BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Siklus Hidrologi Siklus hidrologi didefinisikan sebagai suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer (Seyhan, 1977). Sumber tenaga dari siklus ini adalah matahari. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi dan tanah, di laut atau badan-badan air lainnya.
Gambar 1. Siklus Hidrologi (Ward, 1967)
Tahap pertama dari daur hidrologi adalah penguapan air dari samudra, air permukaan di daratan, evaporasi dan lainnya sebagai akibat panas matahari. Uap ini dibawa diatas daratan oleh masa udara yang bergerak dan selanjutnya terkondensasi (Linsley, 1985). Kondensasi adalah proses dimana uap air ditransformasikan ke cairan atau es dengan pelepasan energi (Lee, 1988). Uap ini bila didinginkan hingga titik embunnya, maka uap tersebut akan membeku menjadi butiran air yang dapat dilihat yang membentuk awan atau kabut. Butir-
36
butir air kecil itu akan berkembang cukup besar sampai kondisi jenuh untuk dapat jatuh kepermukaan bumi dalam bentuk hujan atau salju (presipitasi). Menurut Seyhan (1977), presipitasi dalam segala bentuk (salju, hujan batu es, hujan, dll), jatuh keatas vegetasi, batuan gundul, permukaan tanah, permukaan air dan saluran-saluran sungai (presipitasi saluran). Air yang jatuh pada vegetasi mungkin diintresepsi (yang kemudian berevaporasi dan/atau mencapai permukaan tanah dengan menetes saja maupun sebagai aliran batang) selama suatu waktu atau secara langsung jatuh ke tanah khususnya pada kasus hujan dengan intensitas yang tinggi dan lama. Sebagian air presipitasi yang membasahi permukaan tanah berinfiltrasi ke dalam tanah dan bergerak menurun sebagai perkolasi kedalam air tanah dibawah muka air tanah. Air ini secara perlahan berpindah melalui akuifer ke saluran-saluran sungai. Beberapa air yang berinfiltrasi bergerak menuju dasar sungai tanpa mencapai muka air tanah sebagai aliran bawah permukaan. Setelah bagian presipitasi yang pertama membasahi permukaan tanah dan berinfiltrasi, suatu selaput air yang tipis dibentuk pada permukaan tanah yang disebut dengan detensi permukaan (lapis air). Selanjutnya detansi permukaan menjadi lebih tebal dan alirana air mulai dalam bentuk laminer. Dengan bertambahnya kecepatan aliran, aliran air menjadi turbulen (deras). Air yang mengalir ini disebut limpasan permukaan. Selama perjalanannya menuju dasar sungai, bagian limpasan permukaan disimpan pada depresi permukaan dan disebut cadangan depresi. Akhirnya limpasan permukaan mencapai saluran sungai dan menambah debit sungai (Seyhan, 1977). Air pada sungai berevaporasi secara langsung ke atmosfer atau mengalir kembali ke dalam laut dan selanjutnya berevaporasi. Kemudian, air ini kembali kepermukaan bumi sebagai presipitasi (Seyhan, 1977).
B. Bentuk Aliran Air Arsyad (2006) menyebutkan bahwa air keluar dari suatu areal tertentu dapat melalui beberapa bentuk seperti aliran permukaan (surface runoff), aliran bawah permukaan (sub-surface flow), aliran air tanah (ground water flow), dan aliran sungai (stream flow).
37
Aliran permukaan adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah atau bumi yang merupakan bagian air hujan yang mengalir ke sungai atau saluran, danau atau laut berupa aliran diatas permukaan tanah atau aliran dibawah permukaan tanah. Dalam hidrologi istilah runoff digunakan untuk aliran diatas permukaan tanah bukan aliran dibawah tanah. Dalam pengertian ini runoff berarti aliran air diatas permukaan tanah sebelum air itu sampai ke dalam saluran atau sungai, dan aliran air di dalam sungai. Untuk membedakan kedua pengertian tersebut, digunakan istilah runoff atau stream flow untuk aliran didalam sungai, dan surface runoff atau overland flow untuk aliran diatas permukaan tanah (Arsyad, 2006). Aliran dibawah permukaan (interflow atau subsurface flow) adalah aliran air yang masuk ke dalam tanah tetapi tidak masuk cukup dalam disebabkan adanya lapisan kedap air. Air ini mengalir dibawah permukaan tanah pada kedalaman 30-40 cm, kemudian keluar ke permukaan tanah di bagian lebih bawah lereng atau masuk ke sungai. Air bawah permukaan umumnya jernih dan tidak menimbulkan erosi (Arsyad, 2006). Aliran air tanah adalah aliran air yang masuk dan terperkolasi jauh kedalam tanah menjadi air tanah (ground water). Air tanah merupakan sumber air bagi sungai, danau atau waduk atau reservoir pada musim kemarau (Arsyad, 2006). Aliran sungai adalah air yang mengalir pada saluran seperti sungai. Aliran sungai dapat menyebabkan erosi, tetapi pengaruhnya sangat terbatas. Air sungai dapat jernih atau pekat berwarna coklat mengandung sedimen tergantung dari sumber airnya. Sungai yang bersumber dari aliran bawah permukaan dan aliran air bawah tanah akan jernih, sedangkan yang bersumber dari aliran permukaan akan keruh oleh sedimen yang dikandungnya (Arsyad, 2006). C. Daerah Aliran Sungai (DAS) DAS adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS disebelahnya oleh suatu pembagi atau pemisah alam topografi seperti pegunungan bukit/gunung. DAS menerima air hujan dan air permukaan yang kemudian ditampung lalu dialirkan ke sungai utama yang selanjutnya dialirkan ke laut/danau (Linsley, 1985).
38
Dalam bahasa Inggris pengertian DAS sering didefinisikan sebagai watershed, catchment area, atau river basin (Sinukaban, 2007). Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat terdiri dari beberapa Sub-DAS atau Sub-sub-DAS sehingga luas DAS dapat bervariasi tergantung dari penempatan titik pengukuran. SubDAS merupakan bagian wilayah dari suatu DAS yang berupa bentuk satuan daerah tangkapan air. DAS dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir (Asdak, 2002). Daerah hulu sungai (upland catchment) memiliki ciri : berlereng curam, batasnya jelas, curah hujan tinggi, dan evapotranspirasi rendah. Daerah bergradien hidrolik tajam, alirannya cepat sampai dengan sangat cepat, sering terjadi hujan lebat sehingga tanah selalu lembab, serta air lebih cepat ke jaringan sungai, dan pada beberapa tempat jarang ditemukan banjir. Sedangkan daerah hilir sungai (lowland catchment) dicirikan oleh banjir pada saat hujan lebat, pada daerah yang curam hujannya agak kurang maka banjir jarang terjadi dan secara umum pemukiman dan pengelolaan lahan lebih intensif, pepohonan jarang, gradien sungai dan erosi rendah. Daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase yang lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih besar dari 15%. Daerah ini bukan merupakan daerah banjir dan merupakan daerah yang peraturan pemakaian airnya ditentukan oleh pola drainase. Daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan dengan kemiringan lebih kecil dari 8%, pada beberapa tempat merupakan daerah banjir atau genangan. Daerah ini merupakan daerah yang pemakaian airnya ditentukan oleh bangunan irigasi. Untuk daerah DAS bagian tengah merupakan daerah transisi antara hulu dan daerah hilir (Asdak, 2002). DAS berfungsi sebagai penampung air hujan, penyimpanan, dan pendistribusian menuju sungai dan saluran lainnya. Gangguan fungsi DAS yang marak terjadi pada saat ini akan berdampak pula terhadap sistem hidrologi (Suripin, 2004). Tejowulan dan Suwardji (2002) mengatakan bahwa daerah hulu dari suatu DAS berperan sebagai lingkungan pengendali (conditioning environtment). Sedangkan daerah hilir merupakan daerah penerima (acceptor) bahan dan energi, atau lingkungan konsumsi atau lingkungan yang dikendalikan
39
(commanded environment). Menurut Sinukaban (2007), perubahan yang terjadi pada suatu DAS dari segi hidrologi dapat mempengaruhi bagian lain dalam DAS tersebut. Penanganan suatu DAS harus meliputi penanganan sebagai suatu kesatuan sistem dengan bagian DAS lainnya sehingga perbaikan DAS dapat berjalan efektif. Setiap DAS memiliki karakter masing-masing. Karakteristik DAS dapat diartikan sebagai gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh parameter-parameter yang berkaitan dengan keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi, vegetasi, tataguna (penggunaan) lahan, hidrologi, dan manusia (Seyhan, 1977). Karaktersitik DAS akan berpengaruh besar terhadap besarnya limpasan dan akan berkontribusi kepada debit sungai. Gambar 2 merupakan tipe-tipe limpasan.
Gambar 2. Tipe-tipe limpasan (Seyhan, 1977)
Seyhan (1977), faktor yang mempengaruhi total limpasan (debit sungai) yaitu faktor-faktor meteorologis dan faktor-faktor karakteristik DAS. Faktorfaktor meteorologis yaitu karakteristik hujan. Faktor-faktor karakteristik DAS
40
yaitu ukuran daerah aliran sungai, topografi (bentuk DAS kemiringan DAS), tataguna lahan, dan tipe tanah. Suripin (2004), faktor meteorologi yang berpengaruh terhadap limpasan adalah karakteristik hujan yaitu intensitas hujan, durasi hujan, dan distribusi curah hujan. 1. Intensitas hujan Intensitas hujan sangat tergantung pada laju infiltrasi. Jika intensitas hujan melebihi laju infiltrasi maka akan terjadi limpasan permukaan sejalan dengan peningkatan intensitas hujan. Intensitas hujan berpengaruh pada debit maupun volume limpasan. 2. Durasi hujan Total limpasan berkaitan langsung dengan durasi hujan dengan intensitas tertentu. Setiap DAS memiliki satuan durasi hujan atau hujan kritis. Jika hujan yang terjadi lamanya kurang dari lama hujan kritis, maka lamanya limpasan akan sama dan tidak tergantung pada intensitas hujan. 3. Distribusi curah hujan Secara umum, laju dan volume limpasan maksimum terjadi jika seluruh DAS telah memberi kontribusi aliran. Namun, hujan dengan intensitas tinggi pada sebagian DAS dapat menghasilkan limpasan yang lebih besar dibandingkan dengan hujan biasa yang meliputi seluruh DAS. Suripin (2004), faktor karakteristik DAS yang berpengaruh terhadap besarnya limpasan total diantaranya : 1. Luas dan bentuk DAS Laju dan volume aliran permukaan makin bertambah besar dengan bertambahnya luas DAS. Semakin besar luas DAS, semakin besar pula volume aliran permukaan. Bentuk DAS berpengaruh pada pola aliran dalam sungai. Pengaruh bentuk DAS pada aliran permukaan dapat dilihat pada Gambar 3. Bentuk DAS yang memanjang dan sempit (Gambar 3.a) akan menghasilkan aliran permukaan yang kecil dibanding dengan DAS yang memiliki bentuk melebar atau melingkar (Gambar 3.b). Hal ini karena pada DAS yang memanjang, aliran permukaan akan membutuhkan waktu lama untuk terkonsentrasi pada suatu titik.
41
(a) Bentuk DAS yang memanjang dan sempit
(b) Bentuk DAS yang melebar atau melingkar
Gambar 3. Pengaruh bentuk DAS pada aliran permukaan dengan asumsi besarnya curah sama (Seyhan, 1977) 2. Topografi Topografi akan berpengaruh terhadap kemiringan lahan, keadaan dan kerapatan parit/saluran. Volume aliran permukaan akan lebih besar pada DAS yang memiliki kemiringan curam dan saluran yang rapat dibanding dengan DAS yang landai, terdapat cekungan-cekungan, dan jarak antar parit/saluran jarang. 3. Tataguna lahan Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad, 2006). Pengaruh tata guna lahan dinyatakan dengan koefisien aliran permukaan (C), yaitu perbandingan antara besar aliran permukaan dengan besar curah hujan. Dengan kisaran 0-1, semakin rusak suatu DAS, harga C mendekati satu yang berarti hampir semua air hujan mengalir sebagai aliran permukaan dan sedikit sekali yang berinfiltrasi ke dalam tanah. Menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan dapat dikelompokan ke dalam penggunaan
lahan
pertanian
dan
penggunaan
lahan
non-pertanian.
Penggunaan lahan pertanian meliputi penggunaan lahan hutan, sawah, ladang, perkebunan, dan lainnya. Penggunaan lahan non-pertanian seperti pemukiman,
42
industri, dan perkantoran. Arsyad (2006), pengelompokan tipe penggunaan lahan adalah sebagai berikut : 1. Ladang 2. Tanaman semusim campuran, lahan kering permanen, tidak intensif 3. Tanaman semusim campuran, lahan kering permanen, intensif 4. Sawah gogo rancah (sawah yang pada saat penanaman berupa lahan kering, kemudian tergenangi air setelah cukup hujan) 5. Sawah tadah hujan (tidak beririgasi, air untuk menggenangi tanah berasal dari curah hujan) 6. Sawah beririgasi, satu kali setahun, tidak intensif 7. Sawah beririgasi, dua kali setahun, intensif 8. Perkebunan rakyat (karet, kopi, atau coklat, jeruk), tidak intensif 9. Perkebunan rakyat intensif 10. Perkebunan besar, tidak intensif 11. Perkebunan besar, intensif 12. Hutan produksi, alami 13. Hutan produksi, tanaman pinus, dan sebagainya 14. Padang pengembalaan, tidak intensif 15. Padang pengembalaan, intensif 16. Hutan lindung 17. Cagar Alam
43
D. MW-SWAT (Soil And Water Assessment Tool) Soil and Water Assessment Tools yang disingkat SWAT adalah model prediksi untuk skala daerah aliran sungai (DAS). Analisis hidrologi akan dilakukan dengan menggunakan software MW-SWAT 1.5SR yang pertama kali dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold untuk Agricultural Research Service (ARS) dari USDA (WASWC, 2008). SWAT dikembangkan untuk memprediksi dampak praktek pengolahan lahan (land management practices) terhadap air, sedimen, dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan lahan dan pengelolaannya yang bermacammacam sepanjang waktu yang lama. SWAT adalah untuk memprediksi pengaruh jangka panjang, bukan memprediksi hasil untuk suatu kejadian hujan atau suatu peristiwa banjir. SWAT memungkinkan sejumlah proses fisik (physical processes) yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS. Untuk pemodelan, suatu DAS dibagi
menjadi
beberapa
sub-basin.
Sub-basin adalah pembagian atau
pengelompokan berdasarkan kesamaan penggunaan lahan dan tanah atau sifat lain yang berpengaruh terhadap hidrologi. Informasi masukan untuk setiap sub-basin dikelompokan atau disusun kedalam kategori berikut : iklim, unit respon hidrologi (hydrologic response unit/HRU), genangan/basahan, air bawah tanah, dan saluran utama yang men-drainase sub-basin. HRU adalah kelompok lahan di dalam subbasin yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah, dan pengelolaan yang unik. Penggambaran DAS sebagai areal penelitian dilakukan menggunakan Digital Elevation Model (DEM). DEM merupakan suatu model digital yang mempresentasikan permukaan topografi bumi secara tiga dimensi dengan menggunakan data elevasi tempat. Digital Elevation Model (DEM) membatasi areal penelitian berdasarkan topografi alaminya. Dari data DEM, dapat diperoleh data terrain, yaitu data model tiga dimensi yang mempresentasikan atribut terrrain seperti elevasi, slope, drainase (Usman et al, 2008). DEM diturunkan dari data pengindraan jauh, yaitu shuttle radar topography mission (SRTM). Untuk mendapatkan
Hidrology Response Unit (HRU) sebagai unit
analisis, dilakukan tumpang tindih (overlay) antara peta tanah dengan peta
44
penggunaan lahan. HRU yang terbentuk selanjutnya dihubungkan dengan data iklim yang sudah diubah dalam format database. Simulasi dijalankan setelah periode simulasi ditentukan. SWAT merupakan model hidrologi berbasis proses fisik (physical based model), sehingga memungkinkan sejumlah proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS. Proses fisik yang berhubungan dengan pergerakan air, sedimen, pertumbuhan tanaman, siklus hara dan sebagainya yang terjadi pada DAS yang disimulasikan model SWAT. Untuk mensimulasikan proses tersebut model memerlukan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi dan praktek pengolahan lahan yang terjadi. Proses dimodelkan SWAT yang terjadi didalam DAS didasarkan pada neraca air. Persamaan neraca yang berlaku pada model SWAT sebagai berikut :
dimana SWt adalah kandungan air tanah akhir (mm), Swo adalah kandungan air tanah permulaan hari 1 (mm), t adalah waktu (hari), Rday adalah jumlah curah hujan pada hari i (mm), Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari i (mm), Ea adalah jumlah evapotranspirasi pada hari i (mm), Wseep adalah jumlah air yang masuk ke dalam zone vadose pada profil tanah pada hari i (mm), dan Qgw adalah jumlah air yang merupakan air kembali (mm). Simulasi hidrologi DAS dengan menggunakan SWAT dapat dibagi menjadi dua bagian utama. Bagian pertama adalah fase lahan pada siklus hidrologi dan kedua adalah fase pergerakan air pada siklus hidrologi. Pada fase lahan yaitu mengontrol jumlah air, sedimen, hara dan pestida yang masuk ke sungai. Pada fase pertama ini merupakan fase lahan dari siklus hidrologi yang dapat dilihat pada tingkat sub DAS dan HRUs. Pada tingkat Sub-DAS dan HRU, informasi yang diperoleh meliputi jumlah curah hujan, evapotranspirasi, kandungan air tanah, perkolasi, aliran permukaan, aliran dasar, aliran lateral, dan total hasil air yang masuk kedalam saluran utama pada setiap sub-basin selama periode simulasi. Gambar 4 menyajikan Representasi fase lahan pada siklus hidrologi.
45
Evaporasi dan transpirasi
Presipitasi
Daerah perakaran
Infiltrasi/penyerapan tanaman
Zona tak jenuh (vadose zone) Aquifer dangkal (tak tertekan)
Aliran permukaan (surface runoff) Aliran lateral
Penguapan dari aquifer dangkal
Perkolasi ke aquifer dangkal
Aliran air tanah (return flow)
Lapisan kedap Aquifer dalam (tertekan)
Aliran keluar DAS
Pengisian ke aquifer dalam
Gambar 4. Representasi fase lahan pada siklus hidrologi (Neitsch et al, 2004)
Fase kedua adalah fase pergerakan air (fase air) pada siklus hidrologi yang didefinisikan sebagai pergerakan air, sedimen, hara dan pestisida melalui jaringan sungai sampai ke outlet (Neitsch et al. 2009). Pada fase ini dapat diperoleh informasi jumlah aliran yang masuk dan keluar sungai utama, Jumlah air yang hilang melalui penguapan dan rembesan selama periode simulasi (Arsyad, 2006). Penggunaan software MWSWAT saat ini sudah cukup menjadi tuntutan untuk menganalisis perkembangan hidrologi dan sifat tanah dengan lebih teliti karena penggunaannya yang praktis dan akurat. Pada analisis hidrologi dalam SWAT, terdapat 17 file input yang harus siapkan, terangkum dalam Tabel 1. Tabel 1. File Data Input dalam SWAT untuk Analisis Hidrologi Nama File
Fungsi
CIO
File untuk mengontrol data input dan output
COD
Mengontrol file input dan output
FIG
Mengidentifikasi jaringan hidrologi sungai
BSN
Mengontrol keragaman parameter di tingkat DAS
46
SUB
Mengontrol keragaman parameter di tingkat Sub DAS
HRU
Menontrol keragaman parameter di tingkat HRU
GW
File air bawah tanah
RTE
File pergerakan air, sedimen, hara dan pestisida
CROP
File parameter tumbuh tanaman
URBAN
File data lahan terbangun / urban area
PCP
File data curah hujan harian
TMP
File temperature udara maksimum dan minimum harian
SLR
File radiasi matahari harian
HMD
File kelembaban udara harian
WGN
File data generator iklim
SOL
File data tanah
MGT
File scenario pengelolaan dan penutupan lahan
Sumber : Neitsch et al, 2004 Data iklim yang menjadi input dalam SWAT adalah temperatur udara maksimum dan minimum harian (oC), radiasi matahari harian (MJ/m2/hari), kelembaban udara harian (%). Data-data tersebut dikumpulkan dalam file TMP, SLR, HMD, dan WGN. Dalam file WGN terdiri dari beberapa file input diantaranya : 1. WLATITUDE yaitu posisi koordinat latitude (posisi lintang selatan) dari stasiun iklim dalam satuan derajat. 2. WLONGITUDE yaitu posisi koordinat longitude (posisi bujur timur) dari stasiun iklim dalam satuan derajat. 3. WELEV yaitu elevasi dari stasiun iklim dalam satuan meter. 4. RAIN_YRS yaitu jumlah tahun pencatatan. 5. TMPMX yaitu temperatur maksimum harian rata-rata per bulan dalam sekian tahun pencatatan (oC). 6. TMPMN yaitu temperatur minimum harian rata-rata per bulan dalam sekian tahun pencatatan (oC). 7. TMPSTDMX yaitu standar deviasi untuk temperatur maksimum harian per bulan dalam sekian tahun pencatatan.
47
8. TMPSTDMN yaitu standar deviasi untuk temperatur minimum harian per bulan dalam sekian tahun pencatatan. 9. PCPMM yaitu rata-rata presipitasi bulanan (mmH2 O). 10. PCPSTD yaitu standar deviasi untuk presipitasi harian per bulan (mmH2O/day). 11. PCPSKW yaitu kooefisien skew untuk presipitasi harian per bulan. 12. PR_W1 yaitu peluang hari basah diikuti hari kering per bulan. 13. PR_W2 yaitu peluang hari basah diikuti hari basah per bulan. 14. PCPD yaitu rata-rata presipitasi harian per bulan. 15. RAINHHMX yaitu hujan maksimum selama pencatatan per bulan (mmH 2O). 16. SOLARAV yaitu rata-rata radiasi matahari per bulan (MJ/m2/hari). 17. DEWPT yaitu rata-rata temperatur titik beku per bulan (oC). 18. WNDAV yaitu rata-rata kecepatan angin harian per bulan (m/s) . Output SWAT terangkum dalam file-file yang terdiri dari file HRU, SUB dan RCH. File HRU berisikan output dari masing-masing HRUs, sedangkan SUB berisikan output dari masing-masing sub DAS dan RCH merupakan output dari masing-masing sungai. Informasi output pada file SUB dan file HRU adalah luas area (AREA km2), jumlah curah hujan (PRECP mm), evoapotransprasi aktual (ET mm), kandungan air (SW), aliran permukaan (SURQ mm), aliran lateral (LATQ), aliran dasar (GWQ), hasil sedimen (SED ton/ha). Informasi output yang dibutuhkan dalam penelitian pada file ini adalah luas area (AREA km2) dan jumlah curah hujan (PRECP mm). Informasi pada masing-masing sungai pada output RCH setiap sub DAS adalah jumlah debit yang masuk (FLOW_IN m3/det), jumlah debit keluar (FLOW_OUT m3/det). Penggunaan model suatu DAS harus harus memperhatikan faktor validitasnya. Untuk itu model perlu dikalibrasi dan validasi. Kalibrasi adalah pengujian model agar dapat menggambarkan keadaan sebenarnya, validasi adalah membandingkan secara visual kurva debit hasil simulasi dengan kurva debit hasil pengukuran
stasiun
pengamat.
Dalam
perkembangannya,
SWAT
telah
dikembangkan oleh Windows, microsoft Visual Basic, GRASS dan ArcView. SWAT juga telah mengalami validasi yang luas. Validasi yang dilakukan Fohrer dan Frede (2002) menggunakan menghasilkan nilai efisiensi model sebesar 0.66.
48
Pengujian model dapat digunakan SWAT Plot and Graph. Pada SWAT Ploth and Graph digunakan koefisien determinasi (R2) dan Nash-Sutfcliffe Model Efficiency (ENS) (Neitsch et al, 2009). Koefisien determinasi menunjukkan seberapa dekatnya nilai yang dihasilkan oleh hasil simulasi dengan nilai sesungguhnya di lapangan. ENS untuk mengevaluasi model hasil simulasi. Santi et al. (2001) dalam Junaidi (2009) menunjukan hasil simulasi dikriteriakan baik jika nilai ENS dan R2 adalah ENS≥0.5 dan R2≥0.6. Moriasi et al (2007) menyarankan bahwa ENS bernilai lebih dari 0.5 agar model menghasilkan simulasi yang akurat untuk analisis hidrologi. Van Liew (2003) dalam Junaidi (2009) menunjukan hasil simulasi dikriteriakan sebagai berikut : a. Baik jika nilai ENS≥0.75 b. Memuaskan jika nilai 0.36<ENS<0.75 c. Kurang memuaskan jika nilai ENS< 0.36
49