II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Pada umumnya ketersediaan air terpenuhi dari hujan. Hujan merupakan hasil dari proses penguapan. Proses-proses yang terjadi pada peralihan uap air dari laut ke daratan dan kembali lagi ke laut membentuk suatu siklus yang disebut sebagai siklus hidrologi (Gambar 1). Proses awal siklus hidrologi yaitu penguapan air dari perairan dan vegetasi. Uap tersebut terangkat ke atas daratan oleh massa udara yang bergerak. Uap air yang naik akan mengalami pendinginan akibat penurunan tekanan yang diikuti oleh penurunan suhu sehingga terjadi butiran air yang membentuk awan atau kabut dan kemudian jatuh sebagai hujan (Linsley RK dan Joseph BF, 1994). Air hujan yang jatuh ke permukaan akan mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah, sampai ke pantai dan bermuara di laut. Air yang mengalir akan membentuk beberapa aliran (Gambar 1). Aliran air di permukaan disebut aliran permukaan. Aliran ini akan memasuki daerah aliran menuju ke sistem jaringan sungai atau waduk. Selain mengalir di permukaan, air juga masuk ke dalam tanah dan mengisi pori-pori mikro. Sebagian air yang masuk akan keluar kembali dan masuk ke sungai. Aliran tersebut dikenal sebagai aliran antara (interflow). Selanjutnya, sisa air akan masuk ke dalam tanah dan menjadi air tanah (groundwater) yang keluar sebagai aliran dasar. Aliran dasar (baseflow) akan mengisi jaringan sungai secara tetap dan kontinyu saat hujan jarang terjadi.
Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) 2.2 Komponen Sumber Daya Air Air merupakan salah satu sumber daya yang berharga di Bumi. Hal yang harus diperhatikan agar terhindar dari krisis yaitu pengelolaan komponen sumber daya air. Komponen tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu komponen alami dan
komponen artifisial (Sjarief R dan Robert J, 2005). Komponen alami sumber daya air merupakan komponen yang terbentuk secara alami oleh sifat air yang mengalir dari hulu ke hilir. Contohnya seperti sungai, muara, rawa, danau, pantai, air tanah, dan mata air. Keseimbangan alam dari komponen tersebut dipengaruhi oleh siklus hidrologi, kondisi geologi, kondisi wilayah, dan kegiatan manusia (Sjarief R dan Robert J, 2005). Selain komponen alami, sumber daya air juga memiliki komponen artifisial berupa bangunan utama dengan beberapa bangunan pelengkap yang dibuat oleh manusia untuk tujuan tertentu (Sjarief R dan Robert J, 2005). Salah satu contoh dari komponen artifial sumber daya air yaitu waduk. Penjelasan tentang waduk dapat dilihat pada subbab waduk. 2.3 Potensi Air di Kabupaten Pidie Kabupaten Pidie terletak di 04030’ – 04060’ LU dan 95075’ – 96020’ BT, berada di dekat kawasan pantai dengan elevasi antara 1.20mdpl - 52.50 mdpl (BPS, 2006). Luas wilayah ± 4160,50 km2 dengan jumlah penduduk ± 517.000 jiwa (BPS, 2006). Bagian Utara dari kabupaten Pidie berbatasan dengan Selat Malaka, bagian barat berbatasan dengan Aceh Besar, bagian timur berbatasan dengan Bireuen, dan bagian selatan berbatasan dengan Aceh Jaya (Gambar 2).
Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie Kabupaten Pidie digolongkan ke dalam wilayah beriklim tropis. Temperatur berkisar dari suhu minimum 19 – 220C sampai dengan suhu maksimum 30 – 350C. Intensitas curah hujan yang jatuh di wilayah tersebut, yaitu antara 1700-2900 mm/tahun. Musim hujan di kabupaten ini di mulai dari Agustus sampai dengan Maret.
Keberadaan air hujan merupakan salah satu faktor yang mendukung sumber daya air di Kabupaten Pidie. Air hujan yang masuk ke jaringan sungai atau waduk dalam bentuk aliran permukaan, aliran antara, dan aliran dasar akan menjadi sumber air untuk daerah tersebut. Beberapa sumber air di kabupaten Pidie yaitu Krueng Cubo/Krueng Pante raja, Krueng Meureudu, embung Rajui, Krueng Baro, Krueng Tiro, dan Krueng Rukoh (Dinas Sumber Daya Air, 2005). Setiap sungai dialokasikan untuk tempat-tempat tertentu, seperti Krueng Tiro yang merupakan sumber air bagi kecamatan Tiro Tursep, Geulumpang Tiga, Bandar Baru, dan Kembang Tanjong, sedangkan Krueng Baro merupakan sumber air untuk kecamatan Keumala, Sakti, Mutiara, Simpang Tiga, Kembang Tanjong, Delima, Pidie, Indra Jaya, dan Pekan Baru (Dinas Sumber Daya Air, 2005).
tersebut dapat membantu koordinasi pengelolaan sumber air yang lebih baik.
2.4 Waduk Waduk merupakan bangunan struktur pengendali air yang dibuat pada tempat tertentu di alur sungai. Waduk dibangun untuk menampung air pada periode kelebihan air (musim hujan) dan dipakai pada saat kekurangan air (musim kemarau). Melalui pembangunan waduk diharapkan dapat mencegah terjadi banjir saat air berlebih dan mengantisipasi krisis air saat kekeringan. Pemilihan tempat dan jenis bendungan merupakan masalah kelayakan teknis yang terdiri dari keadaan topografi dan geologi (Linsley RK dan Joseph BF, 1994). Selain itu, pemilihan lokasi juga memperhatikan aspek biaya. Menurut Linsley RK dan Joseph BF (1994), aturan umum pemilihan lokasi waduk terdiri dari : Harga bendungan. Harga pembebasan lahan untuk waduk. Lokasi waduk memiliki kapasitas yang cukup memadai. Menghindari daerah-daerah anak sungai yang produktif menghasilkan sedimen. Mutu air yang ditampung memenuhi tujuan pemanfaatannya. Tebing waduk dan lereng bukit yang berdekatan harus stabil. Waduk sebagai bangunan utama memiliki bangunan penunjang lainnya (Gambar 3). Bangunan pelimpah (spillway) merupakan salah satu bangunan penunjang waduk yang berfungsi untuk melimpahkan kelebihan air di dalam waduk. Selain bangunan pelimpah, waduk juga memiliki bangunan pengambilan (intake) yang berfungsi untuk pengambilan air dari waduk. Keberadaan bangunan penunjang
2.4.1 Ciri Fisik Waduk Ciri fisik utama waduk yaitu kapasitas simpanan. Hal ini sesuai dengan fungsi waduk yaitu menyediakan simpanan air. Kapasitas waduk ditentukan oleh keadaan alami lembah tempat air akan ditampung bersama dengan ketinggian suatu bendungan yang harus menampung sejumlah air yang dibutuhkan dan tersedia (Linsley RK dan Joseph BF, 1995). Secara alami, kapasitas waduk dapat dilihat berdasarkan pengukuran topografi. Suatu lengkung luas-elevasi dibuat dengan cara mengukur luas yang diapit oleh tiap-tiap garis kontur di dalam lokasi waduk tersebut. Integral dari lengkung luas-elevasi tersebut merupakan lengkung simpanan atau lengkung kapasitas waduk. Air yang tertampung di waduk akan menjadi simpanan. Pertambahan simpanan dari dua buah elevasi yang dihitung dengan mengalikan luas rata-rata pada kedua elevasi merupakan volume simpanan pada ketinggian tersebut. Elevasi maksimum yang dicapai oleh kenaikan permukaan waduk pada kondisi operasi biasa disebut sebagai permukaan genangan, sedangkan elevasi terendah yang dapat diperoleh bila genangan dilepaskan pada kondisi normal disebut sebagai permukaan genangan normal. Pertambahan bersih dari kapasitas simpanan yang berasal dari pembangunan waduk yaitu kapasitas keseluruhan dikurangi dengan simpanan lembah alamiah (Linsley RK dan Joseph BF, 1995). Menurut Linsley dan Joseph (1995)
Gambar 3. Bangunan Waduk (Wahana Adya Konsultan, 2005)
ada beberapa macam simpanan dalam waduk (Gambar 4), yaitu : a. Simpanan berguna, yaitu volume simpanan yang terletak di antara permukaan genangan minimum dan normal. b. Simpanan mati, yaitu air yang ditahan di bawah permukaan genangan minimum. c. Simpanan tambahan, yaitu kelebihan air yang dapat mengakibatkan banjir. d. Simpanan tebing, yaitu simpanan dari tebing yang meloloskan air sehingga dapat masuk ke dalam tanah saat waduk terisi dan keluar lagi bila permukaan air turun. e. Simpanan lembah, yaitu simpanan yang berasal dari air di dalam alur alamiah.
Gambar 4. Daerah-daerah Simpanan di Suatu Waduk (Linsley RK dan Joseph BF, 1995) 2.4.2 Keandalan Waduk Keandalan waduk menggambarkan peluang kemampuan waduk untuk memenuhi kebutuhan yang direncanakan sepanjang umur ekonomisnya sebagai fungsi dari kapasitas waduk. Besar simpanan yang diperlukan untuk memenuhi suatu jumlah kebutuhan yang ditetapkan disusun menurut peringkat besarnya dan digambarkan sebagai lengkung frekuensi. Hasil dari lengkung frekuensi berupa suatu lengkung keandalan yang memiliki kisaran 0 - 100%. 2.5 Kebutuhan Air Pengembangan sumber daya air timbul karena tuntutan ketersediaan air dalam memenuhi kebutuhan. Air yang tersedia akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan air domestik, pertanian, dan keperluan lainnya. 2.5.1 Kebutuhan Air Domestik Kebutuhan air domestik sangat ditentukan oleh jumlah penduduk dan penggunaan air per kapita. Penggunaan air sebagai kebutuhan air
domestik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat sosial, pendidikan, kebiasaan penduduk, letak geografis, dan lainlain. Dasar pendugaan kebutuhan air domestik yaitu penentuan laju pertumbuhan penduduk. Hal tersebut perlu dilakukan karena jumlah penduduk akan terus bertambah dan diperlukan estimasi jumlah penduduk di masa yang akan datang sebagai upaya untuk mengontrol ketersediaan air dalam memenuhi kebutuhan air domestik. 2.5.2 Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air irigasi yaitu jumlah air yang ditambahkan untuk tanaman selain dari air hujan. Pemenuhan kebutuhan air irigasi bertujuan untuk mencapai hasil produksi pertanian yang optimal di masa tanam saat terjadi kekurangan air. Air yang disalurkan ke petak sawah khususnya untuk tanaman padi didasari oleh kebutuhan air untuk penyiapan lahan, penggunaan air konsumtif, perkolasi, dan penggantian lapisan air. Akumulasi dari faktor-faktor tersebut disebut sebagai kebutuhan air bersih pada petak sawah, sedangkan kebutuhan air yang harus tersedia di intake yaitu selisih antara kebutuhan air bersih pada petak sawah dengan curah hujan efektif. • Penggunaan Air Konsumtif Menurut Murdiyarso (1999) kebutuhan air tanaman yaitu banyaknya air yang hilang dari areal bervegetasi persatuan luas, persatuan waktu yang digunakan untuk transpirasi dan yang dievaporasikan dari permukaan tanah. Pada prinsipnya kebutuhan air tanaman adalah evapotranspirasi. Bila proses penguapan air bebas (evaporasi) dan penguapan melalui tanaman (transpirasi) terjadi bersama-sama maka terjadilah proses evapotranspirasi yang nilainya setelah dikalikan dengan koefisien tanaman (kc) menjadi acuan untuk besarnya kebutuhan air konsumtif. Nilai koefisien tanaman tergantung dari jenis dan fase pertumbuhan vegetasi.
CWR = ETc = k c × ET0 CWR = Kebutuhan air tanaman k c = Koefisien tanaman (standar FAO) ET0 = Evapotranspirasi potensial sebagai acuan
Evapotranspirasi potensial sebagai acuan untuk menduga besar pemakaian konsumtif tanaman dapat dihitung dengan menggunakan data evaporasi panci, dimana :
ETp = ETo = k p × E0 • Perkolasi Perkolasi yaitu gerakan air di dalam tanah karena gaya gravitasi. Gerakan air tersebut terjadi secara vertikal yang dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah, antara lain permeabilitas dan tekstur tanah, pengendapan lumpur, dan kedalaman muka air tanah (Dept PU, 1997). Nilai perkolasi bervariasi, dipengaruhi oleh tingkat permebilitas dan laju infiltrasi tanah. • Curah Hujan Efektif Curah hujan efektif yaitu bagian dari curah hujan total yang tidak hilang akibat surface runoff, perkolasi, evapotranspirasi, dan intersepsi. Curah hujan efektif dapat dikatakan sebagai curah hujan andalan yang jatuh di suatu daerah yang digunakan tanaman untuk pertumbuhan. • Penyiapan Lahan Penyediaan air untuk penyiapan lahan bertujuan untuk mempermudah pembajakan dan menjaga kelembaban tanah. Keadaan tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan didasari oleh kebutuhan air untuk mengganti kekurangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang telah dijenuhkan selama periode penyiapan lahan (Dept PU, 1997). Faktor-faktor yang menentukan besarnya kebutuhan air tersebut adalah lama waktu penyelesaiaan dan jumlah air yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan. • Penggantian Lapisan Air Upaya penerapan pemakaian pupuk yang efektif dan menghasilkan pembuahan yang baik dalam budi daya tanaman padi dilakukan melalui sistem penurunan muka air pada petak sawah (Dept PU, 1997). Penggantian air dilakukan selama satu setengah bulah setelah transplantasi. Air yang diganti sebesar 50 mm (3.33 mm/hari). • Efisiensi Irigasi Sistem irigasi terdiri atas sumber air, bangunan pengambilan (intake), saluran primer, saluran sekunder, saluran tertier, saluran kuarter, dan saluran pembuang (Gambar 5). Saluran primer, sekunder, tertier, dan kuarter disebut sebagai jaringan irigasi. Air yang berasal dari air permukaan (waduk) disalurkan dari bangunan pengambilan ke jaringan irigasi. Kehilangan air yang berlangsung selama proses pemindahan air dari sumber ke lahan
pertanian dan selama pengelolaan lahan pertanian akan mempengaruhi efisiensi irigasi. Menurut Doorenbos J dan Pruitt W.O (1975), efisiensi irigasi digolongkan menjadi dua komponen, yaitu : Efisiensi pengangkutan, yaitu persentase air yang hilang dari sistem saluran induk ke sekunder. Efisiensi di lahan pertanian (sawah), yaitu persentase air yang hilang dari saluran tertier dan kegiatan air irigasi di lahan pertanian. Akumulasi dari kedua komponen tersebut disebut sebagai efisiensi irigasi total.
Gambar 5. Sistem Irigasi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) 2.6 Model Tangki Sugawara et al. (1984) mengemukakan bahwa model tangki merupakan suatu model sederhana non-linier yang terdiri dari beberapa tangki yang diatur tegak lurus secara berurutan. Model tangki dikembangkan untuk menggambarkan keberadaan aliran limpasan sebagai jumlah air yang tersimpan di dalam tanah (Setiawan, et al., 2003). Model tersebut terdiri dari 2 saluran yaitu saluran samping dan saluran bawah. Saluran samping mewakili limpasan, sedangkan saluran bawah mewakili penyerapan air secara vertikal. Komponen simpanan tangki mewakili proses limpasan di suatu daerah aliran sungai. Model tangki dapat dihubungkan dengan mekanisme proses limpasan di dalam daerah pengaliran (Gambar 6). Gambaran dari perilaku model tangki menunjukkan berbagai jenis tanggapan dari masukan curah hujan. Suatu model yang terdiri dari 4 tangki dimana curah hujan yang jatuh ke permukaan akan mengalami evapotranspirasi, infiltrasi, dan aliran permukaan (tangki 1). Air yang keluar dari lubang bawah tangki akan menjadi simpanan dalam akifer I. Bila air yang tersimpan melebihi batas tertentu maka akan terjadi interflow (tangki 2) dan air akan terperkolasi mengalir ke akifer dibawahnya. Bila simpanan di akifer tersebut telah
melebihi kapasitas tampungannya maka air akan keluar sebagai sub-baseflow (tangki 3) dan air yang terperkolasi ke akifer selanjutnya akan keluar sebagai baseflow (tangki 4). Aliran-aliran tersebut akan terkumpul menjadi debit sungai.
Gambar 6. Standar Model Tangki (Setiawan, et al., 2003)