TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Kebakaran hutan menurut JICA (2000), didefinisikan sebagai suatu keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan serta menimbulkan kerugian ekonomis, ekologis dan sosial. Selanjutnya Brown dan Davis (1973) melukiskan suatu konsep kebakaran hutan sebagai segitiga api yang dikenal sebagai The Fire Triangle. Sisi-sisi segitiga api tersebut adalah bahan bakar, oksigen dan sumber panas atau api. Kebakaran akan terjadi jika terdapat ketiga komponen tersebut. Jika salah satu atau lebih dari ketiga komponen pada sisi-sisi segitiga api tersebut tidak ada, maka kebakaran tidak akan penah terjadi. Penyalaan api pada umumnya berasal dari api larian akibat pembakaran tidak terkendali untuk pertanian, dalam lingkungan yang mendukung, akan menjalar ke arah bahan bakar yang lebih besar, dalam hal ini hutan. Hutan hujan tropis dalam keadaan tidak terganggu adalah mendekati kondisi tahan kebakaran. Multi-strata dalam lapisan vegetasi hutan menjaga kelembaban lingkungan di dalamnya dan mengeluarkan udara panas dari dalam. Dalam lingkungan ini kondisi yang mendukung untuk terjadinya kebakaran tidak terjadi, akan tetapi ketika tajuk hutan terbuka, misalnya karena kegiatan pemanenan kayu / logging atau pembuatan jalan, sinar matahari dan udara panas akan memasuki hutan, kelembaban menurun, dan biomassa hutan akan mengering. Dalam keadaan yang sama, hutan tidak hanya kehilangan ketahanan alaminya terhadap kebakaran, akan tetapi juga residu kayu dari logging atau pembukaan hutan akan tertinggal sehingga menjadi bahan bakar potensial untuk terjadinya kebakaran. Setelah hutan terbakar, cahaya masuk dan ruang untuk tumbuhnya semak atau alang-alang akan semakin banyak tersedia. Vegetasi ini akan sangat cepat mengering dan terbakar saat musim kemarau, menciptakan suatu siklus dimana hutan akan lebih mudah terbakar (Darmawan, 2008). Sumber api belum dipahami dengan baik, tetapi zona-zona titik api tersebar dan tidak dipengaruhi oleh perbedaan tipe lahan. Ini mengindikasikan bahwa kebakaran hutan dengan tingkat yang sama melanda semua lahan garapan dan
10 bahwa kebakaran hutan memiliki kaitan dengan serangkaian kegiatan komersial dan mata pencaharian utama (Tacconi, 2003). Menurut hasil penelitian Jaya dkk. (2007) di Propinsi Riau dan di Kalimantan Barat, faktor yang mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan adalah faktor aktivitas manusia (jarak dari desa/pemukiman, jarak dari jalan, jarak dari sungai dan penggunaan lahan) serta faktor lingkungan (curah hujan, NDVI dan NDWI) sedangkan di Propinsi Kalimantan Timur, faktor yang mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan adalah faktor aktivitas manusia (jarak dari desa/permukiman, jarak dari jalan dan penggunaan lahan) serta faktor lingkungan (temperatur harian, curah hujan, kelembaban harian, zona agroklimat dan kemiringan lahan). Resiko kebakaran dapat dibangun atau dibentuk berdasarkan parameter biofisik; diantaranya, curah hujan, indeks vegetasi, penggunaan lahan dan tipe lahan. Hasil analisis mengindikasikan bahwa curah hujan dan indeks vegetasi terhadap resiko kebakaran hutan lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan dan tipe lahan (Adiningsih, 2004). Potensi kebakaran hutan telah diperkenalkan sebagai suatu fungsi dalam metodologi inventarisasi dan evaluasi manajemen sumberdaya hutan melalui konsep klasifikasi dari bahaya api (fire danger) dan resistensi api (fire resistance). Kejadian dan penyebaran atau meluasnya kebakaran dikendalikan oleh faktor yang kompleks dan fenomena yang saling berhubungan dan menurut analisis sistem terbagi menjadi (1) faktor eksternal (bahaya api) yang diformulasikan meliputi lingkungan hutan dalam keruangan yang luas dan skala temporal, dan (2) faktor internal (resistensi api) yang merupakan karakteristik struktur tegakan hutan yang berpengaruh terhadap kemudahan terbakar (Kalabokidis et al., 2002). Biofisik Hutan Karakteristik Bahan Bakar Karakteristik bahan bakar di kawasan hutan tropis akan sangat bervariasi tergantung pada struktur tegakan hutan dan lingkungan sekitarnya. Susunan bahan bakar terbagi kedalam susunan vertikal dan horizontal.
Susunan vertikal
merupakan bahan bakar bertingkat dan berkesinambungan ke atas. Sedangkan
11 susunan
horizontal
merupakan
bahan
bakar
yang
menyebar
dan
berkesinambungan secara mendatar di lantai hutan yang mempengaruhi penjalaran kebakaran. Sedangkan jumlah bahan bakar menunjukkan banyaknya bahan bakar yang tersedia di hutan, yaitu dapat berupa luasan hamparan bahan bakar, volume dan berat bahan bakar. Bahan bakar dalam jumlah besar menjadikan api lebih besar dan temperatur tinggi. Hal ini menyebabkan kebakaran sulit dipadamkan (Suratmo dkk., 2003). Selanjutnya Suratmo dkk. (2003) menyatakan bahwa jenis bahan bakar digolongkan ke dalam pohon, semak dan anakan, tumbuhan penutup tanah, serasah dan lapisan humus yang belum hancur, cabang pohon-pohon yang mati dan pohon yang masih berdiri di hutan dan sisa penebangan. Kondisi bahan bakar dapat dilihat dari kadar air bahan bakar dan jumlah bahan bakar di hutan. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, api tidak mudah menyala jika kadar airnya tinggi. Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan jarak antar partikel dalam bahan bakar. Kerapatan berpengaruh pada persediaan udara dan pemindahan panas. Kerapatan berpengaruh pada persediaan udara dan pemindahan panas. Kerapatan partikel tinggi menjadikan tumpukan log kayu terbakar dengan baik dalam waktu lama. Kebakaran akan berhenti jika kerapatan partikelnya rendah. Menurut Brown dan Davis (1973), bahan bakar dapat diklasifikasikan menurut lokasinya, yaitu : (1) bahan bakar bawah (ground fuels), yaitu terdiri dari serasah yang berada di bawah permukaan tanah, akar pohon, bahan organik yang membusuk, gambut dan batubara, (2) bahan bakar permukaan (surface fuels), yaitu bahan bakar yang berada di lantai hutan, antara lain serasah, log sisa tebangan, tunggak pohon dan tumbuhan bawah lainnya, (3) bahan bakar atas (aerial fuels), yaitu bahan bakar yang berada diantara tajuk tumbuhan tingkat bawah dan tajuk tumbuhan tingkat tinggi, seperti cabang pohon, daun dan semak serta pohon mati yang masih berdiri. Cuaca dan Iklim Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa pola, intensitas serta lamanya musim kebakaran di suatu daerah tertentu merupakan fungsi utama dari iklim yang sangat dipengaruhi oleh sifat dari bahan bakar hutan. Selain pola kebakaran
12 hutan yang bersifat tahunan, berulang maupun musiman, hal tersebut mencerminkan kondisi bahan bakar dan cuaca. Akan tetapi musim kebakaran yang parah juga dihubungkan dengan musim kering dan cenderung untuk terjadi secara periodik. Iklim akan mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan karena temperatur udara, kelembaban relatif, kecepatan angin dan curah hujan serta kelembaban vegetasi (wetness) dapat mempengaruhi kondisi bahan bakar. Dalam hal ini bahan bakar yang kering akan mudah terbakar (Suratmo dkk., 2003). Menurut Boonyanuphap (2001), faktor-faktor yang menentukan terjadinya kebakaran dipengaruhi oleh temperatur, curah hujan dan angin. Iklim adalah faktor yang bergantung pada waktu sekalipun merupakan suatu faktor yang tidak terkendali dalam kejadian dan frekuensi kebakaran. Iklim menentukan pergantian periode basah dan kering sehingga berpengaruh pada akumulasi biomassa dan muatan bahan bakar. Iklim juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dan lebih lanjut pada dekomposisi serasah. Topografi Saharjo (2007) menyatakan bahwa dampak lereng pada suatu daerah yang terbakar adalah sama dengan dampak angin.
Penjalaran api dibawa hingga
mendekat kepada permukaan yang berakibat pra-pemanasan bahan bakar akan berlangsung lebih cepat terhadap bahan bakar yang berdekatan dengan muka api. Dampak penting lain dari topografi adalah interaksinya dengan iklim lokal dan kelompok kecil dari komunitas tanaman. Api yang bergerak menaiki lereng dapat diharapkan untuk terbakar dengan cepat dan dengan intensitas yang tinggi. Kemiringan lereng dan ketinggian lokasi di atas permukaan laut menentukan cepat atau lambatnya api bereaksi, yaitu berpengaruh pada penjalaran dan kecepatan pembakaran. Pada lereng yang curam, api membakar dan menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya dan api akan menjalar lebih cepat ke arah menaiki lereng. Sebaliknya api yang menjalar ke bawah lereng akan menjalar lebih lambat dan lambat laun akan padam, apalagi jika melalui daerah lembab yang memiliki kadar air tinggi, sehingga kemiringan berperan dalam penyebaran api (Brown dan Davis, 1973).
13 Penguasaan Lahan Hutan Dalam konteks kehutanan dapat ditemukan beragam wujud akses masyarakat atas sumberdaya hutan. Penggarapan lahan-lahan hutan oleh warga masyarakat sekitarnya atau warga pendatang dari desa/kota lain merupakan wujud akses masyarakat atas sumberdaya hutan, meskipun dianggap sebagai tindakan perambahan, tindakan illegal, oleh pihak pemerintah (Dinas/Departemen Kehutanan) atau pengusaha (BUMN/BUMS). Tindakan penggarapan lahan itu mungkin diakui oleh pelakunya sebagai tindakan melanggar hak pihak lain; mungkin juga sebagai tindakan tuntutan moral, atau tindakan merebut kembali haknya (Suharjito, 2008). Penguasaan terhadap lahan dan sumberdaya alam yang dikandungnya sering disebut dengan istilah tenurial atau hak pemangkuan (Djajono, 2006). Sedangkan Galudra dkk. (2006) menjelaskan sistem penguasaan tanah (land tenure) adalah seperangkat unsur terdiri atas berbagai subjek (pelaku) dan objek (benda) yang satu sama lain saling berhubungan membentuk dan mempengaruhi berbagai hakhak kepemilikan, penguasaan dan akses atas tanah dalam satuan bidang tanah/wilayah daratan tertentu. Sistem penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah. Hak atas tanah, jarang dipegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah pihak yang memiliki hak penguasaan atas tanah tersebut secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang berbeda-beda. Disini terlihat betapa suatu pihak yang memiliki hak untuk menguasai tanah, belum tentu memegang hak kepemilikan atas tanah tersebut (sebaliknya kepemilikan secara pasti merupakan sebentuk hak penguasaan). Status penguasaan lahan dibedakan menjadi lahan/hutan publik yang dikuasai negara, lahan/tanah adat, dan lahan dengan hak milik formal berdasarkan hukum positif. Status penguasaan lahan akan menentukan kewenangan (otoritas), hak dan kewajiban dari pemegang hak (LEI, 2002). Wujud penguasaan lahan dapat diidentifikasi dari orientasi kegiatan berladang/berkebun yang dilakukan, apakah bersifat subsisten yang cenderung memanfaatkan hutan secara terbatas serta memperhatikan kapasitas produksi alamiahnya atau bersifat komersial yang cenderung untuk melakukan eksploitasi maksimal untuk mengejar tetapan-tetapan
14 capaian ekonomi tertentu yang tentunya berorientasi pada keuntungan dan proses akumulasi kapital. Permasalahan yang terjadi pada kawasan hutan yang telah diberikan perijinan, seperti Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), teridentifikasi dalam bentuk penebangan liar, tumpang tindih status lahan, klaim lahan, perladangan liar serta pembakaran hutan. Suyanto dan Applegate (2001) menyatakan bahwa ada empat penyebab langsung kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, yaitu; api digunakan dalam pembukaan lahan, api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik penguasaan tanah, api menebar secara tidak sengaja dan api yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya alam. Rencana Tata Ruang Hutan Tanaman Industri (RTR-HTI) Menurut UU No. 26 Tahun 2007 bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang merupakan kebijakan dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk kesinergian kepentingan. Menurut Rustiadi dkk. (2007), penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses pembangunan. Penataan ruang memiliki tiga urgensi, yaitu: a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya; b) alat dan wujud distribusi sumberdaya; dan c) keberlanjutan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. : 70/Kpts-II/1995 tanggal 6 Pebruari 1995 tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri (sebagaimana diubah dengan Kepmenhut No.246/Kpts-II/1996 dan Peraturan Menteri No. P.21/Menhut-II/2006), yang mengatur penggunaan suatu unit areal HTI sesuai dengan peruntukannya, yaitu untuk : tanaman pokok, tanaman unggulan, tanaman kehidupan, konservasi/kawasan lindung, serta sarana dan prasarana. Pelaksanaan pembangunan HTI, harus didasarkan pada rencana tata ruang yang telah disusun oleh setiap pemohon Hak Pengusahaan HTI dan merupakan satu kesatuan dengan penyusunan studi kelayakan.
15 Penginderaan Jauh Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry, 1983) dalam Jaya (2007), pengertian remote sensing (penginderaan jauh) didefinisikan sebagai ilmu dan seni pengukuran atau mendapatkan informasi suatu objek atau penomena, menggunakan suatu alat perekaman dari suatu kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak secara fisik dengan obyek atau fenomena yang diukur/diamati.
Jadi penginderaan jauh
merupakan ilmu, karena terdapat suatu sistimatika tertentu untuk dapat menganalisis informasi dari permukaan bumi.
Dalam aplikasinya ilmu
penginderaan jauh ini harus diintegrasikan dengan beberapa ilmu lain seperti ilmu tanah, geologi, hidrologi dan ilmu yang mempelajari geo-biofisik lainnya. Rekaman data dijital tidak dapat dilihat langsung seperti citra piktorial, untuk pemanfaatannya harus diproses dengan menggunakan komputer. Produk dalam bentuk kasat mata hasil pengolahan komputer dapat diinterpretasi dengan menekankan pada kemampuan manusia yang disebut sebagai cara interpretasi citra manual atau dengan menggunakan sepenuhnya teknik komputer. Aspek penting lain dalam perkembangan penginderaan jauh adalah penggunaan satelit yang mengorbit bumi secara terus menerus sehingga mampu merekam data sesaat secara berulang-ulang dalam luasan yang sangat besar.
Penginderaan jauh
dibedakan antara sistem fotografik yang menghasilkan citra analog dan sistem non-fotografik yang umumnya menghasilkan data dijital. Sistem non-fotografik mampu merekam data pada panjang gelombang yang lebih lebar dan menerima radiasi objek, dan sistem deteksinya melalui sistem antena yang selanjutnya dikonversi ke signal elektronik. Walaupun demikian, produk fotopun telah diarahkan ke bentuk dijital, baik yang bersifat langsung seperti pemotretan dijital maupun secara tidak langsung seperti pengkonversian data foto analog menjadi dijital melalui proses penyiaman / scanning (Barus dan Wiradisastra, 2000). Penginderaan jauh merupakan pengetahuan yang relatif baru namun perkembangannya cukup pesat. Pemakaian penginderaan jauh antara lain untuk memperoleh informasi yang tepat dari seluruh wilayah Indonesia yang luas. Penelaahan bumi dari antariksa telah bergeser dari bidang penelitian murni ke bidang aplikasi (terapan) dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya,
16 pengamatan objek, wilayah atau fenomena yang dikaji sangatlah bergantung pada sensor wahana antariksa untuk membantu tugas-tugas manusia, mulai dari prakiraan cuaca, peramalan tanaman, penghitungan luasan vegetasi hutan, penelitian lahan dan sumber daya mineral, sampai kepada terapan antara lain pendeteksian pencemaran/polusi, pemantauan daerah kebakaran hutan/lahan, daerah banjir, perikanan komersial/sebaran ikan di laut dan lain sebagainya. Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografi (SIG) sering diterapkan bagi teknologi informasi spasial atau geografi yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer. Pada pengertian yang lebih luas, sistem informasi geografi mencakup juga sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional. Kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana
skenario-skenario
perencanaan,
model-model
keputusan,
deteksi
perubahan dan analisis, dan tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan secara terus-menerus (Barus dan Wiradisastra, 2000). SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG, pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya, hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta, 2004). Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data, menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan dan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks serta memberikan alternatif solusi terbaik untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi (Marquez and Maheepala, 1996).
17 Menurut Chuvieco et al. (1999) SIG merupakan alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. SIG dapat juga memadukan secara spasial beberapa variabel bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran. Variabel spasial untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, yaitu : topografi (elevasi, slope, aspek dan iluminasi), vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban), pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi), aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain, tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan, jarak dari kota atau permukiman, tanah dan bahan bawah tanah, sejarah kebakaran/catatan kebakaran serta ketersediaan air. Analisis Spasial Analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola-pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan pemodelan berbagai keterkaitan untuk tujuan meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi geografis obyek dimana atribut melekat di dalamnya (Rustiadi dkk., 2007). Selanjutnya Rustiadi dkk. (2007) menyatakan bahwa analisis spasial secara kuantitatif tidak hanya mencakup statistika spasial. Terdapat dua kajian studi yang bisa dibedakan, yaitu : 1. Analisis statistik data spasial : kajian-kajian untuk menemukan metode dan kerangka analisis guna memodelkan efek spasial dan proses spasial. 2. Pemodelan Spasial : pemodelan deterministik atau stokastik untuk memodelkan kebijakan lingkungan, lokasi-alokasi, interaksi spasial, pilihan spasial dan ekonomi regional. Dalam penyusunan model, seringkali diperlukan penyusunan berbagai asumsi untuk memusatkan perhatian pada aspek-aspek lokasional. Terdapat dua kategori asumsi dalam model lokasi, yaitu : berhubungan dengan permukaan lahan (land surface) dan karakteristiknya, serta berhubungan dengan kehidupan penduduk
pada
permukaan
lahan
tersebut
(Rustiadi
dkk.,
2007).