DISERTASI
PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.) DI LAHAN KERING
RUPA MATEUS
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
i
DISERTASI
PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.) DI LAHAN KERING
RUPA MATEUS
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
DISERTASI i
PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.) DI LAHAN KERING
RUPA MATEUS NIM: 1190471016
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ii
PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.) DI LAHAN KERING
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Udayana
RUPA MATEUS NIM: 1190471016
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
iii
LEMBAR PERSETUJUAN/PENGESAHAN
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL: 13 DESEMBER 2013
Promotor,
Prof. Ir. I G.A. Mas Sri Agung, M.Rur.Sc., Ph.D. NIP. 19500126 197302 2 001
Kopromotor I,
Kopromotor II,
Prof. Ir. I G.M. Oka Nurjaya, M.Rur.Sc., Ph.D. NIP.19450819 196902 1 001
Prof. Ir. Suwardji, M.App.Sc.,Ph.D. NIP.19580403 198603 1 004
Mengetahui: Ketua Program Studi Doktor Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K) NIP.19590215 198510 2 001
Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, M.P. NIP. 19560525 198303 1 002
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Disertasi Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana pada Ujian Tertutup
Tanggal: 13 Desember 2013
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana No: 3181/H.14.4/HK/2013 Tanggal: 04 Desember 2013
Ketua
: Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, M.S.
Anggota: 1.
Prof. Ir. I G.A. Mas Sri Agung, M.Rur.Sc., Ph.D.
2.
Prof. Ir. I G.M. Oka Nurjaya, M.Rur.Sc., Ph.D.
3.
Prof. Ir. Suwardji, M.App.Sc.,Ph.D.
4.
Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, M.P.
5.
Prof. Ir. I Nyoman Merit, M.Agr. Ph.D.
6.
Prof. Dr. Ir. I Wayan Arthana, M.S.
7.
Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS.
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Rupa Mateus
NIM
: 1190471016
Program Studi
: Doktor Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Uiversitas Udayana
Konsentrasi
: Pengelolaan Sumberdaya Air dan Lahan Pertanian
Judul Disertasi
: Peranan Legum Penutup Tanah Tropis dalam Meningkatkan Simpanan Karbon Organik dan Kualitas Tanah serta Hasil Jagung (Zea mays L.) di Lahan Kering
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat.
Apabila
dikemudiaan hari ditemukan terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sangsi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian dari Disertasi ini juga telah dipublikasikan pada Journal of Biology, Agriculture and Healthcare; The International Institute for Science, Technology and Education (IISTE), Volume 3, No. 16, Tahun 2013, halaman 107-114. Demikian surat penyataan bebas plagiat ini di buat.
Denpasar, 21 Pebruari 2014
Rupa Mateus
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan Berkat dan RahmatNya melalui energi dan kesehatan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Doktor Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Penyelesaian disertasi ini tentunya akan sulit terwujud tanpa arahan, bimbingan dan kontribusi pengetahuan dari Tim Promotor. Penulis merasa berhutang budi kepada beliau tim promotor, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Ir. I G.A. Mas Sri Agung, M.Rur.Sc., Ph.D., selaku Promotor yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Ir. I G.M. Oka Nurjaya, M.Rur.Sc., Ph.D selaku kopromotor I dan Prof. Ir. Suwardji, M.App.Sc.,Ph.D., dari Universitas Mataram selaku kopromotor II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama pula penulis tujukkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KMEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukkan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program doktor pada Program Studi Doktor
Ilmu Pertanian. Terima kasih ini juga
disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, M.P selaku Ketua Program Studi Doktor Ilmu Petanian atas bimbingan dan arahannya dalam mengikuti program doktor. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para penguji disertasi yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud seperti ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Tim Manajemen Program Doktor yang telah memberikan bantuan finansial dalam bentuk BPPS sehingga dapat meringankan beban penulis dalam menyelasaikan studi ini.
vii
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru, mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang telah membimbing penulis sehingga sampai pada jenjang pendidikan tertinggi ini. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua Bapak dan Mama yang telah mengasuh dan membersarkan penulis. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta Ema dan kedua anak terkasih Ririananda Johan Balan Demoor dan Ciciliananda B.N.Somy Demoor
yang dengan penuh pengorbanan,
pengertian, cinta dan kasih serta kesabarannya telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk lebih berkonsentrasi dalam menyelesaikan disertasi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas budi baik dan melimpahkan BerkatNya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi ini.
Denpasar, 21 Pebruari 2014
Rupa Mateus
viii
ABSTRAK PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.) DI LAHAN KERING Rendahnya kesuburan tanah, erosi tanah dan masalah gulma pada usaha tani di lahan kering di negara-negara berkembang mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan dan rendahnya hasil tanaman. Hal ini disebabkan oleh rendahnya simpanan C-organik dan kualitas tanah. Tanaman penutup tanah, terutama legum penutup tanah (LPT) tropis dapat meningkatkan simpanan Corganik dan kualitas tanah di daerah tropis jika diterapkan secara baik dan benar. LPT tropis dapat berperan dalam mencapai tujuan pertanian berkelanjutan melalui pengurangan pemakaian pupuk kimia dan sebagai bahan pembenah tanah lainnya serta memberikan hasil yang setara dengan yang diberikan oleh pupuk kimia. Penelitian telah dilakukan dari bulan Juni 2012 sampai Agustus 2013 di lahan kering milik petani di desa Oelnasi, kecamatan Kupang Tengah, kabupaten Kupang, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Empat percobaan lapangan telah dilakukan untuk menguji peranan LPT tropis dalam meningkatkan simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung. Keempat percobaan tersebut masing-masing adalah: (1) Laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT dengan metode litter bags; (2) Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT terhadap tingkat sinkronisasi hara N selama pertumbuhan vegetatif tanaman jagung; (3) Kajian potensi LPT dalam meningkatkan simpanan Corganik dan kualitas tanah di lahan kering; dan (4) Pengaruh pengelolaan biomas LPT pasca bera terhadap simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering. Percobaan tersebut masing-masing dirancang dengan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL), rancangan acak lengkap (RAL), rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dan rancangan petak terpisah (RPT). Empat species LPT tropis yang digunakan adalah Centrosema pubescens Benth., Mucuna pruriens L., Crotalaria usaramoensis L. dan Phaseolus lunatus L. Varietas jagung yang digunakan adalah Lamuru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomasa P. lunatus L. dan C. usaramoensis L. mempunyai kualitas kimia yang lebih baik, laju dekomposisi yang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan simpanan C-organik tanah masing-masing sebesar 63,18% (86,70 t ha-1) dan 63,16% (86,69 t ha1 ). Peningkatan simpanan C-organik tanah secara signifikan dapat meningkatkan kualitas tanah. Biomasa kedua species tersebut yang dibenamkan ke dalam tanah 10 hari sebelum penanaman jagung dapat meningkatkan bobot biji jagung pipilan kering (k.a. 15%) sebesar 88,17% (7,00 t ha-1) dan 86,29% (6,93 t ha-1) lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh species M. pruriens L. dan C. pubescenc Benth. Dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan dengan pemberaan menggunakan LPT tropis adalah potensial untuk meningkatkan produktivitas pertanian di lahan kering.
Kata kunci: Legum penutup tanah tropis, simpanan karbon organik tanah, kualitas tanah, hasil jagung, lahan kering.
ix
ABSTRACT THE ROLES OF TROPICAL LEGUME COVER CROPS IN INCREASING SOIL STORAGE ORGANIC CARBON, SOIL QUALITY AND YIELDS OF CORN (Zea mays L.) AT DRYLAND FARMING AREA
Low fertility of soils, erosion, and weed problems on dryland farms in developing countries resulted in low land productivity and crop yields. This could be due to low soil storage organic carbon (SOC) and soil quality. Cover crops, particularly tropical legumes help to increase soil soil SOC and soil quality in tropical drylands by adding crop residues above and below the ground. The legume cover crops (LCC) can play an important role toward achieving the objectives of sustainable agriculture through the reduction of chemical fertilizer and organic amendments used, and yet produce yields equivalent to those produced with conventional fertilizer rates. The research was conducted from June 2012 to August 2013 at farmer’s dryland farming of Oelnasi village, district of Kupang Tengah, Kupang regency, province of Nusa Tenggara Timur (NTT). Four field experiments were conducted to study the roles of tropical legume cover crops in increasing soil organic carbon, soil quality and yields of corn. Those field experiments were respectively: 1) Rates of decomposition and nutrient release from biomass of several legume cover crop (LCC) species with litter bag method ; 2) The effect of incubation duration of LCC biomass on levels of N nutrient sincronization during corn vegetative growth; 3) The study of LCC potential in increasing soil storage organic carbon (SOC) and soil quality at dryland farming; and 4) The effect of post fallow management of LCC biomass on soil SOC, soil quality and corn yields at dryland farming. The experiments were designed respectively in completely randomized block, completely randomized, completely randomized block and split plot designs. Four species of LCC involved in all experiments were Centrosema pubescens Benth., Mucuna pruriens L., Crotalaria usaramoensis L. and Phaseolus lunatus L . Corn variety used was Lamuru. Results of the research showed that species of P. lunatus L. and C. usaramoensis L. had better biomass chemical characteristics, the highest rate of decomposistion and were consequently able to increase soil SOC by 63,18% (86,70 t ha-1) and 63,16% (86,69 t ha1 ) respectively. The increased SOC significantly increased the quality of soil. Embedded biomass of the two species in the soil 10 days before corn planting resulted in significant 88.17% (7.00 t ha-1) and 86.29% (6.93 t ha-1) higher grain dry weight compared to those of species of M. pruriens and C. pubescenc Benth. respectively. It can be concluded that a fallow management system with legume tropical cover crops is potential for increasing the productivity of dryland farming areas. Key words:Tropical legume cover crops, soil storage organic carbon (SOC), soil quality, corn yields, dryland
x
RINGKASAN
PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.) DI LAHAN KERING Rendahnya kesuburan tanah, erosi tanah dan masalah gulma pada usaha tani di lahan kering di negara-negara berkembang mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan dan rendahnya hasil tanaman. Hal ini disebabkan oleh rendahnya simpanan karbon (C) organik dan kualitas tanah. Tanaman penutup tanah, terutama legum penutup tanah (LPT) tropis dapat meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah di daerah tropis dengan cara mengembalikan residu atau biomasa tanaman jika dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
LPT tropis berperanan dalam mencapai tujuan pertanian
berkelanjutan melalui pengurangan pemakaian pupuk kimia dan sebagai bahan pembenah tanah lainnya serta memberikan hasil yang setara dengan yang diberikan oleh pupuk kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis legum penutup tanah tropis spesifik yang dapat mengatasi permasalahan simpanan C-organik dan kualitas tanah serta hasil jagung dan tanaman pangan semusim lainnya di lahan kering. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Juni 2012 sampai Agustus 2013 di lahan kering milik petani di desa Oelnasi, kecamatan Kupang Tengah, kabupaten Kupang, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Empat percobaan lapangan telah dilakukan untuk mengevaluasi peranan LPT tropis dalam meningkatkan simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung. Keempat percobaan tersebut masing-masing adalah: 1) Laju decomposisi dan pelepasan hara dari biomasa beberapa species LPT dengan metode litter bags; 2) Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT terhadap tingkat sinkronisasi hara N selama pertumbuhan vegetatif tanaman jagung; 3) Kajian potensi LPT dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering; dan 4) Pengaruh pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering.
Percobaan tersebut masing-masing dirancang dengan
rancangan acak kelompok lengkap (RAKL), rancangan acak lengkap (RAL), rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dan rancangan petak terpisah (RPT). Empat species LPT tropis yang digunakan adalah Centrosema pubescens Benth., Mucuna pruriens L., Crotalaria usaramoensis L. dan Phaseolus lunatus L. Varietas jagung yang digunakan adalah Lamuru.
xi
Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa pengelolaan lahan kering melalui sistem pemberaan dengan legum penutup tanah tropis, potensial untuk dikembangkan di lahan kering. Hal ini karena secara umum LPT memiliki kualitas biomasa yang baik dan secara nyata meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah serta hasil jagung di lahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (i) jenis biomasa LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang diaplikasikan dengan cara pembenaman mempunyai konstanta laju dekomposisi (k) yang lebih tinggi, yaitu masing-masing sebesar 0,27 (dengan laju dekomposisi 2,34 g hari-1 atau 0,26 g tahun-1) dan 0,24 (dengan laju dekomposisi 2,28 g hari-1 atau 0,25 g tahun-1), serta berbeda dengan species biomasa M. pruriens L. (MP) dan C. pubescens Benth. (CP); (ii) masa inkubasi biomasa LPT 10 hari sebelum tanam secara nyata dapat meningkatkan sinkronisasi hara N pada tanaman selama fase vegetatif jagung dibandingkan dengan masa inkubasi 20 dan 30 hari sebelum penanaman jagung; (iii) jenis LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang digunakan dalam sistem pemberaan lahan budidaya pertanian, mampu meningkatkan simpanan C-organik tanah masing-masing sebesar 63,18% (86,70 t ha-1) dan 63,16% (86,69 t ha-1). Peningkatan simpanan Corganik secara nyata meningkatkan kualitas tanah; (iv) pengelolaan biomasa LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) in situ pasca bera yang dibenamkan ke dalam tanah 10 hari sebelum penanaman jagung dapat meningkatkan bobot pipilan jagung kering k.a. 15% sebesar 88,17% (7,00 t ha-1) dan 86,29% (6,93 t ha-1) lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh species M. pruriens dan C. pubescenc Benth.; dan (v) terdapat hubungan yang erat antara simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah dengan hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1) di lahan kering yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,83. Rekomendasi aplikatif yang dapat diberikan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering
terutama tanaman pangan semusim adalah: (a) agar hasil temuan ini dapat
memberikan manfaat bagi petani lahan kering, maka perlu dilakukan desiminasi untuk memperkenalkan hasil temuan; (b) perlu dilakukan penelitian eksplorasi lanjutan untuk mengkaji jenis LPT lain yang potensial dikembangkan di lahan kering; (c) produktivitas lahan kering
terutama tanaman pangan semusim dapat ditingkatkan melalui sistem
pemberaan (fallow system) dengan LPT, seperti C. usaramoensis (CU) dan P. lunatus (PL); dan (d) species M. pruriens dapat dipertimbangkan sebagai tanaman bera untuk peningkatan simpanan C-organik tanah (soil storage organic carbon) di lahan kering, walaupun kontribisi terhadap hasil jagung masih rendah.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM......................................................................................
ii
PERSYARATAN GELAR...........................................................................
iii
LEMBAR PERSETUJUAN/PENGESAHAAN..........................................
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI.............................................................
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...........................................................
vi
UCAPAN TERIMA KASIH........................................................................
vii
ABSTRAK....................................................................................................
ix
ABSTRACT.................................................................................................
x
RINGKASAN..............................................................................................
xi
DAFTAR ISI................................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL........................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................
xix
DAFTAR SINGKATAN..............................................................................
xx
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xxi
I.
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian .........................................................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
9
2.1. Lahan Kering dan Permasalahannya .............................................
9
2.2. Karbon Organik Tanah...................................................................
13
2.3. Kualitas Tanah ...............................................................................
16
2.4. Tanaman Legum Penutup Tanah Tropis........................................
19
2.5. Dekomposisi Bahan Organik ......................................................... 2.6. Pengelolaan Bahan Organik (Biomasa tanaman) untuk Meningkatkan Sinkronisasi Hara pada Tanaman .....................................
28 32
III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ..................
36
3.1. Kerangka Berpikir..........................................................................
36
3.2. Konsep Penelitian...........................................................................
40
3.3. Hipotesis Penelitian .......................................................................
43
xiii
IV. METODE PENELITIAN .....................................................................
44
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................
44
4.2. Bahan dan Alat Penelitian ............................................................
45
4.3. Metode Penelitian ........................................................................
46
4.3.1. Observasi pendahuluan ....................................................... 4.3.2. Percobaan 1: Kajian laju dekomposisi dan pelepasan hara dari berbagai biomasa LPT................................................. 4.3.3. Percobaan 2: Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT terhadap tingkat sinkronisasi hara N pada tanaman jagung selama fase vegetatif............................................... 4.3.4. Percobaan 3: Kajian potensi LPT sebagai tanaman bera dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering........................................................... 4.3.5. Percobaan 4: Pengaruh pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap simpanan C-organik dan kualitas tanah serta hasil jagung di lahan kering....................................... 4.4 Analisis Data Penelitian................................................................
46
V. HASIL PENELITIAN..........................................................................
64
5.1. Kualitas Biomasa LPT................................................................
47 51
54
58 63
64
5.2. Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT terhadap Laju Dekomposisi dan Besarnya Pelepasan Hara................................ 5.3. Pengaruh Masa Inkubasi Berbagai Biomasa LPT terhadap Tingkat Sinkronisasi Hara N pada Tanaman Jagung Selama Fase Vegetatif..............................................................................
76
5.4. Potensi LPT sebagai tanaman bera dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering.............
82
5.5. Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap Simpanan C-organik dan Kualitas Tanah serta Hasil Jagung di Lahan Kering............................................................................... 5.6. Hubungan antara Simpanan C-organik, Kualitas Tanah dan Hasil Jagung di Lahan Kering...................................................... VI. PEMBAHASAN................................................................................. 6.1. Laju Dekomposisi dan Mineralisasi Biomasa LPT..................... 6.2. Kontribusi LPT terhadap Simpanan C-organik dan Kualitas Tanah di Lahan Kering............................................................... 6.3. Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap Sinkronisasi Hara dan Hasil Jagung di Lahan Kering..................................... 6.4. Model Pengelolaan Lahan Kering di Masa Depan .....................
xiv
66
95 110
112 112 120 131 136
6.5. Temuan Baru Penelitian............................................................... VII. SIMPULAN DAN SARAN..............................................................
139 140
7.1. Simpulan.......................................................................................
140
7.2. Saran.............................................................................................
141
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
142
LAMPIRAN-LAMPIRAN.....................................................................................
153
xv
DAFTAR TABEL
No
Judul
5.1
Rata-rata kualitas kimia dari empat jenis LPT tropis di lahan kering .......
65
5.2
Rata-rata kadar air biomasa LPT selama masa dekomposisi dalam litter bag pada masing-masing faktor tunggal .................................
67
Rata-rata 5 pelepasan hara selama masa dekomposisi pada pengaruh interaksi . antara jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter 3 bag ................................................................................
5.4
5.5
Rata-rata total koloni mikroba dalam biomasa LPT setelah 40 hari dekomposisi pada pengaruh interaksi antara jenis dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag ................................................... Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap serapan N tanaman jagung pada fase vegetatif ...............................
Hal.
70
75 80
5.6
Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap bobot kering total tanaman jagung pada fase vegetatif ....................
81
5.7
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap prosentase penutupan tanah...............................................................................
83
5.8
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap bobot isi tanah dan porositas tanah setelah 5 bulan pemberaan......................
5.9
5.10
5.11
5.12
5.13
86
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap produksi biomasa, serapan C tanaman dan simpanan C-organik tanah setelah 5 bulan pemberaan................................................................
87
Pengaruh jenis tanaman penutup tanah sebagai tanaman bera terhadap kadar N total tanaman, ratio C/N dan N yang tertambat setelah 5 bulan pemberaan................................................................
89
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap pH tanah, kadar Corganik tanah dan bahan organik tanah setelah 5 bulan pemberaan ........
90
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap N total tanah, Ptersedia, K, Ca, Mg dan KTK tanah setelah 5 bulan pemberaan ..
92
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap infeksi mikoriza (MVA) dan total koloni mikroba tanah setelah 5 bulan pemberaan.........................................................................................
xvi
94
5.14
5.15
5.16
5.17
5.18
5.19
5.20
5.21
5.22
5.23
Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata simpanan C-organik tanah, bobot isi tanah dan porositas tanah setelah panen jagung............................................... Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata pH tanah (pH H2O 1:1), kadar C-organik tanah dan bahan organik tanah setelah panen jagung................................ Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera terhadap kadar N total tanah setelah panen jagung................................................................................................ Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera terhadap kadar K tanah setelah panen jagung................. Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah setelah panen jagung...................................................................................... Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera terhadap KTK tanah setelah panen jagung...................... Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah setelah panen jagung......................................................................... Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata panjang tongkol, diameter tongkol, bobot biji tongkol-1, bobot 100 biji jagung........................................................ Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap hasil jagung pipilan kering k.a 15% dan bobot kering tanaman jagung.................................................................................. Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap bobot kering gulma.............................................................
xvii
95
98
99
100
101
103
104
106
108 109
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
2.1
Pola curah hujan dalam 10 tahun (2003-2012) di kabupaten Kupang NTT ....................................................................................
11
3.1
Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian..........................................
38
3.2
Kerangka Konsep Penelitian.............................................................
42
5.1
Histogram hasil analisis rata-rata kehilangan berat biomasa LPT (%) pada pengaruh interaksi antara jenis biomasa dan metode aplikasi biomasa LPT dalam litter bag.............................................
5. 2 Histogram hasil analisis rata-rata konstanta laju dekomposisi (k) pada masing-masing jenis biomasa LPT........................................... 5.3
Rata-rata kadar N total tanah yang diberi perlakuan masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung.............
Hal.
68
73 76
5.4
Rata-rata kadar N-tersedia tanah pada pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung dalam pot.....................................................................................................
78
5.5
Rata-rata kadar air tanah selama masa bera dengan berbagai jenis LPT....................................................................................................
84
5.6
Rata-rata suhu tanah permukaan selama masa bera dengan berbagai jenis LPT ............................................................................
6.1
Pola tanam yang dipertimbangkan sesuai untuk pengelolaan pertanian lahan kering berkelanjutan................................................
xviii
85 137
DAFTAR SINGKATAN
NTT
:
Nusa Tenggara Timur
C-organik
:
Karbon organik tanah
LPT
:
Legum penutup tanah
CP
:
Centrosema pubescens Benth.
MP
Mucuna pruriens L.
CU
Crotolaria usaramoensis L.
PL
Phaseolus lunatus L.
hst
:
hari setelah tanam
Bst
:
bulan setelah tanam
cfu
:
Coloni form unit
k.a.
:
Kadar air
b.k
:
Bobot kering
KTK
:
Kapasitas tukar kation
k
:
Konstanta pelapukan
xix
DAFTAR LAMPIRAN No.
Judul
Hal.
1
Analisis Sifat Tanah Percobaan ....................................................
153
2
Deskripsi jagung varietas Lamuru..................................................
154
3
Denah percobaan lapang (percobaan 3) dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL)..........................................................
155
4
Ukuran petak pada percobaan 3 dan plot pengambilan sampel LPT.................................................................................................
156
5.a
Denah percobaan lapang dan pengacakan pada percobaan 4 yang disusun dalam Rancangan Petak Terpisah (RPT).........................
157
5.b
Ukuran anak petak, petak utama dan plot pengambilan sampel ubinan, pada percobaan 4...............................................................
158
6
Data hasil analisis laboratorium kualitas kimia biomasa LPT......
159
7
Analisis ragam kadar air (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1.....................................................
160
8
Analisis ragam kehilangan berat (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1.............................................
160
9.a
Analisis ragam pelepasan C-organik (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi pada percobaan 1.................................
160
9.b
Analisis ragam pelepasan N (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1......................................................
161
9.c
Analisis ragam pelepasan P (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1......................................................
161
9.d
Analisis ragam pelepasan K (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1......................................................
161
9.e
Analisis ragam pelepasan Ca (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1......................................................
162
10
Analisis ragam konstanta laju dekomposisi (k) biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1................................
162
11
Analisis ragam total koloni mikroba biomasa LPT setelah 40 hari masa dekomposisi, pada percobaan 1.....................................
162
12
Analisis ragam kadar N total tanah (mg kg-1) selama fase vegetatif jagung, pada percobaan 2................................................
163
13
Analisis ragam kadar N tersedia tanah (mg kg-1) selama fase vegetatif
163
xx
jagung, pada percobaan 2...............................................
14
Analisis ragam serapan N tanaman jagung (mg kg-1) selama fase vegetatif, pada percobaan 2..............................................................
163
15
Analisis ragam bobot kering total tanaman jagung (g tanaman-1) selama fase vegetatif jagung, pada percobaan 2..............................
163
16
Analisis ragam prosentase penutupan tanah (%), pada percobaan 3........................................................................................................
17
Analisis ragam kadar air tanah (%) selama masa bera, pada percobaan 3.......................................................................................
18
Analisis ragam suhu tanah (oC) selama masa bera, pada percobaan 3........................................................................................................
163 164
164
19
Analisis ragam bobot isi tanah (g cm-3) dan porositas tanah (%) pasca bera, pada percobaan 3............................................................
164
20
Analisis ragam produksi biomasa (b.k. t ha-1), serapan C tanaman (t ha-1) dan simpanan C-organik tanah (t ha-1), pada percobaan 3...
164
21
Analisis ragam kadar N jaringan tanaman (%), Nisbah C/N dan N yang tertambat (t ha-1), pada percobaan 3.........................................
165
22
Analisis ragam pH tanah, C-organik (%) dan bahan organik tanah (%), pada percobaan 3......................................................................
165
23
Analisis ragam kadar N total, P tersedia dan K tanah setelah 5 bulan pemberaan, pada percobaan 3.................................................
165
24
Analisis ragam Ca (me 100 g-1 tanah), Mg (me 100 g-1 tanah) dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah (me 100 g-1 tanah) setelah 5 bulan pemberaan, pada percobaan 3.................................................
165
25
Analisis ragam infeksi mikoriza (%) dan total koloni mikroba tanah (cfu), pada percobaan 3...........................................................
166
26
Analisis ragam simpanan C-organik tanah (t ha-1), bobot isi tanah (g cm1 ) dan porositas tanah (%), setelah panen jagung (akhir percobaan 4).....................................................................................
27
Analisis ragam pH tanah, C-organik dan bahan organik tanah, setelah panen jagung (akhir percobaan 4..........................................
28
Analisis ragam kadar N total tanah (%) dan kadar K tanah (me 100 g-1 tanah), setelah panen jagung (akhir percobaan 4)................
29
Analisis ragam kadar Ca (me 100 g-1 tanah) dan Mg (me 100 g-1 tanah) dan KTK tanah (me 100 g-1 tanah), setelah panen jagung (akhir
xxi
166 166
167
percobaan 4)...........................................................................
30
31
Analisis ragam total koloni mikroba tanah (cfu) dan respirasi tanah (mg CO2 g tanah-1), setelah panen jagung (akhir percobaan 4)...................................................................................................... Analisis ragam panjang tongkol (cm), diameter tongkol (cm) bobot biji tongkol-1 (g), bobot 100 biji (g), pada akhir percobaan 4........................................................................................................
167
167
168
32
Analisis ragam bobot kering tanaman (t ha-1) dan hasil jagung pipilan kering k.a 15% (t ha-1), pada akhir percobaan 4.................
168
33
Analisis ragam bobot kering gulma (g m-2) pada 20 hst dan 40 hst, pada akhir percobaan 4....................................................................
168
34
Hasil analisis regresi antara simpanan C dengan kualitas tanah, pada akhir percobaan 4.....................................................................
169
35
Hasil analisis regresi antara hasil jagung dengan simpanan C dan kualitas tanah, pada akhir percobaan 4.............................................
170
36
Peta Adminstratif Kabupten Kupang, provinsi NTT yang menjadi lokasi penelitian ...............................................................................
171
xxii
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sistem pertanian lahan kering merupakan suatu praktek budidaya pertanian yang sangat beragam, dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada faktor iklim, sehingga mudah terdegradasi apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Degradasi (kerusakan) tanah pada ekosistem pertanian lahan kering lebih dominan disebabkan oleh faktor alami (erosi) dan faktor pengelolaan lahan, seperti kegiatan deforestasi, sistem pertanian konvensional
dan pola
usahatani tradisional. Degradasi lahan hampir selalu disertai dengan kemerosotan simpanan C-organik tanah, yang berdampak pada penurunan produktivitas lahan kering (Semaoen et al., 1991; Lal, 1995; Lal et al., 2000; Dariah et al., 2010). Studi tentang simpanan karbon (Carbon sink) tanah telah menjadi perhatian dalam rangka menilai kualitas tanah akibat praktek pertanian konvensional yang cenderung menyebabkan degradasi tanah. Perhatian yang besar terhadap simpanan C-organik tanah karena, C-organik dalam tanah merupakan bagian dari sistem tanah yang kompleks dan dinamis, sifatnya yang sangat labil dan kandungannya dapat berubah sangat cepat tergantung manajemen pengelolaan tanah (Lipper dan Uren, 1993; Blair et al., 1998; Nardi et al., 2004; Liu et al., 2006; Surhone et al., 2010; Seremecic et al., 2011). Kadar C-organik dalam tanah mencerminkan kandungan bahan organik dalam tanah yang merupakan tolok ukur yang penting untuk pengelolaan tanah-tanah pertanian.
Bahkan C-organik
dipercaya sebagai kunci ketahanan terhadap kekeringan dan kelestarian produksi pangan (Bot dan Benites, 2005). 1
Di dalam ekosistem tanah, C-organik merupakan komponen penting yang mempengaruhi sifat-sifat tanah lainnya untuk mendukung pertumbuhan tanaman, yaitu sebagai sumber energi dan pemicu ketersediaan hara bagi tanaman (Edwards et al., 1999; Bot dan Benites, 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa C-organik tanah memegang peranan penting sebagai sumber (source) dan penyerap (sink) hara serta sebagai substrat bagi mikroba tanah (Lal et al., 2001; Kimble et al., 2002; Tornquist et al., 2009). Menurut Kuo et al. (1997) dan Collins et al. (1992), salah satu indikator keberhasilan pengelolaan lahan pertanian adalah tetap terjaganya cadangan C-organik tanah, sehingga keseimbangan dalam tanah, lingkungan dan keaneka ragaman hayati tetap terjaga dan lestari. Tanah-tanah pertanian lahan kering umumnya mempunyai kadar Corganik yang rendah < 1% (Samosir (2000). Sementara, sistem pertanian bisa menjadi sustainable (berkelanjutan) jika kandungan C-organik tanah lebih dari 2% (Young, 1989; Handayanto, 1999). Lebih lanjut menurut Lal (2006), lahanlahan pertanian tropis dengan pemanfaatan yang intensif tanpa adanya upaya konservasi, dapat menyebabkan kehilangan C-organik sebesar 60-80%. Keadaan itu dapat berdampak pada menurunnya produktivitas lahan kering. Menurunnya kadar C-organik tanah di lahan kering sangat cepat terjadi bila residu tanaman dikeluarkan dari lahan produksi ataupun di bakar seperti yang banyak dilakukan oleh petani. Sehubungan dengan kendala tersebut, maka diperlukan upaya untuk memperbaiki kemerosotan simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah. Upaya praktis yang dapat dilakukan adalah melalui penambahan bahan organik sebagai
2
sumber C-organik tanah. Namun demikian untuk mendapatkan pengaruh yang nyata, penggunaan bahan organik baik sebagai sumber pupuk organik dan atau bahan pembenah tanah (soil conditioner) membutuhkan jumlah yang relatif banyak, yaitu berkisar 5-20 t ha-1 (Dariah et al., 2010) sehingga seringkali sulit bagi petani, jika sumber bahan organik tidak bersifat in situ. Peningkatan simpanan C-organik dan kualitas tanah dapat dicapai dengan penggunaan dan pengelolaan legum penutup tanah (LPT) in situ dalam sistem budidaya pertanian (Power, 1987; Dinga et al., 2006; Sarrantonio, 2007; Steenwerth dan Belina, 2008; Acosta, 2009; Wang et al., 2010; Olson et al., 2010) baik sebagai tanaman sela atau tanaman pengisi selama masa bera. Pemanfaatan LPT menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah ketersediaan bahan organik in situ, karena murah dan mudah bagi petani. Penanaman tanaman LPT dapat dilakukan menjelang panen tanaman semusim dan dibiarkan tumbuh selama masa bera agar tidak menggangu sistem usahatani tanaman pangan semusim pada musim hujan. Tanaman LPT diperlukan dalam pengelolaan kesuburan tanah di lahan kering, karena memiliki pertumbuhan yang cepat serta adaptif kering dengan kesuburan tanah yang rendah.
pada kondisi
Ditinjau dari aspek ekologis
pemanfaatan LPT pada masa bera sangat menguntungkan, karena secara umum LPT dapat
berperan sebagai sumber C-organik tanah dalam memelihara
kesehatan dan kualitas tanah. Keberadaan LPT dalam lahan budidaya selama masa bera dapat berperan sebagai penyelamat hara (proses daur-ulang hara) dan menciptakan keseimbangan ekologis secara berkelanjutan melalui sistem
3
perakaran dan input tutupan biomasa tanaman dari waktu ke waktu (La1, 1998; Reijntjes et al., 1999; Bot dan Benites, 2005; Arsyad, 2010). Penutupan permukaan tanah oleh LPT selama masa bera juga berdampak pada penekanan pertumbuhan berbagai jenis gulma (Pettifer, 2003) yang merupakan salah satu masalah dalam sistem budidaya lahan kering. Di daerah tropis tersedia banyak jenis LPT seperti Centrosema pubescens Benth. (CP), Mucuna pruriens L. (MP), Crotolaria usaramoensis L. (CU), Phaseolus lunatus L. (PL) maupun jenis tanaman penutup tanah lainnya. Jenis LPT tersebut banyak dikembangkan pada areal perkebunan untuk tujuan konservasi lengas tanah dan sebagai penyubur tanah (Wilson dan Okigbo, 1982; Dirjenbun, 1984). Tanaman LPT merupakan tanaman multi fungsi dan memberikan peranan penting dalam pengelolaan kesuburan tanah di daerah tropis (Sarrantonio, 2007; Acosta, 2009).
Secara umum LPT memiliki kualitas biomasa yang tinggi,
sehingga dapat menigkatkan ketersediaan unsur hara tanah terutama N dan memperbaiki sifat-sifat fisik tanah (Haynes, 1986).
Namun pemanfaatannya
dalam sistem pertanian lahan kering masih sangat terbatas, karena berbagai kendala. Kendala tersebut antara lain, petani tidak ingin mengorbankan lahannya untuk ditanami berbagai tanaman LPT yang tidak memiliki nilai ekonomi secara langsung. Selain itu faktor pengetahuan atau pemahaman petani mengenai potensi tanaman LPT masih terbatas. Permasalahan lainnya adalah informasi tingkat efektifitas LPT sebagai pupuk hijau yang belum jelas. Tingkat efektifitas LPT dalam perbaikan kualitas tanah pertanian pada prinsipnya tergantung pada
4
produksi biomasa sebagai sumber bahan organik yang diberikan, komposisi sifat kimia biomasa asal, serta laju dekomposisi dan mineralisasi. Dekomposisi
merupakan proses biologis yang terjadi secara alamiah dan menentukan besarnya pelepasan hara (Temel, 2003) dan besarnya simpanan C-organik dalam tanah (Juma, 1998; Bell et al., 1999; Berge dan McClaugherty, 2002) Kecepatan pelapukan dan mineralisasi sangat ditentukan oleh kualitas bahan organik tersebut, yakni kandungan nitrogen, lignin, polifenol dan faktorfaktor lingkungan lainnya (Tian et al., 1992; Stevenson, 1994; Juma, 1998; Hairiah et al., 2003).
Kualitas bahan organik dinyatakan tinggi apabila
kandungan N tinggi (>2,5%), nisbah C/N rendah (<20) serta kandungan lignin (<15%) dan polifenol (<4%) sehingga proses pelepasan unsur haranya cepat dan bertepatan pada saat tanaman membutuhkan (Handayanto dan Ismunandar, 1999; Hartemink et al., 2001; Oladoye et al., 2005; Shimamura dan Momose, 2005). Sebaliknya kualitas bahan organik yang rendah akan
mengakibatkan proses
pelepasan unsur hara berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak terjadi sinkronisasi (Young, 1989).
Sinkronisasi merupakan
ketepatan (matching) menurut waktu, yaitu ketersediaan unsur hara dan kebutuhan tanaman akan unsur hara (Myers et al., 1997). Upaya peningkatan sinkronisasi hara dapat dilakukan melalui pengelolaan waktu pengembalian biomasa LPT in situ dengan waktu tanam. Pengelolaan biomasa LPT dilapangan dapat dilakukan dengan cara pembenaman (inkorporasi) bersamaan dengan pengolahan tanah. Menurut Rachman et al. (2006) pembenaman biomasa segar dapat dilakukan 20-30 hari sebelum tanam.
5
Pembenaman biomasa tanaman sebelum tanam merupakan cara yang tepat untuk mempercepat laju dekomposisi sehingga tingkat sinkronisasi hara dapat tercapai. Penelitian-penelitian tentang peranan LPT terhadap perbaikan kualitas tanah secara parsial telah banyak dilakukan di berbagai negara. Di Indonesia lebih banyak dilakukan pada areal perkebunan untuk tujuan konservasi lengas tanah. Sedangkan penelitian serupa dalam upaya untuk perbaikan kualitas tanah dalam sistem pertanian di lahan kering masih sangat terbatas.
Selain itu,
penelitian yang secara khusus menelaah perubahan simpanan C-organik dan kualitas tanah dalam sistem pertanian di lahan kering melalui sistem pemberaan (fallow system) dengan LPT belum banyak dilakukan.
Atas dasar pemikiran
tersebut di atas maka telah dilakukan penelitian tentang “peranan legum penutup tanah tropis dalam meningkatkan simpanan karbon organik dan kualitas tanah serta hasil jagung (Zea mays L.) di lahan kering”. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka beberapa masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT berbeda antara jenis LPT dan cara aplikasi?; 2. Apakah masa inkubasi biomasa LPT yang dilakukan sebelum tanam berpengaruh terhadap tingkat sinkronisasi hara pada tanaman jagung?; 3. Apakah sistem pemberaan lahan dengan LPT berpengaruh terhadap simpanan C-organik dan kualitas tanah dalam sistem budidaya di lahan kering?;
6
4. Apakah pengelolaan biomasa LPT in situ pasca pemberaan mempengaruhi simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering?; 5. Apakah ada hubungan antara simpanan C-organik tanah dengan kualitas tanah dan hasil jagung pasca pemberaan dengan LPT? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan dengan tujuan umum adalah untuk menemukan teknologi pengelolaan lahan kering spesifik dengan berbagai jenis LPT tropis. 1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ini terdiri dari berbagai tahap percobaan, masing-masing dengan tujuan khusus sebagai berikut: 1. untuk mendapatkan jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa LPT yang memberikan laju dekomposisi dan besarnya pelepasan hara tertinggi; 2. untuk mendapatkan waktu inkubasi biomasa LPT sebelum tanam yang dapat meningkatkan sinkronisasi hara pada tanaman jagung; 3. untuk mengkaji potensi LPT selama masa bera dan pengaruhnya terhadap simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering; 4. untuk mendapatkan jenis LPT potensial lahan kering dan cara pengelolaan biomasa in situ yang dapat meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah serta hasil jagung di lahan kering; 5. untuk mengetahui hubungan antara simpanan C-organik dengan kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering.
7
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara akademik (untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi), maupun secara praktis (dapat memecahkan masalah pembangunan pertanian lahan kering menuju sistem pertanian yang berkelanjutan). 1.4.1 Manfaat akademik: 1. memberikan informasi terhadap pengembangan pengetahuan terutama aspek pengelolaan LPT dan hubungannya dengan peningkatan kualitas tanah di lahan kering. 2. merekomendasikan jenis LPT potensial spesifik untuk mendukung sistem pengelolaan pertanian lahan kering secara berkelanjutan. 1.4.2 Manfaat praktis: Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi pengambil
kebijakan
dalam
pengembangan,
pemberdayaan
dan
pengelolaan sistem pertanian lahan kering secara berkelanjutan.
II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lahan Kering dan Permasalahannya Lahan kering mempunyai arti yang bermacam-macam. Samosir (2000) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan lahan kering adalah lahan yang tidak pernah tergenang air sepanjang tahun. Semaoen et al. (1991) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lahan kering adalah lahan yang pemenuhan
8
kebutuhan air tanamannya tergantung sepenuhnya kepada air hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Oleh para ahli tanah di Indonesia disepakati defenisi lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya sumber air ini berasal dari air hujan (Guritno, 1996). Secara umum lahan kering dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu lahan kering beriklim kering yang banyak dijumpai di kawasan Timur Indonesia dan lahan kering beriklim basah, yang terdapat di kawasan Barat Indonesia Dari segi kesuburan tanah, secara umum pertanian lahan kering memiliki masalah dengan kadar karbon (C) organik yang rendah (< 1%), kahat hara, KTK rendah, kejenuhan basah rendah serta rentan terhadap erosi tanah (Samosir, 2000), pencucian hebat, laju dekomposisi cepat, serta di dominasi oleh tanah masam (Sanchez, 1992). Selain mempunyai tingkat kesuburan rendah, umumnya lahan kering memiliki kelerengan curam, dan kedalaman lapisan/solum tanah dangkal yang sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (kelerengan > 30%) dan berbukit (kelerengan 15-30%) (Guritno, 1996). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama apabila diusahakan untuk tanaman pangan semusim. Menurut Utomo et al. (1992) problem utama dalam pengelolaan lahan kering adalah kurangnya perlindungan terhadap permukaan tanah dari terpaan butiran hujan dan radiasi matahari serta pesatnya pertumbuhan gulma di satu sisi dan disisi lain adalah kurangnya unsur hara , dan rendahnya C-organik tanah. Hal ini akan menyebabkan pemadatan tanah yang mengakibatkan menurunnya laju
9
infiltrasi dan meningkatnya laju run-off dan erosi.
Radiasi matahari yang
mengenai permukaan tanah akan meningkatkan laju oksidasi bahan organik sehingga mempercepat kehilangan unsur-unsur hara esensial dan C-organik dalam tanah. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai keunggulan komparatif berupa potensi untuk lahan pertanian seluas 1.775.970 ha. Dari luas tersebut, yang berpotensi untuk pengembangan pertanian lahan kering, sekitar 1.528.258 juta hektar (86,05%) (BAPEDA NTT, 2010). Gambaran ini berarti bahwa lahan kering di NTT merupakan sumber mata pencaharian penting bagi sebagian besar penduduk di wilayah ini. Potensi pengembangan pertanian lahan kering cukup besar dibandingkan dengan lahan sawah karena: (1) sangat dimungkinkan untuk pengembangan berbagai macam komoditas pertanian untuk keperluan eksport, (2) dimungkinkan untuk pengembangan pertanian terpadu antara ternak dan tanaman perkebunan/kehutanan serta tanaman pangan, (3) dimungkinkan dapat membuka peluang kerja yang lebih besar dengan investasi yang relatif lebih kecil dibandingkan membangun fasilitas irigasi untuk lahan sawah, dan (4) dimungkinkan untuk pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan sebagian besar penduduk yang saat ini menggantungkan hidupnya di lahan kering (Suwardji dan Tejowulan, 2002). Walaupun
potensi
lahan
kering
di
NTT
cukup
besar,
namun
pengelolaannya belum dilakukan secara optimal yang tercermin dari produktivitas tanaman yang diusahakan yang masih sangat rendah. Faktor penting yang dapat mengakibatkan rendahnya produktivitas lahan kering adalah kualitas sumberdaya
10
alam terutama kualitas tanah dan fisiografi/topografi lahan serta
teknologi
produksi yang tidak memadai. Selain itu, faktor iklim terutama curah hujan merupakan kendala utama dalam pengembangan pertanian lahan kering di NTT. Data Curah hujan 10 tahun terakhir menunjukkan musim penghujan di NTT sangat pendek (4 bulan basah) dan terjadi antara bulan Desember sampai bulan Maret, Sedangkan musim kemarau panjang (8 bulan kering) yang terjadi pada bulan April sampai dengan bulan November (Badan Klimatologi dan Meteorologi
Jumlah Curah Hujan (mm)
Nusa Tenggarat Timur, 2012). 600 500 400 300 200 100 0 Jan
Peb Maret Apr Mei Juni
Juli Agust Sept Okt Nop Des
Bulan
Gambar 2.1 Pola curah hujan dalam 10 tahun (2003-2012) di kabupaten Kupang NTT Memperhatikan distribusi hujan tahunan (Gambar 2.1), maka pola usahatani yang dijalankan secara umum didominasi oleh usahatani tanaman pangan semusim. Selebihnya sekitar 8 bulan, lahan dibiarkan terbuka (bera alami) sampai musim tanam berikutnya. Kondisi seperti ini berdampak pada meningkatkan
degradasi
(kerusakan)
tanah
meningkatnya kepadatan gulma sehingga pertanian di lahan kering.
11
seperti
pemadatan
tanah,
dapat menurunkan produksi hasil
Memperhatikan potensi dan permasalahan lahan kering tersebut maka diperlukan suatu strategi pengelolaan lahan kering agar mampu memberikan peran secara maksimal, yaitu melalui pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk melindungi dan memperbaiki kualitas sumberdaya lahan kering (tanah dan air) agar mampu memenuhi kebutuhan hidup petani lahan kering secara berkelanjutan dalam jangka waktu panjang dengan tanpa menurunkan kualitas sumberdaya lahan itu sendiri (Lal et al., 2000). Strategi yang dapat dipilih adalah melalui penerapan usahatani konservasi berbasis tanaman legum penutup tanah (LPT). Pemanfaatan LPT dalam sistem budidaya pertanian lahan kering sebagai tanaman bera, secara ekonomis menguntungkan karena sesuai bagi petani lahan kering yang tergolong ekonomi lemah, secara sosial dapat diaplikasikan oleh petani lahan kering, dan secara ekologis sangat tepat untuk memelihara kesehatan dan kualitas tanah sehingga terjadi keseimbangan ekologis secara berkelanjutan melalui
input tutupan
biomasa tanaman dari waktu ke waktu. (Power, 1987; Lal et al.,
2000;
Sarrantonio, 2007). 2.2 Karbon Organik Tanah Karbon (C) adalah unsur penting pembangun bahan organik, karena sebagian besar (58%) bahan kering tanaman terdiri dari bahan organik. Unsur C, ini diserap tanaman dalam bentuk gas CO2 dari atmosfir yang selanjutnya digunakan dalam proses penting yang disebut fotosintesis
dan menyimpan
hasilnya sebagai materi organik dalam bentuk biomasa tanaman. Separuh dari
12
jumlah karbon yang diserap tanaman dari udara bebas tersebut masuk ke dalam tanah melalui sisa tanaman (serasah), akar tanaman yang mati, dan organisme tanah lainnya dan mengalami dekomposisi sehingga terakumulasi dalam lapisan tanah (Colins et al., 1992; Hikmat, 2005; Ruddiman, 2007). Kadar C-organik di dalam tanah mencerminkan kandungan bahan organik tanah yang merupakan tolok ukur pengelolaan tanah pertanian (Bot dan Benites, 2005).
Kadar C-organik merupakan faktor penting penentu kualitas tanah
mineral. Semakin tinggi kadar C-organik total maka kualitas tanah mineral semakin baik (Six et al., 1998; Blair et al., 1998). Komposisi C-organik pada tanah mineral sangat sedikit (1-5%), namun pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah dan keberlanjutan tanah pertanian sangat besar (Lipper dan Uren, 1993; Juma, 1998; Liu et al., 2006; Nardi et al., 2004; Surhone et al., 2010; Seremecic et al., 2011). Tanah merupakan penyimpan karbon terbesar dalam ekosistem daratan dan memegang peranan penting dalam siklus karbon global (Eswaran dan van Den Berg, 1993). Total karbon dalam tanah berasal dari C-organik dan Canorganik.
Komponen C-organik berada pada fraksi bahan organik tanah,
sementara C- anorganik terutama dijumpai pada mineral karbonat. Keberadaan Corganik dalam fraksi organik tanah terdiri dari mikroorganisme, sisa-sisa tanaman/tumbuhan pada berbagai tingkat dekomposisi, dan humus yang lebih stabil (Lal et al., 2001). Besarnya simpanan C-organik dalam tanah berbeda-beda tergantung pada ekosistem, jenis tanaman dan cara pengelolaanya. Pada ekosistem pertanian,
13
karbon yang masuk ke dalam tanah mencapai 1,2-1,9 t ha-1 tahun-1, sedangkan pada ekosistem hutan tropik, karbon yang masuk lebih tinggi mencapai 5,9 t ha-1 tahun-1 (Eswaran dan van Den Berg, 1993). Produksi karbon pada ekosistem pertanian tropik lebih tinggi, namun karena
laju dekomposisi bahan organik
cenderung lebih cepat dibandingkan dengan daerah sub tropis dan erosi yang tinggi menyebabkan simpanan karbon organik tanah tropika cenderung rendah (Jime´nez et al., 2009). Ada 3 pool (kantong) utama pemasok karbon ke dalam tanah adalah: (a) tajuk tanaman pohon, tanaman penutup tanah, dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; (b) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; dan (c) biota tanah (West dan Post, 2002; Hairiah dan Murdiyarso, 2007). Menurut Hairiah
et al. (2003) tanah-tanah pertanian di daerah tropik
basah umumnya memiliki kandungan C-organik yang sangat rendah di lapisan atas <2%). Penurunan simpanan C-organik tanah pada lahan-lahan pertanian intensif disebabkan oleh berbagai alasan: 1) pelapukan (dekomposisi) bahan organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah serta curah hujan yang tinggi; 2) sistem pertanian eksploitatif yang mengangkut keluar bahan organik sisa hasil panen secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan pengembalian dan pemasukan bahan organik dari luar, sehingga tanah kehilangan potensi masukan C-organik (Hairiah et al., 2003); (3) dimanfaatkan oleh biota tanah; (4) karena terbawa oleh erosi tanah atau aliran permukaan; dan (5) pembakaran lahan pertanian (Prayogo et al., 2000)
14
Kadar C-organik (bahan organik tanah) mempunyai pengaruh langsung terhadap perbaikan sifat-sifat tanah,
seperti: peningkatan porositas tanah,
menurunkan bobot isi tanah (bulk density), meningkatkan kemampuan manahan air,
penurunan laju erosi tanah dan
meningkatkan kapasitas infiltrasi air
(Stevenson, 1994; Jastrow et al., 1996). Selain itu, kadar C-organik (bahan organik) tanah memberikan pengaruh yang nyata terhadap kesuburan kimia tanah, antara lain: terhadap kapasitas pertukaran kation tanah, pH tanah, daya sanggah tanah dan terhadap keharaan tanah (Stevenson, 1994).
Bahan organik juga
mampu memperbaiki sifat biologi tanah dengan mengikat butir-butir partikel membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari jamur micorhyza dan hasil eskresi tumbuhan dan hewan lainnya (Rao, 1994). Uraian di atas, memberikan gambaran bahwa C-organik tanah memegang peranan penting dalam ekosistem pertanian, untuk itu perlu ada upaya pengelolaan melalui masukan teknologi pemanfaatan
LPT dalam rangka membangun
simpanan C-organik tanah secara berkelanjutan sehingga akan meningkatkan produktivitas tanah secara berkelanjutan. 2.3 Kualitas Tanah Soil Science Society of America, mendefinisikan kualitas tanah sebagai sifat yang melekat pada tanah yang diketahui dari karakteristik tanah atau observasi langsung (seperti kepadatan dan kesuburan). Kualitas tanah secara sederhana disamakan dengan produktivitas tanah. Beberapa sifat fisik, kimia, dan biologi berinteraksi secara kompleks untuk menunjukkan kemampuan potensial tanah pada produksi berkelanjutan. Integrasi dari faktor-faktor pemacu
15
pertumbuhan yang menjadikan tanah produktif sering dimaksudkan sebagai kualitas tanah (SSSA, 1987). Menurut Doran dan Parkin (1994) kualitas tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk berfungsi dalam berbagai batas ekosistem untuk mendukung produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan kesehatan tanaman, hewan dan manusia. Secara umum, terdapat tiga makna pokok dari definisi tersebut yaitu, (1) produksi berkelanjutan yaitu kemampuan tanah untuk meningkatkan produksi dan tahan terhadap erosi, (2) mutu lingkungan yaitu tanah diharapkan mampu untuk mengurangi pencemaran air tanah, udara, penyakit dan kerusakan sekitarnya, dan (3) kesehatan makhluk hidup. Lebih lanjut Doran dan Parkin (1994) menambahkan bahwa dampak negatif dari ketidak-mampuan tanah dalam memenuhi fungsinya adalah terganggunya kualitas tanah. Kondisi tersebut menyebabkan bertambah luasnya lahan kritis, menurunnya produktivitas tanah, dan pencemaran lingkungan secara global. Kualitas tanah berpengaruh secara signifikan bagi kesehatan ekosistem dan lingkungan. Proses penting yang dipengaruhi oleh kualitas tanah adalah pergerakan air dan nutrisi, pendistribusian dan pasokan hara bagi tanaman, perkembangan akar, kehidupan dan aktivitas biota tanah yang sesuai, serta respons terhadap pengelolaan (Larson dan Pierce, 1994). Kualitas tanah yang tinggi berhubungan
erat dengan efisiensi penggunaan air, ketersediaan hara,
kualitas air dan udara, mitigasi emisi gas rumah kaca dan peningkatan produksi agronomis (Lal, 1995).
16
Kualitas tanah memiliki sifat yang kompleks, sehingga kualitas tanah tidak dapat diukur namun dapat diduga dari sifat-sifat yang dapat diukur dan dapat dijadikan indikator untuk menilai kualitas tanah. Indikator kualitas tanah adalah sifat fisik, kimia dan biologi serta proses dan karakteristik yang dapat diukur untuk memantau berbagai perubahan dalam tanah. Indikator kualitas tanah yang digunakan adalah indikator fisik tanah meliputi: tekstur tanah, ketebalan tanah, bobot isi tanah (bulk density), kapasitas infiltrasi, kemampuan tanah memegang air, kadar air tanah, dan temperatur tanah. Indikator kimia tanah meliputi: Corganik, pH, konduktivitas tanah, mineral N, P dan K. Sedangkan indikator biologi tanah, meliputi: biomasa mikroba (C dan N),
potensi N yang dapat
dimineralisasi, respirasi tanah (Doran dan Parkin, 1994;
Larson dan Pierce,
1994). Dari parameter-parameter tersebut, kadar C-organik tanah merupakan indikator kimia yang utama karena secara langsung mempengaruhi agregasi tanah, retensi air, ketersediaan hara, simpanan C-organik dan keragaman biologi dalam tanah (Baldock et al., 2009) Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa indikator kualitas tanah harus memenuhi kriteria: (a) berkorelasi baik dengan berbagai proses ekosistem dan berorientasi modeling, (b) mengintegrasikan berbagai sifat dan proses kimia, fisika dan biologi tanah, (c) mudah diaplikasikan pada berbagai kondisi lapang dan dapat diakses oleh para penggguna, (d) peka terhadap variasi pengelolaan dan iklim, dan (e) sedapat mungkin merupakan komponen basis tanah. Ada banyak sifat-sifat tanah yang potensial untuk dijadikan indikator kualitas tanah, namun pemilihan sifat-sifat tanah yang akan digunakan sebagai
17
indikator kualitas tanah sangat tergantung pada tujuan dilakukannya evaluasi. Karlen et al. (1997) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan penilaian kualitas tanah, perlu dilakukan indentifikasi indikator-indikator yang sensitif terhadap praktek produksi pertanian. Lima proses utama yang terjadi akibat timbulnya tanah terdegradasi yaitu: menurunnya kandungan bahan organik tanah (C-organik), perpindahan liat, memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara (Lal, 1995). Khusus untuk tanah-tanah tropik basah terdapat tiga proses penting yang menyebabkan terjadinya degradasi tanah, yaitu: (1) degradasi fisik yang berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga memicu pemadatan tanah, aliran permukaan dan erosi, (2) degradasi kimia yang berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan unsur-unsur lainnya, dan (3) degradasi biologi yang berhubungan dengan menurunnya kuantitas dan kualitas bahan organik tanah, aktivitas biota dan keragaman spesies fauna tanah yang juga ikut menurun (Karlen et al., 1997).
2.4 Tanaman Legum Penutup Tanah Tropis Legum penutup tanah (LPT) merupakan tanaman kelompok leguminosa, yang khusus di tanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan untuk memulihkan kesuburan tanah-tanah pertanian. Selain itu, LPT juga digunakan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah melalui sistem pergiliran tanaman maupun dalam sistem rehabilitasi lahan kritis (Utomo, 1994; Samosir,
18
2000; Arsyad, 2010). Selanjutnya dikemukakan oleh Reinjntjes et al. (1999) bahwa LPT dapat digunakan untuk menciptakan iklim mikro tanah yang baik, mengurangi penguapan, dan melindungi tanah dari erosi, juga dapat menyuburkan tanah karena sifat-sifat pertumbuhannya serta kuantitas dan kualitas bahan organik yang di hasilkan. LPT mempunyai kemampuan untuk menyuburkan tanah baik fisik, kimia, maupun biologi bahkan kadang-kadang pula mempunyai peran sebagai pakan ternak, penahan erosi dan fungsi ekonomi yang lain (van Noordwijk et al., 1992). Menurut Dirjenbun (1984), beberapa peran LPT adalah untuk menekan laju erosi, dan menambah bahan organik tanah, dan melakukan transpirasi yang dapat mengurangi kadar air tanah saat kadar air tanah tinggi. Menurut Arsyad (2010) peningkatan kandungan bahan organik tanah akibat adanya penutupan tanah dapat memperbaiki sifat tanah, seperti meningkatkan ketahanan struktur tanah, memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap dan manahan air hujan yang jatuh serta menambah unsur hara. Di Asia tropis, LPT umumnya dikembangkan pada areal tanaman perkebunan kelapa sawit dan karet (Wilson dan Okigbo, 1982). LPT ini dikembangkan dengan tujuan utama sebagai tanaman konservasi lengas tanah terutama pada areal tanaman perkebunan yang belum berproduksi (tanaman muda). LPT pada umumnya mampu menyediakan penutupan secara permanen sehingga
dapat
mempertahankan
kelembaban
tanah,
mengurangi
erosi,
meningkatkan konsentrasi hara tanah dan meningkatkan kadar bahan organik di dalam tanah. Pemanfaatan LPT, telah dipromosikan sebagai strategi mitigasi
19
untuk membantu mengimbangi kenaikan kadar karbon dioksida (CO2) atmosfer, melalui penyerapan karbon di atmosfir (Kuo et al., 1997). Menurut Sutanto (2002) kriteria untuk memilih LPT yang baik, yakni produksi biomasa tinggi, sistem perakaran dalam, pertumbuhan awal cepat, lebih banyak daun dari pada kayu, mampu memfiksasi N, mempunyai hubungan baik dengan mikoriza, memanfaatkan air secara efisien, bukan tanaman inang bagi hama, pembentukan biji mudah dan bersifat multiguna (sebagai penutup tanah, penyubur tanah dan sebagai pakan ternak). Selain itu, tanaman penutup tanah harus memenuhi syarat tahan kekeringan dan tahan terhadap pemangkasan. Di daerah beriklim tropis, telah banyak dikembangkan berbagai jenis LPT untuk tujuan konservasi tanah atau sebagai tanaman penguat teras, karena sistem perakarannya yang kuat. Kaitannya dengan usaha perbaikan atau pemulihan kesuburan tanah, penggunaan LPT lebih dominan dikembangkan oleh petani di daerah tropis, karena berbagai keunggulannya. Keunggulan tanaman penutup tanah dari kelompok leguminosa adalah kemampuan dalam memfiksasi N bebas dari udara dengan bantuan bakteri penambat N sehingga kadar N yang terkandung di dalam tanaman relatif tinggi (Power, 1987; Balkcom et al., 2007) Peranan
LPT dalam meningkatkan kandungan nitrogen tanah
telah
banyak mendapat perhatian, karena unsur nitrogen merupakan faktor pembatas utama dalam produksi tanaman budidaya (Gardner et al., 1991). Menurut Lal et al. (2000) ; Hairiah et al. (1992), nitrogen yang dihasilkan oleh tanaman legum penutup tanah melalui fixasi diperkirakan mencapai 200-300 kg N ha-1. Disamping nitrogen, juga terjadi peningkatan hara lainnya, yaitu: 20-30 kg P ha-1,
20
95-147 kg K ha-1 dan 17-30 kg ha-1 lebih tinggi di bandingkan dengan non legum. Selain perannya sebagai sumber nitrogen, manfaat lainnya adalah sebagai pengendali gulma dan dalam mensuplai C-organik tanah serta meningkatkan proses biokimia dalam tanah (Sutanto, 2002; Acosta, 2009). Proses biokimia dalam tanah dapat berjalan karena adanya input C-organik yang masuk ke dalam tanah berupa biomasa hijauan sebagai sumber makanan bagi mikroba tanah dan cenderung merangsang perubahan biologis. Proses biokimia mempunyai peranan dalam memproduksi CO2, NH4, NO3 dan pembentukan senyawa sederhana lainnya yang bermanfaat bagi tanaman (Hakim et al., 1986). Keunggulan lainnya adalah, tanaman penutup tanah dapat meningkatkan struktur tanah dan meningkatkan kapasitas pengikatan air dan berperan sebagai penyanggah (buffering) nutrisi tanah melalui sistem perakaran. Hasil analisis yang dilakukan oleh Hairiah et al. (2009) pada LPT dalam sistem agroforestry, ada tiga proses utama yang terlibat dalam siklus hara: (1) penambatan N dari udara, yaitu peningkatan jumlah N hasil penambatan dari udara, (2) mineralisasi bahan organik/sisa tanaman, yaitu peningkatan jumlah hara dari hasil mineralisasi biomasa tanaman penutup tanah, (3) adanya peningkatan jumlah serapan hara dari lapisan bawah oleh akar tanaman (jenis legum pohon) yang menyebar cukup dalam ke lapisan atas tanah. Penelitian yang dlakukan oleh Kuo et al. (1997) mendapatkan bahwa tanaman penutup tanah mempengaruhi kandungan N tanah dan besarnya konsentrasi nitrogen ditentukan oleh kadar N jaringan dan besarnya produksi
21
biomasa tanaman penutup tanah.
Selanjutnya Vyn et al. (1999) melaporkan
bahwa tanaman penutup tanah dapat meningkatkan konsentrasi nitrat tanah. Dari tiga jenis tanaman penutup tanah yang digunakan (annual ryegrass, oilseed radish dan red clover) terlihat bahwa red clover memberikan ketersediaan N yang lebih tinggi yaitu sebesar 21 mg N kg-1 biomasa, dan juga dari penelitian ini dilaporkan bahwa terdapat korelasi positip antara NO3 tanah dengan hasil tanaman jagung. Selanjutnya dikemukakan oleh Frye (1983) bahwa tanaman penutup tanah dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N akibat penambahan N tanah (oleh jenis legum) dan mencegah kehilangan N akibat pencucian dan denitrifikasi. Selain sebagai pengikat nitrogen dari udara, LPT juga memberikan keuntungan lain. van Noordwijk et al. (1992) mengemukakan bahwa LPT dapat memperbaiki sifat-sifat tanah lainnya. Perbaikan sifat tanah ini terjadi karena biomasa yang dihasilkan oleh tanaman LPT menjadi sumber bahan organik tanah. Menurut Hairiah et al. (2000) tanaman LPT dapat memberikan masukan bahan organik sebanyak 2-3 t ha-1 pada umur 3 bulan dan 3-6 t ha-1 jika dibiarkan sampai enam bulan. Meningkatnya bahan organik tanah akan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah setelah biomasa tanaman LPT mengalami pelapukan. Peningkatan kadar C-organik tanah mengakibatkan agregat tanah menjadi lebih mantap, pengikatan unsur P pada tanah masam berkurang, penyediaan unsur hara secara lengkap dan berimbang serta meningkatnya aktivitas biologi dalam tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negatif sehingga akan meningkatkan kapasitas tukaran kation (KTK). Bahan organik tanah yang telah lapuk akan memberikan pengaruh terhadap kesuburan kimia tanah antara
22
lain terhadap KTK tanah. Sekitar 20-70% kapasitas pertukaran kation tanah pada umumnya bersumber pada koloid humus, sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KTK tanah (Stevenson, 1994). KTK menunjukkan kemampuan tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut termasuk kation hara tanaman, sehingga KTK penting untuk kesuburan tanah. Dilaporkan bahwa penambahan jerami 10 t ha–1 pada Ultisol mampu meningkatkan 15,18%
KTK tanah dari 17,44 menjadi 20,08 c mol (+) kg-1
(Stevenson, 1994). Pengaruh lainnya, adalah terhadap pH tanah. Penambahan bahan organik yang belum lapuk, biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah (meningkatnya H+), karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asamasam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah
(Wiesje, 2008).
Peningkatan pH tanah (meningkatnya OH+) juga akan terjadi apabila bahan organik yang ditambahkan telah terdekomposisi, sehingga mudah melepaskan hara bagi tanaman. Selain perannya dalam perbaikan sifat fisik dan kimia tanah, tanaman penutup tanah juga memberikan peran terhadap perbaikan sifat biologi tanah. Tanaman penutup tanah dari kelompok legum merupakan inang utama sebagian
mikroba
tanah
terutama
bakteri
rhyzobium.
Zona
bagi
perakaran
(rhizosphere) merupakan habitat bagi kehidupan organisme dalam tanah (LinesKelly et al., 2009). Hal ini karena perakaran tanaman umumnya menghasilkan dan mengeluarkan senyawa-senyawa (eksudat) organik yang sangat bermanfaat bagi kehidupan organisme tanah. Mikroba rhizosphere selain berperan dalam
23
fiksasi nitrogen, juga dalam akumulasi dan degradasi bahan organik tanah dan menyediakan nutrisi bagi tanaman melalui proses mineralisasi (Stevenson, 1994; Steenwerth dan Belina, 2008). Legum penutup tanah (LPT) berpengaruh nyata terhadap peningkatan populasi organisme tanah baik makro maupun mikro (Steenwerth dan Belina, 2008). Populasi bakteri total pada zona perakaran legum penutup tanah berbeda, yaitu pada C. pubescens (5,21 x 105 g-1), C. anagyroides (4,85 x 105 g-1) dan M. pruriens (5,24 x 105 g-1) lebih tinggi di banding tanpa LPT yang hanya mencapai 3,56 x 105 g-1 (Utomo et al., 1992; Hairiah et al., 1992). Peningkatan populasi organisme dalam tanah, dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro terutama ketersediaan karbon, suhu dan kelembaban pada zona perakaran (rhizosphere) yang relatif sangat mendukung kehidupan organisme tanah Karakteristik dari LPT yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1. Centrosema pubesescens Benth. (Centro) C. pubesescens Benth., dengan nama lokal disebut centro merupakan tanaman yang tumbuhnya merambat dan melilit, tanaman ini berasal dari Amerika Selatan.
Tanaman ini mempunyai tulang daun yang menyirip, helai daun
berjumlah tiga buah, memiliki bunga yang berwarna ungu.
Polong centro
berwarna hijau dengan panjang 9-17 cm. Setiap polong umumnya menghasilkan 12-20 biji yang berwarna coklat (Dirjenbun, 1984). Centro tahan terhadap naungan dan sangat cocok dijadikan sebagai tanaman sela di perkebunan. Centro juga dapat tumbuh subur pada tanah yang
24
miskin hara dan tahan kekeringan, namun pertumbuhannya terhambat pada keadaan tergenang (Dirjenbun, 1984). Selama ini centro digunakan sebagai tanaman pionir dalam merehabilitasi lahan terdegradasi akibat erosi, pada perkebunan kelapa sawit dan karet digunakan sebagai tanaman penyubur tanah (Purwanto, 2007). Keunggulan dari centro adalah dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang kurang subur
dan masam tanpa menggunakan pupuk buatan, dapat
menghasilkan daun yang banyak dan batangnya tidak berkayu (saelent) walaupun umur tanaman telah mencapai 18 bulan. Centro mempunyai jaringan perakaran yang kuat dan dalam sehingga mampu bertahan pada musim kering yang panjang. Centro tahan pada kondisi kering, tahan hidup di bawah naungan, dan tahan pada kondisi tanah masam dengan drainase yang jelek (Dirjenbun, 1984). 2. Mucuna pruriens L. (Kacang koro) M. pruriens L. dikenal dengan nama lokal kacang koro, merupakan tanaman yang tumbuh merambat dan melilit dan termasuk tanaman semusim. Tanaman ini memiliki daun yang lebar dan tajuk yang tebal, bunga berwarna ungu dan polongnya berwarna cokelat, bijinya berukuran besar. Species ini berasal dari Amarika Selatan. Jenis ini mempunyai penyebaran yang sangat luas di daerah tropis.
Dapat tumbuh pada tanah masam, beradaptasi baik pada tanah-tanah
dengan tingkat kesuburan yang rendah dan tahan kekeringan (Acosta, 2009). M. pruriens dapat digunakan sebagai pengisi lahan bera di musim kemarau, karena tahan kering.
25
M. pruriens, dikenal di seluruh dunia sebagai tanaman legum penutup tropis atau pupuk hijau untuk menjaga kesuburan tanah dan pengendalian gulma. Berbagai keuntungan dari tanaman ini telah menyebabkan diadopsi secara luas di banyak negara
bagian di Amerika Tengah dan Afrika. Di India Mucuna
merupakan tanaman budidaya yang di pelihara sebagai tanaman penyubur tanah (Acosta, 2009). Di Indonesia M. pruriens di kenal dengan nama kacang koro, dan banyak petani yang telah membudidayakannya karena selain sebagai tanaman penyubur tanah,
kacang koro juga merupakan sumber pangan. Kacang koro biasanya
memiliki kebiasaan pertumbuhan tak tentu dengan panjang sulur antara 3-18 m. Tanaman memiliki bunga ungu yang menggantung di ketiak daun. Polong ditutupi dengan rambut halus berwarna gelap yang dapat segera hilang dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Hasil penelitian Suwardjo et al. (1987) menunjukkan bahwa M. pruriens lebih toleran terhadap kesuburan tanah yang rendah dan kadar Al yang tinggi dibanding dengan C. pubescens. Dari penelitian yang sama diperoleh informasi bahwa M. pruriens mampu memberantas gulma alang-alang mulai pada umur 6 minggu setelah tanam. Tanaman ini berakar dangkal dengan banyak nodul. 3. Crotalaria usaramoensis L. (Krotalaria/Orok-orok) C. usaramoensis
L. (krotolaria atau orok-orok) merupakan
tanaman
perdu dengan tinggi 1-1,5 m. Krotalaria mempunyai banyak cabang dan daunnya merupakan daun trifoliet, bunganya berwarna kuning dan muncul berkelompok pada ujung batang. Polong krotalaria memiliki ukuran 3-4 cm dengan bentuk
26
membulat pada ujung polong.
Krotalaria tumbuh dari daerah dataran rendah
sampai dataran tinggi, yaitu dari 0 - 1500 m dpl. Tanaman ini toleran terhadap cekaman kekeringan dan tahan terhadap hujan yang berkepanjangan, pada musim kemarau batang krotolaria mengering tetapi kuncup baru segera muncul pada musim hujan berikutnya (Dirjenbun, 1984). Menurut Cook dan White (1996) krotalaria merupakan salah satu jenis tanaman penutup tanah yang paling banyak ditanam sebagai pupuk hijau di seluruh daerah tropis. Krotalaria sering di rotasi dengan berbagai spesies tanaman yang berbeda.
Di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an, dilaporkan menjadi
tanaman yang sangat baik untuk meningkatkan kesuburan tanah dan juga sebagai penghasil serat. Di Indonesia tanaman krotalaria dikembangkan sejak tahun 1960an, merupakan tanaman wajib pada perkebunan tembakau, yang ditanam pada saat masa bera, selanjutnya dibenamkan menjelang tanam tembakau. Namun sejak diperkenalkan pupuk dan herbisida yang relatif murah dan mudah, petani dan perusahan mulai meninggalkan tanaman ini dengan alasan petani tidak rela mengorbankan lahannya untuk ditanami tanaman yang tidak memiliki nilai ekonomis (Rachman et al., 2006).
4. Phaseolus lunatus L. (Arbila hutan) P. lunatus L., merupakan tanaman yang tumbuhnya merambat dan melilit pada batang pohonan. Daun majemuk, beranak daun tiga, daun berbentuk jorong. Sayap bunga berwarna putih kekuningan atau ungu, polong lonjong, pipih, berisi 4-5 biji. Bentuk, ukuran dan warna biji beragam.
27
Tanaman P. lunatus L., tumbuh di dataran rendah tropis sampai daerah subtropis, serta dapat tumbuh hingga ketinggian 2000-2500 m dari permukaan laut, dengan curah hujan normal tahunan antara 900-1500 mm. Tanaman ini menyukai tanah beraerasi dan berdrainase baik dengan pH 6,0-6,8. Berbagai kultivar tahan terhadap tanah masam dengan pH 4,4. Tanaman ini mempunyai perakaran dalam, banyak dimanfaatkan sebagai tanaman bera, pencegah erosi, sumber pupuk hijau, pemberantas alang-alang (Purwanto, 2007). tropika, tanaman ini
Di daerah
ditanam secara monokultur di kebun atau tumpangsari
dengan sereal (jagung, gandum) dan ubi kayu atau tanaman lain. Penanaman tunggal lebih sering dilakukan sebagai tanaman bera, seperti di wilayah Amerika Serikat, Madagaskar dan Peru. Perakarannya yang dalam menyebabkan tahan terhadap kekeringan dan potensi biomasa yang tinggi > 8 t ha-1 (Febrina, 2004). 2.5. Dekomposisi Bahan Organik Dekomposisi merupakan proses yang sangat penting dalam siklus hara pada suatu ekosistem tanah (Regina dan Tarazona, 2001; Sulistiyanto et al., 2005). Proses dekomposisi tersebut sangat vital, karena produksi tanaman pada ekosistem alami, tergantung pada proses daur ulang hara dalam sistem (Oladoye et al., 2005). Melalui proses dekomposisi biomasa (serasah) akan terjadi proses pelepasan hara untuk memenuhi kebutuhan tanaman, juga menentukan besarnya simpanan C-organik tanah dalam suatu ekosistem. Menurut Oladoye et al. (2005), kecepatan dekomposisi berhubungan dengan pelepasan hara, karena dekomposisi merupakan proses kunci dalam mengendalikan siklus nutrisi dan pembentukan C-organik di dalam tanah.
28
Dekomposisi merupakan proses yang sangat kompleks kerena melibatkan beberapa faktor. Terdapat tiga faktor utama, yang mempengaruhi kecepatan/laju dekomposisi biomasa (serasah) yaitu sumber asal dan kualitas bahan organik, faktor lingkungan, dan keberadaan mikroorganisme dalam tanah (Guo dan Sims, 1999; Sulistiyanto et al., 2005) Mikroorganisme tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan organik tanah dan sebagai produk akhir dari proses ini adalah pelepasan CO2 ke udara. Ada dua proses dekomposisi yang terjadi pada bahan organik tanah, yaitu dari humus dan dekomposisi dari sisa tanaman yang ditambahkan. dekomposisi C-organik tahunan rata-rata (Barchia, 2009).
Laju
adalah 3% di daerah perladangan
Sekitar 2-5% dari karbon humus terdekomposisi setiap
tahunnya, tetapi kehilangan humus ini diimbangi oleh adanya suplai bahan organik dari vegetasi
penutupnya. Jumlah CO2 yang hilang karena aktivitas
heterotrop diimbangi oleh suplai bahan humus yang terbentuk dari akar, serasah dan bagian tanaman dalam tanah yang telah mengalami pelapukan. Laju evolusi CO2 dari bahan organik tanah berkisar dari 5 sampai 50 mg CO2 kg-1 hari-1 (Barchia, 2009) Di lapangan laju evolusi CO2 hanya berkisar 0,5 sampai 10 g CO2 m-2 hari-1, dan dapat juga mencapai 25 g CO2 m-2 hari-1 (Barchia, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi humus adalah pengolahan tanah, temperatur, kelembaban tanah, pH, kedalaman dan aerasi tanah. Laju evolusi CO2 yang paling besar ada di permukaan tanah dimana terdapat konsentrasi sisa tanaman yang paling tinggi. Semakin dalam profil tanah, laju produksi CO2
29
menurun, dan pada kedalaman 50 cm atau lebih evolusi CO2 sudah sangat terbatas. Secara umum bahan organik yang bersumber dari jerami/brangkasan serealia akan lebih lambat terdekomposisi dibandingkan dengan bahan organik dari golongan legum. Hal ini karena kandungan senyawa kimia yang rendah terutama nitrogen, dibandingkan dengan kelompok legum yang berkualitas lebih tinggi. Kelompok leguminosa termasuk sumber bahan organik yang berkualitas tinggi karena mengandung, N yang tinggi >2,5%, nisbah C/N rendah (<20), kandungan lignin rendah (<15%) dan polifenol yang rendah (< 4%) (Handayanto et al., 1997; Rachman et al., 2006), sehingga mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme dalam tanah. Nisbah C/N menentukan kecepatan dekomposisi, karena senyawa karbon dan nitrogen penting bagi mikroorganisme selama proses dekomposisi. Karbon diperlukan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Bahan serasah (biomasa) yang mempunyai nisbah C/N tinggi lebih lambat terdekomposisi (Sulistiyanto et al., 2005). Nisbah C/N tinggi berarti N dalam bahan organik (serasah) sangat kecil sehingga N yang ada akan dimanfaatkan terlebih dahulu oleh mikroba untuk kebutuhan fisiologisnya. Bahan organik
yang memiliki nisbah C/N yang rendah (seperti golongan legum)
umumnya akan lebih cepat mengalami dekomposisi, yaitu 50% sudah melapuk pada minggu ketiga (Hairiah dan Murdiyarso, 2007). Selain nisbah C/N, kecepatan dekomposisi bahan organik juga ditentukan oleh kandungan senyawa lignin dan polifenol (De Santo et al., 1993; Hartemink,
30
2001; Temel, 2003; Sulistiyanto et al., 2005 dan Oladoye et al., 2005). Biomasa pangkasan gamal (Gliricidia sepium) mengandung lignin 11% sehingga dalam waktu 4 minggu sudah habis terdekomposisi. Berbeda dengan serasah yang berasal dari daun jambu yang kandungan ligninnya lebih tinggi yaitu 32%, sehingga membutuhkan waktu >4 minggu (Handayanto et al., 1997; Hairiah dan Rahayu, 2007). Selain faktor kualitas biomasa, kecepatan dekomposisi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama pH tanah, suhu dan kelembaban tanah. Menurut Sutedjo et al. (1991), kondisi lingkungan tanah yang optimum adalah: pH netral antara 5,5-7,5), suhu tanah optimum berkisar 20-280C dan kelembaban tanah antara 50-60%. Apabila faktor lingkungan (pH, suhu dan kelembaban) berada dalam kondisi yang optimum, maka aktivitas mikroba perombak meningkat sehingga proses dekomposisi dan pelepasan hara akan berjalan lebih cepat. Faktor populasi mikroorganisme dalam tanah juga merupakan penentu kecepatan dekomposisi. Serasah yang berada pada tanah yang banyak jasad reniknya cenderung lebih cepat terdekomposisi dibanding dengan tanah yang populasi jasad reniknya sedikit (Saetre, 1998; Sutedjo et al., 1991). Organisme (jasad renik) di dalam tanah berperan menghancurkan sisa-sisa tanaman dan binatang serta menggunakan komponen organik sebagai makanan/sumber energinya. Ketika organisme yang terlibat dalam dekomposisi mati maka akan terjadi pelepasan dan pembebasan senyawa atau ion (hara) yang berguna bagi tanaman.
Bahan organik adalah sumber hara tanaman. Bahan organik juga
merupakan sumber energi dari sebagian besar organisme tanah. Aktivitas mikroba
31
ini akan merubah senyawa organik menjadi senyawa anorganik dan menghasilkan asam organik yang mendorong pelepasan hara bagi tanaman (Hartemink, 2001; Hairiah et al., 2003). 2.6 Pengelolaan Bahan Organik (Biomasa Tanaman) untuk Meningkatkan Sinkronisasi Hara pada Tanaman Salah satu upaya perbaikan kualitas tanah yang cukup
murah adalah
dengan pengelolaan residu tanaman, hasil pangkasan tanaman atau biomasa tanaman penutup tanah yang sengaja diintroduksi pada lahan budidaya sebagai pupuk hijau. Penggunaan residu tanaman sebagai pupuk organik, mempunyai beberapa kendala yang harus diperhatikan dalam meningkatkan produksi suatu tanaman, yaitu jumlah
residu yang harus dikembalikan, kualitas dari bahan
organik, cara pengelolaannya, waktu dan saat pembenaman, karena berhubungan dengan tingkat sinkronisasi (Handayanto dan Ismunandar, 1999). Sinkronisasi adalah matching menurut waktu, yaitu ketersediaan unsur hara dan kebutuhan tanaman akan unsur hara pada waktu yang sama (Myers et al., 1997).
Apabila penyediaan unsur hara tidak sesuai dengan saat tanaman
membutuhkannya maka akan terjadi defisiensi unsur hara atau juga kelebihan unsur hara. Menurut Myers et al. (1997); Handayanto dan Ismunandar (1999), tidak terjadinya sinkronisasi disebabkan oleh dua hal yaitu: (1) jika ketersediaan hara terjadi lebih lambat dari kebutuhan tanaman, dan (2) jika ketersediaan hara terjadi lebih awal dibanding kebutuhan tanaman, dimana unsur hara yang tersedia melebihi kebutuhan tanaman saat itu, sehingga mempunyai resiko hilang menjadi bentuk tidak tersedia bagi tanaman.
32
Tingkat sinkronisasi ditentukan oleh kecepatan dekomposisi dan mineralisasi bahan organik (Handayanto et al., 1997; Myers et al., 1997). Bahan organik yang berkualitas tinggi akan lebih cepat lapuk akibatnya unsur hara akan dilepaskan dengan cepat menjadi bentuk tersedia (Murwira, 1994). Jika yang ditanam adalah tanaman yang lambat pertumbuhannya, maka pada saat bahan organik melapuk dan unsur hara N dilepaskan dalam jumlah maksimal ternyata tanaman belum membutuhkan N dalam jumlah yang banyak. Hal ini berarti terjadi kelebihan N tersedia tetapi tidak dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga N yang berlebih ini akan hilang melalui pencucian dan penguapan. Selanjutnya pada saat tanaman tersebut membutuhkan N dalam jumlah yang banyak ternyata N yang tetrsedia di dalam tanah tidak mencukupi lagi. Oleh karena itu pemberian bahan organik sebaiknya diberikan sebelum tanam, agar pupuk organik yang berupa bahan organik biomasa tanaman tersebut mengalami proses dekomposisi dan mineralisasi sehingga tersedia bagi tanaman. Penentuan lamanya waktu yang diberikan (pembenaman) harus melihat kualitas dari pupuk organik, yaitu berkualitas tinggi, sedang ataupun rendah, dimana kualitas
yang tinggi,
segera
mengalami
mineralisasi
setelah
diberikan
(dibenamkan) ke dalam tanah. Saat pemberian/pembenaman bahan organik, juga harus melihat siklus hidup tanaman yang akan dipupuk, sehingga sinkronisasi dapat tercapai. Hasil percobaan Naidu (1981), penggunaan bahan organik baik yang berasal dari pupuk kandang atau pupuk hijau memberikan hasil panen padi yang sama dengan pupuk anorganik. Laporan ICRAF (1997) pupuk hijau Tithonia dan
33
Senna dapat menyumbangkan sejumlah unsur hara pada tanaman jagung di Kenya, yaitu tanaman jagung yang dipupuk Tithonia dan Senna, masing-masing 5 ton ha-1 dan mampu memberikan sumbangan hara N sebesar 162 kg ha-1, dan hara P sebesar 14 kg ha-1 untuk Tithonia, sedangkan Senna menghasilkan 61 kg N ha-1, dan 2 kg P ha-1. Purwanto (1997) menambahkan pupuk G. sepium dosis 10 ton ha-1 pada tanah Ultisol Lampung pada minggu ke-3 mampu meningkatkan konsentrasi hara P sebesar 14%, dan minggu ke-9 meningkat 34%. Selanjutnya Supriyadi (2003) menyatakan bahwa Thitonia mempunyai laju dekomposisi yang cepat. Pelepasan hara N terjadi sekitar satu minggu dan pelepasan hara P dari biomasa tanaman terjadi sekitar dua minggu setelah dimasukkan (dibenamkan) ke dalam tanah. Selain meningkatkan ketersediaan hara, cara pengelolaan bahan organik secara in situ juga dapat memperbaiki sifat tanah lainnya. Suwardjo, (1981) menyatakan pengembalian residu tanaman baik dalam bentuk mulsa maupun dengan pembenaman, akan meningkatkan kualitas fisik tanah, terutama suhu tanah dapat ditekan lebih rendah 9,41% (26,24oC) dan menurunkan bobot isi tanah sampai 20% (1,29 g cm-3) dibandingkan dengan tanpa pengembalian residu tanaman dengan suhu yang lebih tinggi 28,71oC dan bobot isi yang lebih tinggi 1,46 g cm-3. Rupa dan Agung (2003) yang melakukan pengkajian untuk melihat pengaruh pengelolaan sisa tanaman pasca bera terhadap sifat tanah dan hasil jagung setelah panen, menunjukkan pengelolaan residu tanaman dengan cara dibenamkan dan dijadikan
mulsa, secara signifikan meningkatkan kadar C-
organik tanah sebesar 74%, N total sebesar 25%, dan P tersedia sebesar 35%; serta
34
tejadi peningkatan hasil jagung 30%
lebih tinggi di banding sisa tanaman
dikeluarkan dari lahan dan dibakar.
III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir Pemanfaatan lahan kering di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk usahatani jagung dan tanaman pangan lainnya, belum memberikan hasil yang optimal, hal ini karena ada banyak faktor penghambat, diantaranya faktor abiotik, biotik dan kondisi sosial ekonomi petani. Kendala faktor abiotik seperti (1) ketersediaan air yang terbatas, (2) tanah mudah tererosi, (3) kesuburan kimia tanah yang rendah, yang diperlihatkan oleh kandungan N tanah yang rendah (0,16%), P-tersedia rendah (20,55 ppm) dan K-tersedia yang tergolong sedang (192,04 ppm, dan (4) kandungan bahan organik tanah rendah yang ditunjukkan oleh C-organik yang rendah sebesar 1,365% (Lampiran 1). Kendala dari faktor biotik yang penting adalah pesatnya pertumbuhan gulma. Di sisi lain faktor sosial ekonomi petani juga memegang peranan penting dalam peningkatan produksi serta pengembangan tanaman jagung. Dampaknya adalah produktivitas lahan terus menurun yang berdampak pada meningkatnya luas lahan kritis di NTT. Peningkatan produktivitas lahan kering dapat dilakukan dengan berbagai tindakan konservasi. Diantara berbagai alternatif untuk mengatasi berbagai kendala faktor abiotik dan biotik tanah di lahan kering, penggunaan tanaman legum penutup tanah (LPT) secara in situ merupakan cara yang tepat, murah dan mudah dilakukan. Penanaman dapat dilakukan secara sekuensial menjelang atau akhir panen tanaman pangan semusim (akhir musim hujan) dengan memanfaatkan
35
sisa hujan dan kelembaban tanah. Pada awal musim hujan atau menjelang musim tanam berikutnya, LPT dimatikan dan dikembalikan ke dalam lahan budidaya dengan cara pembenaman atau sebagai bahan mulsa (Racmhman et al., 2006; Acosta, 2009). Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kandungan C-organik dan N total tanah, sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk sintetis sampai batas yang rasional atau dapat berperan sebagai bahan pembenah tanah. Beberapa jenis LPT seperti C. pubescens Benth. (CP), M. pruriens L. (MP), C. usaramoensis L. (CU) dan P. lunatus L. (PL) memiliki potensi untuk dikembangkan dalam lahan budidaya saat masa bera. Jenis LPT telah banyak dimanfaatkan di daerah tropis terutama diintegrasikan dalam sistem budidaya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet dan jeruk. Banyak peneliti yang merekomendasikan bahwa LPT mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam meningkatkan produktivitas lahan dalam sistem budidaya pertanian (Power, 1987; Dinga et al., 2006; Sarantino, 2007; Steenwerth et al., 2008). Bila diaplikasikan ke dalam tanah (sebagai pupuk hijau) akan lebih cepat terdekomposisi sehingga pelepasan hara N (net release of nitrogen) dan unsur hara lainnya akan lebih cepat terjadi (Wang et al., 2010; Olson et al., 2010). Keunggulan penggunaan LPT, selain sebagai sumber bahan organik tanah, juga yang paling penting adalah kemampuannya dalam meningkatkan simpanan N dalam tanah, melalui sombiosisnya dengan bakteri penambat. Besarnya simpanan C-organik, N tanah, dan besarnya pelepasan hara dari biomasa legum penutup tanah ditentukan oleh proses dekomposisi. Dekomposisi merupakan proses yang sangat penting dalam dinamika hara pada suatu ekosistem
36
lahan (Handayanto et al., 1997; Sulistiyanto et al., 2005). Proses tersebut sangat vital untuk keberlanjutan status hara dan ketersediaannya bagi tanaman budidaya (Handayanto et al., 1994; Handayanto dan Ismunandar, 1999; Guo dan Sims, 1999).
Produksi Pertanian Lahan Kering Rendah:
Pengelolaan lahan kering spesifik: dengan legum penutup tanah
Pertumbuhan cepat umur genjah, produk biomasa tinggi tahan kering sesuai sebagai tanaman bera
Pengelolaan lahan budidaya dengan : C. pubescens Benth., M. pruriens L., C. usaramoensis L., dan P. Lunatus L.
Faktor abiotik (air terbatas, mudah tererosi, kesuburan tanah rendah, C- organik rendah Fakror biotik: gulma pesat Faktor sosial ekonomi
Potensi menyerap karbon (CO2) di atmosfir Sumber C-organik tanah Sumber N tanah
Pengelolaan Legum Penutup Tanah
Dekomposisi Biomasa Legum Penutup Tanah
Pelepasan hara
Simpanan C-organik tanah meningkat >2,0% dan N tanah meningkat >0,2%
Sinkronisasi hara
Kualitas tanah di lahan kering meningkat
Kualitas Fisik: bulk density porositas, kadar air, suhu tanah tatanah,uhu tanah
Kualitas Kimia: pH, C-organik, N, P, K, Ca, Mg, KTK
Hasil jagung di lahan kering meningkat (>2,3 t.ha-1)
37
Kualitas Biologi: Respirasi mikroba Jumlah koloni mikroba
Gambar 3.1 Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian Kecepatan dekomposisi biomasa bervariasi pada berbagai species LPT, tergantung pada kualitas biomasanya. Menurut Palm et al. (2001) LPT termasuk sumber bahan organik yang berkualitas tinggi dibanding dengan sumber bahan organik non legum. Legum penutup tanah umumnya mengandung kadar N >2,5%, C/N ratio < 20, kandungan lignin < 15% dan polifenol < 4% yang rendah (Rachman et al., 2006), sehingga lebih cepat terdekomposisi. Selain faktor kualitas biomasa, kecepatan dekomposisi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama pH tanah, suhu dan kelembaban tanah. Menurut Sutedjo et al. (1991), kondisi lingkungan yang optimum adalah: pH netral antara 5,5-7,5), suhu tanah optimum berkisar 20-28oC dan kelembaban tanah antara 5060%. Kondisi lingkungan yang optimum ini akan dapat meningkatkan aktivitas mikroba perombak dalam menguraikan bahan organik. Pemberian bahan organik
pada lahan budidaya pertanian umumnya
belum memberikan hasil yang optimal. Penyebabnya adalah selain rendahnya kadar hara juga lambannya pelepasan hara dari bahan organik, sehingga tidak terjadi sinkronisasi (Handayanto dan Ismunandar, 1999). Sinkronisasi adalah ketepatan (matching) menurut waktu, yaitu ketepatan ketersediaan unsur hara dan jumlah kebutuhan tanaman akan unsur hara tersebut (Myers et al., 1997). Sinkronisasi ditentukan oleh kecepatan dekomposisi dan mineralisasi bahan organik (Handayanto, 1997). Faktor ini yang menjadi kendala dalam pemanfaatan bahan organik in situ.
38
Studi mengenai simpanan karbon organik tanah telah menjadi perhatian dalam rangka mengevaluasi kualitas tanah akibat praktek pertanian konvensional yang cenderung meningkatkan degradasi tanah. Menurut Collins et al. (1992) salah satu indikator keberhasilan usaha pengelolaan lahan pertanian adalah tetap terpeliharanya simpanan C-organik tanah sehingga terjadi keseimbangan dalam tanah, lingkungan dan biodiversitas. Sebagian lahan pertanian di Indonesia (baik lahan kering maupun sawah) mempunyai kadar bahan organik < 1-2% (Samosir, 2000).
Pada hal
kadar C-organik total yang optimum untuk pertumbuhan
tanaman sekitar 2,5-5% (Young, 1989; Rachman et al., 2006). Meningkatnya simpanan C-organik dalam tanah (>2,5%) akan mempengaruhi kualitas tanah (baik sifat fisisk, kimia dan biologi) menjadi lebih baik, sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman jagung serta tanaman lainnya meningkat. Secara ringkas kerangka berpikir penelitian, seperti pada Gambar 3.1. 3.2 Konsep Penelitian Sistem pertanian lahan kering merupakan suatu praktek budidaya yang sangat beragam. Salah satu sistem pertanian tradisional yang banyak dipraktekan petani lahan kering adalah sistem ladang berpindah (shifting cultivation) dengan basis utamanya adalah usahatani tanaman pangan semusim. Sistem ini, merugikan apabila dilakukan secara terus menerus (intensif), karena berakibat pada penurunan produktivitas tanah dan dalam jangka panjang berdampak pada kerusakan sumberdaya alam termasuk tanah (Suwardjo, 1981; Reijntjes et al., 1999).
39
Indikasi kerusakan tanah dapat dilihat dari rendahnya simpanan C-organik total. Akibat lanjutannya adalah erosi tanah yang tinggi, kerusakan struktur tanah bagian atas, menurunnya kapasitas pengikatan air (water hollding capacity, degradasi sifat kimia berupa penurunan cadangan unsur hara dan menurunnya populasi mikroba dalam tanah (La1, 1998; Bot dan Benites, 2005). Lebih lanjut Milne (2009) menyimpulkan bahwa jumlah simpanan C-organik total dalam tanah sangat ditentukan oleh praktek pengelolaan lahan atau teknik budidaya pertanian, faktor sifat tanah (tekstur), iklim, vegetasi dan sejarah penggunaan (manajemen) lahan. Rendahnya simpanan C-organik tanah merupakan masalah dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering. Penanganannya dapat dilakukan melalui sistem pemberaan dengan LPT. Untuk itu dirancang konsep penelitian seperti pada Gambar 3.2, yang bertujuan mengevaluasi prospek pemberaan dan pengelolaan LPT tersebut.
Penelitian ini
diawali dengan studi pendahuluan
(observasi). Studi ini bertujuan untuk menjajagi potensi LPT di lahan kering, jenis LPT, kesuburan tanah dan iklim. Pada tahap ini juga dilakukan analisis terhadap kualitas dari LPT yang di coba.
Luaran dari studi pendahuluan ini
adalah menetapkan lokasi penelitian dan jenis LPT yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan luaran pada studi pendahuluan, maka telah dilanjutkan dengan penelitian lapang untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan. Penelitian lapang ini, dirancang dalam empat tahap percobaan, untuk menjawab masing-masing masalah yang saling terkait, yaitu:
40
Percobaan 1,
bertujuan untuk mengkaji laju dekomposisi atau degradasi biomasa dari berbagai jenis legum penutup tanah. Percobaan 2, bertujuan untuk mengetahui hubungan antara waktu pelepasan hara dengan kebutuhan tanaman (sinkronisasi hara) pada pengaruh masa inkubasi berbagai jenis biomasa LPT
selama fase vegetatif
jagung, dilanjutkan dengan percobaan 3 yang bertujuan untuk mengkaji potensi
Masalah Penelitian
Jenis LPT tropis sangat banyak, dan memiliki potensi dan adaptasi yang berbeda
Proses Penelitian
Studi Pendahuluan: Penjajagan potensi LPT, kualitas biomasa, cara pengelolaan LPT oleh petani, kesuburan tanah, iklim
Output Penelitian Lokasi penelitian, jenis LPT (4 jenis)
Percobaan Lapang Masalah 1: Laju dekomposisi biomasa LPT dalam menentukan simpanan C-organik dan besarnya pelepasan hara Masalah 2: Tingkat sinkronisasi hara yang berasal dari berbagai biomasa LPT
Masalah 3: Potensi LPT di lahan kering beragam
Masalah 4: Cara pengelolaan biomasa LPT insitu yang belum efektif
Perc. 1: Percobaan litterbag untuk mengkaji laju dekomposisi dan pelepasan hara dari beberapa jenis LPT
Perc. 2: Percobaan pot untuk mengkaji masa inkubasi biomasa LPT terhadap tingkat sinkronisasi hara N pada tanaman jagung
Metode aplikasi biomasa LPT yang tepat
Masa inkubasi biomasa LPT & waktu penanaman jagung yg sesuai
Perc. 3: Percobaan lapang untuk mengkajian potensi berbagai jenis LPT sbg tananaman bera dalam meningkatkan simpanan C-organik dan pengaruhnya terhadap kualitas tanah di lahan kering
Jenis LPT potensial
Perc 4: Percobaan lapang untuk melihat efek pengelolaan berbagai jenis biomasa LPT terhadap simpanan Corganik dan kualitas tanah serta hasil jagung di lahan kering
jenis LPT yang sesuai cara pengelolaan biomasa yang tepat
Hasil jagung di lahan kering meningkat, >2,3 t ha -1 Simpanan C-organik meningkat Jenis LPT potensial di lahan kering 41
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian berbagai jenis LPT dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering; dan percobaan 4, bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengelolaan biomasa LPT in situ pasca pemberaan terhadap perubahan simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering. 3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran dan konsep penelitian yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis biomasa LPT dan bentuk aplikasi biomasa menyebabkan laju dekomposisi dan pelepasan hara yang berbeda; 2. Masa inkubasi biomasa LPT yang dilakukan dengan cara pembenaman sebelum tanam dapat meningkatkan sinkronisasi hara pada tanaman jagung; 3. Jenis LPT yang diintroduksi dalam lahan budidaya selama masa bera berpengaruh nyata meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering; 4. Pengelolaan biomasa LPT in situ pasca bera dapat meningkatkan simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering; 5. Simpanan C-organik tanah mempunyai hubungan yang erat dengan kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering.
42
IV METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian 4.1.1 Tempat penelitian Secara keseluruhan penelitian ini telah di lakukan di wilayah kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), mulai dari kegiatan observasi sampai percobaan lapang. Percobaan lapang dilakukan di lahan petani di desa Oelnasi kecamatan Kupang Tengah kabupaten Kupang, NTT (Lampiran 36). Lahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah lahan tegalan yang diusahakan secara intensif selama 4-5 tahun penanaman. Jenis tanah percobaan berdasarkan Dudal-Soepraptohardjo (1957) termasuk jenis tanah Mediteran. Hasil analisis tanah awal menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah tergolong rendah (Lampiran 1). Jenis tanaman yang diusahakan sebelumnya adalah tanaman pangan semusim yaitu monokultur jagung, kadang-kadang dilakukan pola tanam tumpang sari antara jagung dan kacang tanah. Penanaman tanaman pangan biasanya di usahakan pada musim hujan dan setelah panen lahan diberakan secara alami sampai menunggu hujan tiba untuk dimanfaatkan lagi. Cara persiapan lahan tanam adalah gulma di bersihkan dengan sabit dan dibakar, tidak dilakukan pengolahan tanah sebelum tanam. Analisis kualitas biomasa LPT, sifat kimia dan biologi tanah di lakukan di Laboratorium Kimia Tanah dan Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Analisis sifat fisik tanah dilakukan di laboratorium Tanah dan Air Politeknik Pertanian Negeri Kupang.
43
4.1.2 Waktu penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2012-Agustus 2013, dengan tahapan kegiatan sebagai berikut: 1.
Observasi lapang dilakukan pada bulan Juni-Agustus
2012, dilanjutkan
dengan analisis kualitas biomasa legum penutup tanah, 2.
Percobaan ke-1 (pertama) dan ke-2 (dua) dilaksanakan pada bulan Juli – September 2012,
3.
Percobaan lapang di lahan budidaya dilakukan dalam dua tahap, yaitu dimulai dari bulan Juni-November 2012 (untuk percobaan 3). Dilanjutkan percobaam 4 dari bulan Desember 2012 sampai dengan April 2013.
4.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan tanaman terdiri dari benih LPT C. pubescens Benth. (CP), M. pruriens L. (MP), C. usaramoensis L. (CU) dan P. lunatus L. (PL). Benih legum CP dan MP, diperoleh dari UD Tani Jaya, sedangkan untuk benih CU dan PL adalah jenis LPT lokal diambil dari petani setempat yang ada di wilayah kabupaten Kupang NTT. Benih jagung yang digunakan adalah benih jagung komposit varietas
Lamuru (deskrispsi pada Lampiran 2), tanah dan lahan
percobaan, tali rafia, kantong plastik. Alat yang digunakan meliputi: Munshel soil colour chart, meteran, pacul, parang, pisau, termometer tanah, ring sampel, timbangan, oven, grain moisture meter, jangka sorong, mistar, dan peralatan analisis sifat fisik, kimia dan biologi tanah di laboratorium.
4.3 Metode Penelitian
44
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Penelitian ini dirancang untuk dilaksanakan dalam beberapa tahap sesuai dengan kerangka konsep penelitian, yaitu: 4.3.1 Observasi/penelitian pendahuluan 4.3.1.1 Tujuan Menjajagi potensi dan kualitas berbagai LPT di lahan kering, sebaran dan pemanfaatannya oleh petani. 4.3.1.2 Pelaksanaan observasi Observasi untuk penjajagan potensi dan sebaran bahan organik, mengikuti protokol penelitian bahan organik oleh ICRAF (ICRAF, 1997). Langkah-langkah observasi adalah: 1) pengamatan langsung di lapang, meliputi penentuan lokasi observasi, pencatatan jenis tanaman penutup tanah, pengambilan contoh tanaman (daun, batang/sulur dan akar), estimasi produksi biomasa legum penutup tanah. 2) wawancara dengan petani pada berbagai lokasi yang di pilih secara random. 4.3.1.3 Analisis kualitas biomasa LPT Penentuan kualitas biomasa LPT adalah dengan cara diambil contoh biomasa segar dilapangan secara acak, selanjutnya dikeringkan, dihaluskan dan dianalisisi di laboratorium. Kualitas biomasa LPT dianalisis berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Tropical Soil Biologi and Fertility Programme (Anderson dan Ingram, 1989).
45
Kualitas biomasa yang dianalisis meliputi: N total (Metode Micro Kjeldahl), P total (Uji Molibdate Blue), lignin dan polifenol (Metode ADF & Follin-Denis), C total (Metode Walkey & Balck), Ca dan Mg (Metode ASS), K (Metode Flamephotometer), Metode analisis kualitas biomasa LPT dilakukan sesuai petunjuk Anderson dan Ingram, (1989).
4.3.2 Percobaan 1: Kajian laju dekomposisi dan pelepasan hara dari berbagai biomasa LPT 4.3.2.1 Tujuan percobaan Percobaan ini bertujuan untuk mengkaji laju dekomposisi atau degradasi biomasa berbagai jenis LPT yang dicoba, dan untuk menjawab hipotesis penelitian pertama (ke-1). 4.3.2.2 Rancangan percobaan Pengelompokan percobaan ini dilaksanakan di lapangan. Percobaan dirancang dengan rancangan dasar Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) pola faktorial. Faktor yang diuji adalah jenis biomasa LPT (L) dan bentuk aplikasi biomasa dalam litter bag (A). Faktor jenis biomasa legum penutup tanah (L), terdiri dari 4 jenis, yaitu L1 : biomasa CP L2 : biomasa MP L3 : biomasa CU L4 : biomasa PL
46
Faktor bentuk aplikasi biomasa dalam litter bag (A), terdiri dari 2 cara yaitu: A0 : biomasa dalam litter bag di tempatkan di atas permukaan tanah A1 : biomasa dalam litter bag dibenamkan di dalam tanah Perlakuan diulang tiga kali, sehingga diperoleh 24 unit percobaan. Unit percobaannya adalah biomasa LPT dalam litter bag. Setiap unit terdiri dari 4 unit litter bag. Pengamatan dilakukan 4 kali sehingga disiapkan 96 unit litter bag. 4.3.2.3 Pelaksanaan percobaan Percobaan laju dekomposisi biomasa LPT di uji dengan menggunakan metode “Litter Bag Technique” yang dikembangkan oleh Anderson dan Swift (1983); Ribeiro et al. (2002). Metode ini dilakukan dengan cara memasukan biomasa LPT segar yang telah dikeringkan ke dalam kantong serasah (litter bag). Contoh biomasa LPT anginkan,
kemudian
dioven
segar
yang diambil dari lapangan dikering-
pada
suhu
70oC
selama
48
jam
untuk
mengkonstankan kadar airnya, dan dilakukan analisis kandungan kimia awal yang meliputi: C, N, C/N ratio, P, C/P ratio, K, Ca, Mg, serta kandungan lignin dan polifenol. Selanjutnya masing-masing biomasa legum penutup tanah di timbang sebanyak 100 g (berat kering oven). Biomasa (kering oven) dimasukan ke dalam litter bag yang terbuat dari bahan kassa nilon dengan ukuran 35 cm x 35 cm. Ukuran lubang (mesh size) kassa nilon adalah 2 mm. Selanjutnya biomasa dalam litter bag ditempatkan dalam tiga petakan lahan sebagai ulangan dengan ukuran masing-masing petak 12 x 1 m2. Masingmasing petak ditempatkan 32 unit litter bag. Cara aplikasi litter bag dilakukan sesuai perlakuan, yaitu di atas permukaan tanah dan cara yang kedua dibenamkan
47
dalam tanah pada kedalaman antara 15-20 cm dari permukaan tanah dalam petak lahan budidaya. Hal ini dimaksudkan agar terjadi proses dekomposisi secara alami (Sulistiyanto et al., 2005). Monitoring litter bag dilakukan sebanyak empat kali, yaitu pada 10, 20, 30 dan 40 hari setelah aplikasi litter bag (interval waktu 10 hari) (Haraguchi et al., 2002; Maswar, 2005). Setelah litter bag diambil dari lapangan, sampel biomasa yang tertinggal dalam litter bag (pada setiap pengamatan), dikeluarkan dan dimasukan ke dalam kantong plastik untuk di analisis di laboratorium. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah: 1. Kadar air biomasa dalam litter bag (%) Prinsip dasarnya adalah air dalam contoh/sampel bahan diuapkan dengan cara pengeringan (oven) pada suhu 70oC selama 48 jam (Sulaeman et al., 2005). –
dimana, W W0 W1 100
: : : :
...................................................(1)
bobot contoh awal (g) bobot contoh setelah dikeringkan (g) berat kering biomasa yang tertinggal setelah waktu t time (g) faktor konversi ke %; fk (faktor koreksi kadar air) = 100/(100 - % kadar air)
2. Kehilangan berat dan pelepasan hara Kehilangan berat dihitung berdasarkan ratio antara berat biomasa yang hilang (periode waktu t) dengan berat biomasa kering sebelum aplikasi (berat awal). Berat awal biomasa ditetapkan 100 g, dan menjadi dasar dalam analisis kehilangan berat, laju dekomposisi dan besarnya pelepasan hara.
48
Sementara jumlah pelepasan hara selama periode waktu dekomposisi dihitung berdasarkan ratio dari konsentrasi hara saat pengambilan sampel yang dikoreksi dengan berat kering (pada waktu t) dibanding dengan konsentrasi hara dalam biomasa saat awal mulai penelitian dan dinyatakan sebagai persen. Kehilangan berat serasah dan pelepasan hara LPT dihitung dengan cara yang dilakukan oleh Guon dan Sims (1999); Sulistiyanto et al. (2005); Maswar (2005), sebagai berikut:
..............................................................................(2) dan ....................................................................(3) dimana, L W0 Wt R C0 Ct
: : : : : :
prosentase biomasa yang hilang (%) berat biomasa sebelum aplikasi dimulai berat kering biomasa yang tertinggal setelah waktu t prosentase hara yang terlepas (%) konsentrasi hara (mg kg-1) pada biomasa awal konsentrasi hara (mg kg-1) pada biomasa yang masih tertinggal
3. Laju dekomposisi biomasa/serasah. Laju dekomposisi menggambarkan kecepatan pelapukan biomasa/serasah tanaman dalam satu perode waktu tertentu. Pada penelitian dekomposisi, konstanta laju dekomposisi (k) umumnya dipakai untuk membandingkan kecepatan/laju dekomposisi biomasa berbagai spesies tanaman atau antar berbagai kondisi lingkungan. Pendugaan laju dekomposisi biomasa dilakukan sama seperti Guo dan Sims (1999); Ribeiro et al. (2002); Rogers (2002); Sulistiyanto et al. (2005)
49
yang mengasumsikan bahwa berat serasah yang hilang terjadi secara eksponensial, dihitung dengan menggunakan persamaan: Wt = W0 e-kt ............................................................................................. .(4)
dimana, Wt W0 e K t
: : : : :
bobot biomasa/serasah setelah periode pengamatan (g) bobot biomasa/ serasah awal (g) bilangan logaritma (2,71) koefisien (konstanta) laju dekomposisi periode pengamatan (hari)
4. Kandungan kimia biomasa LPT
yang masih tertahan pasca dekomposisi,
meliputi: N total (%) dengan metode Kjeldahl, C-organik (%) dengan metode Walkey & Balck, P total (%) Uji Molibdate Blue, Ca dan Mg (metode ASS), K (metode Flamephotometer), dianalisis sesuai petunjuk Anderson dan Ingram, (1989).
4.3.3 Percobaan 2: Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT terhadap tingkat sinkronisasi hara N pada tanaman jagung selama fase vegetatif 4.3.3.1 Tujuan percobaan Untuk mengkaji tingkat sinkronisasi hara N pada tanaman jagung, dan untuk menjawab hipotesis penelitian ke-2. 4.3.3.2 Rancangan percobaan Penelitian ini merupakan percobaan pot yang dilakukan di lapangan. Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan satu faktor kombinasi perlakuan antara jenis biomasa LPT dan masa inkubasi, sebagai berikut:
50
L0 : Tanpa biomasa LPT (kontrol) L1I10 : biomasa CP diinkubasi 10 hari sebelum tanam L1I20 : biomasa CP diinkubasi 20 hari sebelum tanam L1I30 : biomasa CP diinkubasi 30 hari sebelum tanam L2I10 : biomasa MP diinkubasi 10 hari sebelum tanam L2I20 : biomasa MP diinkubasi 20 hari sebelum tanam L2I30 : biomasa MP diinkubasi 30 hari sebelum tanam L3I10 : biomasa CU diinkubasi 10 hari sebelum tanam L3I20 : biomasa CU diinkubasi 20 hari sebelum tanam L3I30 : biomasa CU diinkubasi 30 hari sebelum tanam L4I10 : biomasa PL diinkubasi 10 hari sebelum tanam L4I20 : biomasa PL diinkubasi 20 hari sebelum tanam L4I30 : biomasa PL diinkubasi 30 hari sebelum tanam Keseluruhan perlakuan (13 unit percobaan) disusun secara acak dengan tiga kali ulangan dengan tiga kali pengamatan yang dilakukan secara destruktif, sehingga secara keseluruhan disiapkan 117 polibag. 4.3.3.3 Pelaksanaan percobaan Tanah untuk percobaan pot ini diambil dari lokasi penelitian untuk tahap berikutnya. Jenis tanah adalah Mediteran (Dudal-Soepraptohardjo, 1957). Contoh tanah diambil secara acak pada lapisan permukaan 0-20 cm, contoh tanah dicampur dan dikering anginkan (kering udara). Biomasa LPT sebagai sumber bahan organik dikumpulkan dari lapangan. Biomasa LPT di potong-potong dan di kering anginkan, selanjutnya dioven pada suhu 70oC selama 24 jam untuk mengkonstankan kadar airnya. Masing-masing biomasa kering oven ditimbang sebanyak 0,5% dari berat tanah kering udara, kemudian dicampur dengan media tanah yang telah di persiapkan (dosis: 50 g
51
biomasa 10 kg-1 tanah), dimasukan dalam karung dan ditempatkan di bawah naungan dan ditutup dengan terpal agar terhindar dari cahaya langsung, selanjutnya diinkubasikan sesuai dengan perlakuan lama inkubasi (30, 20 dan 10 hari sebelum tanaman jagung). Setelah masa inkubasi selesai, tanah hasil inkubasi ditimbang masing-masing 10 kg, dimasukan dalam polibag, dan ditempatkan di lapang secara acak. Selanjutnya masing-masing polibag ditanami benih jagung komposit (varietas Lamuru) sebanyak dua biji per lubang. Setelah benih jagung tumbuh, pada umur 7 hari diseleksi dan dipelihara satu tanaman tiap pot (polibag). Pemberian air dilakukan setiap hari yaitu pada soreh hari, rata-rata sebesar 800 ml polibag-1 hingga tanaman mencapai umur vegetatif maksimum (50 hari). Kadar air tanah untuk masing-masing polibag dipertahankan pada kondisi kapasitas lapang, dilakukan dengan cara penimbangan. 4.3.3.4 Pengamatan Pengamatan/pengukuran dilakukan pada saat tanaman berumur 15, 30, dan 45 hari setelah tanam (hst). Metode analisis tanah dan tanaman dilakukan sesuai penutujuk Sulaeman et al. (2005). Variabel yang diamati adalah: 1. N total tanah (mg kg-1), dengan methode Kjeldahl 2. N tersedia (mg kg.1), dengan methode Kjeldahl 3. N jaringan tanaman (mg kg-1); metode Kjeldahl. 4. Serapan hara N oleh tanaman jagung (mg kg-1); Serapan hara ditetapkan dengan mengalikan konsentrasi hara N jaringan dengan bobot brangkasan kering bagian atas tanaman. 5. Bobot kering total tanaman (g).
52
4.3.4 Percobaan 3: Kajian potensi LPT sebagai tanaman bera dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering 4.3.4.1 Tujuan percobaan Percobaan ini bertujuan untuk
mengkaji potensi berbagai LPT dalam
meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering, dan untuk menjawab hipotesis penelitian ke-3. 4.3.4.2 Rancangan percobaan Penelitian ini merupakan percobaan lapang sebagai dasar untuk percobaan selanjutnya. Percobaan dirancang dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL), dengan satu faktor pemberaan dengan berbagai jenis legum penutup tanah sebagai perlakuan. Jenis tanaman
legum penutup tanah
yang dicoba
senagai tanaman bera (L), adalah : L0 : Lahan dibiarkan terbuka (tanpa LPT), praktek petani L1 : Lahan diberakan dengan CP L2 : Lahan diberakan dengan MP L3 : Lahan diberakan dengan CU L4 : Lahan diberakan dengan PL Lima perlakuan di susun secara acak dengan empat kali ulangan untuk masingmasing perlakuan, sehingga diperoleh 20 unit percobaan (denah percobaan hasil pengacakan, Lampiran 3 dan 4). 4.3.4.3 Pelaksanaan percobaan Lahan percobaan dibagi menjadi empat blok sebagai ulangan. Pemblokan didasarkan atas arah kemiringan lereng (kesuburan tanah). Masing-masing blok di bagi dalam 5 petak sesuai jumlah perlakukan jenis legum penutup tanah. Ukuran 53
masing-masing petak adalah 18 m x 4 m. Jarak antara blok 1,5 m jarak antar petak perlakuan 1 m. Petakan percobaan dibersihkan dari gulma selanjutnya dilakukan penanaman benih legum secara larikan dengan jarak antar larikan/baris 30 cm dan dalam barisan 20 cm. Penanaman dilakukan pada akhir musim hujan dan di pelihara selama masa istirahat lahan (bera). 4.3.4.4 Pengamatan Analisis potensi legum penutup tanah: 1.
Prosentase penutupan tanah (area cover): Pengamatan dilakukan pada saat tanaman berumur 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam. Prosentase penutupan tanah dilakukan dengan cara menghitung seberapa besar kanopi tanaman tersebut mampu menutupi permukaan tanah setiap bulan. Prosentase penutupan tanah dilakukan dengan metode kuadrat, dengan persamaan: PPT = A/B x 100% ..................................................................................... (5) dimana: PPT: prosentase penutupan tanah (%) A : jumlah lubang kawat yang tertutupi oleh tajuk LPT B : jumlah lubang kawat yang belum tertutupi oleh tajuk LPT
2.
Produksi biomasa LPT (dihitung dalam bobot kering, b.k. t ha-1), Pengukuran dilakukan secara acak dalam petak percobaan dengan metode kuadrat (1m x 1 m). Total berat kering biomasa dihitung dengan rumus: BKB = (100 - % Ka)/100 x BBs................................................................... (6) Dimana: BKB %Ka BBs
: bobot kering biomasa total (t ha-1) : kadar air biomasa (%) : total berat biomasa segar (t ha-1)
54
3.
Serapan karbon tanaman (t ha-1), dihitung dengan persamaan (Hairiah dan Murdiyarso, 2007), sebagai berikut: Serapan karbon (t ha-1) = 0,5 x bobot kering biomasa (t ha-1) .....................(7)
4.
Simpanan C-organik tanah. Pada percobaan ini pengamatan dilakukan pada akhir masa bera dengan legum penutup tanah. Simpanan karbon organik dihitung dari kadar Corganik tanah (Komatsuzaki dan Syaib, 2010), dengan persamaan sebagai berikut: SCS (t ha-1) = BD x SOC x DP x 100 ...........................................................(8) dimana: SCS : soil carbon stock (t ha-1) BD : bulk density (g cm-3) SOC: soil organic carbon (%) DP : kedalaman solum tanah (m)
5.
Kadar nitrogen (N) jaringan tanaman LPT (%), dianalisis dengan metode Kjeldahl (Sulaeman et al. 2005)
6.
Nitrogen (N) yang tertambat oleh legum penutup tanah (kg ha-1); ditetapkan dengan mengalikan konsentrasi N jaringan dengan bobot kering tanaman LPT.
Analisis kualitas tanah, meliputi: 1. Sifat fisik tanah: 1.1. Kadar air tanah (%), metode gravimetri Pengukuran kadar air tanah dilakukan secara reguler setiap bulan mulai saat tanaman legum penutup, yaitu 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 bulan. Kadar air tanah diketahui dari perbedaan bobot contoh tanah sebelum dan sesudah 55
dikeringkan, dihitung dengan persamaan (Sulaeman et al., 2005), dengan persamaan sebagai berikut: .................................................................................. (9) Dimana: U : kadar air (%), Ba: berat tanah awal , BK: berat tanah kering mutlak (1050C) 1.2. Suhu tanah (0C), Pengamatan dilakukan secara reguler bersamaan dengan pengukuran kadar air tanah 1.3. Bobot isi tanah (g cm-3), metode gravimetri Sampel tanah diambil pada masing-masing petak percobaan pada kedalaman 10-15 cm dari permukaan tanah, dalam keadaan tidak terganggu (utuh) dengan ring sampler (metode ring), dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis bobot isi. Pengukuran bobot isi tanah dilakukan pada akhir percobaan. Persamaan bobot isi tanah adalah:
........................................................................................(10) dimana: pb: bobot isi (bulk density) dalam g cm-3, Bp: berat tanah kering mutlak, vt: volume tanah dalam ring 1.4. Porositas tanah (%); Total porositas tanah (soil porosity) dihitung dengan persamaan: (
)
.................................................(11)
dimana: Bv : berat volume tanah (g cm-3) Bj : berat jenis (particel density)
56
2. Sifat kimia tanah Pengamatan sifat kimia tanah dilakukan pada akhir percobaan. Parameter sifat kimia tanah yang diukur meliputi: pH (H2O 1:1 ) larutan tanah, metode potensiometer, C-organik (Walkey & Black), N total (matode Kjeldahl), C/N rasio, P tersedia (Bray II), K tersedia (ekstrak HCL dan dibaca dengan Flamephotometer), Ca dan Mg (titrasi)
dan KTK (NH4OAc 1 N pH 7)
(Sulaeman et al., 2005) 3. Sifat biologi tanah: Sifat biologi tanah diamati pada akhir percobaan. Sifat biologi
yang diamati adalah: (1) total koloni mikroba (plate count), (2)
inveksi mikorisa (metode pewarnaan). 4.3.5 Percobaan 4: Pengaruh pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap simpanan C-organik dan kualitas tanah serta hasil jagung di lahan kering 4.3.5.1 Tujuan percobaan Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengelolaan biomasa LPT in situ pasca pemberaan terhadap simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering. Percobaan ini juga ditujukan untuk menjawab hipotesis penelitian ke-4 dan 5 dari kerangka berpikir. 4.3.5.2 Rancangan percobaan Percobaan ke-4 (empat) ini merupakan lanjutan dari percobaan ke-3 (tiga) pasca pemberaan dengan LPT. Percobaan ini
menggunakan pola
Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design), dengan dua faktor yaitu:
57
Faktor petak utama adalah jenis biomasa LPT yang merupakan lahan bekas LPT dengan biomasa insitu (L): L0 : lahan tanpa legum penutup tanah L1 : Lahan bekas CP, biomasanya dikembalikan L2 : Lahan bekas MP, biomasanya dikembalikan L3 : Lahan bekas CU, biomasanya dikembalikan L4 : Lahan bekas PL, biomasanya dikembalikan Faktor anak petak, ditempatkan masa inkubasi (pembenaman) legum penutup tanah (I), dengan 3 taraf, yaitu: I10 : biomasa diinkubasi 10 hari sebelum penanaman jagung I20 : biomasa diinkubasi 20 hari sebelum penanaman jagung I30 : biomasa diinkubasi 30 hari sebelum penanaman jagung Kombinasi perlakuan disusun dalam Rancangan Petak Terpisah (RPT), dengan tiga (tiga) kelompok sebagai ulangan untuk masing-masing perlakuan, sehingga secara keseluruhan terdapat 45 unit percobaan (denah percobaan hasil pengacakan, Lampiran 5.a dan 5.b). 4.3.5.3 Pelaksanaan percobaan Percobaan ke empat ini menggunakan lahan bekas percobaan ketiga yang terdiri dari 5 (lima) perlakuan jenis biomasa legum penutup tanah (L0, L1, L2, L3 dan L4) yang ditempatkan sebagai petak utama. Selanjutnya masing-masing perlakuan pada petak utama ini dibagi menjadi tiga anak petak sesuai dengan perlakuan masa inkubasi biomasa LPT (I10, I20 dan I30). Cara aplikasi perlakuan di lapangan adalah sebagai berikut:
58
a.
Masing-masing petak utama (18 x 4 m2) di bagi menjadi tiga anak petak sesuai jumlah perlakuan masa inkubasi. Ukuran anak petak adalah 5 x 4 m2. Jarak antar anak petak adalah 1 m. LPT pada masing-masing anak petak dipanen dengan cara mencabut. Biomasa LPT di potong-potong sepanjang 35 cm, ditebarkan kembali secara merata di atas masing-masing petak. Selanjutnya
biomasa
dibenamkan
dalam
tanah
bersamaan
dengan
pengolahan tanah. b.
Penerapan perlakuan pada anak petak; agar waktu tanam jagung serempak (bersamaan), maka penerapan perlakuan inkubasi pertama dilakukan pada plot/petak yang mendapat perlakuan I30, setelah 10 hari kemudian perlakuan I20 dan 10 hari kemudian perlakuan I10, pada saat bersamaan dilakukan penanaman jagung pada seluruh anak petak.
c.
Setelah penerapan perlakuan masa inkubasi (30, 20, dan 10 hari), masingmasing anak petak di tanami benih jagung. Penanaman dilakukan secara tugal dengan jarak antar baris 80 cm dan dalam baris 40 (80 x 40 cm). Jumlah lubang tanam tiap anak petak yang berukuran 5 x 4 m2 adalah 60 lubang tanam (31.250 lubang tanam ha-1).
d.
Setelah umur tanaman jagung 2 minggu dilakukan penjarangan dan dibiarkan 2 tanaman untuk setiap lubang tanam, sehingga populasi tanaman tiap anak petak adalah 120 tanaman (62.500 tanaman ha-1). jagung dipelihara sampai panen.
59
Selanjutnya tanaman
4.3.5.4 Pengamatan Variabel yang diamati dalam penelitian keempat ini terdiri dari: 1.
Simpanan C-organik tanah: Pengamatan terhadap simpanan C-organik (Komatsuzaki dan Syaib, 2010) dilakukan pada akhir percobaan (saat panen jagung), prinsip pengukuran sama seperti pada pengamatan pada percobaan terdahulu.
2.
Kualitas tanah, yang diamati adalah: 2.1. Sifat fisik tanah: Pengamatan dilakukan pada akhir percobaan (saat panen jagung). Variabel sifat fisik yang yang diamati meliputi: (1) bobot isi tanah (g cm-3), dan (2) Porositas tanah (%). Cara perhitungan sama seperti percobaan terdahulu. 2.2. Sifat kimia tanah: Pengamatan sifat kimia tanah dilakukan pada akhir percobaan (saat panen jagung). Parameter sifat kimia tanah yang diukur, meliputi: pH H2O, N total, P-tersedia, K tersedia, Ca, Mg dan KTK. Prosedur pengambilan sampel dan metode analisis sama seperti percobaan 3. 2.3. Sifat biologi tanah: Sifat biologi diamati pada akhir percobaan, yaitu (1) total koloni mikroba (metode plate count), (2) respirasi tanah (Metode titrasi, Widati, 2007)
60
3. Komponen hasil jagung: Komponen hasil tanaman jagung yang diamati dalam penelitian ini mencakup: 3.1. panjang tongkol (cm); pengamatan panjang tongkol dilakukan pada plot ubinan, dengan cara mengukur panjang tongkol dari 5 tongkol jagung yang diambil secara acak pada plot ubinan. 3.2. diameter tongkol (cm); pengamatan diameter tongkol dilakukan pada plot ubinan, dengan cara mengukur diameter tongkol dari 5 tongkol jagung yang diambil secara acak pada bagian tengah dan kedua bagian ujung, dengan jangka sorong dan hasilnya dirata-ratakan. 3.3. bobot biji per tongkol (g tongkol-1), pengukuran dilakukan pada 5 tongkol sampel dan ditimbang untuk mendapatkan bobot rata-rata pertongkol 3.4. bobot 100 biji (g 100 biji-1); yaitu dengan menimbang 100 biji pada tongkol sampel. 4. Hasil jagung pipilan kering (t ha-1) Pengukuran hasil biji pipilan kering (k.a.15%) tiap petak dilakukan pada petak ubinan. Hasil biji pipilan kering (t ha-1) dihitung dengan persamaan (Arifuddin dan Yasin, 2002), sebagai berikut ,*
dimana: LP BTK R=0,8 k.a.
: : : :
+
*
+- ................. (12)
luas petak ubinan 2 m x 2 m berat tongkol kupasan per plot ubinan (kg) konstanta rendemen biji kadar air biji saat panen (%)
61
5. Bobot kering tanaman (brangkasan) jagung (t ha-1); pengukuran dilakukan pada petak ubinan dengan menimbang brangkasan tanaman bagian atas. 6. Bobot kering gulma (g m-2); diamati dua kali yaitu pada penyiangan I (20 hst) dan penyiangan ke II (40 hst). Pengamatan dilakukan pada setiap petak ubinan.
4.4 Analisis Data Penelitian Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (Anova) sesuai dengan model dari rancangan yang digunakan untuk masingmasing percobaan. Kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf uji 5% untuk membandingkan rata-rata antar perlakuan yang dicoba (Gomez dan Gomez, 2007). Untuk mengetahui hubungan diantara parameter-parameter pengamatan dilakukan dengan analisa korelasi dan regresi. dilakukan dengan program statistik Costat.
62
Pengolahan data
V HASIL PENELITIAN Bab ini menyampaikan uraian dari hasil penelitian yang telah diperoleh dalam beberapa rangkaian percobaan. Bagian pertama, menguraikan hasil kajian tentang kualitas dari legum penutup tanah (LPT) tropis yang merupakan materi utama dalam penelitian ini. Bagian kedua, menyajikan hasil percobaan litter bag tentang pengelolaan biomasa LPT yang ditujukan untuk mengetahui laju dekomposisi dan pelepasan hara selama masa dekomposisi. Bagian ke tiga, menampilkan hasil percobaan pot tentang pengaruh masa inkubasi biomasa LPT yang ditujukan untuk mengetahui tingkat sinkronisasi hara pada tanaman jagung selama fase vegetatif. Selanjutnya bagian ke empat dan ke lima, menampilkan hasil percobaan di lapangan yang menguraikan secara mendalam tentang potensi dari LPT sebagai tanaman bera dan cara pengelolaan biomasa in situ pasca bera dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah serta hasil jagung di lahan kering. Bagian terakhir dari bab hasil penelitian ini akan menguraikan
63
hubungan antara simpanan C-organik dengan kualitas tanah dan hasil jagung. Secara lengkap uraian hasil penelitian adalah sebagai berikut: 5.1 Kualitas Biomasa LPT Hasil analisis laboratorium menunjukkan kadar air berbeda antar jenis LPT. Kadar air biomasa tertinggi ditunjukkan pada jenis C. usaramoensis L. (CU) sebesar 72,06% diikuti oleh P. lunatus L. (PL) sebesar 70,35%, M. pruriens L. (MP) 70,28% dan yang paling rendah adalah C. pubescens Benth (CP) dengan kadar air sebesar 56,43%. Hasil analisis terhadap kualitas biomasa LPT menunjukkan adanya perbedaan nilai kandungan sifat kimia antar jenis LPT (Tabel 5.1). Kadar C total yang paling tinggi ditunjukkan berturut-turut pada jenis MP, diikuti CP, PL dan CU. Demikian pula dengan kadar N, menunjukkan jenis CU dan PL memiliki kadar N yang lebih tinggi, diikuti oleh MP dan CP. Sementara kadar P tertinggi ditunjukkan pada jenis PL diikuti CU, MP dan CP yang lebih rendah. Tabel 5.1 Rata-rata kualitas kimia dari empat jenis LPT tropis yang dicoba di lahan kering Jenis LPT MP CU
PL
56,43
70,28
72,06
70,35
b. N total (%)
2,14
3,21
4,19
3,48
c. P total (%)
0,12
0,15
0,25
0,37
d. C total (%)
43,28
46,06
39,22
42,72
e. C/N
20,22
14,35
9,36
10,73
f. C/P
360,67
307,94
156,88
115,46
g. K (%)
0,96
0,98
0,39
1,37
h. Ca (%)
2,67
2,46
3,58
3,56
Komposisi sifat kimia biomasa LPT*)
CP
a. Kadar air biomasa (%)
64
i. Mg (%)
0,11
0,14
0,03
0,42
j. Lignin (%)
17,64
11,52
9,64
11,36
k. Polifenol (%)
10,32
7,86
3,76
4,01
*) Hasil analisis laboratorium, disajikan pada Lampiran 6 .
Selain kadar C, N dan P jaringan LPT, kualitas biomasa LPT
juga
ditentukan oleh nisbah C/N, nisbah C/P, lignin dan polifenol yang merupakan indikator kualitas yang menentukan kecepatan dekomposisi biomasa dan mineralisasi hara (Tabel 5.1). Nisbah C/N dan C/P yang diukur pada penelitian ini, menunjukkan jenis CU dan PL memiliki nisbah C/N dan C/P yang lebih rendah dibanding jenis MP dan CP (Tabel 5.1). Kandungan lignin yang paling rendah ditunjukkan pada jenis CU diikuti kandungan lignin pada jenis PL, MP dan CP. Sementara kandungan polifenol yang dianalisis dalam penelitian ini, menunjukkan jenis LPT CU dan PL menampilkan kandungan polifenol yang lebih rendah dibanding kandungan polifenol pada jenis MP
dan CP.
Selanjutnya kadar K, Ca dan Mg juga
memperlihatkan perbedaan kandungan antara jenis LPT. Kadar K, Ca dan Mg yang paling tinggi ditunjukkan pada jenis PL dan diikuti oleh jenis lainnya (Tabel 5.1). Kualitas kimia LPT yang diuraikan di atas merupakan indikator penting dan penentu dari laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT. 5.2 Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT terhadap Laju Dekomposisi dan Besarnya Pelepasan Hara 5.2.1 Kadar air biomasa LPT
65
Hasil analisis ragam terhadap kadar air biomasa LPT selama masa dekomposisi menunjukkan tidak terjadi interaksi yang nyata (p>0,01), namun terhadap masing-masing faktor tunggal menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap parameter tersebut (Lampiran 7). Rata-rata kadar air biomasa dalam litter bag selama masa dekomposisi disajikan pada Tabel 5.2. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kadar air biomasa berbeda antara jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag. Biomasa CU dan PL menunjukkan kadar air rata-rata yang lebih tinggi selama masa dekomposisi (10-40 hari) dibanding dengan biomasa MP dan CP.
Tabel 5.2 Rata-rata kadar air biomasa LPT selama masa dekomposisi dalam litter bag pada masing-masing faktor tunggal Perlakuan Faktor Tunggal
Kadar air biomasa (%) 20 hari 30 hari
10 hari
40 hari
Jenis Biomasa LPT: Biomasa CP
13,99c
15,38b
19,80c
22,76b
Biomasa MP
15,14bc
16,15b
21,90b
23,34b
Bimassa CU
18,19a
20,64a
26,83a
27,94a
17,32ab
19,66a
26,38a
26,88a
Di atas tanah
12,35b
13,76b
20,11b
20,86b
Dibenamkan
19,97a
22,15a
27,34a
29,60a
Biomasa PL Metode aplikasi biomasa :
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Kadar air yang dicapai pada biomasa CU selama masa dekomposisi meningkat sebesar 67,79% (18,19% pada awal pengamatan menjadi 27,94% di akhir pengamatan) dan tidak berbeda nyata dengan rata-rata kadar air pada
66
biomasa PL dengan peningkatan sebesar 64,43% (dari kadar air 17,32% menjadi 26,88% pada akhir pengamatan). Biomasa MP dan CP memperlihatkan kadar air biomasa yang lebih rendah selama masa dekomposisi (Tabel 5.2). Metode aplikasi biomasa secara tunggal juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kadar air biomasa. Metode pembenaman, secara nyata meningkatkan kadar air biomasa yang lebih tinggi mulai hari ke-10 (19,97%) sampai hari ke-40 (29,60%). Sebaliknya kondisi ini berbeda dengan metode aplikasi biomasa di atas tanah yang menunjukkan tingkat kadar air biomasa yang lebih rendah selama masa dekomposisi, yaitu antara 12,35-20,86% (Tabel 5.2). 5.2.2 Kehilangan berat biomasa LPT Hasil pengukuran kehilangan berat biomasa selama masa dekomposisi menunjukkan bahwa jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag berinteraksi secara nyata (Lampiran 8).
(p<0,01) terhadap kehilangan berat biomasa
Rata-rata kehilangan berat dari biomasa LPT selama masa
dekomposisi disajikan pada Gambar 5.1.
67
100
a
90
a
b a
80
Kehilangan berat (%)
a
70
c
60
a
b a
d
50 e
40
c b
30
d
c
20
a
10
c c
bc c bc
b
a
f
e
d
e
de
c c
d
de
0
10
20
30 Lama dekomposisi (hari)
40
CP-diatas tanah
MP-diatas tanah
CU-diatas tanah
PL-diatas tanah
CP-dibenam
MP-dibenam
CU-dibenam
PL-dibenam
Keterangan: Histogram dengan notasi yang sama pada masing-masing masa dekomposisi adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Gambar 5.1 Histogram hasil analisis rata-rata kehilangan berat biomasa LPT (%) Prosentase kehilangan tertinggi ditunjukkan pada semua pada pengaruh interaksi berat antara biomasa jenis biomasa dan metode aplikasi biomasa LPT dalam litter bag jenis biomasa yang diaplikasikan dengan cara pembenaman di banding dengan biomasa yang diaplikasikan di atas tanah (Gambar 5.1). Metode pembenaman biomasa CU dan PL menunjukkan kehilangan berat biomasa yang lebih tinggi dan tidak berbeda, sejak hari ke-10 (masing-masing 10,47% dan 9,42%) dan kehilangan tersebut meningkat sampai hari ke-40 (masing-masing 93,63% dan 91,07%) dari bobot awal (100 g). Berbeda dengan biomasa MP dan CP pada metode aplikasi yang sama menunjukkan kehilangan berat yang lebih rendah dari CU dan PL (masing-masing sebesar 81,76% dan 61,08%).
68
Metode aplikasi biomasa LPT di atas tanah, menunjukkan kehilangan berat sampai pada akhir pengamatan (40 hari) lebih rendah, yaitu masing-masing CU (48,42%), PL (44,18%), MP (41,88%) dan CP (39,07%) dari berat awal dibanding aplikasi pembenaman (Tabel 5.2).
5.2.3 Pelepasan hara dari biomasa LPT Hasil pengukuran pelepasan hara dan analisis ragam, menunjukkan jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag berinteraksi secara nyata (p<0,01) terhadap besarnya pelepasan hara selama periode dekomposisi (Lampiran 9.a-9.e). Parameter kadar hara yang diamati dalam penelitian ini adalah C, N, P, K dan Ca. Secara umum metode pembenaman biomasa LPT melepaskan hara (C, N, P, K dan Ca) lebih besar dan lebih cepat dibanding dengan metode aplikasi di atas tanah (Tabel 5.3).
Tabel 5.3 Rata-rata pelepasan hara selama masa dekomposisi pada pengaruh interaksi antara jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag Hari ke
10
Perlakuan jenis biomasa LPT CP-di atas tanah MP-di atas tanah CU-di atas tanah PL-di atas tanah CP-dibenam MP-dibenam CU-dibenam PL-dibenam
Besarnya pelepasan hara C-Org N P K Ca .................................. % ................................... 2,30c 1,92c 1,46c 2,50d 2,20e 3,20c 2,90c 1,92c 3,42d 3,91e 5,85c 6,84bc 7,95bc 6,63cd 5,35-de 5,25c 6,22bc 6,66bc 4,49d 8,32cd 7,05c 5,73bc 11,94ab 6,96cd 8,97c 12,36b 10,60b 14,60ab 10,88bc 15,50b 18,87a 20,53a 20,36a 17,65a 22,42a 16,73ab 21,10a 19,55a 14,82ab 20,05a
69
20
30
40
CP-di atas tanah MP-di atas tanah CU-di atas tanah PL-di atas tanah CP-dibenam MP-dibenam CU-dibenam PL-dibenam CP-di atas tanah MP-di atas tanah CU-di atas tanah PL-di atas tanah CP-dibenam MP-dibenam CU-dibenam PL-dibenam CP-di atas tanah MP-di atas tanah CU-di atas tanah PL-di atas tanah CP-dibenam MP-dibenam CU-dibenam PL-dibenam
8,88e 10,94e 16,31de 18,88cd 25,25bc 32,10b 57,55a 58,04a 24,32e 26,88e 36,23d 39,68d 51,87c 62,46b 89,80a 87,45a 44,00e 47,09e 58,14d 56,19d 68,82c 88,62b 97,07a 95,51a
10,97e 11,05e 17,49d 16,84d 30,00c 35,66b 64,10a 60,21a 30,6-d 32,61d 41,91c 39,97c 66,11b 67,79b 91,00a 89,84a 48,81d 50,48d 60,51c 59,50c 81,58b 93,25a 97,44a 94,95a
13,67e 19,85de 22,96d 21,34d 34,44c 42,92b 64,50a 64,40a 39,39d 47,91d 52,31cd 48,63d 64,57c 78,92b 95,09a 90,69ab 50,20e 61,90d 66,02d 61,06d 77,97c 84,66bc 98,23a 95,94ab
8,96e 11,29de 16,93d 14,05de 24,22c 34,26b 58,81a 56,47a 29,05f 38,70e 40,71e 38,95e 52,91d 71,69c 91,54a 84,10b 46,52e 55,74d 61,37c 58,69cd 63,99c 77,25b 97,38a 98,40a
7,46e 11,28e 17,46d 16,17d 27,95c 45,65b 65,57a 63,41a 28,79e 26,46e 36,45d 35,28d 54,23c 75,41b 90,95a 87,33a 45,94f 45,62f 57,01d 52,69e 71,12c 89,82b 97,77a 95,85a
Keterangan: Angka yang diikutii huruf yang sama pada kolom dan hari yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Hasil analisis sifat kimia biomasa awal terhadap unsur C, N, P, K dan Ca menunjukkan bahwa unsur C (karbon) merupakan unsur terbesar penyusun biomasa tanaman di banding unsur lainnya. Jumlah pelepasan unsur C pada percobaan ini, menunjukkan tren pelepasan yang berbeda antar biomasa LPT dan metode aplikasi. Biomasa CU dan PL yang diaplikasikan dengan cara pembenaman dapat melepaskan C masing-masing sebesar 18,87% dan 16,73% pada hari ke-10 dan meningkat menjadi masing-masing 97,07% dan 95,51% pada hari ke-40 (Tabel 5.3). Sebaliknya biomasa MP dan CP pada bentuk aplikasi yang sama 70
memperlihatkan jumlah pelepasan C yang relatif rendah yaitu baru mencapai masing-masing 88,62% dan 68,82% pada hari ke-40. Metode aplikasi biomasa LPT di atas tanah sampai akhir pengamatan (hari ke-40) menunjukkan pelepasan C yang rendah, yaitu untuk biomasa CU dan PL masing-masing baru mencapai 58,14% dan 56,19%, sedangkan biomasa MP dan CP masing-masing sebesar 47,09% dan 44% dari berat awal (Tabel 5.3). Selain pelepasan C, besarnya pelepasan hara N, P, K dan Ca dari biomasa LPT menunjukkan kecenderungan pelepasan yang berbeda diantara jenis biomasa dan metode aplikasi serta mengalami peningkatan sampai periode ke-40 hari (Tabel 5.3). Metode aplikasi biomasa dengan pembenaman menunjukkan bahwa setelah 20 hari pembenaman, rata-rata besarnya hara (N, P, K dan Ca) yang dilepaskan dari biomasa CU dan PL sudah mencapai waktu paruh (t50) yang berarti sudah 50% hara yang dilepas oleh masing-masing biomasa, yaitu: N (64,1% dan 60,21%), P (64,50% dan 64,40%), K (58,815 dan 56,47%), Ca (65,57% dan 63,41%) dari konsentrasi awal saat pengambilan sampel. Sementara biomasa MP dan CP waktu paruh (t50) baru tercapai setelah 30 hari pada bentuk aplikasi yang sama. Sebaliknya besarnya pelepasan hara tersebut berbeda untuk aplikasi biomasa di atas tanah yang menunjukkan nilai besarnya pelepasan hara sangat rendah dan berjalan sangat lambat, dimana waktu paruh (t50) baru tercapai setelah periode 40 hari dekomposisi (Tabel 5.3). 5.2.4 Laju dekomposisi biomasa LPT Laju dekomposisi menggambarkan kecepatan pelapukan biomasa/serasah tanaman dalam satu periode waktu tertentu. Penelitian-penelitian tentang
71
dekomposisi,
konstanta
laju
dekomposisi
(k)
umumnya
dipakai
untuk
membandingkan kecepatan/laju dekomposisi biomasa berbagai species tanaman atau antar berbagai kondisi lingkungan per tahun. Hasil analisis ragam pada percobaan ini menunjukkan jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa memberikan pengaruh interaksi yang sangat nyata (p<0,01) terhadap konstanta laju dekomposisi (k) biomasa LPT dalam litter bag (Lampiran 10). Nilai rata-rata konstanta laju dekomposisi (k) dari empat jenis biomasa LPT dan bentuk aplikasi biomasa selama periode dekomposisi disajikan pada Gambar 5.2. Nilai konstanta laju dekomposisi untuk masing-masing jenis biomasa LPT pada percobaan ini, dianalisis mengikuti persamaan eksponensial, . Hasil analisis menunjukkan bahwa konstanta laju dekomposisi dari masing-masing jenis biomasa LPT yang dicobakan berbeda. Secara umum, jenis biomasa LPT yang diaplikasikan dengan cara pembenaman, memperlihatkan nilai konstanta laju dekomposisi (k) yang relatif lebih tinggi, yaitu berkisar antara 0,150,27 di atas tanah, dibandingkan dengan nilai konstanta (k) pada jenis biomassa LPT yang diaplikasikan di atas tanah, yang hanya mencapai 0,07-0,14 (Gambar 5.2).
72
Konstanta laju dekomposis biomasa LPT (k)
0.30 0.25 0.20
e e 7 e 55 e 9 e e e e
YCP-0 YMP-0 YCU-0 YPL-0 YCP-1 YMP-1 YCU-1 YPL-1
0.15 0.10
e
(R2:,99) (R2:0,99) 3 (R2:0,94 (R2:0,99) (R2:0,99) (R2:0,94) (R2:0,90) (R2:0,92) 3
a b c
e
e
d
f
0.05
0.00
Jenis biomasa LPT dengan metode aplikasi Keterangan: Histogram dengan notasi yang sama pada masing-masing jenis biomasa adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Gambar 5.2 Histogram hasil analisis rata-rata konstanta laju dekomposisi (k) pada masing-masing jenis biomasa LPT Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa konstanta laju dekomposisi (k) selama periode waktu t (40 hari), yang paling tinggi ditunjukkan pada jenis biomasa CU yang diaplikasikan dengan cara pembenaman, diikuti jenis PL pada aplikasi yang sama (dibenamkan). Laju dekomposisi yang paling tinggi ditunjukkan pada jenis CU yang dibenam, dengan mengikuti persamaan: YCU-1
(R2: 0,90).
Persamaan ini menunjukkan bahwa nilai konstanta laju dekomposisi biomasa CU adalah sebesar 0,27; sedangkan laju dekomposisi per waktu sebesar 2,34 g hari-1 atau 0,26 g tahun-1. Selanjutnya, diikuti jenis biomasa PL yang dibenamkan, dengan model persamaan eksponensial: YPL-1
(R2: 0,92). Model
persamaan ini menunjukkan bahwa nilai konstanta laju dekomposisi biomasa PL 73
yang dibenamkan adalah sebesar 0,24 dengan laju dekomposisi per waktu sebesar 2,28 g hari-1 atau 0,25 g tahun-1, Sementara jenis MP yang dibenamkan juga mempelihatkan konstanta laju dekomposisi sebesar 0,20 (laju dekomposisi per waktu sebesar 2,04 g hari-1 atau 0,22 g tahun-1) , dengan model persamaan: YMP-1
(R2: 0,94).
Berbeda dengan biomassa CP yang dibenam memperlihatkan konstanta laju dekomposisi yang lebih rendah, yaitu 0,15 (laju dekomposisi per waktu sebesar 1,53 g hari-1 atau 0,17 g tahun-1), dengan model persamaan, YCP-1
9
(R2: 0,89). Nilai konstanta laju dekomposisi (k) yang tinggi menunjukkan bahwa laju dekomposisi biomasa per waktu berjalan lebih capat. Hasil uji korelasi untuk melihat hubungan antara konstanta laju dekomposisi dengan kualitas sifat kimia biomasa, menunjukkan terdapat korelasi yang sangat nyata. Selanjutnya dilakukan analisis regresi untuk menduga keeratan hubungan, menunjukkan terdapat tiga variabel kualitas sifat kimia yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap laju dekomposisi, yaitu kadar N biomasa, nisbah C/N dan kadar polifenol biomasa LPT, dengan persamaan regresi adalah, Yk = 0,055 + 0,034N + 0,003C/N – 0,005Polifenol (R2= 0,98).
5.2.5 Total koloni mikroba tanah setelah dekomposisi Hasil analisis ragam antara jenis biomasa dan metode aplikasi biomasa LPT dalam litter bag menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang nyata (p<0,01) terhadap total koloni mikroba tanah setelah 40 hari masa dekomposisi (Lampiran 11). Rata-rata total koloni mikroba dalam biomasa LPT setelah 40 hari masa dekomposisi, disajikan pada Tabel 5.4. 74
Tebel 5.4 Rata-rata total koloni mikroba dalam biomasa LPT setelah 40 hari dekomposisi pada pengaruh interaksi antara jenis dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag Jenis biomasa LPT: Biomasa CP
Metode aplikasi biomasa Di atas tanah Dibenamkan .............. cfu ................ 7,67x104 f 16,67x105 c
Biomasa MP
11x104 e
22x106 b
Biomasa CU
25,33x104 d
28x106 a
Biomasa PL
24,67x104 d
24x106 ab
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Rata-rata total koloni mikroba tanah berbeda antara jenis biomasa LPT dengan metode aplikasi biomasa. Biomasa CU dan PL yang dibenamkan memperlihatkan total koloni rata-rata lebih tinggi, masing-masing sebesar 28x106 cfu dan 24x106 cfu, diikuti oleh biomasa MP (22x106)
dibanding dengan
perlakuan lainnya (Tabel 5.4). Biomasa LPT yang diaplikasikan di atas tanah menunjukkan rata-rata jumlah koloni mikroba yang lebih rendah yaitu rata-rata berkisar antara 7,67x10424,67x104 cfu (Tabel 5.4).
5.3 Pengaruh Masa Inkubasi Biomasa LPT terhadap Tingkat Sinkronisasi Hara N pada Tanaman Jagung Selama Fase Vegetatif 5.3.1 Kadar N total tanah Hasil analisisi kadar N total tanah menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) mulai dari 15 hari setelah tanam (hst) sampai 45 hst (Lampiran 12). Rata-rata kadar N total tanah disajikan pada Gambar 5.3.
75
4000
a ab abc bc cd de
Kadar N total tanah (mg kg-1)
3800 3600 3400 3200
2600
ef fg f ghi fhi
2400
hi
2200
i
3000 2800
a a a a a a
a a a a a a
b bc cd bc cd cd
b b b b b b
d
c
2000 0
15
30
45
Umur tanaman jagung (hst) Tanpa LPT CP, ikb. 30 hari MP, ikb. 30 hari CU, ikb. 30 hari PL, ikb. 30 hari
CP, ikb. 10 hari MP, ikb. 10 hari CU, ikb. 10 hari PL, ikb. 10 hari
CP, ikb. 20 hari MP, ikb. 20 hari CU, ikb. 20 hari PL, ikb. 20 hari
Keterangan: - Titik dengan notasi yang sama pada umur tanaman yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5% - Ikb. : masa inkubasi biomasa, sebelum tanam
Gambar 5.3 Rata-rata kadar N total tanah yang diberi perlakuan masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung Secara umum hasil analisis terhadap kadar N total tanah menunjukkan masa inkubasi biomasa CU dan PL dapat melepaskan N total lebih besar dibanding dengan MP dan CP (Gambar 5.3). Perlakuan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari pada biomasa CU dan PL menunjukkan terjadi peningkatan kadar N total sejak 15, 30 dan 45 hst. Kadar N total untuk masa inkubasi 10 hari pada legum CU dan PL meningkat masingmasing sebesar 3467 mg kg-1 menjadi 3700 mg kg-1 dan 3167 mg kg-1 menjadi 3500 mg kg-1 dibanding dengan perlakuan lainnya. Demikian juga, perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 20 hari sebelum tanam, masing-masing mengalami peningkatan N total sebasar 2733
76
mg kg-1 menjadi 3600 mg kg-1 dan 3367 mg kg-1 menjadi 3400 mg kg-1. Sementara masa inkubasi 30 hari pada biomasa yang sama, pada fase awal (15 hst) menunjukkan kadar N total yang lebih tinggi, yaitu (3800 mg kg-1 dan 3600 mg kg-1), namun setelah 30 - 45 hst terlihat adanya penurunan kadar N total masing-masing sebesar (3467 mg kg-1 dan 3300 mg kg-1). Biomasa MP dan CP pada semua masa inkubasi memperlihatkan kadar N total tanah yang relatif lebih rendah (Gambar 5.3). 5.3.2 Kadar N-tersedia tanah Hasil analisis ragam menunjukkan masa inkubasi biomasa LPT berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar N-tersedia tanah (Lampiran 13). Secara umum masa inkubasi biomasa menunjukkan kadar N-tersedia yang lebih tinggi dan berbeda dangan kadar N-tersedia pada kontrol (Gambar 5.4).
Kadar N-tersedia tanah (mg.kg-1)
350 a a ab abc bc c
a a ab ab bc c d de e f fg g
300
250
200
a a ab b c d e ef f g g g
d d d e gh e
150 h
f
100
h
50 0
15
30
45
Umur tanaman jagung (hst) Tanpa LPT CP, ikb. 30 hari MP, ikb. 30 hari CU, ikb. 30 hari PL, ikb. 30 hari
CP, ikb. 10 hari MP, ikb. 10 hari CU, ikb. 10 hari PL, ikb. 10 hari
77
CP, ikb. 20 hari MP, ikb. 20 hari CU, ikb. 20 hari PL, ikb. 20 hari
Keterangan: - Titik dengan notasi yang sama pada umur tanaman yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5% - ikb. : masa inkubasi biomasa, sebelum tanam
Gambar 5.4 Rata-rata kadar N-tersedia tanah pada pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung dalam pot Hasil analisis kadar N-tersedia tanah selama fase pertumbuhan jagung terlihat bahwa masa inkubasi biomasa LPT 10 hari sebelum tanam untuk biomasa CU secara nyata meningkatkan kadar N-tersedia tanah sebesar 1,69 kali (menjadi 305,40 mg kg-1 pada 45 hst). Kadar N-tersedia yang tinggi dan tidak berbeda, juga ditunjukkan oleh perlakuan masa inkubasi 10 hari pada biomasa PL yang dapat meningkatkan kadar N-tersedia tanah sebesar 1,62 kali (297,27 mg kg-1) (Gambar 5.4). Sebaliknya masa inkubasi 30 hari dan 20 hari sebelum tanam pada jenis biomasa yang sama, menunjukkan bahwa pada 15 hst kadar N-tersedia tanah lebih tinggi dari semua perlakuan, masing-masing sebesar (298,85 mg kg-1, 292,22 mg kg-1 untuk CU) dan (292,03 mg kg-1, 295,64 mg kg-1 untuk PL), dan meningkat pada 30 hst sebesar (300,17 mg kg-1, 307,85 mg kg-1) dan (296,83 mg kg-1, 305,65 mg kg-1). Namun peningkatan kadar N tersedia itu bersifat fluktuatif, karena pada akhir masa vegetatif (45 hst) kadar N-tersedia tanah justeru menurun, masingmasing menjadi (278,56 mg kg-1, 232,59 mg kg-1) dan (270,69 mg kg-1, 243,95 mg kg-1) (Gambar 5.4). Sementara masa inkubasi yang sama pada jenis biomasa MP dan CP menunjukkan kadar N-tersedia yang rendah (Gambar 5.4).
5.3.3 Serapan N tanaman jagung pada fase vegetatif
78
Hasil percobaan pot menunjukkan bahwa perlakuan masa inkubasi biomasa LPT berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap serapan N jagung selama fase vegetatif mulai dari 15 hst, 30 hst sampai 45 hst (Lampiran 14). Tanaman jagung yang mendapat perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam menunjukkan performans tanaman yang lebih baik sejak 15 hst sampai 45 hst, walaupun pada 15 hst tidak bebeda nyata dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.5). Performans tanaman ini ditunjukkan oleh serapan N tanaman jagung yang lebih tinggi dan menunjukkan peningkatan serapan N sejak awal fase vegetatif sampai akhir fase vegetatif (45 hst) dibanding dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam pada jenis biomasa yang sama. Perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam nyata meningkatkan serapan N rata-rata sebesar 4,1 kali pada 30 hst dan rata-rata 2,31 kali pada 45 hst lebih tinggi dibanding masa inkubasi 30 hari sebelum tanam pada jenis biomasa yang sama dengan rata-rata peningkatan Tabel 5.5 Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap serapan N tanaman jagung pada fase vegetatif Serapan N tanaman jagung (mg kg-1) Masa inkubasi biomasa LPT, sebelum tanam 15 hst 30 hst 45 hst Tanpa biomasa LPT
39,14d
148,55f
841,92e
Biomasa CP, inkubasi 10 hari
45,92d
163,87f
931,76e
Biomasa CP, inkubasi 20 hari
49,13d
202,45ef
1046,21de
Biomasa CP, inkubasi 30 hari
82,90bc
250,70e
1262,60d
Biomasa MP, inkubasi 10 hari
68,32c
380,29d
1722,27c
Biomasa MP, inkubasi 20 hari
80,85bc
410,39cd
1784,64c
79
Biomasa MP, inkubasi 30 hari
95,48b
479,62c
1876,23c
Biomasa CU, inkubasi 10 hari
124,03a
786,34a
2905,45a
Biomasa CU, inkubasi 20 hari
125,68a
745,94a
2696,38a
Biomasa CU, inkubasi 30 hari
128,01a
590,55b
2306,00b
Biomasa PL, inkubasi 10 hari
126,58a
759,02a
2745,06a
Biomasa PL, inkubasi 20 hari
122,55a
746,53a
2831,38a
Biomasa PL, inkubasi 30 hari
121,67a
611,12b
2406,70b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
serapan N sebesar 3,03 kali pada 30 hst dan 1,79 kali pada 45 hst. Sementara biomasa MP dan CP dengan masa inkubasi yang sama, rata-rata menunjukkan serapan N tanaman yang rendah. Sebaliknya rata-rata serapan N tanaman yang paling rendah ditunjukkan pada perlakuan kontrol (tanpa LPT) (Tabel 5.5).
5.3.4 Bobot kering total tanaman jagung Masa inkubasi biomasa LPT menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap bobot kering tanaman jagung selama fase vegetatif (Lampiran 15). Rata-rata bobot kering tanaman jagung selama fase vegetatif disajikan pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap bobot kering total tanaman jagung pada fase vegetatif Masa inkubasi biomasa LPT, sebelum tanam
bobot kering total tanaman (g tanaman-1) 15 hst 30 hst 45 hst
Tanpa biomasa LPT
5,10d
17,82c
58,57e
Biomasa CP, inkubasi 10 hari
5,13d
17,65c
59,20de
Biomasa CP, inkubasi 20 hari
5,47cd
18,37b
58,45e
Biomasa CP, inkubasi 30 hari
5,84bcd
18,82bc
62,63cde
80
Biomasa MP, inkubasi 10 hari
5,61cd
17,38c
70,75c
Biomasa MP, inkubasi 20 hari
5,81bcd
19,04bc
68,84cd
Biomasa MP, inkubasi 30 hari
6,04abcd
20,27b
69,38c
Biomasa CU, inkubasi 10 hari
7,02a
25,00a
92,44a
Biomasa CU, inkubasi 20 hari
6,80ab
24,75a
87,49ab
Biomasa CU, inkubasi 30 hari
6,23abc
23,62a
80,29b
Biomasa PL, inkubasi 10 hari
6,94a
25,14a
91,51a
Biomasa PL, inkubasi 20 hari
6,74ab
24,38a
89,97ab
Biomasa PL, inkubasi 30 hari
6,40abc
23,19a
82,30ab
Keterangan:
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Masa inkubasi biomasa LPT menghasilkan rata-rata bobot kering tanaman yang lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol (Tabel 5.6). Tanaman jagung yang mendapat perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding perlakuan masa inkubasi LPT lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh bobot kering total tanaman yang lebih tinggi sejak 15 hst - 45 hst, dibanding dengan perlakuan masa inkubasi biomasa LPT lainnya (Tabel 5.6). 5.4 Potensi LPT Sebagai Tanaman Bera dalam Meningkatkan Simpanan COrganik dan Kualitas Tanah di Lahan Kering Untuk mengetahui potensi LPT terhadap simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah, telah dilakukan percobaan selama masa bera (5 bulan), dari 2 Juni30 November 2013 di kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang merupakan percobaan ketiga dari rangkaian penelitian ini. Hasil penelitian tersebut adalah sebagai kerikut:
81
5.4.1 Prosentase (kemampuan) penutupan tanah Hasil percobaan di lapang menunjukkan perlakuan jenis tanaman LPT berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap prosentase penutupan tanah (area cover) sejak umur 1 bulan setelah tanam (bst) sampai 3 bst (Lampiran 16). Ratarata prosentase penutupan tanah (%) di sajikan pada Tabel 5.7. Hasil percobaan ini menunjukkan LPT yang diintroduksi dalam lahan budidaya sebagai tanaman bera memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda. Legum CP memperlihatkan pertumbuhan yang lambat dibanding dengan tiga jenis legum lainnya yaitu MP, PL dan CU yang rata-rata memiliki pertumbuhan yang lebih cepat sejak dari 1 bst-3 bst.
Tabel 5.7 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap prosentase penutupan tanah Jenis LPT
Prosentase penutupan tanah (%) 1 bst 2 bst 3 bst
Kontrol (tanpa LPT)
40,25a
23,43d
9,50c
CP
11,22b
37,81c
64,86b
MP
39,54a
67,84a
99,35a
CU
12,94b
57,37b
97,18a
PL
37,73a
65,79a
98,36a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Memasuki bulan ke-3 (3 bst) jenis LPT MP, PL dan CU rata-rata prosentase penutupan lahan sudah mencapai (98,36-99,35%). Sementara jenis CP menunjukkan prosentase penutupan lahan yang rendah (11,22%) pada 1 bst, dan pada 3 bst prosentase penutupan lahannya baru mencapai 64,86%. Perlakuan
82
petak kontrol yang tidak ditanami LPT, menunjukan adanya penurunan area covering, yaitu pada bulan pertama (1 bst) vegetasi alami setelah panen tanaman pangan masih tersisa sehingga masih dapat menutupi permukaan tanah mencapai 40,25%, namun memasuki bulan ke-2 dan bulan ke-3 terjadi penurunan prosentase penutupan lahan yang drastis hingga mencapai 9,50% (Tabel 5.7). 5.4.2 Kadar air tanah selama masa bera Hasil analisis ragam menunjukkan penggunaan LPT selama masa bera memberikan pengaruhnya yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar air tanah mulai 2-5 bst, sedangkan pada umur 1 bst memberikan pengaruh yang tidak nyata (p>0,05) (Lampiran 17). Rata-rata kadar air tanah selama masa bera disajikan pada Gambar 5.5. 40 Kontrol (tanpa LPT) Legum CP Legum MP Legum CU Legum PL
Kadar air tanah (%)
35 30
a ab b
a a a
25
c c
c
b
20
a ab b
a ab b
d
c
d
d
15 10 0
1
2
3
4
5
Lama/waktu pemberaan (bulan setelah tanam, bst) Keterangan: Titik dengan notasi yang sama pada waktu yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Gambar 5.5 Rata-rata kadar air tanah selama masa bera dengan berbagai jenis LPT
83
Penggunaan LPT nyata meningkatkan kadar air tanah dari bulan ke-2 sampai akhir percobaan (bulan ke-5), bulan pertama belum tampak pengaruhnya. Kebaradaan MP, PL dan CU selama masa bera mampu meningkatkan kadar air tanah yang nyata lebih tinggi, dengan peningkatan masing-masing 92,27%, 86,57% dan 77,95%)
sebesar
dibanding CP (48,89% ) dan petak kontrol
(Gambar 5.5).
5.4.3 Suhu tanah permukaan selama masa bera Hasil percobaan di lapang menunjukkan terjadi penurunan suhu tanah permukaan (kedalaman 5 cm) secara nyata akibat jenis LPT di banding dengan perlakuan kontrol (tanpa LPT). Hasil analisis ragam menunjukkan penggunaan LPT selama masa bera memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap suhu tanah mulai 2-5 bst, kecuali pada umur 1 bst penggunaan LPT memberikan pengaruh yang tidak nyata (Lampiran 18).
84
Suhu tanah permukaan (oC)
30 a b c c c
29
28
a b
b
bc bc c
Kontrol (tanpa LPT)
a
a
b
c c c
Legum CP
c c c
Legum MP
27
Legum CU Legum PL
26 0
1
2
3
4
5
Lama/waktu pemberaan (bulan setelah tanam, bst) Keterangan: Titik dengan notasi yang sama pada waktu yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Gambar 5.6 Rata-rata suhu tanah permukaan selama masa bera dengan berbagai jenis LPT
Jenis legum MP, PL dan CU nampak nyata menurunkan suhu tanah ratarata sebesar 2,25%-6,05% sejak 2 bst sampai 5 bst dibanding tanpa LPT. Sementara pemberaan dengan legum CP hanya mampu menurunkan suhu tanah antara 1,14% pada umur 2 bst sampai 3,37% pada umur 5 bst (Gambar 5.6). 5.4.4 Bobot isi tanah dan porositas tanah Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan LPT sebagai tanaman bera nyata menurunkan bobot isi tanah dan meningkatkan porositas tanah pada akhir masa pemberaan (Lampiran 19). Rata-rata bobot isi tanah (bulk density) dan porositas tanah pasca bera disajikan pada Tabel 5.8. Tabel 5.8 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap bobot isi tanah dan porositas tanah setelah 5 bulan pemberaan
85
Bobot isi tanah (g cm-3)
Porositas tanah (%)
Kontrol (tanpa LPT)
1,30a
49,90c
CP
1,26b
51,25b
MP
1,21c
53,56a
CU
1,22c
53,08a
PL
1,20c
53,75a
Jenis LPT
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Penggunaan LPT jenis MP, PL dan CU sebagai tanaman bera dapat menurunkan bobot isi tanah (bulk density) rata-rata sebesar 7,69-6,15% (dari 1,3 g cm-3 menjadi 1,20-1,22 g cm-3) lebih tinggi dibanding jenis CP. Sebaliknya penggunaan CP hanya mampu menurunkan bobot isi tanah (bulk density) sebesar 3,17% atau dari 1,30 g cm-3 menjadi 1,26 g cm-3 (Tabel 5.8). Penggunaan legum MP, PL dan CU secara nyata meningkatkan porositas tanah rata-rata sebesar 6,37% dibanding CP yang hanya dapat meningkatkan porositas tanah sebesar 2,71% (Tabel 5.8).
5.4.5 Produksi biomasa, serapan C tanaman dan simpanan C-organik tanah Penggunaan LPT sebagai tanaman bera dalam lahan budidaya memberikan pengaruhnya yang sangat nyata (p<0,01) terhadap produksi biomasa, serapan C tanaman dan simpanan C-organik tanah pasca pemberaan (Lampiran 20). Produksi biomasa (dalam bobot kering) pada akhir masa pemberaan tertinggi ditunjukkan oleh legum CU sebesar 11,99 t ha-1 atau terjadi peningkatan produksi biomasa sebesar 3,52 kali dari kontrol (tanpa LPT).
86
Tabel 5.9 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap produksi biomasa, serapan C tanaman dan simpanan C-organik tanah setelah 5 bulan pemberaan Serapan C taSimpanan CJenis LPT Produksi biomasa naman organik tanah (b.k. t ha-1) (t ha-1) (t ha-1) Kontrol (tanpa LPT)
2,65d
1,32d
53,13b
CP
5,73c
2,86c
56,23b
MP
10,84ab
5,42ab
61,76a
CU
11,99a
5,99a
62,03a
PL
10,22b
5,11b
61,99a
Keterangan:
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Produksi biomasa yang dicapai oleh CU juga cenderung tidak berbeda nyata dengan legum MP, dengan produksi biomasa sebesar 11,99 t ha-1 atau terjadi peningkatan sebesar 3,09 kali, diikuti PL (10,22 t ha-1) dengan peningkatan sebesar 2,85 kali lebih besar dibanding kontrol (2,65 t ha-1). Produksi biomasa yang paling rendah ditunjukkan oleh CP (5,73 t ha-1) atau hanya terjadi peningkatan produksi biomasa sebesar 1,16 kali dari perlakuan tanpa LPT (Tabel 5.9). Jenis LPT yang ditanam selama masa bera dapat meningkatkan serapan C tanaman secara nyata (Tabel 5.11). Hal ini ditunjukkan oleh legum CU yang selama masa bera dapat menyerap C sebesar 5,99 t ha-1 dan tidak berbeda nyata dengan MP (5,42 t ha-1), diikuti oleh PL (5,11 t ha-1). Serapan C tanaman yang paling rendah ditunjukkan oleh jenis legum CP yaitu dapat menyerap C sebesar 2,86 t ha-1 (Tabel 5.9).
87
Pemanfaatan LPT sebagai tanaman bera, juga secara nyata berkontribusi terhadap peningkatan simpanan C-organik tanah. Pada percobaan ini, jenis CU, PL dan MP
menunjukkan sumbangan simpanan C-organik tanah yang lebih
tinggi dan tidak berbeda nyata diantara ketiganya. Penanaman jenis CU, PL dan MP dalam lahan budidaya selama masa bera dapat meningkatkan simpanan Corganik tanah masing-masing sebesar 16,75%, 16,67% dan 18,24% dibanding dengan tanpa LPT (53,13 t ha-1). Sementara jenis CP yang diintroduksi selama masa bera hanya dapat meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar 5,83% (Tabel 5.9). 5.4.6 Kadar N tanaman, Nisbah C/N dan N yang tertambat Pemberaan lahan budidaya dengan jenis LPT memberikan pengaruhnya yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar N total tanaman, nisbah C/N dan besarnya N yang tertambat (Lampiran 21). Kadar N total, nisbah C/N dan N yang tertambat berbeda antar jenis LPT (Tabel 5.10). Hasil analisis kadar N jaringan LPT, menunjukkan bahwa jenis legum CU dan PL sebagai tanaman bera memiliki kadar N jaringan yang lebih tinggi dan tidak berbeda dibanding MP dan CP.
Rata-rata kadar N jaringan tertinggi
ditunjukkan oleh jenis CU dan PL (masing-masing 4,19% dan 3,98%) dibanding dengan MP dan CP yang kadar N jaringan sebesar 3,21% dan 2,14% (Tebel 5.10). Tabel 5.10 Pengaruh jenis tanaman penutup tanah sebagai tanaman bera terhadap kadar N total tanaman, nisbah C/N dan N yang tertambat setelah 5 bulan pemberaan Jenis LPT
N tanaman (%)
C/N 88
N yang tertambat (kg ha-1)
CP
2,14c
20,22c
122,72c
MP
3,21b
14,35b
348,06b
CU
4,19a
9,36a
476,66a
PL
3,98a
10,73a
350,04b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Nisbah C/N pada tabel yang sama, juga menunjukkan bahwa LPT CU dan PL, masing-masing memiliki nisbah C/N yang lebih rendah sebesar 9,36 dan 10,73 dan berbeda nyata dengan jenis MP dan CP yang memiliki nisbah C/N yang lebih tinggi yaitu sebesar 14,35 dan 20,22.
Demikian pula halnya dengan
kemampuan penambatan N, hasil analisis menunjukkan jenis LPT CU dapat menambat N sebesar 476,66 kg ha-1 lebih tinggi, diikuti PL (350,04 kg ha-1), MP (348,06 kg ha-1) dan yang paling rendah diperoleh pada CP (122,72 kg ha-1) (Tabel 5.10). 5.4.7 pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah Penggunaan LPT sebagai tanaman bera berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah (Lampiran 22). Rata-rata hasil analisis pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah pasca pemberaan disajikan pada Tabel 5.11. Penggunaan LPT sebagai tanaman bera nyata meningkatkan pH tanah dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa LPT). LPT jenis PL dan CU secara nyata meningkatkan pH tanah masing-masing sebesar 4,21% 4,35% lebih tinggi dibanding pelakuan jenis LPT MP dan CP. Tabel 5.11 89
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap pH tanah, kadar C-organik tanah dan bahan organik tanah setelah 5 bulan pemberaan pH tanah (pH H2O 1:1)
C-organik tanah (%)
Bahan organik tanah (%)
Kontrol (tanpa LPT)
6,40c
1,36c
2,34c
CP
6,44c
1,48b
2,53b
MP
6,57b
1,71a
2,94a
CU
6,67a
1,70a
2,92a
PL
6,68a
1,72a
2,96a
Jenis LPT
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Kadar C-organik tanah yang diamati pada percobaan ini, juga terlihat adanya peningkatan yang nyata akibat penggunaan LPT. Kadar C-organik tanah tertinggi ditunjukkan oleh PL, MP dan CU dan tidak berbeda nyata, dengan peningkatan C-organik sebesar 25-26% dibanding dengan perlakuan tanpa LPT (1,36%). Sementara penggunaan tanaman CP hanya mampu meningkatkan kadar C-organik sebesar 8,82% (1,48%) dari perlakuan tanpa LPT (Tabel 5.11). Demikian pula halnya dengan kadar bahan organik tanah pasca bera, menunjukkan penggunaan jenis LPT PL, MP dan CU mampu meningkatkan kadar bahan organik tanah sebesar 67,82-70,11% dibandingkan tanpa LPT yang kadar bahan organik tanahnya hanya mencapai 2,74%.
Sementara jenis CP yang
digunakan pada percobaan ini menunjukkan kadar bahan organik yang rendah (1,74%) atau hanya dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah sebesar 45,40% dibandingkan tanpa LPT (Tabel 5.11).
5.4.8 Kadar N total, P, K, Ca, Mg dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah
90
Penggunaan LPT sebagai tanaman bera dalam lahan budidaya pertanian berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap sifat kimia tanah yang meliputi kadar N total, kadar P-tersedia, kadar K, Ca, Mg dan KTK tanah setelah 5 bulan pemberaan (Lampiran 23 dan 24). Rata-rata kadar N total, P tersedia, K, Ca, Mg dan KTK tanah setelah 5 bulan pemberaan disajikan pada Tabel 5.12. Penggunaan jenis legum CU dan PL sebagai tanaman bera dapat meningkatkan kadar N total tanah berturut-turut sebesar 26,67% (dari 0,15% menjadi 0,19%) dan 20% (dari 0,15% menjadi 0,18% lebih tinggi dibanding CP dengan peningkatan sebesar 13,33% (0,17%) dan MP yang hanya dapat meningkatkan kadar dar N total tanah sebesar 6,67% (0,16%).
Tabel 5.12 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap kadar N total tanah, Ptersedia, kadar K, Ca, Mg dan KTK tanah setelah 5 bulan pemberaan Jenis LPT
N total (%)
Kandungan kimia tanah pasca bera PK Ca Mg KTK tersedia (mg kg-1) .............(me 100 g-1 tanah)................
Kontrol (tanpa LPT)
0,15d
7,31c
0,17e
15,36c
1,23c
35,95c
CP
0,17bc
8,72bc
0,24d
17,36abc
1,82ab
41,03b
MP
0,16c
7,86b
0,26c
16,43bc
2,07a
45,32a
CU
0,19a
11,83a
0,31b
19,25ab
1,52bc
46,45a
PL
0,18ab
11,44a
0,33a
19,53a
1,89ab
47,82a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
91
Kadar P-tersedia tanah setelah 5 bulan pemberaan tertinggi ditunjukkan oleh legum CU dan PL dengan peningkatan sebesar 61,83% dan 56,49%. Peningkatan kadar P-tesedia ini lebih tinggi dibanding dengan menggunakan CP dan MP. Kadar K tanah yang paling tinggi ditunjukkan pada pemberaan dengan jenis PL sebesar 0,33 me 100 g-1 tanah dan berbeda dengan CU (0,31 me 100 g-1 tanah), MP (0,26 me 100 g-1 tanah), CP (0,26 me 100 g-1 tanah) dan perlakuan tanpa LPT sebesar 0,17 me 100 g-1 tanah. Kadar Ca yang diamati dalam percobaan ini, juga menunjukkan penggunaan LPT secara nyata meningkatkan kadar Ca tanah. Kadar Ca tanah yang paling tinggi disumbangkan oleh LPT berturut-turut adalah PL (19,53 me 100 g-1 tanah) dan CU (19,25 me 100 g-1 tanah). Sebaliknya kadar Ca tanah yang rendah ditunjukkan oleh CP dengan kadar Ca tanah sebesar (17,36 me 100 g-1 tanah), diikuti MP (16,43 me 100 g-1 tanah) dan perlakuan tanpa LPT (15,36 me 100 g-1 tanah). Kadar Mg yang tertinggi ditujukkan pada jenis LPT MP
sebesar (2,07
me 100 g-1 tanah) dan cenderung tidak berbeda dengan PL (1,89 me 100 g-1 tanah). Sebaliknya kadar Mg yang paling rendah ditunjukkan oleh jenis legum CP, CU dan perlakuan kontrol (Tabel 5.12). Kadar kapasitas tukar kation (KTK) yang di ukur pada akhir masa pemberaan menunjukkan adanya peningkatan KTK tanah sebagai respon dari penggunaan LPT sebagai tanaman bera. Penggunaan LPT jenis PL sebagai tanaman bera secara nyata
dapat meningkatkan KTK tanah sebesar 35,12%
92
(47,82 me 100 g-1 tanah) dan tidak berbeda nyata dengan penggunaan CU dan MP yang dapat meningkatkan KTK tanah berturut-turut sebesar 28,45% (46,45 me 100 g-1 tanah) dan 28,06% (45,32 me 100 g-1 tanah) dari kontrol (35,95 me 100 g-1 tanah). Kondisi KTK tanah yang sama berbeda dengan penggunaan LPT jenis CP yang pada percobaan ini hanya mampu meningkatkan KTK tanah sebesar 15,94% dari kontrol (Tabel 5.12). 5.4.9 Infeksi mikoriza dan total koloni mikroba tanah Jenis tanaman LPT sebagai tanaman bera yang digunakan dalam percobaan ini memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap tingkat infeksi mikoriza dan total koloni mikroba tanah (Lampiran 25). Pengamatan terhadap total koloni mikroba tanah pada akhir percobaan, juga memperlihatkan keberadaan tanaman LPT nampak meningkatkan secara nyata total koloni mikroba tanah (Lampiran 26). Jenis LPT yang diuji secara nyata mempunyai kemampuan infeksi mikoriza pada akar tanaman dan berbeda antara jenis LPT. Hasil pengujian terhadap potongan akar menunjukkan ke empat jenis LPT memiliki potensi yang kuat terhadap tingkat
infeksi mikoriza. Infeksi mikoriza yang paling tinggi
ditunjukkan pada akar tanaman PL (60,54-%) dan tidak berbeda nyata dengan CU (58,13%), diikut (MP (53,14%) dan CP (44,89%) (Tabel 5.13). Tabel 5.13 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap infeksi mikoriza (MVA) dan total koloni mikroba tanah setelah 5 bulan pemberaan Infeksi MVA Total koloni mikroba Jenis LPT (%) tanah (cfu)
93
0,00d
4,00x105 c
CP
44,89c
8,25x105 b
MP
53,14b
10,75x105 a
CU
58,13a
9,50x105 ab
PL
60,54a
10,25x105 ab
Kontrol (tanpa LPT)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Total koloni mikroba tanah tertinggi dijumpai pada lahan yang diberakan dengan MP (10,75 x105 cfu) diikuti PL (10,25 x105 cfu) dan CU (9,50 x105 cfu) dan ketiganya tidak berbeda nyata lebih tinggi, dibanding dengan CP dan tanpa LPT yang hanya mampu menghasilkan total koloni mikroba tanah berturut-turut sebesar 8,25 x105 cfu dan 4,00 x105 cfu (Tabel 5.13). 5.5 Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap Simpanan COrganik dan Kualitas Tanah serta Hasil Jagung di Lahan Kering 5.5.1 Simpanan C-organik, bobot isi tanah dan porositas tanah Pengelolaan biomasa LPT in situ pasca pemberaan menunjukkan pengaruh interaksi yang tidak nyata (p>0,01) terhadap simpanan C-organik tanah, bobot isi tanah dan porositas tanah setelah panen jagung (akhir percobaan 4). Sementara masing-masing faktor tunggal memberikan pengaruhnya yang sangat nyata (p<0,01) terhadap parameter tersebut (Lampiran 26). Rata-rata simpanan Corganik, bobot isi tanah dan porositas tanah percobaan 4) disajikan pada Tabel 5.14. Tabel 5.14
94
setelah panen jagung (akhir
Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata simpanan C-organik tanah, bobot isi tanah dan porositas tanah setelah panen jagung Simpanan CBobot isi Porositas Perlakuan faktor tunggal organik tanah tanah -1 -3 tanah (t ha ) (g cm ) (%) Jenis biomasa LPT: Tanpa biomasa LPT (kontrol)
58,03c
1,29a
50,24b
Biomasa CP
65,11b
1,26b
51,44b
Biomasa MP
82,95a
1,15c
55,59a
Biomasa CU
86,70a
1,16c
55,56a
86,69a
1,15c
55,86a
10 hari
74,11b
1,19b
54,25a
20 hari
76,15ab
1,20ab
53,89ab
30 hari
77,39a
1,22a
53,07b
Biomasa PL Masa inkubasi biomasa:
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Pengelolaan biomasa CU, PL dan MP in situ secara nyata meningkatkan simpanan C-organik dan ketiganya tidak berbeda nyata; dengan peningkatan masing-masing berturut-turut sebesar 49,40% (86,70 t ha-1), 49,38% (86,69 t ha-1) dan 42,99% (82,95 t ha-1) dibanding tanpa LPT. Sementara pengelolaan biomasa legum CP in situ hanya dapat meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar 12,20% (65,11 t ha-1) dibanding tanpa LPT (Tabel 5.14). Perlakuan masa inkubasi biomasa 30 hari dan 20 hari sebelum tanam nyata meningkatkan simpanan C-organik tanah lebih tinggi dan tidak berbeda nyata dibanding dengan masa inkubasi biomasa 10 hari sebelum tanam (Tabel 5.14). Pengelolaan biomasa LPT in situ secara nyata menurunkan bobot isi tanah (bulk density). Jenis biomasa PL, MP dan CU secara nyata menurunkan bobot isi
95
tanah dengan penurunan rata-rata sebesar 10,85% (1,15-1,16 g cm-3) dibanding dengan perlakuan tanpa LPT, dan pengaruh ke tiga jenis LPT tersebut tidak berbeda nyata. Sebaliknya pengelolaan biomasa CP in situ
hanya dapat
menurunkan bobot isi tanah sebesar 2,33% dibanding tanpa LPT (Tabel 5.14). Masa inkubasi biomasa secara tunggal juga menurunkan bobot isi tanah (Tabel 5.16). Masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam secara nyata menurunkan bobot isi tanah (bulk density) dan keduanya tidak berbeda nyata, sementara masa inkubasi 30 hari sebelum tanam terlihat masih menunjukkan bobot isi tanah (bulk density) yang tinggi, yaitu sebesar 1,22 g cm-3 (Tabel 5.14). Porositas tanah pada akhir percobaan juga dipengaruhi jenis biomasa LPT yang dicoba. Jenis biomasa CU, MP dan PL yang dikembalikan pasca bera ke lahan budidaya secara nyata meningkatkan porositas tanah sebesar 10,59-11,19% dibanding dengan CP dan tanpa LPT (Tabel 5.16), tetapi secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga jenis LPT tersebut. Sementara pengelolaan biomasa CP hanya mampu meningkatkan porositas tanah sebesar 2,39% dibanding kontrol (Tabel 5.14). Masa inkubasi biomasa LPT secara tunggal meningkatkan porositas tanah secara nyata. Porositas tanah tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan masa inkubasi 10 hari sebelum tanam (54,25%) dan tidak berbeda nyata dengan 20 hari sebelum tanam
(53,89%),
sedangkan
masa
inkubasi
30
hari
sebelum
tanam
memperlihatkan porositas tanah yang masih rendah yaitu 153,07% (Tabel 5.14). 5.5.2 pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah
96
Pengelolaan biomasa LPT in situ pasca bera menunjukkan interaksi yang tidak nyata (p>0,01) terhadap pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah setelah panen jagung, namun secara faktor tunggal masing-masing faktor memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap parameter tersebut (Lampiran 27). Pengelolaan biomasa LPT kecuali CP nyata meningkatkan pH tanah setelah panen jagung. Diantara jenis PL, MP dan CU tidak terdapat perbedaan pengaruh terhadap pH tanah, pH tanah yang dicapai pada ke tiga jenis LPT tersebut adalah sebesar 6,82-6,90 lebih tinggi dan berbeda dengan perlakuan CP dan kontrol (Tabel 5.15).
Tabel 5.15 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata pH tanah (pH H2O), kadar C-organik tanah dan bahan organik tanah setelah panen jagung pH tanah (pH H2O 1:1)
C-organik (%)
Bahan organik tanah (%)
Tanpa biomasa LPT (kontrol)
6,55b
1,50d
2,58d
Biomasa CP
6,57b
1,72c
2,96c
Biomasa MP
6,82a
2,40b
4,15b
Biomasa CU
6,88a
2,48ab
4,28ab
Biomasa PL
6,90a
2,52a
4,34a
10 hari
6,77a
2,10a
3,62a
20 hari
6,75a
2,13a
3,67a
30 hari
6,72a
2,12a
3,69a
Perlakuan faktor tunggal Jenis biomasa LPT:
Masa inkubasi biomasa:
97
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
adalah
Analisis terhadap kadar C-organik tanah memperlihatkan adanya peningkatan kadar C-organik tanah. Pengelolaan biomasa PL dan CU meningkatkan kadar C-organik tanah masing-masing sebesar 68% (2,52%) dan 65% (2,48% ) yang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan jenis LPT lainnya. Peningkatan kadar C-organik tersebut diikuti oleh Jenis MP (60%) dan jenis legum CP hanya mampu menyumbangkan kadar C-organik sebesar 14,67% dari petak kontrol (Tabel 5.15). Penggunaan LPT nyata meningkatkan kadar bahan organik tanah pada akhir percobaan. Peningkatan kadar bahan organik tanah tertinggi dicapai pada pengelolaan biomasa PL dan CU yang secara nyata meningkatkan kadar bahan organik tanah sebesar 69,53% dan 65,89% dibanding jenis biomasa lainnya dan kontrol (Tabel 5.15). Faktor tunggal masa inkubasi biomasa menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap parameter pH, kadar C-organik dan bahan organk tanah, baik pada 10, 20 dan 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.15). 5.5.3 Kadar N total tanah Hasil analisis ragam terhadap kadar N total tanah setelah panen jagung (akhir percobaan 4) memperlihatkan pengaruh interaksi yang sangat nyata (p<0,01) antara jenis biomasa LPT dan masa inkubasi biomasa (Lampiran 28). Rata-rata kadar N total tanah pada pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pada akhir percobaan di sajikan pada Tabel 5.16.
98
Tabel 5.16 Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera terhadap kadar N total tanah setelah panen jagung Perlakuan jenis biomasa LPT in situ
Perlakuan masa inkubasi biomasa 10 hari
20 hari
30 hari
...........kadar N total tanah (%)................ Tanpa biomasa LPT (kontrol)
0,15e
0,15e
0,13e
Biomasa CP
0,18d
0,18d
0,17d
Biomasa MP
0,23bc
0,23bc
0,23bc
Biomasa CU
0,24ab
0,24ab
0,21bc
Biomasa PL
0,26a
0,24ab
0,21bc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Pengelolaan biomasa legum PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam secara nyata meningkatkan kadar N total tanah sebesar 73% dan 60% lebih tinggi dan tidak berbeda nyata dengan pengelolaan biomasa legum CU 10 hari dan 20 hari sebelum tanam dengan rata-rata peningkatan sebesar 60% dibanding perlakuan interaksi lainnya (Tabel 5.16). 5.5.4 Kadar K tanah Pengelolaan biomasa LPT dalam lahan budidaya paca bera menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar K tanah setelah panen jagung (akhir percobaan 4) (Lampiran 28). Tabel 5.17 Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera terhadap kadar K tanah setelah panen jagung Perlakuan jenis biomasa LPT in situ
Perlakuan masa inkubasi biomasa 10 hari 20 hari 30 hari ........... kadar K tanah (me 100 g-1)...............
99
Tanpa biomasa LPT (kontrol)
0,18f
0,23e
0,21ef
Biomasa CP
0,41d
0,44d
0,42d
Biomasa MP
0,66a
0,63a
0,56c
Biomasa CU
0,62ab
0,61ab
0,57bc
Biomasa PL
0,63a
0,62ab
0,60abc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Pengelolaan bomassa MP, PL dan CU dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam nyata meningkatkan kadar K-dd tanah masing-masing sebesar 266% - 238% lebih tinggi dibanding dengan perlakuan interaksi lainnya. Kadar K-dd yang paling rendah ditunjukkan oleh biomasa CP pada semua masa inkubasi (Tabel 5.17). 5.5.5 Kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah Hasil pengamatan terhadap kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah setelah panen menunjukkan tidak terjadi interaksi antara jenis biomasa LPT in situ dan masa inkubasi. Namun masing-masing faktor tunggal yaitu, jenis biomasa LPT in situ dan masa inkubasi memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah (Lampiran 29). Peningkatan P-tersedia tanah juga ditunjukkan oleh jenis CU dan MP yang keduanya tidak berbeda nyata, dengan peningkatan P-tersedia berturut-turut sebesar 64,45% dan 55,09%.
Perlakuan tunggal masa inkubasi biomasa LPT
menunjukkan 10 hari dan 20 hari sebelum tanam dapat meningkatkan kadar Ptersedia tanah pada akhir percobaan (Tabel 5.18). Tabel 5.18
100
Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata Kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah setelah panen jagung Perlakuan faktor tunggal
Kadar P-tersedia Ca tanah Mg tanah -1 -1 tanah (mg kg ) (me 100 g ) (me 100 g-1)
Jenis biomasa LPT: Tanpa biomasa LPT (kontrol)
4,81d
16,83d
1,60c
Biomasa CP
6,45c
18,39cd
1,82c
Biomasa MP
7,46b
19,22c
2,19a
Biomasa CU
7,91b
21,24b
1,88ab
9,28a
23,31a
1,87ab
10 hari
7,56a
19,25a
1,92a
20 hari
7,18ab
20,25a
1,88a
30 hari
6,79b
19,9a
1,82a
Biomasa PL Masa inkubasi biomasa:
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Kadar Ca tanah tertinggi ditunjukkan oleh jenis biomasa PL yang dapat meningkatkan kadar Ca sebesar 26,62% dibanding jenis biomasa CU, MP dan PL serta kontrol. Sementara perlakuan tunggal masa inkubasi biomasa menunjukkan kadar Ca yang tidak berbeda nyata (Tabel 5.18). Kadar Mg tanah pada akhir percobaan, menunjukkan bahwa jenis biomasa MP, CU dan PL memberikan kadar Mg tanah yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan jenis CP dan kontrol.
Perlakuan tunggal masa inkubasi
biomasa menunjukkan bahwa masa inkubasi biomasa 10 hari, 20 hari dan 30 hari sebelum tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar Mg tanah ( Tabel 5.18). 5.5.6 Kapasitas tukar kation (KTK) tanah
101
Penggunaan jenis LPT sebagai tanaman bera dan pengelolaan biomasa in situ menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat nyata (p<0,01) terhadap KTK tanah setelah panen jagung (Lampiran 29).
Hasil analisis pada Tabel 5.19,
menunjukkan terjadi peningkatan KTK tanah setelah panen jagung (akhir percobaan 4) akibat dari pengelolaan berbagai jenis biomasa LPT in situ dengan masa inkubasi biomasa yang berbeda. Pengelolaan biomasa CU dan PL in situ dengan masa inkubasi 30, 20 dan 10 hari secara nyata meningkatkan KTK tanah pada akhir percobaan, yaitu terjadi peningkatan KTK tanah antara 27,31-29,64% (46,48-42,40 me 100 g-1) lebih tinggi dibanding perlakuan interaksi lainnya (Tabel 5.19).
Tabel 5.19 Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera terhadap KTK tanah setelah panen jagung Perlakuan jenis biomasa LPT in situ
Perlakuan masa inkubasi biomasa 10 hari
20 hari
30 hari
...........KTK tanah (me 100 g-1)............... Tanpa biomasa LPT (kontrol)
36,51d
36,37d
36,20d
Biomasa CP
41,66b
41,87b
41,50b
Biomasa MP
40,16c
42,29b
42,40b
Biomasa CU
46,48a
46,88a
46,93a
Biomasa PL
46,01a
46,07a
45,30a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
5.5.7 Total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah Hasil pengamatan terhadap total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah setelah panen jagung, menunjukkan tidak terjadi interaksi antara jenis biomasa 102
LPT in situ dan masa inkubasi. Namun masing-masing faktor tunggal yaitu, jenis biomasa LPT in situ dan masa inkubasi memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah (Lampiran 30). Hasil analisis terhadap total koloni mikroba tanah pada akhir percobaan menunjukkan pengelolaan biomasa LPT jenis PL secara nyata meningkatkan total koloni mikroba tanah sebesar 49,33x10-5 cfu lebih tinggi dan berbeda nyata dengan jenis LPT lainnya. Perlakuan pengelolaan biomasa CU dan MP, juga memperlihatkan total koloni mikroba yang tinggi dan tidak berbeda nyata, yaitu masing-masing sebesar 37x10-5 cfu dan 31x10-5 cfu (Tabel 5.20).
Tabel 5.20 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah setelah panen jagung Total koloni mikroba tanah (cfu)
Respirasi tanah (mg CO2 g-1 hari-1)
8,00x10-5 d
1,30c
Biomasa CP
17,67 x10-5 c
2,64b
Biomasa MP
31,00 x10-5 b
3,19ab
Biomasa CU
37,00 x10-5 b
3,63a
49,33 x10-5 a
3,66a
10 hari
30,80 x10-5 a
3,03a
20 hari
28,67 x10-5 ab
2,88ab
30 hari
26,53 x10-5 b
2,74b
Perlakuan faktor tunggal Jenis biomasa LPT: Tanpa biomasa LPT (kontrol)
Biomasa PL Masa inkubasi biomasa:
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
103
Perlakuan masa inkubasi biomasa juga secara nyata meningkatkan total koloni mikroba tanah. Perlakuan masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari sebelum tanah menunjukkan total koloni mikroba tanah yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.20). Respirasi tanah menggambarkan tingkat aktivitas total mikroorganisme tanah. Hasil pengukuran terhadap respirasi tanah pada akhir percobaan menunjukkan tingkat respirasi tanah tertinggi ditunjukkan oleh pengelolaan biomasa PL, CU dan MP yang secara nyata meningkatkan respirasi tanah masingmasing sebesar 181% (3,66 mg CO2 g-1 hari-1), 179% (3,63 mg CO2 g-1 hari-1) dan 145% (3,19 mg CO2 g-1 hari-1) lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding jenis CP dan kontrol.
Tingkat respirasi tanah yang paling rendah ditunjukkan oleh
pengelolaan biomasa CP in situ dengan tingkat respirasi tanah sebesar 2,64 mg CO2 g-1 hari-1 dan tanpa LPT sebesar 1,30 mg CO2 g-1 hari-1 (Tabel 5.20). Masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari sebelum tanam menunjukkan tingkat respirasi sebesar (3,03 mg CO2 g-1 hari-1 dan 2,88 mg CO2 g-1 hari-1) yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding dengan perlakuan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.20). 5.5.8 Komponen hasil jagung Hasil percobaan di lapang menunjukkan pengelolaan biomasa LPT in situ pasca pemberaan tidak memberikan pengaruh interaksi yang nyata (p<0,01) terhadap komponen hasil jagung yang ditunjukkan oleh panjang tongkol (cm), diameter tongkol (cm) bobot biji tongkol-1 (g), bobot 100 biji (g). Namun masingmasing faktor tunggal dapat meningkatkan secara nyata (p<0,01) terhadap
104
variabel tersebut (Lampiran 31). Rata-rata rata-rata panjang tongkol, diameter tongkol, bobot biji tongkol-1, bobot 100 biji disajikan pada Tabel 5.21. Secara umum pengelolaan jenis biomasa LPT in situ pasca bera meningkatkan komponen hasil jagung dibanding perlakuan kontrol (tanpa LPT). Tongkol jagung yang paling panjang ditunjukkan pada perlakuan pengelolaan biomasa jenis PL, CU dan MP dan berbeda dengan jenis CP dan kontrol (Tabel 5.21). Masa inkubasi biomasa,
juga memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap panjang tongkol jagung. Masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari sebelum tanam memberikan panjang tongkol (masing-masing 15,39 cm, 15,25 cm) lebih panjang dan berbeda nyata dengan masa inkubasi biomasa 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.21). Tabel 5.21 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata panjang tongkol, diameter tongkol, bobot biji tongkol-1, bobot 100 biji Panjang tongkol (cm)
Diameter tongkol (cm)
Bobot biji tongkol-1 (g)
Bobot 100 biji (g)
Tanpa LPT (kontrol)
11,26d
3,94d
92,50d
23,32d
Biomasa CP
13,30c
4,64c
106,70c
25,17c
Biomasa MP
15,79a
4,98b
117,32b
26,64b
Biomasa CU
17,20a
5,32a
134,11a
28,95a
17,21a
5,31a
133,44a
29,00a
10 hari
15,39a
5,05a
119,87a
27,11a
20 hari
15,25a
5,03a
121,84a
27,06a
30 hari
14,23b
4,44b
108,74b
25,68b
Perlakuan Faktor Tunggal Jenis biomasa LPT:
Biomasa PL Masa inkubasi biomasa:
105
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Diameter tongkol jagung, bobot 100 biji dan bobot biji tongkol-1 yang paling tinggi dalam percobaan ini ditunjukkan oleh perlakuan pengelolaan biomasa CU dan PL in situ dibanding dengan jenis bimassa MP, CP dan kontrol. Pengelolaan biomasa CU dan PL dapat meningkatkan diameter tongkol masingmasing sebesar 35,02% dan 34,77%, bobot 100 biji sebesar 44,98% dan 44.25%, serta bobot biji tongol-1 sebesar 24,14% dan 24,35% lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 5.21). Masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari sebelum tanam menunjukkan diameter tongkol, bobot 100 biji dan bobot biji tongkol-1 yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding masa inkubasi biomasa 30 hari sebelum tanam. (Tabel 5.21). 5.5.9 Hasil jagung pipilan kering k.a. 15% dan bobot kering tanaman jagung Hasil jagung pada percobaan ini dinyatakan sebagai bobot biji pipilan kering per satuan luas. Hasil analisis ragam menunjukan tidak terjadi pengaruh interaksi, namun terhadap faktor tunggal yang diuji menunjukkan penggunaan jenis LPT sebagai tanaman bera dan pengelolaan biomasa LPT in situ berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap bobot biji jagung pipilan kering dan bobot kering tanaman untuk faktor tunggal, sedangkan faktor interaksi tidak berpengaruh nyata (Lampiran 32). Bobot biji jagung pipilan kering k.a. 15% tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan pengelolaan biomasa PL dan CU in situ yang nyata lebih tinggi
106
meningkatkan hasil sebesar 88,17% (7,00 t ha-1) dan 86,29% (6,93 t ha-1) dibanding hasil jagung pada lahan yang mendapat perlakuan pengelolaan biomasa jenis MP dan CP dan kontrol. Sementara faktor tunggal masa inkubasi biomasa yang diperlakukan sebelum tanam juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil sebesar 6,15 t ha-1 untuk 10 hari sebelum tanam dan 20 hari sebelum tanam 6,05 t ha-1 dibanding masa inkubasi 30 hari sebelum tanam yang memberikan hasil jagung sebesar 5,10 t ha-1 (Tabel 5.22).
Tabel 5.22 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap bobot biji jagung pipilan kering k.a 15% dan bobot kering tanaman jagung Bobot biji jagung pipilan kering k.a. 15% (t ha-1)
Bobot kering tanaman (t ha-1)
Tanpa LPT (kontrol)
3,72d
8,34b
Biomasa CP
5,25c
10,2b
Biomasa MP
5,94b
12,95a
Biomasa CU
6,93a
13,76a
7,00a
13,83a
10 hari
6,15a
12,14ab
20 hari
6,05a
12,30a
30 hari
5,10b
11,01b
Perlakuan Faktor Tunggal Jenis biomasa LPT:
Biomasa PL Masa inkubasi biomasa:
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
adalah
Bobot kering tanaman jagung yang diamati pada percobaan ini memperlihatkan respon yang berbeda. Bobot kering tanaman jagung tertinggi ditunjukkan pada perlakuan pengelolaan biomasa jenis PL, CU dan MP (dengan 107
bobot masing-masing sebesar 13,83 t ha-1, 13,76 t ha-1 dan 12,95 t ha-1) nyata lebih tinggi dengan bobot kering tanaman jagung yang dicapai oleh jenis legum CP dan perlakuan kontrol (tanpa LPT). Faktor tunggal masa inkubasi biomasa menunjukkan perlakuan masa inkubasi 20 hari dan 10 hari sebelum tanam dapat meningkatkan bobot kering tanaman jagung (12,30 t ha-1 dan 12,14 t ha-1) yang nyata lebih tinggi dibanding dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.22) 5.5.10 Bobot kering gulma Pengelolaan tanaman LPT sebagai tanaman bera dalam sistem budidaya di lahan kering secara nyata dapat menekan pertumbuhan gulma selama pertanaman jagung. Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi pengaruh interaksi, namun terhadap faktor tunggal yang diuji menunjukkan adanya pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) pada 20 hst dan pengaruh yang nyata (p<0,05) pada 40 hst terhadap bobot kering gulma (Lampiran 33) Tabel 5.23 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap bobot kering gulma Bobot kering gulma (g m-2) Perlakuan Faktor Tunggal 20 hst 40 hst Jenis biomasa LPT: Tanpa LPT (kontrol)
130,15a
59,88a
Biomasa CP
119,99a
38,89b
Biomasa MP
88,50b
24,76c
Biomasa CU
95,57b
26,90bc
Biomasa PL Masa inkubasi:
89,90b
26,03c
10 hari
98,72b
30,83a
108
20 hari
104,67ab
36,43a
30 hari
110,48a
38,62a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Pengelolaan biomasa MP, PL dan CU secara nyata mampu menekan pertumbuhan gulma baik pada pengamatan 20 hst maupun pada 40 hst dibanding perlakuan CP dan kontrol (tanpa LPT). Pengelolaan ketiga jenis LPT tersebut tidak berbeda nyata dan dapat menekan bobot kering gulma pada 20 hst berturutturut sebesar 32%), 30,92% dan 26,87%) dibanding dengan CP dan kontrol (Tabel 5.25). Sementara pada pengamatan 40 hst
ketiga jenis LPT yang sama masih
memberikan pengaruh terhadap penurunan bobot kering gulma, yaitu berturutturut sebesar 58,65%, 56,52 dan 55,07% dibanding dengan jenis CP dan kontrol (Tabel 5.23). Perlakuan faktor tunggal masa inkubasi biomasa juga memperlihatkan bobot kering gulma yang berbeda. Bobot kering gulma terendah pada 20 hst ditunjukkan pada masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam dan berbeda nyata dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam. Pada pengamatan ke-40 hst masa inkubasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap bobot kering gulma (Tabel 5.23). 5.6 Hubungan antara Simpanan C-Organik dengan Kualitas Tanah dan Hasil Jagung di Lahan Kering Hasil percobaan secara umum menunjukkan bahwa penggunaan LPT sebagai tanaman bera dalam sistem pertanian di lahan kering berpengaruh terhadap perubahan simpanan C-organik tanah. Perubahan simpanan C-organik
109
ini berhubungan dengan hasil proses dekomposisi biomasa LPT yang secara nyata mempengaruhi kualitas tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah serta hasil jagung. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata (p<0,01) antara simpanan C-organik tanah dengan kualitas tanah yang ditunjukkan oleh (kadar air tanah, bobot isi tanah, porositas tanah, C-organik, kadar N total, P-tersedia, Ca, Mg, KTK, total koloni mikroorganisme dan respirasi tanah. Selanjutnya setelah dilakukan uji regresi untuk melihat kekuatan hubungan ternyata dari semua variabel kualitas tanah yang diuji, hanya variabel bobot isi tanah, porositas, pH, C-organik, N tanah dan K tanah yang mempunyai keeratan hubungan dengan simpanan C-organik tanah (Lampiran 34) Hubungan antara hasil jagung dengan simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah, juga telah dianalisis melalui uji korelasi dan regresi. Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang sangat nyata (p<0,01) antara hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1) dengan simpanan C-organik dan kualitas tanah. Selanjutnya hasil uji regresi antara hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1) dengan simpanan C-organik dan kualitas tanah, menunjukkan dari 14 variabel yang diuji terdapat 9 variabel yang memiliki keeratan hubungan dengan hasil jagung, yaitu: simpanan C, bobot isi tanah, porositas tanah, pH tanah, Corganik, kadar N, P-tersedia, KTK tanah dan respirasi tanah, dengan nilai koefisien determinasi, R2 sebesar 0,9402. Sedangkan variabel lainnya (bahan organik, K, Ca, Mg, total koloni mikrooragisme tidak mempunyai keeratan hubungan dengan hasil jagung (Lampiran 35).
110
VI PEMBAHASAN Pembahasan terhadap hasil penelitian disertasi ini dibagi dalam tiga kelompok bahasan berdasarkan kaitan masing-masing hasil penelitian dari percobaan-percobaan yang telah dilakukan. Kelompok bahasan tersebut meliputi: (i) Laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa legum penutup tanah; (ii) Kontribusi legum penutup tanah terhadap simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering; dan (iii) Pengelolaan biomasa legum penutup tanah terhadap sinkronisasi hara dan hasil jagung di lahan kering, serta pada bagian akhir pembahasan, akan diberikan suatu model bagaimana pengelolaan lahan kering di masa datang.
Uraian pembahasan terhadap hasil penelitian tersebut adalah
sebagai berikut: 6.1 Laju Dekomposisi dan Mineralisasi Biomasa LPT Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju dekomposisi dan pelepasan hara (mineralisasi) biomasa legum penutup tanah (LPT) berbeda antara jenis biomasa dan metode aplikasi. Nilai konstanta laju dekomposisi (k) biomasa LPT tertinggi terjadi pada biomasa CU yang diaplikasikan dengan cara pembenaman litter bag, diikuti oleh biomasa PL dan jenis MP. Nilai konstanta laju dekomposisi (k) 111
terendah ditemukan pada jenis CP (Gambar 5.2). Sampai hari ke-40 (akhir masa dekomposisi), nilai konstanta laju dekomposisi biomasa CU, menunjukkan nilai tertinggi, yaitu sebesar 0,27 (laju dekomposisi per waktu sebesar 2,34 g hari-1 atau 0,26 g tahun-1), diikuti oleh biomasa PL dengan nilai konstanta mencapai 0,24 (atau laju dekomposisi per waktu sebesar 2,28 g hari-1 atau 0,25 g tahun-1). Sementara jenis MP yang dibenamkan juga mempelihatkan konstanta laju dekomposisi sebesar 0,20 (laju dekomposisi per waktu sebesar 2,04 g hari-1 atau 0,22 g tahun-1). Berbeda dengan biomassa CP yang dibenam memperlihatkan konstanta laju dekomposisi yang lebih rendah, yaitu 0,15 (laju dekomposisi per waktu sebesar 1,53 g hari-1 atau 0,17 g tahun-1) (Gambar 5.2). Nilai k yang tinggi menunjukkan laju dekomposisi yang berlangsung cepat dibanding dengan bahan organik yang memiliki nilai k yang rendah. Nilai laju dekomposisi tahunan dari hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sulistiyanto et al., (2005) yang dilakukan pada species mixed litter di hutan Kalimantan memperoleh nilai k sebesar 0,28 - 0,39 g tahun-1 yang relatif sama dari hasil penelitian ini. Sementara hasil penelitian De Costa dan Atapattu (2001) yang dilakukan di Sri Lanka pada species Calliandra callothyrsus didapatkan nilai laju dekomposisi sebesar 0,65 g tahun-1 dan pada Plemingia macrophylla (0,74 g tahun-1), nilai laju dekomposisi ini relatif lebih tinggi dari pada nilai yang diperoleh pada penelitian ini. Kecepatan pelepasan hara meningkat dengan makin meningkatnya laju dekomposisi (k), artinya semakin tinggi nilai laju dekomposisi (k), maka hara yang dirilis/dilepaskan (termineralisasi) akan semakin banyak. Hasil penelitian
112
ini menunjukkan pola pelepasan C, N, P, K dan Ca selama masa dekomposisi (Tabel 5.3) berbeda secara nyata antara species biomasa baik pada cara aplikasi litter bag dengan cara pembenaman maupun biomasa yang ditempatkan di atas tanah. Mineralisasi (pelepasan hara) dari biomasa LPT asal CU dan PL yang diaplikasikan dengan cara pembenaman berlangsung cepat, yaitu waktu paruh (t50) sudah tercapai pada hari ke-20 dibanding dengan biomasa asal MP dan CP yang waktu paruh (t50) baru tercapai setelah 30 hari (Tabel 5.3). Waktu paruh (t50) berarti sudah 50% hara yang dilepaskan ke dalam tanah dari konsentrasi awal saat aplikasi. Waktu paruh (t50) bervariasi untuk berbagai jenis tanaman, termasuk bagian tanaman dan ditentukan oleh komposisi kimia biomasa tanaman. Serasah tanaman yang barasal dari golongan legum waktu paruh (t50) tercapai sekitar 2-4 minggu setelah aplikasi (Hairiah dan Murdiyarso, 2007). Meningkatnya nilai konstanta laju dekomposisi (k) dan pelepasan hara pada kedua jenis biomasa (CU dan PL) yang berlangsung cepat dikarenakan kualitas bahan organik ini termasuk kategori tinggi, yaitu mempunyai kandungan N relatif tinggi, dan memliki konsentrasi lignin, polifenol dan nisbah C/N yang rendah, di bawah nilai kritis dibanding dengan biomasa MP dan CP. Menurut Palm et al. (2001) kelompok leguminosa termasuk sumber bahan organik yang berkualitas tinggi karena mengandung, N yang tinggi >2,5% dan nisbah C/N rendah (<20), sehingga mudah dirombak oleh mikroba dalam tanah. Selain itu, kandungan lignin dan polifenol pada kedua jenis LPT juga lebih rendah dan berada di bawah nilai kritis yaitu < 15% untuk liginin dan polifenol < 4%
113
sehingga berpengaruh terhadap kecepatan/laju dekomposisi (Handayanto et al., 1997; Rachman et al., 2006). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa laju dekomposisi biomasa LPT dan pelepasan hara pada percobaan ini sangat ditentukan oleh kualitas sifat kimia biomasa LPT. Parameter kualitas sifat kimia biomasa yang paling baik untuk menjelaskan konstanta laju dekomposisi (k) dari biomasa LPT adalah: (i) kadar N total, (ii) nisbah C/N, dan (iii) kadar polifenol dari biomasa LPT (Tabel 5.1), dengan persamaan regresi: Yk = 0,055 + 0,034N + 0,003C/N – 0,005Polifenol (R2:0,98). Persamaan regresi ini memberikan gambaran bahwa 98% konstanta laju dekomposisi (k) ditentukan oleh tiga variabel yaitu kadar N, nisbah C/N dan kadar polifenol yang terkandung dalam biomasa LPT. Hasil analisis regresi stepwise untuk melihat konstribusi ke tiga variabel di atas terhadap konstanta laju dekomposisi menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2), masing-masing adalah kadar N (0,9792), nisbah C/N (0,9772) dan kadar polifenol (0,9687). Hasil analisis regresi stepwise tersebut membuktikan bahwa kadar N biomassa LPT memberikan kontribusi yang besar yaitu 97,92% terhadap konstanta laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT. Kadar N dalam bahan organik merupakan titik kritis yang menentukan terjadinya dekomposisi dan mineralisasi serta imobilisasi. Menurut Palm et al. (1997) bahan organik yang kadar N >2,5% akan mendorong terjadinya mineralisasi yang lebih cepat selama proses dekomposisi, sebaliknya bahan organik yang kadar N <2,5% akan
114
mendorong terjadinya proses imobilisasi selama proses dekomposisi. Nitrogen merupakan unsur penting sebagai pembentuk protein. Selain kadar N, hasil analisis regresi stepwise juga menunjukkan bahwa nisbah C/N memberikan pengaruh yang nyata, yaitu sebesar 97,72% terhadap kecepatan dekomposisi dan pelepasan hara. Nisbah C/N umumnya dinyatakan sebagai faktor kimia penting yang menentukan kecepatan dekomposisi dan mineralisasi hara N. Hal ini sesuai dengan pendapat Cuevas dan Logu (1998); Peradeniya (2000), yang menyatakan bahwa nisbah C/N awal dari bahan organik akan mempengaruhi kecepatan dekomposisi. Nisbah C/N menentukan kecepatan dekomposisi, karena senyawa karbon dan nitrogen penting bagi mikroba selama proses dekomposisi berlangsung. Karbon diperlukan oleh mikroba sebagai sumber energi dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Bahan organik dari serasah tanaman (biomasa tanaman) yang mempunyai nisbah C/N tinggi lebih lambat terdekomposisi (Sulistiyanto et al., 2005). Nisbah C/N tinggi berarti N dalam bahan organik (serasah) sangat kecil sehingga N yang ada akan dimanfaatkan terlebih dahulu oleh mikroba untuk kebutuhan fisiologisnya. Bahan organik
yang memiliki nisbah C/N yang rendah umumnya akan lebih cepat
mengalami dekomposisi, yaitu 50% sudah melapuk pada minggu kedua sampai minggu ke empat (Hairiah dan Murdiyarso, 2007). Faktor lain yang juga mempunyai hubungan yang erat dengan laju dekomposisi biomasa LPT dan pelepasan hara adalah kadar polifenol, dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9687. Tingginya nilai koefisien determinasi sebesar 96,87%, membuktikan bahwa kadar polifenol memberikan
115
pengaruh yang besar terhadap laju dekomposisi biomasa LPT. Makin tinggi kandungan polifenol proses dekomposisi akan makin lambat dan akhirnya makin besar jumlah hara yang ditahan dalam residu selama proses dekomposisi berlangsung sehingga makin sedikit hara yang dilepaskan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Palm dan Sanchez (1991) yang mengemukakan bahwa polifenol merupakan parameter penting yang dapat dipergunakan dalam pendugaan kecepatan dekomposisi dari pangkasan pohon legum daerah tropik. Polifenol adalah senyawa yang larut dalam air dan mampu membentuk kompleks dengan protein. Oleh karena itu peranan polifenol dalam proses dekomposisi mungkin tidak ditentukan oleh jumlah total polifenol, tetapi mungkin lebih ditentukan oleh kemampuan polifenol dalam mengikat protein. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa polifenol dalam mempengaruhi laju dekomposisi dan mineralisasi ditentukan oleh pengaruh reaksi enzimatik dalam mengikat protein. Penghambatan ini terjadi karena adanya pembentukan komplek polifenol-protein di mana polifenol berperan sebagai pelindung protein dari serangan enzim itu sendiri. Makin tinggi kandungan polifenol dalam biomasa menyebabkan makin tinggi pula kemampuan mengikat protein dan akhirnya akan menghambat pelepasan N ke dalam tanah. Akibatnya jumlah N yang dilepas ke dalam tanah semakin sedikit. Kandungan lignin dan polifenol yang tinggi dalam bahan organik akan menghambat proses mineralisasi karena lignin dan polifenol dapat mengikat protein sehingga menentukan mudah tidaknya bahan organik diuraikan oleh mikroba tanah (Stevenson, 1994; Handayanto et al., 1997). Lebih lanjut, Torreta
116
dan Takeda (1999); De Costa dan Atapattu (2001) melaporkan bahwa degradasi biomasa sudah umum terjadi pada 2-4 minggu pertama, karena proses fisika dan biologi terjadi lebih cepat pada tingkatan ini dan kebanyakan kehilangan berat ini berasal dari fraksi yang mudah larut dibanding fraksi lignocellulose (Andren dan Paustian, 1987). Bahan yang mudah larut pada serasah/biomasa tanaman kebanyakan mempunyai susunan organik yang sederhana termasuk didalamnya glukosa, phenolic dan asam amino (Suberkropp et al., 1976). Sementara fraksi yang sukar larut (lignocellulosa) umumnya terdiri atas lignin, cellulose dan xylam (Andren dan Paustian, 1987). Selain komposisi sifat kimia biomasa LPT, faktor lingkungan terutama suhu dan kelembaban tanah juga ikut mempengaruhi cepat lambatnya tingkat penghancuran dan laju dekomposisi biomasa serta pelepasan hara. Suhu tanah pada panelitian ini berbeda, yaitu pada aplikasi diatas tanah diperoleh suhu tanah permukaan (0-5cm) sebesar 34,92oC dan untuk metode pembenaman diperoleh suhu tanah (pada kedalaman 15-20 cm) rata-rata sebesar 27,68oC dan kelembaban tanah rata-rata sebesar 55oC. Melalui pembenaman kadar air biomasa akan lebih tinggi karena adanya perbedaan konsentrasi dimana uap air dalam tanah akan diserap oleh biomasa LPT dalam litter bag sehingga meningkatkan kadar air dalam biomasa. Meningkatnya kadar air biomasa dalam litter bag maka temperatur (27,68oC ) dan kelembaban tanah (55%) tetap terpelihara dan relatif lebih stabil (variasi harian) sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tanah dalam proses dekomposisi dan mineralisasi.
117
Faktor lainnya yang berperan penting dalam laju dekomposisi dan pelepasan hara adalah mikroba tanah. Hasil percobaan ini menunjukkan cara pembenaman nyata meningkatkan total koloni mikroba tanah lebih besar 22x106 cfu dibanding yang diaplikasikan di atas permukaan tanah yang hanya mencapai 17x104 cfu (Tabel 5.4). Peningkatan total koloni mikroba tanah ini berdampak positip pada laju dekomposisi dan pelepasan hara (mineralisasi). Kondisi ini berbeda dengan biomasa yang ditempatkan di atas permukaan tanah, penurunan berat dan laju dekomposisi berjalan lebih lambat karena fluktuasi temperatur dan kelembaban tanah relatif tinggi sehingga menghambat aktivitas mikroba pendekomposisi. Aktivitas hewan tanah tidak dimonitor dalam penelitian ini tetapi terlihat dari pengamatan visual di lapangan cara pembenaman dapat meningkatkan aktivitas fauna tanah karena didukung oleh kondisi lingkungan yang baik. Kondisi lingkungan yang optimum ini akan dapat meningkatkan aktivitas mikroba perombak dalam menguraikan bahan organik. Menurut Sutedjo et al. (1991), kondisi lingkungan yang optimum adalah: pH netral antara 5,5-7,5), suhu tanah optimum berkisar 20-28oC dan kelembaban tanah antara 50-60%. Faktor lingkungan ini menjadi penentu bagi organisme tanah dalam melakukan aktivitas biologisnya di dalam tanah. Dekomposisi biomasa LPT pada dasarnya akan menghasilkan perubahan kondisi di dalam tanah di bawah pengaruh faktor biotik dan abiotik. Dekomposisi LPT merupakan aspek penting dalam upaya menjaga kestabilan ekosistem lahan, termasuk di dalamnya siklus nutrisi yang menentukan tingkat daur-ulang nutrisi
118
menjadi hara tersedia bagi tanaman. Hal ini menjadi aspek penting dalam upaya pengelolaan lahan budidaya pertanian lahan kering secara berkelanjutan. Namun demikian seringkali laju mineralisasi atau pelepasan hara selama proses dekomposisi melebihi kebutuhan tanaman pada awal pertumbuhannya, sehingga sebagian hara yang tidak diserap oleh tanaman akan mudah hilang oleh pencucian atau pengupanan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengetahuan tentang pengelolaan biomasa LPT sebagai sumber C-organik dalam hal ini tentang kualitas sifat kimia biomasa LPT dan laju dekomposisi, menjadi sangat penting agar didapatkan hasil yang baik. 6.2 Kontribusi LPT terhadap Simpanan C-Organik dan Kualitas Tanah di Lahan Kering Karbon organik tanah (C-organik tanah) merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting dalam ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber (source) dan pengikat/penyerap (sink) serta sebagai substrat bagi mikroba tanah. Hasil percobaan secara umum, menunjukkan bahwa penggunaan LPT sebagai tanaman bera dan pengelolaan biomasa pasca bera berkontribusi secara nyata terhadap peningkatan simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering (percobaan 3 dan 4). Hasil analisis terhadap simpanan C-organik tanah pada akhir percobaan 4, menunjukkan bahwa penanaman dan pengelolaan biomasa LPT jenis PL, CU dan MP secara nyata mampu meningkatkan simpanan C-organik tanah. Hasil analisis, menunjukkan LPT jenis PL meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar 53,05% (86,69 t ha-1), diikuti CU sebesar 53,07% (86,70 t ha-1) dan legum PL
119
sebesar 46,45% (82,95 t ha-1) lebih tinggi dan berbeda nyata dengan jenis CP yang hanya mampu meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar 15,95% (65,11 t ha-1) dari kontrol (Tabel 5.14). Penggunaan LPT juga nyata meningkatkan kadar C-organik dan bahan organik tanah (Tabel 5.14). Meningkatnya simpanan C-organik, kadar C-organik dan bahan organik tanah yang disumbangkan oleh PL, CU dan MP pada percobaan ini, disebabkan oleh adanya penutupan permukaan tanah selama masa bera (5 bulan) oleh fitomasa tanaman LPT yang memiliki kualitas yang tinggi serta tingginya produksi biomasa (b.k. 10,22-11,99 t ha-1) dan serapan C oleh LPT yang lebih tinggi dibanding dengan jenis CP (Tabel 5.9). Selain itu, ketiga jenis LPT ini mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi yang kering serta memiliki pertumbuhan yang cepat yang ditunjukkan oleh prosentase penutupun lahan yang tinggi (Tabel 5.7). Melalui pengembalian biomasa LPT akan terjadi proses pelapukan sehingga akan meningkatkan simpanan C-organik tanah. Peningkatan simpanan C-organik di dalam tanah mencerminkan jumlah C yang diserap tanaman LPT dari udara telah masuk dan terdekomposisi di dalam tanah melalui biomasa tanaman in situ yang dikembalikan, akar tanaman
dan biota dalam tanah.
Menurut Colins et al. (1992); Hikmat (2005); Ruddiman (2007) menyatakan bahwa separuh dari jumlah karbon dioksida (CO2) yang diserap tanaman dari udara bebas tersebut masuk ke dalam tanah melalui pengembalian residu tanaman (serasah), akar tanaman yang mati, dan organisme tanah lainnya dan mengalami dekomposisi sehingga terakumulasi dalam lapisan tanah.
120
Kenyataan tersebut memberikan petunjuk bahwa penggunaan LPT selama masa bera dan pengelolaan biomasanya memberikan kontribusi positip terhadap peningkatan produktivitas lahan kering. Meskipun di lahan kering kesuburannya rendah, tetapi tanah ini lebih cepat respon dengan baik bila dilakukan pengelolaan yang baik, misalnya dengan pengembalian sebagian residu tanaman ke dalam tanah. Selain simpanan C-organik tanah, pengamatan terhadap kualitas tanah pada percobaan 3 dan 4 juga telah dilakukan untuk melihat respon penggunaan LPT dalam lahan budidaya tanaman jagung. Hasil analisis sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada penelitian ini (percobaan 3 dan 4), menunjukkan adanya kontribusi yang nyata yang diberikan oleh LPT yang ditanam selama masa bera terhadap perubahan kualitas tanah. Tingginya C-organik yang disumbangkan juga mempengaruhi kualitas tanah (Stevenson, 1994). C-organik memegang peranan penting sebagai sumber (source) dan penyerap (sink) hara serta sebagai substrat bagi mikroba tanah, juga sebagai pembenah tanah (Lal et al., 2001; Kimble et al., 2002; Rachman et al., 2006; Tornquist et al., 2009). Manfaat dari bahan organik (C-organik tanah), selain sebagai sumber hara juga dapat bermanfaat sebagai pembenah tanah telah banyak dibuktikan. Hasil rangkuman dari berbagai penelitian dapat disimpulkan pembenah tanah dalam bentuk polimer organik mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi tanah (Rachman et al., 2006).
121
Pengamatan sifat fisik tanah sebagai respon dari penggunaan LPT, yang meliputi kadar air, suhu, bobot isi (bulk density) dan porositas tanah menunjukkan bahwa pengunaan LPT jenis MP, CU dan PL selama masa bera dan pengelolaan biomasa in situ mampu meningkatkan secara nyata kadar air tanah (Gambar 5.5), menurunkan suhu tanah (Gambar 5.6) serta menurunkan bobot isi tanah dan meningkatkan porositas tanah (Tabel 5.8) lebih baik dibandingkan dengan legum CP dan tanpa legum penutup tanah (kontrol). Perbedaan kontribusi terhadap perbaikan sifat fisik tanah ini, dipengaruhi oleh jumlah bahan organik yang disumbangkan oleh LPT yang diintroduksi dalam lahan budidaya. Jenis MP, CU dan PL memiliki tajuk (daun dan batang) yang padat dan tebal sehingga mampu menutupi permukaan tanah selama masa bera, yang ditunjukkan oleh nilai area cover (Tabel 5.7).
yang tinggi mencapai 98,36-99,35%
Dampaknya adalah kelembaban tanah selama masa bera selalu
terpelihara sehingga aktivitas mikroba tanah dalam mendekomposisi serasah tanaman yang gugur tetap berlangsung. Salah satu hasil akhir dekomposisi berupa humus, selain sebagai sumber hara juga dapat berperan sebagai bahan pembenah tanah alami (soil conditioner), yang dapat memperbaiki struktur tanah serta dapat merubah kapasitas tanah dalam menahan dan melalukan air. Salah satu asas dalam konservasi tanah dan air adalah bagaimana menutupi permukaan tanah sepanjang tahun agar terhindar dari terpaan cahaya langsung terutama selama musim kemarau dan musim hujan yang dapat dilakukan dengan metode vegetatif (Utomo, 1994; Arsyad, 2010).
Metode vegetatif adalah
penggunaan tanaman ataupun sisa tanaman untuk menutupi permukaan tanah agar
122
terhindar dari terpaan langsung energi matahari dan curah hujan, selain itu dapat memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang langsung mempengaruhi besarnya air yang dapat ditahan oleh tanah. Penggunaan tanaman penutup tanah dalam bentuk hidup ataupun mulsa dapat mempertahankan kadar air tanah dan menjaga suhu tanah melalui penurunan penguapan atau melalui peningkatan kemampuan tanah menahan air (Arsyad, 2010). Pengamatan terhadap suhu tanah (pada percobaan 3), menunjukkan penggunaan legum MP, CU dan PL selama masa bera, menurunkan suhu tanah rata-rata sebesar 2,25-6,05% (28,59-28,25oC) sejak 2-5 bst dibanding tanpa LPT (29,31oC). Sedangkan legum CP hanya mampu menekan suhu tanah antara 1,14% (28,63oC) pada umur 2 bst sampai 3,37% (28,17oC) pada umur 5 bst (Gambar 5.6). Hasil penelitian ini serupa dengan yang diperoleh Sauer et al. (1996)
yang melaporkan bahwa pengembalian residu
tanaman jagung
menurunkan suhu tanah sekitar 0,5oC pada kedalaman 0,05 m. Suhu tanah dipengaruhi oleh jumlah serapan radiasi matahari pada permukaan tanah, sehingga dengan adanya penutupan permukaan tanah oleh tanaman penutup tanah atau residu tanaman sebelumnya akan menghalangi radiasi matahari langsung mengenai permukaan tanah. Penghalangan radiasi matahari oleh tanaman penutup tanah ini akan diperoleh suhu tanah yang lebih rendah dari pada tanpa tanaman penutup tanah.
Tadjang (1990) mengemukakan bahwa
variasi suhu harian dipengaruhi oleh faktor luar seperti radiasi surya, keawanan, presipitasi,
dan faktor dalam seperti kandungan air tanah, kandungan bahan
organik tanah serta dipengaruhi oleh vegetasi yang tumbuh di atasnya. Adanya
123
LPT selama masa bera, maka akan menghambat perpindahan udara panas dari permukaan tanaman ke permukaan tanah. Hasil pengamatan terhadap sifat fisik lainnya (bobot isi dan porositas tanah) pada percobaan 3 dan 4, juga terlihat adanya perbedaan yang nyata. Penggunaan legum MP, CU dan PL selama masa bera, dapat menurunkan bobot isi tanah rata-rata sampai 7,69-6,15% dari perlakuan tanpa LPT 1,30 g cm-3 menjadi 1,20-1,22 g cm-3, dan meningkatkan porositas tanah rata-rata sebesar 6,37% (62,77%). Sementara penggunaan CP hanya mampu menurunkan bobot isi tanah sebesar 3,17% (dari 1,30 g cm-3 menjadi 1,26 g cm-3) dan porositas tanah hanya meningkat sebesar 2,71% (56,23%) dibanding tanpa LPT (Tabel 5,8). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang diperoleh Rupa dan Agung (2003) yang melaporkan bahwa pemberaan dengan LPT dapat menurunkan bobot isi tanah sekitar 5,10% (0,94 g cm-3) dibanding bera alami (0,99 g cm-3) dan meningkatkan porositas tanah 4,74%. Selanjutnya Erfandi (1988) juga menemukan bahwa penggunaan pangkasan tanaman legum pohon yang disebarkan di permukaan tanah
seperti:
Lamtoro
(Leucaena
leucephala),
Flamengia
(Plemingia
macrophylla) dan Kaliandra (Calliandra callothyrsus) dapat menurunkan bobot isi tanah lebih rendah 14% (1,1 g cm-3) dibanding tanpa penutup tanah yang menghasilkan rata-rata bobot isi 1,28 g cm-3). Penurunan bobot isi tanah akibat dari perlakuan ini, mungkin disebabkan oleh adanya tanaman penutup tanah yang memiliki sistem perakaran yang dalam dan luas sehingga mampu menembus lapisan tanah yang dalam dan membuka ruang pori tanah yang padat.
Pengembalian biomasa in situ juga dapat
124
meningkatkan simpanan C-organik tanah yang akan menghalangi kontak langsung antar butir-bitir hujan yang jatuh di permukaan tanah yang akan menghancurkan struktur tanah, sehingga akan menghalangi terjadinya pemadatan tanah. Selain itu, penggunaan LPT dan pengembalian biomasa akan menambah bahan organik tanah atau meningkatkan simpanan C-organik tanah. Meningkatnya simpanan Corganik tanah dapat menjadi penyusun utama fraksi-fraksi dalam solum tanah sehingga mampu menyatukan ikatan agregat tanah dari daya rusak eksternal. Menurunnya bobot isi tanah akibat pengelolaan LPT tropis in situ, berhubungan dengan struktur tanah (Sugito et al., 1995). Hal ini karena biomasa LPT sebagai sumber bahan organik yang telah melapuk, selain meningkatkan kesuburan kimia tanah, juga secara langsung meningkatkan agregasi tanah. Dengan meningkatnya agregasi tanah maka struktur tanah akan menjadi lebih baik sehingga secara langsung mempengaruhi kamampuan tanah dalam memegang air (water hollding capacity). Pada keadaan struktur tanah yang baik atau bobot isi tanah yang rendah, peluang untuk terjadinya stres air menjadi kecil, karena kisaran kadar air tanah yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi lebih besar. Kondisi ini sangat penting pada usahatani lahan kering yang sering mengalami cekaman kekeringan. Penelitian Hairiah dan Murdiyarso (2007) menyatakan bahwa peran simpanan C-organik dalam perbaikan sifat fisik tanah adalah menciptakan agregasi tanah sehingga memberikan kondisi sarang pada tanah dan dapat menurunkan bobot isi tanah. Selanjutnya Buckman dan Brady (1982)
125
mengemukakan bahwa bahan organik tanah berperan sebagai pembentuk butir tanah dan meningkatkan porositas tanah. Pengamatan terhadap sifat kimia tanah yang meliputi, pH, kadar N, fosfor (P), kalium (K), Ca, Mg dan KTK tanah pada percobaan ini menunjukkan bahwa penggunaan
LPT
sebagai
tanaman
bera
memberikan
pengaruh
yang
menguntungkan terhadap perbaikan sifat kimia tanah, yaitu adanya peningkatan sifat kimia tanah dari awal percobaan. Peningkatan sifat kimia tanah yang cukup tinggi, yang disumbangkan oleh jenis LPT ini erat kaitannya dengan produksi biomasa LPT sebagai sumber bahan organik (C-organik) tanah. Bahan organik LPT yang telah melapuk dapat berperan sebagai pembenah tanah (soil conditioner) sehingga dapat memperbaiki kemampuan tanah dalam memegang hara. Hasil analisis kadar N tanah pada awal percobaan (percobaan 3) dan pada akhir percobaan (percobaan 4) menunjukkan bahwa jenis LPT yang di coba dapat meningkatkan kadar N total tanah. Jenis PL dan CU secara nyata meningkatkan kadar N tanah masing-masing sebesar 62,5% dan 50%, diikuti MP sebesar 43% dan CP sebesar 12,5% (Tabel 5.16). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Odihiambo dan Bomke (2001) yang melaporkan bahwa penggunaan LPT secara nyata meningkatkan kadar nitrogen tanah. Meningkatnya simpanan Corganik tanah akibat pengelolaan LPT menjadi penyebab utama meningkatnya total N tanah. Biomasa LPT yang mempunyai kadar N tinggi (nisbah C/N rendah) menunjukkan bahwa kadar N total tanah sangat erat hubungannya dengan simpanan C-organik tanah.
126
Peningkatan kadar hara terutama nitrogen tanah juga berkaitan dengan kemampuan tanaman legum untuk bersimbiosis dengan bakteri rhyzobium yang merupakan salah satu jenis bakteri penambat N dari udara bebas dengan membentuk nodul akar pada tanaman tersebut sehingga tanaman mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan nitrogen dari hasil fiksasi (Tisdale et al., 1985). Nitrogen yang tertambat oleh tanaman legum dapat digunakan oleh tanaman inang atau mungkin dieksudasi dari nodul dan masuk kedalam tanah yang akan meningkatkan kadar nitrogen tanah atau dilepaskan dari hasil dekomposisi biomasa tanaman setelah dikembalikan dalam tanah. Selanjutnya, Mafangoya et al. (1997) mengemukakan bahwa pelepasan hara dari dekomposisi bahan organik sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas bahan organik, kadar air tanah, temperatur dan aktivitas biologi tanah. Pengaruh baik dari penggunaan LPT dalam sistem budidaya pertanian lahan kering berkaitan dengan proses dekomposisi biomasa tanaman yang akan melepaskan berbagai unsur hara ke dalam tanah secara berangsur-angsur, serta kemampuannya untuk menambah bahan organik tanah (simpanan C-organik). Penambahan bahan organik yang bersumber dari biomasa LPT ini akan memperbaiki kesuburan tanah terutama pada lapisan permukaan. Tanaman penutup tanah umumnya mempunyai sitem perakaran yang dalam dan luas sehingga mampu menyerap hara dari lapisan bawah tanah dan kemudian mengembalikannya ke lapisan permukaan tanah dalam bentuk bahan organik. Bahan
organik
(C-organik)
merupakan
kunci
kesuburan
tanah
karena
memperbesar kemampuan tanah mengikat dan menyerap hara dan air bagi
127
tanaman, mengurangi pencucian hara, menambah kemampuan tanah menahan air dan kemantapan struktur tanah serta sebagai sumber energi bagi biota tanah (Kimble et al., 2002; Tornquist et al., 2009; Lines-Kelly et al., 2009). Peningkatan sifat kimia tanah ini terjadi karena adanya pengelolaan biomasa LPT pasca pemberaan melalui pembenaman. Melalui teknik pengelolaan biomasa dengan cara pembenaman, biomasa yang dikembalikan akan cepat mengalami pelapukan sehingga akan meningkatkan kadar C-organik tanah. Meningkatnya kadar C-organik tanah juga berdampak pada peningkatan KTK tanah, dan peningkatan unsur hara seperti N, P dan K, yang merupakan hasil mineralisasi bahan organik tersebut (Buckman dan Brady, 1982). Sifat biologi tanah yang diamati pada percobaan ini menunjukkan penggunaan LPT selama masa bera dan pengelolaan biomasanya, secara nyata meningkatkan populasi dan aktivitas mikroba tanah yang diukur melalui total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah (Tabel 5.13 dan Tabel 5.20). Penggunaan LPT jenis PL, MP dan CU selama masa bera dan pengelolaan biomasanya, menunjukkan adanya peningkatan populasi mikroba tanah antara 1,39-1,68 kali pada akhir masa bera dan meningkat sebesar 2,87-5,26 kali lebih besar pada akhir panen jagung dibandingkan dengan legum CP dan tanpa LPT (Tabel 5.13). Demikian pula aktivitas mikroba tanah yang diukur melalui respirasi tanah, terlihat bahwa ketiga jenis legum ini secara nyata dapat meningkatkan aktivitas mikroba tanah, yaitu pengelolaan biomasa jenis PL in situ yang dibenamkan secara nyata meningkatkan respirasi tanah sebesar 4,97 kali (2,87 mg
128
CO2 g-1 hari-1) diikuti biomasa CU yang meningkat sebesar 4,89 kali (2,83 mg CO2 g-1 hari-1) dan MP dengan peningkatan sebesar 4,52 kali (2,65 mg CO2 g-1 hari-1) lebih tinggi dibandingkan dengan legum CP (1,62 mg CO2 g-1 hari-1) dan tanpa LPT (0,48 mg CO2 g-1 hari-1) (Tabel 5.20). Perbedaan sifat biologi tanah ini disebabkan oleh tingginya produksi biomasa sehingga dapat menutupi lahan selama masa bera yang memungkinkan kondisi lingkungan rhizosphere yang selalu terjaga terutama tingkat kelembaban tanahnya. Kondisi lingkungan rhizosphere yang kondusif ini dapat memacu perkembangbiakan dan aktivitas mikroba (jasad renik) tanah dalam melakukan fungsinya untuk mendekomposisi dan memineralisasi unsur hara bagi tanaman. Dekomposisi bahan organik oleh mikroba tanah akan berpengaruh terhadap pH, unsur hara (N, P, K, Ca, Mg) dan KTK tanah. Selain itu, perbedaan sifat biologi tanah juga disebabkan oleh adanya inveksi mikoriza pada perakaran tanaman PL (60,54%) dan CU (58,13%) lebih banyak dibandingkan dengan perakaran tanaman MP (53,14%) dan CP (44,89%) (Tabel 5.13). Meningkatnya prosentase inveksi mikoriza pada akar tanaman legum, secara nyata dapat meningkatkan luas permukaan akar tanaman. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa, simpanan C-organik tanah sangat kuat dipengaruhi oleh empat variabel yaitu produksi biomasa (bobot kering), serapan C, N yang tertambat, kadar C-organik tanah dan bobot isi tanah, yang diperoleh dengan persamaan regresi: YSimpanan C = -56,49 - 8,04prod.biomasa +16,29serapan C - 4,76 N-tertambat+43,28 Bobot isi tanah + 36,23C-org dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,98
129
Persamaan regresi di atas membuktikan bahwa 98% simpanan C-organik tanah akibat pemberaan dengan LPT dipengaruhi oleh produksi biomasa (b.k. t ha1
), serapan C (t ha-1), N yang tertambat (kg ha-1) dan kondisi fisik tanah terutama
bobot isi tanah (g cm-3). Makin tinggi produksi biomasa, serapan C dan N yang tertambat, serta makin menurunya bobot isi tanah akan makin meningkatkan simpanan C-organik tanah di lahan kering. Meningkatnya simpanan C-organik tanah maka kualitas tanah juga akan meningkat. Menurut Collins et al. (1992) salah satu indikator keberhasilan usaha pengelolaan lahan pertanian adalah tetap terpeliharnya simpanan karbon organik tanah sehingga terjadi keseimbangan dalam tanah, lingkungan dan keragaman sumberdaya hayati dalam tanah. Hasil percobaan ini membuktikan bahwa LPT sebagai tanaman bera dalam sistem budidaya di lahan kering mampu memelihara dan meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah. 6.3 Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap Sinkronisasi Hara dan Hasil Jagung di Lahan Kering Biomasa tanaman merupakan sumber bahan organik yang memadai dan dapat mencukupi kebutuhan hara tanaman, terutama nitrogen dan fosfat. Kandungan nitrogen
2,5% dan fosfat 0,24% yang dikandung bahan organik
merupakan titik kritis yang menentukan terjadi poroses mineralisasi dan imobilisasi (Palm et al., 1997).
Bahan organik yang kadar N <2,5% dan P
<0,24% akan mendorong proses imobilisasi N dan P selama proses dekomposisi sehingga menyebabkan tanah kekurangan unsur N dan P;
sebaliknya bahan
organik yang kadar N>2,5% dan P>0,24 akan mendorong terjadinya proses
130
mineralisasi N dan P organik menjadi bentuk anorganik yang mudah tersedia bagi tanaman. Hasil analisis terhadap kualitas sifat kimia LPT (Tabel 5.1) menunjukkan bahwa biomasa CU dan PL memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan biomasa MP dan CP. Percobaan 2, yang bertujuan untuk melihat tingkat sinkronisasi hara N pada tanaman jagung yang diberi perlakuan masa inkubasi biomasa LPT, menunjukkan bahwa ketersediaan unsur hara N (N-tersedia) dan kebutuhan N tanaman berpengaruh terhadap serapan N dan hasil jagung dalam bobot kering tanaman. Tanaman jagung yang mendapat perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam, menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik sejak 15 hst sampai 45 hst, walaupun pada 15 hst tidak bebeda nyata dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam. Hal ini dibuktikan oleh serapan N tanaman jagung (Tabel 5.5) dan bobot kering total tanaman (Tabel 5.6) yang lebih tinggi dan meningkat secara linear sejak awal fase vegetatif sampai akhir fase vegetatif (45 hst) dibanding dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam pada jenis biomasa yang sama. Perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam nyata meningkatkan serapan N rata-rata sebesar 4,1 kali pada 30 hst dan rata-rata 2,31 kali pada 45 hst. Berbeda dengan perlakuan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam pada jenis biomasa yang sama, rata-rata menunjukkan peningkatan serapan N yang lebih rendah yaitu sebesar 3,03 kali pada 30 hst dan 1,79 kali pada 45 hst (Tabel 5.5). Hasil analisis terhadap bobot kering total tanaman pada akhir fase vegetatif (45 hst), juga menunjukkan perlakuan jenis
131
biomasa CU dan PL yang diinkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam, secara nyata meningkatkan bobot kering tanaman pada fase vegetatif rata-rata sebesar 53,60% dan 54,92% berbeda lebih tinggi dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam pada jenis biomasa yang sama (Tabel 5.6). Hasil percobaan ini membuktikan bahwa biomasa LPT sebagai sumber N yang diinkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam mampu meningkatkan sinkronisasi hara yaitu adanya kesesuaian antara ketersediaan hara N dan kebutuhan tanaman jagung akan hara N.
Pemberian biomasa dengan waktu
inkubasi 30 hari sebelum tanam kurang tepat. Karena selama 30 hari telah terjadi mineralisasi N organik, pada hal pada saat itu belum ada tanaman, sehingga N yang dilepaskan hilang atau terjerap menjadi bentuk yang tidak tersedia. Tingkat sinkronisasi hara ditentukan oleh kecepatan dekomposisi dan mineraliasi bahan organik (Murwira, 1994; Handayanto et al., 1997; Mayers et al., 1997; Anitha dan Mathew, 2010). Bahan organik yang berkualitas tinggi akan lebih cepat melapuk akibatnya unsur hara akan dilepaskan dengan cepat menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Hasil pengamatan pada percobaan 4, menunjukkan bahwa pengelolaan biomasa LPT sebagai sumber bahan organik in situ dapat meningkatkan komponen hasil dan hasil jagung di lahan kering. Pengelolaan biomasa LPT pasca bera tidak berinteraksi terhadap komponen hasil maupun hasil jagung. Masing-masing faktor tunggal baik jenis biomasa LPT dan masa inkubasi secara nyata dapat meningkatkan komponen hasil dan hasil jagung (bobot biji pipilan kering) per satuan luas.
132
Hasil analisis terhadap komponen hasil dan hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1) pada akhir percobaan menunjukkan bahwa pengelolaan biomasa LPT jenis PL dan CU in situ dapat meningkatkan komponen hasil (Tabel 5.21) dan bobot biji jagung pipilan kering (Tabel 5.22). Bobot biji jagung pipilan kering tertinggi dicapai pada jenis PL sebesar 7,00 t
ha-1 atau meningkat sebesar
88,17% dari perlakuan tanpa LPT, dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan biomasa CU dengan peningkatan bobot biji pipilan kering sebesar 86,29% (6,93 t ha-1) dibandingkan dengan perlakuan tanpa LPT (Tabel 5.22). Sementara perlakuan pengelolaan biomasa MP dan CP, hanya dapat meningkatkan bobot pipilan kering jagung sebesar 57,67% (5,94 t ha-1) dan 41,12% (5,25 t ha-1) dari perlakukan tanpa LPT (Tabel 5.22). Tingginya bobot biji jagung pipilan kering yang dicapai oleh pengelolaan biomasa in situ asal PL dan CU pada percobaan ini, karena PL dan CU memiliki kualitas dan kuantitas biomasa yang memadai untuk membangun simpanan Corganik dan kualitas tanah. Dibanding jenis biomasa LPT lainnya, pengelolaan biomasa PL dan CU lebih efektif karena cepat mengalami proses dekomposisi dan mineralisasi sehingga kebutuhan tanaman akan unsur hara lebih cepat terpenuhi. Faktor tunggal masa inkubasi biomasa LPT, menunjukkan bahwa masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam secara nyata meningkatkan komponen hasil dan bobot pipilan kering jagung (Tabel 5.21 dan 5.22). Perbedaan komponen hasil dan hasil pipilan kering ini berkaitan dengan tingkat sinkronisasi unsur hara yang di lepaskan oleh biomasa selama proses dekomposisi dengan kebutuhan
133
tanaman jagung. Apabila waktu penyediaan unsur hara tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman jagung, maka akan terjadi kekurangan atau kelebihan unsur hara. Hasil uji korelasi untuk melihat hubungan antara hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1) dengan simpanan C-organik dan kualitas tanah serta bobot kering gulma menunjukkan terdapat hubungan yang sangat nyata (p<0,01) antara semua variabel. Selanjutnya setelah dilanjutkan dengan analisis regresi bertarap diketahui prediktor yang lebih kuat menentukan hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1) adalah simpanan C-organik, bobot isi tanah dan N tanah, dengan model pendugaan sebagai berikut: YHasil Jagung = 0,258 + 0,001Simp.C - 0,39Bobot isi tanah + 25,95N tanah, (R = 0,83) Persamaan regresi tersebut memberikan gambaran bahwa, sekitar 83% peningkatan hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1) yang diberi perlakuan pengelolaan biomasa LPT pasca bera dengan masa inkubasi biomasa sebelum tanam, dominan dipengaruhi oleh simpanan C-organik tanah, bobot isi tanah dan kadar N tanah. Tingginya kontribusi simpanan C-organik tanah dalam peningkatan hasil jagung (bobot biji pipilan kering), karena simpanan C-organik dalam tanah akan mempengaruhi sifat-sifat tanah terutama bobot isi tanah dan ketersediaan hara N yang merupakan unsur esensial bagi tanaman. Meningkatnya simpanan C-organik tanah maka secara langsung terjadi perbaikan kualitas tanah. Menurut Edwards et al. (1999); Bot dan Benites (2005) di dalam ekosistem tanah, simpanan C-organik mempengaruhi pertumbuhan tanaman, juga sebagai sumber energi bagi organisme tanah dan pemicu ketersediaan hara melalui mineralisasi.
134
Meskipun hasil biji jagung yang diberi perlakuan biomasa MP dan CP dan masa inkubasi 30 hari, memberikan hasil jagung yang lebih rendah dibanding jenis biomasa PL dan biomasa CU, tetapi pemanfaatan biomasa LPT secara umum sebagai sumber C-organik tanah memiliki banyak kelebihan. Ditinjau dari sisi lingkungan (tanah) maka pengembalian biomasa LPT in situ pasca bera memberikan keuntungan terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro fauna tanah. Pengembalian biomasa tanaman sebagai sumber C-organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan populasi mikroba dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Penggunaan LPT sebagai tanaman bera dan pengelolaan biomasanya pasca bera selain meningkatkan simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah dalam mendukung pertumbuhan tanaman, juga secara nyata dapat menekan pertumbuhan gulma. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa jenis legum MP dapat menekan pertumbuhan gulma sebesar 32%, diikuti PL (30,92% dan CU (26,87%) pada 20 hst, dibanding CP dan tanpa LPT. Pengaruh positip dalam menekan pertumbuhan gulma adalah selama masa bera permukaan tanah selalu tertutupi oleh fitomasa tanaman yang cukup padat sehingga pertumbuhan gulma tertekan karena tidak mendapat cahaya matahari, dan diduga adanya sifat allelopaty dari akar legum yang dapat mematikan biji gulma.
6.4 Model Pengelolaan Lahan Kering di Masa Depan
135
Memperhatikan hasil penelitian yang didasari pada hasil analisis terhadap respon yang diberikan oleh LPT dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering, maka dapat disimpulkan bahwa LPT memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam sistem budidaya tanaman pangan semusim di lahan kering. Penerapan tanaman LPT dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering diharapkan adanya peningkatan produktivitas lahan kering secara berkelanjutan. Secara umum kabupaten Kupang NTT yang tergolong iklim kering dengan jumlah bulan basah yang singkat sekitar 4 bulan basah, dan sisanya 8 bulan adalah bulan kering (Tipe iklim D menurut Smith dan Ferguson). Pola distribusi hujan yang singkat (Desember-Maret) ini menyebabkan usahatani tanaman pangan yang dijalankan oleh petani pun relatif singkat, hanya berlangsung selama musim hujan (+4-5 bulan) selebihnya lahan budidaya dibiarkan terbuka sampai menunggu musim tanam berikutnya. Pola usahatani yang dijalankanpun masih sederhana yaitu hanya mengandalkan kesuburan alami tanpa menggunakan pupuk sintetis, akibatnya hasil produksi tanaman pangan (jagung) pada umumnya rendah. Mempertimbangkan kondisi iklim NTT terutama curah hujan yang distribusi hujannya singkat (3-4 bulan basah), maka pola tanam yang dapat dipertimbangkan pada usahatani lahan kering sebagai suatu skenario dalam pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan, adalah seperti pada Gambar 6.1.
136
Jumlah Curah Hujan (mm/bulan)
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 Nop
Des
Jan
Peb Maret Apr
Mei
Juni
Juli Agust Sept
Okt
Jagung Masa pembenaman biomassa LPT bersamaan dengan pegolahan tanah 10-20 hari sebelum tanam jagung berikutnya
masa bera dengan LPT yang sesuai
Gambar 6.1
Implementasi LPT dapat dilakukan selama bera (6-8 bulan, sehingga Pola tanam yang dipertimbangkan sesuai untukmasa pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan
tidak mengorbankan lahan untuk usahatani tanaman semusim pada saat musim hujan.
Penanamannya dapat dilakukan menjelang atau akhir panen tanaman
pangan semusim, yaitu sekitar akhir bulan Maret atau awal bulan April. Adanya sisa hujan atau sisa kelembaban tanah yang masih tersedia, memungkinkan LPT yang dipilih (adaptif) dapat tumbuh dengan cepat sehingga dapat menutupi permukaan tanah yang selama ini dibiarkan terbuka. Produk biomasa yang dihasilkan ini akan dimanfaatkan kembali sebagai sumber bahan organik (C-organik) menjelang musim hujan (musim tanam berikutnya). Cara pengelolaan biomasa adalah melalui pembenaman bersamaan dengan pengolahan tanah, yang dapat dilakukan 10 sampai 20 hari menjelang tanam tanaman pangan (jagung).
Cara ini terbukti efektif
meningkatkan sinkronisasi hara.
137
karena dapat
LPT tidak memiliki nilai ekonomi bagi petani (bukan sumber pangan), namun ditinjau dari aspek peningkatan produktivitas lahan kering secara berkelanjutan, pengembangannya memberikan kontribusi yang besar
karena
secara ekonomi, sosial dan ekologi menguntungkan. Kontribusi dari tanaman LPT
secara langsung adalah sebagai sumber C-organik tanah.
C-organik
merupakan kunci kesehatan dan kualitas tanah baik fisik, kimia, maupun biologi tanah.
Dipilihnya tanaman legum sebagai alternatif tanaman bera, karena
tanaman ini mempunyai kandungan hara yang relatif tinggi dibanding jenis tanaman penutup tanah lainnya (non legum) dan relatif lebih muda terdekomposisi, sehingga penyediaan hara menjadi lebih cepat. Kelebihannya, selain sebagai sumber C-organik, LPT juga berkontribusi dalam peningkatan N tanah. Hasil penelitian ini, menunjukkan nitrogen yang disumbangkan oleh tanaman LPT selama masa bera melalui fixasi adalah: CU (476,66 kg ha-1), PL (350,04 kg ha-1) MP (348,06 kg ha-1) dan CP (122,72 kg ha-1). Kontribusi lainnya, adalah dalam daur ulang hara (nutrient recycling) di dalam tanah; karena dapat menekan kehilangan hara atau tercipta siklus hara tertutup (Hairiah et al., 2009) 6.5 Temuan Baru Penelitian Beberapa temuan baru yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu: 1.
Sinkronisasi hara N pada tanaman jagung dapat ditingkatkan melalui pembenaman biomasa P. lunatus (PL) atau C. usaramoensis (CU) pada saat 10 hari sebelum penanaman jagung;
138
2.
Simpanan C-organik di lahan kering dapat ditingkatkan melalui sistem pemberaan (fallow system) dengan P. lunatus (PL) atau dengan C. usaramoensis (CU);
3.
Sistem pemberaan (fallow system) dengan penanaman LPT tropis dapat mempersingkat masa bera lahan budidaya pertanian di lahan kering.
VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Jenis biomasa LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang diaplikasikan
dengan
cara
pembenaman
mempunyai
konstanta
laju
dekomposisi (k) yang lebih tinggi, yaitu masing-masing sebesar 0,27 (dengan laju dekomposisi 2,34 g hari-1 atau 0,26 g tahun-1) dan 0,24 (dengan laju dekomposisi 2,28 g hari-1 atau 0,25 g tahun-1), serta berbeda dengan jenis biomasa LPT M. pruriens L. (MP) dan C. pubescens Benth. (CP).
139
2.
Masa inkubasi biomasa LPT 10 hari sebelum tanam secara nyata dapat meningkatkan sinkronisasi hara N pada tanaman jagung selama fase vegetatif dibandingkan dengan masa inkubasi 20 dan 30 hari sebelum penanaman jagung.
3.
Jenis LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang dijadikan sebagai tanaman bera dalam sistem pemberaan lahan budidaya pertanian, dapat meningkatkan simpanan C-organik tanah (soil organic carbon, SOC) masing-masing sebesar 63,18% (86,70 t ha-1) dan 63,16% (86,69 t ha-1). Peningkatan simpanan C-organik tanah secara nyata meningkatkan kualitas tanah.
4.
Pengelolaan biomasa LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) in situ pasca bera yang dibenamkan ke dalam tanah 10 hari sebelum penanaman jagung dapat meningkatkan bobot pipilan jagung kering k.a. 15% sebesar 88,17%
(7,00 t ha-1) dan 86,29% (6,93 t ha-1) lebih tinggi dibandingkan
dengan yang dihasilkan oleh species M. pruriens dan C. pubescens Benth. 5.
Terdapat hubungan yang erat antara simpanan C-organik tanah (soil storage organic carbon) dan kualitas tanah dengan hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1) yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,83.
7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan, sebagai berikut:
140
1. Agar hasil temuan ini dapat memberikan manfaat bagi petani lahan kering, maka perlu dilakukan desiminasi untuk memperkenalkan hasil-hasil penelitian ini. 2. Perlu dilakukan penelitian eksplorasi lanjutan untuk mengkaji jenis LPT lain yang potensial dikembangkan di lahan kering. 3. Produktivitas lahan kering
terutama tanaman pangan semusim dapat
ditingkatkan melalui sistem pemberaan (fallow system) dengan berbagai jenis LPT potensial, seperti C. usaramoensis (CU) dan P. lunatus (PL). 4. Jenis M. pruriens dapat dipertimbangkan sebagai tanaman bera untuk peningkatan simpanan C-organik tanah (soil storage organic carbon) di lahan kering, walaupun kontribusi terhadap hasil jagung pada percobaan ini masih rendah.
DAFTAR PUSTAKA Acosta, S. I. C. 2009. “Promoting the use of tropical legumes as cover crops in Puerto Rico” (tesis). Mayaguez. University of Puerto Rico. Anderson, J.M., Ingram, J.S.I. 1989. Tropical Soil Biology and Fertility: a Hanbook of Methods. Wallingford: CAB International. Anderson, J.M., Swift, M. J. 1983. Decomposition in Tropical Forest. p.287-309. In: S.L. Suton. T.C. Withmore and A.C. Chadwick, (eds.). Tropical Rainforset. Ecology and Management. Blackwell. Oxford. Andren, O., Paustian, K. 1987. Barley straw decomposition in field: a comparasion of models. Ecology J. 68: 1190-1200. Anitha, S., Mathew, J. 2010. In situ green manuring with daincha (Sesbania aculeata Pers.): a cost effective management alternative for wet seeded rice (Oryza sativa L.). J. of Tropical Agriculture. 48 (1-2):34-39.
141
Arifuddin, F.K., Yasin, M.H.G. 2002. Metoda pendugaan hasil jagung. Berita Puslitbangtan No.24 November 2002. Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua. Bogor: IPB Press. 472p. Badan Klimatologi dan Meteorologi Nusa Tenggara Timur. 2012. Data Curah hujan 10 tahun (2003-2012) di Kabupaten Kupang. Kupang, NTT. Baldock, J.A., Skjemstad, J.O., Kurl, E.S. 2009. Functions of Soil Organic Matter and the Effect on Soil Properties. CSRO. Publishing. Balkcom, K., Schomberg, H., Reeves, W., Clark, A. 2007. Managing Cover Crops in Conservation Tillage Systems. In: Managing Cover Crops Profitable (Third Edition). Handbook Series Book 9. Published by the Sustainable Agriculture Network, Beltsville, MD. U.S. Department of Agriculture. BAPPEDA NTT. 2010. Kebijakan dan Program Pemerintah Provinsi NTT. www.bappeda.nttprov.go.id. diakses 16 Mei 2012. Barchia,
M.F. 2009. Evolusi Karbon Tanah. http://faizbarchia.blogspot.com/2009/06/evolusi-karbon-tanah.html. diakses tanggal 7 Oktober 2012.
Bell, M.J., Moody, P.W., Connolly, R.D., Bridge, B.J. 1999. Using active fraction of soil organic matter as indicators of the sustainability of ferrosol farming system. Soil Res. Aust. J. 37: 279-287. Blair, G. J., Chapman, L., Withbread, A.M., Coelho, B.B., Larsen P., Tissen H. 1998. Soil carbon change resulting from sugarcane trash management at two location in Queensland, Australia and in North-East Brazil. Soil Res. Aust. J. 38: 87-88. Berge, B., McClaugherty. 2002. Plant Litter Decomposition Humus. New York: Springer Verlag. Bot, A., Benites, J. 2005. The importance of soil organic matter. Key to droughtresistant soil and sustained food and production. FAO Soils Buletin 80. Food and Agricukture Organization of the United Nations. Rome: 71p Buckman, H.O., Brady, N.C. 1982. Ilmu Tanah (Soegiman, Penterjemah). Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.788p. Colins, H.P., Rasmunssen, P.E., Douglas, Jr. C. 1992. Crop rotation and recidues management effect, on soil organic carbon and microbial dynamics. Soil Sci. Soc.Am. J. 56:783-788. Cook, C.G., White, G.A. 1996. Crotalaria usaramoensis: a potential multipurpose fiber crop. p.389-394. In: J. Janick (ed.), Progress in new crops. Arlington. VA: ASHS Press. 142
Cuevas, E., Logu, A.E. 1998. Dinamics of organic matter and nutrient return from literfall in stands of ten tropical tree plantation species. Forest Ecology and Management. 12:263-279. Dariah, A., Nurida, N.L., Sutono. 2010. Formulasi bahan pembenah untuk rehabilitasi lahan terdegradasi. Jurnal Tanah dan Iklim. No 11. De Costa, W.A.J.M., Atapattu, A.M.L.K. 2001. Decomposition and nutrient loss from prunnings of different contour hedgerow spesies in tea plantations in the sloping highlands of Sri Lanka. Agroforestry System, 51: 201-211. De Santo, A.V., Berg, B., Rutigiliano, F.A., Aleani, A., Frioretto, A. 1993. Factor regulating early stage of decomposition of needle litters in five different coniferous forest. Soil Biol. Biochem. 25: 1423-1433. Dinga, G., Liub, X., Herbertc, S., Novakd, J., Dula, A., Baoshan X. 2006. Effect of cover crop management on soil organic matter. www.elsevier.com/locate/geoderma. Geoderma. 130: 229-239 Dirjenbun. 1984. Pedoman Pembangunan Penutup Tanah Kacang-kacangan. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian Republik Indonesia. 79p.
Doran, J.W., Parkin, T.B. 1994. Defining and Assessing Soil Quality. p3-21. In: J.W. Doran, D.C. Coleman, D.F. Bezdicek, B.A. Stewart (eds.), Defining Soil Quality for a Sustainable Environment. SSSA Spec. Pub. No. 35, Soil Sci. Soc. Am., Am. Soc. Argon., Madison, WI Dudal, R., Soepraptohardjo, M. 1957. Soil Classification in Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatologi. Bogor. Edwards, J.H., Wood, C.W., Thurlow, D.L., Ruf, M.E. 1999. Tillage and crop rotation effects on fertility status of a hapludalf soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 56:1577-1582. Erfandi, D., Suwardjo, Rahman, A. 1988. Penelitian alley cropping di Kumang Kuning Jambi. Pusat Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Eswaran, H., van Den Berg, E. 1993. Organic carbon in soils of the world. Soil Sci. of Am. J. 57:192-194. Febrina. 2004. “Kontribusi berbagai jenis tanaman penutup tanah (cover crop) terhadap perbaikan berbagai sifat kimia Ultisol lahan alang-alang” (skripsi). Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Frye, W.W. 1983. Energy Requirement in No-tillage. p.127-151. In: Philips, R.E. and S. H. Phillips (eds.), No Tillage Agriculture Principle and Practices.
143
Gardner, F.P., Pearce, R.B., Mitchell, R.L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Herawati Susilo, Penterjemah). Jakarta: UI.Press. 428p. Gomez, K.A., Gomez, A.A. 2007. Statistical Procedures for Agricultural Research (Endang S. and Justica S.B. (eds.). p.134-136. Jakarta: UI Press. Guo, L.B., Sims, R.B.H. 1999. Litter decomposition and nutrient release via litter decomposition in New Zealand eucalypt short rotation forest. Agriculture Ecosystem and environment. 75: 133-140. Guritno, B. 1996. Pengaturan pola tanam dalam upaya peningkatan produktivitas lahan kering. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Pola Tanam. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Hairiah, K., Utomo, W.H., van der Heide, J. 1992. Biomass production and performance of leguminous cover crops on an Ultisol in Lampung. Agrivta J. 15 (1): 39-44. Hairiah, K., Widianto, Utami, S. R., Suprayogo, D., Sunaryo, Sitompul, S. M., Lusiana, B., Mulia, R., van Noordwyk, M., Cadich, G. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi. Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF. Bogor. 187p. Hairiah, K., Utami, S. R., Lusiana, B., van Noordwijk, M. 2003. Neraca Hara dan Karbon dalam Sistem Agroforestry. p.105-124. Dalam: Pengantar Agroforestry. Bahan Ajar 6. Word Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor:. Hairiah, K., Murdiyarso, D. 2007. Alih Guna Lahan dan Neraca Karbon Teresterial. Word Agroforestry Centre-ICRAF. SE. Asia. BogorIndonesia. 88p. Hairiah K., Rahayu S. 2007. Pengukuran ‘Carbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya. Indonesia. 77 p. Hairiah, K., van Noordwijk, M., Suprayogo, D. 2009. Interkasi antara PohonTanah-Tanaman: Kunci keberhasilan atau kegagalan dalam sistem agroforestry. P.19-39. Dalam: Pengantar Agroforestry. Bahan Ajar 2. Word Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Hakim, N., Nyakpa, Y., Lubis, A.M., Sutopo G.N., Diha, A., Hong, G.O. B., Bailey, H.H. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung. Handayanto, E., Cadisch, G., Giller, K. E. 1994. Nitrogen release from prunings of legume hedgerow trees in relation to quality of the prunings and incubation method. Plant and Soil. 160 (2): 237-248.
144
Handayanto, E., Cadisch, G., Giller., K. E. 1997. Regulating N Mineralization from Plant Recidues by Manipulation of Quality. P.175-185. In: G. Grdisch and K.E. Giller (eds.). Driven by nature plant litter quality and decompocition CAB International, Wallingford. Handayanto, E. 1999. Komponen biologi tanah sebagai bioindikator kesehatan dan produktivitas tanah. Pidato Pengukuhan jabatan Guru Besar Madia dalam ilmu Biologi Tanah pada Fakultas PertanianUniversitas Brawijaya. Malang. Handayanto, E., Ismunandar, S. 1999. Seleksi bahan organik untuk peningkatan sinkronisasi nitrogen pada Ultisol Lampung. J. Habitat. 2 (109 ): 37- 47. Haraguchi, A., Kojima, H., Hasegawa, C., Tacahashi, Y., Lyobe, T. 2002. Decomposition of organic matter in peat soil in a minerotrophic mire. Europ. J. of Soil Biology. 38: 89-95. Hartemink, A. E. 2001, Biomassa and nutrien accumulation of Piper aduncum and Imperata cylindrica fallows in the humid lowlands of Papua New Guinea. Forest Ecology and Management. 144: 19-32.
Haynes, R. J. 1986. The Decomposition Process: Mineralization, Immobilization, Humus Formation and Degradation. p.52-109. In: R. J. Haynes (ed.). Mineral Nitrogen in the Plant Soil Systems. Academic Press .Inc. London. Hikmat, A. 2005. Biomass estimmation, carbon storage and energy content of three virgin jung reserves in Peninsular Malaysia. Media Konservasi. 10(2): 1- 8 ICRAF. 1997. Using the wild sunflower tithonia, in Kenya- For Soil Fertilitry and Crop Yield Improvement. Nairobi. Kenya. Jastrow, J.D., Boutton, T.W., Miller, R.M. 1996. Carbon dynamics of aggregateassociated organic matter estimated by carbon-13 natural abundance. Soil Sci. Soc. Am. J. 60:801-808. Jime´nez, J.J., Lal, R., Leblanc, H.A., Russo, R.O. 2009. Soil C pool under native tree plantations in the Caribbean lowlands of Costa Rica. Forest Ecology and Management. 241: 134-144. Juma, N.G. 1998. The Pedosphere and its Dinamycs A System: Approach to Soil Science. Canada Quality Color Press Inc. 315p. Karlen, D.L., Mausbach, M. J., Doran, J.W., Cline, R.G., Harris, R. F., Schuman. G. E. 1997. Soil quality: A concept, definition, and framework for evaluation. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:4-10.
145
Kimble, J.M., Lal, R., Ruttan, L., Folett, R. F. 2002. Agricultural Practices and Polices for Carbon Sequestration in Soil. Lewis Publisher. 512p. Komatsuzaki, M., Syaib, M.F. 2010. Comparison of the Faring System and Carbon Sequestration between Conventional and Organic Rice Production in West Java, Indonesia. 933p. Kuo, S., Sainju, U.M., Jellum, E. J. 1997. Winter cover crop effects on soil organic carbon and carbohydrate in soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:145152. Lal, R. 1995. Erosion crop productivity relationships for soils of Africa. Soil Sci. Soc. Am. J. 5: 661-667. La1, R. 1998. Soi1 erosion impact on agronomic productivity and environment quality. Plant Sciences. 17: 319-464. Lal, R.,
Rgnier, E., Eckert, D.I., Edwards, W.N., Hammond, R. 2000. Espectation of cover crop for sustainable agriculture. SWCS. For Individual Use Only.
Lal, R; Kimble, J.M., Follett, R. F., Stewart, H.A. 2001. Assesment method for soil carbon. Lewis Publisher. 676p. Lal, R. 2006. Enhancing crop yields in the devolopping countries through restoration of the soil organic carbon pool in agricultural lands. Land Degrad. Devolopping. 17: 197-209. Larson, W.E., Pierce, F.J. 1994. The dynamics of soil quality as a measure of sustainable management. p.37-51. In: J.W. Doran, D.C. Coleman, D.F. Bezdicek, and B.A. Stewart (eds.), Defining Soil Quality for a Sustainable Environment. SSSA Spec. Pub. No. 35, Soil Sci. Soc. Am., Am. Soc. Argon., Madison, WI. Lines-Kelly, R., Mcleod,M., Tinning, G., Slavich, P., Tinning, G., Iskandar, T., Moore, N., Rachman, A., Jenikins, A., Cox, J. 2009. Panduan untuk Petani Mengenai Kehidupan Organisme Tanah. Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Rekonstruksi dan Pembangunan. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Lipper, G.W., Uren, N.C. 1993. Soil Carbon and Soil Health. Soil Science, an introduction (5th edn ed). Melbourne. Melboirne University Press. Liu, X., Herbert, S.J., Hashemi, A.M. Zhang, X., Ding, G. 2006. Effects of agricultural management on soil organic matter and carbon transformation-a review. Plant. Soil Environ. 56(12): 531–543. Mafangoya, P.C., Dzowela, B.H., Nair, P.K. 1997. Effect of multipurpose trees, age of cutting and drying method on prunning quality. p.167-174. In G.
146
Gradisch and K.E. Giller (eds), Driven by Nature Plant Litter Quality and Decomposition. CAB International, Wallingford. Maswar. 2005. Kecepatan dekomposisi biomassa dan akumulasi karbon pada konversi lahan Gambut menjadi perkebunan Kelapa Sawit. p.165-174. Dalam: Proseding Pertemuan Teknik Kehutanan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Milne,
E. 2009. Soil Organik Carbon in Encyclopedia of Earth. Cutler J. Cleveland (ed.) http://www.eoearth.org/article/Soil_organic_carbon diakses tanggal 2 Maret 2012.
Myers, R.J.K.,.van Noordwijk, M., Vityakon, P. 1997. Synchrony of nutrient release and plant demand: Plant litter quality, soil environment and farmer management option. p.215-232. In: G. Grdisch and K.E. Giller (eds.) Driven by Nature Plant Litter Quality and Decomposition. CAB International, Wallingford. Murwira, H.R. 1994. Synchrony relationship of nitrogen release and plant uptake in a Zimbabwean sandy soil amended with manure and fertilizer nitrogen. African Crop Science J. 2(1): 69-77 Naidu, M., 1981. “Studies on the appropriate proportion of organic and chemical fertilizer” (tesis). Tannil Naidu Agric. Univ.Coimbatre. Nardi, S., Morari, F., Berti, A., Tosoni, M., Giardini, L. 2004. Soil organic matter properties after 40 years of different use of organic and mineral fertilisers. Europ. J. Agronomy. 21: 357-367. Odihiambo, J.J., Bomke, A.A. 2001. Grass legume cover crop effect on dry matter and nitrogen acumulation. Agron. J. 93: 299-307. Oladoye, A. O., Ola-Adams, B.A., Adeire, M.O., Agboola, D.A. 2005. Nutrient dynamics and litter decomposition in Leucena leucocephala (Lam.) de Wit Plantation in the Nigerian Derived. West African of Applie Ecology. Volume 13. Olson, K.R., Ebelhar, S., Lang, A., James, M. 2010. Cover crop effects on crop yields and soil organic carbon content. Soil Science. 175:89-98. Palm, C. A., Sanchez, P. A. 1991. Nitrogen release from the leaves of some tropical legumes as effected by their lignin and polyphenolic contents. J. of Biology and Biochemistry. 23: 83-88. Palm, C.A., Myers, R.J.K., Mandawa, S.M. 1997. Combines use of organic and inorganic nutrient sources for soil fertility maintenance and replenishment. Soil Sci. Soc. Am. J. (Spec. Publ.51): 193-217.
147
Palm, C.A., Gachengo, C.N., Delve, R.J., Cadisch, G., Giller, K.E. 2001. Organic inputs for soil fertility management in tropical agroecosystems: application of an organic resource database. Agriculture, Ecosystem and Environment. 83, 27-42. Peradeniya, R. M. A. 2000. Integrated Plant Nutrient Systems. Training Manual. The Fertilizer Advisory Development Information Network for Asia and the Pacific (FADINAP), Sri Lanka. Pettifer, J. 2003. Sustainable Agriculture. Global crisis centre. BBC Vidio Report-The Magic Bean, Juni 2001. Last update: Januari 17 2003. http://globalcrisis.info/sustainable.html. Diakses tanggal 10 Maret 2013 Power, J.F. 1987. Legumes: Their potential role in agricultural production. Am. J. of Alter. Agric. 2(2): 69-73. Prayogo, C., Hairiah, K., van Noordwijk, M. 2000. Kuantifikasi modal dan distribusi karbon dalam system tebang bakar pada lahan berlereng di Rantau Pandan, Jambi, Agrivita J. 22 (2) 91-102. Purwanto, H. 1997. “Penambahan berbagai dosis pangkasan daun tanaman gamal (Gliricidia sepium) untuk penurunan konsentasi alumunium inorganik monomerik pada Ultisol Lampung dan Gajrug: Hubungan antara Konsentrasi Alumunium monomerik dengan Pertumbuhan Perakaran Tanaman Jagung (Zea mays L.)” (skripsi). Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Purwanto.H. 2007. Mengenal Lebih Dekat Tanaman Leguminosae. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Rachman, A., Dahria, A., Santoso, J. 2006. Pupuk Hijau. p.41-58. Dalam: R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik (eds.). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Petranian. Bogor. Rao, S.N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta: UI Press. Reinjtjes, C., Havercort, B., Waters-Beyer, A. 1999. Pertanian Masa Depan (Y. Sukoco, Penerjemah). Yokyakarta: Penerbit Kanisius. Rogers, H. 2002. Litterfall, decomposition and nutrient release in a lowland tropical rain forest, Morobe Province, Papua New Guinea. J. of Tropical Ecology. 18: 449-456.
Regina, I.S., Tarazona. 2001. Nutrient pools to the soil through organic matter and throughfall under a Scot pine plantation in the Sierra de la Demada, Spain. Europ. J. of Soil Biology, 37: 125-133.
148
Ribeiro, C., Madeira, M., Ataujo, M.C. 2002. Decomposition and nutrient release from leaf litter of Eucalyptus globulus grown under different water and nutrient regimes. Forest Ecology and Management. 171: 31-41. Ruddiman, W. 2007. Losses of soil carbon Plows, Plagues, and Petroleum: How Humans Took Control of Climate. Princeton, NJ: Princeton University Press. 202p. Rupa, M., Agung, IG.A.M.S. 2003. Pengaruh pengelolaan sisa tanaman pasca bera terhadap beberapa sifat fisik dan kimia tanah serta hasil jagung. Agritrop (Jurnal ilmu-ilmu Pertaian). Vol. 22 (3): 95-104.
Saetre, P. 1998. Decomposition, microbial community structure and earthworm effects along a birch-spure soil gradient. Ecology J. 79: 834-846. Samosir, S.S.R. 2000. Pengelolaan Lahan Kering. Program Pascasarjana Universitas Hasanudin. Makasar. 203p. Sanchez, P.A. l992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. (Johana T. Jayadinata, Penterjemah). Bandung: Penerbit ITB. Sarrantonio, M. 2007. Building Soil Fertility and Tilth Cover crops. In: Managing Cover Crops Profitably (Third Edition): Handbook Series Book 9. MD A publication of the sustainable agriculture network with funding by the Sustainable Agriculture Research and Education Program of CSREES, U.S.Department of Agriculture. Semaoen, M.I., Agustina, L., Somarno. 1991. Pendekatan sistem usahatani yang berkelanjutan di lahan kering. p.1-16. Dalam: Proseding Simpoisum Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991. Seremecic, S., Milosev, D., Djalovic, L., Zeremski, T., Ninkov, J. 2011. Management of soil organic carbon in maintaining soil productivity and yield stability of winter wheat. Plant Soil Environ. J. 57 (5): 216-221. Shimamura, T., Momose, K. 2005. Organic matter dynamics control plant species coexistence in a tropical peat swamp forest. p.1503-1510. In proceedings of the Royal Sociaety: B272. Six, J., Elliott, R.T., Paustoin, K., Doran, J.W. 1998. Agregation and soil organic matter accummulation in native grassland soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 65: 1367-1377. SSSA (Soil Science Society of America) . 1987. Glossary of soil science terms. Soil Science Society of America. Madison, W1:p44.
149
Suberkropp, K., Godshalk, G.L., Klug, M.J. 1976. Change in the chemical composition of leaves during processing in a woodland stream, Ecology J. 57: 720-727. Sugito, Y., Yulia N., Ellis, N. 1995. Sistem Pertanian Organik. Malang: Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.83p. Sulaeman, Suparto, Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisisi Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertaian R.I. 136p. Sulistiyanto, Y., Rieley, J.O., Lemin, S.H. 2005. Laju dekomposisi dan pelepasan hara dari serasah pada dua sub tipe hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah. Trop. For. Manage. J. XI (2): 1-14. Supriyadi. 2003. Studi penggunaan biomassa Thitonia diversifolia dan Tephosia candida untuk perbaikan P dan hasil jagung di Andisol (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang. Surhone, L. M., Tennone, M.T., Henssonow, S.F. 2010. Soil Carbon. VDM Verlag. Dr. Muller AG & Co.kg. 132p. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 219p. Suwardji., Tejowulan, S. 2002. Pertanian Lahan Kering di Propinsi NTB, Prospek dan Kendala Pengembangannya. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Sumberdaya Lokal di Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta. Suwardjo. 1981. “Peranan sisa-sisa tanaman dalam konservasi tanah dan air pada lahan usahatani tanaman semusim” (disertasi). Bogor: Fakultas Pascasarjana IPB. Suwardjo, H., Muljadi, Sudirman. 1987. Prospek tanaman Benguk (Macuna) untuk rehabilitasi tanah Podsolik yang dibuka secara mekanis di Kumang Kuning Jambi. Proseding Penelitian Tanah Bogor. No.7 : 513- 521. Sutedjo, M. M., Kartasapoetra, A.G., Sastroatmojdo, R.D.S. 1991. Mokrobiologi Tanah. Jakarta: Rineka Cipta. 447p. Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reaction. Second Ed. New York: John Wiley & Sons. Inc. 496p. Steenwerth, K., Belina, R.J. 2008, Cover crops enhance soil organic matter, carbon dynamics and microbiological function in a vineyard agroecosystem. Journal homepage: www.elsevier.com/locate/apsoil. Applied Soil Ecology. 40:359- 369.
150
Tadjang. M.H. 1990. Klimatologi Pertanian. Program Pascasarjana Universitas Makasar. Temel, S. 2003. Litter decomposition of Picea orientalis, Pinus sylvestris and Costanea sativa trees crown in artvin in relation to their initial title quality variabels. Turkey Agric. For. 27: 233-243. Tian, G., Kang, B. T., Brussand. 1992. Soil Biology and Biochemistry: Biological Effects of Plant Residues with Contrasting Chemical Compositions and Nutrient Release. Tisdale, S.L., Nelson, W.L., Beaton, J.D. 1985. Soil and Fertilizer Potassium. Ch. 7. p.249-291. In: S.L. Tisdale, W.L. Nelson, and J.D. Beaton (eds.). Soil Fertility and Fertilizers, 4th ed. New York : Macmillan,. Tornquist, C. G., Mielniczuk, J., Cerri, C.E.P. 2009. Modeling soil organic carbon dynamics in Oxisols of Ibiruba´ (Brazil) with the Century Model. Soil & Tillage Research. Soil & Tillage Research. 105 (2009) 33–43. A journal homepage: www.elsevier.com/locate/still. Torreta, N.K., Takeda, H. 1999. Carbon and nitrogen dynamics of decomposing leaf litter in tropical hill evergreen forest, Europ. J. of Soil Biologi, 45: 5763. Utomo, W.H. 1994. Erosi dan Konservasi Tanah. IKIP. Malang. Utomo, W.H., Sitompul, S.M., van Noordwijk, M. 1995. Effect of leguminous cover crop on subsequent maize and soybean crops an Ultisol in Lampung. Agrivita J. 15 (1): 44-53. Wang, Q., Li, Y., Alva, A. 2010. Growing cover crops to improve biomass accumulation and carbon sequestration: A Phytotron Study. J. of Environmental Protection. 1(2): 73-84. West, T.O., Post, W.M. 2002. Soil carbon sequestration by tillage anf crop rotation: a global data analysis. Soil Sci. Soc. Am. J. 66 (1): 930- 946. Widati, S. 2007. Respirasi tanah. p.165-170. Dalam: Rasti Saraswati, Edi Husen, R.D.M. Simanungkalit, (eds.). Metode Analisisi Biologi Tanah Balai Besar Litabang Sumberdaya Pertanian. Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian. Departemen Pertanian. Wiesje, J.N.K. 2008. Seleksi bahan organik untuk peningkatan sinkronisasi Nitrogen pada Ultisol Lampung. Soil and Vironment J. 2 (2): 98-102. Wilson, G.F., Okigbo, R. 1982. Effect of cover crops on soil structure and on yield of subsequent arable crops grown under strip tillage on an eroded Alfisol. Soil and Tillage Research. 2 (3):233-250.
151
van Noordwijk, M., Widianto, M.N., Sitompul, S.M, Hairiah, K., Guritno, B. 1992. Nitrogen management under high rainfal condition for shallow rooted crops: principles and hypotesis. Agrivta J. 15 (1): 10-18. Vyn, T. J., Janovicek, K,J., Miller, M.H., Beauchamp, E.G. 1999. Soil nitrate accummulation and corn response to proceding small-grain fertilization and cover crop. Agron. J. 91: 17-24. Young, A. 1989. Agroforestry for Soil Conservation.CABI International: 105-108.
152
Lampiran 1 Analisis Sifat Tanah Percobaan No
Sifat tanah
1
Sifat fisik tanah a. Tekstur tanah Liat (%) Debu (%) Pasir (%) b. Stuktur c. Konsistensi d. Bobot isi e. Warna tanah f. Kedalaman solum g. Kadar air kapasitas lapang Sifat kimia a. pH H2O b. C-organik c. N-total d. P-tersedia e. K-tersedia
2
Sumber:
Nilai Liat 72,74% 18,35% 8,91% Blocky teguh 1,29 g cm-3 10 R 4/6 (Cokelat kemerahan) Tipis (30-35 cm 30% 6,55 (Netral) 1,365% (Rendah) 0,16% (Rendah) 20,55 ppm (Rendah) 192,04 ppm (Sedang)
Hasil analisis Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Juni 2012
153
Lampiran 2 Deskripsi Jagung Varietas Lamuru Tanggal dilepas Asal Umur Masak fsiologis Batang Warna Batang Tinggi tanaman Daun Warna daun Keragaman tanaman Perakaran Malai Warna anthera Warna rambut Tongkol Tinggi letak tongkol Kelobot Tipe biji Warna biji Baris biji Jumlah Baris/tongkol Bobot 1000 bji Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan Daerah sebaran Pemulia Teknisi
: 25 Februari 2000 : Dibentuk dari 3 galur GK. 5 galur SW1, GM4, GM 12, GM15. GM11 dan galur SW3 : 50% keluar rambut: 55 hari : 90 – 95 hari : Tegap : Hijau : + 190 cm (160 – 210 cm) : Panjang : Hijau : Agak seragam : Baik : Semi kompak : Coklat mudah (80%) : Coklat keunguan (75%) : Panjang dan silidris : + 90 cm (85 – 110 cm) : Tertutup dengan baik (75%) : Mutiara (fint) : Kuning : Lurus : 12 – 16 baris : + 275 g : 5,6 t ha-1 7,6 t ha-1 : Cukup tahan terhadap penyakiot bulai (Penonosclerospora maydis) dan karat daun : Dataran rendah sampai 600 m dpl. : Mustari Basir, Masrum Dahlan, Made J. Mejaya, Arbi Mappe dan Firdaus Kasim : Wisnu Undoyo, Arifiddin, Stefanus Misi, Ulfa Aliawati
154
L0
L3
L1
L4
L2
L3
L0
BLOK I L1
L4
L2
BLOK II L4
L2
L3
L1
L0
BLOK III L2
L1
L3
L4
L1
BLOK IV Keterangan: L0 : tanpa LPT L1 : LPT C. pubescens Benth. L2 : LPT M. pruriens L. L3 : LPT C. usaramoensis L. L4 : LPT P. lunatus L.
Ukuran petak: 18 x 4 m Jarak antar petak : 1 m Jarak antar Blok: 1,5 m
Lampiran 3 Denah percobaan lapangan (percobaan 3) dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL)
155
a r a h
k e s u b u r a n
4m
ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖAЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж ЖA Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ Ж Ж Ж Ж Ж ЖЖ Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ ЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖЖ
Keterangan: Ж : barisan legum penutup tanah (LPT) A: plot pengambilan sampel destruktif (ukuran 1x1m2)
Lampiran 4 Ukuran petak pada percobaan 3 dan plot pengambilan sampel LPT
156
18 m
L0I30
L1I30
L3I10
L4I10
L2I20
L0I10
L1I10
L3I10
L4I30
L2I30
L0I20
L1I20
L3I30
L4I20
L2I10
BLOK I
L1I30
L4I30
L2I10
L3I10
L0I30
L1I10
L4I10
L2I30
L3I20
L0I20
L1I20
L4I20
L2I20
L3I30
L0I10
BLOK II
L4I10
L2I30
L3I10
L1I10
L0I30
L4I30
L2I10
L3I30
L1I20
L0I20
L4I20
L2I20
L3I20
L1I30
L0I10
BLOK III Keterangan:: Petak Utama/sama dengan percobaan 3: L0 : lahan tanpa tanaman penutup tanah L1 : lahan bekas LPT C. pubescens Benth. L2 : lahan bekas LPT M. pruriens L. L3 : lahan bekas LPT C. usaramoensis L. L4 : lahan bekas LPT P. lunatus L.
Anak Petak: Pengelolaan Biomassa LPT I1: inkubasi 10 hari sebelum penanaman jagung I2: inkubasi 20 hari sebelum penanaman jagung I3: inkubasi 30 hari sebelum penanaman jagung
Lampiran 5.a Denah percobaan lapangan dan pengacakan pada percobaan 4 yang disusun dalam Rancangan Petak Terpisah (RPT)
157
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
A
Anak petak 5x4m
Petak utama 18 x 4 m
Keterangan: ϓ : barisan tanaman jagung A: plot ubinan/sampel panen (ukuran 2 x 2 m2)
Lampiran 5.b Ukuran anak petak, petak utama dan plot pengambilan sampel ubinan pada percobaan 4
158
Lampiran 7 Analisis ragam kadar air (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1 Sumber Keragaman
db
10 hst Kelompok 2,47tn 2 Perlakuan 14,34** 7 Jenis biomasa LPT (L) 3 5,39* Metode Aplikasi (A) 83,78* 1 Interaksi (LxA) 0,15tn 3 Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
F hitung 20 hst 30 hst 6,80* 13,16** 38,95** 89,31** 19,74** 85,90** 208,23** 355,93** 1,74tn 3,84tn
40 hst 21,29** 36,91** 17,47** 203,39** 0,85tn
Lampiran 8 Analisis ragam kehilangan berat (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1 Sumber Keragaman
F hitung
db
10 hst 20 hst Kelompok 11,60* 2 9,14** Perlakuan 44,53** 7 100,25** Jenis biomasa LPT (L) 3 29,45** 61,19** Metode Aplikasi (A) 188,37** 1 456,10** Interaksi (LxA) 11,67** 3 20,69** Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1%
30 hst 6,45* 231,19** 146,62** 1015,14** 54,45**
40 hst 11,88* 65,22** 1142,49** 25,01** 201,88**
Lampiran 9.a Analisis ragam pelepasan C-organik (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1 Sumber Keragaman
F hitung
db
10 hst Kelompok 2 11,42* Perlakuan 7 47,04** Jenis biomasa LPT (L) 3 28,30** Metode Aplikasi (A) 1 172,14** Interaksi (LxA) 3 7,77tn Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
159
20 hst 7,05* 698,22** 394,17** 3021,38** 227,88**
30 hst 8,41* 237,67** 121,17** 1225,16** 25,00**
40 hst 16,91** 931,99** 373,57** 5228,19** 58,35**
Lampiran 9.b Analisis ragam pelepasan N (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1 Sumber Keragaman
db
F hitung 10 hst
20 hst
30 hst
Kelompok 2 6,30* 6,80* Perlakuan 7 34,87** 314,04** Jenis biomasa LPT (L) 3 31,06** 149,47** Metode Aplikasi (A) 1 125,57** 1555,32** Interaksi (LxA) 3 8,44** 64,84** Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1%
1,52* 162,52** 43,21** 964,35** 14,56**
40 hst 10,32* 375,53** 67,53** 2402,58** 7,85**
Lampiran 9.c Analisis ragam pelepasan P (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1 Sumber Keragaman
db
F hitung 10 hst
Kelompok 2 18,90** Perlakuan 7 15,11** Jenis biomasa LPT (L) 3 9,05** Metode Aplikasi (A) 1 77,58** Interaksi (LxA) 3 0,36tn Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
20 hst
30 hst
40 hst
13,71** 143,24** 64,18** 735,40** 24,92**
13,28** 74,37** 29,77** 412,80** 6,16**
6,03* 140,45** 56,38** 794,61** 6,48**
Lampiran 9.d Analisis ragam pelepasan K (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1 Sumber Keragaman
db
F hitung 10 hst
20 hst
Kelompok 2 5,66* 13,17** Perlakuan 7 19,55** 419,23** Jenis biomasa LPT (L) 3 13,10** 217,17** Metode Aplikasi (A) 1 88,93** 1986,47** Interaksi (LxA) 3 2,88tn 98,87** Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
160
30 hst 12,73** 279,56** 121,43** 1480,88** 37,24**
40 hst 8,14* 151,30** 105,99** 669,44** 23,90**
Lampiran 9.e Analisis ragam pelepasan Ca (%)dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1 Sumber Keragaman
db
F hitung 10 hst
20 hst
Kelompok 2 9,44* 5,70* Perlakuan 7 161,45** 478,20** Jenis biomasa LPT (L) 3 92,22** 215,58** Metode Aplikasi (A) 1 779,06** 2478,08** Interaksi (LxA) 3 24,82** 74,19** Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
30 hst 7,25* 600,44** 175,44** 3450,01** 75,58**
40 hst 8,45* 356,68** 99,92** 2112,00** 28,35**
Lampiran 10 Analisis ragam konstanta laju dekomposisi (k) biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada percobaan 1 F hitung 10 hst 20 hst 30 hst Kelompok 2 10,89* 8,54* 8,70** Perlakuan 7 41,77** 804,30** 314,50** Jenis biomasa LPT (L) 3 27,77** 486,50** 184,20** Metode Aplikasi (A) 1 174,44** 3164,98** 1320,36** Interaksi (LxA) 3 11,54** 335,20** 109,51** Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata Sumber Keragaman
db
40 hst 8,36* 240,22** 128,58** 121,61** 391,39**
Lampiran 11 Analisis ragam total koloni mikroba biomasa LPT setelah 40 hari masa dekomposisi, pada percobaan 1 Sumber Keragaman Kelompok
Db
F hitung
Perlakuan 7 Jenis biomasa LPT (L) 3 Metode Aplikasi (A) 1 Interaksi (LxA) 3 Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
161
13,10** 124,07** 67,29** 508,99** 52,55**
Lampiran 12 Analisis ragam kadar N total tanah (mg kg-1) selama fase vegetatif jagung, pada percobaan 2 F hitung N total tanah, pada Sumber Keragaman db 15 hst 30 hst 45 Perlakuan 12 31,00** 16,42** 21,72** Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%,
hst: hari setelah tanam
Lampiran 13 Analisis ragam kadar N tersedia tanah (mg kg-1) selama fase vegetatif jagung, pada percobaan 2 F hitung N tersedia tanah, pada Sumber Keragaman db 15 hst 30 hst 45 Perlakuan 12 258,71** 190,05** 330,25** Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%,
hst: hari setelah tanam
Lampiran 14 Analisis ragam serapan N tanaman jagung (mg kg-1) selama fase vegetatif, pada percobaan 2 F hitung serapan N tanaman jagung, pada Sumber Keragaman db 15 hst 30 hst 45 Perlakuan 12 17,26** 63,18** 51,56** Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%,
hst: hari setelah tanam
Lampiran 15 Analisis ragam bobot kering total tanaman jagung (g tanaman-1) selama fase vegetatif jagung, pada percobaan 2 F hitung Bobot kering total, pada Sumber Keragaman db 15 hst 30 hst 45 Perlakuan 12 4,14** 27,47** 20,19** Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%, hst: hari setelah tanam
Lampiran 16 Analisis ragam prosentase penutupan tanah (%), pada percobaan 3 F hitung Pentupan lahan, pada Sumber Keragaman db 1 bst 2 bst 3 bst Kelompok 3 4,71* 12,82** 4,17* Perlakuan 19 355,47** 786,50** 2906,92** Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%; **: F hitung nyata pada taraf 1% bst: bulan setelah tanam
162
Lampiran 17 Analisis ragam kadar air tanah (%) selama masa bera, pada percobaan 3 F hitung Kadar air tanah Sumber db Keragaman 1 bts 2 bst 3 bst 4 bst 5 bst Kelompok 3 7,512** 7,64** 8,91** 8,28** 10,14** Perlakuan 19 0,31tn 17,48** 92,83** 170,53** 153,46** Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak berbeda nyata bst: bulan setelah tanam
Lampiran 18 Analisis ragam suhu tanah (oC) selama masa bera, pada percobaan 3 F hitung Suhu tanah Sumber db Keragaman 1 bts 2 bst 3 bst 4 bst 5 bst Kelompok 3 3,67* 4,27* 3,63* 10,09** 6,89** Perlakuan 19 4,01* 4,04* 16,95** 32,37** 190,84** Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% bst: bulan setelah tanam
Lampiran 19 Analisis ragam bobot isi tanah (g cm-3) dan porositas tanah (%) pasca bera, pada percobaan 3 F hitung Sumber Keragaman db Bobot isi tanah Porositas tanah Kelompok 3 7,50** 7,50** Perlakuan 19 39,95** 39,95** Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%
Lampiran 20 Analisis ragam produksi biomasa (b.k. t ha-1), serapan C tanaman (t ha-1) dan simpanan C-organik tanah (t ha-1), pada percobaan 3 F hitung Sumber Keragaman db Bobot kering serapan C simpanan Cbiomasa tanaman organik tanah Kelompok 3 9,36** 9,36** 12,18** Perlakuan 19 72,16** 72,16** 15,34** Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%
163
Lampiran 21 Analisis ragam kadar N jaringan tanaman (%) dan N yang tertambat (t ha-1), pada percobaan 3 F hitung Sumber Keragaman db N total Nisbah C/N N yang tanaman tertambat Kelompok 3 10,83** 9,32** 9,32** Perlakuan 19 4724,13** 220** 220,01** Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%
Lampiran 22 Analisis ragam pH tanah, C-organik (%) dan bahan organik tanah (%), pada percobaan 3 F hitung Sumber Keragaman db pH tanah C-organik tanah Bahan organik Kelompok 3 3,05tn 12,76** 12,76** Perlakuan 19 9,49** 44,50** 44,50** Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak berbeda nyata
Lampiran 23 Analisis ragam kadar N total, P tersedia dan kadar K tanah setelah 5 bulan pemberaan, pada percobaan 3 F hitung Sumber Keragaman db N tanah P tersedia K tanah Kelompok 5,13* 8,75** 8,75** Perlakuan 19 13,89** 24,57** 24,57** Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1%
Lampiran 24 Analisis ragam kadar Ca (me 100 g-1 tanah), Mg (me 100 g-1 tanah) dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah (me 100 g-1 tanah) setelah 5 bulan pemberaan, pada percobaan 3 F hitung Sumber Keragaman db Ca tanah Mg tanah KTK Kelompok 3 3,64* 4,43* 4,82* Perlakuan 19 3,97* 5,06* 34,41** Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1%
164
Lampiran 25 Analisis ragam infeksi mikoriza (%) dan total koloni mikroba tanah (cfu), pada percobaan 3 F hitung Sumber Keragaman db Infeksi mikoriza Total koloni mikroba Kelompok 3 8,46** 7,79** Perlakuan 19 1486,05** 38,19** Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1%
Lampiran 26 Analisis ragam simpanan C-organik tanah (t ha-1), bobot isi tanah (g cm-3) dan porositas tanah (%), setelah panen jagung (akhir percobaan 4) F hitung Sumber Keragaman db Simpanan CBobot isi Porositas tanah organik tanah Petak Utama: Kelompok 2 3,74tn Jenis LPT (L) 4 252,06** Anak Petak : Masa Inkubasi (I) 2 28,95** Interaksi (L x I) 8 2,10tn Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
5,98* 199,07**
5,98* 199,08**
26,79** 1,49tn
26,80* 1,49tn
Lampiran 27 Analisis ragam pH tanah, C-organik dan bahan organik tanah, setelah panen (akhir percobaan 4) F hitung Sumber Keragaman db pH C-organik Bahan organik Petak Utama: Kelompok 2 5,4411* Jenis LPT (L) 4 53,3959** Anak Petak : Masa Inkubasi (I) 2 6,4396* Interaksi (L x I) 8 2,2227tn Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
165
13,0562** 658,7139** 6,3898** 0,7383tn
13,0562** 658,7139** 6,3898* 0,7383tn
Lampiran 28 Analisis ragam kadar N total tanah (%) dan kadar K (me 100 g-1 tanah), setelah panen jagung (akhir percobaan 4) F hitung Sumber Keragaman db kadar N tanah kadar K Petak Utama: Kelompok 2 16,45** Jenis LPT (L) 4 241,20** Anak Petak : Masa Inkubasi (I) 2 16,73** Interaksi (L x I) 8 34,39** Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1%
8,0735* 120,7824** 20,9823** 8,3496*
Lampiran 29 Analisis ragam kadar P-tersedia (mg kg-1 tanah ), Ca (me 100 g-1 tanah) dan Mg (me 100 g-1 tanah) dan KTK tanah (me 100 g-1 tanah), setelah panen jagung (akhir percobaan 4) F hitung Sumber Keragaman db P-tersedia Ca Mg KTK Petak Utama: Kelompok 2 5,1992* Jenis LPT (L) 4 51,8508** Anak Petak : Masa Inkubasi (I) 2 13,7856** Interaksi (L x I) 8 4,2720* Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
15,63** 19,68** 3,27tn 1,44tn
5,22* 11,09** 7,40* 0,66tn
3,921* 18,728** 2,853** 3,921**
Lampiran 30 Analisis ragam total koloni mikroba tanah (cfu) dan respirasi tanah (mg CO2 g tanah-1), setelah panen jagung (akhir percobaan 4) F hitung Sumber Keragaman db Total koloni mikroba Respirasi tanah tanah Petak Utama: Kelompok 2 17,51** Jenis LPT (L) 4 147,70** Anak Petak : Masa Inkubasi (I) 2 22,76** Interaksi (L x I) 8 2,23tn Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% ** : F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
166
4,8295* 98,7460** 13,6987** 1,2086tn
Lampiran 31 Analisis ragam panjang tongkol (cm), diameter tongkol (cm) bobot biji tongkol-1 (g), bobot 100 biji (g), pada akhir percobaan 4 F hitung Sumber db panjang diameter bobot biji bobot 100 Keragaman -1 tongkol tongkol tongkol biji Petak Utama: Kelompok 2 15,03** 54,57** Jenis LPT (L) 4 89,57** 622,89** Anak Petak : Masa Inkubasi (I) 2 11,60** 162,04** Interaksi (L x I) 8 1,54tn 2,14tn Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
7,50* 117,42**
14,36** 113,71**
46,73** 2,18tn
52,71** 0,05tn
Lampiran 32 Analisis ragam bobot kering tanaman (t ha-1) dan hasil jagung pipilan kering k.a 15% (t ha-1), pada percobaan 4 F hitung Sumber db Keragaman Bobot kering tanaman Hasil jagung pipilan kering Petak Utama: Kelompok 2 14,43** Jenis LPT (L) 4 35,17** Anak Petak : Masa Inkubasi (I) 2 19,06** Interaksi (L x I) 8 0,81tn Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
12,48** 183,04** 77,52** 1,61tn
Lampiran 33 Analisis ragam bobot kering gulma (g m-2) pada 20 hst dan 40 hst, pada percobaan 4 F hitung Sumber Keragaman db Bobot kering gulma Bobot kering gulma 20 hst 40 hst Petak Utama: Kelompok 2 6,94* Jenis LPT (L) 4 143,58** Anak Petak : Masa Inkubasi (I) 2 12,02** Interaksi (L x I) 8 0,45tn Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5% **: F hitung nyata pada taraf 1% tn : tidak beda nyata
167
1,38tn 31,84** 8,59** 2,20tn
Lampiran 34 Hasil analisis regresi antara simpanan C-organik dengan kualitas tanah, pada percobaan 4 Source Total
SS
Df
6698,22
44
MS
F -
P -
***
Regresion
6696,70
13
515,07
6912,17
0,0000
Bobot isi tanah
5464,54
1
5464,54
7333,39
0,0000***
Porositas tanah
41,89
1
41,89
562,18
0,0000***
pH (H20 1:1) tanah
247,72
1
247,72
3324,33
0,0000***
Kadar C tanah
938,51
1
938,51
12594,61
0,7055ns
Bahan organik tanah
0,10
1
0,10
0,145
0,528ns
Kadar N total tanah
0,37
1
0,37
4,93
0,0338*
P-tersedia tanah
0,04
1
0,04
0,05
0,4722ns
K-dd tanah
1,51
1
1,51
20,21
0,0001***
Ca tanah
0,001
1
0,001
0,02
0,8909ns
Mg tanah
0,13
1
0,13
1,74
0,1960ns
KTK tanah
0,55
1
0,55
7,32
0,0110*
Koloni mikroba tanah
0,001
1
0,001
0,02
0,8863ns
Respirasi tanah
0,65
1
0,65
8,72
0,0060**
Error
2,31
31
0,07
-
168
Lampiran 35 Hasil analisis regresi antara hasil jagung dengan simpanan Corganik dan kualitas tanah, pada percobaan 4 Source
SS
Df
MS
F
P
Total
84,43
4
-
-
-
Regresion
79,37
14
5,67
33,69
0,0000***
Simpanan C-organik
58,37
1
58,37
346,89
0,0000***
Bobot isi tanah
5,66
1
5,66
33,63
0,0000***
Porositas tanah
3,13
1
3,13
18,63
0,0002***
pH (H20 1:1) tanah
1,28
1
1,28
7,62
0,0097**
Kadar C tanah
2,92
1
2,92
17,36
0,0002***
Bahan organik tanah
0,06
1
0,06
0,41
Kadar N total tanah
2,52
1
2,52
14,98
0,0005***
P-tersedia tanah
0,09
1
0,09
12,47
0,001*
K-dd tanah
0,86
1
0,86
5,12
0,031*
Ca tanah
0,05
1
0,05
0,30
0,585ns
Mg tanah
0,85
1
0,85
4,73
0,069ns
KTK tanah
0,25
1
0,25
1,49
0,230ns
Koloni mikroba tanah
0,04
1
0,04
0,22
0,064ns
Respirasi tanah
0,82
1
0,82
4,85
0,350ns
Error
5,05
30
0,17
-
169
0,528ns
Lampiran 36 Peta Adminstratif Kabupten Kupang Propinsi NTT, yang menjadi lokasi penelitian
Lokasi Desa Oelnasi, Kecam atan Kupang Tengah,
170