II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kebakaran Hutan Sumberdaya hutan banyak mengalami degradasi akibat aktivitas manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Wallmo dan Jacobson (1998)
aktivitas manusia merupakan salah satu faktor penyebab degradasi, yang ditunjukkan oleh meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya hutan dan hasilhasil kehutanan. Meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya hutan dan hasilhasilnya dalam jangka panjang berpeluang menyebabkan kerusakan ekosistem hutan. Kerusakan ekosistem sumberdaya hutan akibat aktivitas manusia, menurut Crook dan Clapp (1998) karena hanya berdasarkan pertimbangan rasionalitas ekonomi dan belum memperhitungkan nilai-nilai biodiversitas dan fungsi ekologis dari sumberdaya hutan. Salah satu bentuk degradasi sumberdaya hutan yang dapat menyebabkan deforestasi yaitu terjadinya kebakaran hutan yang dapat menurunkan nilai dari ekosistem hutan, seperti produksi kayu dan non kayu, punahnya flora dan fauna serta dampak terhadap sumberdaya lainnya. Menurut Barbier dan Burgess (1997), deforestasi hutan tropik secara umum ditunjukkan dalam bentuk konversi lahan hutan ke penggunaan lainnya. Sementara Rathore et al. (1997) mencoba memilah faktor-faktor yang bertanggungjawab terhadap deforestasi ke dalam 3 kategori, yaitu: (i) ketidakteraturan eksploitasi dengan tujuan komersial, (ii) permintaan dari ekonomi subsisten terhadap sumberdaya hutan, dan (iii) perubahan alami atau akibat buatan manusia. Kebakaran hutan dapat terjadi karena adanya sumber api, ketersediaan bahan bakar dan ketersediaan oksigen. Karakteristik penting dari suatu kebakaran ditunjukkan oleh sifat pembakaran yang tidak terbatas, bebas dan cepat penyebarannya.
Menurut Brown dan Davis (1973) kebakaran hutan adalah
kejadian di alam terbuka yang dengan cepat dapat menjalar dan menghabiskan bahan bakar hutan, seperti serasah, rumput-rumputan, tumbuhan bawah, semak pepohonan. Proses pembakaran hanya bisa terjadi apabila terdapat tiga unsur yaitu bahan bakar, oksigen dan temperatur (the triangle fire) yang akan menghasilkan
api atau panas (Saharjo, 2003a). Dengan mencegah bertemunya ketiga elemen tersebut, maka kebakaran hutan dapat dihindarkan. Namun, hal ini sulit dilakukan untuk daerah-daerah dengan ekosistem terbuka karena oksigen banyak terdapat di udara terbuka. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk mengurangi kebakaran hutan yaitu dengan mengurangi ketersedian bahan bakar hutan yang potensial maupun sumber panas (api) baik karena aktivitas manusia atau proses alamiah. Menurut Chandler et al. (1983a), bahan bakar hutan dapat di lihat dari aspek-aspek: (1) bahan bakar yang mengandung zat kimia (antara lain ekstraktif eter, debu silika, lignin dan hemiselulosa), (2) kelembaban bahan bakar, dan (3) ketersediaan bahan bakar. Sedang Brown dan Davis (1973) membedakan bahan bakar menurut jenis bahan yang terbakar yaitu: kebakaran rumput, semak dan kayu. Pemanasan bahan bakar yang dapat menyebabkan terjadinya awal kebakaran yaitu apabila kadar air dalam bahan bakar kurang dari 30%. Secara sederhana proses dan mekanisme kebakaran hutan, merupakan kebalikan dari reaksi kimia pada proses fotosintesa (Suratmo, 1985). Reaksi dari pembakaran hutan memberikan tiga macam sifat yaitu: (1) menghabiskan kayu di hutan dalam waktu singkat, disamping bahan lain yang dapat terbakar, (2) menghasilkan energi yang berbentuk panas atau temperatur tinggi sehingga dapat membunuh vegetasi, satwa, mempengaruhi tanah hutan dan mikro klimat hutan, dan (3) sisa kebakaran yang dikenal sebagai abu, akan mempengaruhi kimia tanah hutan. Kebakaran hutan sebagai suatu proses yang terjadi di alam, juga mempengaruhi fase atau tahapan dalam kebakaran hutan.
Fase ini sangat
tergantung pada keadaan ekosistem hutan. Fase kebakaran hutan ada tiga yaitu: (1) fase pra pemanasan, pada fase ini temperatur bahan bakar naik sampai pada titik nyala, (2) fase penguraian, bahan baku diurai menjadi zat yang dapat menyala berupa gas, dan (3) fase pembakaran, gas yang terbakar terlihat sebagai nyala api, sedang bahan padat tidak ikut menyala hanya membara. Menurut Davis (1959), pembagian fase dalam kebakaran hutan sangat sulit, karena proses dari ketiga fase pembakaran berjalan secara bersamaan. Pengamatan terhadap fenomena kebakaran hutan beserta elemen-elemen yang menyebabkan kebakaran hutan, secara garis besar dapat ditinjau dari aspek
13
manusia dan alam serta kombinasi keduanya. Derajat keterlibatan manusia dalam mempercepat proses pembakaran di hutan dapat dikategorikan sebagai faktor penentu utama.
Menurut Suratmo (1974), penyebab kebakaran hutan sangat
beragam, namun lebih dari 90% kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh manusia. Hal ini terjadi menurut Hamilton dan King (1992) karena api biasanya bermula dari tepi hutan dekat aktivitas manusia, sehingga dengan adanya bahan bakar yang sudah kering maka bahan bakar mudah tersulut api dan terbakar dan akhirnya merambat ke hutan. Atas dasar aktivitas manusia, Mackie dalam Gradwohl dan GreenBerg (1991) menggambarkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi di daerah tropis di Asia Tenggara disebabkan oleh adanya kegiatan pengembalaan ternak dan penebangan kayu. Demikian pula kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Timur tahun 1982-1983 yang menghancurkan hutan seluas kurang lebih 3 juta hektar, dengan salah satu faktor penyebab utama yaitu adanya eksploitasi penebangan kayu yang diikuti oleh musim kemarau panjang dan fenomena alam ElNino. 2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan Tingkat kerusakan sumberdaya hutan akibat kebakaran antara lain dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: jenis kebakaran, lama kebakaran, keadaan tegakan hutan, dan cuaca atau iklim (Suratmo, 1974). Kebakaran hutan dapat digolongkan ke dalam tiga tipe yaitu kebakaran bawah (ground fire), kebakaran permukaan (surface fire), dan kebakaran tajuk (crown fire).
Tipe
kebakaran hutan ini telah banyak dijelaskan oleh para ahli antara lain Suratmo (1970), Brown dan Davis (1973), Chandler et al. (1983a) dan Fuller (1991). Kebakaran permukaan merupakan tipe kebakaran yang paling sering terjadi di Indonesia, karena terjadi penumpukan bahan bakar pada permukaan tanah hutan. Menurut Brown dan Davis (1973), kebakaran permukaan yaitu titik api yang membakar serasah permukaan, daun dan ranting jatuh dan bahan bakar lain di permukaan hutan serta vegetasi rendah lainnya.
Proses pembakaran
permukaan ini, umumnya merupakan awal terjadinya kebakaran yang lebih luas, baik kebakaran bawah maupun kebakaran tajuk, meskipun tidak semuanya
14
berlangsung melalui proses kebakaran permukaan.
Menurut Fuller (1991),
terdapat perbedaan kecepatan pembakaran antara kebakaran tajuk dengan kebakaran permukaan. Kebakaran tajuk dengan vegetasi tanaman pohon (kayu) dapat menyebar 5 mil atau lebih perjam di hutan kayu, sedang kebakaran permukaan dengan vegetasi rumput-rumputan kecepatan pembakaran hanya 2 sampai 4 mil perjam. . Serasah dari tanaman, sisa cabang, ranting dan daun yang mati akan meningkatkan ketersediaan bahan bakar yang telah ada. Pada saat musim kering, bahan bakar yang telah menumpuk, kadar airnya akan turun, sehingga mudah sekali terbakar. Namun, apabila kelembaban bahan bakar tinggi, maka menurut Clar dan Chatten (1954), kebakaran hutan dapat dikurangi, akan tetapi adanya aktivitas manusia yang berhubungan dengan penggunaan api terutama oleh masyarakat peladang maupun pengusaha perkebunan dan kehutanan dalam kegiatan land clearing, dengan cara membakar akan meningkatkan kerawanan kebakaran hutan. Besarnya pengaruh manusia dalam kebakaran hutan dijelaskan pula oleh Chapman dan Meyer (1947) bahwa kebakaran hutan umumnya diawali oleh aktivitas manusia. Kebakaran hutan selain dipengaruhi oleh manusia, juga dipengaruhi oleh keadaan fisik hutan dan pengaruh cuaca. Menurut Davis (1954), faktor-faktor yang mempengaruhi kerugian dari kebakaran hutan yaitu tipe hutan (hardwood, softwood), keaslian hutan (hutan alam dan hutan buatan), kelas tegakan hutan berdasarkan ukuran dan kerapatan tegakan, pengaruh musim (kemarau dan penghujan) dan intensitas kebakaran. Sedangkan menurut Fuller (1991) bahaya kebakaran hutan tergantung pada cuaca, kelembaban udara, dan faktor lainnya. Pengaruh musim umumnya berkorelasi dengan periode dan intensitas kebakaran, artinya makin lama musim kemarau, maka terjadinya kebakaran hutan semakin besar dan berlangsung lama. Hal ini dapat dicermati dengan fenomena kebakaran pada tahun 1997 di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh gejala alam ElNino, sehingga musim kemarau lebih lama dari biasanya. Faktor cuaca merupakan faktor penting penyebab terjadinya kebakaran hutan, baik langsung maupun tidak langsung ditinjau dari aspek temperatur udara, arah dan kecepatan angin, serta kelembaban udara. Menurut Chandler et al.
15
(1983a), faktor cuaca dan iklim yang mempengaruhi kebakaran hutan, yaitu: (1) massa dan gelombang udara, (2) temperatur/suhu udara, (3) kelembaban atmosfir, (4) awan dan hujan, (5) angin, (6) petir, dan (7) stabilitas atmosfir.
Sedang
menurut Clar dan Chatten (1954) membagi faktor cuaca dalam tiga kategori, yaitu: temperatur, kelembaban relatif, dan kecepatan serta arah angin. Kebakaran hutan selain dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas bahan bakar, juga sangat ditentukan oleh keadaan iklim hutan setempat. Iklim mikro dalam hutan dipengaruhi oleh kerapatan, jenis dan tinggi pohon. Iklim mikro, akan berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran di suatu daerah, sebab iklim mikro juga mempengaruhi kecepatan angin, suhu udara, kelembaban udara serta kadar air bahan bakar. Kebakaran hutan yang terjadi dalam suatu areal dapat dikelompokkan menurut luas areal kebakaran. Menurut Chandler et al. (1983b), kelas kebakaran hutan dapat diklasifikasi ke dalam 7 kelas yaitu: (1) kelas A dengan luas kebakaran kurang dari 0,1 hektar, (2) kelas B dengan luas kebakaran dari 0,1 – 3,5 hektar, (3) kelas C dengan luas kebakaran dari 3,6 – 40 hektar, (4) kelas D dengan luas kebakaran dari 41 – 120 hektar, (5) kelas E dengan luas kebakaran dari 121 – 400 hektar, (6) kelas F dengan luas kebakaran dari 401– 2000 hektar, dan (7) kelas G dengan luas kebakaran lebih dari 2000 hektar. Suratmo (1970) membagi kebakaran atas lima kelas yaitu dari kelas A sampai E, dengan luasan mulai dari 1.000 m2 sampai 1,2 km2.
Semakin tinggi kelas kebakaran, semakin
luas areal yang terbakar, sehingga semakin banyak kerugian yang ditimbulkan dan daerah tersebut semakin rawan kebakaran. Pembagian kelas kebakaran ini digunakan untuk memudahkan dalam perhitungan nilai kerusakan hutan secara ekonomis dan untuk tindakan pengendalian yang tepat. Oleh sebab itu, pengendalian kebakaran dini dalam bentuk peramalan atau pengetahuan tingkat bahaya kebakaran sejak awal (early warning
system)
sebelum api
membesar
sangat
penting.
Keberhasilan
pengendalian kebakaran juga dipengaruhi oleh keadaan dan jenis bahan bakar serta topografi tanah. Hal ini dipertegas oleh Chandler et al. (1983a) bahwa rule of thumb dari sifat-sifat kebakaran hutan dipengaruhi oleh: ketersediaan bahan bakar, kelembaban bahan bakar, angin, kemiringan atau topografi, jarak titik api.
16
2.3. Dampak Kebakaran Hutan Kebakaran hutan yang luas memiliki dampak yang besar terhadap sumberdaya hutan maupun sumberdaya manusia akibat adanya asap tebal yang berbahaya bagi kesehatan dan proses produksi tanaman perkebunan maupun tanaman pertanian lainnya akibat terganggunya proses fotosintesa.
Di dalam
sumberdaya hutan, kerusakan fisik hutan berarti hilangnya sumberdaya kayu dan bukan kayu maupun plasma nutfah. Oleh sebab itu, menurut Brown dan Davis (1973) sangat penting untuk memahami sepenuhnya dampak kebakaran hutan, baik dari aspek nilai ekonomis maupun aspek kebijakan publik dalam mengendalikan
kebakaran
hutan.
Dalam
tataran
ini,
Suratmo
(1999),
mengklasifikasi dampak kebakaran hutan dari tiga aspek, yaitu: aspek lingkungan, sosial ekonomi, dan kesehatan. Menurut Suratmo (1970) kebakaran hutan mempunyai akibat yang merugikan dan yang menguntungkan. Kebakaran yang sifatnya merugikan karena tidak terkendali, yaitu menyebabkan kerusakan terhadap tegakan hutan, tanah, riap hutan, tempat rekreasi, kematian satwa, kebakaran lahan masyarakat, dan juga luka atau kematian pada manusia. Sedang pengaruh yang menguntungkan dari kebakaran hutan yang terkendali, yaitu bertujuan untuk peremajaan alam dan untuk mengendalikan hama dan penyakit. Kajian dampak kebakaran hutan dari sisi yang negatif, dikemukakan pula oleh Brown dan Davis (1973) bahwa kebakaran hutan berdampak terhadap pohon, iklim mikro dan vegetasi, fauna, tanah, dan ekosistem. Sedang Chandler et al. (1983a) mengemukakan bahwa dampak negatip kebakaran hutan antara lain merusak sifat fisik dan kimia tanah, menaikkan pH tanah serta menurunkan produktivitas tanah.
Dampak terhadap ekologi hutan yaitu mengubah secara
drastis lingkungan hutan dan juga mempengaruhi kondisi pohon, jenis herba dan semak. Hal ini dipertegas oleh MacKinnon et al. (1993) bahwa kebakaran hutan menyebabkan vegetasi yang terbakar sulit untuk pulih kembali seperti semula. Kebakaran pohon akan merubah bentuk fisik hutan dalam arti hilangnya sejumlah kayu dan jenis vegetasi lainnya. Akibat selanjutnya dari kebakaran tersebut akan mematikan kehidupan satwa dan rusaknya fisik tanah serta menurunnya kesehatan masyarakat.
17
Dampak kebakaran hutan dari aspek perubahan bentuk hutan setelah kebakaran dikemukakan oleh Fuller (1991) yaitu perubahan jenis vegetasi yang tumbuh, tumbuhnya vegetasi yang memiliki adaptasi tinggi, dan terjadi suksesi tanaman.
Dijelaskan pula bahwa kebakaran hutan mempunyai dampak yang
merugikan terhadap ekosistem, tanah yang menimbulkan erosi dan terhadap satwa liar. Demikian pula Chapman dan Meyer (1947), menelaah dampak kebakaran hutan yang dikaji dari aspek pohon atau vegetasi yang rusak, tanah dan humus. Efek kebakaran hutan terhadap tanah dari aspek fisik dan kimia tanah di areal hutan tergantung dari tipe tanah, kelembaban tanah, intesitas dan durasi kebakaran, waktu dan intensitas dari hujan setelah kebakaran. Dampak langsung yang dapat terlihat dari adanya kebakaran hutan terhadap tanah yaitu ketersediaan bahan kimia dan daur ulang makanan, meningkatnya suhu tanah, dan hilangnya mikroorganisme tanah. Kebakaran hutan dapat mempengaruhi proses hidrologi secara tidak langsung, namun akan sangat mengubah kondisi fisik dan kimia tanah, berubahnya penutupan bahan organik menjadi abu, dekomposisi mineral dan bahan organik, meningkatnya pH tanah, dan perubahan tekstur tanah. Perubahan kondisi fisik tanah dan hilangnya vegetasi penutup lahan akibat kebakaran akan berdampak pada meningkatnya run-off dan erosi, dan selanjutnya akan meningkatkan aliran sungai setiap tahunnya, banjir dan sedimentasi. Sebaliknya pada musim kemarau,
hilangnya vegetasi penutup lahan akan mengurangi
ketersediaan air tanah dan menyebabkan debit sungai rendah. Rothacher dan Lopushusky (1954) dalam Chandler et al. (1983a) menemukan bahwa satu tahun setelah kebakaran, sedimentasi yang terjadi pada daerah aliran sungai di Washington antara 41 sampai 127 m3. Menurut MacKinnon et al. (1993), hal ini dapat disebabkan karena tanah di daerah tropis mudah tererosi dan vegetasinya rawan terhadap kebakaran. Dampak kebakaran hutan terhadap satwa liar, seperti jenis mamalia dan unggas, juga dikemukakan oleh Chapman dan Meyer (1947), Chandler et al. (1983a) dan Fuller (1991), yang mana dampak tersebut dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Dampak langsung yaitu hilangnya spesies-spesies hewan yang ada di hutan dan dampak tidak langsung yaitu dalam bentuk modifikasi
18
habitat dan biota. Pengaruh kebakaran terhadap satwa dan habitat yaitu dalam bentuk perubahan habitat dan kematian hewan yang dapat terjadi karena penyebaran api dan kecepatan angin yang cepat, sehingga api menyebar dapat mencapai 10 mil perhari. Penjelasan ini diperkuat oleh Grant et al. (1997) yang menyatakan kerusakan habitat menyebabkan penurunan populasi satwa liar. Kebakaran hutan selain merusak sumberdaya hutan yang ada di dalamnya juga memberikan dampak ganda (multiplier) lainnya seperti adanya asap tebal yang dapat menimbulkan polusi udara dan berpengaruh terhadap manusia maupun hewan serta jenis tanaman lainnya. Hal ini disebabkan karena kebakaran hutan selain menimbulkan asap juga menimbulkan partikel-partikel debu di udara yang dapat mengganggu produktivitas mahluk hidup. Menurut Chandler et al. (1983a), kebakaran hutan satu hektar dengan bahan bakar 50 ton/ha akan menghasilkan 92 ton CO2, 27 ton uap air yang mengandung asap, dan merusak 273 juta liter udara. Sementara kebakaran dengan ketersediaan bahan bakar 5 ton/ha akan menghasilkan emisi partikel sebanyak yaitu 10 kg/ton. Sedang menurut Fuller (1991) efek asap terhadap hewan dan manusia karena kebakaran hutan akan menghasilkan CO2, partikel debu, dan sebanyak 60 jenis bahan kimia berbeda termasuk hidrokarbon, arang dan bahanbahan kimia yang membuat asap hitam. Asap dari kebakaran hutan sangat mengganggu sebab dapat mengurangi jarak pandang, mengganggu penerbangan, menurunnya produktivitas tanaman dan hilangnya keuntungan dari pariwisata. Besarnya dampak asap terhadap kondisi kesehatan manusia dijelaskan pula oleh Fuller (1991) yang merujuk pada beberapa hasil penelitian bahwa kebakaran hutan dalam sehari sama dengan merokok 4
bungkus rokok dan dapat menyebabkan radang paru-paru dan
emfisemia (pelebaran dan pecahnya gelembung paru-paru). 2.4. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2.4.1. Konsep Penilaian Ekonomi Hutan sebagai suatu ekosistem mempunyai fungsi atau manfaat yang bermacam-macam, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Menurut Gregory (1972), hutan selain berfungsi sebagai kawasan produksi yang berperan
19
dalam produksi kayu dan produk hasil hutan bukan kayu lainnya yang memiliki fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga mempunyai fungsi rangkap sebagai pelindung tanah, air, iklim, dan lain-lain (fungsi hidrologis atau ekologis), bahkan fungsi yang lain seperti: sumber plasma nutfah dan biodiversitas. Menurut Barbier (1995) kehilangan keanekaragaman hayati memberikan konsekuensi hilangnya nilai ekonomis potensial dari hutan seperti: produk hutan non kayu, bahan genetik untuk industri farmasi, bioteknologi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta jenis-jenis kayu yang tidak dipasarkan. Menurut Magurran (1988) pengukuran keanekaragaman jenis merupakan cara untuk menilai dampak kerusakan lingkungan. Deforestasi juga memberikan dampak tidak langsung terhadap jasa keberadaan hutan untuk turisme dan rekreasi serta pendidikan, juga mempunyai dampak nyata terhadap kesejahteraan manusia melalui perlindungan DAS, pengaturan iklim dan penyedia karbon. Dengan demikian kebakaran hutan menyebabkan hilangnya manfaat dari sumberdaya hutan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang seharusnya dapat diperoleh. Kerugian ekonomi yang hilang dan berdampak pada timbulnya biaya akibat kebakaran hutan dapat disetarakan dengan istilah biaya kesempatan atau opportunity cost dalam ilmu ekonomi (Field, 1994; Pearce dan Moran, 1994). Nilai merupakan persepsi atau penghargaan terhadap barang dan jasa dari setiap individu tergantung tempat dan waktu. Menurut Davis dan Johnson (1987), penilaian diartikan sebagai proses pengkuantifikasian nilai yang harus dilakukan melalui persepsi, pandangan individu atau kelompok individu.
Dalam
hubungannya dengan proses penafsiran dan penilaian dampak, maka ada tiga tahapan
yang
perlu
diperhatikan,
yaitu:
dampak
harus
teridentifikasi,
dikuantifikasi, dan berapa besar pengurangan atau hilangnya manfaat (Dixon dan Hufschmidt, 1993). Menurut Martinez et al. (1998) ada beberapa tipe penilaian tergantung obyek yang dinilai seperti penilaian biodiversity (mengukur kekayaan spesies atau varietas genetik), dan juga nilai ekonomi lain (mengukur perbedaan sewa lahan, metode travel cost, dan contingent valuation). Menurut Pearce dan Moran (1994), pendekatan penilaian sumberdaya alam dan lingkungan dapat dibagi dua yaitu: pendekatan langsung dan pendekatan tidak
20
langsung. Pendekatan langsung dengan cara: eksperimen, kuisioner, survey, dan contingent valuation method.
Sedangkan pendekatan tidak langsung, yaitu:
pendekatan
(surrogate
pasar
pengganti
market)
dan
pendekatan
pasar
konvensional. Menurut Duerr (1960), penilaian sumberdaya hutan atas dasar manfaat ada dua kategori yaitu: pendekatan nilai barang atau jasa yang marketable dan non marketable. Freeman (1994) mendekati penilaian sumberdaya alam dan lingkungan dari segi metode pengumpulan data, yaitu: observasi langsung, observasi tidak langsung, hipotetis langsung dan hipotetis tidak langsung. Penilaian dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap sumberdaya hutan yang tangible dan intangible, lahan perkebunan dan tanaman pertanian, maupun dampak kerugian ekonomi karena adanya asap tebal yang mengganggu kesehatan dan produktivitas masyarakat dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai ekonomi total (total economic value). 2.4.2. Taksonomi Penilaian Ekonomi Total Beberapa peneliti menggunakan total economic value (TEV) untuk menilai perubahan ketersediaan jasa lingkungan atau ekologi, dengan cara mengukur surplus total perunit area (kurva permintaan dan penawaran terhadap jasa lingkungan diperhitungkan). Menurut Opschoor (1998) relevansi penggunaan penilaian ekonomi (economic valuation) hanya benar apabila terpenuhi kondisi berikut: (1) jika individu diasumsikan dapat menduga dampak perubahan lingkungan terhadap kesejahteraan mereka, (2) jika dampak tidak langsung dari perubahan ini dapat dihitung, dan (3) jika penilaian ekonomi dilakukan kepada semua subyek (termasuk pelaku potensial). Secara konseptual, penilaian ekonomi total suatu sumberdaya terdiri dari: (a) nilai guna (use value), dan nilai bukan guna (non-use value). Tercakup dalam nilai guna ini yaitu: nilai guna langsung (direct use value -DUV), nilai guna tidak langsung (indirect use value -IUV), dan nilai pilihan (option value -OV). Sedang yang tercakup nilai bukan guna yaitu nilai warisan (bequest value -BV) dan nilai eksistensi (existence value-EV) (Garrod and Kenneth, 1999). Contoh nilai guna dan bukan guna dari suatu sumberdaya (sumberdaya hutan) dapat dilihat pada Gambar 2.
Berdasarkan konsep nilai ekonomi diatas, secara matematis
21
Munasinghe (1993) membuat formula sebagai berikut: TEV = UV + NUV atau
TEV = (DUV + IUV + OV) + (BV + EV). Deskripsi nilai guna langsung dari suatu sumberdaya dinilai atas dasar
kontribusi produksi dan konsumsi dari sumberdaya. Nilai guna tidak langsung mencakup manfaat yang diperoleh dari keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mendukung produksi dan konsumsi saat ini.
Nilai pilihan
didasarkan pada kesediaan konsumen untuk membayar (willingness to pay) untuk sumberdaya alam yang belum digunakan atau kesediaan membayar untuk menghindari resiko tidak tersedia dimasa mendatang. Nilai warisan adalah nilai dari pengetahuan mengenai ketersediaan manfaat historis dari suatu sumberdaya dan dapat diteruskan kepada generasi yang akan datang. Nilai eksistensi didasarkan kepuasan karena mengetahui sumberdaya tetap tersedia, meskipun penilai tidak menggunakannya secara intensif. Disagregasi dari nilai total ekonomi suatu sumberdaya alam dan lingkungan dengan memasukan semua unsur nilai yang terkandung di dalamnya, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2, dengan mengambil contoh penilaian ekonomi total dari sumberdaya hutan hujan tropik yang dikemukakan oleh Pearce (1992) dalam Munasinghe (1993). Pearce dan Turner (1990) juga mendefinisikan nilai
ekonomi total
menurut kegunaannya, yaitu use value dan non use value (existence value dan bequest value). Menurut McNeely (1992) mengemukakan penilaian ekonomi sumberdaya hayati ada 2 yaitu: nilai langsung (nilai pemakaian konsumtif, nilai pemakaian produktif) dan nilai tidak langsung (nilai pemakaian non-konsumtif, nilai pilihan dan nilai keberadaan). Nilai guna langsung adalah kenikmatan atau kepuasan yang diterima langsung oleh konsumen yang mengkonsumsi sumberdaya hayati. Nilai guna yang sifatnya konsumtif diberikan pada produk-produk alam yang dikonsumsi langsung. Nilai penggunaan konsumtif dapat diberi harga pasar melalui berbagai mekanisme penilaian harga pasar jika produk dijual di pasar. Nilai penggunaan produktif dapat diperoleh langsung dari kurva permintaan dari sumberdaya alam.
22
Nilai Ekonomi Total
Nilai Guna
Nilai Guna Langsung
Nilai Guna Tidak Langsung
Output yang dapat dikonsumsi langsung
-
Manfaat – Manfaat Fungsional
Makanan Biomas Rekreasi Kesehatan
- Fungsi ekologi - Pengendali banjir
Nilai Bukan Guna
Nilai Pilihan
Nilai Guna Langsung dan Tidak Langsung Masa datang
- Biodiversity - Habitat
Nilai Warisan
Nilai bukan guna untuk diwariskan kepada generasi mendatang
- Habitat - Perubahan irreversible
Nilai Keberadaan
Nilai dari pengetahuan terhadap keberadaan
- Habitat - Spesies Langka
Menurunnya Keterukuran (tangibility) Penilaian Individu
Gambar 2.
Kategori Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan (Pearce, 1992 dalam Munasinghe, 1993)
Nilai penggunaan produktif diberikan pada produk-produk yang dipanen secara komersial, baik sumberdaya kayu maupun non kayu (termasuk flora dan fauna). Menurut Hufschmidt et al. (1983), produk yang mempunyai nilai guna dapat ditaksir dengan metode pendekatan harga pasar atau produktivitas, pendekatan biaya ganti, dan pendekatan survei.
Menurut Duerr (1960),
pendekatan nilai pasar pada sumberdaya hutan ada dua yaitu pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung (pendekatan kapitalisasi, pendekatan biaya, dan pendekatan konversi). Pendekatan nilai sumberdaya hutan yang tidak langsung menurut McNeely (1992) berkaitan dengan fungsi-fungsi ekosistem, yang mencakup penilaian kegunaan tidak konsumtif, nilai pilihan dan nilai keberadaan. Freeman (1994)
23
membagi tiga manfaat sumberdaya hutan yang tidak dikonsumsi dengan istilah yang hampir sama yaitu nilai eksistensi, nilai intrinsik dan nilai preservasi. Dalam tataran ini Attfield (1998) menyatakan bahwa nilai eksistensi biasa didefinisikan sebagai nilai yang tidak timbul dari penggunaan, dimana nilai eksistensi mungkin termasuk nilai intrinsik, tetapi tidak dapat dikatakan sama. Nilai keberadaan spesies atau eksistensi merupakan bagian dari nilai intrinsik, tidak hanya saat ini tetapi juga untuk kehidupan spesies akan datang. Menurut Hufschmidt et al. (1983) dan Munasinghe (1993), pendekatan nilai pasar atau produktivitas merupakan teknik analisis biaya manfaat dengan menggunakan harga pasar. Pendekatan penghasilan yang hilang memakai harga pasar atau tingkat upah untuk menilai sumbangan potensial seseorang. Pendekatan harga pasar pengganti didasarkan pada harga substitusi untuk menilai barang dan jasa lingkungan tidak ada harganya. Contingent valuation (CV) adalah suatu survei dengan teknik dasar penentuan nilai barang dan jasa yang tidak dipasarkan seperti kenyamanan lingkungan. Bentuk pendugaan didasarkan kepada besarnya perilaku konsumsi untuk barang dan jasa yang tidak dipasarkan ke dalam nilai moneter.
Menurut
Carson (1998) tahapan penggunaan contingent valuation dalam hutan hujan, harus memperhatikan tiga kategori utama yaitu: (1) definisi komoditas, (2) luas pasar, dan (3) mekanisme pembayaran dan provisi. Teknik survei untuk menentukan nilai pilihan masyarakat dengan cara menilai kesediaan membayar seseorang untuk menerima pampasan bila lingkungan berubah.
Sedang pendekatan teknik biaya ganti menurut Freeman
(1994) dapat dilakukan secara langsung melalui observasi pengeluaran aktual untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Teknik ini berguna untuk menduga nilai fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan nilai tanaman obat-obatan tradisional. Nilai pilihan merupakan sarana untuk menentukan nilai yang terdapat dalam
sumberdaya
alam
dan
lingkungan
melalui
pencegahan
resiko
ketidakpastian, menanggulangi nilai di masa depan, serta biaya kesempatan yang tidak mungkin kembali guna melestarikan lingkungan alami dan bahan genetik.
24
Nilai keberadaan yaitu nilai yang diberikan seseorang terhadap keberadaaan suatu spesies atau habitat, dimana orang tersebut tidak berniat akan mengunjungi atau menggunakan sumberdaya tersebut, dimensi etik, karenanya sangat penting dalam menentukan nilai keberadaan yang mencerminkan simpati, rasa tanggungjawab, dan kepedulian terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Pembahasan mengenai nilai keberadaan oleh Attfield (1998) juga dinyatakan bahwa nilai eksistensi merupakan definisi baru yang sangat sensitif dari aspek etika lingkungan (environmental ethics), serta ada 2 metode untuk mengukur nilai eksistensi yaitu : (1) willingness to accept (WTA) untuk menerima kompensasi akibat kerusakan lingkungan, (2) willingness to pay (WTP) agar tidak terjadi kerusakan lingkungan. Perhitungan nilai total dari suatu sumberdaya dan lingkungan, dapat pula didekati dengan cara pengukuran kesediaan membayar (willingness to pay / WTP) individu, agar sumberdaya tetap terpelihara dan tersedia. Menurut Huang Ju-Chin dan Smith (1998), model WTP dominan dalam menduga nilai non use (nilai pasif) dan mempunyai tingkat kesalahan (error) lebih rendah apabila digunakan untuk pendugaan nilai yang berguna (use value). Salah satu metode untuk menilai
WTP adalah dengan contingent
valuation method (CVM). Contingent valuation method (CVM) menyediakan informasi tentang manfaat yang tidak digunakan secara langsung, seperti nilai diketahuinya keberadaan spesies di suatu tempat (existence value), nilai pilihan (option value) untuk mengkonsumsi di masa datang dan nilai warisan bagi generasi akan datang (bequest value) (Spash, 1997). Menurut Randal (1987) contingent valuation method sebagai usaha untuk menentukan suatu jumlah kompensasi, dibayar atau diterima, yang dapat memulihkan atau mengembalikan kepuasan seseorang pada tingkat kepuasaan awal. Sedang menurut Eagle dan Betters (1998) teknik ini digunakan untuk menduga nilai ekonomi melalui pertanyaan kepada seseorang atau masyarakat, apakah mereka: (1) bersedia membayar barang dan jasa, atau (2) kesediaan menerima untuk menghindari turunnya atau hilangnya suatu barang atau jasa. Menurut Freeman (1994), tiga hal penting dalam penggunaan CVM yaitu: gambaran hipotetikal
responden terhadap barang dan jasa lingkungan,
25
kemampuan responden untuk menentukan nilai barang dan jasa lingkungan serta opportunity cost, dan pengujian validitas WTP responden dengan karakteristik sosial ekonomi dan demografi. Pengujian validitas CVM dengan mencermati isi, kriteria dan struktur dari pertanyaan untuk menilai WTP responden. Dalam hubungannya dengan gambaran hipotetikal responden, Loomis et al. (1996) menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara kesediaan membayar secara hipotetis dan aktual, tetapi perbedaan tersebut relatif kecil, dimana willingness to pay secara hipotetis lebih besar dua kali dari willingness to pay aktual.
Sehingga menurut Champ (1997) bahwa dalam membangun model
statistik willingness to pay (WTP), penting untuk diprediksi apakah responden “inconsistent” atau tidak dalam memberikan penilaian tentang willingness to pay secara hipotetis dan aktual. Namun demikian, metode ini juga mempunyai beberapa kelemahan, sebagaimana dijelaskan oleh Tietenberg (1992) yaitu bias strategi, bias titik awal, bias informasi, dan bias hipotetis. Selain keempat bias diatas, Freeman (1994) mengembangkan lagi dengan beberapa kelemahan yaitu: bias terhadap pewawancara dan responden, bias aggregat, bias kemampuan mengingat responden, dan bias sarana pembayaran. 2.5. Analisis Korelasi Kanonik (AKK) Tujuan AKK adalah untuk memperoleh pasangan peubah baru, yang merupakan kombinasi linear peubah asal, berukuran lebih kecil dari p, dimana setiap pasang peubah baru berkorelasi maksimum (terurut dari korelasi terbesar) serta tidak berkorelasi dengan pasangan peubah baru lainnya (Levine, 1997). Misalkan dua himpunan peubah, yaitu X = {Xl, X2,..., Xp} dan Y = {Yl, Y2,....,Yq},
p ≤ q, masing-masing menyatakan pengukuran ganda dari suatu
daerah pengukuran. X dicirikan sebagai himpunan peubah penduga (predictor) dan Y sebagai himpunan peubah tak bebas atau respons (criterion). Sebagai contoh, X mencakup sembilan peubah faktor sosial ekonomi dan Y meliputi empat peubah faktor yang mempengaruhi dan mempercepat kebakaran hutan dan lahan dengan unit analisis wilayah Kabupaten Sintang. Sehingga ada C213 = 169 koefisien korelasi, 9 x 4 = 36, diantaranya merupakan korelasi antara faktor sosial
26
ekonomi dan faktor yang mempengaruhi kebakaran di Kabupaten Sintang. Permusan matematik AKK, misalkan vektor peubah acak H = (X1, X2, ...,Xp, Y1,Y2,...,Yq)’ nilainya ditentukan oleh pengamatan terhadap n-obyek pada dua himpunan peubah. Himpunan pertama terdiri atas p dan yang kedua terdiri atas q peubah. Selanjutnya dimisalkan pula bahwa vektor peubah acak X = (X1, X2, ...,Xp)’ dan Y = (Y1,Y2, ...,Yq)’ memiliki agihan bersama sebagai berikut: ⎡ 0 ⎢ ⎣ 0
m =
⎤ ⎥ ⎦
, dan
S =
⎡Sxx Sxy ⎤ ⎢ ⎥ ⎣Syx Syy ⎦
Dalam bentuk matriks nilai pengamatan yang telah dikoreksi terhadap rataannya pada contoh yang terdiri atas n-obyek yang pengukurannya dilakukan pada (p + q) peubah, dapat dilukiskan seperti pada Tabel 1 (Gittins, 1985). Baris ke-i pada diagram itu, (Xi1, Xi2, ..... Xip, Y i1, Yi2, ....., Yiq ) ; i = 1, 2, ....., n, menyatakan nilaj pengukuran terhadap obyek ke-i pada (p + q) peubah tersebut. Tabel 1. Matriks Data Analisis Korelasi Kanonik Peubah
Obyek X1
X2
.....
Xp
Y1
Y2
.....
Yq
1
x11
x12
.....
x1p
y11
y12
.....
Y1q
...
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
i
xi1
xi2
.....
xip
yi1
yi2
.....
Yiq
...
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
n
xn1
xn2
.....
xnp
yn1
yn2
.....
Ynq
Dalam kajian ini, matriks data nXp = [ Xij ] dari himpunan peubah X dan nYq
= [ Yik ] dari himpunan Y dianggap memiliki peringkat penuh (full rank),
yaitu p(X) = p dan p(Y) = q. Untuk mengetahui struktur korelasi antara p peubah pada himpunan X dan q peubah pada himpunan Y, dibentuk kombinasi linear U = a1. X1 +... + apXp dan V = b1 Y1 +
...+ bq Yq atau U = a ’ X dan V= b 'Y yang
korelasinya maksimum. Dengan perkataan lain akan dicari vektor pembobot pa1 dan qb1 sehingga korelasi U dan V maksimum. Korelasi antara U dan V dapat
27
dinyatakan sebagai fungsi a dan b yang kemudian dituliskan sebagai berikut (Lebart et al. 1984) : Cov (U, V) rU,V = -------------------------√ Var (U) Var (V)
a ′ Sxy b = -------------------------√ (a ′ Sxy a) (b ′ Sxy b)
2.6. Model Persamaan Struktural Model persamaan struktural, Structural Equation Model (SEM) adalah sekumpulan teknik-teknik statistika yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan yang relatif ‘rumit’, secara simultan antara peubah endogen dan peubah eksogen (Hair et al. 1998). Hubungan yang rumit tersebut dibangun antara satu atau beberapa peubah dependen (endogen) dengan satu atau beberapa peubah independen (eksogen). Masing-masing peubah dapat berbentuk faktor atau konstruk yang dibangun dari beberapa peubah indikator. Dalam pemodelan SEM data yang digunakan sebagai input adalah matriks kovarians data sample (empirik) yang digunakan untuk menghasilkan estimated population covariance matrix (Ferdinand, 2000). Oleh sebab itu dalam pendugaan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan, maka parameter koefisien regresi, varians dan kovarians menjadi sangat penting untuk diestimasi dari setiap peubah. Secara umum, tahapan yang dilakukan dalam penyusunan model persamaan struktural adalah sebagai berikut: a. Mengembangkan model berdasarkan teori b. Membangun diagram lintas (path diagram) dari hubungan kausal c. Konversi diagram lintas ke persamaan dan model pengukuran d. Menentukan jenis matriks dan menduga model e. Mengidentifikasi model struktural f. Menetapkan kriteria kesesuaian model g. Interpretasi dan modifikasi model Alat analisis data yang dapat digunakan dalam menduga pengaruh faktorfaktor alami dan manusia terhadap kebakaran hutan dan lahan dengan pendekatan SEM yaitu LISREL (Linear Structural RELationship). Menurut Joreskog dan
28
Sorbom (1996), model LISREL terdiri dari dua bagian yaitu menjelaskan hubungan antar peubah laten atau faktor dan menerangkan keterkaitan peubah laten dengan indikator-indikatornya. Model struktural diformulasikan sebagai berikut (Bollen, 1989 dan Hair et al. 1998): η = Γξ + Βη + ζ dimana: η= vector error dari peubah laten endogenous m x 1 ξ= vector error dari peubah laten eksogenous n x 1 Γ= matriks koefisien dari ξ berukuran m x n Β= matriks koefisien dari η berukuran m x m ζ = vektor galat bagi persamaan struktural berukuran m x 1 Sedangkan model pengukuran formulasikan sebagai berikut: y = Λy η + ε x = Λx ξ + δ dimana: y = vektor indikator peubah laten endogenous p x 1 x = vektor indikator peubah laten eksogenous q x 1 Λy = matriks koefisien regresi (loading) y terhadap η berukuran p x m Λx = matriks koefisien regresi (loading) x terhadap ξ berukuran q x n ε = vektor galat pengukuran dari y berukuran p x 1 δ = vektor galat pengukuran dari x berukuran q x 1 2.7. Analisis Sistem dan Permodelan Dalam menghadapi masalah yang kompleks, banyak faktor harus pertimbangkan dalam usaha memenuhi kelengkapan interaksi dan analisis multidisiplin hubungan sebab akibat.
Suatu sistem adalah kumpulan dari
komponen-komponen fisik yang saling berinteraksi dan ditunjukkan oleh adanya unit fungsi dan batas yang jelas (Muhammadi et al. 2001).
Dalam terminologi
ini, suatu sistem dapat didefinisikan sebagai kumpulan dari bahan-bahan yang saling berinteraksi dan berproses secara bersama-sama dalam bentuk suatu fungsi. Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan.
Sistem adalah setiap fenomena
struktural maupun fungsional yang memiliki paling sedikit dua komponen yang 29
bersaling berinteraksi (Eriyatno, 2003). Analisis sistem dapat didefinisikan secara langsung sebagai aplikasi metode ilmiah untuk menyelesaikan masalah dari suatu sistem yang kompleks. Dalam tataran ini Suratmo (2002) mendefinisikan sistem analisis adalah kajian untuk memahami ciri, prilaku atau cara kerja dari interaksi fungsional antar berbagai komponen yang ada di alam. Untuk menyederhanakan interaksi antar komponen lingkungan yang begitu kompleks maka perlu disusun suatu model. Model adalah abstraksi dari suatu realitas yang menggambarkan bentuk interaksi dan perilaku dari unsur-unsur penting terhadap suatu masalah atau obyek yang dikaji (Grant et al. 1997). Analisis sistem adalah suatu studi tentang suatu sistem atau sifat-sifat umum dari suatu sistem. Oleh sebab itu, analisis suatu persoalan seyogyanya memiliki karakteristik sebagai berikut:
(1) Kompleks, menunjukkan adanya
interaksi elemen yang cukup rumit, (2) Dinamis, unsur-unsurnya berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3) Probabilistik, yaitu perlu fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 2003).
Sementara menurut Jakeman et al. (1993) bahwa analisis suatu sistem
harus dapat menggambarkan: (1) kompleksitas sistem dan unsur-unsurnya, (2) aproksimasi perilaku komponen sistem menurut waktu, (3) kapasitas prediksi model menyelesaikan suatu persoalan. Aplikasi dari analisis sistem dalam menyelesaikan masalah pengelolaan ekologi dan sumberdaya alam harus mencakup 4 tahapan fundamental yaitu: (1) formulasi model konseptual, (2) spesifikasi model kuantitatif, (3) evolusi model dan (4) penggunaan model. Selanjutnya menurut Grant et al. (1997) secara umum ada enam proses yang penting diperhatikan dalam menyusun suatu model konseptual terhadap suatu masalah, yaitu: (1) menetapkan tujuan model, (2) batas sistem yang dikaji harus jelas, (3) kategori unsur-unsur dalam sistem yang dianalisis, (4) identifikasi hubungan antar unsur komponen, (5) menggambarkan model konseptual, (6) menjelaskan pola yang diharapkan dari prilaku model. Kategori komponen dalam suatu sistem ada tujuh yaitu: (1) parameter keadaan (state variable), (2) parameter pembangkit (driving variable), (3) konstanta (constan), (4) auxiliary variable, (5) transfer material (material transfer), (6) transfer informasi (information transfer),
30
dan (7) sumber dan penggunaan (source and sink). 2.8. Hasil Penelitian Terdahulu Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya hutan kayu dan non kayu maupun yang sifatnya non-use value dapat dinilai ekonomi totalnya dengan menggunakan berbagai pendekatan penilaian ekonomi. Menurut Pearce dan Moran (1994), penilaian manfaat langsung menurut harga pasar atau produktivitas terhadap sumberdaya hutan seperti nilai kayu, buah dan lateks yaitu sekitar US$ 6.280/ha atau Rp 13.627.600/ha (IDR= Rp 2.170). Peneliti lain sebagaimana dikemukakan dalam Pearce dan Moran (1994), antara lain Watson (1988) menduga produksi hutan di Malaysia sebesar US$ 2.445/ha atau Rp. 4.136.940/ha (IDR= Rp. 1.629) dibanding US$ 217/ha (Rp 367.164/ha) untuk pertanian intensif. Kramer et.al (1993) menduga nilai kayu bakar kebutuhan rumah tangga sekitar Taman Nasional Mantadia di Madagaskar sebesar US$ 39/tahun atau Rp. 81.744/thn (IDR= Rp 2.096). Gutierrez dan Pearce (1992), menduga nilai ekonomi hutan Amazone Brasil dengan pendekatan willingess to pay sebesar US$ 199/tahun atau Rp. 405.363/tahun (IDR= Rp 2.037), total nilai ekonomi US$ 91 billion (Rp. 185 trilyun) dengan nilai guna langsung US$ 15 milyar ( Rp. 30 trilyun), kegunaan tidak langsung US$ 46 milyar (Rp. 93 trilyun) dan nilai keberadaan sebesar US$ 30 milyar (Rp. 61 trilyun). Hasil penelitian lain yang dikemukakan dalam Pearce dan Moran (1994) yaitu penilaian total ekonomi hutan di Meksiko dengan luas 51,5 juta hektar (Pearce et al., 1993) terdiri atas nilai manfaat untuk wisata US$ 31,2 juta atau Rp. 67 milyar (IDR= Rp. 2.096), nilai karbon (C) sebesar US$ 3.788,3 juta (Rp. 7,9 trilyun), perlindungan daerah aliran sungai (DAS) US$ 2,3 juta (Rp. 4,8 milyar), nilai pilihan US$ 331,7 juta (Rp. 695 milyar) dan nilai eksistensi US$ 60,2 juta (Rp. 126 milyar). Sementara Ruitenbeek (1989) dengan pendekatan net present value (NPV) menduga nilai manfaat hutan Korup di Kamerun yaitu perlindungan banjir US$ 23/ha atau Rp. 39.606/ha (IDR= Rp. 1.722), pengendali erosi US$ 8/ha (Rp. 13.776/ha), tanaman obat US$ 7/ha (Rp. 12.054) dan untuk wisata US$ 19/ha (Rp. 32.718/ha).
Pearce (1990) dan Schneider (1992), menduga nilai
karbon hutan tropis antara US$ 1.300 sampai US$ 5.700/ha/tahun atau sekitar Rp. 2,4 juta/thn sampai Rp. 10,5 juta/thn. 31
Menurut Swanson (1996), proyeksi pendugaan kehilangan biodiversitas dari beberapa hasil penelitian adalah sangat besar, yang ditunjukkan bahwa pada tingkat tertentu kehilangan hutan sebesar 5% sampai 9% akan menyebabkan kehilangan biodiversitas sebesar 15% sampai 50%. Demikian pula dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pendugaan nilai sumberdaya non kayu juga bernilai tinggi sebagaimana dikemukakan oleh McNeely (1992) bahwa pada tahun 1990 nilai produk non kayu dari hutan di Indonesia sebagai sumber devisa yaitu US$ 200 juta atau Rp. 369 milyar (IDR= Rp. 1.849). Sebagai pembanding antara nilai sumberdaya kayu dan non kayu, Myers (1988) dalam McNeely (1992) menyimpulkan bahwa sebuah kawasan hutan seluas 500 km2 di Brazil dan pengelolaannya efektif dapat menghasilkan tanaman pangan dan tanaman obat dengan nilai sedikitnya US$ 10 juta/thn (Rp. 16,9 milyar/thn) atau kurang lebih US$ 200/ha (Rp. 338.400/ha), sedang pembukaan hutan untuk kegiatan komersial nilainya hanya US$ 150 perhektar (Rp. 253.800/ha) dengan nilai IDR = Rp. 1.692 (tahun 1998).
Hasil penelitian
menggunakan pendekatan penilaian atas dasar penggunaan produktif dari sumberdaya hutan. Namun, tidak dijelaskan secara rinci metode perhitungannya. Sementara hasil studi yang dilakukan oleh Kramer dan Mercer (1997) dengan menggunakan contingent valuation method di Amerika Serikat terhadap perlindungan hutan hujan tropik, hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata responden bersedia membayar US$ 21 - US$ 31 per rumah tangga atau sekitar Rp. 62.055 - Rp. 91.605 (IDR=Rp. 2.955) untuk melindungi 5% hutan hujan tropik. Hasil penelitian penilaian ekonomi total hutan produksi di Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan IPB (1999) menunjukkan bahwa nilai total hutan produksi pada lahan kering Rp. 49 juta/ha/thn dan di lahan basah Rp. 79 juta/ha/thn. Pada lahan kering, nilai guna langsung Rp. 2,21 juta/ha/thn, nilai guna tidak langsung Rp. 11,21 juta/ha/thn, nilai pilihan Rp. 1.631/ha/thn, dan nilai keberadaan Rp. 35,7 juta/ha/thn.
Sementara untuk lahan basah, nilai guna
langsung Rp. 1,18 juta/ha/thn, nilai guna tidak langsung Rp. 40,7 juta/ha/thn, nilai pilihan Rp. 1.681/ha/thn, dan nilai keberadaan Rp. 37,8 juta/ha/thn. Penelitian secara makro nilai kerugian ekonomi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997/1998 dengan perkiraan luas kebakaran 5 juta hektar
32
yang dilakukan oleh EEPSEA bekerjasama dengan WWF Indonesia diperkirakan sebesar US$ 4.469,5 juta atau sekitar Rp. 11 trilyun (IDR=Rp. 2500), meliputi kerugian yang dialami oleh
Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Thailand.
Metode perhitungan yang digunakan antara lain: pendekatan produksi, nilai pasar, biaya kerusakan tanaman, pendapatan yang hilang, dose respons, biaya pengobatan akibat penduduk sakit dan transfer benefit. Dari hasil penelitian ini diketahui pula besarnya kerugian ekonomi Indonesia sehubungan dengan kebakaran dan asap yang dialami pada periode Agustus – Desember 1997 sebesar US$ 3.799,9 juta (85%) atau sekitar Rp. 9,4 trilyun. Sedang negara lain sebesar 669.6 juta dollar (15%) atau setara dengan Rp. 1,6 trilyun. Nilai kerugian dirinci menurut dampak kebakaran hutan dan lahan sebesar US$ 3073.4 juta (Rp. 7,6 trilyun) serta dampak asap kebakaran sebesar US$ 1.396,1 juta (Rp. 3,4 trilyun). Bentuk kerugian kebakaran hutan meliputi nilai: kayu US$ 493,7 juta (Rp. 1,2 trilyun), pertanian US$ 470,4 juta (Rp. 1,1 trilyun), manfaat langsung hutan US$ 705 juta (Rp. 1,8 trilyun), manfaat hutan tidak langsung US$ 1.077,1 (Rp. 2,6 trilyun), biodiversity US$ 30 juta (Rp. 75 milyar), biaya pemadaman api US$ 25,1 juta (Rp. 62 milyar), dan pelepasan Carbon US$ 272,1 juta (Rp. 680 milyar). Kerugian yang berhubungan dengan adanya asap kebakaran hutan dan lahan, terdiri atas: menurunnya kesehatan dalam jangka pendek US$ 940,8 juta (Rp. 2,7 trilyun), kerugian dari sektor wisata US$ 256,2 juta (Rp. 757 milyar), dan kerugian lainnya US$ 199,1 juta (Rp. 588 milyar). Sementara perhitungan kerugian nasional akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 yang dilakukan oleh UNDP dan KLH (1998) dengan menggunakan luas kebakaran 383.870 ha, kerugian Rp. 5,96 trilyun atau rata-rata Rp. 15,55 juta/ha, terdiri atas kerugian perkebunan dan tanaman pangan, kehutanan, biaya kesehatan, transmigrasi, transportasi, pariwisata, dan biaya pemadaman. Kerugian terbesar hilangnya fungsi perosot karbon Rp. 2,03 trilyun. Secara umum metode penilaian yang digunakan ada tiga jenis pendekatan penilaian yaitu: pendekatan pasar atau produktivitas, biaya kerugian dan transfer benefit dari hasil perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) dan perhitungan EEPSEA dan WWF (1998).
33