9
TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai DAS merupakan suatu kawasan yang dibatasi oleh batasan-batasan topografi secara alami merupakan wilayah hidrologi dengan sungai dan anak-anak sungai sebagai komponen utama untuk mengalirkan setiap air hujan, sedimen dan unsur lainnya pada sungai ke suatu pengeluaran (outlet) dan titik-titik pengukuran debit aliran, sedimen, dan kualitas air suatu sungai. Menurut Arsyad (1989), DAS adalah sebagai satuan wilayah yang terletak diatas suatu titik pada suatu sungai yang oleh batas-batas topografi mengalirkan air yang jatuh diatasnya kedalam sungai yang sama dan mengalir melalui suatu titik yang sama pada sungai tersebut. Menurut Sri–Harto (1993), DAS merupakan daerah tangkapan yang semua airnya mengalir kedalam suatu alur sungai, daerah ini umumnya dibatasi oleh batas topografi yang jelas dan ditetapkan berdasar aliran permukaan. DAS merupakan suatu sistem alami dalam hidrologi dengan sungai sebagai komponen utama. Aliran sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik curah hujan dan kondisi biofisik DAS. Karakteristik biofisik mencakup geometri (ukuran, bentuk, kemiringan DAS), morfometri (ordo sungai, kerapatan jaringan sungai, rasio percabangan, rasio panjang), pedologi dan geologi, serta penutupan lahan (Liamas 1993). Diantara kelima penciri kondisi biofisik, tipe penutupan lahan merupakan satu-satunya parameter yang dapat mengalami perubahan secara cepat dan memberikan pengaruhnya secara signifikan terhadap karakteristik debit (Kartiwa et al. 2004) Fungsi hidrologi DAS adalah berhubungan dengan kemampuan DAS dalam hal: 1) transmisi air, 2) penyangga pada puncak kejadian hujan, 3) pelepasan air secara perlahan, 4) memelihara kualitas air, 5) mengurangi perpindahan massa tanah, misalnya melalui longsor,6) mengurangi erosi, dan 7)mempertahankan iklim mikro (Noordwijk et al. 2004). Menurut Sinukaban (1995), pemanfaatan sumberdaya alam DAS yang tidak memperhatikan kemampuan dan kelestarian lingkungan, akan terjadi kerusakan ekosisten dan tataguna air. Oleh karena itu dalam membuat perencanaan pengelolaan DAS, pilihan teknologi yang tepat adalah berlandasan kaidah-kaidah konsevasi.
10 Fungsi DAS dapat ditinjau dari ketersediaan (supply) yang mencakup kuantitas aliran sungai (debit), dan permintaan (demand) yang mencakup tersedianya air bersih, tidak terjadinya bencana banjir dan kekeringan, tanah longsor dan sedimentasi di sungai. Sulitnya mendapatkan air bersih merupakan faktor penentu utama kemiskinan dan buruknya kesehatan suatu daerah DAS. Masalah persediaan air yang tidak mencukupi bagi masyarakat di daerah hilir dapat ditangani dengan pendekatan: 1. Pendekatan teknisbiasanya diterapkan pada badan sungai di bagian tengah
DAS, yaitu dengan cara meningkatkan kecepatan aliran sungai untuk mengurangi banjir di tempat-tempat yang rawan, membuat bendungan (waduk ) sebagai tempat penampungan air untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat, tumbuhan, dan hewan dari sumber di hulu ke konsumen di hilir. 2. Pendekatan tataguna lahan di hulu, dengan menetapkan kawasan hutan
lindung dan daerah tangkapan air dibagian hulu DAS dengan melakukan rehabilitasi DTA dengan penghijauan, pengolahan tanah yang sesuai dengan upaya konservasi tanah dan air. Upaya konservasi tanah dan air seperti pembuatan sumur resapan, waduk/embung, cek dam serta pelaksanaan upaya-upaya pemanenan air hujan, terasering (terrace), mulsa (mukhing), rorak (silt pit)
Pengelolaan DAS Pengelolaan DAS adalah bagaimana pengaturan terhadap faktor berupa vegetasi, bentuk wilayah, tanah, air dan manusia yang merupakan bagian dari suatu ekosistem DAS, sebab apabila salah satu faktor berubah maka perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap ekosistem DAS. Ekosistem DAS dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama untuk perlindungan fungsi tata air. Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air, yang rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini
11 mencerminkan bahwa,kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement). Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di Daerah Aliran Sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah (Asdak 1995). Setiap terjadinya kegiatan di daerah DAS tidak menimbulkan dampak terhadap DAS apabila dilakukan pengelolaan dengan benar. Daerah hulu misalnya, yang merupakan fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini berupa fungsi tata air (sumber air) oleh sebab itu pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian dalam suatu DAS. Bagian hulu DAS seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, dan pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, DAS bagian hulu merupakan usaha konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan supply air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi (Bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi) (Asdak 1995) Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen-komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu tengah dan hilir sungai berada pada kabupaten yang berbeda. Sungai yang mengalir dari hulu ke hilir akan melewati beberapa kabupaten bahkan propinsi. Oleh karena itu, daerah daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, dan menjadi tanggung jawab bersama. Apabila terjadi bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan,
12 penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir. Gangguan terhadap ekosistem DAS bersumber dari manusia. Apabila fungsi dari suatu DAS terganggu, maka sistem hidrologis akan terganggu. DAS sebagai tempat jatuhnya hujan, resapan dan penyimpanan air menjadi terganggu sehingga rusaknya sistem aliran sungai. Keadaan ini menyebabkan melimpahnya air di musim hujan dan kurangnya air di musim kemarau. Hal ini akan menyebabkan perbedaan yang tajam antara debit sungai pada saat musim hujan dan kemarau yang merupakan indikator rusaknya suatu DAS. Hasil identifikasi DAS kritis yang dilakukkan pada tahun 1998 lalu menunjukkan bahwa 41 DAS dikatagorikan sangat kritis, 56 DAS kritis dan 41 DAS kurang kritis. Laju DAS kritis tiap tahun terus bertambah. Tercatat pada tahun 1984 sebanyak 22 DAS dinyatakan kondisinya kritis. Kemudian bertambah menjadi 39 DAS di tahun 1992. Terus meningkat di tahun 2003 telah mencapai 62 DAS kritis (Kimpraswil 2003). Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang buruk seperti yang dikemukakan di atas adalah upaya menciptakan pendekatan pengelolaan, perencanaan DAS secara terpadu dan menyeluruh, berkelanjutan serta berwawasan lingkungan. Apabila ini terlakssana pengelolaan DAS akan dapat dipakai untuk penanggulanga bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan dengan cepat dan tepat dan baik.
Penggunaan Lahan Menurut Arsyad (1989), sifat-sifat lahan (land characteristics), merupakan suatu keadaan unsur-unsur yang dapat diukur, dan sifat lahan tersebut akan dapat menentukan dan mempengaruhi prilaku lahan seperti ketersediaan air, peredaran udara, perkembangan akar, kepekaan erosi, ketersediaan unsur hara dan sebagainya, sehingga prilaku lahan sangat menentukan pertumbuhan vegetasi yang disebut sebagai kualitas lahan.
13 Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning) yang hasilnya dapat memberikan
alternatif
penggunaan
lahan
dan
batas-batas
kemungkinan
penggunaannya, serta tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan dapat berfungsi secara lestari (FAO 1976). Peran sistem penggunaan lahan pada suatu bentang lahan dapat dinilai dari sudut perubahan tingkat evapotranspirasi yang berhubungan dengan keberadaan pohon, laju infiltrasi tanah yang berhubungan dengan kondisi fisik tanah, dan laju drainase yang berhubungan dengan jaringan drainase (Noordwijk et al. 2004). Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi lahan membawa pengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS diantaranya meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, koefisien aliran permukaan, serta banjir dan kekeringan (Kartiwa et al. 2004). Perubahan penggunaan lahan dengan memperluas permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah dan meningkatkan
aliran
permukaan.
Peningkatan
aliran
permukaan
akan
mempengaruhi debit aliran pada suatu sungai.
Konservasi Air Konservasi air adalah suatu kegiatan pengelolaan, pemanfaatan air secara bijaksana dan menjamin ketersediaan air dengan tetap memelihara serta meningkatan mutunya. Menurut Arsyad (2006),konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapatnya cukup air pada waktu musim kemarau. Konsep dasar konservasi air, jangan membuang-buang dan selalu menjaga sumberdaya air(Kodoatie 2005). Konservasi air meningkatkan efisiensi penggunaan air dan memperbaiki kualitas air sesuai peruntukannya. Konservasi air mempunyai efek berganda, diantaranya adalah mengurangi biaya kerugian akibat banjir, biaya pengolahan air, ukuran jaringan pipa dan lain sebagainya. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa konsevasi air mendapat perhatian yang besar (Suripin 2004; Kadoatie 2005). Konservasi air dapat memperlambat aliran permukaan,
14 menampung dan mengalirkan aliran permukaan sehingga tidak merusak, memperbesar kapasitas infiltrasi air kedalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah dan menyediakan air bagi tanaman. Konservasi air tidak bisa terpisah dari konservasi tanah. Dalam kegiatan usahatani misalnya setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah pasti akan mempengaruhi tata air daerah tersebut. Setiap pemanfaatan lahan untuk kegiatan usahatani pada hulu akan berpengaruh terhadap kondisi hidrologi dan tata air lahan yang berada di wilayah hilir.
Sistem Panen Hujan Sistem panen hujan (rainwater harvesting sistem) adalah suatu cara yang dilakukan untuk menampung aliran air hujan yang jatuh pada suatu kawasan dalam bak/kolam penampungan. Sistem panen hujan dilakukan pada daerah yang mempunyai intensitas hujan cukup tinggi dengan periode tidak ada hujan yang cukup lama. Jumlah air hujan yang dapat dipanen tergantung dari bentuk topografi dan kemampuan tanah untuk menahan air. Pemanenan hujan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga, ternak dan pertanian (Suripin 2004; Kadoatie 2005). Menurut Arsyad (2006), aliran permukaan (surface runoff) adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah atau bumi yang sifatnya dinyatakan dalam jumlah kecepatan, laju dan gejolak aliran permukaan. Menurut Asdak (2004), aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Air hujan ada yang langsung masuk kedalam tanah disebut dengan infiltrasi. Besar kecilnya aliran permukaan dipengaruhi oleh banyak faktor yang dikelompokan menjadi dua yaitu; faktor yang berkaitan dengan iklim (khususnya curah hujan), dan faktor yang berkaitan dengan karakteristik DAS (Suripin 2004). Hal penting dari aliran permukaan adalah kaitannya dengan rancang bangun pengendali aliran permukaan yaitu besarnya debit puncak (peak flow) dan waktu tercapainya debit puncak, volume dan sebaran air permukaan. Pengembangan sistem panen hujan dan aliran permukaan dapat dilakukan dengan aplikasi teknologi konservasi air yang tepat guna, murah dan aplicable
15 untuk mengatur ketersediaan air agar dapat memenuhi kebutuhan air (water demand) yang semakin sulit didapatkan dengan cara-cara alamiah (natural manner). Teknologi konservasi air yang sederhana, dengan biaya yang relatif murah. Teknologi itu antara lain embung, dam parit dan cek dam
Bangunan Panen Hujan Embung Embung atau tandon air merupakan waduk berukuran mikro (small farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan dan aliran permukaan di musim hujan. Air yang ditampung tersebut selanjutnya digunakan sebagai sumber irigasi suplementer untuk budidaya komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi (high added value crops) di musim kemarau atau di saat curah hujan tidak memenuhi kebutuhan irigasi. Embung merupakan salah satu teknik pemanenan air (water harvesting) yang sangat sesuai di segala jenis agroekosistem. Pada ekosistem tadah hujan atau lahan kering dengan intensitas dan distribusi hujan yang tidak merata, embung dapat digunakan untuk menahan kelebihan air dan menjadi sumber air irigasi pada musim kemarau. Embung adalah bangunan konservasi air berbentuk kolam untuk menampung air hujan dan limpasan permukaan serta sumber air lainnya (mata air) pada lahanlahan pertanian. Kasiro et al. (1994) mengatakan embung sebagai tandon air merupakan waduk berukuran mikro yang dibangun untuk menampung kelebihan air di musim hujan dan selanjutnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dengan urutan prioritas: penduduk, ternak dan irigasi. Jumlah kebutuhan air akan menentukan tinggi tubuh embung, dan kapasitas tampung embung. Kedua besaran tersebut perlu dibatasi karena kesederhanaan teknologi yang dipakai. Batasan tersebut sebagai berikut: a. Tinggi tubuh embung maksimum 10 m untuk tipe urugan, dan 6 m untuk tipe graviti atau komposit; dimana tinggi tubuh embung diukur dari permukaan galian fondasi terdalam hingga ke puncak tubuh embung. b. Kapasitas tampung embung maksimum 100.000 m3. c. Luas daerah tadah hujan maksimum 100 ha = 1 km2 Secara operasional embung berfungsi untuk mendistribusikan dan menjamin
16 kontinuitas ketersediaan pasokan air untuk keperluan tanaman ataupun ternak di musim kemarau dan penghujan. Secara teknis embung harus memiliki tangkapan air yang memadai dan dilengkapi dengan bangunan penangkap lumpur, pelimpas dan pintu pengambilan. Berdasarkan pedoman teknis konservasi air melalui pembangunan embung tahun 2007, luas minimal sebuah embung adalah 170 m3 dengan kedalaman galian 2-2.5 m. Pedoman konservasi air 2008 Volume galian merupakan volume air yang akan ditampung. Besaran volume yang dibuat minimal 260 m3 (10m x 13m x 2m). Besaran volume embung ini akan tergantung pada biaya yang tersedia, konstruksi embung yang akan digunakan atau adanya partisipasi dari masyarakat.
Bangunan Panen Hujan Cek Dam Cek Dam merupakan salah satu bangunan fisik yang dibangun dalam rangka menampung sedimen dan sekaligus meningkatkan dan mengembangkan daya guna air secara maksimal. Sebelum terisi penuh dengan sedimen, air yang tertahan di cek dam dapat dimanfaatkan untuk irigasi, pariwisata, perikanan dll. Menurut Sinukaban (2007) cek dam merupakan salah satu teknik konservasi tanah dan air yang sederhana, namun berguna untuk menampung air hujan, dan dapat menurunkan koefisien aliran permukaan sungai, yang menyebabkan banjir. Daya tampung cek dam cukup sekitar 100 atau 200 m3 1. Cek Dam pada umumnya dibangun pada daerah hulu sebagai upaya pengamanan proyek-proyek yang lebih besar yang berada di bawahnya. Walaupun dengan dimensi yang relatif kecil, apabila dibangun dalam jumlah banyak di daerah hulu yang rawan erosi, bangunan ini cukup efektif dalam upaya pengendalian sedimentasi yang dapat menyebabkan pendangkalan sungai, danau, waduk, atau bendungan yang berada di bawahnya. Kriteria cek dam diantarannya adalah, sedimen dan erosi yang tinggi, lahan kritis, luas DTA 100-250 Ha, tinggi bendung 8 m, kemiringan rata-rata DTA 830%, struktur tanah stabil.
1
http://www.suaramerdeka.com
17 Model Aliran Permukaan DAS Aliran permukaan merupakan intensitas hujan yang jatuh pada DAS yang melebihi kapasitas infiltrasi sehingga mengisi daerah-daerah cekungan dan akhirnya masuk ke sungai sebagi aliran sungai. Bila aliran ini terkonsentrasi pada suatu sungai akan dapat menyebabkan banjir, dan menjadi permasalahan di suatu DAS. Aliran permukaan (debit sungai) pada daerah pengaliran dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas hujan, lama hujan, dan karakteristik daerah pengaliran. Banyaknya faktor dalam menentukan aliran permukaan, menyebabkan susahnya menentukan aliran permukaan pada suatu daerah pengaliran. Agar persoalan aliran permukaan dapat diselesaikan maka dipakai model. Model adalah merupakan contoh nyata dari suatu keadaan yang disederhanakan dengan hukum-hukum alam/konsep yang telah teruji, yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan suatu analisa. Indarto (2010), mengatakan bahwa model adalah suatu perkiraan atau penyederhanaan dari realitas yang sebenarnya. Model adalah contoh sederhana dari sistem dan menyerupai sifat-sifat sistem yang dipertimbangkan, tetapi tidak sama dengan system (Sitompul S M 2006). Model MAPDAS (Model Aliran Permukaan Daerah Aliran Sungai) adalah Model analisa debit sesaat dengan interval menitan atau jam-jamanyang menggunakan 3 parameter.Model ini dikembangkan berdasarkan integrasi Model SCS Curve Number (SCS-USDA 1972) dengan Model H2U (Hydrogramme Unitaire Universelle) (Duchesne J. and Cudennec C1998). Model
Soil
Conservation
Service
(SCS1972)satu
metode
untuk
menghitung hujan neto dengan prosedur yang sederhana dengan tehnik bilangan kurva (Curve Number).Menurut metode ini, aliran permukaan (atau hujan neto) dihitung menurut persamaan : Q
(P I a ) 2 ( P 0,2S ) 2 (P I a S ) P 0,8S
1000 S 25,4 10 CN Q
: debit aliran permukaan atau hujan neto (mm)
18 P
: curah hujan (mm)
Ia
: kehilangan inisial (mm)
S
: retensi potensial maksimum (mm)
CN
: Curve Number (tidak berdimensi, ditentukan berdasarkan tabel) Model H2U (Hydrogramme Unitaire Universel), yang dikembangkan oleh
laboratorium hidrologi, Ecole Nationale Supérieure Agronomique (ENSA) Rennes oleh Profesor Jean Duchesne. Model ini lahir sebagai pembuktian secara teoritis, asumsi bahwa hidrograf debit dan juga fenomena fisik lainnya dapat dinalogikan seperti distribusi kecepatan molekul menurut hukum Maxwell atau repartisi spektral radiasi benda hitam menurut hukum Planck (Duchesne et Cudennec1998). Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut konsep HUIG menurut Rodriguez-Iturbe dan Valdes (1979). Model H2U menghitung kurva pdf butir hujan berdasarkan dua parameter yang dapat dihitung secara mudah pada peta jaringan sungai yaitu n, order sungai maksimum menurut Strahler (Strahler 1952) dan L rataan, yaitu panjang rata-rata jalur aliran air. n
n. L
1 dN L n 2 1 ( L) .L2 .e 2. L . N .dL 2.L n 2 ρ(L): pdf panjang alur hidraulik
L
: panjang alur hidraulik
n
: Order sungai
L
: panjang rata-rata alur hidraulik
Γ
: fungsi gamma
n
Versi awal model H2U tidak memperhitungkan aspek hidrologis lereng (hillslope). Berdasarkan asumsi bahwa order sungai maksimum (n) pada lereng adalah sama dengan 2, maka persamaan diatas dapat digunakan untuk menghitung pdf lereng dengan bentuk persamaan sebagai berikut : lo
1 v (l o ) .e lo lo
19 dengan: ρ(lo): pdf panjang alur hidraulik pada lereng lo
: panjang alur hidraulik pada lereng
l o : panjang alur hidraulik rata-rata pada lereng
Selanjutnya, dengan menetapkan kecepatan aliran pada lereng, pdf waktu tempuh butir hujan pada lereng dapat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:
v (t )
Vv lo
.e
Vv .t lo
dengan : v(t)
: pdf lereng sebagai fungsi waktu t.
Vv
: kecepatan aliran rata-rata pada lereng
lo
: panjang rata-rata jalur hidraulik pada lereng
t
: interval waktu
Sedangkan untuk menghitung pdf waktu tempuh butir hujan pada jaringan sungai, digunakan persamaan sebagai berikut: n.V RH (t ) RH 2.L
dengan :
n 2
n.VRH .t n 1 1 2 . .t .e 2.L n 2
RH(t) : pdf jaringan sungai sebagai fungsi waktu t. n
: order maksimum DAS
VRH
: kecepatan aliran rata-rata pada jaringai sungai
L
: panjang rata-rata jalur hidraulik pada jaringan sungai
: fungsi gamma
t
: interval waktu
Untuk mendapatkan pdf DAS, dihitung berdasarkan hasil konvolusi antara pdf lereng dengan pdf jaringan sungai :
20
DAS (t ) v (t ) RH (t ) DAS(t)
:
pdf DAS sebagai fungsi waktu t.
v(t)
:
pdf lereng sungai sebagai fungsi waktu t.
RH(t)
:
pdf jaringan sungai sebagai fungsi waktu t.
Pemisahan Hidrograf Dalam suatu siklus hidrologi, aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang tidak terinfiltrasi oleh tanah ataupun terintersepsi oleh tajuk tanaman, yang mengalir di atas permukaan tanah untuk selanjutnya mencapai sungai (Viessman et al. 1977). Aliran permukaan (runoff) merupakan komponen terbesar penyumbang debit pada saat terjadi banjir. Para ahli hidrologi menggunakan metode klasikuntuk menghitung volume aliran permukaan. Metode ini di kenal dengan analisis pemisahan hidrograf (hydrograph separation). Nouvelet (1993) mengusulkan
satu
metode
yang merupakan
modifikasi
metode
Roche
(1963).Nouvelet membagi aliran atas 3 bagian, yaitu: 1) aliran permukaan, 2) aliran bawah permukaan dan 3) aliran bawah tanah seperti pada Gambar 3.
Q m3/dtm( Aliran permukaan Aliran bawah permukaan C A
Aliran bawah tanah B
Log Q
t (h)
t (h) Gambar 3 Pemisahan hidrograf menjadi 3 komponen Nouvelot (1993)
21 Dampak Implementasi Teknologi pada TMA Danau Untuk melihat dampak implementasi teknologi (embung dan reboisasi) terhadap TMA Danau Singkarak dipakai program Stella. Program Stella adalah salah satu program yang dapat digunakan untuk menyelesaikan analisis model dinamik dengan praktis. Analisis model dinamik digunakan untuk membuat neraca air (water balance analysis) danau. Penghitungan neraca air untuk sebuah danau sama dengan model neraca air sebuah waduk/bendungan. Formulanya adalah jumlah air yang
masuk
dikurangi
dengan
jumlah
air
yang
keluar
dari
sebuah
waduk/bendungan itu. Formula ini dapat dibuat secara matematis sebagai beriku: Gambar 4. Eo
P
Q1
Q2 t2 t1
Pd
Qat
R Gambar 4 Skema neraca air danau. Pd = Qinp – Qout Qinp = Q1+P+Qat ;
Qout = Q2 +Eo+R
Dimana : Pd
= Perubahan Volume Danau (m3)
Qinp = debit total yang masuk dari sungai-sungai disekeliling danau (m3s-1) Qout
= debit total yang keluar dari danau (m3s-1)
Qat
= Debit air tanah (m3s-1)
R
= Rembesan (m3s-1) Simulasi dilakukan terhadap data hidrologi yang didapatkan dari model
hidrologi MAPDAS, dan aspek kependudukan, lahan dan teknologi yang digunakan.
Tujuan simulasi adalah sebagai berikut;menduga tinggi muka air
22 danau sebagaimana kondisi yang terjadi selama ini (business as usual), menduga tinggi muka air danau ketika semak dan pertanian lahan kering direboisasi, menduga tinggi muka air danau ketika dibuat embung dalam menahan laju dan jumlah air yang masuk ke danau Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai diharapkan bahwa; dengan melakukan reboisasi pada semak dan lahan pertanian lahan kering dapat menurunkan volume, sedimen dan erosi,dengan membangun embung akan dapat menurunkan laju koefisien runoff dan volume sedimen yang terjadi, reboisasi dan embung merupakan skenario terbaik dalam menjaga jumlah air yang ada di danau Model simulasi yang dipakai pada penelitian ini batasannyaantara lain; model hanya menduga jumlah air yang masuk dari aliran permukaan dan air hujan tanpa mempertimbangkan air dalam tanah yang masuk ke danau pertumbuhan tanaman reboisasi pada lahan semak dan pertanian lahan kering tidak dipertimbangkan, tidak memperhitungkan kehilangan (rembesan). Asumsi model yang digunakan adalah: a. Bentuk danau adalah persegi . b. Waktu simulasi ditetapkan dalam satuan waktu bulan yang dimulai tahun 2009. c. Kondisi air initial pada saat simulasi adalah air yang berasal dari baseflow.
Hal
ini
dikarenakan
bahwa
jika
diasumsikan
kemungkinan terburuk yang terjadi yakni tidak adanya air hujan yang jatuh sebelum simulasi dijalankan. d. Tanaman reboisasi dalam 5 tahun mampu tumbuh baik dan fungsi hidrologisnya sama dengan hutan. e. Jumlah air minimal yang ditahan oleh satu embung adalah 170 m3.