II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Siklus Hidrologi Siklus hidrologi dapat digambarkan sebagai proses sirkulasi air dari lahan,
tanaman, sungai, danau, laut serta badan air lainnya yang ada di permukaan bumi menuju atmosfer akibat penguapan serta turunnya kembali air tersebut baik dalam bentuk hujan, salju dan lainnya yang terus berulang. Tahapan pertama dari daur hidrologi adalah penguapan air. Uap ini dibawa di atas daratan oleh massa udara yang bergerak. Bila didinginkan hingga titik embunnya, maka uap tersebut akan membeku menjadi butiran air membentuk awan atau kabut. Butiran-butiran air kecil itu akan berkembang cukup besar untuk dapat jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan. Siklus hidrologi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan distribusi dan pergerakan air di bumi. Hal tersebut merupakan suatu sistem operasi dinamis dan proses interaktif yang mengendalikan kerangka berfikir pada studi teoritis di bidang hidrologi. Selanjutnya, kenyataan bahwa pada sistem sirkulasi faktor keseimbangan harus diperhitungkan dalam penerapannya di semua aspek hidrologi (Waston and Burnett 1995). Hujan yang jatuh ke bumi secara langsung menjadi aliran permukaan maupun tidak langsung melalui vegetasi atau media lainnya, akan membentuk siklus aliran air mulai dari tempat yang tinggi (gunung, pegunungan) menuju ke tempat yang rendah baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah yang berakhir di laut (Kodoatie et al. 2008). Selama siklus, presipitasi yang turun ke bumi akan mengalami beberapa proses diantaranya aliran interception (aliran pada batang, ranting pohon), sebagian lainnya yang jatuh di permukaan tanah akan meresapkan ke dalam tanah dalam bentuk-bentuk infiltrasi, perkolasi, kapiler dan sisanya akan menjadi aliran permukaan (runoff). Air yang masuk ke dalam tanah akan mengisi pori-pori tanah dan akan membentuk suatu aliran air di dalam tanah. Menurut Kodoatie et al (2008) Aliran air tanah dapat dibedakan menjadi aliran tanah dangkal, aliran tanah dalam, aliran tanah antara dan aliran tanah dasar (base flow). Disebut aliran dasar
6
karena aliran ini merupakan aliran yang mengisi sistem jaringan sungai. Skema siklus hidrologi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Skema siklus hidrologi (Neitsch et al. 2010) Aliran permukaan terdiri dari dua jenis. Stream flow untuk aliran air yang berada dalam sungai atau saluran, dan surface runoff (overland flow) untuk aliran yang mengalir di atas permukaan tanah (Arsyad 2006). Akibat panas matahari air di permukaan bumi juga akan berubah wujudnya menjadi gas/uap dalam bentuk evaporasi dan bila melalui tanaman disebut transpirasi. Proses pengambilan air oleh akar tanaman kemudian terjadinya penguapan dari dalam tanaman disebut sebagai evapotranspirasi (Kodoatie et al. 2008). Waston and Burnett (1995), secara skematis siklus hidrologi dapat ditunjukkan pada beberapa proses utama yang terlibat dalam gerakan air di dalam siklus yaitu: -
Evaporasi dari permukaan badan air, khususnya di laut
-
Evapotranspirasi kombinasi dari transpirasi tanaman dan evaporasi permukaan
7
-
Presipitasi baik dalam bentuk hujan dan salju
-
Infiltrasi ke dalam tanah dan bebatuan yang berkontribusi terhadap sistem air
-
Runoff yang terjadi di permukaan menuju badan air dipermukaan tanah seperti sungai dan danau
-
Pengisian kembali dari akuifer dan sungai ke laut, reservoir dimana siklus akan dimulai kembali
Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir (tingginya runoff) dibandingkan dengan faktor lainnya. Apabila suatu hutan yang berada dalam suatu daerah aliran sungai diubah menjadi pemukiman, maka debit puncak sungai akan meningkat antara 6 sampai 20 kali. Angka tersebut tergantung dari jenis hutan dan jenis pemukiman (Kodoatie et al. 2008). Selanjutnya, faktor penutupan lahan vegetasi cukup signifikan dalam pengurangan ataupun peningkatan aliran permukaan. Hutan yang lebat mempunyai tingkat penutup lahan yang tinggi, sehingga apabila hujan turun, faktor penutupan lahan ini akan memperlambat kecepatan aliran permukaan, bahkan bisa terjadi kecepatan mendekati nol.
2.2
Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu
hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh keadaan topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama menuju laut. Keberadaan DAS berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan yakni dibatasi sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut.
8
Ketersediaan air pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya iklim, proses hidrologi, kondisi topografi dan geologi tanahnya, jenis vegetasi yang ada di atasnya. Ketersediaan air yang tersedia pada suatu DAS adalah debit aliran minimum yang dapat tersedia pada setiap saat meskipun pada musim kemarau yang ditinjau pada keluaran (outlet) daerah tersebut. Menurut Seyhan (1977), faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya runoff antara lain: 1. Besarnya presipitasi 2. Besarnya evapotranspirasi 3. Faktor DAS yang meliputi ukuran dan bentuk DAS, topografi, jenis tanah dan penggunaan lahan Menurut Arsyad (2006), Kemiringan lahan sangat erat hubungannya dengan besarnya erosi. Semakin besar kemiringan lereng, peresapan air hujan ke dalam tanah menjadi lebih kecil sehingga limpasan permukaan dan erosi menjadi lebih besar. Kecuraman suatu lereng dapat dikelompokan juga sebagai berikut : -
A = 0 sampai < 3% (datar)
-
B ≥ 3% sampai 8% (landai atau berombak)
-
C ≥ 8 % sampai 15% (agak miring atau bergelombang)
-
D ≥15% sampai 30%
-
E ≥ 30% sampai 45% (Agak curam atau bergunung)
-
F ≥ 45% sampai 65% (curam)
-
G ≥ 65% (sangat curam) Pada suatu DAS pengamatan data debit maksimum yang terjadi di outlet
suatu sungai diperlukan untuk melihat peluang terjadinya banjir, sementara debit aliran rendah (base flow) diperlukan untuk merancang kebutuhan air minimum yang dapat terpenuhi terutama pada musim kemarau, sedangkan debit aliran ratarata tahunan dapat memberikan gambaran potensi sumber daya air yang dapat dimanfaatkan dari suatu daerah aliran sungai.
9
2.3
Kebutuhan Air Kebutuhan air suatu kota besarnya sebanding dengan jumlah penduduk dan
pola konsumsi air perkapita, sehingga perkembangan jumlah penduduk di kota tersebut sangat menentukan tingkat kebutuhan air di masa mendatang. Kebutuan air penduduk diperuntukkan bagi pemenuhan keperluan minum, masak, mencuci, dan lain-lain. Kebutuhan air untuk idustri bergantung pada jenis industri, jumlah pegawai, lamanya jam kerja dan faktor lainnya. Kebutuhan air bersih untuk industri di perkotaan dapat dikategorikan menjadi tiga jenis berdasrkan pemakaiannya, masing-masing untuk industri besar 151 – 350 m3/hari, industri sedang 51 – 150 m3/hari, dan industri kecil 5 – 50 m3/hari (Purwanto 1995, dalam Sutoyo. 2005). Kebutuhan air di suatu kawasan berkaitan erat dengan ketersediaannya. Jika kebutuhan lebih besar dari air yang tersedia maka dapat terjadi krisis air di wilayah tersebut dan perlu dilakukan berbagai upaya guna memenuhi kebutuhan tersebut. Air dari Sungai Cidanau dijadikan sebagai sumber air baku bagi Kota Cilegon dan sekitarnya. Diharapkan ketersediaannya dapat memenuhi kebutuhan air tersebut. Kebutuhan air Kota Cilegon pada tahun 2010 adalah 1 102 liter/detik dan selanjutnya akan meningkat secara bertahap. Peningkatan kebutuhan air dikarenakan adanya penambahan industri yang ada di Kota Cilegon. Pola kenaikan kebutuhan tersebut bersifat linier dalam dua tahapan, untuk tahapan pertama dimulai dari tahun 2014-2017 dan tahap kedua 2018-2022 hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.
2.4
Soil and Water Assessment Tool (SWAT) Models SWAT adalah singkatan dari Soil and Water Assessment Tool, merupakan
suatu model analisis sungai atau DAS, yang dikembangkan oleh Dr Jeff Arnold untuk USDA, Agricultural Research Service (ARS). SWAT dikembangkan untuk memprediksi dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimen dan hasil kimia pertanian di daerah aliran sungai besar dengan tipe tanah bervariasi, penggunaan lahan dan manajemennya selama jangka waktu yang lama (Neitsch et al. 2004).
10
3000
Kebutuhan (ltr/dtk)
2500 2000 1500 1000 500 0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023
Tahun
Gambar 2 Kebutuhan air baku (Sumber : KTI) Menurut Neitsch et al. (2005), model SWAT berbasis fisik dengan memasukkan persamaan regresi untuk menggambarkan hubungan antara variabel input dan output, SWAT membutuhkan informasi spesifik tentang cuaca, sifat tanah, topografi, vegetasi, dan praktek-praktek pengelolaan lahan yang terjadi di DAS. Proses secara fisik terkait dengan pergerakan air, transpor sedimen dan lainnya. SWAT dapat digunakan untuk studi proses yang lebih khusus seperti transportasi bakteri, sedimen, dan unsur hara. Simulasi untuk DAS yang sangat besar atau berbagai strategi pengelolaannya dapat dilakukan tanpa investasi waktu atau uang yang besar, serta memungkinkan pengguna untuk mempelajari dampak jangka panjang. Program SWAT dijalankan menggunakan aplikasi MapWindows GIS 4.7 SR (4.7.5) sebagai tools tambahan pada menu-bar plug-in, yang dapat mengolah data Geographic Information System (GIS) sehingga mendapatkan output sesuai dengan yang diinginkan. MapWindows merupakan salah satu aplikasi GIS yang open-source tool. MapWindow GIS meliputi standar visualisasi fitur data serta dapat merubah atribut tabel .dbf, shapefile editing, dan mengkonversi data. MapWindows juga mendukung puluhan format GIS yang standar, termasuk shapefile, GeoTIFF, ESRI ArcInfo grid ASCII dan biner (Watry et al. 2006). Siklus hidrologi yang disimulasikan dalam SWAT berdasarkan pada persamaan water balance :
11
=
+∑
(
−
−
−
−
)
(2-1)
Dimana : SWt
= Kadar air tanah akhir pada (mm H2O)
SWo
= Kadar air tanah mula-mula pada hari ke-i (mm H2 O)
T
= Waktu (hari)
Rday
= Jumlah presipitasi pada hari ke- i (mm H2O)
Qsurf
= Jumlah surface runoff pada hari ke-i (mm H2O)
Ea
= Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm H2O)
Wseep
= Jumlah air yang masuk ke dalam vadose zone dari profil tanah pada hari ke-i (mm H2O)
Qgw
= Jumlah air yang kembali menjadi aliran pada hari ke-i (mm H2O)
Parameter input faktor iklim yang digunakan dalam SWAT adalah curah hujan harian, suhu udara maksimum dan minimum, data radiasi matahari, kelembaban relatif, dan data kecepatan angin, yang dapat diambil dari catatan pengukuran atau data observasi. Kelembaban relatif dan kecepatan angin diperlukan jika menggunakan Penman-Monteith (Monteith 1965) dalam menghitung evapotranspirasi yang terjadi. Input suhu maksimum dan minimum yang digunakan untuk memperhitungkan suhu tanah dan air harian. 2.4.1 Runoff SWAT
menyediakan dua
metode untuk memperkirakan
limpasan
permukaan yakni dengan metode SCS curve number procedure (SCS 1972) dan metode infiltrasi (Green & Ampt 1911). Persamaan SCS adalah model empiris yang mulai umum digunakan pada tahun 1950-an yang melibatkan hubungan antara hujan dan limpasan yang terjadi pada daerah aliran sungai pedesaan di seluruh Amerika Serikat. Model ini dikembangkan untuk memberikan dasar dalam memperkirakan jumlah limpasan dari berbagai penggunaan lahan dan jenisjenis tanah. Persamaan SCS Curve Number adalah: =
(2-2)
Dimana Qsurf adalah akumulasi dari runoff ketika hujan (mm H2O), Rday adalah tinggi curah hujan dalam satu hari (mm H2O), Ia adalah inisial abstraksi
12
termasuk simpanan permukaan, intersepsi, infiltrasi (mm H2O), dan S adalah parameter retensi (mm H2O). Parameter retensi nilainya bervariasi dikarenakan perubahan tanah, penggunaan lahan, manajemen dan lereng dan terutama karena perubahan kadar air tanah. Parameter retensi didefinisikan sebagai: = 25.4
− 10
(2-3)
Dimana CN adalah nomor curva untuk hari tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Nilai Ia yang biasanya digunakan sebesar 0.2 S, sehingga persamaan 2-2 menjadi: .
=
(2-4)
.
Metode Green & Ampt dikembangkan untuk memprediksi besarnya infiltrasi dengan asumsi kelebihan air di permukaan sepanjang waktu (Green & Ampt 1911). Persamaan ini mengasumsikan bahwa profil tanah homogen dan distribusi kelembaban tanah sebelumnya seragam. Laju infiltrasi Green-Ampt Mein-Larson didefinisikan sebagai: ,
=
1+
(2-5)
,
Dimana finf adalah laju infiltrasi pada saat t (mm/jam), Ke adalah konduktivitas hidrolik efektif (mm/jam), ψwf adalah matrik potensial saat pembasahan (mm), θv adalah perubahan volume kadar air tanah selama proses pembasahan (mm/mm) dan Finf adalah jumlah infiltrasi pada saat t (mmH2O). Perubahan volumetrik dari kadar air tanah selama proses pembasahan dapat dihitung setiap harinya dengan : = 1− Dimana Δ
. (0.95.
)
(2-6)
adalah perubahan volumetrik dari kadar air (mm/mm), SW
adalah kadar air tanah dari seluruh profil tidak termasuk jumlah air di profil pada saat titik layu (mmH2O), FC adalah jumlah air pada profil tanah pada saat kapasitas lapang (mmH2O) dan φsoil adalah porositas tanah (mm/mm).
13
Gambar 3 Hubungan antara runoff terhadap curah hujan pada metode SCS curve number (SCS 1972) 2.4.2 Evapotranspirasi Analisis SWAT pada penentuan besarnya evapotranspirasi ditentukan dengan tiga metode yaitu metode Penman-Monteith , metode Priestley and Taylor (1972), serta metode Hargreaves (1975). Data kecepatan angin diperlukan oleh SWAT jika Metode PenmanMonteith (persamaan 2-7) digunakan untuk memperkirakan evapotranspirasi potensial. SWAT mengasumsikan informasi kecepatan angin berada pada posisi 1.7 meter di atas permukaan tanah. Kelembaban relatif diperlukan oleh SWAT jika metode Penman-Monteith atau persamaan Priestley-Taylor (persamaan 2-8) digunakan untuk menghitung evapotranspirasi potensial. Hal ini juga digunakan untuk menghitung tekanan uap air minimum pada pertumbuhan tanaman. Pada persamaan Penman-Monteith pengaruh jumlah uap air diudara diperhitungkan dalam menentukan evaporasi permukaan. Penman-Monteith dan Priestley-Taylor memerlukan tekanan uap aktual, yang dihitung dari kelembaban relatif.
14
=
∆(
)
/ (
∆
⁄
(2-7)
)
Dimana : E
= Laju evaporasi (m s-1)
λE = Panas laten akibat densitas sinar matahari (MJ m-2 d-1) Δ
= kemiringan pada kurva tekanan uap air jenuh-temperatur, de/dT (kPaoC-1)
Hnet = Radiasi yang mengenai permukaan (W m-2) G
= Kerapatan fluks panas ke tanah (MJ m-2 d-1)
cp = Kapasitas panas spesifik dari audara (J kg-1 K-1) ρair = Densitas udara (kg m-3) = Tingkat tekanan uap air jenuh di udara pada ketinggian z (kPa) ez
= Tekanan uap air di udara pada ketinggia z (kPa)
rc
= Resistensi dari kanopi tanaman (s m-1)
gs
= Difusi resistensi lapisan udara atau aerodynamic resistance(s m-1)
γ
= Konstanta Psychrometri (γ ≈ 66 Pa K-1)
Priestley dan Taylor (1972) mengembangkan sebuah versi sederhana dari kombinasi persamaan untuk penggunaan di permukaan lahan basah. Komponen aerodinamik dihilangkan dan komponen energi dikalikan dengan suatu koefisien, αpet = 1,28 ketika lingkungannya basah atau di bawah kondisi lembab.
=
Δ Δ
(
− )
(2-8)
Dimana λ adalah panas laten penguapan (MJ kg-1), Eo adalah evapotranspirasi potensial (mm d-1), αpet adalah koefisien, ∆ adalah kemiringan pada kurva tekanan uap udara jenuh dan suhu, de/dT (kPa ° C-1), γ adalah psychrometric (KPa ° C-1), Hnet adalah radiasi bersih (MJ m-2 d-1), dan G adalah kerapatan fluks panas di tanah (MJ m-2 d-1). Metode Hargreaves yang digunakan dalam SWAT diterbitkan pada tahun 1985 (Hargreaves et al., 1985. dalam Neitsch et al., 2005):
= 0.0023
(
−
)
.
.(
+ 17.8)
(2-9)
15
Dimana λ adalah panas laten penguapan (MJ kg-1), Eo adalah evapotranspirasi potensial (mm d-1), Ho adalah extraterrestrial radiasi (MJ m-2 d1
), Tmx adalah suhu udara maksimum pada hari tersebut (oC), Tmn adalah suhu
udara minimum (oC),
adalah suhu rata-rata 1 hari (oC).
2.4.3 Perkolasi Perkolasi dihitung untuk setiap lapisan tanah dalam profil. Air akan meresap jika kadar air melebihi kadar air kapasitas lapangan untuk lapisan tersebut dan lapisan dibawahnya tidak dalam keadaan jenuh.Volume air yang tersedia untuk perkolasi ke dalam lapisan tanah dihitung dengan persamaan: =
,
−
SWly,excess = 0
jika SWly > FCly
(2-10)
jika SWly ≤ FCly
(2-11)
SWly,excess adalah volume air yang dapat dialirkan di lapisan tanah pada hari tertentu (mm H2O), SWly adalah kadar air dari lapisan tanah pada hari tertentu (mm H2O) dan FCly adalah kadar air dari lapisan tanah pada kapasitas lapang (mm H2O). Jumlah air yang bergerak dari satu lapisan ke lapisan dibawahnya dihitung dengan menggunakan metode storage routing. Persamaan yang digunakan untuk menghitung jumlah air yang merembes ke lapisan berikutnya adalah: ,
=
,
1−
Δ
(2-12)
dimana Wperc,ly adalah jumlah air meresap ke lapisan tanah dibawahnya pada hari tertentu (mm H2O), SWly,
excess
adalah volume air yang dialirkan di lapisan
tanah pada hari tertentu (mm H2O), ∆t adalah panjang dari selang waktu (jam), dan TTperc adalah waktu perjalanan untuk perkolasi (jam). 2.4.4 Ground Water Akuifer dangkal memberikan kontribusi aliran dasar ke saluran utama atau mencapai subbasin. Aliran dasar (base flow) yang akan masuk sebagai debit jika jumlah air yang disimpan dalam akuifer dangkal melebihi nilai ambang batas yang ditentukan.
16
Respon aliran air tanah pada kondisi steady untuk mengisi debit adalah (Hooghoudt, 1940):
=
ℎ
(2-13)
Dimana Qgw adalah aliran air tanah, atau base flow, ke saluran utama pada hari i (mm H2O), Ksat adalah konduktivitas hidrolik dari aquifer (mm/day), Lgw adalah jarak dari dari punggung bukit atau subbasin sistem air tanah ke saluran utama (m), dan hwtbl adalah tinggi muka air tanah (m).