13
TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Konsep Pengelolaan DAS Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat ditelaah dari dua aspek, yaitu dari aspek fisik dan kelembagaan. Secara fisik, DAS didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang dibatasi oleh pemisah alam (punggung gunung atau bukit), yang menerima dan mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui sungai-sungai kecil menuju sungai utama dan keluar pada satu titik outlet, dan mengalirkannya hingga ke laut atau ke danau (Asdak 1995; Kartodihardjo et al. 2004; UU Nomor 7/2004; Dephut 2009). Secara kelembagaan (institusi), DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property), dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi
antar pihak,
individu
dan/atau kelompok
masyarakat (Kartodihardjo et al. 2004). DAS merupakan suatu megasistem kompleks yang dibangun atas sistem fisik, sistem biologis dan sistem manusia. Setiap sistem dan sub-sub sistem di dalamnya saling berinteraksi (Davenport 2002). Dalam proses ini peranan tiaptiap komponen dan hubungan antar komponen sangat menentukan kualitas ekosistem DAS, yang bisa dilihat dari kualitas outputnya. Secara fisik, kualitas output DAS terlihat dari besar erosi, aliran permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit dan produktifitas lahan. Tiap-tiap komponen memiliki sifat yang khas dan tidak berdiri sendiri, tapi berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai.
Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan
timbal balik antar komponen berjalan baik dan optimal. Manusia memegang peranan penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS.
14 Pengelolaan DAS adalah pengelolaan SDA dan sumberdaya buatan yang ada di dalam DAS secara rasional dengan tujuan mencapai keuntungan maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dengan risiko kerusakan lingkungan seminimal mungkin. Pengelolaan DAS dijalankan berdasarkan prinsip kelestarian sumberdaya yang menyiratkan keterpaduan antara prinsip produktifitas dan konservasi SDA dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS, yaitu: (a) terjaminnya penggunaan SDA yang lestari, seperti hutan, hidupan liar dan lahan pertanian; (b) tercapainya keseimbangan ekologis lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan; (c) terjaminnya jumlah dan kualitas air yang baik sepanjang tahun; (d) mengendalikan aliran permukaan dan banjir; serta (e) mengendalikan erosi tanah dan proses degradasi lahan lainnya. Prinsip keberlanjutan menjadi acuan dalam mengelola DAS, dimana fungsi ekologis, ekonomi dan sosial-budaya dari sumberdaya dalam DAS dapat terjamin secara berimbang (Asdak 1995; Kartodihardjo et al. 2004). Atau terjadi proses hidrologis yang ideal pada DAS dalam konteks produksi air yang berasal dari kawasan yang dikelola, masih berada dalam batas-batas kuantitas, kualitas dan waktu/lamanya aliran berlangsung (Hadisuparto 1998).
Kondisi ini dapat dicapai antara lain apabila perangkat
kebijakan yang akan diterapkan dalam pengelolaan DAS dan konservasi tanah dan air di daerah hulu merupakan “alat” mencapai pembangunan sumberdaya air dan tanah yang berkelanjutan, sehingga keterpaduan pengelolaan DAS dari hulu ke hilir merupakan suatu keharusan (Asdak 1995). Untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan pada SWP DAS Arau, yang tercermin pada performa pengelolaan DAS yang baik, yaitu pengelolaan DAS yang memberikan keseimbangan lingkungan fisik, ekonomi dan kelembagaan, maka sasaran pengelolaan DAS yang ingin dicapai adalah : (1) Terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal yang memberikan kinerja DAS baik; (2) Meningkatnya produktivitas lahan melalui konservasi dan RHL yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat; (3) Tersedianya pendanaan pengelolaan DAS secara berkelanjutan yang berasal dari DAS tersebut; (4) Tertata dan berkembangnya kelembagaan formal dan informal masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS; dan (5) Meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS secara berkelanjutan.
15 Berdasarkan kerangka pemikiran seperti yang telah diuraikan pada bagian Pendahuluan (Gambar 1), dalam penelitian ini, performa pengelolaan SWP DAS Arau yang baik ditunjukkan oleh dampak (outcome) berupa : (1) terwujudnya kegiatan konservasi dan RHL memadai yang memberikan kinerja DAS yang baik serta keseimbangan lingkungan; (2) meningkatnya kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan pada kawasan lindung di hulu DAS; dan (3) adanya kelembagaan pengelolaan DAS yang baik dan bertahan lama. Performa pengelolaan SWP DAS Arau tersebut diukur melalui kriteria dan indikator pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Kriteria merupakan ukuran yang menjadi dasar penilaian tingkat keberhasilan dalam pengelolaan dan optimalisasi pemanfaatan SDA dalam DAS yang berkelanjutan. Indikator adalah alat pemantau yang dapat memberikan petunjuk untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pengelolaannya. Kriteria dan indikator harus bersifat sederhana dan praktis untuk dilaksanakan, terukur, dan mudah difahami terutama oleh para pengelola DAS dan pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap program pengelolaan DAS Pada penelitian ini, untuk mewujudkan performa pengelolaan DAS berkelanjutan, yaitu pengelolaan DAS yang memberikan keseimbangan lingkungan, ekonomi dan kelembagaan, digunakan kriteria : (1) pada aspek fisik, kinerja DAS diukur dengan model (teknologi) penggunaan lahan yang memberikan kondisi hidrologis optimal melalui penelusuran debit aliran dan penggunaan lahan dengan indikator nilai fluktuasi debit atau koefisien regim sungai (KRS) ; (2) pada aspek ekonomi, pendanaan konservasi dan RHL serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, diukur dari adanya pendanaan konservasi dan RHL melalui internalisasi eksternalitas dengan pembiayaan pengelolaan DAS bersama antara penyedia dan pengguna jasa DAS (cost sharing) melalui pengembangan insentif ekonomi dari dana PES agar terwujud kemandirian pengelolaan DAS, dengan indikator imbalan (reward) masing-masing pihak setara dengan korbanan (tercermin dari kesediaan menerima kompensasi (willingness to accept, WTA) dan kesediaan membayar (willingness to pay, WTP)); dan (3) aspek kelembagaan, adanya kelembagaan pengelolaan DAS yang efektif dan efisien, dengan indikator adanya biaya transaksi minimal pada institusi pengelola.
16 Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan DAS Terpadu Dari berbagai konsep dan uraian diatas maka pengelolaan DAS dapat dipandang sebagai satuan pengaturan tata ruang wilayah, suatu sistem sumberdaya, satuan pengembangan ekonomi dan sosial/kelembagaan dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS yang berkelanjutan.
Dengan demikian
diperlukan kerangka konsep pengelolaan DAS terpadu baik secara fisik, ekonomi, sosial dan kelembagaan karena pengelolaan DAS terpadu menjadi kata kunci pengelolaan DAS yang mandiri dan berkelanjutan. Keberlanjutan pembangunan satu DAS tidak dapat lagi dilepaskan dari aktivitas pembangunan di wilayah lain dari DAS yang sama. Keberlanjutan pemanfaatan SDA di daerah tengah dan hilir suatu DAS tidak bisa lepas dari pengelolaan lingkungan atau SDA di daerah hulu. Fungsi DAS sebagai pengatur tata air, akan dapat berjalan dengan baik apabila wilayah hulu, yang umumnya didominasi hutan, mampu menyerap air hujan dan mengalirkannya di musim kemarau, sehingga dapat mengendalikan fluktuasi debit air sungai Pengelolaan DAS terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber daya DAS lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan Pengelolaan DAS (Dephut 2009).
Pengelolaan DAS terpadu akan
melibatkan banyak lembaga. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga cenderung bersifat sektoral, sehingga seringkali terjadi tabrakan kepentingan antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Pengaturan kelembagaan dan regulasi yang akan mengatur mekanisme kerja antar lembaga harus disiapkan dengan matang sehingga dapat menghasilkan kerjasama dan koordinasi yang optimal. Pengaturan ini penting untuk memastikan bahwa pengelolaan DAS dapat diterima oleh berbagai pihak terkait dengan tujuan dan kepentingannya masing-masing. Ada tiga faktor yang dapat diidentifikasi dari pengaturan institusi ini, yaitu : (a) koherensi kepentingan dan aktivitas antar para pihak (stakeholders); (b) kekuatan institusi lokal; dan (c) manfaat untuk masyarakat lokal di dalam DAS. Pengaturan institusi akan semakin mudah dilakukan jika ada kesamaan
17 kepentingan di antara para pihak dan adanya kejelasan identitas serta ukuran setiap kelompok para pihak terkait. Pengelolaan ekosistem DAS yang elegan adalah pengelolaan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama, pengelolaan yang menganut prinsip keadilan dan kelestarian, serta menguntungkan secara ekonomis. Peranan pemerintah diharapkan masih relatif besar. Namun institusi lokal perlu diberikan peranan penting dalam pengelolaan DAS, terutama yang menyangkut berbagai hal yang menjadi kepentingan penduduk lokal. Pengelolaan DAS akan lebih efisien dan berkelanjutan apabila dapat memanfaatkan bakat dan keterampilan masyarakat lokal.
Institusi lokal membantu berfungsinya pengelolaan DAS
melalui perlindungan terhadap hak, penguatan norma-norma yang berlaku, mengatasi konflik dan distribusi manfaat.
Pengaruh institusi sangat tergantung
pada kekuatan yang dimilikinya atas berbagai aktor yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Dalam aspek ekonomi dan politik sering komunitas di dalam DAS merupakan kesatuan yang lemah. Pengaruh institusi lokal ini sering sulit menjangkau kawasan „di luar‟ lokal. Oleh sebab itu, perlu penguatan oleh institusi eksternal yang memiliki kekuatan pengaruh yang memadai, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi (PT), media massa, instansi pemerintah, sangsi, aturan, atau berbagai kebijakan yang ada. Institusi dan aktor eksternal DAS dapat saja melakukan intervensi terhadap pengelolaan DAS dalam bentuk penguatan institusi DAS yang ada atau melalui perubahan konteks ekonomi dan politik dalam pengambilan keputusan pengelolaan DAS. Kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu adalah pengelolaan DAS yang berhasil mencapai tujuan pengelolaan yang ditetapkan, yaitu terciptanya keseimbangan dalam konservasi lingkungan (ekologi), pengurangan kemiskinan (ekonomi) dan menguatnya kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan DAS, yang dilakukan oleh para pihak dalam DAS tersebut secara partisipatif dengan memanfaatkan segenap potensi yang ada dalam DAS tersebut serta pembiayaan yang berasal dari dalam DAS tersebut.
Kemandirian pembiayaan pengelolaan
DAS merupakan prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Pembiayaan pengelolaan DAS yang bergantung pada dana dari luar sistem DAS akan cenderung : (a) Tidak menjamin keberlanjutan program-program yang
18 dibutuhkan dalam pengelolaan DAS; dan (b) Terikat kepentingan donor, yang mungkin tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan kepentingan para pihak dalam DAS. Bahkan pembiayaan yang berasal dari dana pemerintah pun harus dijustifikasi sumbernya. Menurut Kartodihardjo et al. (2004), keberhasilan pengelolaan DAS akan lebih mudah dicapai jika : (a) Sumberdaya di dalam DAS menghasilkan manfaat yang besar; (b) Peluang pendapatan masyarakat lokal sejalan dengan aktivitas konservasi dan RHL DAS; (c) Hak atas lahan jelas, terjamin dan terdistribusi secara adil; (d) Ada insentif bagi mereka yang bersedia mengorbankan manfaat jangka pendeknya (manfaat individu) untuk memperoleh manfaat jangka panjang (manfaat sosial); dan (e) Ada kerjasama antar para pihak (stakeholders) dalam pengelolaan DAS. Oleh karena itu untuk membangun kemandirian dalam pengelolaan DAS, ada empat faktor yang dapat digunakan sebagai pegangan untuk memprediksi hasil pengelolaan DAS, yaitu: (a) tujuan pengelolaan DAS, (b) potensi ekologis dari sumberdaya, (c) pengaturan institusi lokal, dan (d) berbagai kekuatan eksternal (politik dan ekonomi). Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap perilaku para pihak dalam suatu DAS yang menentukan kinerjanya. Pengelolaan DAS dikatakan telah efektif jika tujuan manajemen dapat dicapai bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. DAS dapat dikelola dengan baik jika potensi sumberdayanya tinggi dan pengaturan sosial serta faktor-faktor eksternal dapat menciptakan keseimbangan yang baik antara insentif dan kontrol. Masyarakat akan mau bertindak dalam rangka konservasi dan RHL jika mereka dapat ikut merasakan manfaat tindakannya itu. Kegiatan pengelolaan DAS memerlukan biaya yang kontinyu.
Agar
mandiri, seyogyanya biaya ini ditanggung oleh pihak-pihak yang ada dalam DAS melalui pengembangan jasa-jasa yang disediakan DAS tersebut, karena ketergantungan pada pembiayaan dari luar DAS akan rentan konflik kepentingan dan kontinyuitasnya tidak terjamin. Misalnya pemanfaatan dana yang berasal dari pembayaran jasa lingkungan untuk membiayai kegiatan konservasi dan RHL serta peningkatan kesejahteraan masyarakat penyedia jasa. Model yang mulai banyak diterapkan di berbagai negara adalah model PES, yang digunakan untuk
19 mendorong perilaku konservatif di lahan pribadi guna memaksimalkan jasa lingkungan penggunaan lahannya.
Diharapkan model ini dapat mengatasi
ketidakseimbangan dan mengurangi konflik antara masyarakat di hulu DAS yang dituduh menjadi penyebab mahalnya biaya eksternalitas dan masyarakat di hilir yang memikul biaya. Bagian hulu DAS umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan airnya ke daerah hilir. Daerah hilir tidak mungkin mendapatkan kesinambungan pasokan air dengan kuantitas dan kualitas yang memadai apabila kondisi ekosistem daerah hulu yang menjadi resapan airnya terganggu. Apabila terjadi gangguan ekosistem hulu yang menjadi resapan air, maka tanggung-jawab tidak hanya dipikul oleh masyarakat hulu akan tetapi juga merupakan tanggungjawab masyarakat hilirnya. Oleh karena itu tanggung-jawab memelihara kondisi DAS seharusnya menjadi tanggung-jawab bersama daerah hulu sampai dengan daerah hilirnya atau tanggung jawab diantara para penyedia dan pengguna java DAS. Konsep PES ini dapat dipandang sebagai bentuk implementasi insentif hulu-hilir atau penyedia-pengguna jasa (cost and benefit sharing) dalam pengelolaan DAS. Dengan demikian, berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DAS secara berkelanjutan sehingga dapat dibangun kemandirian harus selalu diperhitungkan dalam penyusunan program rehabilitasi dan konservasi DAS, seperti faktor potensi sumberdaya DAS, insentif yang disertai dengan aturan dan kontrol serta pengaturan kelembangaannya. Penggunaan Lahan dan Peran Vegetasi Dalam DAS Ekosistem suatu DAS, biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS yang besar pada umumnya terdiri dari banyak bagian daerah aliran yang masing-masing terdiri dari berbagai penggunaan lahan dan penutupan vegetasi. Ekosistem DAS bagian hulu, yang pada umumnya dapat dipandang sebagai ekosistem pedesaan dengan komponen utama hutan, sawah/ladang/kebun, sungai dan desa (Soemarwoto 1988), merupakan bagian yang terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem DAS, antara lain, dari fungsi dan stabilitas tata air. Oleh karenanya perencanaan DAS hulu
20 seringkali menjadi fokus mengingat dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi (Asdak 1995, 2003). Dalam sistem hidrologi peranan vegetasi sangat penting artinya karena kemungkinan intervensi manusia terhadap unsur tersebut sangat besar. Vegetasi dapat merubah sifat tanah dalam hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah, sehingga mempengaruhi besar kecilnya aliran permukaan dan debit yang terjadi. Dari hasil penelitian yang dilakukan secara intensif di banyak negara tentang pengaruh pengaturan jumlah dan komposisi vegetasi terhadap perilaku aliran air menunjukkan bahwa aliran air tahunan meningkat apabila vegetasi dikurangi dalam jumlah yang cukup besar atau dihilangkan (Hamilton dan King 1984; Rahim Nik 1989; Malmer 1992). Di Indonesia, peranan hutan terhadap keberlanjutan DAS sangat besar karena hutan berperan mengatur tata air dan melindungi permukaan tanah dari erosi yang disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi. Selain itu, keberadaan hutan sangat menentukan produktifitas lahan melalui perannya dalam proses siklus hara (Ambar 1986).
Perambahan hutan dan lahan marjinal untuk lahan
pertanian yang diusahakan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah konservasi tanah dan air serta penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya maka akan rentan terhadap erosi dan tanah longsor, yang akan meningkatkan koefisien limpasan, lalu akan meningkatkan jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan, sehingga meningkatkan debit sungai (Brooks et al. 1989; Nursidah 2001). Dalam skala besar, dampak kejadian tersebut adalah terjadinya gangguan perilaku aliran sungai, yaitu pada musim hujan debit air meningkat tajam, pada musim kemarau debit air sangat rendah, sehingga risiko banjir dan kekeringan meningkat (Asdak 1995). Perubahan penggunaan lahan (hutan) pada suatu DAS akan menyebabkan produksi air pada DAS tersebut ikut berubah. Kondisi DAS yang kritis dapat ditandai dengan perbandingan produksi air DAS yang dihasilkan pada musim hujan dan kemarau. Semakin besar perbedaan produksi air DAS pada ke dua musim maka semakin kritis kondisi DAS tersebut (Husnan 2010). Degradasi dan transformasi tutupan vegetasi (hutan), baik pada hulu maupun hilir DAS mempunyai bentuk dan pola yang beragam, yaitu : (1) Penurunan kerapatan dan jenis vegetasi hutan.
Umumnya dilakukan
21 masyarakat sekitar kawasan hutan untuk kebutuhan subsisten (kayu bakar dan kebutuhan sehari-hari); (2) Perubahan tipe vegetasi penutup lahan hutan. Umumnya dilakukan oleh masyarakat yang lapar tanah akibat distribusi, alokasi dan pemilikan lahan yang timpang oleh masyarakat atau karena pemanfaatan masyarakat lokal oleh pemodal kuat untuk menguasai tanah negara (hutan lindung); (3) Perubahan lahan hutan atau lahan budidaya menjadi lahan industri atau pertambangan atau pemukiman yang permukaannya kedap air. Umumnya dilakukan oleh pemodal kuat, penguasa, penunggang gratis atau pencari rente. Umumnya pelaku mempunyai akses yang kuat terhadap pengambil kebijakan. Pola ketiga ini mempunyai dampak yang paling merusak terhadap siklus hidrologi, produksi air dan dalam jangka panjang dapat memicu terjadinya krisis air yang akut dan berkepanjangan (Husnan 2010). Pengaruh dampak hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan penting dipertimbangkan, tidak hanya intervensi awal, tapi juga pola penggunaan lahan dan bentuk pengelolaan yang dilakukan (Bosch dan Hewlett 1982; Hamilton and King 1983; Calder 1999). Aylward (2009) menyatakan keperluan investasi pada konservasi hutan dan RHL dan pengelolaan DTA serta pengembangan regulasi baru dan insentif pasar makin meningkat, sehingga perlu dipahami keterkaitan antara penggunaan lahan di hulu, kondisi hidrologi dan aktivitas ekonomi di hilir sebagai metode praktis untuk menghitung besarnya keterkaitan untuk acuan pembuatan kebijakan dan investasi kegiatan. Neraca Air DAS Daur hidrologi menunjukkan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfir kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut.
Selama perjalanan
tersebut, sebagian air akan tertahan di sungai, danau/waduk atau dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk lainnya. Daur hidrologi dapat digambarkan dalam bentuk bagan alir yang dimulai dengan masukan berupa curah hujan yang akan didistribusikan melalui beberapa jalan, yaitu air lolos (throughfall), aliran batang (stemflow), dan air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi aliran permukaan, evaporasi dan air infiltrasi.
Air evaporasi bersama-sama transpirasi vegetasi dan air
22 intersepsi kembali ke udara sebagai evapotranspirasi.
Sedangkan aliran
permukaan dan air infiltrasi akan mengalir ke sungai sebagai debit (discharge). Proses siklus air pada suatu daerah untuk periode tertentu mempunyai hubungan keseimbangan antara aliran masuk (inflow) dan aliran keluar (outflow), yang disebut “neraca kebutuhan dan ketersediaan air” sering disebut juga dengan “Neraca Air” (water balance). Konsep neraca air pada dasarnya menunjukkan keseimbangan antara jumlah air yang masuk ke, yang tersedia di, dan yang keluar dari sistem tertentu, seperti ditunjukkan persamaan (1) (Limantara et al. 2008) : I = O ± ΔS ……….…………………………..,,,,,,,,,,,,,, (1) dimana: I = masukan; O = keluaran; ΔS = perubahan tampungan, atau Dalam rangka pemanfaatan sumber daya air perlu dipertimbangkan pemanfaatan yang seimbang untuk berbagai kebutuhan ditinjau secara keseluruhan dalam sistem sehingga didapatkan hasil yang optimal. Perumusan dari neraca air ketersediaan dan kebutuhan adalah (Asdak 1995) : Qketersediaan – Qkebutuhan = ΔS ………………………………(2) dimana : Qketersediaan = Total ketersediaan debit (m3/detik); Qkebutuhan = Total kebutuhan debit (m3/detik); ΔS = Perubahan kuantitas air ( m3/detik). Perubahan aliran air yang disebabkan oleh perubahan vegetasi penutup tanah, mempengaruhi besarnya evapotranspirasi pada suatu DAS dan ketersediaan air dalam suatu DAS. Untuk mencapai tujuan terjaminnya jumlah dan kualitas air yang baik sepanjang tahun, maka perlu diketahui ketersediaan air dan kebutuhan air pada DAS tersebut yang dapat dievaluasi dari neraca air pada DAS, sehingga dapat dipecahkan permasalahan distribusi air antar waktu yang tidak stabil. Ketersediaan air dalam suatu DAS dipengaruhi oleh proses hidrologi dalam DAS tersebut, yang merupakan fenomena alam yang kompleks, sehingga tidak mungkin diukur secara langsung di lapangan. Untuk menyederhanakan suatu fenomena alam yang kompleks maka dapat digambarkan dalam suatu model. Model abstrak merupakan suatu alat mendasar yang penting, memberikan gambaran abstrak sistem nyata di alam yang berperilaku seperti sistem nyata di alam dalam hal tertentu. Model digunakan dalam banyak cara didalam merancang bangun dan mengelola sistem sebagai fungsi analisis. Analisis itu sendiri dibatasi sebagai penentuan input model, struktur model dan output model. Model yang dipakai dapat
23 berupa model analitik dan model simulasi (Gordon 1980). Pendekatan sistem menyediakan pemecahan masalah dengan metode dan alat-alat yang memungkinkannya untuk mengidentifikasikan subsistem yang berinteraksi untuk menyelesaikan masalah dan untuk melakukan pilihan secara rasional. DAS merupakan suatu sistem ekologi, maka setiap masukan ke dalam ekosistem tersebut dapat dievalusi proses yang telah dan sedang terjadi dengan cara melihat keluaran dari ekosistem tersebut. Masukan curah hujan yang jatuh pada DAS akan mengalami interaksi dengan komponen-komponen ekosistem DAS (vegetasi, tanah dan sungai), dan akan menghasilkan keluaran berupa debit, muatan sedimen dan material lain yang terbawa aliran sungai.
Dengan demikian
neraca air DAS dapat dievaluasi melalui siklus hidrologi yang terjadi pada DAS. P = Q + Et ± ∆ S ………………………………...………(3) dimana : P = curah hujan; Q = debit sungai; Et = Evapotranspirasi; dan ∆S = neraca air DAS Ketersediaan air merupakan suatu keniscayaan sebagai kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. Kebutuhan ini terus meningkat setiap tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas manusia, sementara itu ketersediaan sumber daya air yang dapat dimanfaatkan relatif konstan, bahkan cenderung semakin terbatas akibat perubahan fungsi hidrologis karena perubahan tata guna lahan hutan menjadi peruntukan lain di dalam DAS. Oleh karena itu sumberdaya air yang ada dan daerah tangkapannya yang pada umumnya adalah hutan di daerah hulu DAS harus dikelola dengan berkelanjutan sehingga tidak menimbulkan krisis air yang berujung konflik. Adanya peningkatan kebutuhan air, menyebabkan berkembang pula perencanaan pengelolaan sumberdaya air sebuah DAS dengan penerapan model hidrologi. Seperti yang dilaporkan Lano et al. 2010, banyak model hidrologi yang sudah dikembangkan dan diterapkan di Indonesia seperti Haan (1972), Sudira (1989), Sahid S (1991), Model ANSWERS oleh Beasly (1981) dan model Mock (1973). Namun dalam kegiatan pengelolaan DAS, khususnya pengelolaan oleh instansi kehutanan, penerapan model hidrologi belum banyak dilakukan, padahal sangat membantu, oleh karena itu pada penelitian ini dicoba mengaplikasi model ketersediaan air DAS menggunakan neraca keseimbangan air.
24 Model hidrologi yang akan digunakan untuk menghitung ketersediaan air pada penelitian ini adalah model hujan aliran (Triatmodjo 1998a). Metode untuk membangkitkan data debit dari data hujan yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan metode ekstrapolasi menggunakan regressi linear sederhana (Triatmodjo 1998b). Model ini digunakan karena ketersediaan data debit sering tidak kontinyu, sedangkan dalam suatu DAS, pada umumnya data hujan tersedia dalam jangka waktu panjang. Sedangkan untuk melihat pengaruh perubahan tutupan lahan terhadap kinerja DAS yang dapat dilihat melalui debit aliran digunakan model deterministik non linear. Model ini digunakan karena fenomenanya lebih banyak terjadi di alam. Semua ahli mengakui bahwa hubungan tutupan lahan dengan debit aliran yang dihasilkan curah hujan yang benar-benar linear tidak pernah ada. Sumber terbesar non linearitas ini terletak pada prosedur pengurangan kehilangan (losses) dan pengisian (recharge) daerah pengaliran serta dalam memperoleh curah hujan netto yang akan menjadi debit aliran di atas daratan (overland flow), yang akan meninggalkan daerah pengaliran sebagai aliran permukaan di pelepasannya (Soemarto 1995). Model deterministik non linear yang dipilih adalah model dinamis menggunakan program Stella 9.0.2. Konsep Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan DAS Dari perspektif teori Ekonomi Sumber Daya Hutan, nilai hutan bisa diklasifikasikan menurut manfaatnya bagi kesejahteraan manusia (Davis et al. 2001; Darusman dan Widada 2004) yaitu : 1. Manfaat yang dihasilkan berupa barang dan jasa komersial (yang bisa diperjual belikan dipasar), misalnya : hasil hutan kayu, hasil hutan non-kayu, penyedia pakan ternak, penyedia pangan dan pariwisata 2. Manfaat barang terutama jasa yang tidak laku atau tidak diperjual belikan di pasar komersial, misalnya : kemampuan pohon untuk absorbsi CO2 dan menghasilkan O2, tempat berlindung dan berkembang biak (habitat) satwa liar, perlindungan tanah dan air, pemandangan, perlindungan keaneka ragaman hayati, sumber plasma nutfah, sekat bakar, pemecah angin, budaya, pendidikan / penelitian, nilai keberadaan hutan, dan nilai spiritual.
25 Manfaat hutan bagi manusia dalam hal jasa yang tidak langsung mendatangkan manfaat komersial, misalnya dalam fungsinya sebagai pengatur tata air dan keseimbangan ekosistem pada suatu DAS sebagai jasa lingkungan DAS, sangat sulit diukur kemanfaatannya bagi manusia. Manfaat hutan sebagai pengatur tata air dan keseimbangan ekosistem akan sangat jelas terlihat apabila seluruh hutan terutama di daerah hulu DAS dirusak. Dampak kerusakan hutan tersebut pada sistem perekonomian akan lebih besar daripada nilai komersial barang apapun yang bisa diperoleh dari hutan. Nilai kerugian yang ditimbulkannya dapat dikatakan sebagai nilai jasa lingkungan hutan (Davis et al. 2001). Nilai manfaat ini belum banyak diapresiasi masyarakat, karena tidak mudah meyakinkan masyarakat untuk menghargai benda-benda yang merupakan kepentingan bersama, yang kalau rusak akan mendatangkan kesulitan bersama. Metode penilaian sumberdaya hutan, termasuk jasa lingkungan hutan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan harga pasar dan kesediaan untuk membayar (Willingness to Pay, WTP) (Pearce dan Turner 1990; Davis et al. 2001). Kesediaan untuk membayar merupakan konsep yang mendasari berbagai alternatif teknik penilaian ekonomi.
Dalam kondisi pasar tidak mengalami
penyimpangan, WTP akan sama dengan harga pasar.
Namun pada saat
mekanisme pasar tidak bekerja secara sempurna atau terjadi distorsi, maka harga pasar tidak akan dapat memberikan perkiraan yang akurat mengenai WTP. Munasinghe (1993) menyatakan bahwa konsep WTP dipakai karena nilai atau harga pasar tidak selamanya mampu mencerminkan kepuasan yang sama bagi setiap orang. Oleh karena itu, sebenarnya nilai rupiah suatu barang dan jasa hanya merupakan pendekatan atau penaksiran (proksi) saja. Sebagai contoh, di musim hujan untuk memperoleh air tidak ada orang yang membayar, dan tidak demikian halnya di musim kemarau. Orang yang pernah merasakan dahsyatnya bahaya banjir atau yang pernah sengsara karena langkanya air, secara sadar mereka akan mampu menjawab pertanyaan: “berapa rupiahkah anda mau membayar agar kampung anda tidak terkena banjir atau agar air selalu tersedia”. WTP atau kesediaan membayar adalah salah satu proksi untuk menaksir nilai ekonomi barang atau jasa yang “abstrak”. Namun, penaksiran nilai ini hanya sebagai alat bantu saja dalam proses pengambilan keputusan dan belum menunjukkan nilai
26 jasa lingkungan hutan yang sebenarnya (Warsito 2008). Oleh karena itu, nilai jasa lingkungan hutan akan sangat tergantung kepada preferensi konsumen dan peradaban masyarakat. Semakin maju kebudayaan, semakin tinggi penghargaan yang diberikan guna kelestarian barang publik, dan nilai WTP akan semakin besar. Dalam penilaian jasa lingkungan DAS, konsep WTP diaplikasikan untuk mengetahui kesediaan masyarakat di hilir atau penerima manfaat jasa lingkungan untuk membayar jasa lingkungan hulu DAS sebagai penyedia air dan Willingness to Accept (WTA) untuk mengetahui besarnya ganti rugi yang diharapkan oleh masyarakat di hulu untuk mengembalikan fungsi hutan dari tanaman pangan. Untuk menghitung nilai kesediaan membayar, dilakukan melalui metode survei dengan dua pendekatan, yaitu : (a) Metode Biaya Pengadaan, yaitu metode untuk mencari data tentang segala hal yang dikorbankan untuk memperoleh satu M3 air; dan (b) Metode Kontingensi, yaitu metode yang didasarkan pada pertanyaan pengandaian dimana seolah-olah pewawancara akan membeli atau menjual air dalam satuan tertentu (Darusman 1993; Ramdan 2006; Nurfatriani dan Nugroho 2007). Sedangkan bagi perusahaan atau untuk penggunaan komersil dapat dilakukan dengan analisis biaya pengadaan air sebagai bahan baku (input) dalam suatu proses produksi (Rogers et al. 1996; Ratnaningsih 2009). Konsep Insentif Ekonomi dalam Pengelolaan DAS Konsep Insentif Ekonomi dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Meningkatnya degradasi SDA dan lingkungan telah mengakibatkan penurunan daya dukung ekosistem DAS. Untuk menghambat laju degradasi tersebut banyak kebijakan pengelolaan SDA dan lingkungan yang telah dikembangkan didasarkan pada pendekatan perangkat peraturan yang dikomando dan diawasi (command and control approach, CAC), yaitu suatu kebijakan pengelolaan SDA atau lingkungan dengan menggunakan standar dan mengontrolnya dengan peraturan hukum yang disertai sangsi. Dalam berbagai kasus, mekanisme CAC tidak efektif mengatasi masalah. Untuk itu para ahli mencoba mengatasinya dengan mempromosikan mekanisme sistem insentif ekonomi (economic incentive based approach, EIB), yaitu suatu pendekatan pengelolaan lingkungan dengan penciptaan nilai atau harga bagi lingkungan yang lebih baik, sehingga lingkungan bukan
27 merupakan barang gratis. Dengan pendekatan EIB dalam pengelolaan SDA dan lingkungan, maka berlaku prinsip penghasil polutan harus membayar (kompensasi) kepada penerima dampak (polluter pay sufferer).
Namun di dalam pe-
ngelolaan SDA dan lingkungan yang baik terdapat pula manfaat positif bagi ekosistem, misalnya pengelolaan sumberdaya hutan yang baik akan menghasilkan perbaikan iklim mikro, penyerapan CO2, menghasilkan O2, menghambat laju erosi, sedimentasi dan mengendalikan tata air, dan sebagainya. Dimana kesemuanya itu merupakan hasil dari upaya suatu pihak (individu, kelompok, organisasi) yang dinikmati oleh pihak lain. Upaya demikian perlu didorong untuk kemanfaatan semua pihak, maka seharusnya berlaku pula prinsip penerima manfaat membayar (kompensasi) kepada penyedia manfaat (user pay/compensate provider) (Nugroho dan Kartodihardjo 2009). Untuk mendorong upaya perbaikan dan pelestarian lingkungan, selain instrumen himbauan moral, perlu dikembangkan instrumen insentif yang memadai. Insentif didefinisikan sebagai cara/mekanisme menyediakan instrumen yang mampu memberikan motivasi seseorang atau kelompok untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan masyarakat luas (Kartodihardjo et al. 2004). Berdasarkan pemikiran di atas, dalam pemberian insentif pengelolaan SDA, model yang mulai banyak diterapkan adalah model Payment for Environmental Services (PES), yang digunakan untuk mendorong perilaku konservatif di lahan pribadi guna memaksimalkan jasa lingkungan penggunaan lahannya. Konsep PES didasarkan pada prinsip kesukarelaan pemilik dan pengguna lahan untuk berperan dalam upaya konservasi dan RHL, yang didasarkan pada pemberian skema kompensasi untuk menghargai upaya masyarakat dalam mengelola ekosistem untuk menghasilkan jasa lingkungan yang lebih baik, dengan premis bahwa insentif yang diberikan dapat memperbaiki praktek pengelolaan lahan (Rosa et al. 2003). Insentif Konservasi dan RHL dalam Pengelolaan DAS Upaya perlindungan DAS sangat terkait dengan pola penggunaan lahan pada DAS tersebut. Penggunaan lahan adalah segala campur tangan manusia baik secara permanen ataupun secara siklus terhadap sekumpulan sumberdaya lahan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat dari lahan, guna mencukupi kebutuhan hidupnya, baik berupa kebendaan maupun spiritual ataupun keduanya (Sugiharto
28 2006). Menurut Hubaceck dan Vazquez (2002) penggunaan lahan dipengaruhi oleh tiga kelompok faktor. Pertama, terdiri dari faktor fisik, biologi dan teknik, meliputi kuantitas, alam, ketersediaan dan karakteristik sumberdaya lahan, yang limit pastinya ditetapkan oleh apa yang dapat dilakukan pengguna dalam menggunakan sumberdaya lahannya. Kedua, institusi, sebagai “rules of the game” di masyarakat, membatasi orang dan secara tidak sadar menentukan kebiasaan orang berinteraksi. Ketiga, secara terbatas, kekuatan ekonomi, penawaran (supply) dan permintaan (demand), adalah pembentuk penggunaan lahan dewasa ini. Dengan telah terbitnya UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, maka arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah diharapkan lebih operasional dalam mendorong pengguna lahan menggunakan lahannya sesuai dengan arahan dalam pemanfaatan ruang (RTRW). Hal ini disebabkan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perijinan, arahan insentif dan disinsetif, serta arahan sanksi. Namun seringkali arahan peraturan tersebut terjebak pada mekanisme regulasi yang bersifat “atur dan awasi” (comman and control). Karena banyaknya kawasan lindung yang dekat dengan atau bahkan di dalamnya ada pemukiman, maka mekanisme insentif bagi pemilik lahan harus menggunakan pendekatan yang bersifat sukarela dari pemilik lahan agar dapat menggunakan lahannya sesuai dengan fungsi utama kawasan. Menurut Hernawan (2010), kurang efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang (kawasan lindung) pada lahan pribadi karena tidak adanya insentif untuk melakukan konservasi dan RHL. Menurut Kartodihardjo et al. (2004), insentif konservasi dan RHL dalam pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai semua bentuk dorongan spesifik atau stimulus bagi pelaku langsung RHL (masyarakat), umumnya berasal dari institusi eksternal (pemerintah, LSM atau lainnya), yang dirancang dan diimplementasikan untuk mempengaruhi atau memotivasi masyarakat, baik individu maupun kelompok, untuk bertindak atau mengadopsi teknik/metode baru yang bertujuan untuk memperbaiki pengelolaan DAS melalui RHL. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan insentif adalah salah satu atau kombinasi dari hal-hal berikut: 1. Pembayaran atau pemberian hak untuk merangsang luaran yang lebih besar; 2. Dorongan atau faktor yang dapat memotivasi dilakukannya suatu tindakan;
29 3. Isyarat, bisa negatif (disinsentif)/bersifat menghambat atau positif (insentif) / bersifat meningkatkan motivasi dan mengindikasikan suatu tindakan. Sanders and Cahill (1999) membagi insentif atas dua kelompok, yaitu insentif langsung (direct incentives) dan insentif tidak langsung (inderect incentives). Keduanya adalah instrumen yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi keputusan produsen atau konsumen melalui pancingan finansial dan atau non finansial. Insentif dirancang untuk katalis perubahan dan berdampak segera pada perilaku individu dan komunitas. Insentif langsung disediakan secara langsung bagi pengguna sumberdaya. Mengacu pada Sander and Cahill (1999), maka insentif konservasi dan RHL dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu 1. Insentif Langsung, dapat diberikan dalam bentuk uang tunai, seperti upah, hibah, subsidi dan pinjaman lunak; dalam bentuk barang, seperti bantuan pangan, sarana pertanian, ternak atau bibit pohon; atau dalam bentuk kombinasi keduanya. 2. Insentif Tak Langsung, dapat berupa pengaturan fiskal atau pajak, jaminan harga sarana produksi dan produk, atau pengaturan penguasaan / pemilikan lahan. Termasuk dalam konteks ini adalah pelayanan seperti penyuluhan, bantuan teknis, penggunaan alat-alat pertanian, pemasaran, penyimpanan, pendidikan dan pelatihan, serta pelayanan sosial, penggunaan organisasi komunitas dan desentralisasi pengambilan keputusan. Insentif akan secara efektif mempengaruhi hasil (outcomes) bila diterapkan dalam suatu institusi yang mapan dan kondusif terhadap pencapaian tujuan. Pada situasi tertentu orang akan melakukan tindakan pengelolaan DAS jika mereka memiliki sumberdaya yang cukup, kapasitas yang memadai dan kemauan untuk bertindak. Hasil rehabilitasi lahan di dalam DAS dipengaruhi oleh dua luaran utama, yaitu pendapatan yang akan diperoleh penduduk di dalam DAS akibat tindakan rehabilitasi dan besaran kontrol yang dimiliki oleh penduduk untuk menentukan secara bebas arah kehidupannya bila terlibat dalam tindakan rehabilitasi. Kedua luaran tersebut dapat dipandang sebagai insentif yang akan menentukan tindakan ataupun keputusan rumah-tangga atau individu untuk berpartisipasi dalam tindakan rehabilitasi. Berapa besar insentif tersebut diberikan dan bagaimana
30 insentif tersebut didistribusikan secara langsung akan mempengaruhi motivasi masyarakat untuk melakukan rehabilitasi lahan DAS. Insentif tersebut juga secara langsung akan mempengaruhi kesejahteraan penduduk di dalam DAS.
Sedang-
kan pada kawasan konservasi (milik negara), pendekatan alternatif adalah dengan mengidentifikasi biaya dan manfaat insentif didasarkan kepada ukuran kegiatan konservasi pada kawasan tersebut. Apabila biaya dan manfaat insentif dapat dikuantifikasikan, dapat dijadikan dasar dalam pembagian manfaat. Berdasarkan tinjauan normatif yang didasarkan atas kajian dari berbagai sumber, Sanders dan Cahill (1999) menyajikan berbagai karakteristik yang mempengaruhi berjalan atau tidaknya suatu insentif, baik dalam konteks insentif langsung
maupun
insentif tak langsung (Tabel 1).
Tabulasi berbagai
karakateristik tersebut akan membantu pengambil keputusan dalam menentukan apakah di suatu DAS tertentu ada bentuk insentif langsung yang perlu diadopsi atau prioritasnya justru pada perbaikan prakondisi yang diperlukan agar suatu bentuk insentif langsung dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Tabel 1 Karakteristik yang dapat meningkatkan atau menghambat kemungkinan bekerjanya insentif Item
Karakteristik Kondusif Menghambat
Sumber dana Ekonomi nasional
Internal Berbasis industri
Eksternal Berbasis pertanian
Status kebijakan
Terformulasi dengan baik Spesifik lokasi
Kurang terformulasikan Umum
demonstratif
Umum
Ekonomi pertanian Sikap pengguna lahan Sistem pertanian Lama subsidi
Pasar
Subsisten
Aktif
Pasif
Tindakan pelengkap Spesifik
Tindakan desruptif Tak spesifik
Proses evaluasi
Cukup
Tidak ada
Distribusi masalah Tujuan subsidi
Sumber : Sanders dan Cahill (1999)
Konsekuensi atas karakteristik menghambat Pembayaran sulit Sering sulit bagi pertanian untuk membiayai rehabilitasi Prioritas yang salah mungkin disubsidi Terlalu mahal mensubsidi keseluruhan Terlalu mahal mensubsidi keseluruhan Tujuan penggunaan lahan adalah uang tunai bukan konservasi Sikap konservasi mungkin sebatas akhir pembayaran atau supervisi Menegasikan tindakan pemeliharaan Subsidi dapat diinkorporasikan dalam struktur harga Kesalahan penggunaan tidak terdeteksi
31 Karakteristik pada Tabel 1 juga dapat digunakan untuk memandu pengambil keputusan atas prinsip-prinsip berikut: a) Bila karakteristik DAS lebih cenderung ke kiri (kondusif), maka pendekatan insentif langsung memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi. b) Bila karakteristik DAS lebih cenderung ke kanan (menghambat), maka pendekatan insentif langsung memiliki peluang gagal yang lebih besar. c) Apabila lebih dari satu karakteristik menghambat ditemukan, pengaruhnya cenderung berlipat ganda. d) Pertimbangan atas daftar karakteristik menghambat menunjukkan bahwa insentif langsung sulit dikelola pada kondisi aksi konservasi paling diperlukan. e) Agregasi karakteristik menghambat di negara manapun berakibat pada semakin tidak realistisnya implementasi konsep pembayaran kembali pinjaman ke pemerintah. Hibah dan pendanaan pada akhirnya lebih banyak digunakan dalam bentuk bantuan. f) Tidak peduli apakah sumberdana berasal dari sumber internal atau eksternal, alokasi dana lebih baik digunakan untuk memperbaiki karakteristik menghambat, misalnya: pengembangan kebijakan, perencanaan terpadu, evaluasi program maupun pengembangan sikap positif pengguna lahan. Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan Konsep pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services, PES) pada prinsipnya adalah bagaimana menginternalkan eksternalitas dalam proses produksi. Secara umum PES didefinisikan sebagai mekanisme kompensasi dimana penyedia jasa dibayar oleh penerima jasa (The Regional Forum on Payment Schemes for Environmental Services in Watersheds, the Third Latin American Congress on Watershed Management 2003). Sedangkan menurut Wunder (2005), PES didefinisikan sebagai sebuah transaksi sukarela (voluntary) yang melibatkan paling tidak satu penjual (one seller), satu pembeli (one buyer) dan jasa lingkungan yang terdefinisi dengan baik, di mana berlaku prinsip bisnis “hanya membayar bila jasa telah diterima”. Konsep PES dapat diterapkan pada pengelolaan DAS, konservasi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, dan pelestarian keindahan bentang alam
32 (Rosa et al. 2003; Wunder 2005; Chandler dan Suyanto 2006). Khusus untuk pengelolaan DAS, PES didefinisikan sebagai implementasi mekanisme pasar untuk memberi kompensasi kepada pemilik lahan di hulu dalam rangka memelihara atau mengubah suatu penggunaan lahan yang dapat mempengaruhi ketersediaan dan/atau mutu sumberdaya air di hilir (The Regional Forum on Payment Schemes for Environmental Services in Watersheds, the Third Latin American Congress on Watershed Management 2003). Agar mekanisme pasar dapat berjalan maka harus ada : (1) produsen jasa, yaitu pemerintah, masyarakat atau badan hukum, tergantung kepemilikan lahan, misalnya : Pemerintah pada HL atau HSAW; Masyarakat pada lahan milik; dan Badan Hukum pada lahan milik atau lahan pemerintah; dan (2) konsumen jasa, misalnya pemerintah (infrastruktur kota), masyarakat (kawasan hunian), badan hukum (usaha komersil atau badan sosial). Produsen dan konsumen dapat bertransaksi secara langsung atau melalui perantara/fasilitator/mediator (agent). Dalam mekanisme pasar terdapat kaedah pasar berupa adanya : (1) harga penawaran jasa (selling price) yang tercermin dari kesediaan penyedia jasa menerima kompensasi agar jasa DAS selalu tersedia atau WTA penyedia jasa DAS; (2) harga pembelian (buying price) yang tercermin dari WTP atau biaya pengadaan konsumen untuk mendapatkan jasa; dan (3) negosiasi (tawar menawar) sehingga tercapai harga keseimbangan atau harga pasar. Selain itu, dalam pasar juga terdapat biaya pasar berbentuk pajak, subsidi dan potongan harga (discount). Sedangkan dalam produksi jasa DAS terdapat biaya investasi, misalnya harga lahan dan biaya infrastruktur. Penerapan PES untuk perlindungan DAS dimaksudkan sebagai upaya melindungi DAS agar dapat menghasilkan air secara optimal dalam arti terjamin kualitas dan kuantitasnya, tidak terpolusi oleh bahan‐bahan kimia berbahaya, sedimentasi dapat dikendalikan, tersedia dalam jumlah yang memadai dengan fluktuasi debit air pada musim kemarau dan penghujan yang tidak terlalu mencolok, dan perlindungan terhadap air tanah (Nugroho dan Kartodihardjo 2009). Penerapan PES untuk jasa air dan perlindungan DAS tampak lebih banyak diterapkan, bahkan telah diterapkan di seluruh wilayah dunia. Di beberapa Negara penerapannya didukung oleh peraturan dan investasi pemerintah, swasta dan masyarakat lokal. Diduga hal tersebut disebabkan oleh mudahnya membangun
33 kepedulian masyarakat dan manfaat yang dihasilkan relatif lebih menyentuh kepada kehidupan. Pengembangan PES yang paling maju adalah pengembangan PES di Costa Rica dan beberapa Negara Amerika Latin sebagaimana dilaporkan oleh Pagiola, Arcenas dan Platais (2003). Walapun masih sporadis, penerapan mekanisme PES di Indonesia telah dilakukan dibeberapa lokasi. Pada pengembangan PES untuk jasa air, untuk menghitung nilai kompensasi yang akan diberikan kepada penyedia jasa, maka beberapa mekanisme alokasi sumberdaya air yang dikenal luas di dunia adalah : Pendekatan biaya marginal, alokasi oleh pemerintah, alokasi melalui pasar air, dan alokasi berbasis pemakai (Dinar et al. 2001). 1. Pendekatan Biaya Marginal (Marginal Cost Pricing, MCP) Mekanisme MCP pada prinsipnya menetapkan harga air sama dengan biaya marjinal untuk penyediaan dan pasokan air. Sistem alokasi ini secara ekonomi dianggap efisien atau optimal secara sosial. Biaya pasokan air yang dihitung meliputi biaya pengambilan air dari sumber air, biaya transpor ke tempat pengolahan air, biaya pengolahan air sesuai dengan baku mutu air yang ditetapkan, biaya distribusi air ke konsumen, dan biaya monitoring dan evaluasi. Biaya air juga memasukkan biaya sosial sebagai bentuk biaya eksternalitas pengadaan air terhadap masyarakat. Apabila terjadi biaya yang lebih tinggi dalam mengalokasikan air untuk penggunaan tertentu, maka harga air perlu dibedakan untuk setiap penggunaannya. 2. Alokasi Air Oleh Pemerintah (Public-Based Water Allocation) Alasan intervensi pemerintah dalam mengalokasikan sumberdaya air, yaitu : kesulitan memperlakukan air sebagai barang pasar, air secara luas masih dianggap sebagai barang publik, dan pengembangan sumberdaya air skala besar umumnya terlalu mahal untuk dilaksanakan oleh sektor swasta. Pemerintah memutuskan apakah sumberdaya air dapat digunakan oleh sistem secara keseluruhan, mengalokasikan dan mendistribusikannya ke dalam berbagai bagian dalam sistem tersebut. Alokasi oleh pemerintah juga meliputi pengaturan pemungutan pajak pengambilan air untuk kegiatan rumah tangga dan industri, serta mengalokasikan air untuk keperluan publik lainnya. Selain
34 mengalokasikan air pemerintah bertanggung-jawab melindungi air dan membuat aturan untuk mengalokasikan air secara adil. 3. Pasar Air (Water Market) Mekanisme pasar air dalam mengalokasikan sumberdaya air pada prinsipnya adalah terjadinya pertukaran hak penggunaan air (water use rights) dalam jumlah tertentu diantara pengguna air yang berdekatan (neighboring-users), sehingga mekanisme ini sering disebut juga sebagai spot-water market. Kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya pasar air adalah : a) Pasar harus memiliki penjual dan pembeli yang jelas, masing-masing memiliki
informasi
lengkap
mengenai
aturan
pasar
yang
akan
dijalankannya, dan memiliki biaya untuk melakukan transaksi. b) Keputusan yang dibuat oleh setiap pembeli atau penjual bebas dari keputusan yang dibuat oleh penjual atau pembeli lainnya. c) Keputusan yang dibuat individu tidak mempengaruhi individu lainnya. d) Individu-individu atau badan-badan ekonomi yang beroperasi dalam pasar kompetitif termotivasi untuk memaksimumkan keuntungan Di dalam kondisi tersebut jumlah permintaan dan penawaran air akan ditentukan, termasuk unit harga air. Secara umum sumberdaya akan ditransfer dari penggunaan yang bernilai rendah ke nilai tertinggi, dan secara ekonomi dianggap efisien. Namun untuk menciptakan kondisi pasar air tersebut, pemerintah perlu melakukan intervensi agar pasar dapat beroperasi dengan : (a) Mendefinisikan secara jelas hak-hak penggunaan air yang berlaku di masyarakat; (b) Membuat kerangka institusi dan hukum untuk perdagangan air; (c) Melakukan investasi untuk membangun infrastruktur dasar yang dapat menstimulasi berjalannya pasar air. Mekanisme pasar air apabila dapat diterapkan dengan benar akan memungkinkan terjadinya insentif untuk memanfaatkan air lebih efisien dan meningkatkan kelestarian DTA. 4. Alokasi Berbasis Pengguna (User-Based Water Allocation) Variasi alokasi air berbasis pengguna dapat didasarkan atas pembagian rotasi waktu, jumlah air, luas lahan, dan pembagian aliran air ke masing-masing pengguna. Mekanisme alokasi ini memerlukan institusi aksi bersama yang
35 memiliki otoritas dalam menetapkan hak-hak atas (pemakaian) air. Alokasi berbasis pengguna lebih fleksibel dalam mengatur aliran air untuk memenuhi kebutuhan lokal secara langsung. Hal ini disebabkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penggunaan air - pertanian, konsumsi rumah tangga, atau industri - memiliki informasi memadai tentang kondisi lokal masing-masing, sehingga alokasi air dapat dirumuskan tanpa melalui formulasi alokasi yang kaku. Alokasi berbasis pengguna diputuskan melalui proses institusi diantara pengguna, sehingga secara operasional mekanisme alokasi air ini dapat layak secara administratif, berkelanjutan, diterima secara politis oleh masyarakat. Dalam menentukan mekanisme PES yang akan diterapkan, maka perlu mempertimbangkan konteks ekonomi, sosial, politik dan ekologi yang mempengaruhi ekosistem dan jasa lingkungan tersebut. Mekanisme pasar dapat dibedakan menjadi tiga kategori besar (Chandler dan Suyanto 2006), yaitu : 1. Kesepakatan yang diatur sendiri (self-organized private agreements) Transaksi privat, biasanya terbatas dalam arti jangkauan dan transparansinya, perlu kejelasan hak kepemilikan dan kontrak yang memiliki dasar hukum. Biasanya, hanya perlu sedikit keterlibatan publik. Kesepakatan kontrak cenderung lebih cocok untuk skala yang lebih kecil, sehingga perjanjian yang lebih kompleks dapat dibuat dan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. 2. Skema pembayaran publik (public payment schemes) Jasa hidrologis hutan seringkali dianggap "barang publik", maka skema pembayaran publik merupakan mekanisme finansial yang paling sering dimanfaatkan untuk melindungi jasa lingkungan hutan. Pendekatan ini digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan landasan institusional untuk suatu program dan sekaligus menanamkan investasinya secara langsung. Dalam skema pembayaran publik, pemerintah atau suatu organisasi sektor publik dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis iuran atau pajak. Pemerintah juga dapat
menciptakan kesepakatan institusional
untuk
menyediakan atau menjaga keberlangsungan jasa lingkungan hutan. Hal seperti ini pernah dilakukan melalui berbagai cara: di tingkat departemen; kontrak dengan LSM; kerjasama dengan universitas; atau kombinasinya.
36 Keputusan berkaitan dengan kebijakan dapat dilakukan di tingkat lokal, kabupaten, atau regional; tergantung mana yang paling sesuai menurut jangkauan geografis DAS. Contoh kebijakan baru termasuk: (a) Penetapan atau peningkatan harga air; (b) Persetujuan dalam menggunakan iuran air untuk melindungi fungsi hidrologis hutan secara langsung; (c) Perangkat untuk memberikan insentif kepada pemilik lahan; (d) Menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi; (e) Menerapkan denda bagi pelanggaran atas perjanjian pemanfaatan lahan atau batas pemakaian / pengaliran air yang dilakukan oleh pengguna ataupun penyedia. Harga yang ditentukan pemerintah seringkali lebih didasarkan pada pertimbanganpertimbangan politis dan anggaran daripada perhitungan ekonomi murni. Skema pembayaran publik seringkali memerlukan negosiasi hulu-hilir yang intensif untuk menentukan jumlah yang harus dibayarkan oleh pemilik lahan pribadi dan/atau oleh pengelola sumberdaya publik. Pembayaran yang dikumpulkan dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pengelolaan seperti pembelian hak konservasi atau pengembangan lahan, atau untuk membayar pemilik lahan atau pengelola sumberdaya untuk mengubah perilaku pengelolaan lahan. 3. Skema pasar terbuka (open trading schemes) Skema ini merupakan skema yang paling jarang diterapkan dibandingkan dengan kedua mekanisme lainnya dan cenderung lebih banyak diterapkan di negara-negara yang sudah maju. Pemerintah mendefinisikan dan menentukan batas-batas komoditas jasa yang dapat diperjual-belikan. Lalu dibuat regulasi yang dapat menciptakan munculnya permintaan. Dalam hal ini, diperlukan kerangka regulasi yang kuat. Di sisi lain, setiap sistem perdagangan kredit yang berbasis pasar mempersyaratkan kerangka transparansi, penghitungan yang akurat, dan sistem verifikasi.
37 Perkembangan Pembayaran Jasa Lingkungan DAS di Indonesia, Hasil Penelitian dan Contoh-contoh Penerapan PES Dalam beberapa tahun terakhir, inisiatif pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Indonesia telah mulai diupayakan oleh instansi pemerintah pusat dan daerah bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional. Saat ini ada sekitar 84 lokasi yang dipandang sangat potensial sebagai wilayah pengembangan jasa lingkungan di Indonesia baik dalam bentuk keanekaragaman hayati (biodiversity), perlindungan DAS (watershed protection), keindahan alam (landscape beauty), sequestration).
penyerapan karbon (carbon
Kontribusi sektor swasta terhadap kegiatan pelestarian
sumberdaya air belum maksimal karena besarnya beban perusahaan untuk mengeluarkan biaya sosial baik yang resmi maupun tidak. Hal ini terjadi disebabkan juga karena belum adanya aturan perundangan yang dapat menekan atau memberi insentif kepada perusahaan untuk lebih aktif dalam menggunakan pembayaran jasa lingkungan sebagai bagian dari kebijakan atau strategi keberlanjutan usahanya. Banyak perusahaan yang menggunakan sumberdaya air sebagai bahan baku atas komoditi usahanya beranggapan bahwa pelestarian lingkungan merupakan tanggung jawab pemerintah. Termasuk memandang kemiskinan masyarakat di wilayah hulu bukan merupakan kewajiban perusahaan untuk membantu penyelesaiannya. Hingga saat ini kerangka kebijakan dan regulasi yang ada di Indonesia belum dapat mengakomodasikan bentuk pendanaan yang bersumber dari pembayaran dan imbal jasa lingkungan. Mengingat keterbatasan sumber dana konvensional, maka mekanisme pembiayaan pembangunan dan investasi yang bersifat hijau ini dapat menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan nasional. Namun pemikiran ini masih sangat awal dan memerlukan pembahasan lebih detail. Tetapi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sudah mulai mengajukan pemikiran untuk memanfaatkan sumbersumber pendanaan alternatif tersebut. Berbagai jenis kegiatan telah dilakukan dalam upaya mewujudkan pelembagaan jasa lingkungan sebagai salah satu instrumen untuk mengurangi tingkat kerusakan kawasan hutan. Mulai dari penelitian, pendidikan hingga
38 promosi dan kampanye jasa lingkungan. Namun dari sisi hasil yaitu terwujudnya mekanisme transaksi antara pengguna jasa (buyer) dan penyedia jasa (seller) boleh dikatakan masih sangat terbatas baik lokasi, nilai dan jangka waktunya. Sejauh ini, transaksi yang ada seringkali bukan karena kesadaran internal perusahaan untuk menjadikan PES sebagai bagian dari kebijakan usaha melainkan lebih karena tekanan politik dan kewajiban sosial yang tidak mengikat. Dalam suatu tinjauan tentang pasar jasa DAS di Indonesia (Chandler dan Suyanto 2006) diketahui bahwa pengembangan jasa lingkungan di Indonesia masih dalam tahapan awal. Masih sangat sedikit studi kasus yang sudah mengimplementasikan pasar jasa lingkungan. Demikian pula studi-studi yang mengemukakan atau merancang inisiatif pasar jasa lingkungan juga masih sangat kurang. Tetapi, sudah mulai terdapat lebih banyak lagi berbagai inisiatif, proyek, dan penelitian berkaitan dengan pengembangan pasar jasa lingkungan. Perubahan kebijakan nasional di berbagai sektor yang mendorong terciptanya suatu iklim yang mendukung pengelolaan dan pendanaan sumberdaya alam berbasis lokal turut berpengaruh dalam eksplorasi mekanisme pasar jasa lingkungan di Indonesia. Terbitnya UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan peraturan yang dibuat berdasarkan Undang-Undang tersebut diharapkan akan memperkuat kembali peran pemerintah dan didukung dengan pemberian kewenangan berbagai fungsi pembuatan keputusan dan kontrol anggaran dari pemerintah pusat ke daerah (Otonomi Daerah) sejak tahun 2000. Dalam sektor air, proses reformasi kebijakan yang sedang berlangsung berpusat pada tema integrasi pengelolaan air − integrasi di antara semua sektor dan di antara multi pihak. Dalam sektor kehutanan, pemerintah pusat sudah mulai melakukan investasi sebagai perwujudan komitmennya dalam pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat (Chandler dan Suyanto 2006). Beberapa mekanisme penerapan jasa lingkungan hutan sudah mulai dicoba tetapi masih banyak mekanisme yang masih perlu diekplorasi guna memperoleh pemahaman lebih mendalam tentang berbagai tantangan yang ada. Beberapa contoh skema jasa lingkungan yang sudah diterapkan di Indonesia adalah : 1. Iuaran tahunan PT Inalum yang memanfaatkan air Danau Toba kepada Pemda Sumatera Utara untuk konservasi lahan pada DTA Danau Toba.
Namun
39 pengukuran untung-biaya riil dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan sebenarnya tidak ada, karena biaya yang dikeluarkan untuk air sangatlah murah dan belum memadai (Chandler dan Suyanto 2006). 2. Ijin pengelolaan lahan negara kepada masyarakat lokal penyedia jasa DAS Besay hulu di Sumberjaya, Lampung dalam Bentuk Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang digunakan sebagai pintu masuk (entry point) untuk mencari pemecahan konflik penguasaan lahan (land tenure) yang didasarkan pada rasa saling percaya. Masyarakat merespon langkah pemerintah tersebut dengan ikut aktif dalam rehabilitasi hutan di kawasan Hutan Kemasyarakatan.
Pelaksanaan PES ditujukan untuk pendanaan
konservasi oleh masyarakat hulu, dengan nilai PES sebesar Rp 60.000.000.pertahun, disalurkan melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan Lampung Barat, yang dibayarkan oleh pengguna jasa (PLTA, PLN, masyarakat dan Dinas Kehutanan) (Wulandari 2005; USAID 2007). 3. Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau, Provinsi Banten. Pelaksanaan PES ditujukan untuk pendanaan konservasi, pada lahan seluas 50 hektar, dengan nilai PES sebesar Rp 175.000.000.- pertahun selama lima tahun. Dalam melaksanakan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau Banten, dibentuk suatu Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Banten, yang anggotanya terdiri atas unsur masyarakat, pemerintah, LSM, dan swasta. Ijin penggunaan air diberikan kepada satu industri sebagai pengguna jasa (PT Krakatau Tirta Industri) oleh Pemerintah Daerah Kota Serang - Provinsi Banten dan kemudian PT Krakatau Tirta Industri mendistribusikannya ke sekitar 100 pengguna industri lainnya. Forum Komunikasi DAS Cidanau dalam implementasi jasa lingkungan berperan sebagai berikut: (a) Mengelola dana hasil pembayaran jasa lingkungan dari pemanfaat (buyer) jasa lingkungan DAS Cidanau untuk rehabilitasi dan konservasi lahan di DAS Cidanau melalui lembaga pengelola jasa lingkungan DAS Cidanau; (b) Mendorong pembangunan hutan di lahan milik oleh masyarakat dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan; (c) Menggalang dana dari potensial pemanfaat jasa lingkungan DAS Cidanau;
40 (d) Mendorong pemerintah untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau (Wulandari 2005; USAID 2007). 4. Penerapan dana kompensasi hulu-hilir antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon. Pelaksanaan PES ditujukan untuk pendanaan konservasi, pada lahan seluas 645 hektar, dengan nilai PES sebesar Rp 1,75 Miliar pertahun. Pemerintah Kota Cirebon membayar sejumlah dana kompensasi kepada Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan suatu perjanjian kerjasama yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pemerintah Kabupaten Kuningan berkewajiban menjaga sumber mata air dan menjamin kelancaran distribusi air ke Kota Cirebon serta menggunakan dana kompensasi tersebut untuk konservasi DTA (Ramdan 2006). 5. Pembayaran jasa lingkungan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pembayaran PES ditujukan untuk konservasi dan pembangunan masyarakat (75%) dan biaya operasional Pemda Kabupaten Lombok Barat (25%). Hasil pembayaran jasa lingkungan disetorkan ke kas daerah. Penyedia jasa adalah kelompok masyarakat hulu yang tergabung dalam Forum Ranget, sedangkan pengguna jasa adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Menang Mataram. Nilai PES mencapai Rp 480.552.000.- per tahun (USAID 2007). Beberapa contoh skema jasa lingkungan yang diterapkan di luar Indonesia, seperti dilaporkan Chandler dan Suyanto (2006) adalah sebagai berikut: 1. Brazil. Salah satu contoh penerapan skema PES adalah Pemerintah melindungi dan mengakui hak petani sebagai penyuling karet pada lahan negara. Sebagai pengganti dari pembatasan akses dan hak-hak menikmati hasil, maka para petani mendapat jaminan hukum atas hak tata guna lahan. Di negara bagian Acre, pemerintah memberikan 0,60 real Brazil untuk per kg karet yang terkumpul kepada kelompok atau asosiasi penyuling karet sebagai kompensasi untuk mereka karena telah menjaga hutan dan memfasiltasi tersedianya jasa ekosistem. 2. Kosta Rika. Skema pembayaran jasa lingkungan diimplementasikan dengan sumber dananya dari pendapatan yang berasal dari pajak bahan bakar. Institusi yang menangani skema PES secara khusus yakni SINAC (System Of
41 Conservation Areas) dan yang menangani proses pembayaran dan kontraknya adalah FONAFIFO. Pihak organisasi konservasi dan pemilik hutan sangat berpengaruh besar dalam menentukan skema baru dan peranannya sehingga keterlibatan penduduk asli dan petani sangat kecil. Pembayaran jasa lingkungan terkonsentrasi untuk konservasi hutan yakni 70% pada tahun 1997-2002 dan yang mengambil manfaatnya adalah pemilik tanah yang ukuran besar dan sedang. Hal tersebut terjadi karena royalty yang dibayarkan adalah US$ 0,60 untuk per pohonnya sehingga pemilik lahan luas akan memperoleh royalty yang lebih besar dibanding petani yang lahannya sempit. 3. Meksiko. Masalah yang ada adalah akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam yang dimiliki masyarakat kurang memadai, dengan demikian masyarakat pedesaan membutuhkan kapasitas organisasi yang kuat agar mempunyai posisi tawar yang tinggi. Pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan dilakukan dalam rangka mengembangkan organisasi yang bergerak di bidang bioprospecting dan ekowisata yang kuat. Penguatan kelembagaan dilakukan dengan : adanya representasi anggota lembaga yang mewakili kepentingan mereka (terutama para petani hulu); adanya kesepakatan lembaga untuk mencapai persetujuan dan memutuskan konflik; lembaga dapat mengelola pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan secara tepat; dan lembaga dapat memutuskan dan mengambil royalty pemanfaatan jasa oleh pengguna jasa (buyer) dan juga keuntungan atas hubungan atau jaringan kerja dengan aktor eksternal lainnya. 4. El Salvador. Inisiatif di El Salvador memberikan pelajaran penting; pertama, pentingnya mempertimbangkan potensi petani berskala lahan sempit yang ada jauh di luar hutan dan masih melakukan konservasi tradisional, karena justru para petani kopi dengan lahan sempit yang terus mampu mempertahankan keberagaman jenis tanaman di lahannya, sehingga keseimbangan ekosistem di wilayah tersebut dapat terus terjaga. Kedua, organisasi sosial yang kuat diantara para pemilik lahan pertanian sempit justru memainkan peranan penting dalam negosiasi skema kompensasi. Ketiga, diperlukannya kebijakan yang menguntungkan daerah pedesaan untuk mendukung implementasi pembayaran jasa lingkungan. Keempat, partisipasi yang tulus dari para pihak akan memberikan pengaruh yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan
42 publik di desa tersebut karena para pihak dapat saling menerima dan mengintegrasikan tujuan pengelolaan lingkungan di wilayahnya. Dari kajian PES yang dilaksanakan ESP-USAID dan RMI terhadap berbagai pelaksanaan PES di Indonesia (USAID 2007), maka terdapat beberapa indikasi yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Sumberdaya hutan yang dijadikan dasar transaksi penyediaan jasa lingkungan bervariasi, ada hutan rakyat, lahan perkebunan, dan kawasan hutan negara. Sedangkan pihak penyedia adalah pemilik atau pengelola lahan, dapat berupa individu dan kelompok petani yang mempunyai hutan tanaman dengan lokasi yang diindikasikan mempunyai pengaruh terhadap kerusakan sumber air atau instansi pengelola kawasan. Sejauh ini, informasi tentang hubungan antara rusak‐tidaknya hutan tersebut dengan sumber‐sumber air yang dilindungi sebenarnya belum tersedia secara akurat, meskipun dalam proses‐proses penetapannya telah disepakati bersama. 2. Harga jasa lingkungan – dalam hal ini untuk setiap M3 air yang tersedia – pada umumnya belum diketahui. Biaya ditetapkan berdasarkan kebutuhan untuk melakukan rehabilitasi hutan (Cidanau, Banten; Kuningan, Jawa Barat), bantuan bibit dan penanaman (Bandung, Jawa Barat; Lampung), berupa paket penyediaan dana kepada kelompok tani (Brantas, Jawa Timur), prosentase tertentu (70%) dari tarif masuk kawasan wisata yang dikonservasi diperuntukkan bagi masyarakat (Rinjani, Lombok). Meskipun sudah terdapat perhitungan nilai WTP, namun harga jasa lingkungan di atas belum ditetapkan berdasarkan WTP tersebut. 3. Mekanisme transaksi.
Pembeli jasa lingkungan, khususnya air, dari
kasus‐kasus yang ada meliputi swasta, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), PLTA, dan Pemerintah Kota, sedangkan penyedia jasa yaitu petani yang melakukan rehabilitasi hutan dan lahan, dengan pendamping dari LSM atau Dinas Kehutanan. Transaksi antara pembeli dan penyedia jasa ini pada umumnya dilakukan melalui lembaga tertentu yang mempunyai keanggotaan multi pihak.
43 4. Faktor Penggerak. Transaksi yang telah berlangsung tidak mungkin dapat berjalan apabila tidak ada faktor penggeraknya. Inisiatif untuk sampai membentuk pembelajaran
pertemuan ini
tidak
di
lokasi ditemukan
sangat
penting dilakukan.
adanya
lembaga
Dalam
khusus
yang
menggerakkannya, tapi sangat tergantung pada berbagai proses atau inisiatif yang sebelumnya telah dilakukan.
LSM maupun Pemda sama‐sama
mempunyai peran dalam kasus‐kasus yang diamati. Peran perguruan tinggi yang membantu menyusun skema kerjasama maupun landasan akademis pelaksanaan PES juga menentukan bergeraknya inisiatif ini. Adanya individu yang mempunyai wawasan serta kewenangan dan kemauan yang bekerja di pemerintah daerah menjadi penentu yang tidak dapat diabaikan. Namun, kondisi demikian ini sekaligus menjadi kelemahan manakala individu‐individu tersebut kemudian dipindahkan lokasi bekerjanya. Konsep Kelembagaan dalam PES dan Pengelolaan Hutan/DAS Dari berbagai definisi PES yang dikemukakan para ahli, terdapat prinsip‐prinsip yang mendasari pelaksanaan mekanisme PES, yaitu : 1. Penyedia jasa lingkungan seharusnya memperoleh kompensasi atas biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan jasa dan pengguna jasa lingkungan seharusnya membayar kepada penyedia jasa (Mayrand and Paquin 2004). 2. Perlu ada kesesuaian antara permintaan akan jasa lingkungan dengan memberikan sejumlah insentif kepada pengguna lahan yang kegiatannya menghasilkan pasokan jasa lingkungan (Swallow et al. 2005). 3. Skema PES yang dikembangkan seharusnya merupakan skema inovatif untuk mencapai dua tujuan yaitu konservasi lingkungan dan pengurangan kemiskinan di negara‐negara sedang berkembang (Leimona 2005). Menurut Nugroho dan Kartodihardjo (2009) dari perspektif kelembagaan, terdapat beberapa karakteristik dalam pengembangan mekanisme PES yaitu : 1. terdapat kesalingterkaitan antar aktor‐aktor yang secara potensial terlibat seperti para penyedia jasa, para pengguna jasa, perantara dan fasilitator;
44 2. terdapat jasa yang ditransaksikan dan jasa tersebut harus tersedia sepanjang masa atau paling tidak selama periode kontrak; 3. memerlukan proses negosiasi yang melibatkan para aktor yang terkait; 4. memerlukan organisasi yang menjalankan kesepakatan-kesepakatan; 5. ada mekanisme yang menjamin keadilan dalam distribusi manfaat PES; 6. terdapat
kejelasan
mekanisme
pengendalian,
pemantauan,
penilaian,
pemanfaatan hasil‐hasil monitoring dan evaluasi untuk perbaikan pelaksanaan dan skema, dan mekanisme penyelesaian masalah; 7. memerlukan dukungan informasi dan teknologi. Untuk mengefisienkan skema PES yang dikembangkan dan agar kesalingterkaitan antar aktor tersebut lebih mudah diprediksi, maka diperlukan pengaturan kelembagaan. Kelembagaan adalah aturan main, norma‐norma, larangan‐larangan,
kontrak,
peraturan/perundangan
yang
mengatur
dan
mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi (North 1990; Rodgers 1994) untuk mengurangi ketidakpastian dalam mengontrol lingkungannya (Menard dan Shirley 2008) menghambat munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan, sehingga perilaku manusia dalam memaksimumkan kesejahteraan individualnya lebih dapat diprediksi (Kasper dan Streit 1998). Menurut Eggertson (1990) pembangunan kelembagaan bertujuan untuk (a) menekan penunggang gratis (free riding), pencari rente (rent seeking) dan perilaku opportunis (opportunistic behavior); (b) memfasilitasi koordinasi, termasuk pertukaran;
dan
(c)
menekan
biaya
koordinasi
dan
transaksi
karena
ketidaksepadanan informasi dan kekuasaan. Lebih lanjut Nugroho dan Kartodihardjo (2009) mengatakan implikasi kelembagaan dalam PES meliputi: 1. Akan memunculkan proses transaksional atau pertukaran atas sumberdaya (endowment)
yang
mereka
miliki,
sehingga
akan
memposisikan
masing‐masing pihak dalam kelompok penyedia jasa, pengguna jasa, perantara dan fasilitator. Pada banyak kejadian diperlukan perwakilan dan organisasi untuk menjalankan kesepakatan, sehingga akan memposisikan para pihak dalam hierarki‐hierarki yaitu pihak pemberi kepercayaan dan pihak yang diberi kepercayaan.
45 2. Penyediaan jasa lingkungan pada dasarnya memiliki sifat pemanfaatannya tidak bisa dikecualikan (non‐excludable), dapat didorong dengan penyediaan insentif untuk mencapai kesepakatan, baik secara langsung ataupun melalui perwakilan.
Oleh karena itu, diperlukan aksi kolektif untuk membuat
kesepakatan, dan perhatian terhadap hubungan pemberi dan penerima kepercayaan (principal‐agent) pada proses pendelegasian wewenang. 3. Jasa lingkungan yang ditransaksikan harus tersedia sepanjang masa atau paling tidak selama periode kontrak yang disepakati. Oleh karena itu harus ada jaminan keberlangsungan investasi pengelolaan sumberdaya yang menghasilkan jasa lingkungan, yang diperoleh apabila hak kepemilikan (property rights) atas sumberdaya penghasil jasa lingkungan jelas dan pasti. Untuk menjalankan aturan‐aturan yang telah disepakati dalam kontrak diperlukan organisasi. Dalam kaitannya dengan skema PES, maka perlu diketahui bagaimana organisasi dalam mengatur dan mengelola skema, yang tidak lain adalah bagaimana tata kelola skema PES yang baik dijalankan. Oleh karena itu, dalam mengkaji kelembagaan PES, sedikitnya ada empat konsep kelembagaan yang perlu terkait, yaitu (a) konsep hubungan pemberi dan penerima kepercayaan, (b) konsep aksi kolektif, (c) konsep hak kepemilikan, dan (d) konsep tata kelola PES yang baik yang akan diuraikan pada bagian berikut. Konsep Hubungan Pemberi dan Penerima Kepercayaan.
Hubungan
pemberi dan penerima kepercayaan adalah hubungan di mana satu orang atau lebih sebagai pemberi kepercayaan mempengaruhi orang lain sebagai mitra yang menerima kepercayaan untuk melaksanakan beberapa tugas pemberi kepercayaan melalui pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada mitra yang dimaksud penerima kepercayaan. Hubungan pemberi dan penerima kepercayaan ini selalu dihadapkan pada masalah ketidaksepadanan informasi dan munculnya biaya transaksi atas jalinan‐jalinan yang dibangun. Hubungan pemberi dan penerima kepercayaan akan efisien apabila tingkat harapan keuntungan (reward) kedua belah pihak seimbang dengan korbanan masing‐masing serta biaya transaksi sehubungan dengan pembuatan kontrak atau kesepakatan dapat diminimalkan. Biaya transaksi yang dimaksud adalah biaya
46 yang muncul ketika individu‐individu mengadakan pertukaran hak-haknya dan saling ingin menegakkan hak eksklusif yang dimilikinya (Rodgers 1994). Komponen biaya transaksi meliputi (Ostrom et al. 1993) : (a) biaya koordinasi, yaitu biaya‐biaya yang dikeluarkan untuk waktu, modal dan personil yang diinvestasikan dalam negosiasi, pengawasan dan penegakan kesepakatan di antara pelaku, (b) biaya informasi, yaitu biaya yang diperlukan untuk mencari dan mengorganisasi data, termasuk biaya atas kesalahan informasi sebagai akibat kesenjangan pengetahuan tentang variabel waktu dan tempat serta ilmu pengetahuan, dan (c) biaya strategi, yaitu biaya yang dikeluarkan sebagai akibat informasi, kekuasaan dan sumberdaya lainnya yang tidak sepadan di antara pelaku, umumnya berupa pengeluaran untuk membiayai aktivitas penunggang gratis, pencari rente dan korupsi (corruption). Munculnya ketidaksepadanan informasi dalam hubungan pemberi dan penerima kepercayaan merupakan konsekuensi dari kenyataan bahwa pada umumnya pihak penerima kepercayaan (agent) menguasai informasi tentang keragaan, keinginan‐keinginan dan motivasi yang ada pada dirinya, sedangkan informasi tentang keragaan, keinginan dan motivasi penerima kepercayaan yang dimiliki oleh pemberi kepercayaan (principal) umumnya sangat terbatas. Adanya ketidaksepadanan informasi tersebut menimbulkan resiko salah pilih sebelum kontrak kerjasama disepakati dan risiko ingkar janji atau perilaku sub‐optimal oportunistik setelah kontrak/jalinan kerjasama disepakati. Resiko salah pilih muncul apabila biaya informasi untuk mengetahui keragaan mitra mahal dan tidak dapat ditanggung oleh pemberi kepercayaan, yang kemudian menjatuhkan pilihan hanya berdasarkan penampakan luar ataupun dokumen-dokumen resmi. Sementara risiko ingkar janji muncul apabila terdapat perbedaan kepentingan antara pemberi kepercayaan dan penerima kepercayaan yang bersifat konflik, pihak yang memiliki informasi mengeksploitasi kelebihan informasi yang dimilikinya, dan manfaat mengeksploitasi kelebihan informasi yang dimilikinya lebih besar dari penalty dan/atau lebih besar dari manfaat untuk tidak melakukan eksploitasi informasi (Nugroho dan Kartodihardjo 2009). Untuk memotivasi mitra agar tidak ingkar janji dan/atau berperilaku sub‐optimal, Kasper dan Streit (1998) menawarkan alternatif‐alternatif solusi
47 yaitu membangun solidaritas apabila kelompok yang dihadapi tidak terlalu besar dan membangun loyalitas pada kelompok besar, melaksanakan supervisi langsung dengan penegakan aturan yang ketat, melakukan pengukuran kinerja, dan pemberian insentif yang sepadan untuk kinerja yang memenuhi standar. Dalam pengembangan skema PES problema hubungan pemberi dan penerima
kepercayaan
yang
perlu
mendapat
perhatian
(Nugroho
dan
Kartodihardjo 2009) adalah : a) Apakah para pihak yang (akan) terlibat dalam skema PES telah teridentifikasi secara cermat dan ketidaksepadanan informasi di antara para pihak tersebut dapat diminimalkan? b) Apakah perjanjian kerjasama yang dibangun telah mampu atau berpotensi menyeimbangkan imbalan kedua belah pihak setara dengan korbanan? c) Apakah biaya transaksi sehubungan dengan proses‐proses negosiasi, pelaksanaan dan penegakan kontrak PES dapat diminimalkan? d) Apabila melibatkan pihak ketiga sebagai mediator dan/atau fasilitator, apakah pihak‐pihak (individu/kelompok/lembaga) yang ditunjuk tidak berada pada situasi perbedaan kepentingan yang bersifat konflik? e) Apakah mekanisme pelaporan kegiatan dan keuangan dapat menjamin transparansi, akuntabel dan keadilan distribusi manfaat PES? Konsep Aksi Kolektif. Jasa lingkungan pada umumnya merupakan hasil dari sumberdaya milik bersama (Common Pool Resources, CPR) yang bersifat tidak bisa dikecualikan (non‐excludable), sangat beresiko menghadapi persoalan hadirnya penunggang gratis. Pada situasi demikian, CPR cenderung akan dieksploitasi dan dimanfaatkan secara berlebihan untuk memaksimumkan utilitas para individu yang dapat mengakses (Hardin 1968). Namun, Gautam dan Shivakoti (2005) melaporkan bahwa para ahli kelembagaan yaitu Ostrom (1990); Thompson (1992); McGinnis and Ostrom (1996); Gibson and Koontz (1998); Agrawal and Gibson (1999); dan Gibson et al. (2000) tidak sepenuhnya menyetujui premis Hardin tersebut. Mereka mengatakan bahwa banyak bukti‐bukti empiris menunjukkan bahwa para pemanfaat CPR sering menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi sumberdaya CPR yang dimilikinya
48 dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan lestari melalui aksi‐aksi kolektif yang mereka bangun (Nugroho dan Kartodihardjo 2009). Menurut Swallow et al. (2005) dalam Nugroho dan Kartodihardjo (2009) hubungan antara aksi kolektif dan PES adalah : a) Dalam kaitannya dengan penyediaan jasa lingkungan, aksi kolektif dapat memunculkan mekanisme koordinasi kegiatan antar petani dalam kawasan yang luas dalam penyediaan jasa lingkungan. b) Aksi kolektif dapat mengurangi biaya transaksi dalam verifikasi dan pembayaran jasa lingkungan dan kerjasama dalam bentuk koperasi dapat meningkatkan
skala
ekonomi
dalam
pengikatan
perjanjian
kontrak,
pemantauan skema dan pembayaran. c) Aksi kolektif dapat memperkuat posisi tawar kelompok tani dalam bernegosiasi dengan petani lain dan pengguna/pembeli jasa lingkungan. Dengan terbentuknya kelompok akan mudah dalam pemberian bantuan teknis dan pendampingan yang sering diperlukan dalam penerapan mekanisme PES. d) Dalam kaitannya dengan penegakan aturan, tidak jarang kelembagaan formal berupa peraturan/perundangan tidak efektif sebagai akibat penolakan masyarakat terutama bila peraturan tersebut tidak memiliki legitimasi lokal. Berbeda halnya bila aturan tersebut merupakan produk kesepakatan bersama melalui aksi kolektif, selain aturan demikian memiliki legitimasi lokal juga dapat mereka tegakkan sendiri. Dalam membangun aksi kolektif, ada beberapa kompleksitas yang perlu diperhatikan, antara lain adalah: a) Ukuran kelompok sangat menentukan keefektifan aksi kolektif. Ukuran yang terlalu kecil menyebabkan kapasitas investasi untuk menjalankan mekanisme PES tidak mencukupi, sebaliknya ukuran kelompok yang terlalu besar rentan memunculkan perilaku penunggangan gratis. b) Penunggangan gratis yang muncul seringkali tidak segera ditindak sehubungan dengan kedekatan hubungan sosial dan persaudaraan serta filosofi menjunjung tinggi keharmonisan dalam menjalankan kehidupan sehari‐hari masyarakat pedesaan. Ibarat virus perilaku penunggangan gratis mudah
49 menular, karena penunggang gratis yang tidak segera ditindak akan segera membangun “aliansi strategis” dengan pihak lain. c) Heterogenitas komunitas sangat mempengaruhi tingkat kemudahan dalam membangun aksi kolektif. Semakin homogen masyarakat harapan, semakin mudah membangun aksi kolektif, walaupun tidak berarti tidak mungkin untuk membangun aksi kolektif pada masyarakat yang heterogen. Aksi kolektif membutuhkan kesepakatan multi pihak yang memerlukan biaya transaksi lebih mahal dibanding kesepakatan bilateral. d) Keberagaman kepentingan dan preferensi individu pada dasarnya sulit diagregasikan maupun dirata‐ratakan, kecenderungan ini menyebabkan pengambil keputusan membuat satu aturan untuk semua, padahal pada kenyataannya multi aspirasi. e) Aksi kolektif memerlukan saling pengertian (multilateral give and take), manfaat yang dihasilkan tidak secara langsung mudah diperoleh dan tidak selamanya bersifat saling menguntungkan, serta hasil‐hasil kerjasama kolektif sering tidak segera dapat dirasakan. Kondisi demikian akan menyebabkan kerusakan moral, penunggangan gratis dan perilaku oportunistik, yang pada akhirnya akan menyebabkan munculnya tragedy pengelolaan sumberdaya milik bersama (tragedy of the common). f) Kepentingan dan preferensi kolektif sering disampaikan secara tidak sempurna yang mengakibatkan pengambilan keputusan dilakukan dengan pemilihan suara terbanyak (voting) sehingga tidak menjamin terwakilinya preferensi individu. g) Pengambilan keputusan kolektif sering dilakukan dengan sistem perwakilan yang rentan menimbulkan masalah hubungan pemberi dan penerima kepercayaan dan memerlukan biaya agensi (agency costs) yang mahal. h) Apabila wakil yang ditunjuk adalah partai politik dan birokrat cenderung akan memunculkan fenomena eksploitasi kelompok minoritas oleh kelompok mayoritas (exploitation of the majority by minorities), karena pada dasarnya mereka memiliki kepentingan‐kepentingan sendiri yang sulit dideteksi. i) Apabila biaya keikutsertaan dalam pengambilan keputusan bersama dan biaya informasi untuk mengetahui keragaan, motif dan kepentingan para wakil
50 mahal dan tidak tertanggulangi oleh individu yang terlibat, maka pemberi kepercayaan jadi tidak aktif dan mentoleransi keputusan yang dibuat wakil‐wakilnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu dilakukan, antara lain: a) Membangun kesaling‐percayaan di antara para pihak yang akan terlibat dalam mekanisme PES. Dengan adanya kesaling‐percayaan akan mengurangi minat individu untuk berperilaku penunggangan gratis, biaya transaksi dapat diminimalkan, akan memudahkan membangun koordinasi antar pihak, dan ikatan sosial (social cohesion) dapat ditingkatkan. b) Penetapan skala penerapan mekanisme PES yang tepat. Hal ini akan mempengaruhi ukuran kelompok. Apabila penerapan mekanisme PES mengharuskan skalanya besar, maka perlu dipertimbangkan untuk memecah ukuran kelompok ke dalam sub‐sub kelompok yang lebih kecil, namun masih tetap memiliki kemampuan investasi yang memadai. c) Memastikan bahwa mekanisme PES yang dibangun benar‐benar dapat memecahkan masalah kolektif yang sedang dihadapi. Ketepatan mekanisme PES yang dibangun akan semakin mendekati kebutuhan lokal apabila identifikasi dilakukan oleh individu / kelompok / lembaga yang mempunyai basis pendampingan masyarakat lokal dengan mekanisme partisipatif. d) Untuk menumbuhkan partisipasi yang benar, maka diperlukan penguatan kapasitas para pihak baik melalui pembangkitan kesadaran, penjelasan konsepsi maupun penyediaan informasi yang tepat dan akurat. Tanpa kapasitas yang sepadan di antara para aktor, maka proses partisipatif dalam arti sesungguhnya sulit dicapai. Sehingga perbedaan kepentingan para pihak dapat didekatkan dan diekspresikan dengan sempurna. e) Aturan dalam mekanisme PES yang dibangun memungkinkan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan secara langsung. Apabila keterlibatan pemerintah diperlukan, maka harus dipastikan bahwa biaya partisipasi para pihak yang terlibat dapat diminimalkan. f) Aturan dalam mekanisme PES harus dapat mendefinisikan hak dan kewajiban secara jelas dan tidak multi‐interpretatif, serta menjamin adanya keadilan distribusi manfaat, tranparans, dan akuntabel.
51 Konsep Hak Kepemilikan (Property Rights). Hak kepemilikan adalah hak yang dimiliki individu, masyarakat atau negara atas suatu sumberdaya (asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindah tangankan, bahkan untuk merusaknya. Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya.
Agar hak dapat ditegakkan maka
diperlukan persyaratan‐persyaratan tertentu, yaitu: (a) Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya; (b) Memperoleh perlindungan komunitas dan Negara; (c) Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi; dan (d) Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya. Menurut North (1990) hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi ‐ tetapi dapat diprediksi. Hak tidak mudah ditegakkan (biaya penegakan mahal) apabila aliran manfaat dengan mudah dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi. Rejim hak kepemilikan (property regime/institutional arrangement) terdiri dari : (a) hak milik pribadi (private property), (b) milik Negara (state property), (c) hak milik bersama/komunal/adat/ulayat (communal property), (d) milik umum (public property), (e) hak atas manfaat (user rights), dan (f) tidak berpemilik (open access property or no‐property right). Syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (a) dapat diperjual belikan (tradable), (b) dapat dipindah tangankan (transferable); (c) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable) dan (d) dapat ditegakkan hak‐haknya (enforceable). Semakin banyak syarat terpenuhi, semakin sempurna hak kepemilikannya, sehingga semakin dapat diharapkan efisiensi alokasinya dan kelestarian pengelolaannya. Nugroho dan Kartodihardjo (2009) menyatakan salah satu kerangka dasar PES adalah adanya kejelasan jasa lingkungan yang akan ditransaksikan meliput kejelasan jenis, penanggung jawab pasokan dan keberlanjutan jasa lingkungannya yang diikat dalam suatu kontrak. Implikasinya adalah (a) harus ada jaminan keberlangsungan investasi pengelolaan sumberdaya yang menghasilkan jasa lingkungan , dan (b) penanggung jawab pasokan, keberlanjutan jasa dan penerima
52 pembayaran harus terdefinisi dengan jelas. Untuk itu hak kepemilikan dapat merujuk pada hak kepemilikan atas sumberdaya yang menghasilkan jasa lingkungan yang umumnya dikaitkan dengan hak kepemilihan atas lahan atau hak kepemilikan atas manfaat (flow) jasa lingkungan, dikaitkan dengan kejelasan siapa yang berhak menerima kompensasi/pembayaran. Kaitan mekanisme PES yang dibangun dengan konsep hak kepemilikan adalah sebagai berikut: a) Kepastian hak kepemilikan merupakan syarat diperlukan (necessary condition) bagi pengembangan mekanisme PES. Jaminan keberlangsungan investasi dalam sumberdaya penghasil manfaat jasa lingkungan akan diperoleh apabila hak kepemilikan atas sumberdaya penghasil jasa lingkungan jelas dan pasti. Kejelasan dan kepastian hak juga menjadi syarat yang diperlukan agar penanggung jawab kontrak dapat diketahui dengan pasti. b) Bentuk hak kepemilikan dapat mempengaruhi jasa lingkungan yang diperjanjikan dan mekanisme PES. c) Sumber perolehan hak kepemilikan dan pengakuan hak‐hak. Perolehan hak yang berasal dari pengaturan administrasi Negara rentan menimbulkan konflik dan salah sasaran (Nugroho 2009). d) Hak kepemilikan (jasa lingkungan dan lahan) perlu penegakan hukum. Sumber hak yang paling terjamin yaitu sumber hak yang mendapat legitimasi lokal yang kuat. Konsep Tata Kelola Yang Baik (Good Governance).
Pengembangan
mekanisme PES membutuhkan organisasi dalam mengatur dan mengelola skema yang mengacu pada penyelenggaraan tata kelola PES yang baik.
Menurut
Nugroho dan Kartodihardjo (2009) tata kelola (governance) dapat didefinisikan sebagai tatanan kelembagaan yang melibatkan para aktor yang relevan untuk mencapai suatu tujuan sesuai konteks pengembangannya. Pelibatan para aktor memerlukan penataan mekanisme inter‐relasi para aktor yang terlibat dan instrumen pengontrol untuk memastikan bahwa keterlibatan para aktor tersebut sinergis untuk mencapai tujuan‐tujuan bersama yang ditetapkan. Komponen tata kelola PES yang baik meliputi tujuan, aktor, mekanisme inter‐relasi dan instrument pengontrol mekanisme inter‐relasi.
53 Tujuan tata kelola PES yang baik adalah : (a) tersedianya jasa lingkungan yang prima sesuai kesepakatan kontrak, (b) pembayaran kompensasi berjalan sesuai kontrak yang disepakati, dan (c) pelaksanaan PES dapat menjamin keadilan dalam distribusi manfaat PES. Aktor‐aktor yang dilibatkan sesuai skala PES yang dikembangkan terdiri dari: (a) entitas penyedia jasa, yang kadang disebut pula penjual (seller) jasa lingkungan, (b) entitas pengguna jasa, yang kadang disebut juga sebagai pembeli (buyer) jasa lingkungan, (c) entitas mediator dan fasilitator, (d) pemerintah sebagai regulator dan penjaminan hak‐hak para pihak yang menjalin kontrak, dan (e) organisasi pengelola program PES. Mekanisme inter‐relasi yang perlu dibangun adalah: (a) kejelasan peran dan kewenangan para pihak dalam kontrak, (b) keuangan (pendanaan, penghasilan dan pembagian hasil), (c) partisipatif, (d) informasi yang setara di antara aktor, (e) kapasitas (entitas publik, swasta dan masyarakat) yang memadai, (f) perencanaan dan pengelolaan yang inklusif, dan (g) kepastian hak dan hukum. Instrumen pengontrol mekanisme inter‐relasi dalam tata kelola PES yang baik, meliputi: (a) visi kepemimpinan, ada fokus program, tata hubungan kerja, sistem monitoring dan evaluasi kinerja layanan, akuntabilitas, sistem/mekanisme pemberian sanksi sebagai pertanggungjawaban atas peran dan kewenangan yang dimiliki, (b) pembagian penghasilan PES, efisiensi biaya dan akuntabilitas dalam keuangan/pendanaan serta internalisasi eksternalitas biaya dan manfaat, (c) aturan perwakilan (rules of representation), peluang akses yang sama, mediasi perbedaan-perbedaan dalam partisipasi, (d) akses, cakupan, kualitas dan transparansi informasi, (e) keadilan dan efisiensi pembangunan modal sosial dan SDM dalam penguatan kapasitas para aktor, dengan layanan yang responsive sebagai indikatornya, (f) penetapan prioritas, pembuatan keputusan, koordinasi dan umpan balik perbaikan dalam perencanaan dan pengelolaan PES, dan (g) jaminan hak kepemilikan, peraturan dan kebijakan, kesetaraan di muka hukum untuk memastikan adanya kepastian hak dan hukum.
54 Institusi dalam Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama yang Lestari Kegiatan penelitian terhadap sumberdaya milik bersama (Common Pool Resources, CPR), termasuk hutan, telah menyoroti peran yang dimainkan oleh kelembagaan lokal. Ada perbedaan pendapat tentang jenis kelembagaan lokal atau pengaturan tenurial yang sesuai untuk mengatur pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan.
Secara tradisional, privatisasi dan kontrol pemerintah
dianggap sebagai solusi yang sesuai untuk mengontrol eksploitasi berlebihan sumber daya milik bersama. Argumen yang mendukung privatisasi atau nasionalisasi didasarkan pada prediksi bahwa sumber daya milik bersama akan dieksploitasi secara berlebihan oleh pengguna individu untuk memaksimumkan kepuasannya dan akhirnya hancur (Hardin 1968). Argumen ini telah ditentang secara luas dalam literatur akademik karena ketidakmampuannya mengenali kapasitas individu yang terlibat dalam situasi pengelolaan CPS lestari, untuk merancang peraturan mereka sendiri berdasarkan pengetahuan mereka tentang permasalahan dan perubahan yang terjadi, dan mengubah insentif yang mereka hadapi. Ada bukti empiris yang berkembang, bahwa pengguna CPR sering menciptakan pengaturan kelembagaan yang membentuk interaksi di antara sumberdaya dan anggota masyarakat, yang membantu mereka melindungi sumber dayanya dan mengalokasikan manfaat di antara mereka sendiri secara adil dengan tingkat efisiensi yang wajar pada jangka waktu yang panjang (Ostrom 1990; Thompson 1992; McGinnis dan Ostrom 1996; Gibson dan Koontz 1998; Agrawal dan Gibson 1999; Gibson et al. 2000 dalam Gautam and Shivakoti, 2005). Tidak semua pengguna CPR, sukses melindungi dan mengelola sumber daya mereka secara berkelanjutan. Apakah yang menentukan kemampuan pengguna CPR dilihat dari bentuk-bentuk tindakan kolektif? Seperti yang dilaporkan Gautam and Shivakoti (2005) para peneliti telah memberi beberapa penjelasan untuk pertanyaan ini. Gibson (1999), berdasarkan temuan dari dua studi kasus di Guatemala, berpendapat bahwa arti-penting dan kelangkaan, adalah dua kondisi yang diperlukan untuk membentuk kelembagaan pengelolaan hutan lokal yang sukses. Agrawal (2001) menemukan kebijakan negara, perubahan demografis, teknologi, pasar, karakter masyarakat lokal, kelembagaan, dan sumberdaya sebagai faktor penting yang berkaitan dengan keberhasilan aksi
55 kolektif lokal. Dalam studi tingkat DAS di bagian utara Thailand, Wittayapak dan Dearden (1999) menemukan bahwa aksi kolektif cenderung lebih berhasil dalam DAS kecil, yang dekat dengan masyarakat, dengan batas yang jelas dan lebih sedikit pengguna dan keterlibatan individu tinggi dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan studi dalam lingkup luas terhadap kasus pengelolaan CPR dengan berbagai tingkat keberhasilan, beberapa penulis memberi daftar faktor yang dianggap bisa membantu memprediksi kemungkinan sebuah rezim CPR yang berhasil. Berdasarkan pembelajaran dari 14 kasus pengelolaan berbasis masyarakat pada CPR di berbagai belahan dunia, Ostrom (1990) mengusulkan delapan rancangan prinsip yang bercirikan konfigurasi aturan yang dibuat dan digunakan oleh kelembagaan CPR yang lestari (Tabel 2). Ostrom mendefinisikan “prinsip desain'' sebagai “elemen penting atau kondisi yang membantu menjelaskan keberhasilan kelembagaan ini dalam mempertahankan CPR dan mendapatkan kepatuhan dari generasi ke generasi sesuai aturan yang digunakan''. Ostrom menekankan bahwa prinsip-prinsip desain yang dibuatnya bukan merupakan cetak biru untuk menganalisis rezim pengelolaan sumber daya, tetapi mereka telah ditemukan secara konsisten dalam situasi CPR yang bertahan lama. Beberapa analis kelembagaan mempertanyakan penerapan prinsip-prinsip desain yang ada untuk sistem sumberdaya alam yang lebih kompleks seperti kehutanan. Morrow dan Hull (1996), misalnya, menguji relevansi prinsip-prinsip desain CPR Ostrom bagi rezim pengelolaan hutan masyarakat adat yang melibatkan bantuan donor dan pengaruh eksternal lainnya di Peru dan menyarankan perluasan beberapa prinsip-prinsip untuk lembaga CPR yang lestari. Steins dan Edwards (1999) menunjukkan tiga kekurangan utama dalam perumusan prinsip-prinsip desain CPR yang ada: (1) Prinsip tersebut didasarkan pada penelitian sumber daya yang tunduk pada satu penggunaan ekstraktif; (2) Prinsip tersebut memusatkan perhatian pada dinamika internal pengelolaan sumber daya, mengabaikan konteks ekologi dan ekonomi politik yang lebih luas tempat mereka berada, dan (3) Prinsip tersebut melibatkan studi organisasi dalam hal „'keberhasilan dan kegagalan'', yang bermasalah karena definisi “sukses” berbeda di antara pihak-pihak terkait. Steins dan Edwards berpendapat bahwa perumusan prinsip-prinsip desain apriori untuk keberhasilan aksi kolektif
56 menghalangi penelitian dan kebijakan CPR, bukan memfasilitasi CPR. Mereka mengusulkannya perspektif konstruksi sosial sebagai pengganti bagi studi CPR. Tabel 2 Prinsip desain pada kelembagaan CPR yang lestari No
Prinsip
Penjelasan
1
Batas-batas terdefinisi dengan jelas
Sumberdaya dan pengguna terdefinisi dengan jelas
2
Kongruen (sesuai/sebangun)
3
Pengaturan pilihan kolektif
Sebagian besar individu yang dipengaruhi oleh aturan operasional dapat berpartisipasi dalam memodifikasi aturan ini
4
Pengawasan
Pengawas, orang yang bertindak mengaudit kondisi CPR dan tingkah laku pengguna, dapat dipertanggungjawabkan terhadap pengguna dan/atau pengguna sendiri
5
Penetapan sanksi
Pengguna yang melanggar aturan operasional harus menerima sanksi dari pengguna lain, dari petugas pemeriksa pengguna atau dari keduanya.
6
Mekanisme resolusi konflik
Pengguna dan petugasnya mempunyai akses yang cepat untuk mengurangi biaya,yaitu arena lokal untuk memecahkan konflik antar pengguna atau antara pengguna dan petugasnya.
7
Pengenalan hak minimal untuk diatur
Hak pengguna untuk merancang kelembagaannya tidak bertentangan dengan otoritas eksternal pemerintah
8
Kelompok pengguna inti (untuk CPRs yang merupakan bagian dari sistem yang lebih besar)
Penyisihan, penetapan, monitoring, penegakan, resolusi konflik dan aktivitas pemerintahan diorganisasikan dalam lapisan berbagai kelompok pengguna.
(a)
Distribusi manfaat dari aturan yang sesuai proporsional terhadap biaya pemaksaan oleh aturan yang ditentukan (b) Aturan yang sesuai membatasi waktu, tempat, teknologi dan /atau jumlah unit sumberdaya yang berkaitan dengan kondisi lokal
Sumber : Ostrom 1990.
Agrawal (2002) menyoroti dampak faktor-faktor eksternal (pasar, teknologi, negara, dan tekanan penduduk) pada CPR dan mengkritik bahwa prinsip-prinsip desain yang ada hanya memberikan sedikit pertimbangan kepada mereka. Hal ini dan kekhawatiran lain yang diungkapkan oleh berbagai peneliti menunjukkan bahwa belum jelas apakah prinsip-prinsip desain Ostrom layak dikembangkan untuk dapat diterapkan dalam kehutanan. Hal ini menunjukkan perlunya lebih banyak riset untuk mengadaptasi konsep-konsep ini pada kompleksitas pengelolaan hutan. Oleh karena itu, untuk menguji penerapan prinsip desain Ostrom dalam pengelolaan hutan, Gautam dan Shivakoti (2005) melakukan peneli-
57 tian terhadap dua institusi dalam pengelolaan hutan di Pegunungan Nepal dan merekomendasikan bahwa prinsip desain Ostrom dapat diterapkan dalam kehutanan dengan pengaturan ulang pada prinsip nomor 2, 4 dan 7, seperti pada Tabel 3. Untuk selanjutnya dalam pembahasan disertasi ini, prinsip desain Ostrom yang telah dimodifikasi oleh Gautam dan Shivakoti ini akan disebut prinsip desain Ostrom-GS (2005). Tabel 3 Pengaturan ulang prinsip desain Ostrom untuk CPR kehutanan No
Pengaturan ulang Prinsip Desain Ostrom
2
(1) Distribusi keuntungan dari aturan pelarangan proporsional dengan biaya yang dikenakan pada aturan yang ditentukan (2) Aturan pelarangan membatasi waktu, tempat, teknologi dan/atau jumlah unit sumberdaya yang terkait dengan kondisi lingkungan lokal, sosial budaya dan ekonomi
4
(1) Pengawas, yang aktif mengaudit kondisi CPR dan perilaku pengguna, bertanggungjawab kepada pengguna dan/atau pengguna sendiri, dan (2) Tidak ada tekanan eksternal, yang efektif mengendalikan upaya pemantauan lokal.
7
(1) (2)
Hak pengguna untuk merancang kelembagaan mereka sendiri tidak ditentang atau dihambat oleh faktor eksternal atau otoritas lokal yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan kelembagaan pengguna, dan Tidak ada kekuatan tunggal kelompok pengguna yang dapat mencegah kelompok pengguna lainnya dari mengorganisasi diri dan berpartisipasi dalam merancang kelembagaan.
Sumber : Gautam dan Shivakoti 2005