TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS) Menurut (Lablink, 2001) Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bagian dari sistem hidrologis yang bermula dari saat terjadinya presipitasi dan berakhir pada saat air masuk ke lautan dan masuk ke udara bebas. Siklus hidrologi yang menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian menjadi air larian dan air infiltrasi, yang kemudian mengalir ke sungai dan laut sebagai debit aliran. Air tersebut kembali mengalir ke udara melalui transpirasi dan evaporasi. Berkaitan dengan DAS, menurut kamus Webster (1996), DAS didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, menyimpan dan mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama yang diteruskan ke laut atau danau. Dari batasan tersebut dapat dikatakan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang didalamnya terjadi suatu proses antara faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia yang saling berinteraksi satu sama lain (Supirin 2002). Oleh karena itu, hubungan DAS hulu dan DAS hilir mempunyai keterkaitan biofisik satu sama lain melalui daur hidrologi. Selanjutnya,
Tideman
(1996)
memberikan
argumentasi
bahwa
manajemen DAS adalah pemanfaatan secara rasional dari sumberdaya lahan air untuk produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumberdaya alam. Setiap masukan ke dalam DAS terjadi proses interaksi dan berlangsung di dalam ekosistem tersebut. Proses interaksi tersebut dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari ekosistem tersebut. Sebagai contoh, masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan dan bahan terlarut kimia dan erosi, sedangkan keluaran adalah debit air, muatan sedimen dan limbah cair lainnya. Komponen DAS berupa vegetasi, tanah, dan saluran air atau sungai, dalam hal ini bertindak sebagai prosesor. Pengelolaan DAS dalam menjaga fungsi hidrologi berarti pengelolaan sumberdaya alam yang dapat pulih kembali dalam suatu DAS, seperti vegetasi, tanah dan air. Manan (1986) menyebutkan bahwa tujuan dari pengelolaan tersebut adalah untuk menghasilkan produk air atau tata air yang baik bagi kepentingan pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perindustrian dan masyarakat, seperti kepentingan air minum, irigasi, industri, tenaga listrik, dan
10
pariwisata. Untuk itu, pengelolaan DAS bertujuan melakukan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) secara rasional agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan dan diperoleh kondisi tata air yang berkualitas. Menurut Asdak (1995) dan Arsyad (2000), ada lima indikator yang dapat digunakan dalam menilai interaksi dan keterpaduan tata air yang berkualitas di dalam DAS, yaitu: 1.
Kuantitas air: Kondisi kuantitas air sangat berkaitan dengan kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan, maka dapat dikatakan perubahan kuantitas
air
akan
terjadi.
Untuk
itu,
kegiatan
yang
menimbulkan
pengurangan tutupan lahan pada suatu tempat selayaknya dapat dilakukan dengan iringan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat pada besarnya air limpasan permukaan maupun debit air sungai; 2.
Kualitas air: Disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi lahan, dipengaruhi juga oleh limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertanian dan perkebunan, serta pola tanam (pencemaran dan erosi). Pengaruh tersebut dapat dilihat dari kondisi kualitas air dan limpasan serta air sungai ataupun air sumur;
3.
Perbandingan debit maksimum dan minimum: Perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit puncak minimum sungai utama (dititik outlet DAS), berarti kemampuan lahan untuk menyimpan air. Bila kemampuan lahan menyimpan air masih baik, maka fluktuasi debit air pada musim hujan dan musim kemarau adalah kecil. Oleh karena itu, kemampuan lahan menyimpan air tergantung pada kondisi permukaan lahan, seperti kondisi vegetasi dan tanah;
4.
Curah hujan: Curah hujan dikatakan besar atau kecil tergantung kondisi klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi dipengaruhi tutupan lahan ataupun aktivitas lainnya. Oleh karena itu, terjadinya perubahan besar pada tutupan lahan akan berpengaruh terhadap klimatologi dan juga curah hujan;
5.
Tinggi permukaan air tanah berfluktuasi secara ekstrim. Hal ini tergantung pada besarnya air masuk dalam tanah dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Hal ini juga dipengaruhi oleh vegetasi, kelerengan, dan kondisi tanah itu sendiri. Pengelolaan DAS secara terpadu harus bertujuan jelas dan tepat serta
konsisten pelaksanaannya di lapangan, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan DAS tersebut dapat dikembangkan.
11
Alikodra (2000) berpendapat bahwa ada beberapa tujuan pembangunan DAS terpadu, yaitu: 1.
Mempersiapkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dan institusi dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah;
2.
Mendorong dan membantu daerah dalam mempersiapkan kebijakan, strategi, dan merencanakan program penataan ruang, database dan sistem informasi, pengembangan institusi dan SDM serta koordinasi dengan berbagai stakeholders yang terkait;
3.
Menggunakan sumberdaya air dan sumberdaya alam lainnya untuk memenuhi kebutuhan manusia dan untuk memperhatikan kualitas hidup manusia, baik generasi kini maupun mendatang;
4.
Melindungi air dari berbagai pencemaran dan mempertahankan debit air sungai sesuai dengan daya dukung secara optimal;
5.
Mempertahankan keanekaragaman biota perairan sungai;
6.
Meningkatkan kesadaran para pengusaha untuk menerapkan pola produksi bersih;
7.
Mempertahankan kawasan-kawasan lindung yang penting fungsinya sebagai daerah resapan air. Sinkronisasi dan kesinambungan sulit tercapai di dalam pengelolaan
ekosistem DAS, apabila terjadi ketidak terpaduan kegiatan, baik antar sektor, antar wilayah maupun antar lembaga. Keterpaduan penting dilakukan untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah, dan air. Apabila ketidak terpaduan pengelolaan DAS tidak dapat tercipta, maka akan menimbulkan akibat buruk terhadap ekosistem alami, yakni akan terjadi kerusakan. Kerusakan tersebut sangat dipengaruhi oleh gerak langkah dari tindakan utama manusia yang menghuni dan gerak langkah yang terlibat dalam kegiatan kehidupan ekosistem DAS. Oleh karena itu, pengelolaan DAS terpadu sudah sangat mendesak untuk dilakukan agar dapat diformulasikan ke dalam pengembangan kebijakan ke depan. Pesisir Citarum Wilayah pesisir Citarum Jawa Barat memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda dengan wilayah pesisir selatan Jawa Barat baik ditinjau dari sudut perkembangan
pembangunan
maupun
dari
kondisi
alam
dan
ekologi.
Pembangunan di wilayah pesisir selatan Jawa Barat lebih terfokus pada pengembangan pertanian dan wisata pantai, sedangkan pengembangan wilayah
12
pesisir Citarum Jawa Barat lebih dominan pada sektor industri dan budidaya. Begitu pula bila ditinjau dari jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk wilayah pesisir
Citarum
relatif
lebih
banyak
daripada
wilayah
pesisir
selatan.
Perkembangan industri di pesisir utara relatif lebih cepat dengan telah tersedianya infrastruktur jalan pantai udara sejak dulu. Kompleksitas jenis industri yang berdiri dan berkembang di pesisir Citarum juga cukup tinggi dan industri kimia. Oleh karena itu, peningkatan taraf hidup perekonomiannya salah satu tergantung kepada jumlah ikan/ udang/ kepiting yang dapat tertangkap/ dipanen. Padahal sebagaimana diketahui kehidupan ikan/ udang/ kepiting sangat tergantung kepada ekosistem kehidupannya dan keberadaan ekosistem ini akan sangat tergantung kepada kualitas air laut yang menjadi sumber kehidupannya (PKSPL-IPB 2006). Proses Erosi di Daerah Hulu Sungai Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Suhara, 1991). Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada tempat lain. Pengangkutan atau pemindahan tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu air atau angin (Arsyad, 2000). Di daerah tropika basah erosi yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh air daripada yang disebabkan oleh angin. Jadi pengertian erosi dalam uraian selanjutnya adalah erosi oleh air hujan dan alirannya di atas permukaan tanah. Berdasarkan kejadiannya ada dua macam erosi yaitu : erosi normal dan erosi dipercepat. Erosi normal juga disebut erosi geologi atau erosi alami, erosi tersebut merupakan proses pengangkutan tanah yang terjadi di bawah keadaan vegetasi alami. Biasanya terjadi dengan laju yang lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Proses erosi geologi menyebabkan terjadinya sebagian bentuk permukaan bumi yang terdapat di alam. Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang
mengganggu
keseimbangan
antara
proses
pembentukan
dan
pengangkutan tanah (Arsyad,2000). Pengaruh Kegiatan Manusia terhadap Erosi dan Sedimentasi Pola pemanfaatan lahan yang berbeda, diusahakan secara terencana atau tanpa rencana, akan menimbulkan dampak yang berbeda pula. Pada
13
dasarnya permasalahan pengembangan DAS erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi, pengembangan wilayah, penggunaan lahan dan kebutuhan air. Sandi (1982), mengungkapkan bahwa pemanfaatan lahan yang direncanakan akan
membentuk
pola
pemanfaatan
optimal
yang
mengakibatkan:
a) pengurangan frekuensi debit b) pengurangan erosi tanah c) pengurangan kandungan lumpur sungai d) kelestarian dan pengoptimalan produktivitas lahan dan e) peningkatan kesejahteraan masyarakat. Proses sedimentasi, menyebabkan pendangkalan pada sungai, saluran, waduk dan pinggiran laut, merupakan ciri yang paling menonjol dari tidak berfungsinya DAS dengan baik. Dampak negatif sedimentasi terhadap biota perairan pesisir secara garis besar dapat diketahui melalui mekanisme tertentu. Pertama, penutupan tubuh biota laut, terutama yang hidup di dasar perairan (benthic organisme) seperti hewan karang, padang lamun dan rumput laut, oleh bahan sedimen. Menurut Arsyad (2000) terdapat banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan mengusahakan tanahnya secara bijaksana, sehingga tidak menimbulkan kerusakan tanah dan peningkatan laju erosi tanah. Faktor-faktor tersebut antara lain: sistem penguasaan tanah, luas tanah yang diusahakan, status penguasaan tanah, tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi dan infrastruktur serta fasilitas kesejahteraan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sedimentasi dapat terjadi secara alamiah tapi juga akibat kegiatan manusia. Sedimentasi secara alamiah tersebut diperburuk oleh ulah manusia dalam membentuk pola pemanfaatan lahan yang tidak dalam batasbatas daya dukung lingkungan. Pengaruh Kegiatan Manusia terhadap Kualitas Air Sungai Kualitas sungai merupakan indikator kondisi sungai dalam keadaan baik atau tercemar. Pencemaran sungai didefinisikan sebagai perubahan kualitas suatu perairan akibat kegiatan manusia, yang pada gilirannya akan mengganggu kehidupan manusia itu sendiri ataupun mahluk hidup lainnya (Kupchella dan Hyland, 1993). Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh senyawa yang masuk ke aliran sungai yang bergerak ke hilir bersama aliran air atau tersimpan di dasar, berakumulasi (khususnya pada endapan) dan suatu saat dapat juga terjadi pencucian atau pengenceran. Senyawa tersebut (utamanya yang beracun) berakumulasi dan menjadi suatu konsentrasi tertentu yang berbahaya bagi mata rantai kehidupan (Haslam, 1992).
14
Menurut Miller (1991) terdapat 2 bentuk sumber pencemar, yaitu: a. Point sources; merupakan sumber pencemar yang membuang efluen (limbah cair) melalui pipa, selokan atau saluran air kotor ke dalam badan air pada lokasi tertentu. Misalnya pabrik, tempat-tempat pengolahan limbah cair (yang menghilangkan sebagian tapi tidak seluruh zat pencemar), tempat-tempat penambangan yang aktif dan lain-lain. Karena lokasinya yang spesifik, sumber-sumber ini relatif lebih mudah diidentifikasi, dimonitor dan dikenakan peraturan-peraturan. b. Non-point sources;
terdiri dari banyak sumber yang tersebar yang
membuang efluen, baik ke badan air maupun air tanah pada suatu daerah yang luas. Contohnya adalah limpasan air dari ladang-ladang pertanian, peternakan, lokasi pembangunan, tempat parkir dan jalan raya. Pengendalian sumber pencemar ini cukup sulit dan membutuhkan biaya yang tinggi untuk mengindentifikasi dan mengendalikan sumber-sumber pencemar yang tersebar tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pendekatan terpadu dengan penekanan pada pencegahan pencemaran. Pencegahan tersebut dapat dilakukan salah satunya melalui penataan ruang yang baik (Miller, 1991: 249). Beberapa jenis kegiatan utama yang menimbulkan pencemaran sungai antara lain (Haslam, 1992): 1. Kegiatan domestik; termasuk di dalamnya kegiatan kesehatan (rumah sakit) dan food additives (seperti bahan pengawet makanan) serta kegiatankegiatan yang berasal dari lingkungan permukiman baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Efluen yang dibuang biasanya berupa pencemar organik, tapi ada juga berupa senyawa anorganik, logam, garam-garaman (seperti deterjen) yang cukup berbahaya karena bersifat patogen. 2.
Kegiatan industri; mempunyai banyak sekali variasi; bisa berupa efluent organik (dari pabrik makanan dan dapat juga dari industri minyak dan petrokimia). Sedangkan efluen inorganik dihasilkan oleh pabrik-pabrik baja, mobil atau industri berat lainnya; partikel dan debu dapat dihasilkan oleh kegiatan industri pertambangan. Bisa juga berupa pencemaran panas, misalnya dari pembangkit tenaga listrik.
3.
Kegiatan pertanian; terutama akibat penambahan pupuk dan pembasmi hama, di mana senyawa-senyawa yang terdapat di dalamnya tidak mudah terurai walaupun dalam jumlah yang sedikit, tetapi justru aktif pada konsentrasi yang rendah. Selain itu, sedimen termasuk pencemaran yang
15
cukup besar ketika terjadi penebangan pohon-pohonan, pembuatan paritparit, perambahan hutan dan lain-lain. Belum lagi, efluen organik yang dihasilkan oleh peternakan dapat menyebabkan pencemaran yang cukup serius. Menurut Haslam (1992) dan Hayward (1992), zat pencemar sungai dapat dibagi dalam 8 jenis utama, yaitu : 1. Organisme patogen (bakteri, virus dan protozoa) 2. Limbah organik biodegradable (limbah cair domestik, limbah pertanian, limbah peternakan, limbah rumah potong hewan, limbah industri). 3. Bahan anorganik yang larut dalam air (asam, garam, logam berat dan senyawa-senyawanya, anion seperti sulfida, sulfit dan sianida). 4. Zat hara tanaman (garam-garam nitrat dan fosfat yang larut dalam air), yang berasal dari penguraian limbah organik seperti limbah cair atau pelepasan pupuk nitrat, yang jika berlebihan dapat mengakibatkan eutrofikasi. 5. Bahan-hahan kimia yang larut dan tidak larut (minyak, plastik, pestisida, pelarut, PCB, fenol, formaldehida dan lain-lain). Zat-zat tersebut merupakan penyebab yang sangat beracun bahkan pada konsentrasi yang rendah (< 1 ppm). 6. Sedimen (suspended solid); merupakan partikel yang tidak larut atau terlalu besar untuk dapat segera larut. Kecenderungan sedimen untuk tinggal di dasar air tergantung pada ukurannya, rasio aliran (flow rate) dan besarnya turbulensi yang ada pada suatu badan air. Partikel diantara 1 μm dan 1 ηm tetap dapat "melayang" dalam air, yang disebut colloidal solid dan air yang banyak mengandung colloidal solid terlihat seperti air susu. Jumlah sedimen mempengaruhi turbiditas air, dan kualitasnya mempengaruhi warna. 7. Zat-zat / bahan-bahan radioaktif 8. Pencemaran termal; biasanya dalam bentuk limbah air panas yang berasal dari
kegiatan
suatu
pembangkit
tenaga.
Pencemaran
ini
dapat
mengakibatkan naiknya temperatur air, meningkatkan rasio dekomposisi dari limbah organik yang biodegradable dan mengurangi kapasitas air untuk menahan oksigen. Untuk lebih jelasnya, sumber pencemaran dapat dilihat pada Tabel 1.
16
Tabel 1 Sumber Pencemar Pencemar (Pollutant)
Sumber Pertanian
Limbah Cair
••• •••
•• •••
Limbah Cair Perkotaan ••• ••
•
•
•
•••
•
••
•
•
•••
•
•
Sedimen Nutrien Logam beracun Zat kimia beracun Pestisida Organisme exotic Organisme patogen Sampah Bahan-bahan penyebab turunnya oksigen terlarut Jumlah Sumber terbesar
Pertambangan
Budidaya perikanan
•••
• ••
•
Industri
Pelayaran •
• •••
•
••
•
• •
•••
•
•
•
•••
•
•••
••
13
16
14
•• • •
7
••
•
9
8
••
8
Sumber: Brodie (1995) dalam Dahuri (1996) Keterangan: ••• : Sumber terbesar •• : Sumber moderat • : Sumber terkecil
Gambar 2 Interaksi kegiatan manusia dan dampaknya terhadap kualitas lingkungan (Adibroto, 1999). Batasan Kawasan Pesisir Menurut Clark (1992), kawasan pesisir merupakan kawasan peralihan antara ekosistem laut dan daratan yang saling berinteraksi.
Oleh karena itu
setiap aspek pengelolaan kawasan pesisir dan lautan secara terpadu, baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu berhubungan dengan air.
17
Hubungan tersebut terjadi melalui pergerakan air sungai, aliran air limpasan (runoff), aliran air tanah (ground water), air tawar beserta segenap isinya (seperti unsur nutrien, bahan pencemar dan sedimen) yang berasal dari ekosistem daratan dan akhirnya akan bermuara di perairan pesisir. Unsur dan senyawa kimiawi, termasuk bahan pencemar, juga dapat diangkut dari ekosistem daratan atau udara dan ditumpahkan ke ekosistem pesisir melalui air hujan.
Pola
sedimentasi dan abrasi pantai juga ditentukan oleh pergerakan massa air. Pergerakan massa air mempengaruhi perpindahan biota perairan (plankton, ikan dan udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Beatley et. al. (1994), mengemukakan bahwa berdasarkan kesepakatan internasional kawasan pesisir didefinisikan sebagai kawasan peralihan antara laut dan daratan. Kearah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf). Menurut Kay dan Alder (1999), batasan pesisir dapat ditentukan berdasarkan pendekatan ilmiah (scientific definition) dan pendekatan kebijakan (policy oriented definition). Secara ilmiah, Ketchum, 1972 dalam Kay dan Alder 1999, mendefinisikan bahwa kawasan pesisir merupakan pertemuan antara daratan dan lautan dengan batasan ke daratan dan lautan ditentukan oleh pengaruh daratan ke lautan dan pengaruh lautan ke daratan.
Berdasarkan
kebijakan, pada umumnya batasan kawasan pesisir merupakan wilayah administratif, baik ke darat maupun ke laut, ataupun batasan yang ditentukan secara politis (Hilldebrand dan Norrena, 1992; Jones dan Westmacott, 1993). Menurut Dahuri (2000), untuk kepentingan pengelolaan, batasan ke arah darat suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan menjadi 2 jenis, yaitu batasan untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day to day management).
Apabila terdapat
kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan dampak secara nyata (significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir, maka wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu). Oleh karena itu, untuk kepentingan perencanaan, batas wilayah pesisir ke arah darat dapat ditetapkan sangat jauh ke arah hulu, misalnya kota Bandung untuk kawasan pesisir DAS Citarum. Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah pengelolaan (perencanaan dan pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan.
18
Batasan kawasan pesisir suatu negara dapat berbeda dengan negara lainnya karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri. Perbedaan penentuan batas kawasan pesisir di beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Praktek penentuan batasan kawasan pesisir di beberapa negara No
Negara/Negara Bagian
Batas ke Arah Darat
Batas ke Arah Laut
1.
2 km dari garis RPT 1000 m dari garis RPT Batas arbitrer tergantung isu pengelolaan 200 m dari garis RPT
12 km dari garis RPT
3.
Brasilia California 1972-1976 1977-sekarang Costa Rica
4.
Cina
10 km dari RPT
5.
Ekuador
6.
Israel
7. 8. 9.
Afrika Selatan Australia Selatan Quennland
Batas arbitrer tergantung isu pengelolaan 1-2 km tergantung jenis sumberdaya dan lingkungan 1 km dari garis RPT 100 km dari garis RPT 400 m dari garis RPT
10.
Spanyol
500 m dari garis RPT
2.
Washington State Batas darat dari negara pantai 61 11. Batas perencanaan m dari garis RPT Batas pengaturan Sumber Sorensen dan Mc. Creary (1990) dalam Dahuri, 2001.
3 mil laut dari GD 3 mil laut dari GD Garis pantai saat RPR Sampai kedalaman laut/isobath 15 m BL 500 m dari garis pantai saat RPR BL 3 mil laut dari GD 3 mil laut dari GD 12 mil laut/batas perairan teritorial 3 mil laut dari GD 3 mil laut dari GD
Keterangan : RPT = Rata-rata Pasang Tinggi (mean high tide) GD = Garis Dasar (coastal baseline) BL = Belum ditetapkan RPR = Rata-rata Pasang Rendah (mean low tide)
Berdasarkan uraian tentang batasan kawasan pesisir di atas, dapat disimpulkan bahwa ekosistem pesisir yang terdiri atas komponen daratan dan lautan merupakan suatu ekosistem dinamis yang saling berkaitan. Hal-hal tersebut hendaknya dapat menjadi pertimbangan penting dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir untuk kemudian juga dikaitkan dengan konteks penataan ruang wilayah yang berwawasan lingkungan. Kawasan pesisir memiliki peran dan fungsi ekologis yang penting, terutama bagi kepentingan pemijahan di daerah estuari yang kaya akan unsur hara dan plasma nutfah, asuhan maupun pembesaran sumberdaya perikanan, persinggahan satwa burung pada saat migrasi maupun bagi kepentingan sistem penunjang kehidupan lainnya. Selain itu, kawasan pesisir juga memiliki fungsi perlindungan bagi daerah belakangnya (hinterland). Komponen kawasan pesisir yang memiliki fungsi lindung penting antara lain adalah hutan mangrove, gunung pasir (dune) dan lahan basah (wetlands). Selain berfungsi sebagai tempat berlindung dan sumber makanan bagi berbagai jenis biota laut dan pantai (ikan, udang, kepiting, burung, dan lain-lain), hutan mangrove, dune dan wetlands juga
19
berfungsi untuk menahan sedimentasi dari hulu, mereduksi konsentrasi zat-zat pencemar, menahan laju abrasi yang disebabkan oleh gelombang laut serta banjir sehingga kerusakan komponen pesisir akan mengakibatkan penurunan keanekaragaman
hayati,
juga
dapat
menyebabkan
penurunan
kualitas
lingkungan kawasan pesisir dan daerah belakangnya. Berdasarkan batasan dan fungsi ekologis yang dimiliki setiap komponen wilayah pesisir di atas maka pendekatan keterpaduan pemanfaatan dan pengelolaan kawasan menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan and one management serta perhatian terhadap pembangunan yang berkelanjutan dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang terintegrasi, baik berdasarkan aspek ekologis, ekonomis maupun sosial (Darwanto, 2000). Kaidah Holistik dan Keberlanjutan dalam Kegiatan Pembangunan di Wilayah Pesisir Praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah yang di persyaratkan oleh pertimbangan lingkungan sering terjadi dan bahkan dilakukan dengan cara yang destruktif sehingga memicu kerusakan sumberdaya yang lebih buruk. Mengacu pada karakteristik biofisik dari wilayah pesisir, maka dalam pembangunan perikanan di wilayah pesisir harus didasarkan atas pertimbangan kaidah-kaidah holistik dimana semua komponen penyusun ekosistem
wilayah
pesisir
diasumsikan
saling
berhubungan
dan
saling
ketergantungan (interdependensi) dan merupakan satu kesatuan unit fungsional yang terintegrasi. Daratan, udara dan air sebagai komponen sumberdaya wilayah pesisir memiliki hubungan ekologi yang sangat kompleks, sehingga dalam pemanfaatannya harus mempertimbangkan sifat holistik yang dimilikinya yang tercermin
dalam
kaidah-kaidah
ekologi
yang
menjadi
acuan
untuk
pemanfaatannya. Pemahaman secara holistik harus didasarkan pada prinsip ekologi yang berlangsung di dalam ekosistem tersebut. Menurut Clark (1974), terdapat 11 kaidah ekologi yang menjadi dasar pengelolaan wilayah pesisir yang kesemuanya bertumpu pada fungsionalitas ekosistem pesisir yang menjadi kunci keberadaan sumberdaya pesisir. 1. Integritas ekosistem (Ecosystem integrity). Pendekatan ini berdasar pada kaidah ekologis yang menyatakan bahwa tidak ada bagian dari suatu ekosistem yang dapat berjalan atau berfungsi secara independen terhadap ekosistem lainnya. Ekosistem adalah unit luas yang paling mendasar yang
20
melingkup seluruh elemen fisik dan biologis dari unit terkecil yang saling berinteraksi di wilayah pesisir. Oleh karena wilayah pesisir merupakan bagian dari ekosistem DAS yang sangat luas, maka pengelolaan wilayah pesisir harus diimbangi atau diikuti oleh pengelolaan di wilayah hulu. 2. Keterkaitan (Linkage). Air merupakan penghubung yang esensial antara elemen daratan dan lautan dari ekosistem pesisir. Pertimbangan ekologis yang utama dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah pengelolaan air, bukan saja pada perairan pesisir, tetapi juga pada aliran di wilayah hulu yang berpengaruh pada siklus hidrologi melalui air tanah dan air permukaan yang akan bermuara di wilayah pesisir sebagai terminal point. Karena itu, air memiliki fungsi sebagai media penghubung utama antara elemen-elemen daratan dan lautan dalam suatu ekosistem pesisir. Dengan mengacu pada kaidah ekologi tersebut, maka pembangunan wilayah pesisir tidak terlepas dari dampak yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan yang ada di wilayah hulu. Aspek penutupan lahan DAS dan aktivitas manusia di kawasan tersebut sangat mempengaruhi dinamika lingkungan wilayah pesisir dan keberlanjutan manfaatnya. 3. Aliran masuk (Inflow). Volume alami, pola serta laju aliran air tawar menjamin berfungsinya ekosistem secara optimum. Perairan pesisir adalah campuran antara air tawar dari daratan dan air laut. Bekerjanya ekosistem pesisir dipengaruhi oleh karakteristik dari kedua sumber pasok perairan tersebut, melalui gaya serta interaksi yang ada pada keduanya. Laut merupakan reservoir air dan gaya yang sangat besar. Air laut mendorong gaya yang biasanya lebih bervariasi dari air daratan. Aliran air laut di wilayah pesisir dipengaruhi oleh tingkat pasang surut, gelombang, badai dan arus, serta perubahan ukuran inlet yang lebih konsisten dari pada aliran air tawar melalui sungai bervariasi menurut perubahan musiman dalam curah hujan serta jumlah limpasan (run-off). Dengan demikian, perubahan salinitas, pola sirkulasi di daerah estuari lebih banyak ditinju dari asupan air tawar serta daerah aliran sungai yang mempengaruhinya. Volume air tawar yang masuk ke perairan pesisir mengatur salinitas perairan pesisir. Salinitas air akan mempengaruhi
jenis
spesies
dan
kelimpahannya,
serta
penyebaran
organisme perairan di wilayah pesisir, seperti ikan, kekerangan, plankton, alga, tumbuhan dan fauna dasar. Volume air tawar juga mengatur sirkulasi dari perairan pesisir melalui laju flushing (flushing rate) dari DAS dan
21
kekuatan arusnya dalam suatu sistem water budget. Selain itu, pasokan air tawar dari hulu akan membawa sedimen, nutrient, mineral, serta bahan organik serta bahan-bahan lain yang larut maupun tersuspensi dalam air ke perairan wilayah pesisir. Pasokan material dari daratan akan mempengaruhi karakteristik ekosistem pesisir yang pada gilirannya akan mempengaruhi produksi tumbuhan, konsentrasi oksigen, dan sedimen di wilayah estuari. Berlangsungnya fungsi sirkulasi air secara alami, pola serta laju masukan air tawar musiman dapat menjamin fungsi ekosistem pesisir yang optimum. 4. Basin circulation. Pola sirkulasi air secara alami di dalam basin menjamin berfungsinya ekosistem secara optimal. Sirkulasi dalam basin merupakan gabungan antara pengaruh aliran air tawar, gaya pasang surut, angin dan gaya yang timbul dari laut (oceanic force) yang menghasilkan suatu pola pergerakan air yang spesifik di wilayah perairan pesisir. Sirkulasi air membawa nutrient, mendorong pergerakan plankton, menyebarkan telur dan larva biota perairan, menggelontorkan buangan hewan dan tumbuhan, membersihkan pencemaran dalam sistem, mengendalikan salinitas, memutar posisi
sedimen,
serta
pencampuran
massa
air.
Pola
sirkulasi
air
mempengaruhi stratifikasi salinitas perairan pesisir. Hal ini berpengaruh pada tingkat produktivitas wilayah perairan pesisir. Pola sirkulasi yang baik mencermikan kondisi lingkungan yang baik. Laju pembasuhan yang tinggi dapat menurunkan beban polutan di perairan pesisir. Keseimbangan pola sirkulasi air dalam basin merupakan prinsip yang harus dianut dan dimulai dengan presumsi bahwa kondisi alami adalah yang terbaik dan harus dipertahankan. Karena itu, pola sirkulasi air alami yang baik dapat menjamin fungsionalitas ekosistem yang baik. 5. Energi - aliran dan jumlah energi yang tersedia mengatur proses kehidupan dalam ekosistem pesisir. Kebutuhan energi di dalam ekosistem pesisir diperoleh dengan dua cara, yaitu (a) berasal dari pengaruh eksternal dan (b) dari pasokan internal yang merupakan daur ulang dari dalam sistem. Gaya dari luar sistem yang mempengaruhi ekosistem pesisir adalah arus pasang surut, arus laut, aliran sungai, angin, matahari, serta mineral yang memasok makan bagi tumbuhan dan hewan. Rantai atau jaringan makanan dimulai dari energi yang dihasilkan oleh tanaman melalui proses fotosintesa. Tumbuhan sebagai produser primer, menggunakan energi matahari untuk fotosintesa yang mentransformasikan karbondioksida dan nutrien dasar menjadi jaringan
22
tumbuhan, yang merupakan bentuk energi yang tersedia bagi hewan sebagai dasar bahan makanannya. Tumbuhan ini kemudian dimakan dan energinya dikonversi melalui jaringan makanan yang kompleks dan kembali ke nutrient dasar. Karena seluruh makanan hewan bermula dari tumbuhan, setiap organisme dapat dikatakan tergantung dari faktor utama yang membatasi produksi
jaringan
tumbuhan,
seperti
pasok
nutrient
dasar,
jumlah
karbondioksida yang tersedia, serta sinar matahari. 6. Penyimpanan (storage). Kemampuan penyimpanan energi yang sangat tinggi akan menjamin fungsionalitas ekosistem secara optimum. Kapasitas penyimpanan energi merupakan aspek yang sangat penting dalam ekosistem pesisir. Penyimpanan adalah kemampuan suatu sistem dalam menyimpan satu atau lebih komponen-komponennya. Suatu unit penyimpanan dapat berarti sebidang tanaman rawa (marsh grass), sekelompok ikan, bibit dan anakan, sedimen organik atau fitoplankton yang ada di dasar perairan pesisir. Unit-unit tersebut mengumpulkan dan menyimpan energi yang akan digunakan pada saat terjadi kekurangan. Tempat penyimpanan di jaringan tumbuhan sangat penting karena nutrien yang disimpan menstabilkan dan menyediakan perlindungan terhadap tekanan lingkungan yang berat yang sifatnya ireguler atau periode kekurangan musiman (misal musim dingin). Penyimpanan energi ini merupakan cadangan alami yang melindungi ekosistem terhadap fluktuasi yang tinggi dalam kondisi kelebihan dan kelangkaan. Dengan demikian, kemampuan penyimpanan energi yang tinggi berfungsi sebagai dasar fungsionalitas ekosistem yang optimum. 7. Nitrogen. Produktivitas perairan pesisir biasanya diatur oleh jumlah nitrogen yang tersedia. Nutrien dan trace element merupakan kemikalia utama bagi perairan pesisir. Nutrien sangat vital bagi keseluruhan rantai kehidupan di perairan pesisir, karena dibutuhkan oleh semua tanaman baik yang berakar maupun yang mikroskopis seperti fioplankton, karena kehidupan hewan didukung oleh tanaman. Nutrien bebas secara alami relatif jarang di dalam perairan pesisir, sebab digunakan oleh tanaman secara cepat. Nutrient di perairan pesisir dipasok oleh proses alamiah melalui runoff, rainfall, atau berasal dari laut. Di wilayah perairan pesisir jumlah nitrat yang tersedia secara umum dianggap sebagai faktor nutrient yang mengatur banyaknya jumlah tumbuhan. Di wilayah periran pesisir yang produktif kenaikan unsur nitrogen dalam jumlah yang siginifikan dari limbah maupun pupuk, terutama
23
nitrat akan menimbulkan eutrofikasi. Dengan demikian, keseimbangan nitrogen
budget
dalam
perairan
pesisir
berperan
penting
bagi
berlangsungnya fungsi ekosistem di wilayah pesisir. 8. Cahaya. Sinar matahari adalah faktor penggerak utama dalam seluruh ekosistem, karena sinar matahari adalah sumber energi bagi produktivitas primer. Tumbuhan merupakan dasar makanan bagi seluruh makhluk hidup di perairan pesisir. Cahaya matahari harus dapat menembus air sampai kedalaman tertentu sehingga dapat membantu pertumbuhan tanaman berakar dan fitoplankton yang mengapung di bawah permukaan. Kekeruhan akibat suspensi lumpur atau dari konsentrasi organisme akan mempengaruhi penetrasi sinar matahari ke dalam perairan dan memiliki efek yang negatif terhadap jumlah tumbuhan yang hidup di perairan pesisir. Sinar matahari memiliki pengaruh yang siginifikan terhadap perilaku sejumlah hewan. Ada yang memerlukan kejernihan air namun ada pula yang memerlukan air yang relatif keruh yang dapat memberikan perlindungan atau naungan bagi hewan tersebut. Karena itu, upaya mencegah terjadinya kekeruhan yang umumnya disebabkan oleh pasokan sedimen dari daratan menjadi penting agar fungsi ekosistem dapat berjalan secara optimum. 9. Temperatur. Temperatur memiliki pengaruh yang besar dalam ekosistem pesisir. Proses fisiologi hewan akuatik sangat tergantung pada temperatur. Perubahan temperatur, seperti yang dihasilkan oleh buangan pembangkit listrik atau perubahan pola aliran berdampak negatif bagi berlangsungnya fungsi ekosistem wilayah pesisir. Selain itu, karena beragam jenis hewan yang memerlukan estuari bagi perjalanan hidupnya. Temperatur optimal bagi berbagai habitat akuatik tidak hanya tergantung pada preferensi spesies, tetapi juga keberadaan ekosistem pesisir secara keseluruhan. Karena itu, fluktuasi temperatur yang mencolok dapat mengganggu berfungsinya ekosistem secara normal. 10. Jumlah oksigen. Tingginya konsentrasi oksigen terlarut menjamin fungsi ekosistem secara optimal. Oksigen dan karbondioksida merupakan gas yang penting bagi kehidupan di perairan pesisir. Hewan memerlukan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dan tumbuhan memerlukan karbondioksida serta mengeluarkan oksigen secara seimbang. Ada suatu keseimbangan yang kritis dalam siklus antara tumbuhan dan hewan yang juga melibatkan peralihan gas yang larut di permukaan air dan dari atmosfir. Ekosistem
24
perairan pesisir membutuhkan minimal 6 ppm oksigen terlarut bagi berfungsinya ekosistem secara normal. 11. Salinitas. Salinitas mempengaruhi proses osmoregulasi bagi organisme perairan, sehingga berdampak pada proses adaptasi osmotik yang pada gilirannya akan mempengaruhi keragaman spesies, kelimpahan dan distribusi biota di perairan pesisir. Dengan demikian, salinitas akan menentukan produktivitas perairan pesisir sebagai cerminan berfungsinya ekosistem pesisir secara optimal. Kesebelas kaidah ekologis ini mencerminkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir harus didasarkan atas pemahaman prespektif holistik. Karena itu, Clark (1974) mengelaborasi kaidah ekologis ini menjadi acuan bagi pengelolaan wilayah pesisir sebagai berikut: 1. Integritas ekosistem: Bahwa setiap ekosistem pesisir harus dikelola sejalan dengan keterkaitan bagian-bagian serta sebagai satu kesatuan yang utuh. 2. DAS: bahwa pengelolaan DAS sedapat mungkin mempertahankan pola alaminya, karena DAS adalah faktor kunci dalam pengelolaan air sebagai komponen utama keterkaitan elemen-elemen ekosistem. 3. Penyangga DAS: Perlu dibangun penyangga DAS berupa vegetasi sepanjang DAS tersebut sejalan dengan meningkatnya pembangunan. Tata guna lahan yang dicirikan oleh penutupan lahan menjadi hal yang sangat penting untuk mempertahankan fungsi hidroorologi DAS. 4. Lahan basah dan wilayah pasang surut: Perlu melestarikan lahan basah dan pasang surut yang bervegetasi sejalan dengan meningkatnya pembangunan. 5. Penyimpanan: Komponen penyimpanan (storage) dari ekosistem adalah komponen yang sangat penting dan harus selalu dilindungi. 6. Energi: Untuk mempertahankan ekosistem pada fungsi optimumnya perlu dilakukan perlindungan dan optimisasi sumber dan aliran energi yang memberikan tenaga ke dalam sistem. Laut dan pesisir dalam esensinya bersifat sangat unik dan dinamis, memiliki interaksi yang kuat dalam sistem dan prosesnya, khususnya antar muka sistem daratan dan lautan serta interaksi antara berbagai ekosistemnya yang sangat dinamis dan vital bagi kehidupan, yang dihuni oleh mayoritas flora dan fauna yang mesti dilestarikan keanekaragam hayatinya berikut habitatnya. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir memerlukan perhatian khusus dan berhati-hati dalam perencanaan dan pengelolaannya.
25
Mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi dalam pembangunan pesisir dan laut, maka pendekatan holistik keterpaduan, sistem, antar disiplin, antarsektor, (yang bersasaran serbaguna), menjadi prasyarat mutlak bagi berlangsungnya fungsi sumberdaya pesisir dan lautan untuk maksud dan tujuan peningkatan kesejahteraan sosial budaya dan ekonomi komunitas laut dan pesisir serta masyarakat luas pada umumnya, dengan berupaya memantapkan kelembagaan dan jaminan hukum dalam merencanakan dan mengelola sumberdaya serta lingkungan laut dan pesisir secara terpadu oleh generasi kini dan untuk warisan kepada generasi mendatang, agar sumberdaya dan lingkungan tetap lestari dalam pembangunan yang berkelanjutan. Ekosistem Mangrove Supriharyono (2000) mengemukakan ekosistem mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang-surut air laut), dan kedua sebagai individu spesies. Batasan pengertian pertama sebagai hutan adalah hutan yang terutama tumbuh pada material alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon anggota genera : Avicenia, Sonneratia, Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Exoecaria, Xyloccarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Lokasi ekosistem bakau umumnya adalah pantai-pantai dengan teluk dangkal, estuari, delta, bagian terlindung dari tanjung, selat yang terlindung dari ombak. Tanahnya bervariasi dari lumpur, lempung, gambut dan pasir. Manfaat ekonomi ekosistem Mangrove antara lain adalah hasil kayu, bahan bakar, konstruksi, suplai bahan kertas, karton, kotak, tekstil, pangan, obat dan bahan
minuman. Fungsi ekologis dari ekosistem ini adalah: a)sebagai
sumber energi dan bahan pakan yang sangat penting, b) kehidupan satwa liar, c) pelindung garis pantai, d) pengendali erosi air laut, e) penyaring dan pembersih air limbah dan f) barier melawan ombak pasang dan badai laut (Bengen, 2001). Hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung dari gelombang.
Menurut
Bengen, 2003 bahwa karakteristik habitat hutan mangrove adalah : a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.
26
b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. d. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
Air
bersalinitas payau (2 – 22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil). Intergrated River Basin Coastal and Ocean Management (IRCOM) Pentingnya Pendekatan yang Terpadu Sejak konferensi UNCED di Rio, semakin diakui bahwa sektor DAS dan pesisir terkait erat melalui struktur fisik dan ekologis dan melalui proses fisik dan biologis. Secara skematis di Gambar 3c, menunjukkan bahwa transpor air, sedimen dan polutan menjadi pusat perhatian. Kegiatan penggunaan lahan perkotaan dan pedesaan mempengaruhi kuantitas dan kualitas air yang mengalir di mulut sungai; ini penting bagi sedimen pesisir dan bagi konservasi untuk habitat penting, seperti lahan basah, delta dan estuari. Pergerakan air, sedimen dan polusi sepanjang pesisir juga penting. Pendekatan komprehensif bagi pengelolaan garis pantai harus memasukkan wilayah hulu baik pesisir dan DAS, karena praktek pengelolaan di masing-masing sistem dapat mempengaruhi ke pesisir di hilir. Perubahan pola penggunaan lahan dan sumberdaya di wilayah hulu akan mempengaruhi wilayah hilir. Perubahan guna lahan di daerah tangkapan air, seperti urbanisasi dan deforestrasi, akan mempengaruhi laju aliran akhir dan ketersediaan sedimen, yang mempengaruhi zona pesisir dan seringkali mengakibatkan erosi dan perubahan garis pantai. Dampak yang sama dihasilkan oleh pembangkit listrik hidro dan regulasi sungai: pengurangan tinggi muka air banir dan perubahan aliran air dapat mempengaruhi transpor sedimen yang seringkali menghasilkan erosi di sungai bagian hilir dan wilayah pesisir. Terdapat interdependensi yang sama jika dampak emisi limbah cair dipertimbangkan. Emisi limbah cair di laut dapat berdampak pada kualitas air di DAS bagian hilir karena pengaruh pasang-surut yang terkait dengan intrusi air laut dan difusi polutan. Polutan yang dibuang di sungai bagian hulu akan berdampak pada keulitas baik air dan sedimen di sungai bagian hilir. Perubahan ini memberikan dampak langsung bagi integritas ekosistem perairan, termasuk flora dan fauna. Ini wilayah-wilayah dimana keterkaitan ini penting, maka IRCOM
27
sangat dibutuhkan. Pengelolaan secara terpadu menjadi semakin beragam, mencakup beragam tujuan ekonomi dan sosial. Konflik permintaan terhadap sumberdaya alam membutuhkan pendekatan komprehensif, mencakup tujuan beragam dan memerlukan skala kepentingan yang lebih luas baik ruang dan waktu. Berdasarkan perspektif ini, pendekatan terpadu untuk pengelolaan zona pesisir dan DAS diperlukan. Meskipun skala spasial IRCOM masih diperdebatkan, dalam arahan ini diasumsikan bahwa IRCOM mencakup daerah tangkapan air, zona pesisir dan perairan pesisir dekat pantai. Pengelolaan sumberdaya kelautan, seperti minyak, gas dan stok ikan, tidak termasuk di dalam IRCOM. Dalam prinsipnya, IRCOM bertujuan untuk mengintegrasikan sektor dalam berbagai tingkatan tata kelola (governance) sebagai dasar pengelolaan yang multi disiplin dalam wilayah tangkapan air yan lebih luas, termasuk pesisir. Tidak seluruh kegiatan pengelolaan dalam domain IRCOM membutuhkan pendekatan terpadu yang menyeluruh. Skala isu pengelolaan dan dampak pengelolaan menentukan apakah IRCOM harus digunakan atau tidak. Dalam beberapa kasus, pengelolaan di satu wilayah dapat secara efektif tidak terkait dengan wilayah yang lain, namun semakin meningkatnya skala pengelolaan, pendekatan terintegrasi akan semakin dibutuhkan. Beberapa bagian kecil dari garis pantai bisa saja tidak dipengaruhi oleh input dari sungai, tapi semakin besar ukuran daerah tangkapan, semakin besar kemungkinan output dari DAS berdampak pada zona pesisir. Karena keeratan keterkaitan antara sungai dan pesisir, perubahan di sistem sungai dapat berdampak jauh ke hilir. Suatu contoh klasik diperlihatkan pada erosi delta Sungai Nil sebagai akibat dari pembangunan Bendungan Aswan. DAS kecil akan kecil kemungkinannya dipengaruhi oleh pembangunan di zona pesisir, kecuali pada beberapa kasus. Secara umum, ketika skala kepentingan ruang semakin luas, maka skala kepentingan waktu juga meningkat. Dengan demikian, perubahan besar pada laju transpor sedimen di sungai besar akan memberikan dampak jangka panjang pada zona pesisir, seperti yang terjadi di Sungai Nil. Arahan ini memperkenalkan konsep IRCOM, memberikan kerangka konseptual untuk mengevaluasi pentingnya IRCOM kasus per kasus dan sebuah bagan alir untuk implementasi prosedur IRCOM yang efisien dan efektif. IRCOM memberikan konteks untuk mempertimbangkan secara eksplisit berbagai aspek sistem alam dan sosio-ekonomi yang sebelumnya dilihat sebagai
28
bagian terpisah dari pertimbangan pembuat keputusan dan perencana, yang hanya memperhatikan pembangunan sektoral dari DAS atau pesisir. Sebagai contoh, terdapat keterkaitan langsung antara pengontrolan erosi tanah di hulu dan pengurangan sedimentasi di lahan basah di hilir. Pengakuan atas hal ini mengarah kepada koordinasi yang lebih baik dalam pembuatan kebijakan dan tindakan di berbagai sektor (air, kehutanan, pertanian, pembangunan perkotaan, perlindungan lingkungan, dan sebagainya) dan secara geografis, akan mengarahkan penggunaan sumberdaya yang lebih rasional dan perlindungan lingkungan yang lebih efektif. Tujuan dari IRCOM berada pada kerangka pembangunan berkelanjutan, sebagaimana disebutkan di Rio, berdasarkan pertimbangan bahwa konservasi lingkungan sama pentingnya dengan efisiensi ekonomi dan keadilan sosial, kesemuanya
dilakukan
dalam
perspektif
jangka
panjang
berdasarkan
pertimbangan keadilan inter generasi. Pendekatan pengelolaan terpadu akan mengoptimalkan intervensi kebijakan
dalam
ruang
dan
waktu
untuk
mengurangi
potensi
konflik,
menjembatani potensi perbedaan, dan mengurangi potensi tumpang tindih antar kebijakan. Ini akan dicapai melalui pengakuan adanya keterkaitan penting antara wilayah pesisir dan sistem DAS (baik proses alam maupun kegiatan manusia), dan identifikasi lokasi-lokasi penting secara geografis dan sektoral, untuk intervensi kebijakan. Oleh karena itu,
perlu diakui terdapat perbedaan yang
mendasar dalam hal kerangka waktu dan skala geografis di antara berbagai proses yang ada di wilayah pesisir dan DAS, dan ini harus dipahami dalam proses pengambilan kebijakan. Kusumastanto (1995) mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) kategori dalam penilaian ekonomi yang digunakan dalam memecahkan masalah kebijakan wilayah pesisir yaitu : a. Analisa Dampak, yakni kerusakan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan pada sistem pesisir khususnya berupa dampak lingkungan. b. Penilaian sebagian, yakni suatu penilaian alternatif alokasi sumberdaya atau pilihan proyek yang mencakup sistem atau sumberdaya pesisir. Tujuannya adalah membuat kriteria untuk memilih antara sejumlah pemanfaatan yang berbeda dari sistem pesisir. c. Penilaian secara keseluruhan, yakni nilai ekonomi secara keseluruhan dari sistem pesisir. Pendekatan ini dilakukan dalam menentukan nilai ekonomi
29
total dari cagar alam dalam akuntansi sumberdaya nasional Kusumastanto (2006) menyatakan bahwa dalam pembangunan pengelolaan pesisir dan lautan,
beberapa
lembaga
pemerintah,
universitas,
lembaga
donor
internasional mengupayakan untuk menyusun kebijakan dan implementasi Pengelolaan DAS, Pesisir dan Laut secara Terpadu (IRCOM) yang mengarah pada pembangunan pesisir dan lautan yang berkelanjutan. Upaya ini mencakup konseptualisasi dan implementasi proyek-proyek pengelolaan pesisir terpadu. Setelah 20 tahun, kini diakui bahwa implementasi IRCOM dalam kebijakan pemerintah (lokal dan pusat) dan melalui proyek-proyek IRCOM memberi dampak terbatas karena kurangnya dukungan kebijakan yang kuat dari pemerintah nasional dan lokal, pengaturan kelembagaan yang kompleks, dan terbatasnya keikutsertaan stakeholder. Tindakan strategis harus dilakukan untuk mencapai pembangunan pesisir dan lautan yang berkelanjutan bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Berdasarkan kondisi di atas, beberapa pembelajaran dapat diambil: (1) Meningkatkan kualitas penyusunan kebijakan dan strategi. Program IRCOM harus menggunakan strategi terbaik dalam penyusunan pengelolaan dan kebijakan dengan memperhatikan kondisi sumberdaya, situasi politik, budaya dan sosio-ekonomi. Dalam situasi ini, IRCOM harus memfasilitasi optimisasi manfaat ekonomi, sosial dan keberlanjutan lingkungan dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan lautan. Terutama ketika pembangunan mencakup penggunaan sumberdaya yang beragam dan sektor ekonomi, maka sumberdaya yang terbarukan harus diperhatikan sebagai indikator pengelolaan dan pembangunan pesisir dan laut yang berkelanjutan. Kualitas lingkungan dan keberlanjutan sumberdaya alam yang terbarukan adalah penting untuk mendukung ketersediaan makanan dan ketahanan pangan bagi populasi manusia dan mendukung kegiatan ekonomi tanpa merusak kualitas hidup. (2) Menyusun praktek terbaik dalam Perencanaan IRCOM melalui proses pengelolaan yang partisipatif. Perencanaan IRCOM akan lebih efektif sebagai partisipasi,
perencanaan
proaktif
dan
mekanisme
pengelolaan,
karena
perencanaan IRCOM dinamis dan membutuhkan perbaikan secara periodik. Oleh karena itu, perencanaan IRCOM harus meliputi peningkatan kesadaran akan nilai sumberdaya pesisir dalam konteks sosial, ekonomi dan lingkungan; kerjasama antar stakeholder untuk mencapai tujuan bersama; koordinasi
30
kebijakan, strategi, pengaturan kelembagaan dan administratif; integrasi implementasi dan monitoring kebijakan dalam rangka mencapai tujuan yang disepakati. Dalam era desentralisasi di Indonesia, koordinasi perencanaan antara nasional dan lokal sangat penting agar program dan proyek dalam pengelolaan terpadu untuk mengatasi suatu isu secara utuh. Kajian dan evaluasi rencana pengelolaan alternatif harus dilakukan yang mencakup analisis biaya-manfaat (extended benefit-cost analysis) dan analisis sensitivitas, kemudian alternatif yang terbaik dapat diambil berdasarkan pertimbangan tertentu. (3) Praktek terbaik dalam implementasi program IRCOM yang mencakup integrasi aktor-aktor yang relevan; partisipasi nasional dan lokal dalam implementasi; dan mekanisme untuk monitoring, evaluasi dan pembaruan rencana. Praktek terbaik dari implementasi IRCOM harus mencakup: - Gunakan pendekatan sistemik dalam implementasi program dan proyek IRCOM dengan menggunakan kerangka kerja IRCOM untuk pengelolaan sektoral,
menggunakan
kombinasi
beberapa
tindakan
pengelolaan,
mengadopsi pendekatan kehati-hatian, mengikuti prosedur IRCOM; - Ikut sertakan publik dalam proses IRCOM. Keikutsertaan stakeholder dalam seluruh fase dan tingkatan pengembangan dan implementasi IRCOM program akan meningkatkan kohesi dalam komunitas dalam implementasi IRCOM. - Integrasikan informasi lingkungan, ekonomi dan sosial dari awal, dan karena sistem pesisir begitu kompleks dan dinamis, maka penting untuk memiliki informasi ilmiah yang cukup. - Susun mekanisme untuk integrasi dan koordinasi. Penyusunan mekanisme kelembagaan akan meningkatkan harmonisasi kebijakan dan legislasi antara pemerintah nasional, provinsi dan lokal. - Tingkatkan kapasitas IRCOM di semua tingkatan. Untuk kasus Indonesia, salah satu hambatan utama adalah kurangnya kapasitas teknis dan pengelolaan, terutama di tingkat lokal. Oleh karena itu program IRCOM harus menggunakan strategis yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan individu dan kelembagaan. (4) Monitoring dan evaluasi. Mekanisme feedback penting untuk memonitor, validasi dan mengkaji kembali efektivitas rencana pada saat dan setelah implementasi.
Banyak
program
dan
proyek
IRCOM
yang
tidak
mempertimbangkan monitoring dan evaluasi sebagai sesuatu yang penting. Ini menjelaskan ketidakberlanjutan program IRCOM di Indonesia. Monitoring
31
dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dalam seluruh masa program IRCOM. Karena kondisi sistem pesisir dan laut begitu kompleks dan dinamis, maka tidak selalui layak untuk memprediksi secara akurat keefektifan ekonomi dan kinerja lingkungan dari program dan proyek IRCOM. Situasi ini terjadi terutama di sistem pesisir dan laut Indonesia yang memiliki pengetahuan ilmiah yang terbatas. Monitoring dan evaluasi, selain penting untuk memberikan alat kajian efektivitas program dan proyek IRCOM dalam mencapai tujuannya, juga penting sebagai alat untuk mengkaji kinerja program dan proyek IRCOM dan memberi peringatan dini jika ada dampak buruk, sehingga tindakan perbaikan dapat dilakukan untuk memodifikasi desain dan pengelolaan untuk mencegah dampak meluas. Pada akhir Desember 2004, ketika tsunami menyerang Aceh, Sumatera Utara dan Nias, Indonesia menyadari pentingnya pendekatan IRCOM untuk mencegah dan mitigasi bencana pesisir, terutama dalam perencanaan, menyediakan arahan dan implementasi praktis bagi masyarakat lokal dan pemerintah. Dengan pengembangan keahlian dan pengalaman, setiap negara dapat mengembangkan pendekatan spesifiknya untuk mengatasi masalahmasalah baru dalam pengelolaan pesisir dan laut dan memperluas program IRCOM seperti memadukan DAS dan laut sebagai satu ekosistem besar untuk dipertimbangkan dalam keterpaduan agenda pembangunan berkelanjutan dan dengan demikian, konsep tersebut menjadi Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management (IRCOM) atau Pengelolaan DAS, pesisir dan laut secara terpadu. Pentingnya Kawasan Pengelolaan DAS di Daerah Pesisir dan Laut secara Terpadu (IRCOM) Permasalahan DAS Pesisir dan Laut secara Terpadu memerlukan pendekatan multi sektoral, meskipun penekanannya dapat selalu berubah: •
Pengelolaan DAS merupakan koordinasi multi sektor yang juga mencakup regulasi pemanfaatan lahan pedesaan.
•
Pengelolaan zona pesisir merupakan perencanaan fisik dan pengelolaan sumberdaya dengan penekanan pada regulasi pemanfaatan lahan dan intervensi fisik. Secara tradisional, pengelolaan DAS dilihat hanya dari sisi penyediaan
air, padahal terdapat fungsi lain dari DAS, meliputi wisata, konservasi alam dan warisan budaya, sehingga DAS harus dikelola secara terpadu.
32
Zona pesisir merupakan daerah yang padat dengan kegiatan manusia. Tidak seperti DAS, pengelolaan pesisir memadukan dua fase: pengelolaan sumberdaya kelautan dan perencanaan guna lahan. Pesisir masih dimanfaatkan, banyak konflik terjadi. Sementara itu diketahui bahwa pengelolaan terpadu di zona pesisir dibutuhkan sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan. Sungai dan pesisir adalah entitas fisik dan ekologis, maka perubahan pola penggunaan lahan dan sumberdaya di wilayah hulu akan memberikan dampak bagi wilayah hilir (UNEP, 1996). Peran DAS dalam Keterkaitan Ekologis Hulu-Hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu cekungan geohidrologi yang dibatasi oleh daerah tangkap air (catchment area) dan dialiri oleh suatu badan sungai. DAS merupakan penghubung antara kawasan daratan di hulu dengan kawasan pesisir, sehingga pencemaran di kawasan hulu akan berdampak pada kawasan pesisir. DAS meliputi semua komponen lahan, air dan sumberdaya biotik yang merupakan suatu unit ekologi dan mempunyai keterkaitan antar komponen. DAS mempunyai banyak sub-sistem yang juga merupakan fungsi dan bagian dari suatu konteks yang lebih luas (Clark, 1996). Peningkatan jumlah manusia, khususnya yang tinggal di sekitar DAS akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan hidup yang dipenuhi melalui pemanfaatan sumberdaya alam (yang merupakan bagian dari lingkungan fisik). Kedua hal tersebut akan mempengaruhi perubahan perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan perilaku yang bersifat negatif akan menimbulkan tekanan terhadap lingkungan fisik, yang memiliki keterbatasan dikenal sebagai daya dukung lingkungan. Jika tekanan semakin besar maka daya dukung lingkungan pun akan menurun. Sungai sebagai komponen utama DAS mempunyai beberapa definisi yaitu (Haslam, 1992): a) Sungai atau aliran sungai adalah suatu jumlah air yang mengalir sepanjang lintasan di darat menuju ke laut sehingga sungai merupakan suatu lintasan di mana air yang berasal dari hulu bergabung dan menuju ke satu arah yaitu hilir (muara); b) sungai merupakan suatu tempat kehidupan perairan yang membelah daratan. Sungai merupakan bagian siklus hidrologi yang terdiri dari beberapa proses: a) evaporasi/penguapan air; b) kondensasi dan c) presipitasi. Berdasarkan siklus hidrologi, diketahui bahwa jumlah air tawar yang
33
ada di bumi mencapai 1.384.120.000 km3, tetapi yang tersedia untuk kehidupan hanya 0.14% atau ± 193 juta km3, di mana 50% dari jumlah tersebut berada di danau dan 2.75 juta km3 berada di sungai (Soerjani, 1997). Menurut Sulasdi (2000), sungai mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan oleh daya guna sungai tersebut antara lain untuk pertanian, energi, dan lain-lain. Sungai juga mampu mengakibatkan banjir, pembawa sedimentasi, pembawa limbah (polutan dari industri, pertanian, pemukiman dan lain-lain). Oleh karena itu, pengelolaan DAS ditujukan untuk memperbesar
pemanfaatannya
dan
sekaligus
memperkecil
dampak
negatifnya. Kaitan antara DAS, Pesisir dan Laut Pesisir dan DAS memiliki lingkungan alam yang penting dan digunakan oleh manusia secara intensif. Kedua sistem mendukung berbagai fungsi sosioekonomi: menyediakan ruang, menghasilkan sumberdaya dan menyerap produk yang tidak diinginkan. Meningkatnya skala kegiatan manusia, maka keterkaitan fungsional antara pesisir dan DAS menjadi lebih terasa. Kegiatan ekonomi di hilir menerima manfaat dari sumberdaya di hulu, seperti air dan kayu. Di sisi lain, wilayah pesisir menyediakan ruang untuk permukiman, kegiatan industri dan pengembangan wisata yang memberikan manfaat positif bagi DAS. Wilayah pesisir merupakan komponen penting dari DAS. Keduanya terkait melalui berbagai proses alam dan sosio-ekonomi: •
Siklus air yang menentukan kualitas dan kuantitas air bersih, dan kualitas air laut, mempengaruhi ekosistem pesisir dan kegiatan manusian di zona pesisir (perikanan/budidaya perikanan dan wisata/rekreasi).
•
Transpor sedimen yang mempengaruhi dinamika aliran sungai dan zona pesisir akan memberikan dampak pada eksosistem pesisir dan kegiatan manusia dan zona pesisir (perikanan/budidaya perikanan, pengembangan kota, wisata, dan sebagainya).
•
Kegiatan manusia di DAS dapat mempengaruhi ekosistem dan kegiatan manusia di zona pesisir secara positif, menyediakan makanan, air dan energi; dan secara negatif melalui pembendungan air untuk irigasi dan penggunaan lain, dan pengeluaran limbah (UNEP1996).
34
Mengelola pantai dan sungai Pada mulanya, pesisir dan DAS dikelola sebagai unit pengelolaan yang terpisah sebagaimana terlihat di Gambar 3.a. Pengelolaan hanya mencakup isu tertentu dan wilayah tertentu: •
Secara tradisional, pengelolaan sungai hanya dilihat sebagai penyedia air. Air sungai dan air tanah digunakan untuk beragam tujuan, termasuk penyediaan domestik, pertanian, kehutanan, perikanan, produksi energi, industri dan pembuangan limbah; lingkungan sumberdaya air juga merupakan habitat penting. Oleh karena itu, pengelolaan sungai difokuskan hanya pada pengelolaan sumberdaya air. Ini terbatas pada daerah penangkapan air yang kecil atau beberapa bagian aliran sungai.
•
Zona pesisir merupakan daerah dengan kegiatan manusia yang intensif. Tidak seperti DAS, pengelolaan pesisir memadukan dua fase: pengelolaan sumberdaya kelautan dan perencanaan guna lahan. Permasalahan biasanya terkait dengan ketersediaan lahan (untuk urbanisasi, wisata, pembangunan industri dan pelabuhan) dan kualitas sumberdaya kelautan (misalnya perikanan/budidaya perikanan, wisata dan pembuangan limbah). Pada pesisir yang landai, masalah keamanan dari banjir adalah hal penting; upaya untuk menghindari erosi pantai pada satu lokasi bisa saja menimbulkan dampak di tempat lain sepanjang pesisir. Pada awalnya, pengelola pesisir hanya memperhatikan isu pengelolaan di garis pantai dan mengontrol erosi dalam wilayah yang terbatas di garis pantai.
•
Di perairan dekat pantai, pengelolaan sumberdaya hayati dan non-hayati dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan satu isu penting. Akibat beragam isu dan keterbatasan spasial dari tiap kelompok pengelola, maka tidak ada atau kecil sekali keterkaitan dalam kegiatan pengelolaan.
35
DAS
Gambar 3 Komponen spasial dari IRCOM (UNEP 1996; Kusumastanto, 2006).
Gambar 4 Pengelolaan DAS, pesisir dan lautan terpadu (Kusumastanto, 2006) Memperluas domain pengelolaan Secara bertahap, kebutuhan untuk kegiatan multi sektoral semakin terlihat, yang memerlukan perubahan domain pengelolaan. Ini terlihat pada Gambar 3.b dan 3.c.
36
•
Meningkatnya kesadaran adanya keterkaitan erat antara sungai dan daerah tangkapannya mengarah pada pendekatan yang lebih terpadu menjadi pengelolaan daerah aliran sungai, yang mencakup pertimbangan kualitas dan kuantitas air. Baik di negara maju maupun negara berkembang, dampak pertanian terhadap sumberdaya air sangat terasa: pengambilan air irigasi, erosi tanah, pembuangan nutrisi dan pestisida ke sungai, dan sebagainya. Namun demikian, pengelolaan diperluas tidak hanya mencakup konflik antara guna lahan tertentu (misalnya pertanian, kehutanan dan permukiman manusia) dan sumberdaya air (jumlah dan kualitas). Beragam fungsi DAS lain juga disadari, termasuk wisata, konservasi alam dan warisan budaya. Dengan demikian, DAS saat ini dianggap sebagai “lahan dengan beragam penggunaan” dan eksploitasi sumberdaya air harus seimbang. Akibat beragamnya jumlah penggunaan lahan, seringkali terkait dengan kepemilikan lahan yang kompleks, maka pengelolaan DAS terpadu bukan sesuatu yang mudah.
Pengelolaan
sungai
mencakup
daerah
tangkapan
secara
menyeluruh. Inisiatif UNEP untuk menyusun arahan untuk pengelolaan DAS dan lahan basah secara terpadu merupakan contoh upaya ini. •
Karena pesisir begitu intensif dimanfaatkan, banyak konflik terjadi. Misalnya ketidaksesuaian penggunaan yang tidak dapat dilakukan beriringinan (seperti industri dan wisata), kepemilikan privat (yang menghindari penggunaan atau akses oleh publik), dan proteksi lingkungan secara paralel dengan pembangunan ekonomi (seperti pengelolaan limbah untuk kompleks perhotelan). Dalam jangka panjang, tujuan dari konservasi alam dapat mencegah kepentingan ekonomi, dan upaya untuk mencegah terjadinya peningkatan muka air laut mengarah pada konservasi ekosistem alam. Sebagaimana di DAS, saat ini diakui bahwa pengelolaan zona pesisir secara terpadu dibutuhkan sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan. Pengelola pesisir telah memperluas domain mereka baik ke arah daratan maupun lautan, yang mengarah pada pendekatan baru Pengelolaan Zona Pesisir secara Terpadu (ICZM) atau Pengelolaan Daerah Pesisir secara Terpadu (ICAM). Sekali lagi, UNEP/ MAP telah menanggapi perkembangan ini melalui penyusunan arahan yang sesuai.
•
Pengelolaan sumberdaya kelautan tetap terbatas pada perairan pesisir di dalam
ZEE.
UNCLOS
telah
menyediakan
kerangka
pembangunan sumberdaya yang terkontrol di dalam zona ini.
hukum
bagi
37
Meskipun terdapat spasial yang tumpang tindih antara zona-zona ini, DAS dan pesisir dapat dikelola sendiri-sendiri selama keterkaitan fungsional antara unit-unit ini tidak begitu signifikan sehingga intervensi pengelolaan terbatas pada zona masing-masing. Dampak keterpaduan antara zona DAS, Pesisir dan Laut (Gambar 4) menjadi sangat penting untuk dikembangkan agar dapat dicapai kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Dalam studi ini akan di fokuskan pada DAS dan Pesisir. Aspek Kegagalan Kebijakan (Policy Failure) Aspek
kegagalan
dalam
merumuskan
kebijakan
failure
dapat
diindikasikan dengan masih banyaknya kebijakan pembangunan yang tidak holistik termasuk UUD 1945 yang tidak menyentuh aspek perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup; kebijakan tentang tenurial dan property rights yang tidak memberikan jaminan hak pada masyarakat adat; kebijakan yang sentralistik dan seragam; dan kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung “pemerintah yang terbuka” atau open government. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam kajian kebijakan yang terbatas (kebijakan
yang
dihasilkan
pemerintahan
transisi
di
tahun
1998-1999)
pengelolaan sumber daya alam dengan menggunakan 8 (delapan) tolok ukur yaitu delapan elemen yang harus terintegrasi dalam setiap kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam. Menemukan fakta bahwa peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pemerintahan transisi belum mendukung, good environmental governance. Kedelapan elemen tersebut adalah: (1) Pemberdayaan, pelibatan masyarakat dan akses publik terhadap informasi; (2) Transparansi; (3) Desentralisasi yang demokratis; (4) Pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung ekosistem dan keberlanjutan; (5) Pengakuan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal; (6) konsistensi dan harmonisasi; (7) Kejelasan (clarity); (8) Daya penerapan dan penegakan (implementability and enforceability) (Santoso, 2001). Kebijakan Kebijakan (policy) adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, yang dikaitkan dengan pertanyaan yang harus dijawab dan juga harus dihubungkan dengan institusi atau lembaga yang diamati atau dipelajari. Kebijakan
merupakan
keputusan
tetap
yang
dicirikan
konsistensi
dan
38
pengulangan (repetitiveness) perilaku untuk memecahkan persoalan dan mematuhi keputusan yang ditetapkan tersebut (Jones 1996). Oleh karena itu, kebijakan adalah bersifat dinamis dikarenakan konsistensi dan pengulangan perilaku untuk memecahkan masalah umum. Selanjutnya Davis et al. (1993) menyebutkan bahwa kebijakan bukanlah berdiri sendiri (single decision) dalam proses kebijakan dalam sistem politik, tetapi bagian dari proses antar hubungan. Oleh karena itu kebijakan dapat dikatakan sebagai satu alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran. Kebijakan tidak boleh sekedar dibuat atau karena ada kesempatan menyusun kebijakan. Pembuatan kebijakan sekedarnya dapat menimbulkan kebijakan yang tidak tepat. Demikian pula yang disampaikan Rees (1990), bahwa pelaksanaan kebijakan
formal
sangat
tergantung
pada
bagaimana
kebijakan
itu
diinterpretasikan, diimplementasikan dan diberlakukannya keputusan tersebut kepada masyarakat. Dengan demikian dalam implementasinya penyusunan kebijakan sangat dipengaruhi oleh: (1) seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif, (2) karakteristik dan badan eksekutif, (3) metode yang digunakan untuk menggunakan sumberdaya alam dan peraturan yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Faktor-faktor inilah yang membuat kebijakan tampak sangat dinamis. Kebijakan yang sempurna tampaknya seperti irasional, karena kebijakan yang diterima suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Oleh karenanya, kebijakan perlu diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah, penyelia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pelaku kebijakan. Prinsipprinsip pembuatan kebijakan dapat dilihat pada Gambar 5 (Rees, 1990).
39
Formulasi Kebijakan (Perundang-undangan dan Peraturan)
Penetapan tujuan-tujuan secara detail
Menetapkan Metode yang tepat
Sistem Informasi
Membentuk Organiosasi/Institusi yang tepat
Pelaksanaan rencana
Operasional rutin
Analisis hasil (Uji berdasarkan sasaran yang dicapai)
Gambar 5 Penetapan kebijakan yang ideal dan proses implementasi (Rees, 1990)
Abidin (2002) menyebutkan bahwa pemilihan pengambilan kebijakan yang baik dan tepat dapat dipenuhi kriteria kebijakan yang biasa digunakan sebagai berikut: 1. Efektifitas (efectiveness), mengukur apakah sesuatu pemilihan sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Jadi suatu strategi kebijakan dipilih dilihat dari kapasitasnya untuk
memenuhi
tujuan
dalam
rangka
memecahkan
permasalahan
masyarakat. 2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektifitas tertentu; 3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.; 4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat;
40
5. Terjawab
(responsiveness),
dapat
memenuhi
kebutuhan
atau
dapat
menjawab permasalahan tertentu dalam masyarakat; 6. Tepat (apropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan sebelumnya. Pada setiap tahap analisis memberikan hasil yang relevan, untuk itu Identifikasi
masalah
menghasilkan
informasi
tentang
rumusan
masalah,
prakiraan memberikan gambaran masa depan yang masuk akal dan masa depan yang dikehendaki. Identifikasi alternatif memberikan informasi tentang strategi pemecahan masalah. Pilihan strategis rnenghasilkan informasi rekomendasi kepada yang berwenang yang pada akhirnya menghasilkan aksi kebijakan. Monitoring menghasilkan informasi tentang proses pelaksanaan dalam hubungan dengan kinerja pada setiap waktu. Evaluasi kebijakan memberi informasi tentang dampak dan keseluruhan suatu kebijakan. Selanjutnya oleh Abidin (2002), bahwa dari ketiga analisis kebijakan di atas maka jenis informasi dan bentuk kebijakan dapat dibedakan terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis informasi dan bentuk kebijakan No. .
Bentuk Kebijakan
1
Prospektif
2.
Retrospektif
3.
Integratif
Jenis Informasi Prediksi
Deskripsi
Preskripsi
Evaluasi
;
;
; ;
; ; ;
;
;
Dunn (2000) mengemukakan metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab lima pertanyaan: apa hakekat permasalahan? Kebijakan apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya? Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab, dan hasil apa yang dapat diharapkan? Jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan tersebut membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia: definisi, prediksi, preskripsi,
41
deskripsi, dan evaluasi. Perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi dimasa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem didefenisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendefenisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan sumberdaya (limited of resources) (Eriyatno, 1998). Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi, dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer (Eriyatno, 2002) untuk mencapai tujuan yang sama. menurut Manetch dan Park (1997), suatu pendekatan sietem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisikondisi berikut ini. 1. Tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasi. 2. Prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya. 3. Dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untyuk dilakukan. Menurut Aminullah (2003), ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam pendekatan sistem untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, yaitu: (1) analisis kebutuhan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua stakeholders dalam sistem; (2) formulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem; (3) identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua stakeholders dalam sistem; (4) pemodelan abstrak, pada tahap ini mencakup suatu proses interaktif antara analisis sistem dengan pembuatan keputusan, yang menggunakan model untuk mengeksplorasi
42
dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem; (5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan dan (6) operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi sistem dan seringkali pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi. Sistem dan Jenis Sistem Sistem Hartrisari (2007) sistem adalah gugusan atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugusan tujuan tertentu. Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem. Menurut Manetch dan Park (1997), sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang beinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan, sedangkan O’Brien (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, berarti setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. Berdasarkan ilmu manajemen secara sederhana sistem digambarkan sebagai satu kesatuan antara input, proses dan output. Sistem akan membentuk suatu siklus yang berjalan secara terus-menerus dan dikendalikan oleh suatu fungsi kontrol atau umpan balik. Prinsip sistem dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks yang sering kita hadapi atau menyusun (merangkai) berbagi elemen (Midgley, 2000) sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Untuk menyelesaikan permasalahan melalui pendekatan sistem kita harus dapat mengidentifikasi semua komponen yang terdapat dalam sistem dan menentukan hubungan dari masing-masing komponen tersebut. Jenis Sistem Sistem dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed system). Sistem terbuka merupakan sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan-balik terhadap input. Sebaliknya pada sistem tertutup,
43
output
memberikan
umpan-balik
terhadap
input.
Sistem
terbuka
tidak
menyediakan sarana koreksi dalam sistem, sehingga perlakukan koreksi membutuhkan faktor dari luar (eksternal). Pada sistem tertutup, sarana koreksi berada dalam sistem, sehingga perlakukan koreksi dapat dilakukan secara internal. Sistem tertutup disebut juga sistem umpan-balik (feedback system). Model Model merupakan penyederhanaan sistem, karena sistem sangat kompleks, tidak mungkin membuat model yang dapat menggambarkan seluruh proses yang terjadi dalam sistem. Model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya. Oleh karena itu, model hanya memperhitungkan beberapa faktor dalam sistem dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Hartrisari, 2007). Menurut Manetsch dan park (1997) model adalah suatu penggambaran abstrak
dari
sistem
dunia
nyata
untuk
aspek-aspek
tertentu.
Model
dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu model kuantitatif, kualitatif dan ekonik (Aminullah, 2003). Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simulasi sistem dinamis. Dengan menggunakan simulasi, maka model akan mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Karena itu model simulasi akan dapat memberikan model penyelesaian dunia ril yang kompleks. Model juga dapat digunakan untuk keperluan optimasi, dimana suatu kriteria model dioptimalkan terhadap input atau struktur sistem alternatif. Karena itu, model dapat dibangun dengan basis data (data base) atau basis pengetahuan (knowladge base) (Eriyatno, 2003). Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis adalah dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan bentuk kepada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan balik (causual loops) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model, bagaimanapun rumitnya
44
dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran dan umpan balik. Menurut Muhammadi et. al. (2001) mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis. Menurut Muhammadi et. al., (2001), untuk memahami struktur dan perilaku sistem yang akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal dipergunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow chart). Diagram sebab akibat dibuat dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua variabel saling mempengaruhi. Pada sistem dinamis, diagram sebab akibat ini akan dipergunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program model sistem dinamis misalnya Program Stella. Program Stella akan dapat memberikan gambaran tentang perilaku sistem dan dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang kita bangun, setelah itu dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan, dan kebijakan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi/mengubah perilaku sistem yang terjadi. Perilaku model sistem dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model, yang dapat dipahami dari hasil simujlasi model. Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Menurut Muhammadi et. al. (2001) tahapan-tahapan untuk melakukan simulasi model adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan konsep. Pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel-variabel yang berperan dalam menimbulkan
gejala
atau
proses.
Varibel-variabel
tersebut
saling
berinteraksi,saling berhubungan, dan saling ketergantungan. Kondisi ini dijadikan sebagai dasar untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan. 2. Pembuatan model Gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus.
45
3. Simulasi Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model. 4. Validasi hasil simulasi Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambilan keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.