II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidrologi Hujan yang jatuh ke bumi baik langsung menjadi aliran maupun tidak langsung melalui vegetasi atau media lainnya akan membentuk siklus aliran air mulai dari tempat yang tinggi (gunung, bukit) menuju ke tempat yang rendah baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah yang berakhir di laut. Air yang di laut maupun daratan mengalami evaporasi, begitu pula vegetasi yang mengalami transpirasi yang diakibatkan oleh radiasi matahari yang selanjutnya membentuk gumpalan uap air/awan yang kemudian secara gravitasi jatuh dalam bentuk hujan. Kejadian tersebut merupakan suatu pergerakan yang membentuk suatu siklus dan yang disebut sebagai siklus hidrologi tertutup seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Siklus Hidrologi Tertutup (Chow et al., 1988) Aliran air permukaan bisa merupakan satu atau lebih dari sub-sistem dan tidak lagi tertutup, karena system tertutup itu dipotong pada suatu bagian tertentu dari seluruh system aliran. Transportasi aliran diluar bagian aliran air permukaan merupakan masukan dan keluaran dari sub-sistem aliran air permukaan tersebut,
Gambar 2. Aliran Permukaan dan Aliran Bawah Permukaan pada Sistem Terbuka (Lewin, 1985 dalam Kodoatie dan Roestam, 2005) begitu pula dengan aliran air tanah (aliran bawah permukaan) seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2. Daerah aliran sungai (DAS) sebagai satuan wilayah yang dibatasi oleh batasbatas topografi alami yang menerima curah hujan, mengumpulkan dan menyimpan air, sedimen dan unsur hara lainnya, serta mengalirkannnya melalui anak-anak sungai yang kemudian keluar melalui sungai utama, membentuk suatu siklus hidrologi yang terbuka (Pawitan dan Daniel, 1995). 2.2. Aliran Permukaan (Runoff) Aliran permukaan merupakan aliran yang terbentuk pada permukaan tanah saat terjadi hujan dan merupakan penyumbang terbesar hidrograf banjir. Mekanisme pembentukan aliran permukaan dapat diilustrasikan menurut beberapa konsep. Dua konsep yang dapat disajikan diantaranya adalah sebagai berikut : Konsep Horton Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh Horton tahun 1933. Menurut konsep ini, aliran permukaan terjadi saat intensitas hujan melampaui kapasitas
5
infiltrasi tanah. Aliran permukaan dianggap sebagai lapisan air tipis yang menutupi secara merata seluruh permukaan DAS. Konsep Zone Konstributif Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh Cappus tahun 1960, bahwa aliran permukaan dihasilkan dari seluruh curah hujan yang jatuh pada zona kedap (impermeable) atau jenuh yang berfluktuasi mengikuti fluktuasi ketinggian ratarata air tanah. Saat terjadi hujan, zona kontributif meluas dari daerah dekat jaringan sungai menjauh menuju hulu. Konsep Horton
Konsep Zona Kontributif Waktu
Waktu
100% hujan mengalir sebagai aliran permukaan di atas 5% permukaan DAS
5% hujan mengalir sebagai aliran permukaan di atas 100% permukaan DAS
Hujan
Hujan Hujan
Aliran permukaan terjadi pada zona jenuh dan merupakan efek ‘tembakan’ air dari zona jenuh
Aliran permukaan terjadi karena Intensitas hujan > kapasitas infiltrasi
Pengisian air tanah
Hidrograf banjir Vol. _ aliran _ permukaan = 5% Vol. _ hujan
Waktu
Gambar 3.
Konsep Horton dan Konsep Zona Kontributif (Mérot, 1995 dalam Kartiwa, 2004). 6
2.3. Pemisahan Hidrograf Dalam suatu siklus hidrologi, aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang tidak terinfiltrasi oleh tanah ataupun terintersepsi oleh tajuk tanaman, yang mengalir di atas permukaan tanah untuk selanjutnya mencapai sungai (Viessman et al., 1972).
Aliran permukaan (runoff) merupakan komponen
terbesar penyumbang debit pada saat terjadi banjir. Untuk menghitung volume aliran permukaan, para hidrolog menggunakan metode klasik yang dikenal dengan metode analisis pemisahan hidrograf (hydrograph separation). Menurut Viessman et al. (1972), hidrograf debit sungai terdiri dari curah hujan yang jatuh di atas permukaan sungai, aliran bawah permukaan, dan aliran air bawah tanah.
Dalam analisis hidrograf, sumbangan air hujan yang jatuh
langsung di atas permukaan sungai diabaikan. Beberapa peneliti membagi aliran sungai menjadi dua komponen, yakni aliran permukaan dan aliran dasar (baseflow).
Sedangkan peneliti yang lain
mengusulkan pembagian hidrograf menjadi 3 komponen, yaitu : aliran permukaan, aliran bawah permukaan (subsurface runoff) dan aliran air bawah tanah (groundwater flow). a
Q
b
(
Q
(
C C
t (h)
c
Q
t (h)
d
(
Q
( Aliran Aliran bawah
Gambar 4.
t (h)
t (h)
t (h)
t (h)
Aliran bawah tanah
Pemisahan Hidrograf Menjadi Dua Komponen : a) Linsley dan Franzini (1972), b) Réménieras (1976) ; atau 3 Komponen : c) Roche (1963), d) Nouvelot (1993) dalam Kartiwa (2004). 7
Hidrograf aliran menurut Dooge (1973) dapat diterangkan dalam grafik seperti pada Gambar 5.
Aliran permukaan (DRO)
Sisi turun (recession) q = q e − kt t 0
Gambar 5. Kurva hidrograf satuan Keterangan : D = Lama hujan tp’ = waktu mulai hujan lebih sampai terjadi puncak aliran / puncak hidrograf tp = time to peak, yaitu waktu dari setengah massa curah hujan lebih sampai terjadi puncak aliran permukaan / puncak hidrograf tL = time of lag, yaitu waktu dari setengah massa curah hujan sampai setengah massa aliran permukaan tR = time of rise, waktu hidrograf mulai naik sampai terjadi puncak aliran/hidrograf B = waktu hidrograf mulai naik sampai waktu dimana debit relatif kembali mendekati debit hidrograf mulai naik/ besaran yang telah ditetapkan. Bentuk hidrograf sangat dipengaruhi oleh sifat hujan yang terjadi, yaitu : (1) intensitas hujan, (2) lama hujan dan (3) arah gerak hujan. Intensitas hujan yang tingggi akan menyebabkan hidrograf naik dengan cepat, dan biasanya terjadi dalam waktu yang pendek demikian pula sebaliknya. Arah gerak hujan ke hulu akan menyebabkan hidrograf naik mencapai puncak dengan waktu dasar yang relatif panjang dan sebaliknya.
8
2.4. Pemodelan Aliran Permukaan
Transformasi hujan menjadi debit di titik pelepasan (outlet) suatu DAS merupakan sebuah proses sangat kompleks.
Untuk membuat skema proses
tersebut, para hidrolog membaginya menjadi dua bagian: fungsi produksi (production function/loss function) dan fungsi alihan(transfer function). Fungsi produksi menyatakan transformasi curah hujan bruto menjadi curah hujan netto (effective rainfall) melalui berbagai tahapan proses diantaranya: intersepsi oleh tajuk tanaman, penyimpanan oleh cekungan, evaporasi dan infiltrasi. Fungsi produksi yang berperan merubah curah hujan total menjadi hjuan netto pada suatu DAS sangat bergantung pada karakteristik permukaan tanah (pengolahan dan jenis/sifat tanah) dan karakteristik penggunaan lahan atau penutup lahan (Perez, 1994 dalam Kartiwa, 2004). Dalam pemodelan hujan-debit, semua proses tersebut di atas dianggap sebagai kehilangan input hujan. Sedangkan fungsi alihan adalah transformasi curah hujan neto menjadi hidrograf debit aliran permukaan.
Fungsi Produksi
Hujan Neto
Hujan Bruto
Fungsi Alihan
Hidrograf debit
Gambar 6. Ilustrasi Transformasi Hujan-Debit
9
2.4.1. Sub Pemodelan Fungsi Produksi 2.4.1.1.
Metode Sederhana Penentuan Hujan Neto
Hujan neto adalah bagian hujan bruto yang tidak dapat ditahan oleh permukaan ataupun diinfiltrasi ke dalam tanah. Hidrograf hujan neto adalah faktor penting dalam studi transformasi hujan debit (Chow et al., 1988). Penentuan hujan neto dapat dilakukan dengan dua cara berbeda, •
Cara sederhana, jika data debit tersedia
•
Cara deterministik, jika data debit tidak tersedia
Dua metode sederhana yang dimaksud adalah : Indeks infiltrasi (Φ) dan koefisien aliran permukaan (Kr). Menurut Llamas (1993) dalam Kartiwa (2004) , Indeks infiltrasi Φ merepresentasikan
besaran kapasitas infiltrasi rata-rata yang
menentukan intensitas hujan pada interval tertentu untuk terinfiltrasi atau mengalir sebagai aliran permukaan. Intensitas hujan
Aliran Permukaan
Pengisian cadangan air tanah Waktu
Gambar 7. Ilustrasi Indeks Infiltrasi Φ menurut Llamas Nilai Φ ditetapkan berdasarkan rumus dibawah ini : Ru =
M
∑ ( Pb m =1
m
− ΦΔ t )
dimana : Ru : aliran permukaan total dari pengamatan berdasarkan analisis pemisahan hidrograf (mm) Pbm : intensitas hujan bruto untuk interval m (mm)
10
Sedangkan koefisien aliran permukaan (Kr) adalah rasio antara volume aliran permukaan dengan volume presipitasi. Dengan demikian, hujan neto dapat dihitung menggunakan persamaan berikut : M
Ru = ∑ Pbm .Kr m =1
2.4.1.2. Penentuan Hujan Netto Berdasarkan Aplikasi Persamaan Infiltrasi
Pada saat hujan, bagian yang dianggap sebagai kehilangan presipitasi terdiri dari intersepsi oleh penutup tajuk, simpanan depresi permukaan seperti air yang terakumulasi dalam cekungan dan infiltrasi ke dalam tanah. Intersepsi dan simpanan depresi permukaan ditentukan oleh karakteristik vegetasi serta karakteristik permukaan tanah atau dianggap dapat diabaikan untuk kejadian hujan dengan intensitas tinggi (Chow et al., 1988). Untuk menghitung hujan neto, beberapa persamaan infiltrasi dapat digunakan seperti yang telah dikembangkan oleh Green - Ampt (1911), Horton (1933) dan Philip (1957) dalam (Chow et al., 1988). Konsep Horton menyatakan kapasitas infiltrasi sesaat sebagai fungsi waktu menurut persamaan: f(t) = fc + (fo-fc)e-kt f(t) fo fc k t
: kapasitas infiltrasi pada waktu t (mm/menit) : kapasitas infiltrasi awal (mm/menit) : kapasitas infiltrasi final (mm/menit) : konstanta (menit-1) : waktu (menit)
Dengan mengintegralkan persamaan di atas, akan kita dapatkan persamaan untuk menghitung volume infiltrasi (F) pada waktu t : F(t) = fc.t + (fo – fc)(1-e-kt)/k Untuk mempermudah perhitungan pada pemodelan fungsi produksi, kita harus mengintegrasikan persamaan infiltrasi sesaat Horton kedalam persamaan di atas sehingga akan diperoleh model matematik yang menghubungkan antara kapasitas infiltrasi sesaat (f) dengan volume infiltrasi (F): f(t) = fo – k [F(t)-fc.t]
11
Persamaan ini dapat menghitung kapasitas infiltrasi sesaat pada semua kondisi baik tanah telah jenuh atau belum sebagai fungsi dari jeluk air yang sudah terinfiltrasi sebelumnya. Berdasarkan persamaan di atas, intensitas hujan neto dapat dihitung dengan persamaan berikut: Pn(t) =Pb(t) – {fo – k[F(t)-fc.t]} 2.4.1.3. Metoda SCS
Soil Conservation Service (SCS) (1972) telah mengembangkan satu metode untuk menghitung hujan neto dengan mengenalkan prosedur sederhana disebut tehnik bilangan kurva (Curve Number). Menurut metode ini, aliran permukaan (atau hujan neto) dihitung menurut persamaan : Q=
(P − I a ) 2 (P − 0,2S ) 2 = (P − I a + S ) P + 0,8S
⎛ 1000 ⎞ S = 25,4⎜ − 10⎟ ⎝ CN ⎠ Q : debit aliran permukaan atau hujan neto (mm) P : curah hujan (mm) Ia : kehilangan inisial (mm) S : retensi potensial maksimum (mm) CN : Curve Number (tidak berdimensi, ditentukan berdasarkan tabel) 2.4.2. Sub Pemodelan Fungsi Alihan / Fungsi Transfer 2.4.2.1. Model Fungsi Alihan Berbasis Hidrograf Satuan
Hidrograf satuan adalah suatu hidrograf tipikal dari suatu basin yang merupakan penjumlahan hidrograf-hidrograf dasar.
Disebut hidrograf satuan,
karena untuk penyederhanaan, volume aliran permukaan pada hidrograf disesuaikan dengan 1 cm kedalaman ekivalen di atas basin. Hidrograf dasar sendiri adalah gambaran teorik kurva aliran permukaan DAS kecil dan kedap yang mendapatkan input curah hujan yang konstan (Sherman, 1932 dalam Kartiwa, 2004). Gambar 8a dan 8b mengilustrasikan hidrograf yang dihitung berdasarkan penjumlahan hidrograf-hidrograf dasar menurut konsep hidrograf satuan. 12
Hidrograf total pada Gambar 8a diturunkan dari penggandaan intensitas hujan satuan dari satu unit intensitas hujan menjadi dua unit, sedangkan hidrograf total pada Gambar 8b diturunkan dari penggandaan lama hujan dari satu unit lama waktu menjadi tiga. Hujan satuan dengan intensitas A dan B (intensitas total = A+B)
B
Aliran permukaan berasal dari hujan satuan B
Aliran permukaan berasal dari hujan satuan A
A
Gambar 8a. Ilustrasi hidrograf berasal dari kejadian hujan dengan intensitas dua kali lipat hujan satuan.
Hujan satuan dengan intensitas sama, lama hujan total = 3xA
A
B
C
Aliran permukaan berasal dari hujan satuan C Aliran permukaan berasal dari hujan satuan B Aliran permukaan berasal dari hujan satuan A
Gambar 8b.Ilustrasi hidrograf berasal dari kejadian hujan dengan lama hujan tiga kali lipat hujan satuan Saat diperkenalkan pertama kali oleh Sherman, hidrograf satuan diturunkan berdasarkan analisis pemisahan hidrograf data debit pada episode tertentu serta dilakukan analisis sederhana hubungan antara debit aliran permukaan yang diperoleh dengan pasangan histogram hujannya. Terdapat beberepa metode empiris yang dikembangkan oleh para penerus Sherman untuk menghitung hidrograf satuan, diantaranya adalah sebagai berikut : 2.4.2.2. Model Nash.
Nash (1957) mengenalkan sebuah model yang dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa bentuk hidrograf dari suatu DAS identik dengan hidrograf dari suatu seri n 13
reservoar linier identik. Hidrograf satuan diperoleh berdasarkan pengatusan hujan satuan yang melewati reservoar-reservoar dimaksud. 1 ⎛ t ⎞ u (t ) = ⎜ ⎟ K (n − 1)! ⎝ K ⎠
dimana : u(t)
n −1
e −t / K
: hidrograf satuan
K
: parameter reservoar
n
: jumlah seri reservoar
K dan n dapt dihitung dengan metode momen : M 1 = nK M 2 = n(n + 1) K 2
2.4.2.3.
Model Rodriguez-Iturbe dan Valdes.
Rodriguez-Iturbe dan Valdes (1979) memperkenalkan konsep hidrograp satuan geomorphologi
(Geomorphologic
Instantaneous
Unit
Hydrograph/GIUH).
Menurut konsep GIUH, hidrograf satuan dapat diturunkan dari fungsi kerapatan probabilitas (probability density function/PDF) waktu tempuh setiap butir hujan dari titik jatuhnya di permukaan DAS sampai titik pelepasan (outlet). GIUH dihitung dengan persamaan berikut: u (t ) =
d P(Tb ≤ t ) = ∑ [ f T ,ω (t ) * ... * f T ,Ω ] P( s ) dt s∈S
dimana : S
: jumlah keseluruhan jaringan hidrologi yang mungkin terdapat dalam suatu DAS fT,ω(t) : fungsi kerapatan probabilitas waktu tempuh, jaringan hidrologi orde ke s P(s) : probabilitas kejadian jaringan hidrologi s Ts : waktu tempuh dalam jaringan hidrologi s * : konvolusi Rodriguez-Iturbe dan Valdés (1979) mengasumsikan bahwa fungsi
kerapatan probabilitas waktu tempuh fT,ω(t) memiliki bentuk ekponensial dengan parameter λω : f T ,ω (t ) = λω e − λω t
14
λω = dengan : v Lω 2.4.2.4.
v Lω
: kecepatan rata-rata aliran : panjang rata-rata jaringan hidrologi Model H2U
Model H2U (Hydrogramme Unitaire Universel), dikembangkan oleh laboratorium hidrologi, Ecole Nationale Supérieure Agronomique (ENSA) Rennes oleh Profesor Jean Duchesne. Model ini lahir sebagai pembuktian secara teoritis, asumsi bahwa hidrograf debit dan juga fenomena fisik lainnya dapat dinalogikan seperti distribusi kecepatan molekul menurut hukum Maxwell atau repartisi spektral radiasi benda hitam menurut hukum Planck (Duchesne et al., 1998 dalam Kartiwa , 2004 ; Irianto et al., 1997). Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut konsep HUIG menurut Rodriguez-Iturbe dan Valdes (1979). Model H2U menghitung kurva pdf butir hujan berdasarkan dua parameter yang dapat dihitung secara mudah pada peta jaringan sungai yaitu n, order sungai maksimum dan L rataan, yaitu panjang ratarata jalur aliran air, seperti persamaan berikut ini. n
n
L = ∑ li i =1
ρ(L) L n L Γ
n
n. L
−1 − dN L ⎛ n ⎞ 2 1 ρ ( L) = .L2 .e 2.L =⎜ ⎟ . N .dL ⎝ 2.L ⎠ ⎛n⎞ Γ⎜ ⎟ ⎝2⎠
: pdf panjang alur hidraulik : panjang alur hidraulik : order sungai : panjang rata-rata alur hidraulik : fungsi gamma x
− 1 .xα −1.e β f ( x, α , β ) = α β Γ(α )
Persamaan diatas diaplikasikan untuk menghitung pdf waktu tempuh butir hujan pada jaringan sungai, menjadi seperti berikut: ⎛ n.V ρ RH (t ) = ⎜⎜ RH ⎝ 2.L
n
n.VRH .t n −1 − ⎞2 1 2 ⎟ . .t .e 2.L ⎟ n ⎛ ⎞ ⎠ Γ⎜ ⎟ ⎝2⎠
15
dengan : ρRH(t) : pdf jaringan sungai sebagai fungsi waktu t. n
: order maksimum DAS
VRH
: kecepatan aliran rata-rata pada jaringai sungai
L
: panjang rata-rata jalur hidraulik pada jaringan sungai
Γ
: fungsi gamma
t
: interval waktu
¾ Penentuan Order Sungai Order sungai menunjukkan tingkat kerapatan jaringan sungai suatu DAS. Order sungai dapat ditetapkan salah satunya menurut metode Strahler (1964). Menurut metode ini, penentuan order sungai mengikuti kaidah sebagai berikut: •
Order pertama adalah awal aliran yang tidak memiliki cabang sungai,
•
Apabila dua aliran dari order ω bergabung akan terbentuk order ω + 1,
•
Apabila dua aliran dari order yang berbeda bergabung akan membentuk aliran sama dengan order yang lebih besar (Gambar 9). 1 1 1
1 2 2
1
1 3
2
1
2 3 1 3
2 3
2
4
1 1
1
1
Gambar 9. Sistem Order Sungai Menurut Strahler Strahler, 1964.
¾ Penentuan Panjang Jalur Hidraulik Penentuan panjang jalur hidrolik merupakan penjumlahan jalur aliran dari ordo sungai yang paling awal dimasuki oleh titik air sampai ke outlet.
16
A kontur
l1 l2
l3
Air hujan jatuh pada titik A, panjang total :
L
= l1 + l2 + l3
Gambar 10. Ilustrasi Penentuan Panjang Jalur Hidraulik Untuk menghitung debit aliran permukaan, digunakan rumus sebagai berikut :
Q ( t ) = S [PN ( t ) ⊗ ρ ( t ) ] Q(t) S PN(t) ρ(t)
8
: debit aliran permukaan pada waktu t : luas DAS : intensitas hujan neto pada waktu t : pdf waktu tempuh butir hujan pada waktu t dihitung dari pdf panjang alur hidraulik berdasarkan penetapan kecepatan aliran : simbol konvolusi
2.5. Metode Fungsi Kerapatan Peluang Klasik Debit aliran dapat dihitung melalui proses convolution yaitu :
QD (t ) = S
t
∫
Ii (τ ) ρ (t − τ ) dτ
0
QD (t ) = debit aliran (m3/s), S = area DAS (m2), Ii (τ ) = rata-rata hujan efektif di seluruh DAS, dan ρ (t − τ ) adalah fungsi kerapatan peluang (IUH).
17
Fungsi kerapatan peluang (pdf) jaringan hidrologi secara klasik dapat pula diperoleh dari rasio jumlah sungai orde satu pada setiap isokron terhadap total jumlah sungai orde satu di seluruh DAS (Smart, 1972 dalam Chow et al., 1988). Fungsi kerapatan peluang jaringan sungai tersebut dapat ditulis sebagai berikut : ρi=
N
i
n
∑
N
i
i=1
dimana ρi = pdf isokron ke-i, Ni = jumlah jaringan sungai orde-1 yang terdapat pada isokron ke-i. Isokron adalah suatu garis maya yang membatasi luasan area dari suatu DAS di mana hujan yang jatuh di dalamnya kemudian menjadi aliran permukaan diasumsikan mempunyai waktu tempuh yang sama, mengalir menuju outlet. Sedangkan area di dalam batas dua garis isokron disebut sebagai isodistance.
Ordinat Y
pdf6
pdf5 pdf3
pdf4
pdf2
Isokron
pdf1 Absis X
Pdf
fdp1
fdp2
fdp
fdp
fdp
fdp
Jarak Dari Outlet atau waktu
Gambar 11. Pdf Waktu Tempuh Butir Air Hujan dan Isokron 18
2.6. Hubungan Morfologi DAS Terhadap Hidrograf Satuan Morfologi DAS yang menentukan dalam analisis hidrograf debit aliran permukaan pada suatu DAS adalah kemiringan sungai utama, bentuk DAS, ordo sungai, nisbah percabangan sungai , nisbah panjang sungai dan kerapatan drainase (Arsyad, 2000; Asdak, 1977; Sri Harto, 1993; Strahler, 1964). Daya tampung terhadap masukan hujan ditentukan oleh luas DAS, makin luas makin besar volume air yang dapat disimpan dan dialirkan dalam bentuk debit sungai, sehingga bentuk hidrograf akan berbeda untuk luasan DAS yang berbeda. Kemiringan DAS akan menentukan kecepatan aliran sungai, yang akan pula menentukan daya kuras DAS. Semakin besar kemiringan DAS semakin cepat aliran sungai, semakin singkat waktu mencapai puncak hidrograf. Llamas (1993) dalam Kartiwa (2004) menyatakan bahwa besaran V dapat juga diperoleh dari persamaan = 20 Sin
3/5
α dengan α adalah beda tinggi antara titik titik ujung
sungai ordo 1 sampai outlet yang terpanjang dibagi jarak terpanjang sungai ordo1 sampai outlet yang terpanjang tersebut. Bentuk DAS dan nisbah percabangan mempunyai hubungan seperti yang terlihat pada Gambar 12.
Debit
Waktu
Waktu
Gambar 12. Bentuk DAS dan nisbah percabangan Bentuk DAS yang memanjang dengan ordo sungai yang kecil akan mempunyai nisbah percabangan yang rendah, dimana kurva hidrograf relatif lebih melandai dengan debit puncak yang lebih kecil (Strahler, 1964). 19
2.7. Sistim Informasi Geografis Sistim Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistim perangkat keras dan lunak komputer serta prosedur-prosedur yang dirancang untuk mendukung perolehan, pengelolaan, manipulasi, analisis, pengaturan dan penampilan data bereferensi keruangan & dipakai sebagai sarana acuan dalam perencanaan, dan pengelolaan permasalahan yang kompleks (Federal Interagency Coordinating Committee, 1988 dalam Antenucci et al., 1991). Maidment (1996) menyatakan ada 10 tahapan prosedur dalam analisis hidrologi berbasis SIG, yaitu ; (1) rancangan studi yang meliputi tujuan, ruang lingkup, algoritma proses analisis dan variable masukan yang akan dihitung, (2) analisis terrain untuk delineasi DAS dan struktur jaringan aliran dari DEM, (3) analisis permukaan lahan yang meliputi aspek tanah, penutup lahan, perubahan perkotaan dan jalan, (4) analisis aliran bawah permukaan, (5) analisis data hidrologi yang meliputi posisi stasiun curah hujan, pengukuran data secara berkala dan interpolasi data iklim yang bersifat titik menjadi wilayah, (6) analisis neraca air yang meliputi proses evapotranspirasi, infiltrasi, dan intersepsi, (7) analisis pergerakan air di permukaan dan bawah permukaan, (8) analisis pergerakan sedimen, (9) analisis dampak bangunan air, seperti bendungan dll dan (10) penyajian hasil studi.
2.8. Digital Elevation Model (DEM) dan Piranti Lunak DiGem Permukaan bumi mempunyai jumlah titik elevasi yang tidak terbatas untuk diukur dan adalah mustahil untuk merekam seluruh titik tersebut.
Sebuah
pendekatan metode sampling harus digunakan untuk memperoleh titik-titik yang representatif sehingga dapat mewakili bentuk permukaan bumi yang aktual. Ada tiga metode yang biasa digunakan dalam merepresentasikan bentuk muka bumi secara digital yaitu :
¾ Dalam bentuk garis kontur (line model) ¾ Bentuk matrik grid cell yang teratur dan dikenal dengan istilah DEM (Digital Elevation Model) yang dapat dikelompokkan lagi menjadi : •
Format Lattice, apabila setiap titik perpotongan dari matrik grid cell (pixel) mempunyai nilai elevasi tertentu. 20
•
Format Raster, apabila setiap matrik grid cell (pixel) diwakili oleh satu nilai elevasi, sehingg setiap pixel mempunyai ketinggian yang sama/datar.
¾ Bentuk segitiga-segitiga tidak beraturan yang berhubungan satu sama lain berdasarkan hukum Delaunnay disebut Triangulated Irregular Network (TIN). Masing-masing metode diatas mempunyai kelebihan dan kekurangannya, tetapi Hutchinson dan Gallant (1999) menyatakan bahwa format raster (DEM) ini memudahkan proses integrasi dengan data , karena sudah mempunyai bentuk dasar yang sama yaitu grid (pixel/raster). DiGem (Digitales Gelände-Modell) merupakan piranti lunak yang dikhususkan untuk analisis permukaan bumi (digital terrain analysis), dengan menggunakan bahasa program C++ pada platform Windows. Model ini dibangun oleh Olaf Conrad pada tahun 1997/98
pada saat menyelesaikan disertasinya
dengan judul 'Derivation of Hydrologically Significant Parameters from Digital Terrain Models' pada Departement for Physical Geography, University of Göttingen (Germany). Saat ini piranti lunak DiGem telah dikembangkan dengan nama SAGA (System for Automated Geoscientific Analyses) dan merupakan piranti lunak Free Open Source Software (Conrad, 2005). Melalui piranti lunak DiGem, analisis parameter permukaan bumi seperti kemiringan lereng (slope), arah lereng (aspect), pembuatan jaringan aliran buatan dan delineasi area DAS dapat diturunkan dari data DEM. Akurasi data DEM dalam merepresentasikan bentuk permukaan bumi tergantung dari jarak/ kerapatan data titik-titik tinggi (kontur) yang tersedia, semakin rapat titik tinggi yang tersedia akan mendekati keadaan aktual permukaan bumi seperti terlihat dalam Gambar 13.
Gambar 13. Pengaruh Kerapatan Data DEM Merepresentasikan Bentuk Bumi Selanjutnya Maidment (1996) menunjukkan hubungan antara ukuran sel DEM dan ukuran besar DAS seta tipe aplikasi hidrologi yang cocok untuk diterapkan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. 21
Tabel 1. Hubungan Antara Ukuran Sel DEM dan Tipe Aplikasi Hidrologinya Ukuran sel DEM Geografi 1” 3” 15” 30” 3’ 5’
Ukuran sel DEM Metrik 30 m 90 m 460 m 930 m 5,6 km 9,3 km
Ukuran DAS (km2) 5 40 1000 4000 150.000 400.000
Tipe Aplikasi Urban watersheds Rural watersheds River basins Nations Continents Global
2.9. Analisis Batas DAS dan Jaringan Aliran Buatan. Ilustrasi penarikan batas sub DAS pada berbagai ukuran grid dan skala disajikan pada Gambar 14. Melalui analisis data DEM dengan piranti lunak Digem, terbentuk jalur aliran buatan sehingga membentuk jaringan hidraulik simulasi seperti terlihat pada Gambar 15 (Conrad, 2001). Ukuran grid 200 m, skala 1 : 250.000
Ukuran grid 100 m, skala 1 : 100.000
Ukuran grid 50 m, skala 1 : 50.000
Ukuran grid 25 m, skala 1 : 25.000
Gambar 14. Ilustrasi Batas sub-DAS pada Berbagai Grid dan Skala (Rieger, 1992)
22
Image I terbentuk melalui pewarnaan (shading) berdasarkan nilai ketinggian setiap pixel yang diperoleh dari data DEM
Image III memperlihatkan jaringan aliran yang terbentuk ke semua arah sampai di pinggir batas area data DEM.
Image II terbentuk warna biru yang merupakan cekungan (sinks) hasil routine algoritma berdasarkan nilai ketinggian setiap pixel, tetapi jaringan aliran masih harus diperhitungkan untuk semua arah aliran.
Image terakhir menggambarkan jaringan drainase (aliran) peta yang seutuhnya dari seluruh area DEM
Gambar 15. Ilustrasi pembuatan jaringan aliran artificial (channel network) melalui piranti lunak DIGEM