II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkanya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). DAS adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografi adalah punggung bukit dan pemisah bawah berupa batuan (Manan, 1983). Food and Agricultural Organization (FAO) dalam Sheng (1968) mendefinisikan DAS sebagai suatu kawasan yang mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam suatu sistem aliran sungai yang mengalir dari hulu menuju ke muara atau tempat-tempat tertentu. Tempat tertentu tersebut antara lain dapat berupa danau. Oleh karena itu batas ekosistem suatu DAS dapat ditentukan berdasarkan perilaku dari aliran airnya. Kawasan tersebut dipisahkan dengan kawasan lainnya oleh pemisah topografi. Sementara itu menurut Haeruman (2002), pengertian DAS adalah bentang alam yang dibentuk oleh air dimana sungai-sungai kecil saling berhubungan membentuk sungai besar di daerah hilirnya. Istilah yang digunakan untuk menyebut sistem aliran sungai-sungai ini seringkali berbeda-beda menurut kebiasaan dan sejarah masing-masing.
Di
Amerika Serikat daerah bersistem sungai-sungai tersebut biasa disebut “watershed” sedangkan di Inggris disebut “cathchment areas of river basin”. Sebagai suatu ekosistem, DAS terdiri dari unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Ekosistem DAS terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS, seperti fungsi tata air, sehingga perencanaan DAS bagian hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Kegiatan perubahan penggunaan lahan dan atau pembuatan bangunan
4
konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan tranpor sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya bentuk keterkaitan daerah hulu-hilir seperti tersebut di atas, maka kondisi DAS dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam (Pasaribu, 1999). Landasan untuk pengelolaan secara menyeluruh suatu DAS berawal dari perencanaan. Oleh karena itu, tahap perencanaan menyeluruh pengelolaan DAS merupakan bagian strategis untuk tercapainya upaya aktivitas pembangunan, yaitu pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sasaran dan atau tujuan fundamental perencanaan menyeluruh pengelolaan DAS adalah perbaikan keadaan sosial-ekonomi stakeholders dengan tidak mengabaikan keberlanjutan daya dukung dan kualitas lingkungan. Karena pengelolaan DAS dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas, maka pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mewujudkan tujuan dilakukannya pengelolaan DAS. Tingkat dan intensitas kerjasama tersebut bervariasi dan ditentukan, antara lain, oleh struktur pemerintahan. Suatu pemerintahan, di manapun berada, dibentuk untuk mengatur kehidupan masyarakat termasuk tingkat kesejahteraannya. Oleh karena itu, pemerintahan yang baik seharusnya dapat mengupayakan agar kesejahteraan tersebut dapat dirasakan oleh berbagai tingkatan (sosial) yang ada di masyarakat (Asdak, 2002). 2.2 Agrowisata Agrowisata/wisata agro atau wisata pertanian (lebih dikenal dengan istilah Agrotourism) merupakan istilah yang populer di Indonesia pada dua dekade terakhir. Pembangunan beberapa tempat istirahat untuk kegiatan wisata mulai bermunculan di daerah pinggiran kota (urban fringe), atau di pedesaan yang memang sejak semula penggunaan lahannya didominasi bentuk lanskap pertanian baik untuk kegiatan pertanian hortikultura, tanaman pangan, perkebunan, peternakan atau perikanan. Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi yang besar dalam pengembangan agrowisata dalam pengertian skala yang lebih luas. Kondisi fisik lahan, bentuk fenomena alam pedesaan dan lanskap pertanian, jenis komoditas pertanian yang diunggulkan, kegiatan proses produksi pertanianpengemasan hingga bentuk berbagai hasil olahannya sebagai buah tangan, kondisi
5
sosial budaya masyarakat pertanian sampai dengan aspek pemasaran dan ekonomi pertanian, misal sistem pelelangan, semua dapat dijadikan obyek yang menarik bagi kegiatan agrowisata yang mengesankan bagi para wisatawan (Arifin, 2001). Agrowisata
adalah
rangkaian
aktivitas
perjalanan
wisata
yang
memanfaatkan lokasi atau kawasan dan sektor pertanian mulai dari awal sampai dengan produk pertanian dalam berbagai sistem, skala dan bentuk dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pemahaman, pengalaman dan rekreasi di bidang pertanian ini. Sajian yang diberikan pada wisatawan tidak hanya pemandangan kawasan pertanian yang panoramik dan kenyamanan di alam pertanian, tetapi juga aktivitas petani beserta teknologi khas yang digunakan dan dilakukan dalam lahan pertanian dimana wisatawan juga dapat mengikuti aktivitas ini, ketersediaan produk segar pertanian yang dapat dinikmati wisatawan, nilai historik lokasi, arsitektur, atau kegiatan tertentu, budaya pertanian yang khas dan kombinasi dari berbagai ciri tersebut.
Aktivitas pertanian ini mencakup persiapan lahan,
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan hasil dan juga pasar hasil pertanian. Dalam aktivitas agrowisata ini, petani yang berada dalam kawasan agrowisata, dapat menjadi obyek atau bagian dari sistem pertanian yang ditawarkan pada aktivitas wisata tetapi juga dapat bertindak sebagai pemilik atau pengelola kawasan wisata ini ( Nurisyah, 2001). Agrowisata memberikan manfaat sebagai berikut : meningkatkan konservasi lingkungan,
meningkatkan
nilai
estetika,
memberikan
nilai
rekreasi,
meningkatkan kegiatan ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan serta mendapatkan keuntungan ekonomi.
Berdasarkan Surat Keputusan bersama
Menteri Pariwisata, Pos dan telekomunikasi dengan Menteri Pertanian yang dituangkan dalam SK Bersama No. KM 47/PW.DVM/MPPT.88 dan No. 204/KPTS/MK.050/4/1989, agrowisata diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas yang memanfaatkan usaha agro sebagai obyek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi, dan hubungan usaha di bidang pertanian (Tirtawinata dan Fachruddin 1999).
6
Agrowisata di perkotaan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Agrowisata melibatkan tegaknya tanaman (vegetasi) dapat memberikan manfaat dalam perbaikan kualitas iklim mikro; 2. Pengembangan agrowisata ikut menjaga kelestarian lingkungan hidup perkotaan selain memperbaiki iklim mikro, juga menjaga siklus hidrologi dan mengurangi erosi; 3. Kegiatan agrowisata akan meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan perkotaan yang pada akhirnya akan menunjang kesehatan penggunanya; 4. Obyek agrowisata dapat memberikan karya lingkungan yang estetis jika dikelola dengan baik ; 5. Agrowisata dapat menjadi sumber masukan bagi perorangan, swasta maupun pemerintah daerah (Sulistyantara , 1990). Di Indonesia, agrowisata mempunyai prospek yang sangat baik mengingat potensi yang ada sangat beragam dan khas. Identifikasi suatu wilayah pertanian yang akan dijadikan obyek agrowisata perlu dipertimbangkan secara matang. Kemudahan mencapai lokasi, karakteristik alam, sentra produksi pertanian, dan adanya
kegiatan
pertimbangan.
agroindustri
merupakan
faktor
yang
dijadikan
bahan
Perpaduan antara kekayaan komoditas agraris dengan bentuk
keindahan alam dan budaya masyarakat merupakan kekayaan obyek wisata yang amat bernilai. Agar lebih menarik wisatawan, obyek wisata perlu dilengkapi dengan prasarana dan sarana pariwisata, seperti transportasi, promosi dan penerangan (Tirtawinata dan Fachruddin, 1999). Departemen Parpostel memberikan tiga alternatif pemilihan lokasi pengembangan agrowisata, yaitu : 1. Memilih daerah yang mempunyai potensi agrowisata dengan masyarakat tetap bertahan dalam kehidupan tradisional berdasarkan nilai-nilai kehidupannya. Model alternatif ini dapat ditemui di daerah terpencil dan jauh dari lalu lintas ekonomi luar. 2. Memilih suatu tempat yang dipandang strategis dari segi geografis pariwisata tetapi tidak mempunyai potensi agrowisata sama sekali. Pada daerah ini akan dibuat agrowisata buatan.
7
3. Memilih daerah yang masyarakatnya memperlihatkan unsur-unsur tata hidup tradisional dan memiliki pola kehidupan pertanian secara luas termasuk berdagang dan lain-lain serta berada tidak jauh dari lalu lintas wisata yang cukup padat. Agrowisata sebagai obyek wisata selayaknya memberikan kemudahan bagi wisatawan dengan cara melengkapi kebutuhan prasarana dan sarananya. Sarana dan prasarana dalam agrowisata dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fasilitas obyek, fasilitas pelayanan dan fasilitas pendukung.
Fasilitas-fasilitas tersebut
ditempatkan pada lokasi yang tepat dan strategis sehingga dapat berfungsi secara maksimal . Fasilitas obyek dapat bersifat alami, buatan manusia serta perpaduan antara buatan manusia dan keadaan alami. Terkait dengan agrowisata yang termasuk fasilitas obyek diantaranya adalah lahan dan produk pertanian serta kegiatan petani mulai dari budidaya sampai pasca panen. Fasilitas pelayanan meliputi pintu gerbang, tempat parkir, pusat informasi, papan informasi, jalan dalam kawasan agrowisata, shelter, toilet, tempat ibadah, tempat sampah, toko cinderamata, restoran, tempat istirahat dan pramuwisata. Sedang yang termasuk dalam fasilitas pendukung adalah jalan menuju lokasi, komunikasi dan promosi, keamanan, sistem perbankan dan pelayanan kesehatan (Tirtawinata dan Fachruddin, 1999). Pengembangan Agrowisata di setiap lokasi selalu merupakan pengembangan yang terpadu antara pengembangan masyarakat desa, alam terbuka yang khas, pemukiman desa, budaya dan kegiatan pertaniannya serta sarana pendukung wisata seperti transportasi, akomodasi dan komunikasi.
Secara umum
pengembangan agrowisata selalu menunjukkan suatu usaha perbaikan kehidupan masyarakat petani dengan memanfaatkan potensi yang ada secara optimal (Betrianis, 1996) Upaya
pengembangan
agrowisata
mengelompokkan
konsep
dasar
pengembangan agrowisata menjadi lima kelompok, yaitu : A. Fungsi agrowisata sebagai obyek wisata merupakan ajang pertemuan antara kelompok masyarakat dengan wisatawan yang mempunyai latar belakang sosial budaya yang berbeda dan yang mempunyai motivasi untuk mengetahui,
8
menghayati serta menikmati hasil budidaya masyarakat pada daerah tertentu. Jadi agrowisata berfungsi sebagai : a. Pusat informasi pariwisata setempat; b. Pusat promosi pariwisata setempat atau regional; c. Pemusatan suatu kegiatan kelompok masyarakat yang dapat diarahkan dan mewakili semua sektor kegiatan bersama yang diperlukan kelompok tersebut; d. Pendorong tumbuh dan berkembangnya aspirasi seni dan budaya masyarakat setempat yang dikaitkan dengan budaya pertanian yang dilakukan turun temurun. B. Sistem struktural agrowisata, terdiri dari sub-sub sistem obyek wisata, sarana dan prasarana pariwisata, promosi dan penerangan pariwisata dan wisatawan. C. Strategi
pengembangan
desa
agrowisata,
dipandang
sebagai
unsur
pengembangan masyarakat yang lebih fundamental karena orientasinya pada masyarakat, maka sasarannya bersifat strategis, menyangkut kemampuan mandiri manusia di wilayah pedesaan.
Dengan demikian pengembangan
agrowisata tidak lagi sekedar merupakan proses pembangunan ekonomi saja tetapi juga merupakan proses pembangunan kebudayaan yang mengandung arti pengembangan dan pelestarian. Karena sifatnya yang strategis, maka semua program pengembangan agrowisata hendaknya berperan sebagai motivator, inovator dan dinamisator terhadap pertumbuhan dan perkembangan masyarakat pedesaan menurut proses evolusi desa secara wajar. Selain itu semua program yang sifatnya pemanfaatan sumber daya alam dan sumber dana, harus memberikan dampak positif kepada semua pihak yang terlibat. D. Lokasi agrowisata, memberikan pengaruh yang besar terhadap sub-sub sistem obyek wisata, prasarana dan sarana pariwisata, transportasi, promosi dan wisatawan yang datang. Lokasi agrowisata dapat di dalam kota, di pinggir kota atau di luar kota.
Lokasi di luar kota/pedesaan merupakan ciri
lingkungan yang mempunyai daya tarik yang kuat bagi wisatawan yang sebagian besar berasal dari kota. E. Tata ruang suatu kawasan agrowisata, dipengaruhi oleh sistem nilai dan sistem norma yang berlaku di tempat tersebut.
Oleh karena itu program
9
pengembangan agrowisata hendaknya memperhatikan tata ruang yang sesuai dengan keadaan dan keperluan masyarakat setempat (Deasy , 1994). Tujuan dari pengembangan agrowisata adalah meningkatkan nilai kegiatan pertanian dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam penyiapan pengembangan agrowisata tidak hanya obyek wisata pertaniannya saja yang disiapkan tetapi juga penyiapan masyarakat pedesaan untuk dapat menangkap nilai tambah yang diberikan oleh kegiatan agrowisata tersebut.
Kegiatan pengembangan agrowisata diarahkan pada terciptanya
penyelenggaraan dan pelayanan yang baik sehingga sebagai salah satu produk pariwisata Indonesia, agrowisata dapat dilestarikan dan dikembangkan dalam upaya diversifikasi pertanian dan pariwisata.
Arah pengembangan ini juga
disesuaikan dengan potensi dan prioritas pembangunan pertanian suatu daerah, (Deasy, 1994). Prospek pengembangan agrowisata di Indonesia dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu : 1. Potensi obyek agrowisata; Indonesia mempunyai sumberdaya pertanian yang melimpah. 2. Potensi pasar; Peranan agrowisata dalam pariwisata nasional adalah meningkatkan keanekagaraman obyek dan lamanya kunjungan (dari segi suplay) dan mempengaruhi peningkatan minat berwisata dengan semakin banyak obyek wisata yang ditawarkan (segi permintaan). 3. Kondisi dan perkembangan sarana pendukungnya; Perkembangan agrowisata juga ditentukan oleh aspek ini, antara lain transportasi, telekomunikasi, akomodasi, kemudahan memasuki Indonesia dan jaminan keamanan (Alikodra, 1989). Pengembangan agrowisata biasanya dihadapkan pada permasalahan penggalian potensi komoditas pertanian unggulan di daerah pada kesesuaian lahan yang tepat, perencanaan dan pengembangan wilayah dikaitkan dengan tata guna lahannya, perencanaan aksesibilitas dan infrastruktur bagi kegiatan pertanian dan wisata, kesiapan sosial budaya masyarakat dalam menerima kunjungan para wisatawan, kondisi sumberdaya manusia para pelaku kegiatan ini
10
termasuk para petani, pengusaha dalam bidang agroindustri, para pemandu turis hingga pelaku bisnis hotel atau homestay (Arifin, 2001). Perencanaan merupakan fungsi manajemen pertama dan mendasar, yang menjadi titik awal bagi fungsi-fungsi berikutnya dan berkaitan dengan usahausaha membuat rencana, membuat ikhtisar yang lengkap dan terperinci mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk dikerjakan dengan cara bagaimana melaksanakannya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Proses perencanaan yang baik harus merupakan suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling menunjang. Proses ini merupakan suatu alat yang sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan tapak pada saat awal, keadaan yang diinginkan, serta cara dan model terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan pada tapak tersebut. Proses perencanaan dan perancangan terdiri dari enam tahap, yaitu: 1. Persiapan, merupakan tahap perumusan tujuan, program dan informasi lain tentang berbagai keinginan dan selanjutnya adalah membuat persetujuan kerjasama antara perencana dengan pemberi tugas. 2. Inventarisasi, merupakan tahap pengumpulan data keadaan awal dari tapak yang diperoleh dari survey lapang, wawancara, pengamatan, perekaman dan sebagainya. Data yang dikumpulkan meliputi data fisik, data sosial, dan data ekonomi. 3. Analisis, merupakan tahap untuk mengetahui masalah, hambatan, potensi dan kemungkinan pengembangan lain dari tapak. Pada tahap ini dibuat program pengembangan yang menyeluruh dengan menyusun tujuan dan metoda, daftar kebutuhan dalam perencanaan yang akan dibuat dan deskripsi proyek serta hubungan antar komponen tersebut. 4. Sintesis, merupakan tahap pemecahan masalah dan pemanfaatan potensi dari suatu tapak yang disesuaikan dengan tujuan perencanaan. Setelah dilakukan pemecahan masalah dan pemanfaatan potensi akan diperoleh alternatifalternatif perencanaan. 5. Perencanaan, merupakan tahap penentuan satu alternatif terbaik. Alternatif terbaik dapat merupakan pilihan dari satu alternatif atau modifikasi dan
11
kombinasi dari beberapa alternatif perencanaan, yang umumnya disajikan dalam bentuk tata letak atau rencana tapak (site planing). 6. Perancangan, merupakan tahap pengembangan konsep perencanaan yang terperinci. Konsep perencanaan yang dihasilkan menyajikan rincian rencana spesifik terhadap elemen-elemen lanskap pada tapak tersebut (Gold, 1980). Perencanaan kawasan rekreasi merupakan proses yang menghubungkan antara sumberdaya rekreasi dengan kebutuhan manusia untuk berekreasi tanpa mengakibatkan kerusakan. Tujuan umum dari perencanaan kawasan rekreasi adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan kualitas lingkungan, sedangkan tujuan khususnya adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia dengan menciptakan lingkungan yang lebih baik, sehat dan menyenangkan serta menarik. Tujuan tersebut akan membimbing dan memberikan arah didalam proses perencanaan.
Pendekatan yang dipakai dalam perencanaan kawasan rekreasi
adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan sumberdaya Pendekatan ini mempertimbangkan situasi dan kondisi sumberdaya, untuk menentukan bentuk serta kemungkinan aktifitas rekreasi. Sumberdaya yang diamati harus relevan dengan fungsi yang akan dikembangkan. 2. Pendekatan aktivitas Pendekatan ini digunakan untuk menentukan bentuk rekreasi berdasarkan aktivitas pengguna dengan tujuan agar kepuasan pengguna dapat tercapai. 3. Pendekatan ekonomi Pada pendekatan ini sumberdaya ekonomi dari suatu masyarakat digunakan untuk menentukan jumlah, tipe dan lokasi dari kawasan rekreasi. 4. Pendekatan tingkat laku Pendekatan ini digunakan untuk menentukan bentuk rekreasi berdasarkan kebiasaan atau tingkah laku manusia dalam mempergunakan waktu senggangnya. Pendekatan ini difokuskan pada pemahaman rekreasi dengan melihat alasan berekreasi, apa aktivitas yang dilakukan serta manfaat yang diinginkan dari aktivitas yang dilakukan (Gold, 1980). Perencanaan kawasan wisata mempunyai manfaat: sebagai pedoman penyelenggaraan wisata, sarana untuk memprediksi kemungkinan timbulnya hal-
12
hal diluar dugaan sekaligus alternatif pemecahannya, sarana untuk mengarahkan penyelenggaraan wisata sehingga dapat mencapai tujuannya, yaitu mewujudkan wisata secara efektif dan efisien, serta sebagai alat ukur tingkat keberhasilan wisata sekaligus merupakan upaya pengawasan atau evaluasi dalam rangka memberikan umpan balik bagi penyelenggaraan wisata selanjutnya (Suyitno, 2001). 2.3 Pertanian berkelanjutan Metode yang konvesional dalam menilai fungsi pertanian adalah dengan mengukur hasil gabah dan serat (jerami) yang dihasilkannya untuk satuan luas dan satuan waktu tertentu. Akan tetapi selain berfungsi sebagai penghasil gabah dan serat yang mudah dikenali (tangible) tersebut, lahan sawah mempunyai fungsi yang lebih luas, di antaranya menjaga ketahan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis daerah aliran sungai (DAS), menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan
keunikan
dan
daya tarik
pedesaan
(rural
amenity),
dan
mempertahankan nilai-nilai sosial budaya pedesaan. Fungsi selain penghasil gabah dan serat ini tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan pada umumnya tidak mudah dikenali (intangible). Penilaiannya biasa dilakukan dengan metode kualitatif dan metode ekonomi tidak langsung (indirect valuation methods) seperti replacement cost method (RCM), contingent valuation method (CVM), dan travel cost method (TCM). Dengan RCM, fungsi pertanian dinilai berdasarkan biaya pembuatan alat dan sarana untuk mengembalikan suatu fungsi pertanian. Misalnya, fungsi lahan sawah sebagai pengendali banjir ditaksir dengan biaya pembuatan dan pemeliharaan dam pengendali banjir. CVM adalah penilaian kesediaan masyarakat menyumbang untuk mempertahankan atau mengembalikan berbagai fungsi pertanian. TCM adalah penilaian biaya transport dan akomodasi yang dikeluarkan untuk suatu objek agrowisata. Lahan sawah mempunyai arti yang terpenting dalam menentukan ketahan pangan nasional. Ketahanan pangan meliputi aspek ketersediaan bahan pangan, aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan, dan keamanan pangan (food safety). Lebih dari 90% beras yang dikonsumsi di Indonesia dihasilkan di dalam negeri, dan sekitar 95% dari beras dalam negeri tersebut dihasilkan dari lahan sawah. Kekurangan kebutuhan beras selama ini dipenuhi dengan beras impor.
13
Jaminan ketersediaan beras impor lebih rendah dibandingkan dengan ketersediaan beras di dalam negeri. Selain ditentukan oleh kondisi produksi dari negara pengekspor, hubungan bilateral antara negara pengekspor denganIndonesia serta keamanan regional menentukan ketersediaan beras impor. Berbeda dengan beras di dalam negeri yang dihasilkan sampai di daerah terpencil, distribusi beras impor lebih terbatas. Adanya impor tidak menjamin peningkatan aksebilitas penduduk di daerah terpencil terhadap beras, akan tetapi areal produksi beras yang tersebar lebih menjamin ketersediaan beras sampai kepelosok tanah air. Selain itu, jaminan keamanan (food safety) untuk bahan pangan yang diproduksi di dalam negeri mungkin lebih baik dibandingkan dengan pangan yang diimpor. Atau sekurangkurangnya kita lebih mengerti bagaimana bahan pangan diproduksi di dalam negeri. Namun kita tidak tahu, pada lahan yang bagaimana beras impor diproduksi dan apakah sistem produksinya aman untuk kesehatan. Kenyataan menunjukkan bahwa petani merupakan fihak yang
kurang
beruntung, disebabkan oleh rendahnya efisiensi produksi pertanian dan rendahnya harga jual beras. Kondisi ini lebih diperburuk lagi dengan melimpahnya beras impor dengan harga yang lebih murah. Akibatnya daya saing beras dalam negeri semakin terancam dan selanjutnya menyebabkan semakin sulitnya posisi petani di Indonesia. Dalam keadaan demikian, bertani, terutama untuk tanaman pangan, merupakan tumpun terakhir. Orang akan bertani apabila kesempatan bekerja di sektor lain sudah tidak ada. Konsekuensi dari semua ini adalah semakin lajunya proses alih fungsi lahan pertanian menjadi areal pemukiman, perkotaan atau daerah industri. Yang sangat ironis adalah bahwa alih fungsi lahan pertanian lebih banyak terjadi pada areal persawahan yang telah dilengkapi dengan sarana irigasi teknis yang dibangun dengan biaya tinggi. Akibat dari alih fungsi lahan tersebut adalah semakin sulitnya mempertahankan tingkat self sufficiency untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional yang senantiasa meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertambahan penduduk. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, kawasan wisata didefinisikan
sebagai
salah
satu
bentuk
pemanfaatan
jasa
lingkungan
(environmental services) yang dihasilkan oleh kawasan hutan di masa depan. Setiap usaha wisata berbasiskan masyarakat (community-based development) akan
14
terdapat
peserta (participants) dan
mereka
yang memperoleh
manfaat
(beneficiaries), baik secara langsung maupun tidak langsung. Peserta langsung adalah para panitia pengelola dan para pekerja yang terlibat dalam pembuatan barang dan jasa yang akan ditawarkan kepada pengunjung. Peserta tidak langsung adalah anggota masyarakat luas yang memilih anggota panitia pengelola proyek wisata dan yang secara tidak langsung memanfaatkan sumber daya alam yang digunakan dalam usaha wisata (Sproule dan Suhandi 1993). Pentingnya pemberdayaan dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan sebelum proyek diputuskan makin disadari (Nardini 2000). Penggunaan lahan harus direncanakan untuk dan dengan melibatkan masyarakat, lebih khusus lagi pemilik-pemilik lahan (Kelly dan Becker 2000). Berbagai istilah dengan arti yang tidak jauh berbeda seperti bottom up planning, community planning, communitybased planning, public involvement, a negotiation approach, participatory planning approach, dikenal dan diaplikasikan dalam tahapan perencanaan atas dasar keyakinan bahwa keberhasilan suatu proyek dipengaruhi kuat oleh pelibatan dan penerimaan masyarakat. 2.4 Evaluasi kesesuaian lahan Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu.
Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam
bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lain, bahkan dapat menghancurkan suatu kebudayaan yang sebelumnya telah berkembang (Hardjowigeno, Yogaswara dan Widiatmaka, 2001). Metode evaluasi lahan seringkali menggunakan Sistim Informasi Geografis (SIG). Pengintegrasian antara SIG dan model ekologis dapat didekati melalui tiga pendekatan. Tiga pendekatan integrasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penggunaan SIG untuk meringkaskan informasi mengenai kondisi umum atau rataan (misalnya informasi kawasan menjadi informasi satuan per m2).
15
2. Penggunaan SIG untuk menyediakan data dengan resolusi spasial tinggi dalam elemen grid melalui teknik overlay. Setiap patch ditentukan secara khusus. Interaksi antar elemen dalam grid tidak dipertimbangkan. 3. Sama dengan pendekatan kedua yaitu untuk menyediakan data dengan resolusi spasial tinggi dalam elemen-elemen grid melalui teknik penumpukan data, hanya saja interaksi antar elemen-elemen grid turut dipertimbangkan. Model-model prediksi erosi yang berintegrasi dengan SIG dan penginderaan jauh menawarkan kesempatan-kesempatan yang jauh lebih baik dalam pengumpulan dan pengolahan data serta penggunaan informasi-informasi, untuk pembangunan data bagi pengambilan keputusan penggunaan lahan secara lebih akurat dibanding bila dilakukan secara manual (Dale dan Pearson 1999). Selain menggunakan SIG, pengukuran kesesuaian lahan terutama terhadap keindahannya dapat menggunakan metode Scenic Beauty Estimation. Keindahan pemandangan suatu lanskap merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting walaupun secara obyektif sulit untuk diukur.
Pendekatan yang
mendukungnya adalah bahwa keindahan pemandangan suatu lanskap tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan kekayaan lanskapnya saja, tetapi sebagian besar ditentukan pula oleh manusia.
Pendugaan keindahan dapat
menggunakan metode pengukuran keindahan pemandangan (scenic beauty), yang ditentukan oleh penilaian responden sebagai persepsi manusia terhadap suatu lanskap. Scenic Beauty Estimation (SBE) adalah merupakan metode yang menyediakan ukuran secara kuantitatif dari suatu hal yang disukai keindahannya terhadap alternatif sistim manajemen lanskap alam. Metode ini menunjukkan arti keefektifan dan keobjektifan dari keputusan keindahan pemandangan suatu lanskap secara umum dan juga menduga konsekuensi dari alternatif tata guna lahan.
Keindahan pemandangan diartikan sebagai keindahan alami, estetik
lanskap atau sumber pemandangan untuk memecah kemonotonan. Metode SBE terdiri dari tiga langkah utama yaitu penentuan titik pemotretan, presentasi foto dan analisis data hasil survey (Daniel, 1976).