RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ......... TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
a. bahwa negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, termasuk kekayaan sumber daya alam, agar dapat memberikan manfaat bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan; b. bahwa negara berkewajiban melindungi segenap bangsa tercakup di dalamnya upaya untuk melindungi hak-hak masyarakat yang terkena atau menjadi korban dari kebakaran hutan dan/atau lahan; c. bahwa praktek penggunaan potensi hutan telah berdampak pada menurunnya kualitas hutan, bahkan berkurangnya areal hutan akibat bahaya kebakaran; d. bahwa sistem pengendalian hutan dan/atau lahan belum dilaksanakan secara komprehensif, terintegrasi, terkoordinatif, sehingga selalu mengalami kegagalan atau tidak memadai dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan/atau lahan di Indonesia; e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan sampai saat ini belum mengatur secara tegas dan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
1
Mengingat
:
Pasal 20 ayat (1), Pasal 22D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HUTAN DAN LAHAN.
PENGENDALIAN KEBAKARAN
BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pengertian Pasal 1 Dalam Undang- Undang ini yang dimaksudkan dengan : 1. Kebakaran Hutan dan/atau lahan adalah kebakaran yang terjadi di alam
liar, hutan, dan/atau lahan, yang dapat juga memusnahkan rumah-rumah atau mendatangkan bahaya bagi keamanan umum, makhluk hidup, atau barang disekitarnya. 2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 3. Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan/atau kegiatan ladang dan/atau kebun bagi masyarakat. 4. Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya kebakaran hutan dan/atau lahan, kegiatan pencegahan kebakaran hutan dan/atau lahan, kegiatan tanggap darurat penghentian kebakaran hutan, dan pemulihan atau rehabilitasi hutan dan/atau lahan. 5. Pengendalian kebakaran hutan dan atau adalah semua usaha, pencegahan, pemadaman, pengananan pasca kebakaran hutan dan atau lahan dan penyelamat.
2
6. Penanganan pasca kebakaran adalah semua usaha, tindakan atau kegiatan yang meliputi inventarisasi, monitoring dan evaluasi serta koordinasi dalam rangka menangani suatu areal setelah terbakar. 7. Kegiatan Pencegahan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman kebakaran hutan dan atau ahan yg berpotensi menimbulkan kebakaran hutan. 8. Pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan adalah semua usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk menghilangkan atau mematikan api yang membakar hutan dan atau lahan . 9. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan atau lahan melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. 10. Peringatan Dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. 11. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko kebakaran hutan, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi kebakaran hutan dan/atau lahan. 12. Tanggap Darurat Kebakaran Hutan dan/atau lahan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian kebakaran hutan dan/atau lahan untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. 13. Pemulihan atau Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan terhadap hutan dan/atau lahan serta semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada kawasan hutan dan/atau lahan, termasuk untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat sebagai dampak dari kebakaran hutan dan/atau lahan. 14. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 15. Izin Pemanfaatan Hutan adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang terdiri dari izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang telah ditentukan. 16. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah 3
yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 17. Kriteria Baku Kerusakan Hutan dan/atau Lahan adalah ukuran perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang ditenggang. 18. Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan.
batas dapat alam, daya,
19. Penanggung Jawab Usaha adalah orang yang bertanggung jawab atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi. 20. Usaha Perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa Perkebunan. 21. Perusahaan Perkebunan adalah badan usaha yang berbadan hukum, didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola Usaha Perkebunan dengan skala tertentu. 22. Usaha Perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa Perkebunan 23. Masyarakat adalah orang termasuk masyarakat adat.
perseorangan,
atau
sekumpulan
orang,
24. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 25. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Repubilk Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 26. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 27. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan atau perkebunan. 28. Instansi yang bertanggungjawab adalah instansi yang bertanggungjawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. 29. Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan dan atau Lahan yang selanjutnya disebut SPBK adalah peringkat yang digunakan untuk mengetahui tingkat resiko terjadinya bahaya kebakaran hutan dan atau, di suatu wilayah dengan memperhitungkan keadaan cuaca, bahan bakaran dan kondisi alam lainnya yang berpengaruh terhadap perilaku api 30. Sarana dan prasarana adalah peralatan dan fasilitas yang digunakan untuk mendukung pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan.
4
31. Patroli adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh semua pihak dalam rangka pencegahan dan atau pemadaman dini kebakaran hutan dan atau lahan 32. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup 33. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 34. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup 35. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 36. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. 37. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 38. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 39. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya 40. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. 41. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. 42. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
5
43. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom 44. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 45. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 46. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 47. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bagian Kedua Asas dan Tujuan Pasal 2 Undang-Undang tentang Pengendalian Kebakaran berdasarkan asas: a. tanggung jawab negara; b. keterbukaan dan pertanggungjawaban; c. penghormatan terhadap kearifan lokal d. partisipasi; e. kesetaraan gender; f. profesionalitas; g. berkeadilan dan berkelanjutan; dan h. desentralisasi. i. Pencegahan j. Kehati-hatian k. Pencemar membayar
Hutan dan atau Lahan
6
Pasal 3 Undang-Undang tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan/atau lahan bertujuan untuk menjamin dan memulihkan kualitas dan potensi hutan, memberikan kepastian hukum dalam pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang menyeluruh, terencana, terpadu, dan terkoordinasi. BAB II LARANGAN MELAKUKAN PEMBAKARAN HUTAN DAN/ATAU LAHAN Pasal 4 Setiap orang dilarang melakukan pembakaran hutan dan/atau lahan. Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan penyalahgunaan dokumen pembukaan hutan dan/atau lahan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Pasal 6 Setiap orang dilarang menghambat pemeriksaan di sidang pengadilan.
penyidikan,
penuntutan,
dan/atau
BAB III PENYELENGGARAAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN/ATAU LAHAN Bagian Kesatu Umum Pasal 7 (1) Penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan meliputi kegiatan: a. Pencegahan sebelum terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan. b. Pemadaman pada saat terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan c. Penanganan pasca setelah terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan. (2) Pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan tingkat nasional dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri. (3) Pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan tingkat provinsi dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab Gubernur.
7
(4) Pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab Bupati/Walikota. (5) Pengendalian kebakaran hutan tingkat pengelolaan dan pemanfaatan menjadi tanggung jawab Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan. (6) Pengendalian kebakaran di unit usaha menjadi tanggungjawab penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan. Bagian Kedua Pencegahan Pasal 8 (1) Setiap orang wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan kebakaran hutan dan/atau lahan melalui penghilangan kesempatan timbulnya kebakaran hutan dan/atau lahan. (3) Penghilangan kesempatan timbulnya kebakaran hutan dan/atau lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui kegiatan : a. pemantapan kawasan hutan dan/atau lahan; b. penjagaan kawasan hutan dan/atau lahan; c. pembangunan infrastruktur penanggulangan bahaya kebakaran hutan; d. patroli; e. peningkatan kapasitas jejaring informasi; f. pemberian fasilitas untuk terbentuknya kelembagaan masyarakat; dan g. pemberdayaan masyarakat agar pembukaan lahan tidak dengan cara membakar. Pasal 9 Pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan dilakukan pada : 1. Tingkat nasional; 2. Tingkat provinsi; 3. Tingkat kabupaten/kota; 4. Tingkat unit pengelolaan dan pemanfaatan hutan 5. Tingkat unit usaha. Pasal 10 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya.
8
Pasal 11 (1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal (10) wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya. (2) Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. Sistem peringatan dini untuk mengestimasi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan beberapa waktu ke depan b. sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan; c. alat pencegahan kebakaran hutan dan/atau lahan; d. prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan; e. perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan; dan f. pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan secara berkala. g. Peralatan tangan, Perlengkapan perorangan, Pompa air dan kelengkapannya, Peralatan telekomunikasi, Pompa bertekanan tinggi, Peralatan mekanis, Peralatan transportasi, Peralatan logistik, medis dan SAR, serta Gedung. Pasal 12 (1) Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal (10) wajib melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya. (2) Penanggung jawab usaha wajib melaporkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada gubernur/ bupati/walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab. Pasal 13 Pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib memperhatikan : a. kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan/atau lahan sebagai bagian dari pendayagunaan sumber daya alam; b. kesesuaian dengan rencana tata ruang; c. pendapat masyarakat dan kepala adat; dan d. pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang.
9
Bagian Ketiga Pemadaman Pasal 14 Setiap orang berkewajiban melakukan tindakan memadamkan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan/atau di lokasi usahanya. Pasal 15 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib segera melakukan penghentian sebagai upaya tanggap darurat dalam upaya pengendalian pada saat terjadi kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya. (2) Upaya tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. mengerahkan semua kekuatan dan peralatan yang diperlukan untuk menghentikan kebakaran hutan dan/atau lahan; b. melakukan pengkajian secara cepat dan tepat mengenai lokasi yang sedang dan akan mengalami kebakaran; c. melaporkan kepada Pemerintah atas peristiwa kebakaran hutan dan/atau lahan; dan/atau d. melibatkan masyarakat dalam upaya penghentian kebakaran hutan. Pasal 16 Pelaksanaan kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan pada masing masing wilayah dilakukan melalui tahapan kegiatan : a. Pemadaman awal; b. Pemadaman lanjutan; c. Pemadaman mandiri; d. Pemadaman gabungan; dan e. Pemadaman dari udara. Pasal 17 (1) Pemadaman awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya kebakaran yang lebih besar saat ditemukan titik api (kejadian kebakaran) oleh regu patroli yang bertugas dan atau yang ditugaskan melakukan pengecekan lapangan terhadap titik panas melalui pemadaman seketika tanpa menunggu perintah dari posko daerah operasi (Daops) setempat. (2) Pemadaman lanjutan dilakukan dalam rangka menindaklanjuti upaya pemadaman yang tidak dapat dipadamkan pada saat pemadaman awal, 10
dengan memobilisasi regu pemadaman kebakaran pada daops setempat dan atau regu dan atau instansi lain yang terkait. (3) Pemadaman mandiri sebagaimana dilakukan dalam rangka pemadaman kebakaran yang dilaksanakan secara mandiri dengan menggunakan personil, sarana prasarana dan dukungan logistik yang berada pada wilayah kerja setempat. (4) Pemadaman gabungan dilakukan dalam rangka pemadaman kebakaran yang dilaksanakan dengan menggunakan personil, sarana prasarana dan dukungan logistik yang berada pada daops setempat dan atau regu dari Daops lain dan atau instansi lain yang terkait. (5) Pemadaman dari udara, dilakukan dalam rangka pemadaman kebakaran baik pada pemadaman awal maupun pemadaman lanjutan dan atau pemadaman dengan menerapkan teknologi modifikasi cuaca oleh tim operasi yang menggunakan pesawat terbang. Pasal 18 (1) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Unit Pengelolaan dan pemegang izin usaha, bertanggung jawab atas pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan kewenangannya. (2) Menteri bertanggung jawab mengkoordinasikan pemadaman kebakaran yang terjadi di dua wilayah provinsi atau lebih. (3) Gubernur bertanggung jawab dan mengkoordinasikan pemadaman kebakaran yang terjadi di dua wilayah atau lebih kabupaten/kota. (4) Bupati/Walikota bertanggung jawab dan mengkoordinasikan pemadaman kebakaran yang terjadi di wilayahnya. (5) Kepala Kesatuan Pengelolaan dan pemnfaatan bertanggung jawab terhadap pemadaman kebakaran hutan di kawasan yang menjadi tanggung jawabnya. (6) Pemegang izin usaha bertanggung jawab terhadap pemadaman di wilayah usahanya Bagian ke empat Penanganan Pasca Kebakaran Pasal 19 Penanganan pasca kebakaran hutan dan atau lahan dilakukan melalui kegiatan : a. Pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket); b. Identifikasi; c. Monitoring dan evaluasi; d. Rehabilitasi; dan e. Penegakan hukum.
11
Pasal 20 Pengumpulan bahan dan keterangan , dilakukan melalui pengecekan lapangan pada areal yang terbakar dengan menggunakan data titik panas yang terpantau, pengumpulan contoh tanah, tumbuhan, dan bukti lainnya di areal yang terbakar. Pasal 21 Identifikasi dilakukan untuk mengetahui penyebab kebakaran, luas kebakaran, tipe vegetasi yang terbakar, pengaruhnya terhadap lingkungan dan ekosistem. Pasal 22 Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau kegiatan pengendalian kebakaran yang telah dilakukan dan perkembangan areal bekas kebakaran. Pasal 23 Rehabilitasi dilakukan dalam rangka merehabilitasi kawasan bekas kebakaran dengan mempertimbangkan rekomendasi dan atau masukan berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari hasil identifikasi. Pasal 24 (1) Penegakan hukum dilakukan dengan pemberian sanksi administrasi dan/atau penerapan sanksi pidana dalam rangka upaya proses penindakan hukum dibidang kebakaran hutan dan/atau lahan dengan pendekatan multidoor. (2) Pemegang Izin Pemanfaatan, pengelolaan dan penanggungjawab usaha bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di wilayah usahanya, melalui: a. tanggung jawab pidana; b. tanggung jawab perdata; c. sanksi administrasi; dan atau d. terkait tindak pidana lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
12
BAB IV KRITERIA BAKU KERUSAKAN HUTAN DAN/ATAU LAHAN Bagian Kesatu Umum Pasal 25 Penilaian terhadap kerusakan hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan/atau lahan didasarkan pada kriteria baku kerusakan hutan dan/atau lahan. Bagian Kedua Kriteria Baku Kerusakan Hutan dan/atau Lahan Nasional Pasal 26 Kriteria baku kerusakan hutan dan/atau lahan dalam Pasal 4 meliputi: a. kriteria baku kerusakan hutan dan/atau lahan nasional; dan b. kriteria baku kerusakan hutan dan/atau lahan daerah. Pasal 27 Kriteria baku kerusakan hutan dan/atau lahan meliputi: a. kriteria umum baku kerusakan hutan dan/atau lahan nasional; dan b. kriteria teknis baku kerusakan hutan dan/atau lahan nasional. Pasal 28 (1) Kriteria umum baku kerusakan hutan dan/atau lahan nasional meliputi: a. kriteria umum baku kerusakan tanah mineral yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan/atau lahan; b. kriteria umum baku kerusakan tanah gambut yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan/atau lahan; c. kriteria umum baku kerusakan flora yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan/atau lahan; dan d. kriteria umum baku kerusakan fauna yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan/atau lahan. (2) Kriteria umum baku kerusakan hutan dan/atau lahan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemeritah.
13
Pasal 29 (1) Kriteria teknis baku kerusakan hutan dan/atau lahan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Huruf b didasarkan pada kriteria baku umum kerusakan hutan dan/atau lahan. (2) Kriteria teknis baku kerusakan hutan dan/atau lahan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 30 Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan hutan dan/atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Ayat ( ) belum ditetapkan, maka berlaku kriteria umum kerusakan hutan dan/atau lahan. Bagian Ketiga Kriteria Baku Kerusakan Hutan dan/atau Lahan Daerah Pasal 31 (1) Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kriteria baku kerusakan hutan dan/atau lahan daerah. (2) Penetapan Kriteria baku kerusakan hutan dan/atau lahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan kriteria teknis baku kerusakan hutan dan/atau lahan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (3) Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan hutan dan/atau lahan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum ditetapkan, maka penetapan kriteria kerusakan hutan dan/atau lahan daerah berdasarkan kriteria umum kerusakan hutan dan/atau lahan nasional. (4) Kriteria baku kerusakan hutan dan/atau lahan daerah ditetapkan dengan ketentuan sama dengan ketentuan kriteria baku kerusakan hutan dan/atau lahan nasional atau lebih spesifik untuk disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi lokal wilayah daerah. Pasal 32 (1) Dalam setiap kawasan tertentu, Pemerintah Daerah membentuk Satuan Tugas Pengendalian Kebakaran Hutan dan/atau lahan Bersama yang selanjutnya disebut Satuan Tugas Pengendalian. (2) Satuan Tugas Pengendalian bertugas melakukan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan.
14
Pasal 33 (2) Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan tugas Satuan Tugas Pengendalian. (3) Setiap penanggung jawab usaha wajib memberikan laporan mengenai keterlibatan dan kegiatannya dalam Satuan Tugas Pengendalian kepada Pemerintah Daerah. Bagian Keempat Pemulihan Kebakaran Hutan dan/atau lahan Pasal 34 Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup. Pasal 35 Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya. Pasal 36 (1) Kegiatan pemulihan dampak kebakaran hutan dan/atau lahan dilaksanakan berdasarkan suatu pedoman pemulihan dampak lingkungan hidup. (2) Pedoman pemulihan dampak lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB V PEMBIAYAAN Pasal 37 (1) Pembiayaan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, penanggung jawab usaha yang beresiko menimbulkan kebakaran hutan dan/atau lahan, dan sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa dana publik dan/atau APBN dan/atau APBD yag digunakan untuk pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan beserta akibat-akibatnya, akan diganti dan/atau dibayarkan oleh 15
penanggungjawab usaha/kegiatan yang beresiko menimbulkan kebakaran hutan dan/atau lahan (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melalui, tetapi tidak terbatas pada: a. Dikeluarkannya perintah kepada penanggungjawaban usaha/kegiatan untuk melakukan pemulihan dan/atau penanggulangan akibat kebakaran hutan dan/atau lahan b. Dikeluarkannya perintah kepada penanggungjawaban usaha/kegiatan untuk melakukan penggantian biaya pemulihan dan/atau penanggulangan akibat kebakaran hutan dan/atau lahan baik yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah, baik disertai atau tidak disertai dengan tamabah denda pemerintah c. Dilakukannya gugatan perdata yang meminta penanggungjawaban usaha/kegiatan untuk melakukan pemulihan dan/atau penanggulangan akibat kebakaran hutan dan/atau lahan, atau untuk membayar sejumlah yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mencegah dan/atau menaggulangi kebakaran hutan/lahan dengan disertai tambahan sejumlah uang tertentu d. Diterapkannya sistem pendanaan dan kompensasi untuk pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang dibayarkan oleh penanggungjawab usaha/kegiatan yang beresiko menimbulkan kebakaran hutan dan/atau lahan sesuai dengan kontribusi mereka terhadap kebakaran hutan dan/atau lahan. BAB VI PERANAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Umum Pasal 38 Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan. Bagian Kedua Tanggung jawab dan Wewenang Pemerintah Pusat Pasal 39 (1) Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan meliputi: a. pengurangan risiko kebakaran hutan dan/atau lahan; 16
b. pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan pada tingkat nasional; c. Pencegahan kebakaran hutan dan/atau lahan pada tingkat nasional, melalui kegiatan : i. Membuat peta kerawanan kebakaran hutan dan atau lahan ; ii. Mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan dan atau lahan; iii. Kemitraan dengan masyarakat; iv. Menyusun standar peralatan pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan ; v. Menyusun program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran hutan; dan dan atau lahan vi. Menyusun pola pelatihan pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan. d. Menetapkan target pengurangan titik api dan/atau titik panas secara nasional untuk periode 3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun, dan 10 (sepuluh) tahun; e. memadukan pengurangan risiko kebakaran hutan dan/atau lahan dengan program pembangunan; f. perlindungan masyarakat dari dampak kebakaran hutan dan/atau lahan; g. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi akibat kebakaran hutan dan/atau lahan secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; h. pemulihan kondisi dari dampak kebakaran hutan dan/atau lahan; i. pengalokasian anggaran pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai; j. pengalokasian anggaran pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan dalam bentuk dana siap pakai; k. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak kebakaran hutan dan/atau lahan; dan l. memberikan pendidikan masyarakat untuk membuka lahan tanpa membakar (2) Dalam rangka pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan pada tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, pemerintah memiliki tugas: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan pada tingkat nasional; b. memimpin dan melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. c. Memimpin dan melakukan koordinasi upaya penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan secara terintegrasi, yang meliputi
17
d. e.
f. g. h. i. j. k. l.
upaya pra kebakaran hutan dan/atau lahan, pada saat tanggap darurat, dan pasca kebakaran hutan dan/atau lahan menyusun pedoman pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan nasional. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang mencakup pencegahan, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara; menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan; menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat; melaporkan penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan kepada Presiden setiap 1 (satu) bulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana; menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan atau bantuan nasional dan internasional; mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundangundangan; melakukan pemanatauan Pasal 40
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan meliputi: a. penetapan kebijakan pengendalian bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional; b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsurunsur kebijakan pengendalian kebakaran hutan; c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah; d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain; e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya kebakaran hutan; f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala nasional; dan h. penetapan kriteria baku kerusakan hutan dan/atau lahan;dan i. Mengembangkan instrumen insentif dan disinsentif yang dapat mendorong pencegahan kebakaran hutan dan/atau lahan dari 18
pemerintah daerah, usaha/kegiatan
masyarakat,
desa,
dan
penanggungjawab
Pasal 41 (1) Pemerintah mendelegasikan tanggung jawab dan wewenangnya dalam penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 kepada Menteri; (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung jawab dan wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Koordinasi Pemerintah Pusat Pasal 42 Dalam melaksanakan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, maka Menteri mengkoordinasikan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan lintas batas provinsi dan lintas batas negara. Pasal 43 Dalam rangka pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan, Menteri bertanggung jawab mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi pemulihan dampak lingkungan hidup yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan/atau lahan. Pasal 44 Menteri mengkoordinasikan penanggulangan dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang terjadi pada lintas batas provinsi dan lintas batas negara dalam rangka kerjasama Internasional. Pasal 45 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan diatur dengan Peraturan Presiden.
19
Bagian Keempat Tanggungjawab dan Wewenang Pemerintah Daerah Pasal 46 Pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan dalam wilayah kewenangannya. Pasal 47 (1) Tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan meliputi: a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena dampak kebakaran hutan dan/atau lahan sesuai dengan standar pelayanan minimum; b. pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan pada tingkat daerah; c. Pencegahan kebakaran hutan dan/atau lahan pada tingkat Provinsi dilakukan melalui kegiatan : i. Pembuatan peta kerawanan kebakaran hutan dan atau lahan provinsi; ii. Pembuatan model penyuluhan; iii. Pelatihan pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan; iv. Pembuatan petunjuk pelaksanaan pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan; v. Pengadaan sarana dan prasarana pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan; vi. Melaksanakan pembinaan; dan vii. Melaksanakan pengawasan. d. Pencegahan kebakaran hutan dan/atau lahan pada tingkat Kabupaten/Kota dilakukan melalui kegiatan : i. Evaluasi lokasi rawan kebakaran hutan dan atau lahan; ii. Penyuluhan; iii. Pembuatan petunjuk teknis pelaksanaan pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan; iv. Pengadaan sarana prasarana pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan; v. Pelaksanaan pembinaan; dan vi. Pengawasan. e. Menetapkan target pengurangan titik api dan/atau titik panas pada tingkat daerah dalam periode 3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun, dan 10 (sepuluh) tahun;
20
f. memimpin dan melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan secara terencana, terpadu, dan menyeluruh di daerah. g. Memimpin dan melakukan koordinasi upaya penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan secara terintegrasi di daerah, yang meliputi upaya pra kebakaran hutan dan/atau lahan, pada saat tanggap darurat, dan pasca kebakaran hutan dan/atau lahan h. menyusun pedoman pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan di daerah. i. perlindungan masyarakat dari dampak kebakaran hutan dan/atau lahan; j. pengurangan risiko kebakaran hutan dan/atau lahan dan pemaduan pengurangan risiko kebakaran hutan dan/atau lahan dengan program pembangunan; dan k. pengalokasian dana pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai. (2) Dalam rangka pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan pada tingkat daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, pemerintah daerah memiliki tugas: a. menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan Badan Pelaksanaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan/atau lahan Nasional terhadap usaha pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang mencakup pencegahan, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara; b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan; c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan kebakaran hutan dan/atau lahan d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan. e. melaksanakan penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan di wilayahnya; f. melaporkan penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan kepada kepala daerah setiap 1 (satu) bulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat; g. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan h. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundangundangan.
21
Pasal 48 Wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan meliputi: a. penetapan kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah; b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan; c. pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan kebakaran hutan dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain; d. pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya kebakaran hutan dan/atau lahan;dan e. Mengembangkan instrumen insentif dan disinsentif yang dapat mendorong pencegahan kebakaran hutan dan/atau lahan dari masyarakat, desa, dan penanggungjawab usaha/kegiatan Pasal 49 Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung jawab dan wewenang Pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 diatur dengan Peraturan Daerah. Bagian Kelima Koordinasi Pemerintahan Provinsi Pasal 50 Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan dalam wilayah kewenangannya. Pasal 51 (1) Gubernur wajib melakukan koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan/ atau lahan lintas kabupaten/kota. (2) Dalam melakukan koordinasi pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur dapat meminta bantuan kepada Pemerintah Pusat. Pasal 52 (1) Dalam melakukan koordinasi pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal , Gubernur dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan di daerahnya.
22
(2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota. Bagian Keenam Koordinasi Pemerintah Kabupaten/Kota Pasal 53 (1) Bupati/Walikota wajib melakukan koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan/ atau lahan di wilayah kewenangannya. (2) Dalam melakukan koordinasi pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota dapat meminta bantuan kepada Bupati/Walikota terdekat, Gubernur, dan Pemerintah Pusat. Pasal 54 (1) Dalam hal terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan, maka Bupati/Walikota wajib melakukan tindakan : a. penghentian kebakaran hutan dan/atau lahan; b. pemeriksaan kesehatan masyarakat di wilayahnya yang mengalami dampak kebakaran hutan dan/atau lahan melalui sarana pelayanan kesehatan yang telah ada; c. pengukuran dampak; dan d. pengumuman pada masyarakat tentang pengukuran dampak dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak mengurangi kewajiban setiap orang dan/atau setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 17. Pasal 55 Dalam melakukan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan, Bupati/Walikota dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan di daerahnya.
23
BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT Bagian Kesatu Umum Pasal 56 (1) Dalam rangka optimalisasi kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan, pemerintah wajib melakukan pemberdayaan masyarakat dan pelibatan peran serta masyarakat pada setiap jenjang pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan. (2) Pemberdayaan masyarakat dan pelibatan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip : a. penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi dan daya yang dimiliki masyarakat; b. memperkuat potensi dan daya yang dimiliki masyarakat; c. melindungi kepentingan masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat guna mencegah persaingan yang tidak sehat; d. merupakan upaya penyadaran, penguatan kapasitas, dan pemberian akses kepada sumber daya; e. mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan; f. Menghormati hak masyarakat untuk berpartisipasi, menyatakan pendapat, dan/atau memberikan persetujuan dalam pengambilan keputusan terkait perumusan kebijakan, pemberian izin, dan pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan. Pasal 57 Peran serta masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan dilakukan melalui: a. menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat tentang pentingnya kelestarian hutan dan dampak negatif pembukaan hutan dan/atau lahan dengan cara membakar; b. memberikan informasi baik lisan maupun tulisan kepada pihak yang berwenang berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan; c. membentuk jaringan dan gerakan pelestari lingkungan hidup; dan d. melakukan kegiatan lain yang bertujuan untuk pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan.
24
Pasal 58 (1) Dalam rangka pelaksanaan peran serta masyarakat gubernur/bupati/walikota wajib: a. memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kebakaran hutan dan/atau lahan serta dampaknya. b. melakukan upaya pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat mengenai pembukaan lahan tanpa membakar. (2) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui media cetak, media elektronik, atau papan pengumuman yang meliputi : a. lokasi dan luasan kebakaran hutan dan/ atau lahan; b. hasil pengukuran dampak; c. bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem; d. dampaknya terhadap kehidupan masyarakat; dan e. langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/ atau lahan. Pasal 59 Dalam hal dampak kebakaran hutan dan/atau lahan melampaui lintas batas provinsi dan/atau lintas batas negara, koordinasi pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal dilakukan oleh Badan Pemerintah yang bertanggung jawab. Pasal 60 (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi dalam rangka ikut serta melakukan upaya pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang meliputi : a. peta daerah rawan kebakaran hutan dan/atau lahan; b. peta peringkat bahaya kebakaran hutan dan/atau lahan; c. dokumen perizinan pengusahaan hutan dan/atau lahan; d. dokumen AMDAL; e. rencana penyiapan/pembukaan hutan dan/atau lahan; f. hasil penginderaan jauh dari satelit; dan/atau g. laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh gubernur/bupati/walikota.
25
Pasal 61 Organisasi atau lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kehutanan, perkebunan, dan/atau lingkungan hidup dapat melakukan pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada masyarakat. Pasal 62 (1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat dan penanggungjawab usaha yang telah berperan serta dalam pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan. (2) Bentuk dan tata cara pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Bagian Kedua Penyuluhan Pasal 63 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan penyuluhan dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan. (2) Dalam memberikan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan unsur masyarakat. (3) Pelaksanaan penyuluhan dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan. Bagian Ketiga Pembatasan terhadap pengecualian larangan membakar hutan dan/atau lahan Pasal 64 (1) Masyarakat yang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar wajib melakukan hal-hal sebagai berikut : a. melaksanakan pengendalian kebakaran didalam areal lahannya termasuk menjaga pengendalian api keluar dengan bebas dari areal lahan sehingga dapat membakar hutan dan kebun yang ada disekitarnya; b. menyediakan sarana pemadam kebakaran dalam jumlah yang memadai sesuai dengan luas dan keadaan areal lahannya; c. segera melaporkan kejadian pembakaran lahan yang menjalar ke hutan. 26
(2) Pembukaan lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII KERJASAMA INTERNASIONAL Pasal 65 (1) Pemerintah dapat melakukan kerjasama internasional dengan negara lain dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan. (2) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk : a. kerjasama bilateral; b. kerjasama regional; atau c. kerjasama multilateral. Pasal 66 (1) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian. (2) Dalam hal belum ada perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka kerjasama dapat dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip hubungan timbal balik (resiprositas). Pasal 67 (1) Kerjasama internasional dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan dapat dilakukan dalam hal : a. pelaksanaan konservasi; b. pelaksanaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan; c. peningkatan forest carbon stock; dan d. pemberdayaan masyarakat. (2) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mengurangi kerusakan hutan akibat kebakaran dan untuk menjaga kelestarian hutan. Pasal 68 (1) Dalam melakukan kerjasama internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Menteri dapat bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Republik Indonesia melakukan kerjasama internasional dengan negara lain, organisasi internasional, dan/atau lembaga keuangan asing, khususnya menyangkut penanganan kebakaran hutan dan/atau lahan.
27
(2) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan konvensi serta kebiasaan internasional yang berlaku secara umum
BAB IX PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu Pengawasan Pasal 69 (1) Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan di daerahnya. (2) Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas kabupaten/kota. (3) Menteri dan/atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas provinsi dan/atau lintas batas negara. Bagian Kedua Sanksi Administratif Pasal 70 (1) Setiap Pemegang Izin Pemanfaatan, pengelolaan dan penanggung jawab usaha yang usahanya menimbulkan kebakaran hutan dan/atau lahan, selain dikenakan sanksi pidana, perdata, dikenakan pula sanksi administrasi berupa : a. Paksaan pemerintah b. Pembayaran uang paksa c. Denda administratif d. pembekuan izin lingkungan dan/atau izin usaha; e. pencabutan izin lingkungan dan/atau izin usaha; f. pencabutan status badan hukum;dan g. pelarangan kepada pengurus untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.
28
(2) Penjatuhan sanksi dilakukan secara berjenjang dan meningkat, sesuai dengan berulang dan meningkatnya pelanggaran beserta akibat pelanggaran. (3) Ketentuan mengenai jenjang, prosedur, nominal, dan jangka waktu sanksi administratif diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 71 Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah jika Menteri menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 72 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana. Pasal 73 Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf d dan huruf e dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan sanksi paksaan pemerintah. Pasal 74 (1) Sanksi Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a berupa: a. penghentian sementara kegiatan produksi; b. pemindahan sarana produksi; c. penutupan lokasi usaha dan/atau kegiatan; d. pembongkaran; e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. (2) Pengenaan sanksi paksaan pemerintah dijatuhkan setelah sebelumnya diberikan teguran tertulis paling banyak 1 (satu) kali. (3) Pengenaan sanksi paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: 29
a. ancaman yang nyata bagi munculnya kebakaran hutan dan/atau lahan;atau b. terdapat potensi munculnya dampak yang lebih besar dan lebih luas jika sanksi paksaan pemerintah tidak segera dijatuhkan. (4) Sanksi paksaan pemerintah dapat dijatuhkan bersama-sama dengan denda administratif. Pasal 75 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai uang paksa atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. (2) Sanksi uang paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan bersama-sama dengan denda administratif. Pasal 76 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan/atau lahan (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. BAB X HAK GUGAT Bagian Kesatu Hak Gugat Pemerintah Pasal 77 (1) Menteri dan/atau pemerintah daerah wajib mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan kebakaran hutan dan/atau lahan. (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan untuk meminta ganti rugi dan tindakan tertentu atas kerugian lingkungan akibat kebakaran hutan dan/atau lahan, serta untuk meminta penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan.
30
Bagian Kedua Hak Gugat Masyarakat Pasal 78 (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat kebakaran hutan dan/atau lahan. (2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Bagian Ketiga Hak Gugat Organisasi Pasal 79 (1) Organisasi berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. (3) Organisasi dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan: a. berbentuk badan hukum; b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, termasuk hutan dan lahan; dan c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun. Bagian Keempat Hak Gugat Warga Negara Pasal 80 (1) Setiap warga negara berhak mengajukan gugatan warga negara terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran kewajiban terkait pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan; (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada permintaan untuk: a. Dihentikannya pelanggaran; b. Dilakukannya tindakan tertentu untuk memulihkan kerugian yang terjadi sebagai akibat dilakukannya pelanggaran;
31
c. Penggantian biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pemulihan dan/atau biaya perkara, termasuk biaya untuk jasa pengacara atau laboratorium. BAB XI GANTI KERUGIAN Pasal 81 (1) Penanggung jawab usaha bertanggung jawab secara mutlak atas kebakaran hutan dan/atau lahan yang terjadi di areal kerjanya, serta atas kerugian yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut. (2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tanggung jawab untuk membayar ganti kerugian, mengganti biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk upaya pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan, melakukan pemulihan dan rehabilitasi lingkungan, atau tindakan lain yang diperintahkan oleh pengadilan. (3) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hakim dapat menetapkan pembayaran paksa atau setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. (4) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat membuktikan bahwa kebakaran hutan dan/atau lahan disebabkan oleh : a. adanya bencana alam atau keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau b. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. (5) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, maka pihak ketiga menjadi pihak yang harus memikul tanggung jawab sebagaimana diatur pada ayat (1). BAB XII PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 82 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pembakaran hutan dan/atau lahan, dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
32
Pasal 83 (1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan dan/atau lahan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. (2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan pembakaran hutan dan/atau lahan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan pembakaran hutan dan/atau lahan; c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang berkaitan dengan pembakaran hutan dan/atau lahan; e. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan pembakaran hutan dan/atau lahan; f. menangkap dan menahan setelah melakukan koordinasi dengan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana; g. membuat dan menandatangani berita acara; h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang berkaitan dengan pembakaran hutan dan/atau lahan; (3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 84 Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pembakaran hutan dan/atau lahan meliputi : a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, c. data, rekaman atau informasi yang dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan d. data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, berupa : 33
1) tulisan, suara, gambar; 2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan (ditambahkan bukti hasil pemantauan satelit atau pemberlakuan pembuktian terbalik) 3) huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Pasal 85 (1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik berhak: a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana pembakaran hutan dan/atau lahan yang sedang diperiksa; b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana pembakaran hutan dan/atau lahan. (2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas izin Ketua Pengadilan Negeri. (3) Ketua Pengadilan Negeri setempat wajib memberikan izin penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah diterimanya permintaan dari Kepala Kepolisian Daerah setempat. (4) Apabila dalam waktu 3 (tiga) hari kerja, izin penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka permintaan dianggap telah disetujui. BAB XIII KETENTUAN PIDANA Bagian Kesatu Tindak Pidana Kebakaran Hutan dan/atau Lahan Pasal 86 Setiap orang yang tindakannya menyebabkan atau sangat mungkin akan menyebabkan kebakaran hutan dan/atau lahan sehingga menyebabkan atau sangat mungkin akan menyebabkan terjadinya pelampauan baku mutu udara ambien atau kriteria baku kerusakan hutan dan/atau lahan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
34
Pasal 87 Setiap orang yang melakukan pembakaran hutan dan/atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) dan/atau pidana denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Pasal 88 Setiap orang yang melakukan penyalahgunaan dokumen pembukaan hutan dan/atau lahan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Pasal 89 Setiap orang yang menghambat penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Pasal 90 Setiap pejabat yang tugas dan tanggung-jawabnya di bidang kehutanan, lahan, atau perkebunan, yang mengetahui terjadinya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, tetapi tidak melakukan tindakan pencegahan sesuai dengan kewenangannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh milyar lima ratus juta rupiah). Pasal 91 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, yang dilakukan oleh pejabat pejabat yang tugas dan tanggung-jawabnya di bidang kehutanan, lahan, atau perkebunan, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
35
Bagian Kedua Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha dan Pemimpin dan/atau Pengurus Badan usaha Pasal 92 (1). Apabila tindak pidana kebakaran hutan/lahan pada Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan untuk, atas nama, dan/atau oleh badan usaha, maka tuntutan dan sanksi pidana ditujukan kepada: a. Badan usaha; dan/atau b. Pemimpin badan usaha dan/atau pengurus badan usaha. (2). Sanksi pidana untuk tindak pidana yang dilakukan untuk, atas nama, dan/atau oleh badan usaha diperberat 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya. (3). Tuntutan dan sanksi pidana yang ditujukan kepada badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan untuk tindak pidana yang: a. Dilakukan oleh seseorang di dalam rangka melaksanakan lingkup kerja atau kewenangannya, dan dimaksudkan salah satunya untuk menguntungkan badan usaha; atau b. Dilakukan oleh salah satu pemimpin dan/atau pengurus badan usaha dalam rangka melaksanakan lingkup kerja atau kewenangannya, dan dimaksudkan salah satunya untuk menguntungkan badan usaha; atau c. Merupakan tindakan dari individu-individu di bawah badan usaha yang secara kolektif merupakan sebuah tindak pidana; atau d. Terjadi karena adanya budaya atau struktur di dalam badan usaha yang mendorong, membantu, menerima, atau memberikan toleransi terhadap terjadinya tindak pidana; atau e. Terjadi karena kegagalan badan usaha menciptakan budaya atau struktur di dalam badan usaha yang mendorong atau mendukung terjadinya pencegahan tindak pidana;atau f. Terjadi karena adanya penerimaan oleh mereka yang memiliki kekuasaan di dalam badan usaha. (4). Tuntutan dan sanksi pidana yang ditujukan kepada pemimpin badan usaha dan/atau pengurus badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan untuk tindak pidana yang: a. Dilakukan oleh atau dengan keterlibatan dari pemimpin badan usaha dan/atau pengurus badan usaha; atau b. Terjadi karena adanya persetujuan, dukungan, perintah, pembiaran, atau penerimaan dari pemimpin badan usaha dan/atau pengurus badan usaha; atau c. Terjadi karena adanya kegagalan pemimpin badan usaha dan/atau pengurus badan usaha untuk melakukan pengawasan terhadap tindakan yang dilakukan untuk, atas nama, atau oleh badan usaha;atau 36
d. Terjadi karena adanya kegagalan pemimpin badan usaha dan/atau pengurus badan usaha untuk mencegah terjadi tindak pidana (5). Kriteria pada ayat (4) dianggap telah terbukti apabila badan usaha telah terbukti melakukan tindak pidana yang dimaksud pada ayat (3), kecuali jika pemimpin badan usaha dan/atau pengurus badan usaha dapat membuktikan: a. Bahwa dirinya tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi tindak pidana yang dilakukan untuk, atas nama, atau oleh badan usaha; atau b. Bahwa dirinya telah melakukan segala upaya yang layak untuk mencegah terjadinya tindak pidana yang dilakukan untuk, atas nama, atau oleh badan usaha. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 93 Semua program kegiatan berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang telah ditetapkan dan berjalan sebelum ditetapkannya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Perundang-undangan. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 94 (1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (2) Peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang ini harus sudah diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya undang-undang ini.
37
Pasal 95 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd ANDI MATALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN.............. NOMOR.........
38
PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN I UMUM Hutan merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia. Hutan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Manfaat sebesar-besarnya dapat dinikmati bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya, karena hutan mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, sosial maupun budaya. Manfaat bagi manusia dapat diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, hutan menyediakan produk yang diperlukan oleh manusia, termasuk dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan papan. Sedangkan secara tidak langsung hutan berfungsi memberikan keseimbangan ekosistem di bumi yang juga memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas hidup manusia di bumi ini. Pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumber daya kehutanan tersebut telah mengakibatkan berkurangnya potensi sumber daya alam kehutanan atau bahkan terjadi deforestrasi. Hutan sebagai penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya. Salah satu penyebabnya adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan dan atau lahan merupakan salah satu penyebab kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik berasal dari lokasi maupun dari luar lokasi usaha dan kegiatan. Kebakaran hutan dan lahan telah menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, baik nasional maupun lintas batas negara, yang mengakibatkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengendalian kebakaran pada saat ini sesungguhnya sudah ada dan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari norma dasar dalam UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah serta Peraturan Perundangundangan pada tingkat Daerah. Beberapa dari regulasi tersebut adalah: 1) Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945; 2) Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
39
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034); 4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437); 8) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556); 9) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3557); 10) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888); 11) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 12) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853); 13) Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4076); 14) Perda Propinsi Kalbar Nomor 06 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kebakaran Hutan dan lahan;
40
15) Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 584 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan PLTB untuk Pembangunan usaha perkebunan di Kalimantan Barat. Secara umum, sistem pengendalian kebakaran hutan pada saat ini sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut di atas, belum mampu mengatasi dan mengurangi kebakaran hutan dan/atau lahan disebabkan oleh beberapa faktor: 1) Pengaturan mengenai pengendalian kebakaran hutan diatur dalam berbagai Undang-Undang, sehingga tidak terintegrasi dengan baik, sehingga tidak mampu menciptakan sistem penanganan kebakaran hutan yang integratif. 2) Pengaturan yang konkrit mengenai penanganan kebakaran hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dari satu Undang-Undang saja, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3) Konsep tentang kebakaran hutan dan/atau lahan yang terdapat dalam berbagai peraturan yang ada belum secara tegas untuk melihat kebakaran hutan dan/atau lahan bukan sebagai suatu bencana alam. 4) Ketentuan mengenai kebakaran hutan dan/atau lahan yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan yang ada belum melihat kebakran hutan dan/atau lahan sebagai hal yang perlu ditangani secara komprehensif dan integratif. 5) Pengaturan dan landasan hukum yang berbeda untuk setiap institusi yang menangani kebakaran hutan dan/atau lahan mengakibatkan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan tidak terkoordinasi dengan baik. 6) Tahap-tahap penanganan kebakaran hutan dan/atau lahan tidak tersusun secara komprehensif sebagai suatu bentuk management penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan yang komprehensif yang mengatur secara tegas mengenai tugas dan tanggung jawab dari pemerintah dan pemerintah daerah. Menyadari berbagai kelemahan di atas, maka dalam rangka mengisi kekosongan hukum yang ada, secara yuridis pembentukan Undang-Undang tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan/atau lahan ini diperlukan berdasarkan pertimbangan atau argumentasi sebagai berikut: 1) Masalah kebakaran hutan dan/atau lahan perlu diatur dalam UndangUndang khusus dengan maksud untuk menggabungkan konsep dan paradigma yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan, yaitu paradigma “penanggulangan bencana” dan “pengelolaan lingkungan hidup”. Sebagaimana diketahui, PP No. 4 Tahun 2001 mengatur mengenai kebakaran hutan dari perspektif lingkungan hidup. Sementara UU No. 24 41
tahun 2007 mengatur mengenai masalah kebakaran hutan dari perspektif bencana. Pengaturan mengenai kebakaran hutan dengan dua paradigma yang berbeda namun saling terkait dalam dua Undang-Undang berbeda berdampak pada kekaburan, bahkan menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan pelaksanaan kegiatan. Hal ini mengakibatkan tidak efektifnya upaya penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan. 2) Untuk memperjelas dan mempertegas kewenangan dan koordinasi, efektivitas penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan ditentukan pula oleh kewenangan dan koordinasi. Pengaturan kebakaran hutan melalui PP No. 4 Tahun 2001 yang merupakan turunan dari UU No. 23 Tahun 1997 menimbulkan pertanyaan, siapa yang menjadi lembaga yang memimpin atau mengkoordinasikan upaya pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan secara nasional. Selanjutnya dengan dibentuknya Undang-Undang NO. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga, apakah pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan menjadi kewenangan Badan Penanggulangan Bencana Nasional. Dampak dari ketidakjelasan pengaturan dan banyaknya institusi yang terkait adalah pelaksanaan koordinasi tidak semudah yang dirumuskan dalam UndangUndang. Oleh karena itu, melalui Undang-Undang ini dinyatakan secara tegas bahwa institusi yang bertanggungjawab atau yang menjadi leading dalam penanganan kebakaran hutan dan/atau lahan adalah institusi yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan dan perkebunan. Dengan pemikiran, semakin spesifik maka semakin efektif dalam penanganannya. 3) Membuat kerangka regulasi yang terfokus, namun komprehensif. 4) Beberapa substansi dalam PP No. 4 Tahun 2001 seharusnya menjadi materi Undang-Undang, karena bersifat mengatur dan mengikat umum, seperti pengaturan mengenai hak dan peran serta masyarakat, masalah ganti kerugian, karena mengatur hak dan kewajiban yang bersifat umum. 5) Menjadi lex specialis di bidang kebakaran hutan dan/atau lahan.
pengendalian
bencana
khususnya
6) Hubungan Undang-Undang ini dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dapat dilihat sebagai lex specialis dan lex generalis. Pentingnya Undang-Undang ini sebagai lex specialis karena rumusan dan ketentuan mengenai penanggulangan bencana dalam UU No. 24 Tahun 2007 sangat luas dan tidak menyebutkan secara jelas mengenai panaggulangan kebakaran hutan. Hal tersebut mengakibatkan rumusan tidak mudah dimengerti atau dapat dimengerti tetapi tidak sempurna, khususnya mengenai bagaimana menerapkan UU No. 24 Tahun 2007 dalam hal penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan. 7) Mengatur mengenai kebijakan pengendalian kebakaran hutan, termasuk mengenai insentif dan disinsentif yang sesuai dengan bidang kehutanan dan lahan.
42
8) Aspek sebab-sebab kebakaran sangat terkait dengan kebiasaan dan pola hidup dan kegiatan usaha. Oleh karena itu, sangat relevan apabila dalam Undang-Undang ini diatur mengenai insentif bagi pihak yang menggunakan cara-cara yang tidak menimbulkan risiko kebakaran. Sebaliknya, akan memberikan disinsentif bagi kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi menimbulkan kebakaran. 9) Mempertegas hak-hak masyarakat dalam penyelenggaraan pengendalian kebakaran hutan. Masalah hutan dan/atau lahan memiliki karakter yang khusus, terutama dalam kaitannya dengan masyarakat sekitar hutan dan/atau lahan, budaya masyarakat setempat, bahkan terkait dengan mata pencaharian masyarakat setempat. Oleh karena itu, pengaturannya haruslah memperhatikan aspek-aspek tersebut. Oleh karena itu, dalam RUU ini perlu dirumuskan dengan tepat mengenai hak-hak masyarakat lokal dalam kaitannnya dengan kebakaran hutan dan lahan ini. II PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Yang dimaksud dengan asas “tanggung jawab negara” adalah negara berkewajiban untuk melakukan penanganan termasuk pencegahan, penghentian dan pemulihan kebakaran hutan dan/atau lahan serta kerugian yang ditimbulkannya; Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan dan pertanggungjawaban “ adalah proses pengambilan keputusan dan implementasi program yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan publik. Yang dimaksud dengan asas “penghormatan terhadap kearifan lokal” adalah penghormatan terhadap nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Yang dimaksud dengan asas “partisipasi” adalah kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan harus membuka ruang partsipasi yang seluas-luasnya kepada rakyat dalam keseluruhan proses pembuatan kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan. Yang dimaksud dengan asas “kesetaraan gender” adalah dalam melihat penderitaan, kerusakan akibat kebakaran hutan dan/atau lahan serta 43
dalam proses rehabilitasi dan recovery serta masa pencegahan, harus melihat secara seimbang antara kepentingan kaum perempuan dengan kepentingan kaum laki-laki; Yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah keterlibatan dalam pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan didasarkan pada keahlian, kompetensi, dan pengalaman yang memadai. Yang dimaksud dengan asas “berkeadilan dan berkelanjutan” adalah upaya pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan merupakan upaya yang sistematis dan terencana yang tidak terpisahkan dari proses dan asas-asas pembangunan nasional, yang memperhatikan kepentingan jangka panjang termasuk kepentingan generasi di masa yang akan datang. Yang dimaksud dengan asas “desentralisasi” adalah menekankan pentingnya peran aparat pemerintah di daerah dalam pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan khususnya dalam hal pengaturan koordinasi antar institusi daerah yang terkait. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Kebakaran hutan dan/atau lahan yang dicegah termasuk kebakaran hutan dan/atau lahan yang terjadi karena faktor alam maupun faktor non-alam (manusia) Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) 44
Huruf a Pemantapan kawasan hutan dimaksudkan untuk mewujudkan kawasan hutan tetap. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Laporan hasil pemantauan yang disampaikan oleh Penanggungjawab Usaha dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Pendapat masyarakat dan kepala adat diperlukan dalam hal lokasi usaha yang akan diberikan izin usaha, berbatasan langsung dengan lahan milik masyarakat. Huruf d Cukup jelas Pasal 14 45
Cukup Jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup Jelas Pasal 28 Cukup jelas
46
Pasal 29 Cukup Jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Satuan Tugas Pengendalian beranggotakan beberapa penanggungjawab usaha di bidang kehutanan atau lahan yang berada dalam suatu kawasan hutan atau lahan. Dalam hal di wilayah kerja Satuan Tugas Pengendalian terdapat satuan tugas pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang dibentuk oleh Pemerintah maka dalam melakukan tugasnya Satuan Tugas Pengendalian bekerja sama dan bekoordinasi dengan satuan tugas pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang dibentuk oleh Pemerintah. Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sumber dana lain” antara lain dana yang berasal dari anggaran atau program corporate social responsibility. Sebagai masalah yang menjadi urusan bersama antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka demikian pula dengan pembiayaannya haruslah menjadi tanggungjawab bersama. Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan sebagai pelaksanaan asas pencemar membayar. Ayat (3) 47
Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) huruf d Target ini dapat ditinjau dan diubah sepanjang dimaksudkan untuk menambah jumlah pengurangan titik api dan/atau titik panas. Target pada tingkat nasional ditetapkan dalam peraturan presiden. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup Jelas Pasal 45 Cukup Jelas Pasal 46 Cukup Jelas Pasal 47 Ayat (1) huruf e Target ini dapat ditinjau dan diubah sepanjang dimaksudkan untuk menambah jumlah pengurangan titik api dan/atau titik panas. Target pada tingkat daerah ditetapkan dalam keputusan kepala daerah. Ayat (2) Cukup Jelas Pasal 48 Cukup Jelas 48
Pasal 49 Cukup Jelas Pasal 50 Cukup Jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup Jelas Pasal 53 Cukup Jelas Pasal 54 Cukup Jelas Pasal 55 Cukup Jelas Pasal 56 Masyarakat yang dimaksud pada BAB ini meliputi pula masyarakat adat, yaitu kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Pasal 57 Cukup Jelas Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan hasil pengukuran dampak adalah antara lain Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU), PM10, jarak pandang, dan baku mutu udara ambien. 49
Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan dampak terhadap kehidupan masyarakat adalah antara lain dampak terhadap kesehatan dan aktivitas masyarakat. Huruf e Yang dimaksud dengan langkah-langkah untuk mengurangi dampak adalah antara lain mengurangi aktivitas masyarakat dan menggunakan masker untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi masyarakat. Pasal 59 Cukup Jelas Pasal 60 Cukup Jelas Pasal 61 Cukup Jelas Pasal 62 Cukup Jelas Pasal 63 Cukup Jelas Pasal 64 Cukup Jelas Pasal 65 Cukup Jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas 50
Huruf c Yang dimaksud dengan forest carbon stock adalah ketersediaan hutan yang lestari, yang merupakan sarana untuk mengurangi efek gas rumah kaca Huruf d Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 68 Cukup Jelas Pasal 69 Secara fungsional masyarakat juga dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan, sebagai bagian penting dari peran serta masyarakat. Pasal 70 Cukup Jelas Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup jelas Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77 Cukup jelas Pasal 78 Cukup jelas Pasal 79 51
Cukup jelas Pasal 80 Cukup jelas Pasal 81 Ayat (1) Kerugian yang dimaksud pada ayat ini tidak hanya terbatas pada kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan/atau lahan di area kerja penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan, tetapi juga termasuk kerugian yang terjadi karena kontribusi kebakaran hutan dan/lahan tersebut. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) huruf a Bencana alam atau keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia haruslah memenuhi keseluruhan syarat berikut: a. Bersifat luar biasa b. Tidak pernah terjadi sebelumnya atau tidak bisa diperkirakan sebelumnya c. Tidak bisa dicegah atau diantisipasi;dan d. Merupakan satu-satunya sebab, dalam arti bahwa keadaan terpaksa ini tidak disertai dengan adanya kontribusi penanggungjawaban usaha/kegiatan atas terjadinya kebakaran Ayat (4) huruf b Tindakan pihak ketiga harus memenuhi keseluruhan syarat berikut: a. Dilakukan orang yang jelas dan nyata b. Dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan kerugian pada penanggungjawab usaha/kegiatan; c. Tidak bisa diperkirakan oleh penanggungjawab usaha atau kegiatan;dan d. Merupakan faktor yang tidak bisa dicegah oleh penanggungjawab usaha/kegiatan Ayat (5) Cukup jelas Pasal 82 Cukup jelas
52
Pasal 83 Cukup jelas Pasal 84 Cukup Jelas Pasal 85 Cukup Jelas Pasal 86 Cukup Jelas Pasal 87 Cukup jelas Pasal 88 Cukup jelas Pasal 89 Cukup jelas Pasal 90 Cukup jelas Pasal 91 Cukup jelas Pasal 92 Cukup jelas Pasal 93 Cukup jelas Pasal 94 Cukup jelas Pasal 95 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ……
53
54