2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat
Hutan rakyat merupakan kegiatan yang sudah berlangsung sejak dahulu sampai sekarang khususnya di daerah pedesaan. Hutan rakyat memiliki ciri yang berbeda di setiap tempat, seperti jenis tanaman yang dipilih untuk ditanam, luas lahan, pola atau sistem penanaman, pola pengelolaan dan tujuan pelaksanaan. Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa pola pemanfaatan dan interaksi masyarakat desa dengan hutan rakyat cukup beragam dan berbeda-beda satu dengan yang lain, tergantung kondisi kesuburan tanah, kultur masyarakat secara umum dan kebijakan lokal yang terkait dengan pembangunan hutan rakyat. Secara umum teridentifikasi bahwa hutan rakyat memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat desa. Proses pengelolaan lahan pertanian menjadi lahan yang lebih intensif berlangsung dari pengalaman petani. Menurut Awang et al. (2007), pada suatu hamparan lahan masyarakat Jawa, ditemukan adanya simbiosis antara tanaman pangan, tanaman pakan ternak dan tanaman pohon-pohonan. Ini merupakan hasil kebudayaan masyarakat yang mampu membentuk ekologi tersendiri. Tanaman keras yang ditanam hanya terfokus pada tanaman tertentu, yaitu pada pohonpohon yang sudah terdomestifikasi (sudah dibudidayakan oleh masyarakat). Pepohonan yang ditanam oleh masyarakat dalam lahan miliknya beraneka ragam. Hutan rakyat yang hasil utamanya kayu, seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), akasia (Acacia sp.), mahoni (Swetenia mahagoni), surian/suren (Toona sureni) dan lain-lain. Hutan rakyat yang hasil utamanya getah, seperti kemenyan (Styrax benzoin) dan damar (Shorea javanica). Sementara yang hasil utamanya berupa buah, antara lain kemiri (Aleurites moluccana), durian (Durio zibethinus), tengkawang (Shorea spp.) dan kelapa (Cocos nucifera). Keberadaan pohon-pohon pada lahan pertanian masyarakat berperan (1) memelihara dan memperbaiki lingkungan fisik dalam rangka melestarikan tanaman pertanian dengan cara memperbaiki asupan nutrisi lahan dan energi, dan (2) melestarikan sumber-sumber ekonomi keluarga. Semua
12 pohon-pohon yang ditanam di lahan milik, memiliki fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya (Awang et al. 2007). Pola pengembangan hutan rakyat di Indonesia dibagi menjadi tiga (Supriadi 2004), yaitu (1) Pola swadaya yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri; (2) Pola subsidi yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya; dan (3) Pola kemitraan yaitu hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Pola hutan rakyat yang akan diteliti adalah pola swadaya yaitu hutan rakyat yang dibangun di atas lahan milik dengan modal dan tenaga kerja sendiri. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah jenis tanaman penghasil buah dan termasuk pada tumbuhan berguna yaitu kemiri. Deptan (2009), menyebutkan bahwa hampir 100% tanaman kemiri yang ada di Indonesia adalah tanaman yang dihasilkan oleh rakyat dalam kebun-kebun rakyat. Hutan rakyat yang dikembangkan secara swakelola masih memiliki banyak kendala dalam pengelolaannya. Hal ini dijelaskan oleh Awang et al. (2007) yang menyebutkan bahwa konsep pengelolaan hutan rakyat sangat sederhana yaitu hanya menanami tanah milik dengan tanaman berkayu dan membiarkannya tumbuh tanpa pengelolaan intensif. Dalam perkembangannya masyarakat mulai melakukan teknik-teknik budidaya, dengan menanam beragam jenis dan beragam lapisan tanaman (multi layer) serta cara pemanenan yang tidak merusak pohon. Namun, perkembangan ini tidak bersamaan dengan peningkatan kapasitas manajerial yang memadai yang berpengaruh terhadap proses pengaturan hasil yang hampir dapat dikatakan tidak ada karena keberadaan hutan rakyat di masyarakat selalu dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan mendadak.Pemenuhan kebutuhan ini membuat petani hutan rakyat sebagai produsen (hasil hutan rakyat) selalu menjadi pihak lemah dalam posisi tawar-menawar harga produk. Beberapa karakteristik hutan rakyat ditinjau dari aspek manajemen hutan, yaitu: (1) Hutan rakyat berada di tanah milik dengan alasan tertentu, seperti lahan kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan dan faktor resiko kegagalan yang kecil; (2) Hutan rakyat tidak
13 mengelompok dan tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan; (3) Pengelolaan hutan rakyat
berbasis
keluarga
yaitu
masing-masing
keluarga
melakukan
pengembangan dan pengaturan secara terpisah; (4) Pemanenan hutan rakyat berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil, yang dapat diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman; (5) Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat; (6) Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri; dan (7) Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan oleh petani hutan rakyat. Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa karakteristik hutan rakyat adalah bersifat individual, berbasis keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten dan hanya sebagai tabungan bagi keluarga pemilik. Karakteristik seperti ini di dalam perkembangannya ke depan dinilai kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri dan tidak dapat menjamin adanya sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutan. Pembangunan kehutanan saat ini semakin memperhatikan pembangunan hutan rakyat (Widiarti dan Mindawati 2007), karena selain sangat strategis dalam pemenuhan kebutuhan kayu dalam negeri, juga sangat menguntungkan ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Jenis tanaman yang dikembangkan untuk program hutan rakyat adalah jenis penghasil kayu, jenis hasil hutan non kayu dan tumbuhan berguna. Pemilihan jenis tanaman untuk hutan rakyat sebaiknya dikembangkan jenis yang site spesifik dengan pertimbangan teknis, ekonomis, ekologis dan sosial/budaya dengan maksud agar usaha tani hutan rakyat menjadi pilihan usaha yang produktif dan lestari. Komposisi jenis pohon mutlak diperlukan sebagai (1) sumber pendapatan, (2) sumber energi, (3) sumber bahan baku industri, (4) sumber bahan organik, (5) upaya memperbaiki iklim mikro, ketersediaan air dan mengurangi erosi.
14 Kondisi hutan rakyat tidak berbeda dengan kondisi hutan yang terdiri atas berbagai jenis pepohonan sebagai tanaman utama, maka peranan hutan rakyat tidak banyak berbeda dalam hal (1) ekonomi karena hutan rakyat memproduksi kayu dan meningkatkan industri kecil sebagai upaya untuk meningkatkan peranan dan jaringan ekonomi rakyat, (2) sosial karena membuka kesempatan kerja, (3) ekologi karena berfungsi untuk mengatur tata air, mencegah bencana banjir, erosi dan memelihara kualitas lingkungan (penyerap CO2 dan penghasil O2), (4) estetika berupa keindahan alam dan (5) sumber ilmu pengetahuan.
2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat 2.2.1 Aspek Sosial Hutan rakyat pada umumnya dilakukan secara individu (perorangan) pada lahan miliknya sehingga cenderung menyebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan dan keragaman pola usaha taninya. Pengembangan hutan rakyat melibatkan banyak pihak, selain petani sebagai pelaku utama juga didukung adanya kelembagaan yang berperan dalam pengembangannya. Beberapa lembaga yang berpengaruh dalam perkembangan hutan rakyat adalah kelompok tani, instansi pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat dan lembaga perekonomian seperti bank, koperasi, pasar, industri, dll (Diniyati et al. 2008). Kelembagaan ini dapat berperan dalam pelaksanaan suatu kegiatan sehingga mampu mendorong masyarakat petani dalam melakukan kegiatan ke arah yang lebih baik dengan mendapatkan hasil yang lebih baik juga. Aspek kelembagaan dapat berupa lembaga pemerintah dan non pemerintah. Dari aspek kelembagaan dapat diketahui sejauhmana pembangunan pedesaan sudah berkembang. Menurut Mosher dalam Soekartawi (2002), ada tiga unsur yang dikategorikan sebagai aspek kelembagaan dalam struktur pedesaan, yaitu adanya pasar, adanya pelayan penyuluh dan adanya lembaga perkreditan. Pasar sebagai tempat jual beli barang dan jasa. Penyuluh berfungsi untuk pengembangan usaha rakyat dengan teknologi baru dan perkreditan berfungsi untuk meningkatkan kemampuan rakyat dalam mengadakan faktor produksi. Perkembangan hutan rakyat di setiap tempat dipengaruhi oleh kebiasaan budaya dan pengetahuan lokal. Suharjito (2000) menyebutkan keberadaan hutan
15 rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikroorganisme, mineral tanah, air, udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan ini berbeda-beda antara kelompok masyarakat. Hasil budaya ini terwujud dalam pola tanam yang bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Hutan rakyat di luar Pulau Jawa berasal dari tanah persekutuan adat yang status haknya telah berubah bentuk menjadi lahan hak garapan, kemudian menjadi tanah dengan status hak milik adat dan selanjutnya diubah menjadi hak milik dengan sertifikat. Jika dalam hak ini ada hutan maka hutan tersebut menjadi hutan rakyat (Djajapertjunda 2003). Kepemilikan lahan (land tenure) merupakan hal yang paling penting dalam pelaksanaan hutan rakyat, karena kepemilikan lahan merupakan jaminan bagi petani untuk menentukan akses dan pengendalian atas tanah dan sumberdaya yang ada di atasnya. Aspek sosial yang dapat dilihat dari kegiatan hutan rakyat secara langsung adalah terbukanya lapangan pekerjaan (Djajapertjunda 2003). Hal ini dapat diketahui bahwa pada saat kegiatan hutan rakyat berkembang, maka industri pengelolaannya juga akan meningkat, dimana kegiatan ini membutuhkan tenaga kerja. Darusman dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat yang dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa. Pada beberapa propinsi, pengembangan budidaya kemiri di daerah pedesaan akan mendorong agribisnis dan agroindustri yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menciptakan lapangan kerja. Deptan (2006b) memperkirakan bahwa pengusahaan kemiri melibatkan sekitar 352.000 KK dan mampu mendorong berkembangnya ekonomi wilayah. 2.2.2 Aspek Ekonomi Sumodiningrat
(1999)
menjelaskan
bahwa
perekonomian
yang
diselenggarakan oleh rakyat adalah usaha ekonomi yang menjadi sumber penghasilan keluarga atau orang per orang, yang dilakukan oleh rakyat yang secara swadaya mengelola sumber daya setempat dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya. Ekonomi rakyat bisa juga didefinisikan sebagai segala kegiatan dan upaya rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasar
16 hidupnya (basic needs) yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Jadi, perekonomian rakyat berarti perekonomian yang berakar pada potensi dan kekuatan masyarakat secara luas dalam menjalankan roda perekonomian mereka sendiri, sehingga ekonomi rakyat adalah ekonomi pribumi (people’s economy is indigenous economy). Ekonomi rakyat biasanya berkembang relatif lambat sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Salah satu upaya untuk meningkatkan perekonomian rakyat adalah dengan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan kelembagaan. Permasalahan dalam pengembangan hasil rakyat adalah kualitas produk yang masih rendah, lemahnya posisi tawar petani dalam perdagangan, informasi harga yang tidak ada, pengaruh harga pasar dan sarana aksesibilitas dalam pengangkutan yang terbatas sehingga yang berperan dalam pemasaran hasil hutan rakyat umumnya adalah tengkulak. Hutan rakyat dikembangkan petani apabila memberikan kenaikan pendapatan. Manfaat ekonomi akan sangat dirasakan oleh petani khususnya pada pola agroforestry karena pendapatan yang diperoleh dapat berkelanjutan dari hasil pertanian dan tanaman kayu-kayuan. Sedangkan pola monokultur hanya memberikan penghasilan jangka panjang dan memenuhi kebutuhan mendesak. Pada berbagai hasil penelitian di beberapa tempat di Pulau Jawa, hutan rakyat berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan perekonomian daerah (Hayono 1996; Romansyah 2007; Dirgantara 2008). Untuk struktur pendapatan petani, pendapatan dari hutan rakyat adalah pendapatan tambahan dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari total pendapatan petani (Hardjanto 2000; Darusman dan Hardjanto 2006). Hardjanto (2001) menyebutkan bahwa pendapatan hutan rakyat pada Sub DAS Cimanuk Hulu berbeda pada zona atas, tengah dan bawah yaitu 31,5%, 5,6% dan 10,2%. Pendapatan masyarakat dibagian atas lebih besar karena hutan rakyat di bagian atas merupakan kegiatan yang menjadi sumber penghasilan andalan bagi masyarakat dan intensitas pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat cukup tinggi, sedangkan pendapatan masyarakat pada bagian tengah dan bawah adalah rendah karena masyarakat kurang mengelola secara intensif, tingkat kesuburan lahan yang rendah dan masyarakat lebih mengharapkan sumber pendapatan dari sektor lain.
17 Untuk pendapatan dari berbagai jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK), Wijayanto (2001) menyebutkan bahwa kontribusi pendapatan petani dari getah damar sebelum krisis ekonomi di Pesisir Krui adalah sebesar 51,37%, pada saat krisis ekonomi sebesar 65% dan setelah krisis ekonomi sebesar 47,37%. Nurrochmat (2001) menyebutkan bahwa pendapatan dari getah kemenyan memberikan kontribusi yang dominan yaitu lebih dari 50% terhadap pendapatan masyarakat, sedangkan menurut Sitompul (2011) sebesar 60,69%. Pendapatan yang cukup besar dari HHBK menunjukkan bahwa HHBK berperan besar menjadi sumber pendapatan andalan masyarakat karena pendapatan dari HHBK seperti getah damar dan getah kemenyan dapat diperoleh hampir setiap tahun, sedangkan pendapatan dari kayu hanya dapat diperoleh pada akhir masa daur tanam atau pada saat usia panen sudah tiba. Pemasaran merupakan aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran ini terjadi karena adanya peranan lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran sangat tergantung pada sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Saluran pamasaran dapat berbentuk sederhana dan kompleks, tergantung dari jenis komoditi, lembaga pemasaran dan sistem pasar. Dalam sistem saluran pemasaran, ada produsen, pedagang pengumpul, pengecer, tengkulak, pedagang besar, eksportir dan konsumen. Semua yang terlibat memiliki peranan dan fungsi berbeda dicirikan oleh aktivitas yang dilakukan dan skala usaha (Soekartawi 2002). Untuk memasarkan hasil produk hutan rakyat, Hardjanto (2000, 2003) menyebutkan bahwa petani hutan rakyat memiliki posisi tawar yang lemah jika dibandingkan dengan para tengkulak, industri kecil dan industri besar. Jumlah petani hutan rakyat yang banyak, memiliki sumberdaya yang terbatas, tidak membentuk usaha bersama dan tidak menguasai pasar maka berdampak pada posisi tawar yang lebih rendah. Sementara itu, para tengkulak dan pihak industri bersifat lebih solid, memiliki perencanaan usaha yang lebih baik, menguasai informasi pasar sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Perbedaan posisi ini menyebabkan pendapatan petani hutan rakyat selalu lebih kecil dan pada gilirannya tidak dapat merangsang petani untuk mengembangkan usahanya.
18 Untuk mengetahui sejauh mana suatu usaha hutan rakyat dapat memberikan keuntungan maka dapat dilakukan analisis yang berbasis finansial. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Kelayakan finansial meliputi struktur penerimaan, biaya dan pendapatan. Untuk menilai kelayakan finansial suatu kegiatan/proyek, ada tiga kriteria yang umum digunakan (Kadariah, Karlina dan Gray 1999; Nurmalina, Sarianti dan Karyadi 2010) yaitu net benefit cost ratio (Net B/C), net present value (NPV) dan internal rate of return (IRR), dengan kriteria suatu usaha tani dikatakan layak jika NPV > 0, BCR > 1 dan IRR > i. BCR diperoleh dengan cara membagi jumlah pendapatan dengan jumlah biaya dari suatu proyek, dengan kriteria kelayakan proyek bila BCR lebih besar dari satu. Dalam menghitung nilai sekarang digunakan faktor diskonto, sedangkan nilai absolut dari rasio pendapatan bervariasi tergantung dari suku bunga yang digunakan. Semakin tinggi suku bunga, maka nilai BCR mungkin akan lebih dari satu. NPV adalah nilai diskonto dari selisih manfaat dan biaya untuk setiap tahun atau aliran keluar masuknya uang yang juga berarti pendapatan bersih. Sedangkan IRR adalah suatu tingkat bunga (discounte rate) yang menunjukkan NPV sama dengan jumlah seluruh biaya investasi proyek. IRR bermanfaat untuk mengukur keuntungan proyek. Cara yang digunakan untuk menentukan tingkat suku bunga yang ideal adalah melakukan percobaan-percobaan dengan interpolasi diantara suku bunga yang lebih rendah (menghasilkan NPV positif) ataupun dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi (menghasilkan NPV negatif). IRR adalah suku bunga yang menyebabkan NPV adalah nol. Usaha dipandang baik dari sudut peminjaman modal bila IRR-nya paling tinggi dan diatas suku bunga yang berlaku.
2.2.3 Aspek Ekologi Penggunaan lahan pada permukaan tanah akan sangat berpengaruh pada kualitas lahan tersebut. Salah satu bentuk kegiatan hutan rakyat adalah model agroforestry. Mahendra (2009), pengaruh penerapan sistem agroforestry terhadap aspek ekologi adalah signifikan. Tanaman pohon-pohon akan memiliki peranan
19 terhadap peningkatan kesuburan tanah, mengurangi laju erosi karena serasah yang ada dipermukaan tanah, terciptanya iklim mikro, membaiknya karakteristik hidrologi, melimpahnya keragaman flora dan fauna tanah dan lain-lain. Secara umum disebutkan bahwa secara ekologi agroforestry terbukti dapat menjaga kelestarian lingkungan. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa Madura (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa fakta tentang peran hutan rakyat terhadap lingkungan terutama dengan ketersediaan sumber air secara lokal. Beberapa fakta menunjukkan bahwa keberadaan hutan rakyat telah memunculkan sumber-sumber air yang menjadi sumber air bersih dan untuk keperluan irigasi, seperti di Dusun Pagersengon Wonogiri, Hutan Bambu di Malang Selatan, Dusun Kedungkeris dan Dusun Sendowo Kidul Gunung Kidul. Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa umumnya masyarakat menanam jenis kayu-kayuan dan buah-buahan pada lahan kering pekarangan dan tegalan, dimana pengembangan lahan kering ini adalah lahan-lahan kurang produktif, kurang subur, dan umumnya kondisi kritis. Dengan hutan rakyat, kegiatan ini dapat memulihkan kesuburan tanah dan produktivitas lahan-lahan kritis dapat pulih sehingga dapat memberikan manfaat pada keseimbangan lingkungan. Haryadi (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat sangat berperan dalam pelestarian lingkungan. Pola hutan rakyat campuran memberikan banyak keuntungan seperti keanekaragaman hayati, habitat satwa liar, mempertahankan kesuburan tanah, menjaga stabilitas suhu tanah dan organisme yang terkandung didalamnya, mengurangi CO2 dan pemanasan global dan penahan erosi.
2.3 Pengelolaan Hutan Lestari Untuk mengembangkan suatu usaha, maka keberlanjutan usaha merupakan hal utama yang harus diperhatikan sehingga dapat memberikan manfaat saat ini maupun untuk masa mendatang. Fauzi (2006) menyatakan bahwa konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana tetapi kompleks, sehingga konsep ini bersifat multi-dimensi dan multi-interpretasi. Dalam tulisannya, Fauzi menyatakan bahwa konsep keberlanjutan yang dipakai adalah konsep yang disepakati oleh Komisi Bruntland yang menyebutkan bahwa “pembangunan
20 berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”. Pembangunan berkelanjutan untuk sumberdaya alam yang terbarukan adalah apabila laju pemanenan harus sama dengan laju regenerasi (produksi lestari). Haris (2000) dalam Fauzi (2006) menyebutkan bahwa konsep keberlanjutan dapat dirinci dalam tiga aspek yaitu (1) keberlanjutan ekonomi yaitu pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. (2) Keberlanjutan lingkungan yaitu sistem yang harus mampu memelihara sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep lingkungan menyangkut keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara dan fungsi ekosistem, di dalamnya tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. (3) Keberlanjutan sosial yaitu sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender dan akuntabilitas politik. Davis et al. (2001) menyatakan, kelestarian secara umum terdiri dari elemen yang saling ketergantungan antara elemen ekologi, ekonomi dan sosial. Dalam konteks visi, kelestarian berarti memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengurangi
kemampuan
generasi
mendatang
untuk
memenuhi
kebutuhannya. Perspektif ekologi, ekonomi dan sosial dalam pengelolaan hutan meliputi prinsip dan indikator. Prinsip ekologi. Ekologi kehutanan menganalisis sumberdaya hutan dari sudut pandang konservasi keragaman hayati dan produktivitas ekologi. Hal-hal yang menjadi perhatian adalah pola dan proses gangguan alami dan bagaimana mengatasi gangguan tersebut dan dampaknya dan keragaman jenis sebagai panduan dalam pengelolaan. Prinsip ekonomi. Ekonomi kehutanan menganalisis sumberdaya hutan dari sudut pandang memaksimumkan manfaat hutan untuk manusia yang dapat dilihat dari sudut pandang mikro (perusahaan) dan makro (daerah dan nasional). Perspektif makro ekonomi menganalisis manfaat dari segi ekonomi dan fokus pada kesehatan ekonomi seperti tenaga kerja, pendapatan dan produk nasional
21 bruto. Mikro ekonomi menganalisis manfaat dari sudut pandang individu perusahaan dan fokus pada akumulasi kesejahteraan. Prinsip sosial.
Prinsip ini menganalisis sumberdaya hutan dari sudut
pandang kelestarian kesejahteraan manusia, komunitas dan masyarakat. Konsep dasarnya dalam prinsip ini adalah bahwa sumberdaya hutan harus memberikan manfaat langsung pada kesejahteraan manusia dan komunitas. Elemen-elemen dari manfaat sosial ini adalah distribusi manfaat hutan, kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi perubahan, aksesibilitas sosial dan demokrasi partisipatif. Indikator yang banyak digunakan untuk mengukur kelestarian kondisi dan outcame hutan dalam rencana pengelolaan hutan adalah (1) pertumbuhan pohon; (2) hasil kayu; (3) daya dukung masyarakat; (4) komposisi hutan, struktur hutan dan proses yang terjadi dalam hutan; dan (5) habitat untuk spesies tertentu. Indikator 1 sampai 3 digunakan untuk mengukur kelestarian ekonomi dan sosial sedangkan indikator 4 dan 5 digunakan untuk membantu mengukur kelestarian ekologi. Adapun beberapa penilaian yang dilakukan untuk menganalisis kelestarian pengelolaan hutan menurut dimensi ekologi, ekonomi dan sosial berdasarkan Davis et al. (2001) dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Dimensi ekologi, produksi dan sosial dalam analisis kelestarian Dimensi Ekologi
Ekonomi
Jenis data 1. Adanya gangguan (kebakaran, hama penyakit, banjir, tanah longsor dll) 2. Pemilihan sistem silvikultur 3. Pemilihan rotasi (umur) dan distribusi kelas umur 4. Pemilihan pola spasial pemanenan Maksimasi manfaat bagi manusia dari sudut pandang 1. Mikroekonomi 2. Makro ekonomi
Sosial
1. Distribusi manfaat hutan 2. Kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi perubahan 3. Akseptabilitas sosial
4. Demokrasi partisipatif
Penjelasn Selang waktu terjadinya suatu gangguan, intensitas terjadinya gangguan, pola penyebaran
Usaha individu, kesejahteraan Ukuran agregat ekonomi (tenaga kerja, income, GNP, dll) Tingkat kemiskinan, pengangguran dan migrasi populasi Tingkat pendidikan, kohesif dan kepemimpinan masyarakat, jumlah dan tipe infrastruktur (jalan, sistem sekolah, dll) Keputusan pengelolaan hutan yang diambil harus diterima secara ekonomi, ekologi dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat Keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan pengelolaan hutan (misalnya perlindungan, monitoring dan implementasi rencana)
Sumber : Davis et al. (2001)
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) tahun 2001 sudah mengembangkan sistem dan standar sertifikasi untuk pengelolaan hutan baik hutan alam, hutan tanaman dan
22 pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest management) adalah hutan yang dikelola sebagai hutan rakyat (hutan milik) atau hutan adat. Standar untuk kegiatan pengelolaan ini disebut dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) yang diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat dengan caracara tradisional baik dalam bentuk unit komunitas, unit usaha berbasis komunitas (koperasi dalam arti luas), maupun individual berskala kecil sampai sedang yang dilakukan secara lestari. Untuk mendapatkan sertifikat PHBML, maka ada prosedur yang harus dipenuhi yang dinilai sesuai dengan standar dan kriteria yang ditentukan yang mencakup pada aspek sosial, produksi dan ekologi yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan. Standar kriteria dan indikator dalam dokumen PHBML masih dibatasi pada ukuran-ukuran kelestarian PHBM dengan produk utama kayu. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari dapat diwujudkan apabila dimensi hasil (outcame) dapat dicapai melalui strategi dan kegiatan manajemen yang tepat. Pada Tabel 9 dapat dilihat kriteria dan indikator PHBML.
23 Tabel 9 Kriteria dan Indikator PHBML No 1
Prinsip Kelestarian fungsi produksi
Kriteria 1.Kelestarian sumberdaya
2. Kelestarian hasil
3. Kelestarian usaha
2
Kelestarian fungsi ekologi
1.Stabilitas ekosistem
2. Sintasan spesies langka/endemik/ dilindungi 3
Kelestarian 1. Kejelasan sistem fungsi sosial tenurial lahan dan hutan komunitas
2.Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas
3.Terbangunnya pola hubungan sosial yang simetris dalam proses produksi 4. Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas
Sumber: LEI (2001)
Indikator P.1.1. Lokasi HBM sesuai dengan peruntukan lahan P.1.2. Status dan batas lahan jelas P.1.3. Perubahan luas penutupan lahan P.1.4. Managemen pemeliharaan hutan P.1.5. Sistem silvikultur sesuai daya dukung hutan P.2.1. Penataan areal pengelolaan hutan P.2.2. Kepastian Adanya Potensi Produksi untuk Dipanen Lestari P.2.3. Pengaturan hasil P.2.4. Efisiensi pemanfaatan hutan P.2.5. Keabsyahan Sistem Lacak Balak dalam hutan P.2.6. Prasarana pengelolaan hutan P.2.7. Pengaturan manfaat hasil P.3.1. Kesehatan usaha P.3.2. Kemampuan akses pasar P.3.3. Sistem Informasi Managemen (SIM) P.3.4. Tersedia tenaga trampil P.3.5. Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan P.3.6. Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat kelestarian E1.1 Tersedianya aturan kelola produksi yang meminimasi gangguan terhadap integritas lingkungan E1.2 Proporsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap keseluruhan kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan E1.3 Dampak kegiatan kelola produksi terhadap stabilitas ekosistem (tanah, air, struktur dan komposisi hutan) dan intensitasnya terdokumentasi E1.4 Adanya rencana kelola lingkungan dan efektifitas kegiatannya E2.1 Tersedianya informasi mengenai spesies langka/endemik/dilindungi dan agihan habitatnya yang penting dalam kawasan E2.2 Adanya upaya minimasi dampak kelola produksi terhadap spesies langka/ endemik/dilindungi S1.1. Status lahan/areal tidak dalam proses konflik dengan warga anggota komunitasnya maupun pihak lain; S1.2. Kejelasan batas-batas areal dengan pihak lain; S1.3. Fungsi kawasan menurut kepentingan komunitas/publik secara jelas diakui sebagai kawasan hutan tetap; S1.4. Digunakannya tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang demokratis dan adil terhadap pertentangan klaim atas hutan yang sama; S1.5. Pelaku pengelolaan PHBM benar-benar warga komunitas, baik dijalankan sendiri atau bermitra. S2.1. Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi; S2.2. Penerapan teknik-teknik produksi minimal tetap mempertahankan tingkat penyerapan tenaga kerja yang ada, baik laki-laki maupun perempuan; S2.3. Kegiatan pengelolaan hutan maupun paska panen sejauh mungkin dikembangkan di dalam wilayah komunitas dan menggunakan tenaga kerja komunitas. S3.1. Pola hubungan sosial yang terbangun antara berbagai pihak dalam pengelolaan hutan merupakan hubungan sosial relatif sejajar. S3.2. Pembagian kewenangan jelas dan demokratis dalam organisasi penyelenggaraan PHBM S4.1. Ada kompensasi atas kerugian yang diderita komunitas secara keseluruhan akibat pengelolaan hutan oleh kelompok dan disepakati seluruh warga komunitas; S4.2. Seluruh warga komunitas dan publik terbuka untuk terlibat dalam penyelenggaraan PHBM S4.3. Ada mekanisme pertanggungjawaban publik dari kelompok pengelola terhadap komunitas dan/atau publik
24 2.4 Tanaman Kemiri Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menyebutkan bahwa kemiri termasuk pada kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan dengan produk minyak kemiri dan kelompok tumbuhan obat dengan produk ekstrak pepagan. Permenhut No. P.03/Menhut-V/2004 tentang pedoman pembuatan tanaman hutan rakyat Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan menyebutkan bahwa kemiri adalah tanaman MPTS yaitu jenis tanaman serba guna yang dapat diambil buah, bunga, kulit dan daunnya. Tanaman kemiri merupakan tanaman yang dapat memberikan manfaat sosial kepada masyarakat, manfaat ekonomi untuk meningkatkan devisa negara dan manfaat lingkungan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Kemiri termasuk jenis tanaman untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, mencegah erosi, peningkatan kualitas lingkungan dan pengatur tata air. Pohon kemiri (Aleurites moluccana) merupakan family Euphorbiaceae dapat tumbuh pada ketinggian 0-800 (bisa juga sampai 1200) m diatas permukaan laut. Tanaman kemiri tidak memerlukan persyaratan khusus karena kemiri dapat tumbuh pada lapangan yang berkonfigurasi datar sampai pada tempat-tempat bergelombang dan curam, pada tanah yang subur sampai kurang subur dan pada daerah yang beriklim kering sampai daerah beriklim basah (Djajapertjunda 2003; Sunanto 1994; Paimin 1994). Kemiri dapat tumbuh pada daerah dengan jumlah curah hujan 1.500-2.400 mm/tahun dan suhu 200-270C (Deptan 2006a). Dalam Warta litbang Deptan tahun 2006 disebutkan bahwa tanaman kemiri dapat tumbuh pada suhu 210-280C, kelembaban udara rata-rata 75%, curah hujan 1.1002.400 mm/tahun dan dengan jumlah hari hujan antara 80-100 hari. Manfaat tanaman kemiri sangat banyak. Menurut Sunanto (1994) manfaat tanaman kemiri adalah untuk bumbu masak, bahan baku industri, dan pohon kemiri digunakan untuk membuat perabot rumah tangga, kayu bakar, bahan baku korek api dan pembuatan bahan pulp (bahan pembuat kertas). Tanaman kemiri digunakan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) di daerah Nusa Tenggara Barat, cocok untuk tanaman reboisasi, penghijauan dan tempat berlindung ternak pada areal penggembalaan.
25 Permintaan buah kemiri akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya permintaan bahan baku industri. Menurut Paimin (1994) peningkatan permintaan kemiri diperkirakan akan mencapai 10-20% setiap tahunnya. Peningkatan ini diharapkan dapat mendorong peningkatan ekonomi melalui perkembangan industri dan dapat meningkatkan lapangan kerja. Tanaman kemiri menyebar di beberapa daerah di Indonesia dengan sebaran terbanyak terdapat di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Aceh dan Sumatera Utara (Koji 2002). Sunanto (1994) menyebutkan bahwa awalnya tanaman kemiri merupakan tanaman yang tumbuh secara alami, namun kemudian ditanam masyarakat di daerah-daerah yang penduduknya telah tinggal secara menetap karena buahnya dapat dimanfaatkan penduduk. Tanaman kemiri dapat menghasilkan buah 2-3 kali dalam setahun (musim berbuah setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada iklim. Musim berbunga terjadi pada awal musim hujan dan buah terbentuk setelah 3-4 bulan atau pada akhir musim penghujan). Jumlah panen buah tergantung pada umur tanaman dan pertumbuhan pohon. Pohon kemiri yang tumbuh pada daerah subur, panen pertamanya dapat mencapai 10 kg biji kupasan/pohon. Pada umur 6 tahun menghasilkan 25 kg biji kupasan. Pada usia 11-20 tahun produksinya akan stabil sekitar 35-50 kg/pohon/tahun. Produksi pohon kemiri dewasa yang tumbuh dengan baik dapat mencapai 200 kg biji kupasan per pohon. Setelah berumur di atas 50 tahun produksinya mulai menurun. Produksi kemiri per hektar dapat mencapai 2 ton biji atau 0,5 ton biji kupasan (Deptan 2006a; Paimin 1994). Koji (2002) menyebutkan bahwa budidaya kemiri sangat mudah. Setelah menanam kemiri di kebun, petani hanya melakukan pembersihan gulma sekali setahun dan menunggu sampai waktu panen tiba. Secara konvensional, pohon kemiri ditanam dengan jarak yang cukup besar atau lebih, karena dapat memberikan kesempatan kepada petani untuk membudidayakan berbagai tanaman dalam ruang terbuka. Panen buah dapat dilakukan mulai tahun ketiga dan produksi buah biasanya mulai menurun pada usia 35 tahun ke atas. Kemiri adalah tanaman berguna yang penting di Indonesia karena telah tumbuh baik untuk tujuan subsisten dan komersial dan penting dalam
26 mempertahankan kehidupan masyarakat sehari-hari (Koji 2002). Peran tanaman kemiri dalam rehabilitasi hutan di Indonesia, dibagi menjadi dua periode yaitu Jaman Kolonial dan Jaman Orde Baru. Pada tahun 1920 dan 1930-an, di Sulawesi Selatan, Lembaga Kehutanan Belanda menganjurkan menanam kemiri untuk merehabilitasi lahan perladangan berpindah yang telah ditinggalkan. Pada rezim Orde Baru, untuk mengatasi masalah perambahan lahan, dilakukan kebijakan kegiatan pertanian yang diakui di dalam kawasan hutan jika dikombinasikan dengan tumbuhan berguna seperti kemiri. Kemiri dari Indonesia sudah pernah di ekspor dengan tujuan Amerika, Arab Saudi, Hongkong, Singapura dan Australia. Sementara kemiri dari Sumatera Utara telah diekspor ke Malaysia dan Singapura (Sunanto 1994). Namun, untuk volume ekspor kemiri ke luar negeri menunjukkan kondisi yang naik turun. 1600
Volume ekspor (Ton)
1400 1200 1000 800 600 400 200 0 -2001970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
Tahun Sumber : Deptan (2009)
Gambar 2 Volume ekspor kemiri Indonesia tahun 1975-2007.
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa ekspor kemiri cenderung tidak stabil sejak tahun 1975 sampai tahun 2007. Ekspor tertinggi dicapai tahun 1993 yaitu mencapai 1.379 ton dan pada tahun 1996 sampai tahun 2003 dan tahun 2006 sampai 2007 tidak ada ekspor. Dari data statistik Deptan (2009) juga diperoleh data bahwa pada tahun 2004 dan 2005, Indonesia malah mengimpor kemiri sebanyak masing-masing 13 ton dan 15 ton.
27 2.5 Beberapa Studi Terdahulu Penelitian tentang kemiri sudah cukup berkembang. Adapun beberapa hasilhasil penelitian yang sudah dilakukan sehubungan dengan pengelolaan kemiri rakyat sebagai berikut: 1) Pada tahun 1999, Yusran melakukan penelitian tentang analisis model pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan. Hasilnya adalah (1) Keadaan sosial ekonomi masyarakat mendukung pengembangan hutan kemiri rakyat; (2) Potensi tanaman kemiri rakyat cukup tinggi tetapi umur tegakan tidak produktif sehingga tidak menjamin kelestarian hasil; (3) Kontribusi kemiri hanya 7,6% tetapi mempunyai nilai strategis dalam ekonomi petani; (4) Usaha kemiri rakyat secara finansial menguntungkan dan layak untuk dikembangkan; (5) Sistem pasar kemiri di Kabupaten Maros mendekati sistem pasar persaingan sempurna; dan (6) Sistem kelembagaan pengelolaan hutan kemiri rakyat lebih bersifat non formal dan lembaga formal yang ada belum berperan dalam pengembangan kemiri rakyat. 2) Pada tahun 2005, Yusran melakukan penelitian tentang analisis performansi dan pengembangan hutan kemiri rakyat di kawasan pegunungan Bulusaruang. Hasilnya adalah (1) Perbedaan status penggunaan lahan mempengaruhi performansi hutan kemiri rakyat; (2) Semakin kuat status lahan yang dikelola, semakin intensif pengelolaan, semakin besar nilai ekonominya dan terjamin kelestarian sistem kelembagaan lokal yang memiliki nilai-nilai sosial. Tetapi, cenderung semakin menurunkan nilai keanekaragaman jenis tanaman; (3) Penguatan status lahan penting dilakukan untuk menjamin kelestarian hutan kemiri yang mempertimbangkan aspek ekologi, nilai-nilai sosial dan ancaman fragmentasi lahan; dan (4) Ketidakpastian status pengusahaan hutan merupakan kelemahan yang menjadi sumber ancaman dalam pengelolaan hutan kemiri yang juga mempengaruhi kelestarian tanaman. 3) Wibowo (2007) melakukan penelitian tentang pengusahaan tanaman kemiri di Desa Kuala, Tanah Karo. Hasilnya adalah bahwa pengusahaan kemiri cukup memberikan kontribusi ekonomi bagi petani, pedagang pengumpul dan pengecer dan kegiatan penanaman kemiri menumbuhkan usaha jasa pengupasan kemiri. Usaha pengupasan kemiri dengan cara sederhana hanya
28 menghasilkan 48% kernel utuh dan sisanya adalah pecah. Hal ini mempengaruhi nilai jual kemiri di pasar. Pengusahaan kemiri belum dilaksanakan secara intensif dan masih bersifat usaha sampingan. 4) Darmawan dan Kurniadi (2007) melakukan penelitian tentang studi pengusahaan kemiri di Flores dan Lombok. Hasilnya adalah pengusahaan kemiri yang dilakukan masyarakat hanya terbatas pada pengusahaan kemiri isi (kemiri kupas/kernel). Pengusahaan kemiri mempunyai pengaruh secara ekonomi dan bagi kelestarian lingkungan karena pohon kemiri dapat ditanam pada tanah-tanah marjinal. Kegiatan usaha jual beli kemiri bersifat multiflier effect yang memberikan manfaat bagi para pelakunya.