II
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan
sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak sungai yang melaluinya dengan fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya. Penyimpanan serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya dengan keseimbangan daerah tersebut (PP Nomor 33/1970 dalam Departemen Kehutanan, 1997). Sementara menurut Seyhan (1990), DAS adalah suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh batas alam berupa topografi yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang diterima ke sistem sungai terdekat dan selanjutnya bermuara di waduk, danau atau laut. Suatu DAS yang sangat luas umumnya terdiri dari beberapa Sub DAS, dan Sub DAS dapat terdiri dari beberapa Sub-sub DAS. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai utama. Soerjono (1978 dalam Wulandari, 2008) menjelaskan bahwa DAS merupakan ekosistem yang di dalamnya terjadi interaksi antara faktor-faktor fisik (tanah dan iklim) dan faktor biotik (vegetasi). Interaksi ini dinyatakan dalam bentuk keseimbangan input dan output air serta hasil sedimen yang dikeluarkannya yang mencirikan keadaan hidrologi ekosistem tersebut. Dalam mempelajari ekosistemnya, suatu DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir (Asdak, 2007). Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria
5
yang didominasi hutan bakau/gambut. Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan tata air terhadap seluruh bagian DAS. Suatu DAS memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik DAS meliputi beberapa variabel yang dapat diperoleh melalui pengukuran langsung, data sekunder, peta, dan data penginderaan jauh (remote sensing). Seyhan (1990) menyatakan bahwa karakteristik DAS dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu (1) faktor lahan, yeng meliputi topografi, tanah, geologi, dan geomorfologi, serta (2) faktor vegetasi dan penggunaan lahan.
2.2
Siklus Hidrologi DAS Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya
(cairan, gas atau padat) pada, dalam dan di atas permukaan tanah. Termasuk di dalamnya adalah penyebaran daur dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan kimianya serta hubungannya dengan unsur-unsur hidup dalam air itu sendiri (Asdak, 2007). Siklus hidrologi secara sederhana adalah pergerakan permanen dari kelembaban bumi yang membentuk urutan berputar dari lautan, melewati proses penguapan (evaporasi), kemudian menjadi hujan (presipitasi) dan akhirnya melalui sungai mengalir sebagai debit (runoff) menuju kembali ke laut (Mulyanto, 2007). Siklus hidrologi memungkinkan tersedianya air di permukaan bumi yang jatuh dari lautan secara terus-menerus (Gambar 2).
Gambar 2 Siklus Hidrologi
6
Selanjutnya Asdak (2007) menjelaskan, dalam siklus hidrologi, energi panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi dan tanah, laut dan badan-badan air lainnya. Uap air hasil evaporasi akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung maupun datar, apabila keadaan atmosfer memungkinkan maka sebagian uap air tersebut akan terkondensasi dan turun sebagai hujan. Sebelum mencapai permukaan tanah, air hujan tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan tersimpan di permukaan tajuk selama proses pembasahan tajuk, kemudian sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau mengalir ke bawah permukaan melalui permukaan batang pohon (stemflow). Sebagian air hujan yang jatuh ke tajuk dan batang tidak akan pernah sampai di permukaan tanah, melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer selama dan setelah berlangsungnya hujan (intersepsi). Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan terserap ke dalam tanah (infiltrasi). Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan ke tempat yang lebih rendah (runoff), selanjutnya masuk ke dalam sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban air tanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk ke dalam tanah akan bergerak secara lateral (horizontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Alternatif lainnya, air hujan yang masuk ke dalam tanah tersebut akan bergerak vertikal ke tanah yang lebih dalam dan menjadi bagian dari air tanah (groundwater). Air tanah tersebut, terutama pada musim kemarau, akan mengalir pelan-pelan ke sungai, danau atau tempat penampungan air alamiah lainnya, Tidak semua air infiltrasi mengalir ke sungai atau tampungan air lainnya, melainkan ada sebagian air infiltrasi yang tetap tinggal dalam lapisan tanah bagian atas (top soil) untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer melalui permukaan tanah (evaporasi) dan melalui permukaan tajuk vegetasi (transpirasi). Perbedaan
7
intersepsi dan transpirasi dapat dilihat dari asal air yang diuapkan ke atmosfer. Apabila air yang diuapkan berasal dari hujan yang jatuh di atas tajuk tersebut, maka proses penguapannya disebut intersepsi sedangkan jika air yang diuapkan berasal dari dalam tanah melalui aktivitas fisiologi tanaman, maka proses penguapannya disebut transpirasi. Dengan kata lain, intersepsi terjadi selama dan segera setelah berlangsungnya hujan sementara proses transpirasi berlangsung ketika tidak ada hujan. Gabungan proses evaporasi dan transpirasi disebut evapotranspirasi. 2.2.1 Curah Hujan Presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di daerah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang (Asdak, 2007). Mengingat bahwa di daerah beriklim tropis presipitasi hanya ditemui dalam bentuk curah hujan, maka presipitasi dalam konteks daerah tropis adalah sama dengan curah hujan. Presipitasi adalah faktor utama yang mengendalikan proses siklus hidrologi di suatu DAS. Secara ringkas dan sederhana, terjadinya hujan terutama karena adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang lebih tinggi sebagai respon adanya beda tekanan udara antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Di tempat tersebut, karena adanya akumulasi uap air pada suhu yang rendah maka terjadilah proses kondensasi, dan pada gilirannya massa air basah tersebut jatuh sebagai air hujan. Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu, diukur dengan menggunakan alat penakar curah hujan yang umumnya terdiri atas dua jenis yaitu alat penakar curah hujan otomatis dan alat penakar hujan tidak otomatis. Besaran curah hujan dapat dinyatakan dalam meter kubik (m3) per satuan luas atau secara lebih umum dinyatakan dalam tinggi air (mm). Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau untuk masa tertentu seperti per hari, per bulan, per musim atau per tahun (Arsyad, 2000). Sistem jaringan kerja alat penakar hujan harus direncanakan sesuai dengan keperluan pemanfaatan data curah hujan yang akan dikumpulkan. Lokasi penempatan alat ukur harus mampu mewakili informasi daerah cakupannya.
8
Sebagai aturan umum, disarankan bahwa satu alat penakar hujan untuk daerah kepulauan kecil seluas lebih kurang 25 km² dengan pola curah hujan tidak teratur dianggap cukup memadai. Sementara untuk daerah bergunung-gunung, satu alat penakar curah hujan untuk wilayah seluas 100-250 km². Apabila daerah kajian merupakan daerah dengan topografi relatif datar, maka satu alat penakar curah hujan dapat mewakili daerah seluas 600-900 km² (WMO, 1981 dalam Asdak, 2007). 2.2.2 Aliran Permukaan Aliran permukaan (runoff) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Aliran permukaan berlangsung ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah pengisian air pada cekungan itu selesai, air dapat mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas. Ada bagian air yang berlangsung cepat untuk selanjutnya membentuk aliran debit. Bagian aliran permukaan lain, karena melewati cekungan-cekungan permukaan tanah sehingga memerlukan waktu beberapa hari bahkan beberapa minggu sebelum akhirnya menjadi aliran debit (Asdak, 2007). Debit atau laju aliran sungai adalah jumlah atau volume air yang mengalir pada suatu titik per detik atau per jam, dinyatakan dalam m³ per detik atau m³ per jam (Arsyad, 2000). Besarnya debit ditentukan oleh luas penampang air dan kecepatan alirannya, diformulasikan sebagai: Q=AxV Dengan Q = debit air (m³/detik atau m³/jam); A = luas penampang aliran (m²); V = kecepatan aliran (m/detik). Debit tahunan, yaitu aliran sungai sepanjang tahun merupakan gabungan dari beberapa komponen aliran, yaitu intersepsi saluran (channel interception), aliran permukaan (surface runoff), aliran air bawah permukaan (interflow/delayed runoff) dan aliran bawah tanah (groundwater/baseflow). Hujan yang turun pada
9
suatu wilayah DAS akan terdistribusi menjadi keempat komponen tersebut sebelum akhirnya menjadi aliran sungai (Gambar 3).
Gambar 3 Beberapa Macam Aliran Air Catatan : A = intersepsi saluran B = aliran permukaan C = aliran air bawah permukaan D = aliran air tanah Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan secara umum dapat dibagi dua yaitu karakteristik hujan dan karakteristik DAS. Karakteristik hujan mencakup lama waktu hujan, intensitas dan penyebaran hujan. Pengaruh karakteristik DAS terhadap aliran permukaan adalah melalui bentuk dan ukuran (morfometri) DAS, topografi, geologi dan tataguna lahan (jenis dan kerapatan vegetasi) (Asdak, 2007). Intensitas hujan akan mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan. Pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan beda cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Dengan demikian, total volume aliran permukaan akan lebih besar pada hujan intensif dibandingkan dengan hujan kurang intensif meskipun curah hujan total kedua hujan tersebut sama besarnya. Laju dan volume aliran permukaan suatu DAS dipengaruhi oleh penyebaran dan intensitas curah hujan di DAS yang bersangkutan. Umumnya, laju aliran permukaan dan volume terbesar terjadi ketika seluruh DAS tersebut ikut berperan. Dengan kata lain, hujan turun merata di seluruh wilayah DAS yang bersangkutan. Pengaruh morfometri DAS terhadap besaran dan waktu dari hidrograf aliran yang dihasilkannya dalam hal ini terdiri atas luas, kemiringan lereng, bentuk dan kerapatan drainase DAS. Luas DAS merupakan salah satu faktor penting dalam
10
pembentukan hidrograf aliran. Semakin besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar jumlah curah hujan yang diterima. Tetapi, beda waktu (time lag) antara puncak curah hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi lebih lama. Demikian juga waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak hidrograf dan lama waktu untuk keseluruhan hidrograf aliran juga menjadi lebih panjang. Kemiringan lereng DAS mempengaruhi perilaku hidrograf dalam hal waktu. Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat laju aliran permukaan sehingga mempercepat respons DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng, keadaan parit dan bentukbentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan. DAS dengan sebagian besar bentang lahan datar atau pada daerah dengan cekungan-cekungan tanah tanpa saluran pembuangan (outlet) akan menghasilkan aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan DAS dengan kemiringan lereng lebih besar serta pola pengairan yang dirancang dengan baik. Dengan kata lain, sebagian aliran air ditahan dan diperlambat kecepatannya sebelum mencapai lokasi pengamatan. Hal ini dapat diketahui dari bentuk hidrograf yag lebih datar.
Gambar 4 Pengaruh Morfometri DAS Pada Hidrograf Aliran
11
Bentuk DAS yang memanjang dan sempit cenderung menurunkan laju aliran permukaan daripada DAS berbentuk melebar walaupun luas keseluruhan dari dua DAS tersebut sama. Kerapatan daerah aliran (drainase) juga merupakan faktor penting dalam menetukan kecepatan aliran permukaan. Semakin tinggi kerapatan daerah aliran, semakin besar kecepatan aliran permukaan untuk curah hujan yang sama. Pegaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dapat diterangkan bahwa vegetasi dapat memperlambat jalannya aliran permukaan dan memperbesar jumlah air yang tertahan di dalam permukaan tanah, dan dengan demikian, menurunkan laju aliran permukaan. 2.2.3 Koefisien Aliran Permukaan Koefisien aliran permukaan (C) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya aliran permukaan terhadap besarnya curah hujan. Misalnya C untuk hutan adalah 0,10, artinya 10 persen dari total curah hujan akan menjadi aliran permukaan. Secara matematis, koefisien aliran permukaan dapat dijabarkan sebagai berikut C = aliran permukaan (mm)/curah hujan(mm) Angka koefisien aliran permukaan ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan. Nilai C yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi aliran permukaan. Hal ini kurang menguntungkan dari segi konservasi sumberdaya air karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang. Kerugian lainnya adalah ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar. Angka C berkisar antara 0 hingga 1. Angka 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terdistribusi menjadi air infiltrasi. Sedangkan angka 1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai aliran permukaan. Di lapangan, angka koefisien aliran permukaan biasanya lebih besar dair 0 dan lebih kecil dari 1 (Asdak, 2007).
2.3
Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Istilah penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian
yang sama untuk hal-hal tertentu, namun sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di
12
permukaan bumi. Sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1997 dalam Janudianto, 2004). Penggunaan lahan juga diartikan sebagai bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual (Arsyad, 2000). Penggunaan lahan dikelompokkan ka dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian (tegalan, sawah, kebun, hutan lindung dan sebagainya) dan penggunaan lahan bukan pertanian (permukiman, industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya). Menurut Vink (1975 dalam Sudadi et al, 1991), perubahan atau perkembangan penggunaan dan penutupan lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor alami seperti iklim, topografi, tanah atau bencana alam dan faktor manusia berupa aktivitas manusia pada sebidang lahan. Faktor manusia dirasakan berpengaruh lebih dominan dibandingkan dengan faktor alam karena sebagian besar perubahan penggunaan lahan disebabkan oleh aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya pada sebidang lahan yang spesifik. Leopold dan Dunne (1978 dalam Sudadi et al, 1991) menyatakan bahwa secara umum, perubahan penggunaan lahan pada DAS akan merubah: (1) karakteristik aliran sungai, (2) total aliran permukaan, (3) kualitas air dan (4) sifat hidrologi DAS. Menurut Viessman et al (1977, dalam Sudadi et al, 1991), Perubahan penutupan lahan memberikan pengaruh yang bervariasi terhadap aliran sungai dan karakteristik aliran permukaan suatu DAS. Perubahan penutupan lahan akan mempengaruhi kapasitas infiltrasi tanah dan perubahan penggunaan lahan yang merubah sifat atau ciri vegetasi dapat memberikan dampak penting terhadap waktu dan volume aliran. Lebih lanjut dinyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan dapat meningkatkan atau menurunkan volume aliran permukaan serta laju maksimum dan waktu aliran suatu DAS.
2.4
Ruang Terbuka Hijau Ruang merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia.
Menurut
Tarigan
(2006),
ruang
adalah
tempat
untuk
suatu
benda/kegiatan atau apabila kosong dapat diisi dengan suatu benda/kegiatan.
13
Sedangkan menurut Hakim dan Utomo (2003, dalam Permata, 2010), ruang dibentuk oleh tiga komponen yaitu lantai, dinding dan atap. Ruang disini dapat berupa ruang dalam atau ruang luar, yang mana ruang dalam dibatasi oleh suatu alas, dinding atau tembok dan atap. Sedangkan ruang luar dibatasi oleh alas berupa hamparan tanah, dinding dapat berupa tegakan pohon atau dinding maya dan atapnya dapat berupa kanopi pohon atau langit. Ruang Terbuka Hijau (RTH) suatu kota adalah ruang-ruang terbuka (open spaces) di berbagai tempat di suatu wilayah perkotaan yang secara optimal digunakan sebagai daerah penghijauan dan berfungsi, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk kehidupan dan kesejahteraan manusia (Nurisjah, 1997). Menurut Danoedjo (1990), RTH dapat berupa lahan dengan kepadatan bangunan sangat rendah. Ruang terbuka ini dapat berupa lahan kosong tanpa perkerasan, lahan dengan tanaman dan sebagainya. Pengadaan RTH dalam bentuk-bentuk di atas dimaksudkan agar air hujan dapat meresap ke dalam tanah (mengalami infiltrasi).
2.5
Model Suatu sistem terdiri atas elemen-elemen yang saling tergantung satu sama
lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Proses bekerjanya sangat kompleks sehingga untuk melihat bekerjanya hubungan ini dalam keadaan yang sebenarnya adalah mustahil. Oleh karena itu, hubungan tersebut perlu disederhanakan dengan jalan merangkum ke dalam suatu bentuk tertentu yang disebut model (Gaspersz, 1990). Model bisa diartikan sebagai penggambaran sesuatu sehingga kita menjadi lebih jelas memahaminya. Model dapat digambarkan dengan diagram dua dimensi, misalnya diagram rantai makanan atau siklus air atau miniatur tiga dimensi seperti maket ataupun model matematika (Teknik Lingkungan ITB, 2007 dalam Permata, 2010). Selanjutnya menurut Hartisari (2007), model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja dalam keadaan sebenarnya. Oleh sebab itu, model hanya memperhitugkan beberapa faktor dalam sistem, dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
14
Menurut Suwarto (2006, dalam Permata, 2010), model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab-akibat. Jadi, model adalah suatu penyederhanaan dari suatu realitas yang kompleks. Model dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Menurut Hartisari (2007), model disusun untuk beberapa tujuan yaitu pemahaman proses yang terjadi dalam sistem, prediksi, serta menunjang pengambilan keputusan. Berdasarkan acuan waktu, model dapat digolongkan menjadi model statik dan model dinamik. Model statik adalah model yang mengabaikan pengaruh waktu. Biasanya model ini menggambarkan sistem dalam bentuk persamaan matematika. Untuk memperoleh hasil, perhitungan dilakukan cukup satu kali saja dan variabel yang digunakan dalam persamaan merupakan nilai rata-rata. Model dinamik menempatkan waktu sebagai variabel bebas, sehingga model jenis ini menggambarkan dinamika suatu sistem sebagai fungsi dari waktu. Untuk memperoleh hasil, perhitungan dilakukan secara berulang-ulang (iterasi) hingga tercapai nilai kesalahan (error) yang minimal (Teknik Lingkungan ITB, 2007 dalam Permata, 2010). Menurut Suwarto (2006, dalam Pemata, 2010), model dinamika lebih sulit dan mahal pembuatannya, namun memberikan kekuatan yang lebih tinggi pada analisis dunia nyata.
2.6
Sistem Dinamik Sistem merupakan gugus atau kumpulan dari kompoen yang saling terkait
dan terorganisani dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu. Kajian sistem akan berhadapan dengan permasalahan yang bersifat statik atau dinamik. Permasalahan yang bersifat statik bersifat konstan, sedangkan yang bersifat dinamik selalu berubah menurut waktu. Sistem dinamik merupakan metode yang dapat menggambarkan proses, perilaku, dan kompleksitas dalam sistem (Hartrisari, 2007) Sistem dinamik adalah suatu model untuk mempelajari dan mengatur sistem-sistem umpan-balik yang kompleks, seperti yang dapat ditemukan pada bisnis dan sistem-sistem sosial lain. Faktanya, sistem dinamik telah digunakan
15
untuk memanggil secara praktis setiap jenis dari sistem umpan-balik. Ketika sistem perintah telah diaplikasikan pada tiap jenis situasi, umpan-balik adalah sebagai pendeskripsi yang membedakan. Umpan balik mengacu pada situasi dari X yang mempengaruhi Y dan Y pada gilirannya mempengaruhi X, bisa jadi melewati suatu rantai dari sebab dan akibat (System Dynamics Society, 2007 dalam Permata, 2010). Metodologi
sistem dinamik
telah
dan
sedang
berkembang
sejak
diperkenalkan pertama kali oleh Jay W. Forrester pada dekade lima puluhan, dan berpusat di MIT Amerika Serikat. Sesuai degan namanya, metode ini erat berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang tendensi-tendensi dinamika sistem-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan oleh sistem itu dengan bertambahnya waktu. Persoalan yang dapat dengan tepat dimodelkan memggunakan sistem dinamik adalah masalah yang mempunyai sifat dinamis (berubah terhadap waktu) serta struktur fenomenanya mengandung paling sedikit satu struktur umpan balik (Tasrif, 2006 dalam Permata, 2010).
2.7
Sistem Informasi Geografis Pada dasarnya, istilah Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan
gabungan dari tiga unsur pokok: sistem, informasi dan geografis. Dengan melihat unsur-usur pokoknya, maka jelas SIG merupakan salah satu sistem informasi, dengan tambahan unsur ‘geografis’. Atau, SIG merupakan suatu sistem yang menekankan pada unsur ‘informasi geografis’ (Prahasta, 2002). Pengertian SIG menurut Aronorf (1989, dalam Prahasta, 2002) adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data dan (d) keluaran.
16
Teknologi SIG mengitegrasikan pengoperasian database seperti pertanyaan dan analisis statistika dengan cara menampilkan secara khas dan menganalisis secara geografis dari suatu peta. Kemampuan ini membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya dan menjadikannya lebih bernilai dalam penggunaannya oleh umum ataupun bisnis pribadi yang bertujuan untuk menjelaskan peristiwa yang dianggap penting, memprediksi hasil serta merencanakan strategi (ESRI, 1999 dalam Prahasta, 2002). SIG dapat menyimpan dan menampilkan kembali infomasi yang diperlukan mengenai sebuah lokasi geografis dengan modifikasi warna, bentuk, ukuran simbol yang dapat memberi pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi geografi suatu wilayah. Secara umum pengertian SIG dapat diartikan sebagai sistem yang mampu mengumpulkan data kebumian yang diperoleh dari berbagai sumber dan menyimpannya dalam suatu database, sehingga dengan mudah data tersebut diperoleh kembali untuk dilakukan analisa maupun manipulasi. Terdapat empat komponen penting yang saling berkaitan bila bekerja dengan menggunakan SIG, yaitu 1.
hardware atau perangkat keras, merupakan wadah berupa komputer untuk mengoperasikan SIG;
2.
software atau perangkat lunak yang berfungsi untuk menganalisis informasi geografi;
3.
data dan metadata. Data geografi dan data tabular dapat diperoleh melalui pengukuran langsung di lapang maupun pembelian melalui agen tertentu SIG akan mengintegrasikan data spasial dengan sumber data lainnya dan kemudian dapat mengatur dan menyimpan data dalam bentuk data spasial maupun non sapasial; dan
4.
manusia. Teknologi SIG sangat tidak bernilai jika tidak ada manusia yang dapat mengatur sistem dan membangun rencana untuk mengaplikasikan masalah-masalah yang ada (Prahasta, 2002). Salah satu aktivitas penting dalam kegiatan SIG adalah pengisian basis data
berupa digitasi dan memasukkan angka, kemudian analisa dapat dilakukan setelah basis data tersedia. Pemasukan data ke dalam sistem adalah data input dirubah menjadi format data digital agar dapat disimpan dan dimanipulasi. Data yang akan
17
dimasukkan dengan cara digitasi tersebut diperlukan peta dasar yang baku dan dapat dipercaya serta beragam. Secara sederhana SIG dapat digambarkan sebagai penampakan berbagai informasi untuk memenuhi suatu fungsi kriteria tertentu. Data SIG berupa data digital yang berformat raster dan vektor. Sumber data digital yang berupa citra satelit atau data foto udara serta foto udara yang terdigitasi atau berupa peta dasar terdigitasi. Foto udara digital dan citra satelit digunakan secara saling melengkapi. Citra Landsat EMT+ merupakan contoh data citra digital yang berformat raster.