13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai yang biasa disingkat dengan DAS dalam beberapa literatur menggunakan istilah yang berbeda dan arti yang sama, diantaranya menggunakan istilah: Watershed, river basin, catchment atau drainage basin. Istilah Watershed biasanya dihubungkan dengan batas aliran, sedang istilah river basin, catchment atau drainage basin dikaitkan dengan daerah aliran. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2007). Daerah aliran sungai merupakan suatu sistem dinamis dengan karakteristik yang spesifik dan ditentukan oleh ruang, luas, bentuk, ketercapaian dan lintasannya. Karakter tersebut sangat terkait dengan masyarakat yang bermukim di sekitar sungai. Olehnya itu, tataguna lahan di Daerah Aliran Sungai harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kerugian dan degradasi akibat persaingan kepentingan. Asdak (2007) menyatakan tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi tata air yang baik. Dalam sistem DAS, terdapat ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilirnya, oleh sebab itu perencanaan daerah hulu menjadi sangat penting. Dalam setiap aktifitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di dalam sistem DAS, sangat diperlukan indikator yang mampu digunakan untuk menilai apakah pelaksanaan kegiatan tersebut telah berjalan sesuai dengan perencanaan atau belum. Indikator yang dimaksud adalah indikator yang dengan mudah dapat dilihat oleh seluruh masyarakat luas sehingga dapat digunakan peringatan awal dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian pengelolaan Daerah Aliran Sungai selain mempertimbangkan aspek teknis juga harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan. Sebagaimana bagan yang tergambar pada Gambar 2 berikut :
14
Pengelolaan Ekosistem DAS
Hulu – Hilir DAS
Ekonomi, Sosial, Budaya
Batas Ekologi/ Administrasi
Lahan/Air
Kelembagaan Gambar 2.
Teknologi
Pendanaan
Model pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2004)
Untuk tujuan pengelolaan dan pengendalian, maka Daerah Aliran Sungai dibagi atas tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah dan daerah hilir. Daerah hulu merupakan daerah yang berada dekat dengan aliran sungai yang merupakan tempat tertinggi dalam suatu DAS. Daerah hulu memiliki ciri-ciri : lereng terjal, terjadinya erosi vertikal, alur sungai yang sempit, tidak ada dataran banjir dan airnya relatif bersih. Daerah ini biasanya merupakan daerah konservasi dengan jenis vegetasi merupakan tegakan hutan. Sedang menurut Suripin (2002) daerah hulu sungai merupakan bagian dari ekosistem DAS yang didalamnya terjadi interaksi antara unsur-unsur biotik (vegetasi) dan unsur-unsur abiotik (iklim dan tanah). Interaksi ini dinyatakan dalam bentuk keseimbangan antara masukkan dan keluaran berupa air dan sedimentasi. Daerah tengah merupakan daerah transisi antara daerah hulu dan hilir sehingga biasa juga dinamakan transfer zone. Secara fisik, kawasan ini memiliki karakter: sebagai tempat akumulasi material lepas seperti pasir dan kerikil, tanahnya subur sehingga cocok menjadi area pertanian dan sebagai tandon air
15
permukaan sehingga terkadang dimanfaatkan sebagai budidaya perikanan. Sedang daerah hilir merupakan daerah pengaliran akhir yang memilki karakteristik fisik: alur melebar, tebing melandai (kurang dari 8%), dinding lembah landai, terbentuk dataran banjir serta terbentuk meander. Manajemen daerah aliran sungai merupakan upaya pengelolaan sumber daya air. Kodoatie dan Sjarief (2005) menguraikan bahwa dalam suatu DAS banyak sekali komponen, sistem dan fungsi/peran terkait dengan sumber daya air. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya air harus dilihat secara utuh dalam satu kesatuan minimal pada suatu Daerah Aliran Sungai. Selanjutnya, Tideman (1996) memberikan argumentasi bahwa manajemen DAS adalah pemanfaatan secara rasional dari sumberdaya lahan dan air untuk produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumber daya alam. Setiap masukan dalam DAS terjadi proses interaksi dan berlangsung dalam ekosistem tersebut. Proses interaksi tersebut dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari ekosistem. Sebagai contoh, masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan dan erosi, sedang keluarannya adalah debit air serta muatan sedimen. Komponen DAS berupa vegetasi, tanah dan saluran air atau sungai bertindak sebagai prosessor. Proses erosi pada Daerah Aliran Sungai sangat erat kaitannya dengan sistem hidrologi serta aktivitas manusia. Olehnya sistem DAS merupakan suatu rangkaian komponen ekosistem yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaannya. Fungsi ekosistem DAS yang terdiri atas input, proses dan output tergambar pada Gambar 3. Pengelolaan DAS bertujuan untuk mempertahankan jasa lingkungan yang diberikannya yaitu keseimbangan sistem hidrologi di alam. Keseimbangan tersebut ditunjukkan dengan kuantitas air, kualitas air, perbandingan debit maksimum dan minimum serta tinggi permukaan air tanah. Indikator keseimbangan ekosistem DAS sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi, kualitas tanah serta kondisi sungai.
16
INPUT = Curah Hujan
Vegetasi
Tanah
Manusia = IPTEK
Sungai
DAS = Prosessor
Output = Debit dan Muatan
Gambar 3. Fungsi ekosistem DAS (Asdak, 2007)
2.2. Sumberdaya Air Air adalah sumberdaya yang sangat vital bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Namun, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka air suatu saat mungkin tidak akan mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia apabila tidak diupayakan cara-cara untuk melestarikannya. Para ahli memperediksikan bahwa menjelang Tahun 2025 sekitar dua pertiga penduduk dunia akan kekurangan air. Ini berarti akan terjadi persaingan yang sangat ketat antar pengguna dalam pemanfaatan sumberdaya air (Sutawan, 2001). Undang-Undang No 7 Tahun 2004 mendefinisikan Sumberdaya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Pengelolaan sumber daya
air
adalah
upaya
merencanakan,
melaksanakan,
memantau,
dan
mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
17
Keberadaan air bagi manusia untuk menunjang hidup dan kehidupannya merupakan sesuatu yang mutlak dibutuhkan dan tak dapat dipungkiri lagi. Namun sejak beberapa dasawarsa terakhir ini keberadaan air sebagai suatu sumberdaya sudah mencapai titik kritis yang mengkhawatirkan banyak orang karena akan sangat mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia selanjutnya. Kerawanan telah terjadi tidak hanya dipandang dari sudut pandang ketimpangan antara jumlah ketersediaan yang semakin tak sepadan dengan kebutuhan saja tetapi kerawanan juga terjadi di seluruh dimensi keberadaan air itu sendiri. Kerawanan itu terjadi pula dari sudut mutu, temporal maupun spasial (Sutawan, 2001). Dalam kehidupan awal manusia, hubungan antara air dengan pangan dilakukan melalui proses pemberian air untuk tanaman atau lebih dikenal sebagai proses irigasi. Sistem irigasi dibangun manusia karena menyadari bahwa untuk dapat menjamin diperolehnya keberhasilan panen dan produksi yang lebih tinggi, maka kebutuhan air tanaman tidak dapat sepenuhnya tergantung lagi dari hujan atau
bentuk-bentuk
presipitasi
alami
lainnya
yang
bersifat
stochastik.
Keberhasilan produksi tanaman memerlukan jaminan perolehan air yang lebih deterministic (Sutawan, 2001). Dalam konteks Indonesia dewasa ini, berbagai masalah terkait dengan sumberdaya air dapat diidentifikasi antara lain: adanya gejala krisis air; degradasi sumberdaya air; konflik akibat persaingan antar pengguna air; mengecilnya lahan beririgasi karena alih fungsi; kurang jelasnya ketentuan hak penguasaan air; lemahnya koordinasi antar instansi dalam menangani sumberdaya air; dan kelemahan kebijakan sumberdaya air (Sutawan, 2001). Masalah-masalah ini tentunya menuntut adanya opsi kebijakan yang tepat sehingga pemanfaatan sumberdaya air bisa berkelanjutan.
18
2.3. Siklus Hidrologi dan Ketersediaan Air 2.3.1. Siklus Hidrologi Siklus air atau siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang keseimbangan air secara global dan juga menunjukkan semua hal yang berhubungan dengan air. secara skematik, siklus hidrologi dapat dijelaskan sebagai berikut (Asdak, 2007): 1.
Presipitasi, merupakan curah hujan, yaitu jatuhnya air ke permukaan tanah. Presipitasi terjadi akibat naiknya uap air di atmosfir hingga mencapai suhu dingin dan terkondensasi.
2.
Intersepsi, yaitu tertahannya air hujan oleh tajuk vegetasi sebelum mencapai permukaan tanah, untuk selanjutnya diuapkan kembali atau diserap oleh vegetasi tersebut.
3.
Evaporasi, penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk permukaan vegetasi oleh proses fisik. Unsur utama yang penting adalah energi matahari.
4.
Transpirasi, merupakan penguapan air oleh tanaman melalui pori-pori daun karena proses biologi. Sedangkan total air yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air dan vegetasi karena faktor iklim dan fisiologis vegetasi disebut evapotranspitasi.
5.
Infiltrasi, merupakan proses penetrasi air ke dalam tanah akibat gaya kapiler atau gerakan arah vertikal. Sedangkan air yang tidak terserap akan tertampung sementara dalam cekungan permukaan tanah, yang selanjutnya mengalir ke tempat yang lebih rendah, lalu masuk ke sungai. Menurut Arsyad (2006), sebelum mencapai permukaan tanah air hujan
tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan tersimpan di permukaan tajuk/daun selama proses pembasahan tajuk, dan sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon (steamflow). Sebagian air hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah, melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer (dari tajuk dan batang) selama dan setelah berlangsung hujan (interception loss) . Air hujan yang mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk kedalam tanah (infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan
19
tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai (Arsyad, 2006). Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban tanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk kedalam tanah akan bergerak secara lateral (horisontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar dari permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini (Arsyad, 2006).
Curah hujan
Evapotranspirasi
Evaporasi
Intersepsi
Jatuh Langsung
Lolos Tajuk dan Aliran Batang Evaporasi
Suplai Air Permukaan
Infiltrasi Langsung
Simpanan Bawah Permukaan
Aliran Permukaan
Infiltrasi Tertunda Transpirasi
Simpanan Bawah
Aliran Bawah Permukaan
Perkolasi
Cadangan air bawah tanah
Aliran air bawah tanah Evaporasi
Gambar 4. Siklus hidrologi (Arsyad, 2006).
Aliran Sungai
20
2.3.2. Ketersediaan Air Air merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh makhluk hidup di dunia. Untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat, manusia membutuhkan air bersih. Dengan makin meningkatnya
jumlah penduduk serta laju
pertumbuhannya, makin naik pula pemanfaatan sumber-sumber air. ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu. Kebutuhan manusia akan sumberdaya air menjadi sangat nyata bila dikaitkan dengan empat hal, yaitu pertambahan penduduk, pertumbuhan pangan, peningkatan industrialisasi dan perlindungan ekosistem terhadap teknologi. Diketahui bahwa jumlah air di bumi tetap, perubahannya hanya mengikuti siklus hidrologi yang berputar sepanjang masa. Padahal penduduk dunia selalu bertambah dan kehidupannya semakin maju, sehingga keperluan air semakin bertambah banyak (Soerjani et al. 1987). Sugiharto (1983) dalam Suhendy (2009) menyatakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari adalah sejalan dengan tingkat kemajuan masyarakat. Selain jumlahnya yang cukup, air untuk keperluan rumahtangga juga harus memenuhi syarat kesehatan. Hal ini karena selain air dapat dicemari oleh zat-zat yang bersifat racun, juga merupakan media dari berbagai kuman penyakit. Air minum yang juga disebut air bersih adalah salah satu kebutuhan utama manusia. Manusia memerlukan air untuk berbagai keperluan seperti MCK, produksi pangan, sandang dan papan. Air yang digunakan untuk rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan. Namun sampai dengan Tahun 2000, berdasarkan data Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, baru sekitar 19% penduduk Indonesia yang baru menikmati air bersih (39% di perkotaan) dan hanya 5% yang menggunakan sistem perpipaan dan sisanya 47% penduduk desa menggunakan air yang bersumber dari sumur gali dan sumber air yang tidak terlindungi (Parahita, 2005 dalam Muis, 2005) Eda dan Chan (2008) dengan kasus sumberdaya air di Peru menyatakan bahwa menggunakan informatika yang tepat tentang potensi air, kualitas air, kuantitas air dan karakteristik suatu wilayah maka dapat ditemukan ketersediaan air suatu wilayah untuk memasok kebutuhan domestik, serta peranan lembaga-
21
lembaga yang terkait tentang sumberdaya air perlu lebih efisien dalam mengatasi masalah lingkungan. 2.4. Konservasi Tanah dan Air Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah menentukan kemampuan tanah (soil capability) untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang diperlukan agar tanah tidak rusak dan tanah dapat digunakan secara berkelanjutan (sustainable). Sifat-sifat tanah tersebut juga menentukan kepekaan tanah untuk tererosi. Sistem penilaian tanah untuk maksud menentukan kemampuan tanah, dirumuskan di dalam sistem klasifikasi kemampuan lain (land capability classification). Upaya konservasi tanah ditunjukan untuk (1) mencegah erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara berkelanjutan (lestari). Dengan demikian maka konservasi tanah tidaklah berarti penundaan penggunaan tanah atau pelarangan penggunaan tanah, melainkan menyesuaikan macam dan cara penggunaan tanah dengan kemampuan tanah serta memberikan perlakuan sesuai dengan syarat yang diperlukan agar tidak rusak dan dapat berfungsi secara berkelanjutan. Inilah kaidah kegunaan konservasi tanah (Arsyad, 2006) . Konservasi tanah mempunyai hubungan dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang di berikan pada sebidang tanah akan mampengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu konservasi tanah dan konservasi air merupakan dua hal yang sangat berhubungan erat sekali : berbagai tindakan konservasi tanah adalah merupkan tindakan konservasi air. Berdasarkan hubungan ini, maka tanggungjawab sektor pertanian dalam masalah air ada 2 yaitu : (1) memelihara jumlah, waktu aliran dan kualitas air, dan (2) mengoptimumkan manfaat air melalui penerapan cara-cara penggunakaan air untuk pertanian yang efisien. Persoalan konservasi tanah dan air adalah kompleks
22
dan memerlukan kerja sama yang erat antara berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan seperti ilmu tanah, biologi, hidrologi dan teknik konservasi tanah dan air. Pada akhirnya pengembangan dan penerapan konservasi tanah dan air ditentukan oleh berbagai aspek sosial, ekonomi dan budaya manusia. Menurut Arsyad (2006), konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air. 2.5. Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan pengelolaan vegetasi atau tataguna lahan adalah agar daerah aliran sungai secara keseluruhan dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lestari bagi manusia didalam memenuhi kebutuhan hidup serta kesejahteraannya (Dahuri et al. 1996), sehingga selain dapat menampung perkembangan dan dinamika kegiatan ekonomi masyarakat setempat, maka pengelolaan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi berbagai permasalahan yang mungkin terjadi. Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air. Perubahan dari suatu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam suatu pengelolaan DAS atau pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan, perladangan berpindah, atau perubahan tataguna lahan hutan menjadi areal pertanian, padang rumput atau permukiman adalah contoh kegiatan yang sering dijumpai pada wilayah yang sedang bertumbuh. Terjadi perubahan tataguna lahan dan jenis vegetasi tersebut dalam skala besar dan bersifat permanen dapat mempengaruhi besar kecil hasil air (Lokollo, 2000). Siriwardena et al. (2006) melakukan penelitian tentang Dampak Perubahan Lahan terhadap Kondisi hidrologi Daerah Aliran Sungai di DAS Comet, Central Queensland, Australia dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh hasil akhir air dari Daerah Aliran Sungai Sungai Comet akibat konversi hutan
23
menjadi padang rumput, menunjukan bahwa dampak pembukaan vegetasi hutan dari luasan 83% menjadi 38% menyebabkan kenaikan limpasan sebesar 40%. Kebanyakan persoalan sumberdaya air berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air. kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi, terutama curah hujan. Hasil penelitian jangka panjang yang dilakukan di berbagai penjuru dunia menunjukan bahwa pengaruh tataguna lahan dan aktivitas lain terhadap perilaku aliran air dapat terjadi dengan cara (Hibbert, 1983; Bosch and Hewlett, 1982; dalam Asdak, 2007): 1) Penggantian atau konversi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi tahunan tinggi menjadi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi rendah dapat meningkatkan volume aliran air dan mempercepat waktu yang diperlukan untuk mencapai debit puncak. Mekanisme peningkatan volume aliran air ini terjadi ketika hujan turun, kelembaban tanah awal cenderung meningkat dan karenanya daya tampung air dalam tanah menjadi berkurang. 2) Kegiatan yang bersifat memadatkan tanah seperti pengembalaan yang intensif, pembuatan jalan dan bangunan lainnya, dan penebangan hutan. Kegiatan-kegiatan tersebut dalam batas waktu tertentu dapat meningkatkan volume dan waktu berlangsungnya air limpasan, dan dengan demikian memperbesar debit puncak. Kegiatan yang bersifat memacu infiltrasi diharapkan dapat memberikan pengaruh sebaliknya. Berdasarkan karakteristik perubahan tataguna lahan di atas, maka dapat dikatakan bahwa permasalahan yang paling serius yang berkaitan dengan pembangunan adalah berubahnya laju dan kuantitas limpasan dalam mencapai sungai, sehingga perencanaan dan manajemen penutupan lahan yang baik sangat bergantung kepada akuratnya analisis dampak lingkungan hidrologi yang diakibatkan oleh pembangunan. Lisnawati (2006) melakukan penelitian dengan judul Analisis perubahan penutupan lahan dan pengaruhnya terhadap debit sungai dan daya dukung lahan di kawasan puncak Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah 1). Menganalisis perubahan penutupan lahan, 2). Menganalisis keterkaitan perubahan penutupan lahan terhadap selisih debit maksimum-minimum, 3). Menganalisis
24
besarnya daya dukung lahan di kawasan puncak Kabupaten Bogor; menunjukan bahwa perubahan lahan dari kebun campuran mengarah kepada permukiman sebesar 250,42 ha (15,44%). Hasil analisis regresi berganda menyimpulkan bahwa hutan mampu menurunkan selisih debit maksimum-minimum sebesar 0,027 m3/detik jika luas hutan naik sebesar satu hektar. Perubahan penutupan lahan merupakan perubahan penggunaan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan lainnya yang diikuti dengan berkurangnya tipe penutupan lahan dari suatu waktu ke waktu berikutnya. Perubahan atau perkembangan penutupan lahan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor alami dan faktor manusia (Vink, 1975). Ma et al. (2005) melakukan penelitian karakteristik sumberdaya air dan dampaknya akibat aktivitas manusia di DAS Shiyang China dengan tujuan untuk mengetahui sumberdaya air tanah dan geokimia air tanah akibat kegiatan manusia. Hasil penelitian menunjukan bahwa aktivitas manusia selama 50 tahun terakhir, telah menyebabkan perubahan luar biasa dari keberadaan air tanah. Proses pengisian ulang air tanah telah berkurang 50%, akibatnya secara umum terjadi penurunan sebesar 3-5 meter dengan penurunan maksimum 35 meter di beberapa kota sehingga perubahan hidrologi ini telah mengakibatkan degradasi ekosistem yang serius, sehingga disarankan bahwa teknologi irigasi modern dan peraturan yang terkait dengan pengelolaan air dan alokasi sumberdaya dalam DAS sangat di butuhkan untuk mencapai proses keberlanjutan sumberdaya air. 2.6. Indikator Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara umum pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan paling sedikit harus memenuhi indikator lestari dan berkelanjutan dibawah ini (Rahmadi, 2002), yaitu: 1.
Pengelolaan
yang
mampu
mendukung
produktifitas
optimum
bagi
kepentingan kehidupan (indikator ekonomi) 2.
Pengelolaan yang mampu memberikan manfaat merata bagi kepentingan kehidupan (sosial)
3.
Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi (indikator lingkungan)
25
4.
Pengelolaan dengan menggunakan teknologi yang mampu dilaksanakan oleh kondisi penghidupan setempat, sehingga menstimulir tumbuhnya sistem institusi yang mendukung (indikator teknologi) Pada pengelolaan DAS indikator paling memungkinkan adalah melihat
kondisi tata airnya. Yang dimaksud indikator kondisi tata air yang meliputi: 1.
Indikator kuantitas air. Kondisi kuantitas air ini sangat berkaitan dengan kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan. Bila tutupan vegetasi lahan DAS yang bersangkutan berkurang dapat dipastikan perubahan kuntitas air akan terjadi. Sehingga setiap pelaksanaan kegiatan yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat maka harus diiringi dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat dari besarnya air limpasan permukaan maupun debit air sungai.
2.
Indikator kualitas air. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi lahan seperti pada kondisi kuantitas, tetapi juga dipengaruhi oleh buangan domestik, buangan industri, pengolahan lahan, pola tanam, dan lain-lain. Dengan demikian bila sistem pengelolaan limbah, pengolahan lahan, dan pola tanam dapat dengan mudah diketahui kejanggalannya dengan melihat indikator kualitas air. Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai ataupun air sumur.
3.
Indikator perbandingan debit maksimum dan minimum. Yang dimaksud disini adalah perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit puncak minimum sungai utama (di titik outlet DAS). Indikator ini mengisyaratkan kemampuan lahan untuk menyimpan. Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan air ini sangat bergantung pada kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dan lain-lain.
4.
Indikator muka air tanah. Indikator ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah di suatu lahan. Indikator muka air tanah ini mengisyaratkan besarnya air masukan ke dalam tanah dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Yang mempengaruhi besarnya air masuk kedalam tanah adalah vegetasi, kelerengan, kondisi tanahnya sendiri, dan lain-lain. Ketinggian muka air
26
tanah ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah dalam (aquifer) ataupun ketinggian air tanah dangkal (non-aquifer). 5.
Indikator curah hujan. Besarnya curah hujan suatu tempat sangat dipengaruhi oleh kondisi klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi ini diperanguhi perubahan tutupan lahan, ataupun aktifitas lainnya. Sehingga bila terjadi perubahan secara besar pada tutupan lahan maka akan mempengaruhi klimatologi dan juga curah hujan yang terjadi. Indikator tata air yang dapat dengan mudah dilihat dengan pengamatan
masyarakat umum diharapkan menjadi kontrol pelaksanaan pembangunan yang dilakukan dengan lebih terbuka. Sebagai gambaran bahwa suatu Daerah Aliran Sungai dikatakan masih baik apabila: 1.
Memberikan produksi tinggi bagi keperluan kehidupan dalam DAS yang bersangkutan
2.
Menjamin kelestarian DAS, dimana erosi yang terjadi dibawah erosi yang dapat ditoleransi
3.
Terdapat kelenturan, dimana bila terjadi gangguan pada salah satu bagian, maka bagian lain mampu memberikan supply/bantuan.
4.
Bersifat pemerataan, dimana setiap stakeholder yang ada di dalam DAS mampu berperan sesuai dengan kemampuan yang dipunyai dan mendapatkan imbalan yang sesuai
Sedangkan dari aspek biofisik, suatu DAS dikatakan baik apabila: 1.
Debit sungai konstan dari tahun ke tahun
2.
Kualitas air baik dari tahun ke tahun
3.
Fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil
4.
Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun
5.
Kondisi curah hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu
27
2.7. Soil and Water Assessment Tool (SWAT) Analisis hidrologi dapat dilakukan dengan menggunakan software SWAT yang pertama kali dikembangkan oleh DR. Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an untuk Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Menurut Neitsche et al (2005), SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa model yaitu Simulator for Water Resources in Rural Basin (SWWRRB); Chemical, Runoff, and Erosion from Agricultural Management Sistem (CREAMS); Groundwater Loading effects on Agricultural Management Sistem (GREAMS); dan Erosion Productivity Impact Calculator (EPIC). Software SWAT pertama kali digunakan di Amerika Serikat yang kemudian meluas ke Eropa, Afrika, dan Asia. Software SWAT dikembangkan untuk mengetahui pengaruh dari manajemen lahan terhadap siklus hidrologi, sedimen yang ditimbulkan dan daur ulang bahan kimia pertanian yang diperoleh berdasarkan data pada jangka waktu tertentu. Software SWAT akan diaplikasikan sebagai tools tambahan pada menu bar plug-in Map Window-46SR. Map Window 46SR adalah open source software berbasis GIS yang memungkinkan para penggunanya untuk menambahkan sendiri program atau tool baru. Dengan demikian, SWAT dapat diintegrasikan dengan MapWindow (MapWindow SWAT/MWSWAT) tanpa perlu membeli sistem berbasis GIS lainnya secara lengkap. SWAT merupakan model hidrologi berbasis fisika (physically based) yang membutuhkan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi , vegetasi dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS. SWAT dapat dimodelkan secara langsung proses-proses fisika yang terkait dengan pergerakan air, sedimen, pertumbuhan tanaman, siklus unsur hara dan lain sebagainya (Neitch et al., 2005). Proses-proses tersebut didasarkan pada konsep neraca air. Untuk pemodelan, suatu DAS dibagi menjadi beberapa Sub DAS atau Sub Basin yang didasarkan pada kesamaan penutupan lahan dan kesamaan lereng atau sifat lain yang berpengaruh terhadap hidrologi. Simulasi hidrologi suatu DAS dengan model SWAT dipisahkan kedalam dua bagian utama yaitu fase lahan pada siklus hidrologi (Gambar 5) dan fase air pada siklus hidrologi. Fase lahan mengendalikan jumlah air, sedimen, unsur hara
28
dan pestisida yang masuk ke dalam saluran utama pada setiap Sub DAS. Fase air atau penelusuran siklus hidrologi.
Gambar 5. Representasi lahan pada siklus hidrologi (Neitsch et al. 2010) SWAT terus mengalami perkembangan sejak awal diciptakan. Hingga kini, SWAT telah dicoba dikembangkan untuk daerah tropis yang pada dasarnya memiliki ketersediaan data yang berbeda dengan daerah sub tropis dimana model ini diciptakan. Pengembangan sangat didukung oleh perkembangan teknologi. Pada awalnya, SWAT untuk dikembangkan oleh Windows (Visual Basic), GRASS, Arcview, ArcGIS dan terakhir dikembangkan dalam Map Windows, suatu interface untuk SWAT yang dapat diakses bebas oleh pengguna. SWAT telah mengalami validasi yang luas. Kalibrasi dan validasi output SWAT oleh Reungsang et al. (2005) dengan membandingkan aliran hasil model dan aliran NO3-N dalam sungai menghasilkan nilai R2 sebesar 0.73. Kalibrasi aliran permukaan bulanan yang dilakukan oleh Schuol dan Abbaspour (2006) menggunakan teknik Nash-Sutcliffe menghasilkan nilai efesiensi sebesar 0.82. Analisis sensitivitas model yang dilakukan Reungsang et al. (2005) menunjukan bahwa model sangat peka terhadap variasi curah hujan, CN, Soil Available water capacity, dan koefesien evaporasi tanah.
29
Siklus hidrologi disimulasikan dalam SWAT berdasarkan pada persamaan water balance. Persamaannya adalah :
∑ Keterangan
:
SWt
= kandungan akhir air tanah (mmH2O)
SW0
= kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mmH2O)
Rday
= Jumlah presipitasi pada hari ke-i (mmH2O)
QSurf
= Jumlah surface runoff pada hari ke-i (mmH2O)
Ea
= Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mmH2O)
Wseep
= Jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah pada hari ke- I (mmH2O)
Qgw
= Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mmH2O)
Data masukan model untuk setiap HRUs (Hydrologic Respon Unit/HRU) Sub DAS dikelompokan ke dalam beberapa kategori yaitu iklim, unit respon hidrologi, genangan/daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang mendrainase Sub DAS. HRU merupakan kelompok lahan dalam Sub DAS yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah dan pengolahan yang unik. Data yang dibutuhkan dalam model ini merupakan data harian. Data iklim menyediakan masukan air dan energi yang berpengaruh terhadap keseimbangan air. Input energi berupa iklim penting dalam melakukan simulasi dalam SWAT untuk menghasilkan perhitungan water balance yang akurat (Neitsch et al., 2005). Paramater iklim yang digunakan dalam SWAT berupa hujan harian, temperatur udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, serta kelembaban nisbi. Keunggulan dari SWAT adalah data iklim yang sulit untuk disediakan secara harian dapat dibangkitkan dengan menggunakan input file weather generator (.wgn). 2.8. Konsep Pembanguan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan merupakan antidisertasi terhadap model pembangunan yang berorientasi ekonomi. Pembangunan yang berorientasi ekonomi semata dinilai gagal menyelesaikan agenda pembangunan yaitu kemiskinan dan kerusakan lingkungan (Salim, 2005). Konsep pembangunan
30
berkelanjutan mengeksplorasi kaitan antara pembangunan ekonomi, kualitas lingkungan dan keadilan sosial (Rogers et al. 2007). Konsep ini berawal dari pertemuan konfrensi internasional lingkungan hidup di Stockholm, Swedia tahun 1972. Konfrensi ini pertama kali dalam sejarah yang di gagas oleh PBB. Sepuluh tahun kemudian PBB kembali menggelar konperensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya. Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa kesidang umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World Comission on Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland. Komisi ini menghasilkan dokumen "Our Common Future" pada tahun 1987, yang memuat analisis dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan. Dalam dokumen itu diperkenalkan suatu konsep baru yang disebut suatu konsep pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka
sendiri.
Beberapa
pengertian
tentang
pembangunan
disampaikan oleh ilmuwan sebagai berikut. 1. Pembangunan berkelanjutan ialah sebuah pendekatan yang mempertemukan perbaikan kualitas hidup yang terus menerus dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang efektif, sehingga generasi yang akan datang dapat mewarisi sumberdaya tersebut untuk kehidupannya; 2. Pembangunan berkelanjutan ialah upaya untuk memelihara proses ekologi dan sistem
penopang
hidup,
melindungi
keanekaragaman
genetik,
dan
pemanfaatan spesies serta ekosistem secara berkelanjutan (WWF 1987 dalam oleh Rogers et al., 2007). 3. Pembangunan berkelanjutan mencakup proses dan perubahan yang mendalam dalam aspek politik, sosial, ekonomi, kelembagaan, teknologi termasuk juga mendeskripsikan ulang hubungan antara negara berkembang dengan negara maju (Maurice 1992 dalam Rogers et al. 2007). 4. Pembangunan berkelanjutan berarti mendasarkan kebijakan pembangunan dan lingkungan pada perbandingan biaya dan manfaat dan analisis ekonomi yang cermat yang akan memperkuat perlindungan lingkungan dan menyebabkan
31
naiknya tingkat kesejahteraan secara berkelanjutan (World Bank 1992 dalam oleh Rogers et al. 2007). Rogers, Jalal dan Boyd (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial dan dimensi ekonomi. Dimensi ekologi artinya optimalisasi manfaat ekologis tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan sosial. Dimensi sosial maksudnya tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan ekologis. Sedangkan dimensi ekonomi artinya tidak mengabaikan dimensi ekologi dan sosial. Dengan demikian ketiga pilar tersebut harus digerakkan secara simultan dalam perencanaan dan implimentasi pembangunan. Selanjutnya Smith dan Jalal (2000) dalam Rogers et al. (2007) menjelaskan kaitan antara pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan kemiskinan seperti pada Gambar 5. Permasalahan lingkungan disumbang oleh dua kutub, yaitu (1) kemiskinan yang berimplikasi pada kerusakan sumberdaya alam, dan (2) pembangunan yang berimplikasi pada degradasi lingkungan serta deplesi sumberdaya alam. Strategi atas permasalahan tersebut ialah dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Pada kutub kemiskinan melalui pengurangan kemiskinan dengan beberapa programnya. Sedangkan pada kutub pembangunan dilakukan integrasi antara pembangunan dengan lingkungan hidup (Gambar 6). Penjelasan tersebut sejalan dengan pengertian pembangunan berkelanjutan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan bagi umat manusia tidak rusak. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), tetapi merupakan batas yang luwes (flexible) yang
32
tergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam serta kemampuan biosfir menerima dampak kegiatan manusia. Beberapa peneliti menguraikan keberlanjutan lebih rinci lagi dalam lima dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi (Fauzi dan Anna, 2005). Dimensi ekologi ialah terkait menjaga daya dukung, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama. Dimensi sosial ekonomi ialah terkait keberlanjutan kesejahteraan masyarakat dalam rangka keberlanjutan. Dimensi kelembagaan ialah terkait kelembagaan yang mendorong keberlanjutan. Dimensi sosial ialah terkait keberlanjutan sosial masyarakat. Pembangunan Berkelanjutan
Kemiskinan
SDA rusak
Pembangunan Permasalahan Lingkungan: Pencemaran, Degradasi Lahan, Perubahan Iklim
Reduksi kemiskinan 1. Pemenuhan kebutuhan dasar 2. Kontrol demografi 3. Kontrol penggunaan common property 4. Meningkatkan produktivitas
SDA rusak
ReduksIntegrasi Pembangunan & lingkungan 1. Amdal 2. Teknologi ramah lingkungan 3. Kontrol mitigasi 4. Energi terbarukan
Gambar 6. Keterkaitan pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan kemiskinan 2.9. Sistem dan Pendekatan Sistem 2.9.1. Pengertian dan Tipe Sistem Sistem adalah suatu gugus dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu, (Manetsch dan Park, 1979 dalam Eriyatno, 1997). Pengertian tersebut memberikan penjelasan bahwa dalam sistem terdapat bagian-bagian yang saling
33
berinteraksi dalam upaya pencapaian tujuan. Oleh karena itu Marimin (2004) mengatakan bahwa sistem merupakan gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan. Menurut Hartrisari (2007) suatu sistem dapat terdiri atas beberapa subsistem. Masing-masing susbsistem tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Namun secara keseluruhan dalam konsep sistem memiliki fungsi yang sama. Artinya masing-masing fungsi dari subsistem tersebut saling mendukung untuk berjalannya fungsi sistem secara keseluruhan. Hartrisari (2007) menjelaskan bahwa sistem dapat digolongkan dalam dua tipe yaitu, (1) sistem terbuka atau open sistem dan (2) sistem tertutup atau closed sistem. Sistem terbuka ialah sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun tidak memberi umpan balik terhadap input. Sebaliknya sistem tertutup, outputnya memberikan umpan balik terhadap input. 2.9.2. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin, 2004). Sedangkan Eriyatno (1998) menjelaskan bahwa pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (sistim approach). Dengan demikian pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang komprehensif
dan
berorientasi
tujuan.
Selanjutnya
disampaikan
bahwa
pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Hartrisari (2007) menjelaskan pendekatan sistem merupakan pendekatan yang tidak secara langsung mereduksi faktor yang berpengaruh tetapi lebih bersifat menyeluruh. Pendekatan yang bersifat holistik lebih memfokuskan keterkaitan antara faktor. Pendekatan sistem menggunakan model untuk mempelajari perilaku sistem yang dikaji, yang digunakan sebagai dasar perbaikan sistem. Sementara model adalah penyederhanaan sistem. Artinya karena sistem merupakan sangat komplek, maka model dibuat untuk memudahkan memahami
34
gambaran sistem. Tujuan penyusunan model yaitu; (1) memahami proses yang terjadi dalam suatu sistem; (2) membuat prediksi dan (3) menunjang pengambilan keputusan, (Hartrisari, 2007). Eryatno (1999) menjelaskan bahwa untuk dapat bekerja secara sempurnah suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur yang meliputi (1) metodelogi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) tim yang multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan (8) aplikasi komputer. Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisis, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya (Marimin, 2007). Menurut Marimin (2007) sifat dasar dari suatu sistem terdiri atas tujuh, yaitu: 1.
Pencapaian tujuan, prinsip ini memberikan sifat bahwa sistem merupakan sesuatu yang dinamis dalam mencapai tujuan;
2.
Kesatuan usahan, prinsip ini menjelaskan bahwa hasil keselurahan dari sistem melebihi bagian-bagiannya atau disebut konsep sinergi;
3.
Keterbukaan terhadap lingkungan, prinsip ini menjelaskan bahwa lingkungan merupakan sumber potensi dan hambatan. Oleh karena itu pencapaian tujuan suatu sistem relatif tidak mutlak. Sebaliknya dapat dilakukan dengan berbagai cara sesusia dengan tantangan lingkungannya;
4.
Transformasi, yaitu prinsip yang menjelaskan tentang proses perubahan input menjadi output.
35
Menurut Hartrisari (2007), pendekatan sistem memiliki beberapa tahapan yaitu; (1) analisis kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhankebutuhan dari masing-masing stakeholders, (2) formulasi permasalahan, mengkombinasikan dan mensinergiskan semua permasalahan yang merupakan kebutuhan stakeholders dalam sistem, (3) identifkasi sistem, yaitu memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem mencakup faktor-faktor yang terkait di dalamnya. Identifikasi sistem dapat dilakukan dengan diagram input-output atau diagram lingkar sebab akibat, (4) simulasi pemodelan, yaitu tahap interaksi antara analisis sistem dengan pembuatan keputusan yang menggunakan model dengan mempertimbangkan berbagai variabel yang dimasukkan, (5) validasi dan verifikasi.