II. TINJAUAN PUSTAKA A. Daur Hidrologi Persediaan air segar dunia hampir seluruhnya didapatkan dalam bentuk hujan sebagai hasil dari penguapan air laut. Proses – proses yang tercakup dalam peralihan uap lengas dari laut ke daratan dan kembali ke laut lagi membentuk apa yang disebut daur hidrologi (Linsley, 1985). Menurut International Glossary of Hydrology (1974) dalam Asdak (2004) hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya peredaran dan agihannya, sifat – sifat kimia dan fisiknya, dan reaksi dengan lingkungannya, termasuk hubungan dengan makhluk hidup. Daur hidrologi diberi batasan sebagai suksesi tahapan – tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer: evaporasi dari tanah atau laut maupun air pedalaman, kondensasi untuk membentuk awan, presipitasi, akumulasi di dalam tanah maupun dalam tubuh air, dan evaporasi kembali (Seyhan, 1990). Tahap pertama dari dari daur hidrologi penguapan air dari samudera. Uap ini dibawa di atas daratan oleh massa udara yang bergerak. Bila didinginkan hingga titik embunnya, maka uap tersebut akan membeku menjadi butiran air yang dapat dilihat yang membentuk awan atau kabut. Dalam kondisi meteorologis yang sesuai, butiran – butiran air kecil itu akan berkembang cukup besar untuk dapat jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan (Linsley, 1985). Ketika hujan mencapai permukaan, sebagian akan tertahan oleh tumbuh – tumbuhan dan sebagian akan jatuh langsung ke permukaan tanah. Air hujan yang terkumpul di daun atau batang tumbuh – tumbuhan disebut intersepsi (interception). Jumlah air yang tertahan oleh tumbuh – tumbuhan tergantung pada jenis tumbuh – tumbuhan. Air tertahan di permukaan daun sampai hal ini menetes ke bawah sebagai jatuh tidak kedap (through fall) atau mengalir ke bawah melalui batang daun yang akhirnya mencapai permukaan tanah sebagai aliran batang (steam flow). Sebagian air yang tertahan akan menguap kembali ke atmosfer, dan disebut kehilangan intersepsi (interception loss). Setelah mencapai tanah, sebagian air akan menyusup ke dalam tanah ke dalam zona air tanah. Proses ini disebut infiltrasi (infiltration). Air kemudian bergerak secara berlahan berpindah melalui akuifer ke saluran – saluran sungai. Beberapa air yang berinfiltrasi bergerak menuju dasar sungai tanpa mencapai muka air tanah sebagai aliran bawah permukaan (Seyhan, 1990). Setelah bagian presipitasi yang pertama membasahi permukaan tanah dan dan berinfiltrasi, suatu selaput air tipis dibentuk pada permukaan tanah yang disebut dengan detensi permukaan (lapis air). Selanjutnya detansi permukaan menjadi lebih tebal dan aliran air mulai dalam bentuk laminer. Dengan bertambahnya kecepatan aliran, aliran air menjadi turbulen (deras). Air yang sungai, bagian limpasan permukaan disimpan pada depresi permukaan dan disebut cadangan depresi. Akhirnya limpasan permukaan mencapai saluran sungai dan menambah debit sungai (Seyhan, 1990). Air pada sungai berevaporasi secara langsung ke atmosfer atau mengalir ke dalam laut dan selanjutnya berevaporasi. Kemudian, air ini kembali ke permukaan bumi sebagai presipitasi (Seyhan, 1990).
B. Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS – DAS disebelahnya oleh suatu pembagi
3
(divide), atau punggung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi. Semua air permukaan yang berasal dari daerah yang dikelilingi oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan (Linsley, 1985). Menurut Suripin (2004), karakteristik DAS akan berpengaruh besar terhadap besarnya aliran permukaan. Karakteristik tersebut adalah (a) luas dan bentuk DAS, (b) topografi, dan (c) tata guna lahan. Semakin besar luas DAS, semakin besar pula volume aliran permukaan. Bentuk DAS yang memanjang dan sempit akan menghasilkan aliran permukaan yang kecil dibanding DAS yang memiliki bentuk yang melebar dan melingkar. Hal ini karena pada DAS yang memanjang, aliran permukaan akan membutuhkan waktu lama untuk terkonsentrasi pada suatu titik. Topografi akan berpengaruh pada kemiringan lahan, keadaan dan kerapatan parit atau saluran. Volume aliran permukaan akan lebih besar pada DAS yang memiliki kemiringan curam dan saluran yang rapat dibanding dengan DAS yang landai, terdapat cekungan – cekungan, dan jarak antar parit atau saluran yang jarang. Pengaruh tata guna lahan dinyatakan dengan koefisien aliran permukaan (C), yaitu perbandingan antara besar aliran permukaan dengan besar curah hujan. Dengan kisaran 0 – 1, semakin rusak suatu DAS, harga C mendekati satu yang berarti hampir semua air hujan mengalir sebagai aliran permukaan dan sedikit sekali yang berinfiltrasi ke dalam tanah. Perubahan penutupan lahan memberikan respon hidrologis berupa terjadinya perubahan pada limpasan permukaan, erosi dan tingkat pengisian air di bumi. Dalam skala lokal, perubahan penutupan lahan akan memberikan efek secara cepat terhadap hidrologi lokal seperti peningkatan pada limpasan permukaan dan peningkatan erosi. Sebagai indikator fisik DAS, limpasan permukaan berpengaruh terhadap sedimentasi, kualitas air sungai, dan debit sungai. Limpasan permukaan dipengaruhi oleh faktor urbanisasi, kekasapan permukaan, reforestasi, curah hujan, dan persentase penutupan tajuk (Taufik, 2006). DAS berfungsi sebagai penampung air hujan, penyimpan, dan pendistribusian menuju sungai dan saluran lainnya. Gangguan fungsi DAS yang marak terjadi pada saat ini akan berdampak pula terhadap sistem hidrologi (Suripin, 2004)
C. Soil and Water Assessment Tool (SWAT) Soil and Water Assessment Tool yang disingkat SWAT adalah model hidrologi skala daerah aliran sungai (DAS) yang pertama kali dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold untuk USDA Agricultural Research Service (WASWC, 2008). SWAT dikembangkan untuk memprediksi dampak pengelolaan lahan (land management practices) terhadap hasil air, sedimen, dan hasil kimia pertanian pada suatu DAS yang kompleks dan luas dengan beragamjenis tanah, penggunaan lahan dan pola pengelolaan pada waktu yang lama. Menurut Neitsch et. al. (2001) dalam WASMC (2009), SWAT merupakan model hidrologi berbasis proses fisika (physically based model) yang memerlukan informasi spesifik tentang iklim, sifat – sifat tanah, topografi, vegetasi dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS. Proses – proses fisika seperti pergerakan air, sedimentasi, pertumbuhan tanaman, siklus hara dan sebagainya secara langsung dapat dimodelkan oleh SWAT. Proses yang dimodelkan oleh SWAT yang terjadi di dalam DAS didasarkan kepada neraca air. Persamaan neraca air yang berlaku pada model SWAT sebagai berikut : 𝑆𝑊𝑡 = 𝑆𝑊0 +
𝑡 𝑡=1 (𝑅𝑑𝑎𝑦
− 𝑄𝑠𝑢𝑟𝑓𝑐 − 𝐸𝑎 − 𝑊𝑠𝑒𝑒𝑝 − 𝑄𝑔𝑤)…………….(1)
4
Dimana 𝑆𝑊𝑡 adalah kandungan air tanah akhir (mm), 𝑆𝑊0 adalah kandungan air tanah permulaan hari 1 (mm), t adalah waktu (hari), Rday adalah jumlah curah hujan pada hari i (mm), Qsurfc adalah jumlah aliran permukaan pada hari i (mm), Ea adalah jumlah evapotranspirasi pada hari i (mm), Wseep adalah jumlah air yang masuk ke dalam zona vadose pada profil tanah pada hari i (mm), dan Qgw adalah jumlah air yang merupakan air kembali. Deliniasi DAS sebagai areal penelitian dilakukan menggunakan Digital Elevation Model (DEM). DEM membatasi areal penelitian berdasarkan berdasarkan topografi alaminya. Dalam simulasi, suatu DAS dibagi menjadi beberapa Sub DAS. Sub DAS adalah pembagian atau pengelompokan berdasarkan kesamaan penggunaan lahan dan tanah atau sifat lain yang berpengaruh terhadap hidrologi. Informasi masukan untuk setiap sub-basin dikelompokan atau disusun kedalam kategori berikut : iklim, unit respon hidrologi (hydrologic response unit/HRU), genangan/basahan, air bawah tanah, dan saluran utama yang men-drainase sub-basin. HRU adalah kelompok lahan di dalam sub-basin yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah, dan pengelolaan yang unik. Untuk mendapatkan Hydrologic Response Unit (HRU) sebagai unit analisis dilakukan tumpang tindih (overlay) antara peta tanah dengan peta penggunaan lahan. HRU yang terbentuk selanjutnya dihubungkan dengan data iklim yang telah di-entry menggunakan format file.pcp dan file.tmp. Simulasi dijalankan setelah periode simulasi ditentukan. Simulasi hidrologi DAS dengan menggunakan SWAT dapat dibagi menjadi dua bagian.utama. Bagian pertama adalah fase lahan pada siklus hidrologi dan kedua adalah fase pergerakan air pada siklus hidrologi. Pada fase lahan yaitu mengontrol jumlah air, sedimen, hara dan pestisida yang masuk ke sungai. Pada fase pertama ini merupakan fase lahan dari siklus hidrologi yang dapat dilihat pada sub DAS dan HRUs. Pada tingkat sub-DAS dan HRU, informasi yang diperoleh meliputi jumlah curah hujan, evapotranspirasi, kandungan air tanah, perkolasi, aliran permukaan, aliran dasar, aliran lateral, dan total hasil air yang hasil air yang masuk ke dalam saluran utama pada sub-basin selama periode simulasi. Fase kedua adalah fase pergerakan air (fase air) pada siklus hidrologi yang didefinisikan sebagai pergerakan air, sedimen, hara dan pestisida melalui jaringan sungai sampai ke outlet (Neitsch et. al. 2009). Pada fase ini dapat diperoleh informasi jumlah aliran yang masuk dan keluar sungai utama, jumlah air yang hilang melalui penguapan dan rembesan selama periode simulasi (Arsyad, 2006).
D. Sequencial Uncertainty Fitting version 2. Soil and Water Assessment ToolCalibration and Uncertainty Programs (SUFI-2.SWAT-CUP) SWAT-CUP adalah progam komputer yang digunakan untuk kalibrasi model hidrolologi SWAT. SWAT-CUP memiliki empat program link yaitu GLUE, ParaSol, MCMC, dan SUFI-2. SWAT-CUP dapat digunakan untuk melakukan analisis sensitivitas, kalibrasi, validasi dan analisis ketidakpastian pada model hidrologi SWAT. . Pada SUFI2, ketidakpastian parameter – parameter masukan digambarkan memiliki distribusi yang seragam. Kemudian ketidakpastian nilai output, dikalibrasi menggunakan metode 95% Prediction Uncertainty (95PPU). 95PPU dihitung pada level 2.5% sampai 97.5% dari distribusi kumulatif variabel output menggunakan Latin Hypercube Sampling. Konsep algoritma analisis ketidakpastian dari SUFI2 dapat dijelaskan oleh grafik pada Gambar 1. Gambar tersebut mengilustrasikan bahwa nilai tunggal parameter masukan (diwakili oleh titik hitam) memberi pengaruh tunggal pada model yang diwakili oleh garis abu – abu (gambar 1a), kemudian
5
peningkatan ketidakpastian pada nilai dan jumlah parameter masukan (diwakili oleh garis hitam) mempengaruhi nilai output hasil 95PPU yang diilustrasikan oleh luasan wilayah berwarna abu – abu pada gambar 1b. Ketika ketidakpastian pada parameter masukan meningkat yang diwakili oleh garis hitam yang semakin panjang (gambar 1c) maka meningkat pula ketidakpastian pada output yang dihasilkan 95PPU yang diwakili luasan wilayah abu – abu yang semakin lebar. Perpotongan data hasil observasi di sepanjang luasan 95PPU menunjukan bahwa range nilai parameter masukan kalibrasi sudah tepat/valid. Sebagai contoh, jika situasi pada gambar 4d terjadi, dimana data hasil observasi yang diwakili oleh garis merah tidak berpotongan dengan luasan 95PPU maka range nilai parameter masukan harus diubah. Dan jika range nilai parameter masukan sudah sesuai dengan batas nilai fisik yang diinginkan tetapi keadaan tersebut tetap
Gambar 1. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukan dengan ketidakpastian hasil prediksi. Nilai tunggal parameter masukan menghasilkan respon nilai tunggal pada model (a), sedangkan ketidakpastian nilai parameter masukan menyebabkan ketidakpastian pada prediksi nilai output yang digambarkan oleh 95PPU (b dan c), semakin besar nilai ketidakpastian pada parameter masukan, semakin besar ketidakpastian pada output hasil 95PPU (c), jika parameter – parameter masukan berada pada limit nilai maksimumnya dan 95PPU tidak berpotongan dengan data hasil observasi, maka model harus dievaluasi (d).
6
terjadi, maka masalahnya bukan pada parameter masukan kalibrasi tetapi konsep dari model yang harus dievaluasi. SUFI-2 memulai proses kalibrasi dengan mengasusmsikan besarnya ketidakpastian pada parameter masukan, kemudian nilai ketidakpastian berkurang seiring dengan proses kalibrasi sampai dua syarat terpenuhi: (1) sebagian besar data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU dan (2) selisih rata – rata antara batas atas (pada level 97.5%) dan batas bawah (pada level 2.5%) 95PPU kecil. Model dianggap valid jika 80 – 100% data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU serta selisih antara batas atas dan batas bawah 95PPU lebih kecil dari standar deviasi data hasil observasi.
7