6
TINJAUAN PUSTAKA Peranan Hutan Tropis dalam Siklus Karbon dan Fungsi Hidrologi Peranan hutan tropis dalam neraca karbon atmosfer ditunjukkan oleh banyaknya karbon yang tersimpan di dalam biomassa dan jumlah yang tersirkulasikan per tahun. Sirkulasi karbon melalui ekosistem hutan tropis berlangsung amat cepat. Jumlah karbon yang besar tersimpan dalam biomassa dikeluarkan melalui respirasi ke atmosfer (Murdiyarso dan Satjapradja, 1997; ESA, 2000). Pemasukan karbon berlangsung melalui fotosintesa yang dipercepat oleh faktor lingkungan yang memadai dan pengelolaan hutan yang baik. Penebangan hutan secara fisik merupakan kegiatan yang mengubah sifat permukaan dan tataguna lahan. Kegiatan ini secara langsung akan menimbulkan dampak terhadap transfer bahang (heat) dan massa (mass) dari dan ke permukaan yang berubah sifatnya. Dampak langsung ini selanjutnya akan mempengaruhi neraca energi, neraca air dan neraca hara (Murdiyarso dan Satjapradja, 1997). Neraca energi terpengaruh dengan berubahnya albedo. Pada awalnya albedo akan berubah karena berubahnya sifat geometrik dan optik atmosfer yang dicemari asap dan aerosol yang dihasilkan proses pembakaran. Sementara perubahan albedo juga ditentukan oleh sifat optik permukaan yang baru yang dapat meneruskan radiasi sampai ke permukaan tanah. Perubahan neraca energi selanjutnya akan memicu perubahan neraca air, karena transfer uap air atau bahang laten dikendalikan oleh ketersediaan energi. Jika terjadi penurunan evaporasi dapat mengakibatkan limpasan permukaan meningkat. Peningkatan limpasan permukaan dan tiadanya vegetasi penutup tanah berakibat pada peningkatan erosi. Suhu tanah yang meningkat akibat peningkatan energi yang diserap tanah akan mempercepat mineralisasi bahan organik. Untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah, metode pengelolaan lahan yang baru haruslah: (1) meningkatkan jumlah karbon masuk ke dalam tanah dalam bentuk residu tanaman, dan (2) menekan kecepatan dekomposisi bahan organik tanah. Jumlah karbon yang masuk ke dalam tanah merupakan fungsi dari produksi tanaman dan proporsi produksi tanaman yang dikembalikan ke dalam tanah sebagai serasah maupun residu tanaman.
7 Kecepatan dekomposisi dikontrol oleh keadaan lingkungan tanah seperti suhu, kelembaban, ketersediaan oksigen dan komposisi bahan organik, posisi bahan organik dalam profil tanah dan tingkat perlindungan fisik agregat tanah (Bruce et al., 1999). Beberapa hasil pengukuran C tersimpan pada berbagai system penggunaan lahan oleh tim peneliti Alternatives to Slash and Burn (ASB phase 1 dan 2) di Jambi (Tomich et al., 1998), adalah sebagai berikut: -
Hutan alam menyimpan C tertinggi sekitar 497 ton/ha dibandingkan system penggunaan lahan lainnya.
Lahan ubi kayu monokultur
penyimpan C terendah (sekitar 49 ton/ha). -
Gangguan hutan alami menyebabkan hutan kehilangan C sekitar 250 ton/ha, dimanan kehilangan terbesar terjadi karena hilangnya pohon, sedangkan C dalam tanah relative kecil.
-
Bila hutan sekunder terus dikonversi ke sistem ubi kayu monokultur, maka kehilangan C di atas permukaan tanah bertambah menjadi 300-350 ton/ha.
-
Tingkat kehilangan C dapat diperkecil bila hutan dikonversi menjadi sistem agroforestri berbasis karet sekitar 290 ton C/ha di bagian atas tanah, dan sekitar 370 ton C/ha bila dikonversi menjadi hutan tanaman industry (HTI) sengon.
-
Penyimpanan C rata-rata per siklus tanaman bervariasi tergantung umur tanaman.
Semakin banyak dan semakin lama C tersimpan
dalam biomassa pohon semakin baik. -
Lahan
hutan
yang
telah
terganggu,
agroforestri
multistrata
(bermacam jenis pohon) dan agroforestri sederhana (tumpangsari pohon dan tanaman pangan) menimbun C dalam biomassa rata-rata sekitar 2.5 ton/ha/th.
Sedangkan penimbunan C dalam lahan
pertanian semusim ubi kayu-rumput-rumputan dapat diabaikan, karena kebanyakan C hilang oleh adanya pembakaran. -
Besarnya penyimpanan C dalam suatu lahan dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanahnya. Penyisipan pohon leguminose dalam system agroforestri meningkatkan jumlah C tersimpan dalam biomassa. Penyimpanan karbon di dalam tanah berubah karena erosi, yang
menyebabkan redistribusi karbon pada permukaan tanah. Pemecahan agregat menyebabkan peningkatan mineralisasi bahan organik yang sebelumnya
8 terlindung dalam agregat. Selain peranan dalam penyimpanan karbon hutan juga berfungsi dalam pengaturan hidrologi. Setidaknya ada enam aspek pengaruh hutan terhadap fungsi hidrologi wilayah (Calder, 1998) yang dapat dicatat sebagai berikut: 1. Hutan meningkatkan curah hujan: Walaupun awalnya sulit dibuktikan, saat ini dapat ditunjukkan bahwa hilangnya hutan juga diikuti oleh berkurangnya curah hujan seperti yang dialami oleh Pulau Jawa. Pengurangan hutan yang nyata dalam kawasan yang luas dalam tiga dekade terakhir ini telah menurunkan jumlah curah hujan tahunan sampai 1.000 mm/tahun atau 25% lebih rendah dari kondisi awal abad ini. Implikasi lebih serius dapat terjadi dengan hilangnya kawasan hutan 2. Hutan meningkatkan aliran sungai: Yang terjadi adalah vegetasi hutan juga mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar, sehingga hutan justru cenderung menurunkan aliran sungai. Walaupun untuk hutan yang mapan, telah terjadi keseimbangan hidrologi wilayah, sehingga penurunan ini tidak terasa lagi. Sebaliknya, dengan hilangnya hutan maka aliran sungai akan meningkat
dan
banjir
diwaktu
musim
penghujan,
sampai
tercapai
keseimbangan hidrologi yang baru setelah jangka waktu yang panjang (ratusan tahun). 3. Hutan berperan dalam mengatur dan memperkecil fluktuasi debit sungai. Apabila fluktusi debit sungai kecil maka air yang keluar dapat dimanfaatkan secara maksimal. 4. Hutan mengurangi erosi: Hal ini sangat bergantung pada situasi dan kondisi, seperti intensitas hujan, kelerengan lahan, dan faktor geologi batuan, serta metode pengelolaan yang dipilih. Pengalaman di Jawa, hutan jati menunjukkan tingkat erosi yang tinggi. 5. Hutan mengurangi banjir: Terdapat pengalaman dan pemberitaan media massa membenarkan pernyataan ini, sementara kajian hidrologi umumnya yang menunjukkan lemahnya hubungan penggunaan lahan dengan banjir dan menyimpulkan kurangnya bukti ilmiah yang mendukung laporan bahwa deforestasi meningkatkan banjir. Secara bertahap deforestasi menyebabkan menurunnya daya infiltrasi tanah. 6. Hutan meningkatkan mutu pasokan air: Kecuali pada daerah dengan iklim yang tercemar berat yang menghasilkan hujan asam. Mutu air lazimnya lebih baik pada kawasan berhutan, walaupun sangat dipengaruhi oleh praktek
9 pengelolaan hutan itu sendiri. Saat ini DAS berhutan menjadi andalan untuk menjamin pasokan air bersih kota-kota metropolitan dunia. Dinamika Karbon dalam Tanah Pertanian Tanah merupakan pool karbon yang penting di dunia yang meliputi 1.500 – 2.000 Pg (1 Pg = petagram = 1 milyar ton) dan 800 – 1000 Pg sebagai karbon inorganik tanah dalam bentuk karbonat (Bruce et al., 1999). Kandungan karbon organik tanah umumnya tinggi dalam tanah alami di bawah vegetasi rumput atau hutan.
Konversi hutan dan padang rumput menjadi areal pertanian dan
peternakan mengakibatkan hilangnya karbon organik tanah.
Lahan padang
rumput dan hutan mengalami kehilangan karbon organik tanah 20–50 % dari kandungan awalnya setelah diolah selama 40–50 tahun. Kehilangan karbon organik tanah dari masa lalu suatu areal sering berkaitan dengan tingkat produksi yang rendah, pengolahan tanah yang intensif, penggunaan pupuk dan amelioran organik yang kurang memadai dan kurangnya perlindungan tanah dari erosi dan proses degradasi lahan yang lain (Bruce et al., 1999). Besarnya jumlah C tersimpan di atas tanah ditentukan oleh besarnya jumlah C tersimpan dalam tanah, melalui peran bahan organik tanah dalam mempertahankan
kimia
tanah
(ketersediaan
hara),
kondisi
fisik
tanah
(mempertahankan berat isi dan aerasi tanah) (Mutuo et al., 2005). Sebagian besar kehilangan karbon tanah pertanian terjadi selama dekade awal setelah pengolahan tanah. Dengan waktu, kecepatan kehilangan karbon menurun sejalan dengan semakin menurunnya pool karbon yang mudah terdekomposisi
dan
adanya
perbaikan
pengelolaan
lahan.
Sebagai
konsekuensinya, sebagian besar tanah pertanian sekarang hampir netral dalam kaitannya dengan emisi atau penyerap karbon.
Berdasarkan hasil simulasi
komputer (Smith et al., 1997) menunjukkan bahwa kehilangan karbon tanah dari tanah pertanian di Kanada rata-rata hanya 40 kg/ha/th pada tahun 1990 dan rata-rata kehilangan tersebut terus menurun. Bruce et al. (1999) menyatakan bahwa perubahan kandungan karbon tanah merupakan refleksi dari hasil bersih dari input karbon (dari bahan tanaman) dan kehilangan karbon melalui dekomposisi.
Dekomposisi berarti
perombakan yang dilakukan oleh sejumlah mikroorganisme (unsur biologi dalam tanah) dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana. Oleh karena itu pengelolaan yang dapat memperoleh penambahan simpanan karbon yaitu : 1)
10 meningkatkan jumlah karbon tanah melalui residu tanaman atau 2) menekan laju dekomposisi karbon tanah. Laju dekomposisi dapat dikontrol oleh kondisi tanah (misalnya kelembaban, temperatur dan kecukupan oksigen), komposisi bahan organik, penempatan bahan organik di antara profil tanah, dan tingkat proteksi secara fisik (misalnya di antara agregat tanah). Simpanan karbon tanah juga dapat berubah karena erosi, di mana terdapat redistribusi karbon pada permukaan tanah. Beberapa bagian pada permukaan tanah dapat terjadi kehilangan karbon dan di lain tempat dapat terjadi penambahan karbon. Sequester C dalam tanah dapat juga dihitung berdasarkan input C dari sisa tanaman dan sumber lain dan jumlah pelepasan C menjadi CO2. Jadi jumlah bersih sequstrasi C sama dengan besarnya input C (sisa tanaman) dikurangi output C (pelepasan C sebagai CO2) dengan asumsi kehilangan akibat erosi dan pencucian diabaikan (Duiker dan Lal. 2000). Pengolahan tanah dengan mengikuti prinsip konservasi dapat berperan dalam menjaga residu tanaman pada permukaan tanah, vegetasi penutup tanah, dan rotasi tanaman.
Bahan organik tanah (OM) dan karbon organik
tanah (OC) keduanya menentukan karbon dalam tanah. Bentuk bahan organik menunjukkan bahan organik yang berasal dari sisa tanaman yang dimulai dengan proses dekomposisi. Konversi dari bahan organik menjadi karbon organik umumnya berkisar antara 1.70-1.72 kg bahan organik akan mengandung 1 kg karbon organik (Rickman et al. 2001). Karbon
merupakan
penyusun
bahan
organik,
oleh
karena
itu
peredarannya selama pelapukan jaringan tanaman sangat penting. Sebagian besar dari energi yang diperlukan oleh flora dan fauna tanah berasal dari oksidasi karbon. Sebagai akibat dari hal tersebut maka CO2 terus menerus terbentuk.
Berbagai perubahan yang terjadi dan menyertai reaksi karbon
tersebut dalam atau di luar tanah disebut peredaran karbon yang ditunjukkan dalam Gambar 2.
11 Tumbuhan
CO2
Udara
Binatang Pupuk hijau
Pupuk kandang
sisa tanaman Reaksi tanah -2
Kegiatan jasad mikro
CO3
HCO3
CO2 Hilang karena drainase meliputi: CO2, karbonat dan bikarbonat-Ca, Mg, K, dll. Gambar 2 Bagan peredaran karbon di dalam dan di luar tanah 1982)
(Buckman dan Nyle,
Pembebasan karbon organik menghasilkan CO2.
Proses tersebut
merupakan sumber CO2 tanah, disamping CO2 yang dikeluarkan akar tumbuhan dan terbawa oleh air hujan. Karbon dioksida yang dihasilkan tanah akhirnya akan dibebaskan ke atmosfer, yang kemudian akan digunakan lagi oleh tanaman. Dengan demikian peredaran karbon akan terus berlangsung seperti tersebut di atas. Sejumlah kecil CO2 bereaksi dalam tanah membentuk asam karbonat, Ca-, Mg- dan K-karbonat atau bikarbonat. Garam-garam tersebut mudah larut dan mudah hilang terikut dalam air drainase atau diserap tumbuhan. Dengan demikian Ca, Mg dan K juga menjadi tersedia bagi tumbuhan.
Potensi Peningkatan Karbon pada Lahan Pertanian Tingkat perolehan karbon setelah mengadopsi metode perbaikan pengelolaan tanah sangat bervariasi tergantung jenis tanah (Paustian et al., 1997b). Variasi respon dapat disebabkan oleh beberapa faktor: 1. Status karbon tanah awal. Tanah yang telah mengalami penurunan secara drastis karbon tanahnya karena pengelolaan yang kurang
12 baik di masa lampau. Jika tanah dikelola dengan lebih baik, potensial penyerapan karbon di dalam tanah menjadi lebih besar. 2. Kondisi iklim. Tingkat penyerapan karbon jauh lebih tinggi apabila terjadi di lingkungan dengan produktivitas yang tinggi. penyerapan
karbon
terhambat
di
dalam
Tingkat
lingkungan
yang
produktivitasnya terhambat karena iklim yang dingin ataupun iklim yang kering. 3. Variabel agronomi.
Jumlah karbon yang dapat diperoleh sebagai
respon dari pengelolaan tanah-minimum dan tanpa olah tanah juga ditentukan oleh praktek agronomi yang lain seperti aplikasi pupuk dan cara penanaman. Disamping respon yang bervariasi, rata-rata akumulasi karbon dapat diperkirakan dengan akurasi yang dapat diterima dari data jangka panjang sekitar 0.3 Mg/ha/th.
Untuk memperkirakan potensial akumulasi karbon di
dalam tanah selama dekade awal hingga 2020, dengan asumsi menerapkan teknologi konservasi tanah, pada lahan yang tidak terdegradasi dengan hambatan iklim kering dan dingin sebesar 0.2 Mg/ha/th. Pada lahan yang dikonversi dari lahan pertanian menjadi padang rumput atau ditanami tanaman tahunan penutup tanah umumnya menghasilkan penyerapan karbon yang tinggi. bervariasi menurut jenis tanah.
Sequestrasi karbon pada lahan rumput Tanah yang bertekstur pasir kurang sensitif
daripada yang bertekstur halus pada daerah yang beriklim panas
dan
persentase konsentrasi C-organik tanah menurun menurut kedalaman tanah serta tingkat akumulasi karbon akan menurun dengan waktu, sebagian besar penyerapan karbon dalam bentuk akar dan serasah tanaman (Potter
et al.,
2001). Paustian et al.,(1997b), memperkirakan
rata-rata tingkat penyerapan
karbon pada tanah pertanian yang dikonversi ke rumput dan tanaman tahunan sekitar 0.8 Mg/ha/th pada tahap awal setelah konversi. penanaman
lahan
pertanian
dengan
tanaman
Di daerah tropika
penutup
tanah
dapat
meningkatkan penyerapan karbon 250 – 500 kw/ha dalam jangka waktu 4 – 12 bulan tergantung pada jenis tanaman penutup tanah yang digunakan (Arsyad, 2000). Faktor yang Mempengaruhi Kandungan C-Organik Tanah.
13 Bruce
et
al.
(1999)
mengemukakan
beberapa
strategi
untuk
meningkatkan karbon yang diklasifikasikan ke dalam empat pendekatan utama : 1) mengurangi intensitas pengolahan tanah, 2) intensifikasi sistem pertanaman, 3) adopsi metode peningkatan hasil, seperti perbaikan sistem pemupukan, dan 4) penggunaan tanaman tahunan. Penurunan Intensitas Pengolahan Tanah Pengolahan tanah dapat meningkatkan kehilangan karbon tanah melalui penurunan bahan organik tanah hingga 30-50 % pada kegiatan pertanian yang terus-menerus, disebabkan beberapa faktor yaitu: 1) merusak agregat tanah yang melindungi bahan organik tanah dari dekomposisi, 2) meningkatnya output yang mempercepat dekomposisi akibat pencampuran pada waktu olah tanah, dan 3) hilangnya partikel berukuran debu yang mengandung bahan organik tanah akibat erosi oleh air atau angin. Pengolahan tanah dapat menyebabkan tanah lebih mudah tererosi, mengakibatkan hilangnya karbon melalui erosi. Menurut Hussain et al. (1999) selama delapan tahun pengolahan tanah terjadi penurunan secara nyata kemantapan agregat lapisan 0 – 5 cm,
sebaliknya pada tanpa olah tanah
memiliki tingkat makroagregasi dan kandungan C tinggi dengan tanpa olah tanah dalam waktu yang cukup lama.
Peningkatan kemantapan
agregat
disebabkan meningkatnya POM dan asosiasi fraksi mineral dan bahan organik pada tanpa olah tanah. Penurunan intensitas olah tanah mempunyai proporsi luas terhadap rendahnya laju dekomposisi dan C/N ratio, sedangkan pada olah tanah
intensif
Rendahnya
kadar
berperanan C
organik
terhadap dalam
rendahnya
kemantapan
makroagregat
pada
agregat.
olah
tanah
mengakibatkan tanah lebih mudah tererosi oleh air, sebab terjadi penurunan ketahanan terhadap slaking (penghancuran agregat tanah). Pengolahan tanah menghancurkan fraksi bahan organik yang tidak terlindungi secara fisik dalam makroagregat berupa pemantap agregat sementara yang berfungsi mengikat mikroagregat menjadi makroagregat (Balesdent et al.,2000). Pengolahan tanah dapat mempercepat kehilangan karbon tanah melalui beberapa mekanisme yaitu: agregat tanah terganggu, yang melindungi bahan organik dari dekomposisi; dapat menstimulasi aktivitas mikroba dengan meningkatnya aerasi dan tercampurnya sisa tanaman ke dalam tanah, dimana
14 kondisi untuk dekomposisi sering lebih baik daripada di permukaan (Bruce et al., 1999). Hasil pengamatan Bayer et al. (2000) menyimpulkan bahwa simpanan bahan organik tanah pada jenis tanah Acrisol Lempung Liat Berpasir dapat lebih besar tergantung sistem olah tanah serta pertanaman dan pengaruhnya terhadap laju kehilangan dan penambahan bahan organik. Tanpa olah tanah menyebabkan total karbon organik (TOC) yang tinggi pada profil tanah dengan kedalaman 0-30 cm dibanding pengolahan tanah konvensional. Selanjutnya, konsentrasi TOC terbatas pada lapisan permukaan 0-5 cm untuk sistem pertanaman
O/M
(gandum
dan
jagung);
0-12.5
cm
pada
O+V/M+C
(gandum+pupuk kandang/jagung+cowpea). Perbedaan konsentrasi TOC pada tanah tanpa olah tanah (NT) pada (O/M)
pada tanah kedalaman 0-30 cm
sebesar 4.6 Mg/ha lebih besar (49.2 Mg/ha) dari jumlah TOC pada sistem olah tanah konvensional (CT) sebesar (44.6 Mg/ha). Sedangkan pada sistem O+V/M+C masing-masing 56.6 Mg/ha (NT) dan 50.2 Mg/ha (CT) atau lebih tinggi sebesar 6.4 Mg/ha pada NT. Akumulasi karbon dalam tanah terjadi di antara agregat (Bernoux et al., 2006). Perbedaan akumulasi TOC dalam tanah antara CT dan NT pada kedua sistem pertanaman tersebut kemungkinan disebabkan oleh tingginya laju dekomposisi bahan
organik tanah pada CT.
Menurut Bayer et al. (2000),
kehilangan C tinggi setelah dilakukan pengolahan tanah dengan cara pembajakan. Pada NT, sebagian besar residu tanaman tinggal pada permukaan tanah, dengan jumlah yang sedikit kontak langsung dengan tanah. Akibatnya dekomposisi residu berjalan dengan lambat, juga dapat menyebabkan rendahnya temperatur pada permukaan tanah (Reicosky et al. 1999) dan dapat merupakan proteksi permukaan tanah dari erosi (Bayer et al. 2000) . Intensifikasi Sistem Pertanaman Untuk kelansungan hidupnya tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, selanjutnya disebarkan keseluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun di seluruh bagian tubuh tanaman. Proses pengurangan CO2 di udara oleh tanaman hidup tersebut dinamakan proses sekuestrasi (C-sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang
15 disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran (Hairiah et al., 2004). Beberapa sistem pertanaman dapat diintensifkan untuk meningkatkan aktifitas photosintesis. Penggunaan tanaman penutup tanah rumput-rumputan, semak dan terutama pohon-pohonan dapat meningkatkan karbon tanah karena tanaman tersebut meningkatkan periode pertumbuhan aktif dan menghasilkan proporsi yang lebih besar karbon dalam tanah (Paustian et al, 1997a). Intensifikasi sistem pertanaman tidak hanya meningkatkan jumlah karbon yang masuk ke dalam tanah, tetapi juga menekan laju dekomposisi melalui pendinginan akibat penaungan.
Aplikasi Tindakan Agronomi Aplikasi
pemupukan
dan
pemberian
amelioran
bahan
organik
meningkatkan penyerapan karbon dengan peningkatan produksi dan jumlah residu yang dikembalikan ke dalam tanah. Tindakan agronomi yang lain yang mampu
meningkatkan
produksi
termasuk
perbaikan
varietas
tanaman,
pengendalian hama yang lebih baik, cara pemberian pupuk yang lebih efisien, dan perbaikan pengelolaan air dapat meningkatkan karbon tanah dengan menyediakan jumlah residu yang lebih besar yang dapat dikembalikan ke dalam tanah. Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi. Kerusakan tanah merupakan masalah penting bagi negara berkembang karena intensitasnya yang cenderung meningkat
sehingga
tercipta
tanah-tanah
rusak
yang
jumlah
maupun
intensitasnya meningkat. Bahan organik memiliki peranan cukup penting di dalam sistem usahatani, sehingga penambahan bahan organik merupakan usaha untuk
16 memperbaiki sifat-sifat tanah, ketahanan tanah menahan daya pelarutan dan pemecahan oleh air serta daya penghancuran agregat (slaking). Hasil penelitian Sudarsono (1988), dengan pembenaman jerami ke dalam tanah Renzina setiap tahun dan setiap dua tahun meningkatkan kadar Corganik tanah pada periode 1962-1973 di Champagne Berrichone, Perancis. Tetapi C-organik hampir tidak berubah dan C/N menurun pada periode berikutnya 1973-1985.
Namun nisbah C/N pada 1985 selalu lebih tinggi
daripada 1962. Dibandingkan dengan pembakaran jerami, pembenaman jerami membawa perubahan-perubahan bahan organik tanah baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Tanah tropika masam umumnya memerlukan kapur sebagai bahan amelioran untuk mengatasi kemasaman tanah yang tinggi, dan juga untuk menyediakan Ca bagi tanaman. Selain berpengaruh terhadap kesuburan tanah, penambahan kapur juga mempengaruhi secara nyata kemantapan agregat terhadap daya merusak air pada kadar C yang sama. Hasil penelitian Chan dan Heenan
(1999)
menunjukkan
pemberian
kapur
mengakibatkan
tingkat
kemantapan agregat yang diperoleh pada kadar C yang lebih rendah, sedangkan pada tingkat kemantapan agregat 50 % (>250 µm) maka total C organik pada tindakan pengapuran sebesar 13.0 g/kg sedangkan tanpa pengapuran 17.8 g/kg.
Jenis Tanaman dan Pola Tanam Jenis tanaman mempengaruhi kemantapan agregat. Angers dan Groux (1996) menunjukkan bahwa penanaman jagung memberikan hasil penurunan terhadap kemantapan agregat makro di samping meningkatkan kemantapan agregat mikro dibanding dengan penanaman padang rumput pakan ternak. Kondisi kemantapan agregat berhubungan dengan meningkatnya kadar C pada agregat >2.000 µm di padang rumput adalah sebesar 30.0 g C/kg dibandingkan penanaman jagung hanya 17.7 g C/kg. Sebaliknya pada agregat mikro padang rumput memiliki kandungan C 18.1 g C/kg sedangkan pada penanaman jagung adalah sebesar 29.3 g C/kg.
Tingginya kadar C pada agregat makro
menunjukkan ketahanan terhadap penghancuran agregat. Pool karbon organik tanah (SOC) merupakan fungsi dari jumlah residu tanaman, perakaran tanaman, return
dan laju dekomposisi bahan organik.
Kandungan karbon organik tanah meningkat melalui penggunaan sisa tanaman
17 tergantung pada kuantitas dan kualitas residu, sifat-sifat tanah dan pengelolaan. Keseimbangan tingkat kandungan karbon organik tanah sering berhubungan linear dengan jumlah residu tanaman yang diaplikasikan
pada tanah.
Kandungan lignin pada residu dapat berdampak positif terhadap akumulasi karbon organik tanah (Lal et al. 1999). Sitompul, et al. (1996) melaporkan bahwa keadaan tanah yang optimal bagi pertumbuhan tanaman diperlukan adanya bahan organik tanah di lapisan atas paling sedikit 2 %. Menurut Hairiah (2004) sebagian besar CO2 di udara dipergunakan oleh tanaman selama fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tanaman yang jatuh dan akumulasi C dalam biomasa (tajuk) tanaman. Separuh dari jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian akar berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melaui akar-akar yang mati. Selanjutnya dikemukakan bahwa ada 3 pool utama pemasok C ke dalam tanah yaitu: 1) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; 2) akar tanaman, melalui akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; dan 3) biota. Serasah dan akar mati yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota heterotrop, dan selanjutnya memasuki pool bahan organik tanah. Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang sangat penting bagi ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber 'source' dan pengikat 'sink' hara dan sebagai substrat bagi mikroba tanah. Macam BOT dapat diklasifikasikan ke dalam fraksi berdasarkan ukuran, berat jenis, dan sifat kimianya. Peranan BOT terhadap perbaikan lingkungan pertumbuhan tanaman. mikroorganisma dan fauna tanah dapat membantu terjadinya agregasi tanah sehingga dapat meningkatkan ketersediaan air tanah dan mengurangi terjadinya erosi. Tanah pertanian di daerah tropik basah umumnya memiliki kandungan bahan organik yang sangat rendah di lapisan atas. Sementara pada tanah yang masih tertutup vegetasi permanen (hutan), umumnya kadar bahan organik di lapisan atas masih sangat tinggi. Perubahan hutan menjadi lahan pertanian mengakibatkan kadar bahan organik tanah menurun dengan cepat. Hal ini antara lain disebabkan oleh beberapa hal yaitu: (a) pelapukan (dekomposisi) bahan organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah serta curah hujan yang tinggi, (b) pengangkutan bahan organik keluar tanah bersama panen secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan
18 pengembalian sisa-sisa panen dan pemasukan dari luar, sehingga tanah kehilangan potensi masukan bahan organik.
Pengertian, Potensi dan Kendala Agroforestri Pengertian Konsepsi agroforestri telah mengemuka jauh sebelum masuknya perubahan iklim dalam agenda politik internasional. Berbagai pengertian yang berkaitan dengan agroforestri, namun antara satu dengan lainnya secara substansial relatif tidak berbeda. International Council for Research in Agroforestry mendefinisikan Agro forestry sebagai suatu sistem pengelolaan lahan yang berasaskan kelestarian, untuk meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, melalui kombinasi produksi (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaanpenduduk setempat. Menurut
Leakey
(1996),
agroforestri
merupakan
sistem
yang
memadukan tanaman tahunan dengan tanaman pangan dan atau tanaman pakan ternak untuk mempertahankan atau meningkatkan kesuburan tanah, produksi tanaman, dan pengendalian erosi melalui penanaman pohonan multiguna yang dapat memberikan sumbangan terhadap penerimaan usahatani. Sistem agroforestri memberikan alternatif yang berkelanjutan pada areal pertanian dimana kepadatan penduduk meningkat pesat hingga pengelolaan lahan dalam skala yang luas tidak mungkin lagi dilakukan sehingga lahan-lahan marjinal pun terpaksa diusahakan (Fujisaka, 1997). Potensi Menurut Hairiah (2004) dalam sistem agroforestri terjadi proses saling mempengaruhi, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, antar komponen penyusun
sering disebut dengan ‘interaksi’. Salah satu kunci
keberhasilan usaha agroforestri terletak pada usaha meningkatkan pemahaman terhadap interaksi antar tanaman (tujuan jangka pendek) dan dampaknya terhadap perubahan kesuburan tanah (tujuan jangka panjang). Di dalam ekosistem, hubungan tanah, tanaman, hara dan air merupakan bagian yang paling dinamis. Tanaman menyerap hara dan air dari dalam tanah
19 untuk dipergunakan dalam proses metabolisme dalam tubuhnya. Sebaliknya tanaman memberikan masukan bahan organik melalui serasah yang tertimbun di permukaan tanah berupa daun dan ranting serta cabang yang rontok. Bagian akar tanaman memberikan masukan bahan organik melalui akar-akar dan tudung akar yang mati serta dari eksudasi akar. Di dalam system agroforestri sederhana, misalnya sistem budidaya pagar, pemangkasan cabang dan ranting tanaman pagar memberikan masukan bahan organik tambahan. Bahan organik yang ada di permukaan tanah ini dan bahan organik yang telah ada di dalam tanah selanjutnya akan mengalami dekomposisi, mineralisasi dan melepaskan hara tersedia ke dalam tanah. Istilah siklus hara ini di dalam sistem agroforestri sering diartikan sebagai penyediaan hara secara terus menerus (kontinyu) bila ditinjau dari konteks hubungan tanaman-tanah. Dalam konteks yang lebih luas, penyediaan hara secara kontinyu ini melibatkan juga masukan dari hasil pelapukan mineral tanah, aktivitas biota, dan transformasi lain yang ada di biosfir, lithosfir dan hidrosfir. Hara hasil mineralisasi dari bahan organik tanah (BOT), mineral tanah dan pemupukan memasuki pool hara tersedia dalam tanah. Hara tersedia selanjutnya dapat diserap oleh tanaman. Hara tersedia yang berada di dalam larutan tanah dapat terangkut oleh pergerakan air tanah keluar dari jangkauan perakaran tanaman sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan akhir-akhir ini pada sistem agroforestri, ada 3 proses utama yang terlibat dalam siklus hara : (1) Fiksasi N dari udara: peningkatan jumlah N hasil penambatan dari udara bila tanaman legume yang ditanam, (2) Mineralisasi bahan organik: peningkatan jumlah hara dari hasil mineralisasi serasah dan dari pohon yang telah mati, (3) ‘Serap ulang’ hara: peningkatan jumlah serapan hara dari lapisan bawah oleh akar pepohonan yang menyebar cukup dalam. Akar pepohonan juga mengurangi jumlah kehilangan hara melalui erosi dengan jalan memperlambat laju aliran permukaan dan meningkatkan air infiltrasi karena adanya perbaikan porositas tanah. Selanjutnya
dikemukakan
bahwa
untuk
menghindari
kegagalan
agroforestri, ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan yaitu: 1) proses terjadinya interaksi, 2) faktor penyebab terjadinya interaksi, dan 3) jenis interaksi.
20 Interaksi Positif (Facilitation): Daun dari pepohonan yang gugur ke tanah sebagai serasah berguna sebagai penutup permukaan tanah (mulsa), meningkatkan penyedian N dan hara lainnya yang berguna bagi tanaman semusim. Tingkat penyediaan N dari hasil mineralisasi serasah pepohonan tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitasnya (kandungan hara). Serasah yang berkualitas rendah (konsentrasi N rendah, konsentrasi lignin dan polipfenol tinggi) justru merugikan untuk jangka pendek karena adanya immobilisasi N, tetapi menguntungkan untuk jangka waktu panjang. ·
Akar pepohonan membantu dalam daur ulang hara (recycled nutrient)
melalui beberapa jalan yaitu: 1. Akar pohon menyerap hara di lapisan atas dengan jalan berkompetisi dengan tanaman
semusim, sehingga mengurangi pencucian hara ke
lapisan yang lebih dalam. Namun pada batas tertentu kompetisi ini akan merugikan tanaman semusim. 2. Akar pohon berperan sebagai ‘jaring penyelamat hara’ yaitu menyerap hara yang tercuci ke lapisan bawah selama musim pertumbuhan. 3. Akar pohon berperan sebagai ‘pemompa hara’ terutama pada tanah subur, yaitu menyerap hara hasil pelapukan mineral/batuan pada lapisan bawah. Namun hal ini masih bersifat hipothesis, dan masih perlu penelitian lebih lanjut. 4. Akar yang telah membusuk ini akan menetralisir keracunan Al pada lapisan yang lebih dalam, sehingga akar tanaman lain dapat tumbuh mengikuti bekas lubang akar tersebut. Pensuplai Nitrogen tersedia bagi akar
tanaman
semusim, baik melalui
selama pertumbuhan,
maupun
pelapukan
akar
yang mati
melalui fiksasi N-bebas dari udara
(untuk tanaman legume ). Penyediaan N melalui fiksasi dimanfaatkan langsung oleh akar
ini
dapat
tanaman semusim yang tumbuh
berdekatan. Menekan populasi gulma melalui penaungan, dan pada musim kemarau mengurangi resiko kebakaran karena kelembaban yang lebih terjaga.· Menjaga kestabilan iklim mikro (mengurangi kecepatan angin, meningkatkan kelembaban tanah dan memberikan naungan parsial
(misalnya
Erythrina
pada
kebun kopi).
Mempertahankan
kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki struktur tanah, dapat mengurangi bahaya erosi dalam jangka panjang.
21 Vegetasi melindungi tanah terhadap kerusakan yang disebabkan oleh energi kinetik butir-butir hujan, karena vegetasi memiliki kemampuan: (a) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman dan adsorpsi melalui energi air hujan, sehingga penyebaran
memperkecil
erosi; (b) mempengaruhi struktur
akar-akarnya; (c) mempengaruhi
(d) peningkatan
kecepatan
kehilangan
limpasan
air
melalui
tanah air
melalui
permukaan;
proses transpirasi
(Utomo, 1989). Selanjutnya dikemukakan bahwa perakaran tanaman berperan sebagai pemantap agregat dan memperbesar porositas tanah. Akar juga berfungsi “menggenggam” massa tanah sehingga mempengaruhi nilai daya geser tanah (shear strength). Dengan demikian, tanah yang memiliki perakaran tanaman yang baik memiliki kemampuan meneruskan air ke lapisan bawah lebih tinggi dan ketahanan tanah terhadap perusakan oleh air menjadi tinggi pula. Tanaman yang berbeda ternyata mempunyai karakter yang berbeda dalam berinteraksi dengan tanah. Tanaman yang mempunyai daun yang lebat dan mudah lapuk menyuburkan tanah, dengan demikian mengurangi kepekaan tanah terhadap erosi. Potensi sistem agroforestri untuk meningkatkan produksi tanaman tergantung pada jumlah biomassa di atas dan di bawah permukaan tanah yang dihasilkan, jumlah unsur hara yang tertambahkan atau terdaur-ulang dalam sistem melalui biomassa, serta tingkat kompetisi terhadap faktor tumbuh antara karakteristik tanaman pohon sebagai tanaman pagar dan tanaman pangan (Govindarajan et al., 1996). Oleh karena itu karakteristik tanaman pagar yang diinginkan
dalam
sistem
agroforestri
meliputi
tanaman
yang
memiliki
kemampuan memfiksasi N, memproduksi biomassa dalam jumlah yang cukup untuk digunakan sebagai mulsa, pakan ternak, kayu bakar atau produk sampingan lain yang bermanfaat (Young dan Sinclair, 1997).
Dalam waktu
panjang, baris tanaman tahunan dan/atau rumput pakan ternak dapat berperan dalam pembentukan teras melalui mekanisme akumulasi tanah di bagian atas lereng dari barisan tanaman dan stabilisasi dinding teras oleh batang dan perakaran tanaman. Penggunaan hasil pangkasan daun tanaman baris sebagai mulsa dapat menurunkan laju aliran permukaan dan erosi dengan mekanisme penurunan laju pergerakan air dan tanah melalui proses penggenangan air sementara, yang selanjutnya dapat meningkatkan laju infiltrasi tanah. Keberadaan mulsa juga
22 menurunkan pukulan butiran hujan sehingga menurunkan pengaruh pukulan butiran hujan terhadap permukaan tanah. Akibatnya erosi tanah juga menurun. Apabila sistem agroforestri dikelola dengan baik dan terencana hal ini dapat menghasilkan suatu kondisi yang hampir menyerupai hutan alami multistrata. Penutupan permukaan tanah pada sistem agroforestry yang dikelola dengan baik akan berfungsi sebagai selimut yang dapat melindungi tanah dari pukulan langsung atau energi kinetik butir air hujan. Selain itu asupan residu organik yang berasal dari guguran daun tanaman pohon akan berfungsi sebagai mulsa dan hasil dekomposisinya akan mempertahankan kandungan bahan organik serta unsur hara dalam tanah. Dengan demikian, selain mereduksi laju aliran permukaan, erosi dan sedimentasi, sistem agroforestry juga dapat meningkatkan kesuburan fisik dan kimia tanah (Kusumandari dan Mitchell, 1997). Penggunaan hasil pangkasan daun tanaman baris sebagai mulsa dapat menurunkan laju aliran permukaan dan erosi dengan mekanisme penurunan laju pergerakan air dan tanah melalui proses penggenangan air sementara, yang selanjutnya dapat meningkatkan laju infiltrasi tanah. menurunkan laju aliran permukaan.
Hal tersebut dapat
Keberadaan mulsa juga melemahkan
pukulan butiran hujan sehingga dapat menurunkan pengaruh pukulan butiran hujan terhadap permukaan tanah. Akibatnya erosi tanah juga menurun. Berkaitan dengan lingkungan, maka agroforestri dapat menjadi salah satu opsi mitigasi yang didasarkan beberapa alasan, antara lain yaitu : 1) Secara teknologi agroforestri merupakan teknologi yang aplikatif dengan ekosistem yang kompleks sehingga dinilai sebagai teknologi pengelolaan sumberdaya alam yang sustainable. 2) Secara fisiologi agroforestri memiliki kemampuan untuk menyadap emisi di atmosfer terutama CO2 melalui proses fotesintesis selain itu akan melepaskan oksigen. Ini berarti Agroforestri akan meningkatkan potensi penyadapan CO2 di atmosfer. 3) Secara fisik, agroforestri memiliki kemampuan untuk memperbaiki kelenturan fisik dan biologi melalui perubahan karakteristik permukaan. Hal yang terpenting di sini adalah transfer energi, massa dan momentum antara agroforestri dengan lingkungannya. 4) Secara sosial ekonomi agrforestri telah dikenali oleh masyarakat dan berpotensi memberikan hasil yang optimal melalui sentuhan teknologi.
23 Beberapa aspek strategis agroforestri dalam mitigasi perubahan lingkungan adalah : 1) Intersepsi
hujan
oleh
vegetasi
yang
heterogen
dan
multi
layers
menyebabkan pengurangan energi kenetik butir hujan sehingga daya dispersi terhadap agregat tanah berkurang (Baldy dan Stinger, 1977). Hal ini semakin penting karena akan terbentuk vegetasi parmanen dari tanaman tahunan atau kehutanan. Selain itu pengaruh intersepsi dapat mereduksi laju penerimaan di permukaan tanah karena melewati aliran batang (steamflow) dan curahan tajuk (troughfall) (Lee, 1988). 2) Adanya serasah pada permukaan tanah disertai dengan perubahan porositas tanah akibat perkembangan sistem perakaran memungkinkan kapasitas dan laju infiltrasi meningkat. Kondisi ini selain meningkatkan lengas tanah juga mereduksi volume dan laju aliran permukaan (direct run off) Pengaruh sistem ini terhadap tata air, dominan pada aliran tunda dan pengaruh ini nyata setelah dicapai setelah permukaan tanah tertutup tajuk tanaman (Swank and Miner, 1968). 3) Mereduksi sediment yield di lain pihak water yield meningkat dengan regim yang relatif sama sepanjang waktu. Gopinathan and Sreedharam (1989) yang meneliti enam bentuk agroforestri, berkesimpulan bahwa Eucalyptus +Cassava (mengikuti kontur) pengaruhnya lebih baik terhadap pengendalian erosi
dibandingkan
dengan
Eucalyptus
monoculture,
dan
Eucalyptus+Casava (acak) 4) Kesetimbangan biodeversitiy. Keragaman tanaman yang diusahakan antara tanaman tahunan dan tanaman pertanian memungkinkan terjadinya rantai makanan dan energi yang lebih panjang. Kondisi ini selanjutnya akan mendukung terciptanya keragaman hayati yang tinggi (biodiversiti) 5) Karakter
permukaan
ini
memberikan
pengaruh
tersendiri
terhadap
pemindahan massa, energi dan momentum sehingga berpengaruh pada proses fisika di atmosfir. Temperatur udara di kawasan agroforestri lebih rendah dari lahan terbuka, pengaruh ini bergantung pada tipe agroforestri (Monteith dalam Baldi dan Stigter, 1997). Hal ini dikarenakan energi yang tersedia dominan digunakan untuk limpahan bahang laten baik melalui evaporasi dan atau transpirasi. Kondisi demikian menyebabkan limpahan bahang terasa dan pemanasan tanah menjadi kecil, di sisi lain kondisi ini juga menyebabkan massa udara di kawasan tersebut atau pada boundari
24 layer mengandung uap air yang lebih banyak dan berpotensi menghasilkan presipitasi. 6) Ketersedian air tanah atau lengas tanah memungkinkan tanaman menfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis pada berbagai layer semakin meningkat. Rangkaian proses tersebut akhirnya fungsi sebagai sink CO2 dapat dicapai sehingga perannya terhadap pengurangan emisi karbon dioksida pada atmofir menjadi nyata yang selanjutnya akan menurunkan laju pemanasan atmosfir. Kendala Selain
potensi
agroforestri,
Hairiah
(2004)
juga
mengemukakan
beberapa interaksi negative sebagai kendala yang mungkin terjadi yaitu:
(1)
Naungan pohon akan mengurangi intensitas cahaya yang dapat dipergunakan oleh tanaman semusim; (2) Kompetisi antara akar pohon dengan tanaman semusim untuk menyerap air dan hara pada lapisan atas tanah; (3) Pohon dan tanaman semusim dapat menjadi inang (host) hama dan penyakit; (4) Akar pohon yang sudah busuk dapat menciptakan saluran air sehingga menpercepat kehilangan unsur hara melalui aliran air ke bawah atau ke samping (vertical and lateral flows).
Pengaruh Agroforestri terhadap Kapasitas Simpan Air (Water Holding Capacity) Sistem usaha tani lahan kering memerlukan pasokan air yang memadai untuk mencukupi kebutuhan air tanaman. Oleh karena itu skenario perbaikan ketersediaan air DAS untuk pertanian perlu dilakukan dengan cermat berdasarkan konsep pemanfaatan sumber daya air yang tepat. Proses perubahan curah hujan menjadi aliran permukaan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) fungsi produksi DAS, yaitu perubahan dari hujan total menjadi hujan efektif, dan (2) fungsi transfer DAS, yaitu perubahan hujan efektif menjadi aliran permukaan langsung (Robinson dan Sivapalan, 1996 dalam Heryani et al., 2001). Periode curah hujan, intensitas hujan dan luas distribusi hujan mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan. Umumnya laju dan volume aliran permukaan maksimum bila hujan turun di seluruh DAS. Luas, bentuk, orientasi, topografi, geologi dan pengelolaan lahan adalah faktor DAS yang
25 mempengaruhi aliran permukaan. Baik volume maupun laju aliran permukaan persatuan DAS turun dengan semakin luasnya daerah sebaran aliran permukaan. Vegetasi menghambat aliran permukaan selain intersepsi, juga oleh rongga-rongga yang terbentuk di lapisan permukaan. Intersepsi tajuk semakin banyak dengan meningkatnya luas tajuk. Kapasitas menahan air dari setiap tanah tidak sama. Hal ini tergantung dari tekstur dan kandungan bahan organik tanah. Tanah yang memiliki tekstur baik serta mengandung bahan organik yang cukup akan lebih mampu menahan air dibandingkan dengan tanah yang mengandung sedikit bahan organik. Biasanya tanah dengan kandungan bahan organik tinggi akan memiliki kapasitas menahan air empat kali dibandingkan tanah yang bertekstur liat . Tidak semua jumlah air yang berada dalam tanah dapat dikatakan tersedia (available) untuk segera digunakan oleh tanaman. Keadaan air tersedia yang terdapat dalam tanah yang rendah akan mengakibatkan tanaman menjadi layu meskipun diadakan penambahan air ke dalam tanah, karena air tersebut diikat oleh koloid tanah. Siklus air dalam suatu sistem agroforestri dan beberapa komponen penting yang terlibat mempengaruhi siklus dan kesetimbangan air. Curah hujan yang jatuh pada suatu kawasan, sebagian akan ditahan oleh tajuk pohon, dan sebagian lagi oleh tajuk tanaman semusim, dan lainnya lolos ke permukaan tanah di bawah pohon dan di bawah tanaman semusim. Air yang ditahan oleh tajuk pohon dan tanaman semusim sebagian besar menguap sehingga tidak berpengaruh pada simpanan (cadangan) air dalam tanah. Tajuk pohon dan tanaman semusim yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah air yang ditahan tajuk kedua jenis tanaman itu.
Akibatnya jumlah air yang lolos dan
mencapai permukaan tanah di bawah pohon dan di bawah tanaman semusim juga berbeda. Air hujan yang lolos dari tajuk tanaman akan mencapai permukaan tanah dan sebagian masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi, sebagian lagi mengalir di permukaan tanah sebagai limpasan permukaan. Sifat-sifat tanah di bawah pohon dan tanaman semusim dan jumlah air yang jatuh di bawah kedua tanaman yang berbeda menyebabkan kecepatan infiltrasi dan limpasan permukaan di bawah tanaman semusim dan pohon juga berbeda. Dalam kondisi tertentu infiltrasi di bawah pohon bisa cukup tinggi sehingga tidak hanya cukup untuk menurunkan limpasan permukaan menjadi
26 nol (tidak ada limpasan permukaan), tetapi mampu menampung limpasan permukaan dari areal di bawah tanaman semusim. Air yang berada di permukaan tanah akan menguap (evaporasi) dengan kecepatan di bawah pohon dan di bawah tanaman semusim. Kecepatan ini berbeda karena adanya perbedaan kerapatan penutupan tajuk pohon dan tanaman semusim. Evaporasi akan terus berlangsung selama ada suplai air dari lapisan di bawahnya. Besarnya kandungan air tanah pada zona di bawah pohon, dan dibawah tanaman semusim bisa berbeda. Kadar air tanah ditentukan oleh masukan yaitu infiltrasi di permukaan tanah dan keluaran yang terdiri dari evaporasi, transpirasi dan drainase. Seperti telah dibahas bahwa komponen neraca air di bawah pohon berbeda dengan yang ada di bawah tanaman semusim, sehingga hasil akhir berupa simpanan air dalam tanah juga berbeda di bawah kedua jenis tanaman tersebut.
Pengaruh Konservasi Tanah dan Air terhadap Kualitas Tanah, Erosi dan Daya Simpan Air. Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dengan penebangan vegetasi hutan menyebabkan permukaan tanah menjadi terbuka dan mendapat pengaruh langsung dari radiasi matahari dan curah hujan. Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan berbagai dampak negatif dari dilakukannya pembukaan lahan hutan, di antaranya adalah terjadinya perubahan water balance. Analisis data hidrologi untuk sub-DAS Way Besay serta kecenderungan curah hujan total tahunan selama periode 1975-1998 menunjukkan bahwa dengan semakin menyempitnya luas hutan dari tahun ke tahun, maka jumlah hari dalam setahun yang debit airnya melebihi kriteria tertentu yaitu 15, 25 dan 35 m3/detik makin meningkat, walaupun curah hujan tahunan cenderung menurun (Sinukaban et al., 2000). Ini berarti bahwa debit sungai meningkat dengan berkurangnya luas hutan.
Peningkatan ini dapat
dihubungkan dengan berkurangnya intersepsi tajuk pohon-pohonan, sehingga makin banyak air hujan
yang jatuh langsung ke permukaan tanah,
berkurangnya penguapan air melalui evaporasi dan transpirasi, juga disebabkan oleh berkurangnya infiltrasi karena kerusakan struktur tanah lapisan atas pada lahan bekas hutan. Untuk mengurangi dampak konversi lahan tersebut di atas perlu dilakukan penerapan konservasi tanah dan air sesuai dengan kondisi biofisik pada setiap tipe penggunaan lahan selain hutan. Pada usaha tani di
27 lahan kering berlereng biasanya dilakukan cukup intensif, sehingga perlu dibarengi dengan upaya pengendalian degradasi lahan melalui penerapan teknik konservasi tanah dan air serta pengelolaan bahan organik. Bahan organik dalam tanah dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air.
Kemampuan tersebut bervariasi antara satu tempat dengan
tempat lainnya, yang salah satunya disebabkan oleh kandungan bahan organik yang berbeda. Demikian juga pemberian bahan organik ke dalam tanah untuk meningkatkan kemampuan menahan air sangat ditentukan oleh takaran dan macam bahan organik yang diaplikasikan.
Hasil penelitian Sukmana et al.
(1986) melaporkan bahwa tanah yang diberi bahan organik dari opo-opo (Jawa) (Flemingia
congesta)
mampu
menahan
air
hingga
5-6%
lebih
tinggi
dibandingkan dengan kondisi tanah sebelum penanaman, setelah 14 tahun penanaman legum tersebut.
Sedangkan vegetasi alami hanya mampu
meningkatkan kandungan air tanah 2% dari kondisi tanah tanpa vegetasi. Kemampuan agregat untuk bertahan dari gaya perusak dari luar (stabilitas) dapat ditentukan secara kuantitatif melalui Aggregate Stability Index (ASI). Indeks ini merupakan penilaian secara kuantitatif terhadap kemantapan agregat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemantapan agregat antara lain pengolahan tanah, aktivitas mikroorganisme tanah, dan penutupan tajuk tanaman pada permukaan tanah yang dapat menghindari splash erotion akibat curah hujan tinggi. Agregat tanah terbentuk karena proses flokulasi dan fragmentasi. Flokulasi terjadi jika partikel tanah yang pada awalnya dalam keadaan terdispersi, kemudian bergabung membentuk agregat. Sedangkan fragmentasi terjadi jika tanah dalam keadaan masif, kemudian terpecah-pecah membentuk agregat yang lebih kecil. Kemper & Rosenau (1986) mengatakan bahwa makin stabil suatu agregat tanah, makin rendah kepekaannya terhadap erosi (erodibilitas tanah). Akar tanaman memberikan konstribusi terhadap kelimpahan bahan organik tanah dan kemantapan agregat tanah secara langsung melalui material akar tersebut dan secara tidak langsung melalui stimulasi aktivitas mikroorganisme di daerah sekitar perakaran (Watt et al., 1993). Arsyad (2000) mengemukakan bahwa struktur tanah yang penting dalam mempengaruhi infiltrasi adalah ukuran pori dan kemantapan pori. Pori-pori yang mempunyai diameter besar (0,06 mm atau lebih) memungkinkan air keluar dengan cepat sehingga tanah beraerasi baik. Pori-pori tersebut juga
28 memungkinkan udara keluar dari tanah sehingga air dapat masuk. Tanah yang bertekstur kasar mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit menyerap dan menahan air atau unsur. Tanah-tanah yang bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kemampuan menahan dan menyimpan unsur hara tinggi (Hardjowigeno 2003). Ukuran pori dan kemantapan pori berpengaruh terhadap daya infiltrasi, semakin besar dan mantap pori tersebut maka daya infiltrasi akan semakin besar.
Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas lebih kecil
dibandingkan tanah dalam keadaan kering. Aliran
permukaan dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu kapasitas infiltrasi dan permeabilitas lapisan tanah. Apabila kapasitas infiltrasi dan permeabilitas besar dan mempunyai lapisan kedap yang dalam maka aliran permukaan rendah, sedangkan untuk tanah yang bertekstur halus maka penyerapan air akan semakin lambat dan aliran permukaan tinggi. Air tanah bersifat dinamis yang berarti bahwa air tanah bergerak secara tetap
dari
suatu
lokasi
ke
lokasi
lain
melalui
perkolasi,
evaporasi,
evapotranspirasi, irigasi, presipitasi, limpasan dan drainase. Jumlah air yang masuk atau keluar dapat dicerminkan dari simpanan (storage) air dalam tanah. Oleh karena itu konsep simpanan air menjadi lebih penting dibandingkan dengan infiltrasi air. Menurut Hillel (1971), konsep infiltrasi air ke dalam tanah merupakan air yang masuk ke dalam tanah, sedangkan konsep simpanan air merupakan akumulasi akhir dari suatu proses jumlah air yang masuk dan jumlah air yang keluar. Suprayogo, et al. (2004) menerangkan siklus air dalam suatu sistem agroforestri dan beberapa komponen penting yang terlibat dalam siklus dan kesetimbangan air yaitu curah hujan yang jatuh pada suatu kawasan, sebagian akan diintersepsi oleh tajuk tanaman dan lainnya lolos ke permukaan tanah. Air yang ditahan oleh tajuk pohon maupun tanaman semusim sebagian besar akan mengalami penguapan sehingga tidak berpengaruh pada simpanan air dalam tanah. Tajuk pohon yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah air yang ditahan tajuk pada jenis tanaman tersebut ini sesuai dengan data yang dikemukakan oleh Pudjiharta (2001) mengenai besaran intersepsi pada beberapa jenis pohon Eucalyptus (Tabel 1). Akibatnya jumlah air yang lolos (Tabel 1) dan mencapai permukaan tanah juga berbeda. Air hujan yang lolos dari tajuk tanaman akan mencapai permukaan tanah dan sebagian masuk ke
29 dalam tanah melalui proses infiltrasi, sebagian lagi mengalir di permukaan tanah sebagai limpasan permukaan. Sifat-sifat tanah di bawah pohon dan tanaman semusim dan jumlah air yang jatuh di bwah kedua tanaman yang berbeda menyebabkan kecepatan infiltrasi dan limpasan permukaan juga berbeda. Dalam kondisi tertentu infiltrasi di bawah pohon bias cukup tinggi sehingga tidak hanya cukup untuk menunrunkan limpasan permukaaan menjadi nol, tetapi juga mampu menampung limpasan permukaan dari area di bawah tanaman semusim. Tabel 1 Intersepsi air hujan oleh tajuk Eucalyptus Nama jenis E. regnans E. hybrid E. camaldulensis E. signata E. saligna E. urophylla
Intersepsi air hujan % mm 18,7 11,65 229,3 14,63 87,8 22 12,2 156,2 8,8-17,3 122-241
Curah hujan
Air lolos
1968 600 1280 1393
72-76 80,76 80,84 65,00 83,60 74-84
Sumber: Pudjiharta (Buletin Penelitian Hutan Vol. 2 No. 1 Th 2001)