II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Sungai dan Daerah Aliran Sungai Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk
secara alamiah, mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir.. Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang dengan kecepatan 0,1-1,0 m/s, serta dipengaruhi oleh waktu, iklim dan pola drainase (Effendi, 2003). Menurut Wetzel (2001) sungai mentransportasikan bahan-bahan yang tererosi (terlarut maupun tersuspensi) dalam jumlah yang sangat besar dari lahan bagian atas menuju dataran yang lebih rendah dan akhirnya bermuara di lautan. Dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS) terdapat berbagai macam penggunaan lahan seperti hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman, perikanan, industri, dan sebagainya (Manan, 1997). Sungai Cisadane adalah salah satu sungai besar di Jawa Barat yang mengalir dari kaki Gunung Salak dan Gunung Pangrango di Kabupaten Bogor melalui kota Bogor dan Tanggerang sejauh 80 km dan bermuara di pantai utara Jawa di daerah Tanjung Burung, Kabupaten Tanggerang. Daerah aliran sungainya seluas 1100 km2, yang mencakup dua propinsi yakni Jawa Barat dan Banten (TKCM, 2005). Sungai merupakan perairan yang tidak dapat dipisahkan, setiap campur tangan dan tindakan manusia di bagian tertentu akan mempengaruhi bagian sungai lainnya. Jadi, sebuah DAS atau Sub DAS dapat dipandang sebagai sebuah ekosistem dimana terdapat masukan berupa curah hujan dan keluaran berupa aliran sungai. Berdasarkan faktor ekologi secara garis besar sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian (Reid, 1961), yaitu: 1. Sungai bagian hulu. Pada bagian ini gradient/kemiringan dasar sungai cukup besar sehingga air bergerak dengan arus yang cepat. Substrat dasar pada bagian ini umumnya terdiri dari bebatuan dan kerikil, namun pada bagian dimana arusnya cukup pelan (pools) ditemukan juga substrat pasir dan detritus organik dalam jumlah yang sedikit. 2. Sungai bagian tengah. Pada bagian ini gradient/kemiringan dasar sungai tidak terlalu besar sehingga air bergerak dengan arus yang lebih pelan dibandingkan pada
3
bagian hulu. Substrat dasar pada sungai bagian ini umumnya didominasi oleh material kasar seperti pasir, sedangkan lumpur hanya ditemukan pada bagian sungai yang sedikit tergenang (pools) dan pinggiran sungai. 3. Sungai bagian hilir. Bagian ini terletak dekat mulut sungai. Substrat dasar umumnya terdiri dari lumpur dan detritus organik. Batas garis pantai pada bagian ini tidaklah jelas karena sungai memiliki daerah dataran banjir yang luas, sungai pada bagian ini ditandai oleh adanya semak-semak dan rawa. Perairan sungai pada setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda beda, salah satunya berdasarkan kecepatan arusnya. Adapun pola-pola aliran sungai terdiri dari tiga macam (Reid, 1961), yaitu : 1. Aliran laminar Aliran yang tingkat kecepatan arusnya lambat, biasanya terdapat pada saluran-saluran kecil yang dangkal dan bersubstrat lumpur. 2. Aliran turbulent Aliran yang tingkat kecepatan arusnya berada di atas rata-rata, biasanya ditemukan pada sungai-sungai yang besar dan bersubstrat batu. 3. Aliran shot atau jet Aliran yang tingkat kecepatan arusnya sangat tinggi dan merupakan gabungan dari aliran turbulent, contohnya air terjun. Sungai juga mempunyai pola tersendiri yang terbentuk secara alamiah dan menurut Reid (1961) pola-pola sungai tersebut adalah : 1. Pola trellis Percabangan anak sungai dan sungai utama hampir tegak lurus, sungai-sungai utama sejajar atau hampir sejajar. Berkembang di batuan sedimen terlipat atau terungkit dengan litologi yang berselang-seling antara yang lunak dan resisten.
4
2. Pola dendritic Seperti percabangan pohon, percabangan tidak teratur dengan arah dan sudut yang beragam. 3. Pola paralel Anak sungai utama saling sejajar atau hampir sejajar, bermuara pada sungai-sungai utama dengan sudut lancip atau langsung bermuara ke laut. 4. Pola radial Pola sungai ini terjadi ketika aliran sungai berasal dari suatu wilayah yang simetris tinggi. 2.2. Kualitas Air Kualitas air merupakan sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter kualitas air yang meliputi parameter fisika seperti suhu, kekeruhan, padatan terlarut, dan sebagainya; parameter kimia yang mencakup pH, oksigen terlarut, BOD, kadar logam-logam dan lain-lain; parameter mikrobiologi meliputi keberadaan plankton, bakteri dan sebagainya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1990). Adapun menurut Rusyati (1999), parameter fisika yang penting adalah suhu, kekeruhan, kecerahan dan turbiditas, muatan padatan tersuspensi (MPT), total padatan terlarut (TDS), daya hantar listrik, bau dan warna. Sedangkan parameter kimia yang penting adalah pH, alkalinitas, salinitas, oksigen terlarut, BOD (Biochenical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), CO2 bebas, kandungan nitrit, nitrat dan amonia, kandungan fospat, kandungan bebagai jenis logam dan logam berat. Parameter biologis yang penting meliputi bakteri Coliform total dan Coliform tinja. 2.2.1. Parameter Kualitas Air 2.2.1.1. Parameter Fisika Suhu. Menurut Barus (2001) pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya penyinaran matahari, pertukaran panas 5
antara air dengan udara disekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi). Moriber (1974) menyatakan bahwa peningkatan suhu menyebabkan penurunan daya larut oksigen dan juga akan menaikan daya racun polutan terhadap organisme perairan. Suhu juga dipengaruhi oleh topografi, pada bagian hulu sungai suhunya lebih rendah dibandingkan dengan suhu di bagian hilir (Saeni, 1989). Suhu normal air di alam (tropis) sekitar 20oC - 30oC (Suripin, 2002). Air sering digunakan sebagai medium pendingin dalam berbagai proses industri. Air pendingin tersebut setelah digunakan akan mendapatkan panas dari bahan yang didinginkan, kemudian dikembalikan ketempat asalnya yaitu sungai atau sumber air lainnya. Air buangan tersebut mungkin mempunyai suhu yang lebih tinggi daripada air asalnya (Fardiaz 1992). Total Padatan Tersuspensi (TSS). TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45μm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara langsung TSS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat.
6
2.2.1.2. Parameter Kimia pH. Nilai pH didefinisikan sebagai logaritma negatif dari ion hidrogen bebas (Wetzel, 2001). Nilai pH air alami ditentukan oleh besarnya interaksi ion H+ dari pelepasan H2CO3 dan dari ion OH- yang dihasilkan dari hidrolisis bikarbonat. Oksidasi dari batu pirit dan tanah pada badan sungai dapat menghasilkan asam sulfur dan dapat menurunkan nilai pH perairan (Wetzel, 2001). Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi, makin ke hilir pH air akan menurun menuju suasana asam, hal ini disebabkan oleh adanya penambahan peningkatan bahan-bahan organik yang akan membebaskan CO2 jika terurai (Sastrawijaya, 1991). Biochemical Oxygen Demand (BOD). Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan ukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air dalam waktu lima hari. Nilai BOD yang besar menunjukkan aktivitas organisme yang semakin tinggi dalam menguraikan bahan organik. Nilai BOD yang tinggi menunjukkan penurunan kualitas perairan (APHA, 1989). Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan (Fardiaz, 1992). Makin
besar
nilai
BOD,
menunjukkan
makin
besarnya
aktivitas
mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik. Nilai BOD yang besar tidak baik bagi kehidupan organisme perairan. Perairan alami yang baik untuk perikanan memiliki nilai BOD berkisar antara 0,5-7,0 mg/l dan perairan dengan nilai BOD melebihi 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003). BOD ini diukur dengan menghitung jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh mikroorganisme dalam proses oksidasi bahan organik secara biokimia selama lima hari pada suhu inkubasi 200C. Nitrat. Senyawa nitrogen di dalam perairan terdapat dalam bentuk terlarut atau tersuspensi. Senyawa tersebut sangat penting dalam reaksi biologis suatu perairan (Goldman and
Horne,1983). Jenis nitrogen anorganik utama dalam air
7
adalah ion nitrat (NO3), nitrit (NO2), dan amoniak (NH3), sedangkan nitrogen organik merupakan komponen terbesar dari total nitrogen dalam air yang berasal dari berbagai jenis limbah yang dapat mengakibatkan pertumbuhan ganggang dengan cepat (Yuristria, 1994). Sumber utama nitrogen antropogenik di perairan berasal dari limbah pertanian dan perkebunan yang menggunakan pupuk kandang maupun pupuk buatan dan juga berasal dari kegiatan domestik (Effendi, 2003). Fosfat. Fosfat adalah bentuk persenyawaan fosfor yang berperan penting dalam menunjang kehidupan organisme akuatik. Secara alami fosfat dalam perairan berasal dari pelapukan batuan dan mineral. Dalam air laut sendiri terdapat dalam bentuk organik dan anorganik yang berasal dari beberapa surnber, antara lain dekomposisi bahan organik (Jeffries dan Mills 1996). Fosfat dalam aliran sungai antara lain berasal dari buangan domestik dan industri yang menggunakan deterjen berbahan dasar fosfat, yaitu industri tekstil, jasa komersial pencucian, pewarnaan, industri kosmetik, industri logam dan sebagainya. Fosfat dalam deterjen berfungsi sebagai bahan pengisi untuk mencegah menempelnya kembali kotoran pada bahan yang sedang dicuci. Penggunaan deterjen tersebut pada akhirnya akan mempercepat bertambahnya konsentrasi fosfat dalam badan air buangannya sehingga memicu pertumbuhan algae (Paytan and McLaughlin 2007). Algae yang berlimpah ini dapat membentuk lapisan pada permulaan air yang akan menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan. Menurut penelitian Hendersen dan Markland dalam Garno (1994) 50 % fosfat yang terdapat dalam air buangan di perairan Inggris berasal dari beberapa surnber, presentase paling tinggi berasal dari deterjen. Kehadiran fosfat dalam air menimbulkan permasalahan terhadap kualitas air, misalnya terjadinya eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan
masalah
lingkungan
hidup
yang
diakibatkan
oleh
limbah fosfat khususnya dalam ekosistem air tawar. Definisi dasarnya adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrien yang berlebihan ke dalam ekosistem air.
8
Timbal (Pb).
Timbal mempunyai berat atom 207,21; berat jenis 11,34;
bersifat lunak serta berwarna biru atau silver abu-abu dengan kilau logam, nomor atom 82 mempunyai titik leleh 327,4 ºC dan titik didih 1.620 ºC. Timbal termasuk logam berat ”heavy metals” karena mempunyai berat jenis lebih dari lima kali berat jenis air. Bentuk kimia senyawa Pb yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan akan mengendap pada jaringan tubuh, dan sisanya akan terbuang bersama bahan sisa metabolisme. Timbal adalah unsur yang biasanya ditemukan di dalam batu - batuan, tanah, tumbuhan dan hewan. Timbal 95% bersifat anorganik dan pada umumnya dalam bentuk garam anorganik yang umumnya kurang larut dalam air. Selebihnya berbentuk timbal organik. Timbal organik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetra Ethyl Lead (TEL) dan Tetra Methyl Lead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik misalnya dalam lipid. Waktu keberadaan timbal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arus angin dan curah hujan. Timbal tidak mengalami penguapan namun dapat ditemukan di udara sebagai partikel. Selain itu, timbal merupakan sebuah unsur maka tidak mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan (Palar, 2004). Timbal banyak dimanfaatkan oleh kehidupan manusia seperti sebagai bahan pembuat baterai, amunisi, produk logam (logam lembaran, solder, dan pipa), perlengkapan medis (penangkal radiasi dan alat bedah), cat, keramik, peralatan kegiatan ilmiah/praktek (papan sirkuit/CB untuk komputer) untuk campuran minyak bahan-bahan untuk meningkatkan nilai oktan. Konsentrasi timbal di lingkungan tergantung pada tingkat aktivitas manusia, misalnya di daerah industri, di jalan raya, dan tempat pembuangan sampah. Timbal banyak ditemukan di berbagai lingkungan maka timbal dapat memasuki tubuh melalui udara, air minum, makanan yang dimakan dan tanah pertanian. 2.2.1.3. Parameter Biologi Fecal Coli dan Total Koliform. James dan Evison (1979) dalam Taufik (2003) menyatakan bahwa banyak parameter mikrobiologi yang dapat digunakan
9
untuk mengetahui kualitas air, sebagai contoh : jumlah total virus bakteri, bacteriophages, jamur (fungi), actinomycetes, protozoa, nemathoda dan alga. Namun untuk kemudahan, kecepatan dan ketepatan pada tes maka bakteri telah dihilangkan dalam penelaahan kualitas air. Oleh sebab itu, banyak metode standar dalam penelaahan kualitas air dipersempit pada jumlah maksimum dari indikator bakteri sebagai limbah fecal ( koliform, fecal koliform/Escherichia coli, fecal streptococcus dan Clostridium pertringeus). Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 air dengan kelas I maksimal mengandung fecal coliform 100 jml/100 ml, kelas II maksimal 1000 jml/100 ml, kelas III dan IV 2000 jml/100 ml. 2.2.2. Kriteria dan Baku Mutu Air Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001). Baku mutu air ditetapkan pemerintah berdasarkan peraturan perundangundangan dengan mencantumkan pembatasan konsentrasi dari berbagai parameter kualitas air. Baku mutu air berlaku untuk lingkungan perairan suatu badan air, sedangkan baku mutu limbah berlaku untuk limbah cair yang masuk ke perairan (Widiastuty, 2001). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001 air diklasifikasikan ke dalam empat kelas, yaitu : Kelas Satu : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Kelas Dua : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
10
Kelas tiga : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk membudidayakan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau untuk keperluan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Kelas empat : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama. 2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Air Pencemaran Air. Pencemaran air dapat diartikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat atau energi, dan komponen lain ke dalam air atau berubahnya tatanan (komposisi) air oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988). Ada tiga penyebab utama tercemarnya badan air, yaitu (1) peningkatan konsumsi atau penggunaan air sehubungan dengan peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat, (2) terjadinya pemusatan penduduk dan industri diikuti buangan limbahnya, (3) rendahnya investasi sosial ekonomi dan sosial budaya untuk memperbaiki lingkungan hidup, seperti investasi untuk pembuatan sanitasi dan keperluan lain (Brown, 1987). Menurut Hynes (1972) ada dua jenis sumber pencemar perairan, yaitu point source dan non point source. Point source adalah pencemaran yang dapat diketahui secara pasti sumbernya, misalnya limbah industri, sedangkan non point source adalah pencemaran yang tidak diketahui secara pasti sumbernya, yaitu pencemar yang masuk ke perairan bersama air hujan dan limpasan permukaan. Tata Guna Lahan. Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Secara umum penggunaan lahan di Indonesia merupakan akibat nyata dari suatu proses yang lama dari adanya interaksi yang tetap, adanya keseimbangan, serta keadaan dinamis antara aktifitas-aktifitas
11
penduduk diatas lahan dan keterbatasan-keterbatasan di dalam lingkungan tempat hidup (As-syakur dkk., 2010). Menurut Viessman et al., (1977), dalam Taufik (2003), perubahan penutupan lahan memberikan pengaruh yang bervariasi terhadap aliran sungai dan karakteristik aliran permukaan DAS. Perubahan penutupan lahan akan mempengaruhi kapasitas infiltrasi tanah dan perubahan penggunaan lahan yang merubah sifat atau ciri vegetasi dapat memberikan dampak penting waktu dan volume aliran. Perubahan penggunaan lahan dapat meningkatkan atau menurunkan volume aliran permukaan serta laju maksimum dan waktu aliran suatu DAS. Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dengan pengelolaan vegetasi atau tata guna lahan adalah agar DAS secara keseluruhan dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lestari bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup serta kesejahteraannya, sehingga selain dapat menampung perkembangan dan dinamika kegiatan ekonomi masyarakat setempat maka pengelolaan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi permasalahan yang mungkin terjadi. Menurut Mahmudi (2002), kegiatan tata guna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutupan lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air, perubahan dari suatu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan, perladangan berpindah, atau perubahan tata guna lahan hutan menjadi areal pertanian, padang rumput atau pemukiman adalah contoh yang sering dijumpai di daerah-daerah yang sedang tumbuh. Terjadinya perubahan tata guna lahan dan jenis vegetasi tersebut dalam skala besar dan bersifat permanen akan mempengaruhi besar kecilnya air pada sistem hidrologi. Perubahan atau perkembangan pola penggunaan lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami antara lain tanah, air, iklim, pola musim dan land form, erosi dan kemiringan lahan. Faktor manusia berpengaruh lebih dominan dibanding faktor alami dan dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi dan pengaruh luar seperti kebijakan nasional dan internasional. Pengaruh penggunaan lahan terhadap aliran sungai utama erat kaitannya dengan fungsi vegetasi sebagai penutup lahan dan sumber bahan organik
12
yang dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi. Disamping itu, secara fisik vegetasi akan menahan aliran permukaan dan meningkatkan surface detention dan depression storage (simpangan permukaan) sehingga menurunkan besar aliran sungai. Manan (1997) mengemukakan, keberadaan hutan pada suatu DAS dapat mengurangi terjadinya erosi dan sedimentasi, sehingga dapat menghasilkan kualitas air yang tinggi. Luasan hutan dan perlakuan yang dilakukan dalam pengelolaannya, secara langsung akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas air yang dihasilkan. Selain itu, perubahan lahan menjadi daerah pemukiman cenderung mengakibatkan dampak negatif, khususnya bila ditinjau dari laju erosi. Pada lahan terbuka terjadinya erosi tanah akan semakin tinggi, karena permukaan tanah yang tidak terlindung akan mengakibatkan air hujan yang jatuh ke tanah akan menggerus permukaan tanah lalu membawa hasil gerusan ke dalam badan perairan sehingga mutu perairan berubah.
13