II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ruang Lingkup Kebakaran Hutan Brown dan Davis (1973) mengemukakan bahwa kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak tertahan dan terjadi dengan tidak disengaja atau tidak direncanakan pada areal tertentu yang menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan seperti serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, tunggul dan pohon-pohon yang masih hidup. Selanjutnya konsep kebakaran hutan dikenal dengan segitiga api (Fire Triangle) yang terdiri dari bahan bakar, sumber panas dan oksigen. Syaufina (2008) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai kejadian dimana api melahap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas tidak terkendali sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan. Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan (Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan/ Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan). Pengendalian kebakaran hutan adalah semua usaha, pencegahan, pemadaman, pengananan pasca kebakaran hutan dan penyelamatan. (Pasal 1 Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan). Kegiatan Pengendalian Kebakaran meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran. (Pasal 20 ayat 1 PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan). Titik Panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya. (Pasal 1 Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan) Hotspot dapat dideteksi dengan teknologi Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang dimiliki oleh satelit NOAA. Sensor AVHRR akan melakukan pengambilan data setiap hari pada luasan piksel terkecil 1km2 dengan suhu tertentu yang telah ditetapkan (Albar, 2009).
8
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Indonesia Aktivitas Manusia Suratmo (2003) mengemukakan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera hampir seluruhnya dipengaruhi faktor manusia, baik akibat kelalaian maupun kesengajaan. Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terdiri dari dua faktor yaitu faktor alam antara lain petir, letusan gunung berapi atau potensi batu bara yang terbakar berupa dan faktor manusia baik yang sengaja maupun tidak sengaja. Menurut penelitan hampir 100% kebakaran hutan dan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor kesengajaan manusia akibat adanya kegiatan pembukaan lahan (Syaufina, 2008) Menurut Asian Development Bank tahun 1997/1998, kebakaran hutan disebabkan oleh 99% perbuatan manusia dan 1 % faktor alam. Yang disebabkan perbuatan manusia dapat dikelompokan sebagai berikut : puntung rokok 35%, kecerobohan 25%, konversi lahan 13%, perladangan 10%, pertanian 7%, kecemburuan sosial 6%, kegiatan transmigrasi 13% (Sumantri, 2007) Pada beberapa daerah masyarakat sengaja membakar hutan untuk memperluas lahan garapan dengan cara membakar. Menurut Anderson, et. al (1999), pembakaran hutan yang dilakukan oleh petani lebih dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi yang sangat erat dengan konsep penguasaan lahan oleh masyarakat dimana pemilikan lahan sangat kecil atau tidak memiliki lahan akan membuka lahan baru atau bekerjasama dengan pendatang atau koperasi. Young and Ronald (1990) mengemukakan bahwa kebakaran hutan akan semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah pendatang baru, dan peladang ini akan membuka hutan secara cepat dengan melakukan pembakaran hutan. Selain itu membakar lahan juga dianggap dapat meningkatkan kesuburan tanah, walaupun sebenarnya hanya bersifat sementara saja dan malah merusak tanah itu sendiri. Menurut Hardjanto (1998), pembakaran yang dilakukan oleh petani dilakukan dengan tujuan menambah kesuburan tanah dan setiap keluarga hanya mampu membakar + 1 ha/tahun. Keterkaitan masyarakat dengan hutan telah berlangsung lama, karena hutan banyak memberikan manfaat bagi kehidupan. Menurut Yuadji (1981)
9
Faktor sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap kemampuan daya dukung lingkungan suatu kawasan. Semakin tinggi jumlah penduduk di suatu daerah, maka gangguan kerusakan hutan akan semakin tinggi. Faktor pendorong terjadinya kebakaran hutan di Riau adalah pertambahan jumlah penduduk yang cukup tinggi, lapangan kerja, dan kesempatan kerja yang terbatas, kurangnya pembinaan terhadap masayarakat di sekitar hutan dan tidak adanya sanksi adat yang diberikan kepada masyarakat di sekitar hutan (Mangandar, 2000) Pembukaan lahan dengan cara membakar juga dianggap lebih murah cepat dan efisien. Menurut KLH (1998) biaya pembukaan lahan hutan dengan cara membakar hanya memerlukan seperempat dari biaya pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) artinya tidak ada insentif ekonomi bagi perusahaan untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar. Pembukaan lahan dengan pembakaran hanya memerlukan waktu 28 HOK (Hari Orang Kerja), sementara PLTB secara mekanis untuk hutan primer membutuhkan 80 HOK dtambah 12 jam kerja traktor dan 53 HOK ditambah 10 jam kerja traktor bagi hutan sekunder. Faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia yang dipengaruhi jarak dari kota, penggunaan lahan, dan faktor biofisik ynag dipengaruhi oleh tutupan lahan (Kayoman, 2008)
Faktor Lingkungan Biofisik Terdapat tiga tipe bahan bakar yaitu 1. bahan bakar bawah terdiri atas duff, akar, gambut; 2. Bahan bakar permukaan yaitu serasah, ranting, kulit kayu dan cabang pohon yang belum terurai, rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai; 3. Bahan bakar tajuk yaitu bahan bakar hidup maupun yang sudah mati yang menutui kanopi dan menyebar setinggi 1,2 meter dari tanah (Brown dan Davis, 1973) Unsur-unsur yang mempengaruhi perilaku api yaitu bahan bakar, iklim/cuaca dan Topografi. Bahan bakar menentukan ketersediaan energi maksimum, sususnannya menentukan aerasi dan penjalaran api, distribusi dan ukuran mempengaruhi kemudahan nyala, serta ada tifdaknya kandungan kimia yang memepercepat nyala api. Iklim/Cuaca menentukan jumalah bahan bakar
10
yang tersedia, kerasnya musim kebakaran, mengatur kadar air dan flamibilitas bahan bakar mati dan mempengaruhi proses penyalaan (Syaufina, 2008). Terdapat 4 faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku api yaitu cuaca, bahan bakaran, topografi dan waktu. Faktor cuaca antara lain suhu yang tinggi, kecepatan angin yang tinggi, kelembaban relatif yang rendah dan curah hujan. Curah hujan yang tinggi namun pendek tidak akan meningkatkan kelembaban bahan bakar, sedangkan curah hujan rendah dalam waktu panjang akan menyerap air lebih banyak.. Faktor topografi antara lain kemiringan lereng, bentang alam dan Aspek. Semakin curam lereng semakin cepat api akan menjalar karena nyala api lebih dekat dengan bahan bakar, aliran angin biasanya menuju puncak, udara yang terpananskan akan menambah kecepatan angin dan bara api akan jatuh ke bawah sehingga menimpa bahan bakar baru. Bentang alam berpengaruh terhadap pola angin setempat yang dapat menjadi penghalang dan merubah aliran udara yang akan menyebabkan turbulensi. Aspek adalah arah menghadapnya lereng terhadap penyinaran matahari. Biasanya lereng yang pertama kali mendapat penyinaran matahari akan mempengaruhi cuaca setempat seperti suhu, kelembaban dan arah angin. Bahan bakaran dipengaruhi oleh kadar air, ukuran, susunan, volume dan kandungan resin. Semakin rendah kelembaban suatu bahan bakar semakin cepat api akan menjalar. Semakin kecil ukuran bahan bakar semakin cepat terbakar. Susunan bahan bakar terkait dengan pola kesinambungan bahan bakar apakah ada penghambat penjalaran api. Volume terkait dengan kuantitas kebakaraan, semakin banyak bahan bakar terbakar maka semakin tinggi intensitasnya. Bahan bakar yang mengandung resin akan mempercepat proses penyalaan dan keawetan untuk menyala. Terkait dengan waktu, periode kritis terjadinya kebakaran adalah Pukul 10.00 sampai 18.00, setelah jam 10 penyinaran matahari menyebabkan temperatur meningkat sehingga kelembaban turun dan kecepatan angin meningkat sehingga menyebabkan kadar air bahan akar menurun. (Sumantri, 2007) Faktor biofisik yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan di Sub DAS Kapuas Tengah Kalimantan Barat adalah vegetasi halus seperti rumput,
11
alang-alang, semak yang biasanya memiliki kerapatan vegetasi sedang (Arianti, 2006). Sementara Samsuri (2008) mengemukakan bahwa faktor-faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah tipe sistem lahan, tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan.
2.3. Kebijakan dan Ruang Lingkup Pengendalian Kebakaran Hutan Kebijakan publik atau disebut juga kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guidelines), rencana (plan), peta (map) dan strategi yang dirancang untuk menerjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial (social welfare) (Suharto, 2008). Salah satu kebijakan Pemerintah Indonesia adalah mengenai pengendalian kebakaran hutan. Dalam rangkaian kebijakan tersebut ada beberapa peraturan perundangan yang terkait diantaranya adalah UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Menurut Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 47 huruf (a) perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit. Di dalam PP No. 4 tahun 2001
dinyatakan setiap orang dilarang
melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan dan pada Pasal 12 dinyatakan bahwa Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Untuk mengendalikan terjadinya kebakaran hutan, maka Pemerintah cq Kementerian Kehutanan menetapkan kategori daerah rawan kebakaran hutan di Indonesia berdasarkan jumlah hotspot dan peta rencana pembukaan wilayah
12
perkebunan, pertanian dan pertambangan. Kategori daerah kerawanan tersebut yaitu kategori rawan I, rawan II dan rawan III. Tindak lanjutnya pada daerah yang masuk kategori rawan I dibentuklah Brigdalkarhut-Manggala Agni, melalui Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 21/KPTS/DJ-1V/2002 tentang Pedoman Brigdalkarhut di Indonesia dan No. 22/KPTS/DJ-IV/2002 tentang Brigdalkarhut di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang secara riil di lapangan terwujud pada tahun 2003 yang selanjutnya disebut Daerah Operasi (DAOPS). Kemudian berdasarkan keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor No. SK. 113/IV-PKH/2005 tanggal 11 November 2005 dibentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Manggala Agni) di Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi pemantauan hotspot semakin intensif.
Menurut Albar (2009), Kementerian Kehutanan memiliki
stasiun penerima data hotspot dari satelit NOAA yang berbasis Sistem Informasi Geografis. Pemantauan ini dilakukan secara harian dan datanya dikirimkan kepada seluruh UPT Kementerian Kehutanan di seluruh Indonesia.
Namun
hotspot ini hanya bersifat early warning bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak menggambarkan kejadian kebakaran hutan yang sesungguhnya karena hotspot itu sendiri tidak semuanya yang merupakan titik api yang sebenarnya, hotspot hanya merupakan titik panas, bisa berasal dari kebakaran hutan, pembakaran skala besar, pantulan panas dari seng dan sebagainya. Selain Kementerian Kehutanan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga memiliki sistem pemantauan kebakaran, namun dengan ambang batas (treshold) suhu yang berbeda. Selanjutnya hal ini menjadi dasar utama penetapan daerah rawan kebakaran hutan. Daerah dengan kategori rawan I artinya frekuensi kebakaran lahan atau hutan sangat sering terjadi yang diamati dari data jumlah hotspot yang terpantau pada tahun-tahun sebelumnya (1997-2001) baik dari stasiun penerima Departemen Kehutanan, LAPAN, maupun ASEAN Specialized Meteorological Center (ASMC) Singapura.
Selain itu penetapan daerah rawan ini juga
13
berdasarkan
rencana
pembukaan
wilayah
perkebunan,
pertanian
dan
pertambangan (Sukrismanto, 2009).
2.4. Wewenang dan
Kewajiban
Pemerintah
Pusat Terkait dengan
Pengendalian Kebakaran Hutan Dalam Undang Undang (UU) No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 48 ayat 1 Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Pada ayat 2 dijelaskan bahwa perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh Pemerintah. Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 tahun 2001
tentang Pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan khususnya pasal 16 menyatakan bahwa Pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib memperhatikan: a.
Kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan sebagai bagian dari pendayagunaan sumberdaya alam;
b.
Kesesuaian dengan tata ruang daerah;
c.
Kendapat masyarakat dan kepala adat; dan
d.
Pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang. Pada pasal 23 PP No. 4 tahun 2001 tersebut dinyatakan Menteri yang
bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan lintas propinsi dan atau lintas batas negara. Selanjutnya pada pasal 24 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan : a.
Penyediaan sarana pemadam kebakaran hutan dan atau lahan;
b.
Pengembangan sumber daya manusia untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan;
c.
Pelaksanaan kerja sama internasional untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan. Pada pasal 25 disebutkan dalam rangka pengendalian kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau
14
lahan, instansi yang bertanggung jawab mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Selanjutnya pada pasal 26 disebutkan bahwa kepala instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi pada lintas propinsi dan atau lintas batas negara. Selain itu pada pasal 34 ayat (3) Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas propinsi dan atau lintas batas negara. Pada pasal 36 dinyatakan bahwa Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, dalam hal tertentu dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 14.
2.5. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pengendalian Kebakaran Hutan Wewenang dan kewajiban Pemerintah daerah secara jelas diuraikan dalam PP No. 4 tahun 2001. Pasal 27 menyatakan bahwa Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota. Selanjutnya, pada Pasal 28 dinyatakan : (1) Dalam hal terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lintas kabupaten/kota, Gubernur wajib melakukan koordinasi penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan lintas kabupaten/kota. (2) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur dapat meminta bantuan kepada Gubernur yang terdekat dan atau Pemerintah Pusat.
15
Lebih jauh lagi, pada pasal 29 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Gubernur dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya. Selanjutnya pada ayat (2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota. Pada pasal 34 ayat (2) dinyatakan bahwa Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas kabupaten/kota. Selanjutnya pada pasal 35 dijelaskan
bahwa
Gubernur/Walikota
melakukan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan penataan persyarat yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Pada Pasal 43 ayat (1) ditegaskan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kebakaran hutan dan atau lahan serta dampaknya. 2.6. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan Pengendalian Kebakaran Hutan Pada PP No. 4 tahun 2001
juga dirinci mengenai wewenang dan
kewajiban Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagai berikut. Pasal 30 menyatakan bahwa Bupati/Walikota bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
16
Secara tegas dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) dinyatakan kewajiban Bupati/Walikota sebagai berikut: (1) Dalam hal terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, maka Bupati/Walikota wajib melakukan tindakan : a.
Penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan;
b.
Pemeriksaan kesehatan masyarakat di wilayahnya yang mengalami dampak kebakaran hutan dan atau lahan melalui sarana pelayanan kesehatan yang telah ada;
c.
Pengukuran dampak;
d.
Pengumuman pada masyarakat tentang pengukuran dampak dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
(2)
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, tidak mengurangi kewajiban setiap orang dan atau setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1). Pada
Pasal
32
Bupati/Walikota
yang
melakukan
penanggulangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, dapat meminta bantuan pada Bupati/Walikota terdekat. Selanjutnya pada pasal 33 dijelaskan bahwa: (1)
Dalam melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan, Bupati/Walikota dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang dibidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
(2)
Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalanm ayat (1) wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Pada Pasal 34 ayat (1) ditegaskan bahwa Bupati/Walikota melakukan
pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
17
2.7. Kewajiban Pelaku Usaha dalam Pengendalian Kebakaran Hutan Kewajiban dan kewenangan dalam pengendalian kebakaran lahan dan hutan, tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata. Masyarakat dan sektor swasta juga berkewajiban mengendalikan kebakaran lahan dan hutan sebagaimana diamanatkan dalam UU 41 tahun 1999 dan PP 4 tahun 2001. Pada pasal 50 ayat (2) UU No. 41 tahun 1999 secara jelas disebutkan bahwa setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Dalam PP No. 4 tahun 2001
pasal 13 dinyatakan bahwa setiap
penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Selanjutnya dalam pasal 14 ayat (1) diuraikan bahwa setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a.
Sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
b.
Alat pencegahan kebakaran hutan, dan atau lahan;
c.
Prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
d. Perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; e.
Pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala.
18
Pada pasal 15 dinyatakan bahwa penananggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi
dengan
data
penginderaan
jauh
dari
satelit
kepada
Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab. Pada
pasal
17
disebutkan
bahwa
setiap
orang
berkewajiban
menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya. Selanjutnya pada pasal 18 ayat (1) dijelaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Pada Pasal 20 Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup. Pasal 21 diuraikan mengenai hal pemulihan lingkungan akibat kebakaran lahan oleh penanggung jawab usaha. Pada ayat (1) dinyatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
2.8. Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat Ada beberapa kebijakan daerah terkait masalah pengendalian kebakaran hutan dan lahan Provinsi Kalimantan Barat yaitu : Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan kebakaran Hutan dan Lahan, Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 164 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah (Pusdalkarhutlada) Provinsi Kalimantan Barat, Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 311 Tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Yustisi Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat, Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 267 Tahun
19
2003 Tentang Pembentukan Tim Action Plan Sterilisasi Kawasan Bandara Supadio dari asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan, Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Pos Tanggap Darurat Penanggulangan Bencana Asap/Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 menjelaskan mengenai usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan, kewajiban bagi masyarakat dan badan usaha untuk bersikap hati-hati dan waspada serta berusaha mencegah dan menghindari kegiatan yang dapat menyebabkan karhutla, kewajiban bagi badan usaha untuk melakukan upaya pencegahna karhutla di areal kerjanya, kewajiban instansi pemerintah, badan usaha dan masyarakat, organisasi beserta tugas dan fungsinya, ketentuan pidana serta ketentuan proses penyidikan. Organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dimaksud pada Perda ini terdiri atas : 1.
Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah Tingkat I, yang selanjutnya disingkat Pusdalkarhutla berkedudukan di kantor Gubernur Kepala Daerah
2.
Pos Komando Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah Tingkat II, yang selanjutnya disingkat Poskolakdalkarhutla berkedudukan di kantor bupati/walikotamadya
3.
Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan Lahan, yang selanjutnya disingkat satlakdalkarhutla berkedudukan di kantor kecamatan.
Selanjutnya pada pasal 18 diatur mengenai ketentuan pidana bagi pelanggaran terhadap Perda ini diancam dengan kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah)
dapat juga
diancam dengan pidana sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam Keputusan Gubernur Propinsi Kalimantan Barat No. 164 Tahun 2002 ini dinyatakan bahwa untuk mewujudkan pelaksanaan pencegahan dan penggulangan kebakaran hutan dan lahan secara terpadu, terarah, terkoordinir, efisien, efektif dan mencapai sasaran dibentuk organisasi Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah (Pusdalkarhutlada) yang berkedudukan di kantor Gubernur Kalimantan Barat. Sedangkan Pos Komando Pelaksana
20
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah (Poskolakdalkarhutlada) berkedudukan di kantor Bupati/Walikota. Selanjutnya Satuan Pelaksanaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Satlakdalkarhutla) berkedudukan di Kantor Kecamatan. Pusdalkarhutlada dibantu oleh Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris yang berkedudukan di kantor Bapedalda Provinsi Kalimantan Barat. Susunan organisasi pos tanggap darurat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Susunan organisasi Pusdakarhutlada (Keputusan Kalimantan Barat No. 164 Tahun 2002)
Gubernur Propinsi
1. 2. 3. 4. 5.
Penanggung jawab Ketua Wk. Ketua I Wk. Ketua II Wk. Ketua III
: : : : :
6. 7.
Sekretaris Penanggung jawab Sektor Kehutanan selaku Ketua Pelaksana Harian pada Areal/Kawasan Hutan Penanggung jawab Sektor Perkebunan Ketua Pelaksana Harian pada Areal/Kawasan Perkebunan Penanggung jawab Sektor Pertanian Ketua Pelaksana Harian pada Areal/Kawasan Pertanian Penanggung jawab Sektor Kehewanan dan Peternakan Ketua Pelaksana Harian pada Areal/Kawasan Peternakan Penanggung jawab Sektor Tenaga Kerja dan kependudukan Penanggung jawab Sektor Energi dan Sumberdaya Mineral Ketua Pelaksana Harian pada Areal/Kawasan pertambangan Penanggung jawab Sektor Kesehatan Ketua Pelaksana Harian bidang kesehatan Anggota-anggota
: :
Gubernur Wakil Gubernur Kapolda Komandan Korem 121 ABW Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kepala Bapedalda Kepala Dinas Kehutanan
:
Kepala Dinas Perkebunan
:
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan
:
Kepala Dinas Kehewanan dan Peternakan
: :
Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Kependudukan Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral
:
Kepala Dianas Kesehatan Prov. Kalimantan Barat
:
-
8.
9.
10.
11. 12.
13.
14.
-
Danlanud Soepadio Pontianak Kepala Badan informasi Daerah Kepala Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Kepala Dinas Kimpraswil Kepala Dinas Sosial Kepala UPT Penaggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Dishut Kepaka BMG Pontianak Kepala Biro Umum Setda
Pusdalkarhutlada mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :
21
1. Menetapkan kebijaksanaan dan langkah yang akan diambil dalam rangka pencegahan dan penggulangan kebakaran hutan dan lahan; 2. Mengkoordinasikan seluruh kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran utan dan lahan secara terpadu di tingkat daerah; 3. Memberikan bimbingan dan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan dan lahan; 4. Melakukan koordinasi dengan satuan kordinasi pelaksana penanggulangan bencana alam dan penaganan pengungsi yang selanjutnya disingkat satkorlak PBP yang telah ada; 5. Melaksanakan dan melaporkan tugas penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di wilayah Provinsi kepada Gubernur Kalimantan Barat yang selanjutnya melaporkan kepada Pemerintah Pusat. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 24 Tahun 2009 berisi tentang penunjukan personil dalam penugasan pada pos tanggap darurat penanggulangan bencana asap/kebakaran hutan dan lahan. Selain itu peraturan ini juga berisi mengenai tugas pos tanggap darurat tersebut yaitu (1) menetapkan langkah dan putusan yang tepat, cepat dan cermat dalam peanggulangan bencana yang terjadi dengan mengedepankan koordinasi, sinkronisasi dan integrasi; (2). pos tanggap darurat yang ditetapkan akan dilengkapi dengan personil pendukung melalui keputusan Kepala Badan Penanggulangan Bencanan Daerah Provinsi Kalimantan Barat, (3) menyampaikan laporan kepada Gubernur Kalimantan Barat. Selanjutnya Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap (Protap) Mobilisasi Sumberdaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat berisi tentang ketentuan yang harus dilaksanakan dalam pengendalian kebakaraan hutan khususnya dalam hal mobilisasi sumberdaya. Pada lampirannya terdapat semua prosedur yang harus dilakukan mulai dari prosedur administrasi, prosedur yang harus dilakukan dalam melakukan mobilisasi sumberdaya dalam rangka pengendalian kebakaran hutan baik prosedur administrasi, mobilisasi sumberdaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan, penanganan pasca kebakaran dan organisasi yang terkait. Protap ini disusun atas kerjasama Pemda dalam hal ini UPT Pengendalian Kebakaran Hutan
22
Dinas Kehutanan Provinsi dan Balai KSDA Kalimantan Barat. Protap ini cukup mengakomodir dan secara rinci memberikan alur proses mobilisasi sumberdaya baik pada kawasan hutan maupun lahan.
2.9. Kaitan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan Kebakaran Hutan SIG merupakan suatu perkembangan teknologi terbaru dalam teknologi SIG analisis, yang menggunakan komputer untuk menggabungkan data yang melimpah mengenai lingkungan alami dengan informasi mengenai distribusi spasial yang digunakan untuk menyimpan, memanipulasi, dan menganalisis, serta menyajikan data dan informasi geografis (Paryono, 1994). Pada dasarnya pendekatan SIG meliputi penyimpangan, penampilan, dan manipulasi tipe data pemetaan yang sifatnya beragam, seperti tipe-tipe vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, dan distribusi spesies. Pendekatan ini dapat menunjukkan korelasi antara elemen-elemen biotik dan abiotik dalam landscape dan dapat membantu perencanaan kawasan yang mencakup fungsi perlindungan dan keanekaragaman hayati. Foto-foto udara dan citra merupakan data tambahan bagi SIG (Primack et al., 1998). Terkait dengan pengendalian kebakaran hutan SIG dapat juga dipakai untuk mengetahui sebaran dan distribusi hotspot di suatu daerah serta analisis daerah bekas kebakaran menggunakan citra satelit. Citra satelit sendiri dapat dipakai untuk berbagai kebutuhan tergantung analisis yang diperlukan. Terkait hal ini Sunuprapto (2000) dalam Thoha (2006) mengemukakan bahwa kombinasi band 543 memiliki keunggulan karena memberikan tampilan yang serupa dengan hasil penglihatan manusia dan memiliki kontras lebih baik pada kombinasi warna alami. Keunggulan lainnya adalah dapat membedakan antara vegetasi hidup dan vegetasi mati (terbakar). Thoha (2006) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan data hotspot antar data Departemen Kehutanan, ASMC dan LAPAN. Jumlah hotspot terbanyak ditemukan pada sumber Departemen Kehutanan. Jumlah tertinggi dari sumber JICA terjadi secara konsisten dari tahun 1999-2004. Sedangkan jumlah hotspot terendah terdapat pada data LAPAN. Akurasi jumlah desa yang terpantau hotspot untuk sumber Departemen Kehutanan, ASMC dan LAPAN masing-masing 47%,
23
60% dan 40%. Akurasi jarak terdekat untuk sumber Departemen Kehutanan, ASMC dan LAPAN masing-masing adalah 1,75 km; 4,46 km dan 3,7 km. Albar (2009) mengemukakan
bahwa perbedaan jumlah hotspot yang
terpantau tersebut diakibatkan penetapan threshold (batas bawah) yang dipakai masing-masing lembaga berbeda. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (Direktorat Pengendalian KebakaranHutan) dan ASMC menggunakan satelit NOAA, namun threshold yang dipakai Direktorat Pengendalian KebakaranHutan sebesar 385o K atau 44,85oC pada siang hari dan 310o K atau 36,85o C pada malam hari sedangkan ASMC 320o K atau 46,85o C pada siang hari dan 314o K atau 40,85o pada malam hari. Sehingga sangat memungkinkan jumlah hotspot yang tercatat oleh Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan jauh lebih banyak daripada jumlah yang dirangkum oleh ASMC. Hal ini disebabkan pantauan hotspot pada Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dimaksudkan sebagai early warning guna tindakan pencegahan.kebakaran hutan. Thoha (2006) mengemukakan bahwa hotspot dapat digunakan sebagai indikator terjadinya kebakaran lahan. Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra Landsat TM, lahan terbakar diidentifikasi dengan dengan karakteristik warna merah muda hingga merah tua untuk kombinasi band 543 dan hijau muda hingga hijau muda tua untuk kombinasi band 453.
2.10. Analisis Kebijakan Publik Analisis kebijakan sosial adalah usaha yang terencana dan sistematis dalam membuat analisis atau asesmen akurat mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan
sosial,
baik
sebelum
maupun
sesudah
kebijakan
tersebut
diimplementasikan (Suharto, 2004) Menurut Dunn 1991 yang dikutip oleh Suharto (2008) Ada tiga model analisis kebijakan publik yaitu model prospektif, model retroprospektif dan model integratif yang diuraikan sebagai berikut : a.
Model Prospektif Model prospektif adalah bentuk analisis kebijakan publik yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan. Model ini disebut juga model prediktif.
24
b.
Model Retroprospektif Model retroprospektif adalah analisis kebijakan publik yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini disebut juga model evaluatif.
c.
Model Integratif Model retprospektif adalah analisis kebijakan publik yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini disebut juga model evaluatif.