Berbagai negara dapat turut berpartisipasi menurut kemampuan mereka dan terdapat insentif untuk melanjutkan dari satu tahap ke tahap
34
berikutnya. Artinya, sejumlah besar negara berhutan tropis akan dapat turut ambil bagian dalam REDD+. Tabel 2 Berbagai elemen pada pendekatan bertahap menuju REDD+ Tahap 1 Cakupan
Tahap 2
RED/REDD/REDD+
Skala pembayaran
Tahap 3
REDD/REDD+
Subnasional
Indikator kinerja • • • •
Terpusat (keduanya, subnasional dan nasional) • Kebijakan telah Strategi yang diadopsi. Penilaian legislative dan dilaksanakan. kebijakan telah selesai. • Tindakan telah ditegakkan. Konsultasi telah • Faktor pengganti dilaksanakan. untuk perubahan Institusi telah dibentuk atas karbon hutan.
Pendanaan
Dukungan awal untuk pengembangan strategi nasional dan kesiapan sejumlah kegiatan (misalnya FCPF, UNREDD, sejumlah prakarsa bilateral).
Pendanaan dari sumber-sumber bilateral dan multilateral dan dana yang dimandatkan oleh COP
Sistem MRV
Penguatan MRV
Penguatan kemampuan dan kemampuan pemantauan dasar
REDD+ Pendekatan terpusat atau nasional Perubahan karbon hutan telah dihitung (tCO 2 -e) dibandingkan dengan tingkat rujukan yang disepakati. Awalnya dikaitkan dengan pasar karbon wajib, namun kemungkinan juga akan melalui suatu dana global Kemampuan pemantauan yang telah maju dan menetapkan tingkat rujukan.
Sumber: Meridian institute (2009) 2.3. Pengelolaan Hutan Lestari dan Pengurangan Emisi Karbon Prinsip kelestarian menyatakan bahwa hutan produksi harus dikelola secara lestari untuk membatasi kerusakan yang tidak diinginkan sebanyak mungkin terhadap tegakan tinggal dan ekosistem secara keseluruhan. Saat ini, pengelolaan
hutan
lestari
(SFM)
dikombinasikan
dengan
penebangan
berdampak rendah (RIL) dan sertifikasi hutan telah diterapkan di beberapa hutan alam produksi. RIL terdiri atas perencanaan sebelum pemanenan yang dilaksanakan secara berhati-hati dan teknik panen yang lebih baik serta perawatan pasca panen melalui tindakan silvikultur (Imai et al, 2009). Biaya produksi hutan lestari lebih tinggi dari hutan tidak lestari. Besar kenaikan biaya produksi hutan lestari berkisar antara IDR 26.000-44.000/m3 atau sekitar 4-6,5% dari biaya produksi hutan tidak lestari (Darusman dan Bahruni 2004).
35
Kollert dan Lagan (2005) melakukan pengamatan selama 5 tahun mulai bulan Januari 2000 sampai bulan November 2004. Pengamatan dilakukan pada tiga unit pengelolaan hutan yang berbeda di Sabah Malaysia. Rata-rata harga kayu pada 3 unit pengelolaan tersebut bervariasi, tetapi secara keseluruhan harga kayu pada unit pengelolaan yang memiliki sertifikat FSC lebih tinggi daripada harga kayu pada unit pengelolaan yang tidak memiliki sertifikat. Tabel 3 Rata-rata harga kayu bersertifikat dan tidak bersertifikat
Spesies Selangan Batu Keruing Kapur Seraya Seraya Merah Jenis campuran
Harga kayu bersertifikat FSC (FMU 1) USD 193,35 160,17 143,29 117,82 141,14 87,71
Harga kayu tidak bersertifikat (FMU 2) USD 121,77 104,34 96,35 101,35 97,95 70,42
Harga kayu tidak bersertifikat (FMU 3) USD 108,93 107,13 107,13 108,22 110,96 83,88
Sumber: Walter Kollert dan Peter Lagan, 2005.
Kehadiran sertifikasi pengelolaan hutan lestari merupakan arah baru dalam sejarah panjang upaya untuk meningkatkan pengelolaan hutan tropis. Sertifikasi menuai
kecaman
dan
mekanismenya
tidak
mulus
tetapi
telah
mempertimbangkan segi sosial, ekologi, dan ekonomi sehingga menghindari beberapa kekurangan dari kebijakan sebelumnya (misalnya, Tropical Forestry Action Plan dan the International Tropical Timber Organization’s Year 2000 Objective). Perbedaan utama antara sertifikasi pengelolaan hutan lestari dan tindakan lain ialah bahwa sertifikasi mendorong pengaruh pasar yang menguntungkan secara sosial dan lingkungan terhadap pengelolaan hutan. Walaupun “hadiah hijau” yang diharapkan dari sertifikasi terlalu dilebih-lebihkan. Pengelola hutan menjadi semakin sadar bahwa sertifikasi sangat meningkatkan akses pasar mereka (Auld, 2008). Kebijakan yang mengaitkan pengurangan emisi karbon yang telah dibuktikan dengan sertifikasi kayu dan hasil hutan lain akan mendapat manfaat dari REDD+. Mendukung sertifikasi pengelolaan hutan lestari tampaknya merupakan cara penggunaan dana REDD+ yang efektif dan efisien. Program-program sertifikasi yang memajukan pengelolaan hutan dan penyimpanan karbon memiliki keterbatasan. Masalah utamanya ialah penebangan liar yang menyebabkan banyak degradasi akibat pembalakan yang buruk tidak mungkin memperoleh sertifikasi. Perusahaan tertentu juga memanen kayu tanpa memperhatikan
36
dampak negatif pada tegakan yang tersisa karena mereka tidak mengharapkan memanen di lokasi yang sama lagi. Bagi perusahaan ini, biaya untuk meningkatkan efisiensi melalui teknik RIL (misalnya, pemilihan petak dan rencana panen tahunan) mungkin melebihi keuntungannya. Selain itu, penting untuk mengenali bahwa sertifikasi bukan sekadar peningkatan efisiensi melalui penggunaan teknik RIL yang berarti bahwa bahkan sebagian perusahaan dan masyarakat yang mengelola hutan dengan baik mungkin harus menanggung biaya sertifikasi yang terlalu tinggi. FSC sedang berupaya untuk mengurangi biaya sertifikasi bagi hutan kecil yang dikelola dengan intensitas rendah, khususnya yang dikelola oleh masyarakat, tetapi cara ini akan memerlukan subsidi lebih lanjut. Dana REDD+ untuk sertifikasi dan audit sertifikasi dapat menyediakan insentif ini (Angelsen, 2010). Pengelolaan hutan lestari mampu mempertahankan sumber daya kayu dan menjaga kelestarian cadangan karbon hutan (Imai et al. 2009). Beberapa praktek kehutanan yang dilaksanakan pada hutan bersertifikat (contoh kasus hutan yang memiliki sertifikat dari FSC) dapat mereduksi emisi karbon sekurangkurangnya 10% dibandingkan dengan hutan tidak bersertifikat (Putz et al. 2008). Rainforest Alliance (2009), beberapa hal yang berbeda dari pengelolaan hutan bersertifikat (contoh kasus hutan bersertifikat FSC) dan tidak bersertifikat, antara lain: a. Pengurangan volume panen Dibandingkan dengan hutan yang ditebang secara konvensional, hutan tropis bersertifikat umumnya melakukan pemanenan lebih rendah per satuan luas hutan yang ditebang. Sebuah skenario yang umum dilakukan pada hutan tidak bersertifikat adalah melakukan praktek penebangan kembali 10 sampai 15 tahun siklus. Akibatnya terjadi penurunan biomassa hidup, kurangnya sumber benih untuk regenerasi jenis-jenis kayu dan penurunan simpanan karbon melalui penebangan konvensional. Hutan bersertifikat melakukan praktek pemanenan berkelanjutan jangka panjang dan tingkat panen yang berkelanjutan dengan melakukan inventarisasi secara sistematis serta pemantauan pertumbuhan (Applegate 2001, diacu dalam Rainforest Alliance 2009). b. Peningkatan kawasan hutan konservasi dan restorasi. Hutan
bersertifikat
mempertahankan
biomassa
lebih
besar
melalui
penyediaan kawasan konservasi yang lebih besar, kawasan lindung di
37
sepanjang sungai, kawasan lindung hutan bernilai konservasi tinggi dan daerah untuk restorasi hutan. c. Pengurangan dampak kerusakan akibat kegiatan pemanenan. Praktek-praktek pada hutan bersertifikat diperkirakan telah mengurangi emisi sekurang-kurangnya 10% (Putz et al. 2008). Hutan alam produksi bersertifikat menerapkan Reduced Impact Logging (RIL) dalam operasional dukupemanenan
dan
hutan
tidak
bersertifikat
menerapkan
metode
penebangan konvensional. RIL adalah pemanenan kayu berdasarkan perspektif hutan dan survey hutan dalam rangka memperoleh data yang diperlukan untuk mendesain lay out petak-petak tebangan, unit-unit inventarisasi dan merencanakan operasi pemanenan kayu. Konsep RIL adalah menekan atau meminimalkan kerusakan akibat pemanenan kayu yang dilakukan mulai dari saat perencanaan,
pada
saat
proses pelaksanaan
dan
sesudah
proses
pemanenan kayu selesai, dengan memanfaatkan teknik-teknik perencanaan, teknik-teknik pelaksanaan, teknologi/teknik baru pemanenan kayu dan penerapan prinsip-prinsip ilmiah keteknikan hutan yang dikombinasikan dengan pendidikan dan pelatihan. Pemanenan konvensional adalah praktek pemanenan yang umum dilakukan di hutan tropika Indonesia hingga sat ini. Pemanenan
kovensional
memiliki
ciri-ciri
perencanaan
yang
kurang
cukup/akurat, penerapan teknik pemanenan kayu yang kurang tepat dan pengawasan yang kurang. Penerapan teknik reduced impact wood harvesting dapat mengurangi kerusakan hingga 50% (Elias 2002). d. Pemecahan masalah hak milik. Hutan bersertifikat memperhatikan dan menyelesaikan konflik sosial yang mungkin sering menyebabkan degradasi, seperti sengketa kepemilikan dan klaim tanah. e. Langkah-langkah untuk mencegah kegiatan yang illegal dan kebakaran. Hutan bersertifikat menerapkan sistem manajemen pencegahan, langkahlangkah monitoring dan mitigasi yang mengurangi dampak perambahan, ekstraksi illegal, penebangan liar, kebakaran hutan serta hama dan penyakit (FSC 2002). Uraian di atas menunjukkan bahwa hutan yang menerapkan pengelolaan hutan lestari dapat meningkatkan simpanan karbon atau penurunan emisi karbon. Berdasarkan hal tersebut, hutan produksi bersertifikat berpotensi untuk
38
dapat ikut serta dalam perdagangan karbon skema REDD+. Informasi tentang kelayakan untuk mengikuti REDD+ sangat diperlukan oleh pengelola hutan. Tabel berikut memberikan informasi tentang perbandingan keuntungan bersih berbagai pilihan penggunaan lahan hasil studi Sasaki dan Yoshimoto (2010). Tabel 4 Keuntungan bersih dari berbagai pilihan penggunaan lahan Pilihan Penggunaan lahan
($ ha-1) Biaya 5.125,63 5.054,87 70,76 5.419,92 41,25 688,88
Pendapatan Keuntungan BAU-timber 6.556,83 1.431,19 - Company 4.312,20 -742,67 - Government 2.244,63 2.173,87 REDD-plus 7.820,57 2.400,65 Hutan tanaman Jati 1.000,00 958,75 Hutan Tanaman Eucalyptus dan Akasia 61,60 -627,28 Kebun Karet - Kasus 1 (MAFF, 2006) 1.200,00 211,93 988,07 - Kasus 2 (Marubeni, 2004) 1.200,00 250,50 949,50 Kebun Kelapa Sawit 747,60 852,49 -104,89 Harga karbon untuk kalkulasi pendapatan pada REDD+ adalah $ 2,00t-1 CO 2 Sumber: Sasaki dan Yoshimoto 2010
Keuntungan bersih pengelolaan hutan produksi lestari dengan REDD+ lebih besar dari pengelolaan hutan konvensional. Besarnya perbedaan keuntungan bersih mencapai 67,74% dari keuntungan besih pengelolaan hutan konvensional. Pendapatan dari kegiatan pengelolaan hutan produksi lestari dan REDD+ diperoleh dari penebangan kayu yang masak tebang sebesar 30% dan kompensasi dari kemampuan mempertahankan simpanan karbon (Sasaki dan Yoshimoto 2010). Hasil penelitian Antinori dan Sathaye (2007) di Cameroon menunjukkan bahwa besarnya biaya transaksi untuk penerapan REDD+ masih kurang menentu. Tercatat dari 11 hutan produksi yang menjadi contoh dalam penelitian tersebut, biaya transaksinya berkisar antara US$ 0,03 sampai US$ 1,23/ton CO 2. Titik impas (break event) mengikuti REDD+ pada harga US$ 2,85 /tCO 2 dan economic return untuk pengelolaan hutan alam dipengaruhi oleh biaya, harga kayu dan harga karbon. 2.4. Nilai Ekonomi Karbon Hutan Perhitungan neraca karbon mencakup tahapan berikut: (1) Penetapan garis dasar (baseline) (2) kuantifikasi aliran karbon yang dihasilkan dalam proyek (3) perhitungan additionality (besarnya pengaruh tambahan proyek dari perbedaan antara karbon yang diperoleh dengan garis dasarnya).
39
Perhitungan nilai ekonomi karbon umumnya terdiri atas 2 macam yaitu: 1. Biaya oportunitas (opportunity cost) Biaya oportunitas adalah biaya kesempatan yang hilang dari alternatif penggunaan lain. 2. Biaya transaksi (transaction cost) Biaya transaksi adalah biaya pencapaian dan penguatan kesepakatan seperti biaya mendapatkan informasi, biaya tawar menawar, biaya untuk meyakinkan suatu kesepakatan. Biaya transaksi dikorbankan untuk kepentingan proyek mulai dari perencanaan, implementasi dan monitoring. Biaya transaksi menurut Kanounnikoff (2008) meliputi biaya (a) Informasi dan pengadaan (b) Implementasi (c) Monitoring (d) Penyelenggaraan dan perlindungan (e) Verifikasi dan sertifikasi.