a
b
Muhtar dkk.
Rapid Assessment
DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG Di Kelurahan Manggarai & Kelurahan Kampung Melayu, DKI Jakarta
Editor Bambang Widianto
P3KS Press (Anggota IKAPI) 2012
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Muhtar dkk. Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung Di Kelurahan Manggarai & Kelurahan Kampung Melayu DKI Jakarta; Jakarta: P3KS Press, 2012, viii + 50 halaman, 14.8 x 21 cm ISBN 978-602-8427-73-9 Editor : Bambang Widianto, MES. M.Si Penulis : Muhtar Teti Ati Padmi Sugiyanto Badrun Susantyo Tata letak : Perwajahan : Cetakan I : Penerbit :
MS. Khoirudin Tim Peneliti Desember 2012 P3KS Press (Anggota IKAPI) Jl. Dewi Sartika III No. 200, Jakarta - Timur Email.
[email protected] Website: puslit.depsos.go.id
Hak Cipta setiap tulisan pada Penulis©
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana di maksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Y.M.E karena atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Tim Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung di Kelurahan Manggarai dan Kelurahan Kampung Melayu DKI Jakarta dapat menyelesaikan tugasnya. Migrasi atau perpindahan penduduk telah menjadi fenomena global dan tidak mungkin dibendung termasuk di Indonesia dan khususnya di DKI Jakarta. Oleh karena itu yang paling mungkin dilakukan adalah mengelolanya secara bijak. Sejatinya permasalahan DAS Ciliwung adalah permasalahan klasik dan sudah ada pelbagai upaya penangananya oleh pelbagai pihak, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun hasilnya belum seperti diharapkan bahkan menjadi pekerjaan rumah, khususnya bagi Pemerintah DKI secara turun temurun. Hasil rapid assessment di Kelurahan Manggarai dan Kelurahan Kampung Melayu ini diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya penanganan DAS Ciliwung tersebut. “Tiada gading yang tak retak,” hasil rapid assessment ini masih banyak kekuranganan baik dalam proses, pembahasan, dan penyajian hasilnya. Untuk itu, kritik konstruktif dari pelbagai pihak sangat diharapkan. Akhirnya, kepada tim rapid assessment dan semua pihak yang terkait dalam pelaksanaan kegiatan ini sejak awal hingga akhir saya sampaikan ucapan terima kasih. Jakarta, Desember 2012 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kepala,
DR. Dwi Heru Sukoco, M.Si v
PENGANTAR EDITOR Migrasi penduduk merupakan sebuah keniscayaan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota, tidak terkecuali Jakarta. Jakarta, sesuai hasil sensus penduduk Tahun 2011, memiliki populasi mencapai 9,6 juta jiwa, ditambah 2,5 juta warga luar yang beraktivitas di Jakarta pada siang hari, hal ini tentunya memerlukan penyediaan ruang yang memadai bagi para penghuni di dalamnya. Ketersediaan ruang merupakan kata kunci dalam sebuah kebijakan penataan wilayah. Penataan wilayah perkotaan tentunya akan berbeda dengan wilayah perdesaan. Wilayah perkotaan yang “memaksakan” ketersediaan ruang bagi warganya, ujung-ujungnya dapat dipastikan akan melahirkan permasalahan baru yang makin kompleks dan hampir pasti akan menciptakan tata ruang yang “semrawut”. Dalam tata ruang yang “semrawut” inilah biasanya bermukim kelompok-kelompok sosial terpinggirkan (dan juga kaum miskin), begitu juga dengan Jakarta. Penyebab kesemrawutan tata ruang dan lingkungan kelompok sosial terpinggirkan di Jakarta diantaranya adalah; kelompok masyarakat ini luput dari perencanaan dan sentuhan pembangunan fasilitas kota; kebanyakan kaum miskin ini bermata pencaharian dari sektor informal, ditunjang berbagai bentuk usaha/industri kecil di lahan sempit, sehingga padat fasilitas penunjang dan bercampur dengan limbah buangan industri mereka; mereka cenderung memilih tinggal di kawasan yang paling murah dan dekat dengan pusat kota, walau bertumpuk-tumpuk. Penyebab lainnya adalah budaya kemiskinan (culture of poverty). Dampak negatifnya adalah: menjadi penyakit dari keindahan kota dan pemborosan sumber daya kota; sumber berbagai jenis penyakit epidemi; sumber penyakit psikis atau kejiwaan, seperti tidak suka tinggal di rumah dan kerawanan sosial. Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang dilakukan oleh Tim Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI ini merupakan upaya jitu sebagai langkah awal memahami kondisi sosial masyarakat sekitar vi
DAS Ciliwung. Memang, studi ini hanya mencakupi dua wilayah kelurahan, Kampung Melayu dan Manggarai. Namun demikian, dari kedua wialayah ini setidaknya dapat tergambarkan potret kondisi sosial wilayah permukiman kumuh perkotaan Jakarta. Dengan terbitnya buku Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung di Kelurahan Manggarai dan Kelurahan Kampung Melayu DKI Jakarta ini, sudah barang tentu apresiasi layak kita berikan. Dengan terbitnya buku ini, akan semakin menambah kekayaan informasi tentang khazanah penataan permukiman kumuh di perkotaan, khususnya bagi warga DKI Jakarta. Semoga bermanfaat. Amin. Bambang Widianto
vii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR PENGANTAR EDITOR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I : PENDAHULUAN A. Kebijakan Penataan Daerah Aliran Sungai Ciliwung B. Urbanisasi dan Kemiskinan Perkotaan BAB II : SELAYANG PANDANG DAS CILIWUNG KELURAHAN MANGGARAI DAN KELURAHAN KAMPUNG MELAYU A. Kelurahan Manggarai B. Kelurahan Kampung Melayu
iii iv vi vii viii 1 1 5
15 15 16
BAB III: HASIL RAPID ASSESSMENT DAS CILIWUNG DI KELURAHAN MANGGARAI DAN KELURAHAN KAMPUNG MELAYU 23 A. Penyajian Hasil Rapid Assessment 24 1. Karakteristik Responden 24 2. Kondisi Sosial Ekonomi 25 3. Permasalahan, Kebutuhan dan Potensi 30 4. Pilihan Relokasi 34 5. Dukungan Terkait Pilihan Relokasi 34 B. Pembahasan Hasil Rapid Asessment 35 1. Kondisi Sosial Ekonomi 35 2. Permasalahan, Kebutuhan dan Potensi 38 3. Pilihan Relokasi 40 4. Dukungan Terkait Pilihan Relokasi 41 BAB IV: P E N U T U P A. Simpulan B. S a r a n
43 43 44
DAFTAR PUSTAKA SEKILAS EDITOR DAN PENULIS INDEK
45 47 49
viii
DAFTAR TABEL Tabel 1 Lokasi Banjir di Kelurahan Kampung Melayu Tabel 2 Lama Tinggal pada DAS Ciliwung - Manggarai Tabel 3 Lama Tinggal pada DAS Ciliwung - Kampung Melayu Tabel 4 Jenis Pekerjaan Warga Das Ciliwung - Manggarai Tabel 5 Jenis Pekerjaan Warga DAS Ciliwung - Kampung Melayu Tabel 6 Kondisi Rumah Warga DAS Ciliwung - Manggarai Tabel 7 Kondisi Rumah Warga DAS Ciliwung - Kampung Melayu Tabel 8 Status Rumah/Tempat Tinggal Warga DAS Ciliwung - Manggarai Tabel 9 Status Rumah/Tempat Tinggal Warga DAS Ciliwung - Kampung Mela Tabel 10 Luas Bangunan Rumah/Tempat Tinggal Warga DAS - Manggarai Tabel 11 Luas Bangunan Tempat Tinggal Warga DAS Ciliwung - Kampung Melayu Tabel 12 Status Kepemilikan Tanah Warga DAS Ciliwung-Manggarai Tabel 13 Status Kepemilikan Tanah Warga DAS Ciliwung - Kampung Melayu Tabel 14 Sumber Air Bersih - Manggarai Tabel 15 Sumber Air Bersih - Kampung Melayu Tabel 16 Jenis PMKS di RW 01 DAS Ciliwung Kelurahan Manggarai Tabel 17 Jenis PMKS di RW 04 DAS Ciliwung Kelurahan Manggarai Tabel 18 Data PSKS pada DAS Ciliwung Kelurahan Manggarai Tabel 19 PSKS pada DAS Ciliwung di Kelurahan Kampung Melayu
vii
18 25 25 26 26 27 27 27 28 28 28 29 29 29 30 31 32 32 33
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7
Kerangka Pikir Rapid Assessment: Rumah di DAS Ciliwung Rumah di DAS Ciliwung Rumah di DAS Ciliwung Daerah Aliran Sungai Ciliwung Jalan Gang (Siang hari Lampu tetap nyala) Sungai Ciliwung menjadi tempat Pembuangan sampah
viii
12 16 16 17 19 31 31
BAB I PENDAHULUAN
A. Kebijakan Penataan Daerah Aliran Sungai Ciliwung Negara “melindungi segenap bangsa Indonesia...dan memajukan kesejahteraan umum” (Pembk. UUD 1945). Sejalan dengan pemikiran itu dalam Rencana Strategis Kementerian Sosial (20101014) ditegaskan bahwa visi pembangunan kesejahteraan sosial adalah terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat. Kesejahteraan Sosial dimaksud adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melakukan fungsi sosialnya (UU. No. 11/2009). Adalah suatu kenyataan bahwa perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain baik untuk menetap dalam jangka waktu yang tidak terbatas maupun sekedar untuk bekerja telah menjadi fenomena global, tidak terkecuali di Indonesia. Perlu disadari, kondisi itu memunculkan permasalahan yang tidak sederhana. Seringkali perpindahan penduduk tidak disertai bekal (pengetahuan, keterampilan) yang memadai, yang terjadi kemudian adalah mereka bekerja seadanya (pemulung, pengemis, dan lain sebagainya) dan tinggal dimana saja termasuk di bantaran sungai (Ciliwung). Perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain baik untuk menetap dalam jangka waktu yang tidak terbatas maupun sekedar untuk bekerja tersebut tidak terlepas dari kondisi kemiskinan, dimana saat ini kemiskinan penduduk (masih) merupakan permasalahan sosial besar di Indonesia meskipun telah sejak lama (khususnya) pemerintah melakukan program-program penanganan kemiskinan. Hal itu sebagaimana terlihat pada data Badan Pusat Statistik (2012) 1
Muhtar dkk.
yang menunjukkan bahwa pada Maret 2012 terdapat 29,13 juta jiwa (11,96%). Tingginya penduduk miskin tersebut juga dapat dicermati pada data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bahwa posisi Indonesia berada pada peringkat 124 (0,67) dari 187 negara. Di kawasan ASEAN, IPM Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Vietnam yang berada di urutan 128. Jauh tertinggal dari Malaysia di urutan 61 apalagi Singapura yang berada di peringkat 26 (Media Indonesia, 4 Nov 2011). Dalam kaitan penanganan kemiskinan perkotaan khususnya di DKI Jakarta, pemerintah, secara lintas sektoral berencana melakukan penataan pemukiman kumuh bantaran atau daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung secara komprehensif. Hasil Rapat Koordinasi Tingkat Menteri tanggal 26 Januari 2012 tentang penataan pemukiman kumuh DAS Ciliwung tersebut, pada prinsipnya, Kementerian Perumahan Rakyat berencana melakukan pembangunan rumah susun umum sewa (Rusunawa) sebanyak 21 tower (31.640 unit hunian) dan sarana-prasarana yang mendukungnya (pendidikan, ibadah, niaga dan perbelanjaan serta pelatihan bagi penghuni Rusunawa) pada lahan yang sekarang (masih) digunakan oleh TNI AD dan Kodam Jaya (Berlan) untuk merelokasi sekitar 34.051 kepala keluarga di sepanjang DAS Ciliwung mulai Kelurahan Manggarai hingga Kelurahan Srengseng sawah. Hasil rapat koordinasi tersebut juga menyimpulkan antara lain bahwa sosialisasi program akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian sosial. Dalam rencana besar (grand design) penanganan DAS Ciliwung, peran Kementerian Sosial adalah sebagai: (a) pelaksana penyuluhan sosial, (b) pelaksana needs assessement dan pendampingan sosial bersama dengan Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, dan (c) penanggungjawab penanganan kelompok rentan (Lanjut Usia, Anak, Disabilitas, Gepeng) dan Fakir Miskin.
2
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
Terkait penanganan permasalahan DAS Ciliwung, sebenarnya telah sejak lama baik secara perorangan maupun kelembagaan dan khususnya pemerintah telah menaruh perhatian dalam kaitan penanganannya. Hasil kajian Wiandjono (1995) misalnya, menjelaskan bahwa DAS Ciliwung mempunyai sumberdaya yang potensial, sehingga menimbulkan bangkitan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Lebih lanjut Dwiandjono menjelaskan, sumberdaya yang ada di DAS Ciliwung terdiri dari sumberdaya alam (SDA) lahan dan SDA air, yang dimanfaatkan sebagai: (a) pemanfaatan lahan di DAS Ciliwung terdiri dari kawasan lindung, kawasan budidaya pertanian, permukiman serta daerah industri, (b) pemanfaatan sumberdaya air sungai terdiri dari pemanfaatan untuk air bersih/ PDAM, pencucian, MCK, irigasi dan banjir kanal/penggelontoran. Pemanfaatan tersebut menimbulkan kondisi kritis. Jadi karakteristik permasalahan pada DAS Ciliwung adalah meningkatnya laju erosi, run-off, sedimentasi sungai, limbah cair dan limbah padat serta banjir. Meskipun saat ini telah ada program pengelolaan DAS Ciliwung, namun kondisi Sungai Ciliwung terus menurun. Program pengelolaan yang ada di DAS Ciliwung, berusaha untuk mengatasi beberapa kondisi kritis. Program tersebut antara lain adalah Program Kali Bersih (PROKASIH); Program Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) serta program Iainnya seperti Jabotabek Water Resources Management Project (JWRM) dan Tim Koordinasi Pengendali Pencemaran (TKP2). Dalam konteks peran Kementerian Sosial tersebut tugas Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbangkesos) adalah melaksanakan kegiatan assessment (asesmen). Sheafor et al. dalam Ashman dan Hull (1993:25) mengartikan asesmen “as the process of interpreting or giving meaning and conceptual order to data...”. Mereka juga memaknai asesmen sebagai: “is an activity directed toward understanding the client’s problem or situation and developing a plan of action”. Lebih lanjut Ashman dan Hull (1993:30) dalam figure 1.3 Assessment in the Generalist Intervention Model menjelaskan 3
Muhtar dkk.
bahwa pada assessment terdapat step: identify client, assess the client-situation, cite information about client problems and needs, identify client strengths. Searah dengan pemikiran itu, Adi (2007: 69) mengemukakan, asesmen adalah suatu proses pengidentifikasian kebutuhan (termasuk didalamnya permasalahan yang dirasakan masyarakat) serta potensi yang ada pada masyarakat. Pada Opini Pikiran Rakyat (8 April 2010) dimuat bahwa menurut laporan State of World Population, berdasarkan proyeksi BPS urbanisasi akan mencapai 68 persen pada 2025. Proyeksi itu mengacu kepada perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (urban rural growth difference/ URGD). Pada data itu provinsi di Pulau Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya lebih tinggi di Indonesia secara total. Bahkan tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada 2025 sudah di atas delapan puluh persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Dampak urbanisasi yang biasanya menjadi perhatian adalah masalah kemiskinan kota. Potret ini umumnya terekam melalui wajah perkotaan, dengan sudut-sudut pemukiman kumuh. Hal ini dikarenakan sebagian besar kaum urban adalah tenaga tak terdidik yang biasanya menjadi buruh kasar dan memperoleh penghasilan minim. Akibatnya, mereka hanya mampu tinggal di kawasan kumuh termasuk bantaran sungai dengan segala permasalahannya. Berdasarkan permasalahan itu, rumusan masalah rapid assessment ini adalah: Siapa saja yang tingal pada bantaran/DAS Ciliwung khususnya di Kelurahan Manggarai dan Kelurahan Kampung Melayu?; Bagaimana kondisi sosial ekonomi mereka?; Apa saja masalah dan kebutuhan mereka?; Apa saja pilihan relokasi mereka?; Dan apa dukungan bagi mereka terkait pilihan relokasi? Berdasarkan rumusan masalah tersebut tujuan rapid assessment ini adalah: Diperolehnya informasi warga yang tinggal pada DAS Ciliwung di dua kelurahan tersebut; Teridentifikasinya kondisi sosial ekonomi mereka; Teridentifikasinya permasalahan dan 4
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
kebutuhan mereka; Teridentifikasinya pilihan relokasi mereka; Teridentifikasinya dukungan bagi mereka terkait pilihan relokasi. Secara praktis, hasil rapid assessment ini menjadi input bagi Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan Kementerian Sosial khususnya dan unit terkait lain yang terlibat dalam penanganan DAS Ciliwung, dan secara akademis dapat memperkaya dan menambah informasi bagi pihak-pihak dan/atau pemerhati permasalahan kemiskinan perkotaan. B. Urbanisasi dan Kemiskinan Perkotaan 1. Urbanisasi
Fenomena urbanisasi menyebabkan pertumbuhan wilayah perkotaan semakin luas, sehingga mempengaruhi struktur fisik kota dimana tidak hanya bagi kota besar tetapi juga bagi kota kecil. Urbanisasi menghasilkan perubahan baik konstruktif maupun deskriptif yang bergantung pada berbagai faktor, diantaranya daya dukung kota, terutama daya dukung fisik dan ekonomi, kualitas para urbanit, terutama dalam segi pendidikan dan keterampilan berwiraswasta, serta kebijakan pemerintah setempat dan kebijakan nasional mengenai tata kota dan tatanan pedesaan (Bintarto, 1984). Pertumbuhan ekonomi yang cepat seiring perkembangan kota menghasilkan perubahan penting pada distribusi pendapatan daerah. Hal ini dapat dilihat dari adanya penurunan pertanian dan peningkatan industri serta kontribusi yang stabil dari sektor pelayanan. Perubahan situasi struktural yang cepat tersebut memiliki dampak pada organisasi sosial dan ruang dari masyarakat. Pertumbuhan ekonomi menciptakan dinamika perkotaan, perubahan penggunaan lahan, munculnya permukiman legal dan ilegal serta permasalahan lain seperti kerusakan lingkungan, limbah dan transportasi. Pada aspek sosial, wilayah perkotaan yang semakin tumbuh dan berkembang juga menyebabkan berkembangnya heterogenitas (Mc Gee, 1995).
5
Muhtar dkk.
Heterogenitas yang terlihat dari perbedaan sosial penduduknya menyebabkan pemisahan antara kelompok penduduk berdasarkan perbedaan ekonomi dan sosial. Lebih lanjut, pemisahan tersebut terlihat dari adanya sektor formal dan sektor informal. Berdasarkan aspek ekonomi, kegiatan ekonomi formal di perkotaan yang merupakan bentuk baru integrasi global semakin meluas, namun kegiatan tersebut tidak mampu menyerap pekerja dengan pendidikan dan kemampuan rendah. Pada akhirnya, pekerja dengan produktivitas rendah tersebut bekerja pada sektor informal (Lacabana dan Cariola, 2003). Selain itu, juga terlihat adanya sektor formal dan sektor informal secara spasial terutama ditunjukkan oleh adanya permukiman legal dan ilegal. Hal ini terjadi karena bentuk ruang perkotaan yang terbentuk merupakan bentuk kompetisi aktivitas penduduk yang berkembang di dalamnya. Di negara berkembang, bentuk informal tersebut terlihat dari adanya kemiskinan dimana penduduk miskin perkotaan cenderung tinggal di ruang-ruang sisa yang ilegal dan tidak terakses prasarana dan sarana dasar. Perkembangan kota di dunia baik di negara berkembang maupun negara maju diiringi dengan permasalahan yang hampir sama (Derycke, 1999), yaitu menurunnya tingkat pelayanan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat kota. Adanya berbagai kelompok sosial yang berkembang di kota menunjukkan adanya segregasi ruang perkotaan. Hal ini terkait dengan adanya perbedaan pendapatan, klas sosial, ras dan etnik. Daerah perkotaan sendiri diklasifikasikan menjadi tiga wilayah yaitu Central Business District (CBD), wilayah transisi, wilayah pinggiran (sub-urban). CBD merupakan bagian dari daerah perkotaan yang memiliki tingkat aksesibilitas dan persaingan penggunaan lahan yang tinggi sehingga memiliki kepadatan bangunan yang tinggi. Selain itu, wilayah ini dilengkapi oleh infrastruktur perkotaan yang paling lengkap di antara wilayah lain untuk menunjang kegiatan yang berada di wilayah CBD. Sedangkan wilayah transisi merupakan wilayah perluasan dari pusat kota atau CBD yang memiliki karakteristik hampir sama dengan pusat kota namun kepadatan bangunan di wilayah ini masih 6
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
lebih rendah daripada kepadatan bangunan di pusat kota. Wilayah pinggiran atau sub-urban merupakan wilayah pinggiran kota yang memiliki ruang terbuka hijau yang masih luas. Selain itu, kepadatan bangunan di wilayah ini paling rendah diantara dua wilayah sebelumnya. Perbedaan karakteristik pada masing-masing bagian wilayah tersebut mempengaruhi perbedaan karakteristik kemiskinan yang terjadi. Karakteristik kemiskinan yang terlihat di wilayah pinggiran misalnya, kelompok penduduk tertentu mengalami kemiskinan yang semakin parah karena mengalami keterbatasan pelayanan prasarana dan sarana publik serta kesempatan kerja yang lebih sempit dibandingkan dengan wilayah lain yang fasilitas perkotaannya lebih lengkap (Feitosa, 2009). Di Indonesia, khususnya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa, migrasi penduduk terutama dari desa-desa (atau daerah-daerah) diikuti dengan berbagai perubahan-perubahan sosial, baik yang ada di tempat tujuan yakni daerah perkotaan, maupun di tempat asal yakni di desa-desa (daerah-daerah). Kemajuan komunikasi, transportasi, keterbukaan wilayah, kelancaran arus informasi dan sebagainya berhasil “mendekatkan” kota-desa dalam segala aspek perubahannya. Kemajuan-kemajuan peradaban yang merupakan sebagian dari elemen-elemen modernisasi ini mendorong orang-orang luar Jawa, orang-orang desa, beramai-ramai masuk ke Jawa terutama ke kota-kota besar untuk mengais kehidupan, tanpa mempedulikan kerasnya persaingan dan agresivitas. Kota Jakarta atau kota-kota metropolitan lainnya menjadi “kota gula” yang dikerubungi “jutaan semut” yang saling memperebutkan dan menghisap sumber-sumber daya yang tidak ditemukan di daerahdaerah atau desa-desa. Ketidakadilan pembangunan antara kota dengan desa menyebabkan orang desa/daerah menjadi frustrasi dan kemudian mendorongnya untuk berpindah ke kota yang menyediakan berbagai sumber daya (resource) (Jelamu, 2006). Sejalan dengan realitas tersebut, Muchtar (2008) dari kajian yang dilakukannya mengemukakan bahwa dalam upaya mencari penghidupan yang lebih baik, migrasi atau perpindahan penduduk 7
Muhtar dkk.
dari satu tempat ke tempat lain tidak mungkin di bendung oleh siapapun. Kondisi itu ditunjang oleh globalisasi yang sedang terjadi dan kemudahan transportasi. Urbanisasi besar-besaran ke kota-kota besar di Jawa telah menyebabkan ratusan ribu bahkan jutaan penduduk daerah/desa meninggalkan daerah/desanya yang berakibat pada terlantarnya tanah-tanah pertanian di wilayah-wilayah perdesaan. Dengan berpindahnya penduduk desa ke kota ada dua masalah besar, yaitu masalah di desa yang ditinggalkan dan masalah di kota, tempat mereka berpindah. Pertama, masalah di desa yang ditinggalkan. Peralihan matapencaharian dari kebiasaan bertani menjadi pekerja di industri-industri berarti perubahan kebudayaan pertanian menjadi kebudayaan perindustrian. Perubahan kebudayaan ini membuat warga desa tercabut dari akar sosial budaya desa dan masuk budaya baru yakni budaya kota dengan segala tuntutannya. Tercabutnya akar sosial warga desa ini mempengaruhi tata nilai dan norma yang mereka anut. Kedua, masalah di kota, tempat yang mereka tuju. Dari segi ketersediaan ruang dan daya tampung kota, penambahan penduduk akibat urbanisasi menambah kepadatan (density), dan heterogenitas. Ketidak-seimbangan antara jumlah penduduk dengan daya tampung kota ini menyebabkan kota menjadi sesak, padat, dan melebihi kapasitas. Di pihak lain, warga desa yang berbondong-bondong berpindah ke kota-kota besar membutuhkan waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan cara hidup kota dengan segala tuntutannya. Bagi warga desa yang mampu bersaing dengan kerasnya kehidupan kota (biasanya jumlahnya sedikit), proses adaptasi sosial bisa dilakukan dengan cepat. Sebaliknya sebagian besar warga desa dengan minim pendidikan, pengalaman, dan keterampilan membutuhkan waktu yang sangat lama bahkan tidak pernah mampu beradaptasi dengan gaya hidup kota. Ketidakmampuan untuk memasuki budaya kota ini berakibat pada terciptanya tindakan-tindakan kriminal dan penyimpanganpenyimpangan sosial di wilayah-wilayah perkotaan (Jelamu, 1999).
8
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung 2. Kemiskinan Perkotaan
Dampak negatif arus urbanisasi yang tidak terkelola dengan baik adalah kemiskinan perkotaan. Potret ini terekam melalui wajah perkotaan, dengan sudut-sudut pemukiman kumuh. Hal ini, dikarenakan sebagian besar kaum urban adalah tenaga tak terdidik yang biasanya menjadi buruh kasar dan memperoleh penghasilan minim. Akibatnya, mereka hanya mampu tinggal di kawasan kumuh dengan segala permasalahannya. Menurut Shalimow (2004), kemiskinan di perkotaan dipicu oleh perkembangan kota yang semakin pesat, tercermin dari pesatnya perluasan wilayah kota, tingginya tingkat urbanisasi, meningkatnya perkembangan ekonomi yang ditandai adanya konsentrasi berbagai macam kegiatan ekonomi, terutama industri, jasa-jasa modern, dan perdagangan. Perubahan sosial dan modernisasi kehidupan telah mengubah kehidupan pola konsumsi, gaya hidup, dan perilaku sosial menuju pada perbaikan kesejahteraan. Terkait kemiskinan perkotaan, salah satu dampak negatif ikutannya adalah kesemrawutan dan kekumuhan. Dari hasil penelitian Sulistyawati (2007) di Kota Denpasar (Bali) menunjukkan bahwa penyebab kesemrawutan tata ruang dan lingkungan kelompok sosial terpinggirkan di kota Denpasar adalah: kelompok masyarakat ini luput dari perencanaan dan sentuhan pembangunan fasilitas kota; kebanyakan kaum miskin ini bermata pencaharian dari sektor informal, ditunjang berbagai bentuk usaha/industri kecil di lahan sempit, sehingga padat fasilitas penunjang dan bercampur dengan limbah buangan industri mereka; mereka cenderung memilih tinggal di kawasan yang paling murah dan dekat dengan pusat kota, walau bertumpuk-tumpuk. Sementara itu dari hasil penelitian Lestari (2006) melalui pendekatan “Sustainable Urban Livelihood (SUL)” menyimpulkan bahwa: (a) tingkat kerentanan masyarakat tergolong sangat tinggi disebabkan oleh kondisi aset keuangan (ketidakpastian penghasilan) dan sumberdaya daya manusia/sumber insani (ketidakpastian mata pencaharian). Dengan
9
Muhtar dkk.
demikian, masyarakat sangat mudah terkena shock, seperti: kenaikan harga akibat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan musibah keluarga. Kerentanan pada aset keuangan yaitu ketidakpastian penghasilan disebabkan oleh faktor SDM, seperti pekerjaan yang mayoritas pada sektor informal (seperti: pedagang dan buruh bangunan yang relatif tidak tetap) dan banyaknya pengangguran. Strategi yang dilakukan untuk menghadapi hal ini yaitu strategi modifikasi konsumsi seperti merubah pola makan dan pola belanja dan strategi menambah pekerjaan seperti membuka warung, buruh cuci, dan lain sebagainya. (b) aset yang berpotensi menimbulkan kerentanan pada masyarakat adalah aset fisik, status kepemilikan lahan yang akan hilang apabila terjadi penggusuran. Sementara itu terkait kekumuhan, dalam beberapa tulisannya, Suparlan (1984) mengungkapkan bahwa ciri-ciri permukiman kumuh adalah: 1. Keadaan rumah dan permukiman serta penggunaan ruangannya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin. 2. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan penduduk yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan tidak terurus tata ruang dan ketidakmampuan ekonomi penghuninya. 3. Permukiman kumuh merupakan satu-satu komuniti yang hidup secara sendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, iaitu terwujud sebagai: a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan kerana itu dapat digolongkan sebagai penghuni bebas. b. Satu komuniti tunggal yang merupakan sebahagian daripada sebuah Rukun Tetangga, atau sebuah Rukun Warga. c. Sebuah komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan penghuni bebas.
10
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
4. Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai sumber pencarian (kerja) dan tingkat kepadatan yang beraneka ragam, begitu juga asal usulnya. Dalam masyarakat permukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berasaskan di atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut. 5. Sebahagian besar penghuni (ahli) permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai sumber pencarian tambahan di sektor informal. Sedangkan menurut Sinulingga (2005) kampung/permukiman kumuh memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Penduduk sangat padat antara 250 - 400 jiwa/ha. Pendapat para pakar perkotaan (MMUDP,90) menyatakan bahawa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara kawasan perumahan yang dibangunkan tidak mungkin lagi memiliki pensyaratan fisiologikal, psikologikal dan perlindungan terhadap penyakit. 2. Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kenderaan roda empat, kerana sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi di sebalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain. 3. Kemudahan perparitan tidak mencukupi dan terdapat jalan-jalan tanpa perparitan sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah tenggelam oleh air. 4. Kemudahan pembuangan air kotor/buangan sangat minimum sekali. Ada di antaranya yang langsung membuang buangan ke saluran yang dekat dengan rumah, ataupun ada juga yang membuangnya ke sungai yang terdekat. 5. Kemudahan penyediaan air bersih sangat minimum, memanfaatkan air telaga cetek, air hujan atau membeli daripada penjual air di sekeliling.
11
Muhtar dkk.
Kemiskinan merupakan keadaan kekurangan barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak, karena standar hidup tersebut berbeda-beda, maka tidak ada konsep kemiskinan yang universal (Levitan dalam Effendi, 1993). Sedangkan menurut Sumodiningrat (1998), kemiskinan adalah wujud dari kesenjangan antar kelompok sosial, jika ditinjau dalam segi keruangan, kemiskinan timbul karena ada sebagian daerah yang belum sepenuhnya tertangani, ada beberapa sektor yang menampung tenaga kerja berlebih dengan tingkat produktivitas yang rendah, dan ada pula kelompok masyarakat yang belum dapat merasakan hasilhasil pembangunan secara memadai. Kemiskinan juga dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu angka ketergantungan rumah tangga yang tinggi, tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya hak kepemilikan dan keamanan aset, pendapatan yang rendah atau pengangguran (Kedir dan McKay, 2005). Berdasarkan kajian teori tersebut, kerangka pikir rapid assessment ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1: Kerangka Pikir Rapid Assessment:
12
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
Terkait pendekatan dalam rapid assessment ini Strauss & Corbin (1990) menyatakan, suatu penelitian dapat saja memakai metodologi yang menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Salah satu jenis penelitian yang memerlukan penggabungan pendekatan kualitatif dan kuantitatif adalah penelitian-penelitian kebijakan (Brannen, 1997). Brannen mencetuskan tiga acuan pokok dalam memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Salah satunya adalah penelitian kuantitatif sebagai fasilisator penelitian kualitatif, yang bermakna: (a) penelitian kuantitatif memberikan data latar belakang yang terukur untuk mengaitkannya dengan studi-studi skala kecil. Ini seringkali diambil dari data-data statistik atau sensus; (b) survei kuantitatif dapat memberikan landasan bagi data kasus dari kelompok-kelompok tertentu yang akan melandasi studi intensif dalam penelitian kualitatif. Rapid assessment ini dilakukan di wilayah DKI Jakarta tepatnya di dua kelurahan dari enam kelurahan bantaran/DAS Ciliwung yang direncanakan. Dua kelurahan dimaksud adalah: (1) Kelurahan Manggarai: 2.390 KK; dan (2) Kelurahan Kampung Melayu: 7.233 KK. Penentuan lokasi tersebut didasarkan atas hasil Rakor Kemenko Kesra tanggal 26 Januari 2012 yang secara lintas sektoral berencana menangani DAS Ciliwung secara komprehensif. Sasaran rapid assessment adalah (perwakilan) warga masyarakat yang tinggal di DAS Ciliwung/lokasi rapid assessment dan aparat instansi instansi terkait yaitu Kelurahan Manggarai dan Suku Dinas Sosial Kota Jakarta Selatan dan Kota Jakarta Timur. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: a. Wawancara, ditujukan kepada warga yang tinggal di DAS Ciliwung, aparat kelurahan dan aparat instansi terkait tersebut; b. Observasi, untuk melihat dari dekat kondisi warga di DAS Ciliwung; c. Studi dokumentasi, mempelajari dokumen yang ada dan relevan.
13
Muhtar dkk.
Data lapangan yang bersifat kuantitatif dilakukan analisis secara kuantitatif-deskriptif. Sementara itu data yang bersifat kualitatif dilakukan analisis deskriptif-interpretatif dengan cara: reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan (Miles & Huberman, 1992). Rapid Assessment ini dilakukan melalui serangkaian langkah, yaitu: (a) Persiapan, berupa: Studi leteratur; Pertemuan-pertemuan dengan Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan Kementerian Sosial; Penentuan tim quick research dan nara sumber; Diskusi baik dengan Kapuslitbangkesos, narasumber, maupun internal tim; dan penyusunan rancangan serta instrumen. (b) Pelaksanaan pengumpulan data. (c) Pengolahan dan analisis data serta penyusunan laporan.
14
BAB II SELAYANG PANDANG DAS CILIWUNG KELURAHAN MANGGARAI DAN KELURAHAN KAMPUNG MELAYU
A. Kelurahan Manggarai Kelurahan Manggarai termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Tebet Jakarta Selatan. Luas Kelurahan Manggarai ini 95.3 hektar dan berpenduduk 34.501 jiwa. Mereka tersebar di 12 Rukun Warga (RW) dan 161 Rukun Tetangga (RT). Kelurahan ini menjadi terkenal, salah satunya adalah karena terdapat pintu air Kali Ciliwung, dan itu juga sebabnya Kelurahan Manggarai ini menjadi salah satu lokasi langganan banjir tahunan di wilayah DKI Jakarta. Dari sisi ketersediaan infrastruktur ekonomi, di wilayah ini terdapat Pasar Raya Manggarai dan Pasar Rumput khususnya bagi para pedagang peralatan saniter bekas. Disamping itu di Kelurahan Manggarai ini juga terdapat pasar kaget yang dapat dikatakan menjadi salah satu faktor penarik para pendatang. Pasar kaget tersebut buka dari sekitar waktu subuh hingga sekitar pukul 09.00-an WIB. Para pendatang tersebut umumnya bekerja di sektor informal, seperti: berjualan di pasar kaget tersebut, pedagang keliling (pedagang kaki lima), tukang ojek, dan lainnya. Dari 12 RW tersebut yang (saat ini) berlokasi pada DAS Ciliwung adalah RW 01 dan 04, dimana RW 10 yang sebelumnya juga termasuk DAS Ciliwung, saat ini RW 10 tersebut telah termanfaatkan sebagai (lokasi) double track kereta api. Wilayah RW 04 dan RW 01 yang dihuni oleh sekitar 7.000-an jiwa tersebut menjadi salah satu langganan banjir tahunan di DKI Jakarta.
15
Muhtar dkk.
Dari sisi infrastruktur sosial, di Kelurahan Manggarai ini terdapat Karang Taruna yang bersekretariat di jalan Manggarai Utara V. Karang Taruna ini dapat dikatakan aktif melakukan kegiatan sosial, yang saat ini sudah memiliki tim rescue penanganan banjir. Selain itu di wilayah ini juga terdapat rumah baca gratis "Zhaffa" yang memberikan akses baca dan mudah di jangkau oleh masyarakat luas khususnya warga Kelurahan Manggarai. Gambar 2: Rumah di DAS Ciliwung
Dokumentasi PSM, 2012
Batas-batas Kelurahan Manggarai dengan wilayah disekitarnya: Pada bagian utara berbatasan dengan kali Ciliwung, pada bagian barat berbatasan dengan Pasar Raya, pada bagian timur berbatasan dengan Kelurahan Bukit Duri dan pada bagian selatan berbatasan dengan dengan Kelurahan Manggarai Selatan.
B. Kelurahan Kampung Melayu Adapun Kelurahan Kampung Melayu dengan luas 47,83 hektar dan berpenduduk 30.400-an jiwa (laki-laki 16.351 orang dan perempuan 14.075 orang) atau 8.323-an KK dan terbagi kedalam delapan RW/112 RT ini Gambar 3: Rumah di DAS Ciliwung merupakan salah satu kelurahan di wilayah Kecamatan Jatinegara Kota Jakarta Timur. Kelurahan Kampung Melayu ke Kantor Kecamatan Jatinegara berjarak sekitar enam kilo meter, dan ke pusat pemerintahan Kota Jakarta Timur berjarak sekitar 12 Km, serta ke pusat pemerintahan Dokumentasi Peneliti, 2012
16
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung Gambar 4: Rumah di DAS Ciliwung
Provinsi DKI Jakarta berjarak + 9 kilometer.
Batas-batas Kelurahan Kampung Melayu dengan wilayah disekitarnya: Pada sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kelurahan Kebon Manggis dibatasi oleh Rel Kareta Api, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kelurahan Balimester yang Dokumentasi Peneliti, 2012 dibatasi Jl. Jatinegara Barat dan Jl. Matraman, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kelurahan Bidaracina yang dibatasi oleh Jl. Kampung Melayu Kecil, dan sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kelurahan Bukit Duri (Jakarta Selatan) yang dibatasi Kali Ciliwung. Kelurahan Kampung Melayu merupakan salah satu wilayah yang sering terkena banjir baik akibat dari besarnya curah hujan yang turun di wilayah DKI Jakarta maupun akibat banjir kiriman. Setidaknya terdapat delapan RW dan 50 RT yang sekurangnya terkena banjir rutin tahunan dengan jumlah Kepala Keluarga sekitar 1.047 KK/4.015 jiwa. Luas areal banjir sekitar 14.039 hektar. Lokasi tersebut memang terletak persis dipinggiran kali (DAS Cilwung) dimana lokasi rumah lebih rendah dari permukaan kali sehingga ketika banjir datang lokasi tersebut selalu terkena banjir. Secara lebih jelas delapan RW/50 RT langganan banjir baik akibat dari besarnya curah hujan yang turun di wilayah Jakarta maupun akibat banjir kiriman di Kelurahan Kampung Melayu tersebut terlihat pada tabel berikut:
17
18
1
2
3
4
5
5
7
8
1
2
3
4
5
6
7
8
4
1
7
10
14
1
1
6
5
4
-
11
-
3
8
9
6
5
-
-
-
4
9
10
9
8
-
-
-
5
10
12
Sumber: Kelurahan Kampung Melayu, 2012.
RW
NO
13
9
-
-
-
6
11
13
14
14
-
-
-
7
13
-
15
15
-
-
-
8
14
-
Tabel 1, Lokasi Banjir di Kelurahan Kampung Melayu:
-
16
-
-
-
9
15
-
RT
-
17
-
-
-
10
16
-
-
-
-
-
-
11
-
-
-
-
-
-
-
12
-
-
-
-
-
-
-
13
-
-
-
-
-
-
-
14
-
-
-
-
-
-
-
15
-
-
-
-
-
-
-
16
-
-
359 KK / 2.067 jiwa
446 KK / 1.975 jiwa
57 KK / 261 jiwa
159 KK / 501 jiwa
122 KK / 473 jiwa
932 KK/ 3.110 jiwa
787 KK / 3.027 jiwa
116 KK / 442 jiwa
KET
Muhtar dkk.
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
Aliran sungai Ciliwung dari Jakarta Selatan hingga Jakarta Timur dengan beberapa lokasi yang dilaluinya terlihat pada gambar berikut: Gambar 5: Daerah Aliran Sungai Ciliwung
Masyarakat yang tinggal pada DAS Ciliwung dapat dikatakan mayoritas penduduk pendatang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan latar belakang budaya yang beragam dan dapat dikatakan pula bermigrasi ke Jakarta karena orientasi ekonomi. Seperti pada umumnya masyarakat migran yang tidak permanen atau biasa dise but migrasi sirkuler yang han.ya tinggal untuk jangka waktu tertentu Sumber: BPSDA Ciliwung Cisadane atau musiman biasanya kurang memperhatikan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Sebagian besar masyarakat pendatang tidak menjadikan tempat domisili barunya seperti mereka memperlakukan kampung halamannya. Dengan tingkat persaingan yang keras dalam memperoleh akses perekonomian maka biasanya terbentuk masyarakat yang cenderung individualistik dan masa bodoh yakni masyarakat gesselschaft yang (sangat) pamrih. Hasil penelitian (anonim) menunjukkan bahwa beberapa kerangka budaya yang muncul pada saat penelusuran sosial ekonomi di wilayah DAS Ciliwung antara lain: 1. Low empathy Masyarakat pendatang yang bekerja di sektor informal dengan tingkat persaingan ekonomi yang tinggi tumbuh menjadi individu-individu yang kurang memiliki atau bahkan tidak memiliki empati terhadap pihak lain. Hal ini terlihat ketika mereka mulai menempati lingkungan di wilayah bantaran Sungai Ciliwung biasanya kurang peduli dengan aturan kependudukan,
19
Muhtar dkk.
sehingga sangat jarang diantara mereka yang terdaftar sebagai penduduk. Fenomena lainnya dapat dilihat pada bangunan tempat tinggal yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan serta perilaku buang sampah ke badan sungai. Berbagai himbauan yang dilakukan oleh pihak kelurahan kurang ditanggapi serius termasuk dalam peringatan dini akan datangnya bahaya banjir. Budaya kurang empati ini semakin jelas muncul ketika mereka berada di tenda-tenda penampungan yang dibangun pemerintah daerah. Beban kelurahan dalam menyediakan keperluan di tenda penampungan seperti memasak tidak dapat dibagikan kepada pengungsi. Pengungsi yang sebagian penjual nasi goreng, gorengan lebih mementingkan memasak dan mempersiapkan kegiatan berdagang daripada berbagi pekerjaan dengan aparat kelurahan di tenda-tenda penampungan. 2. Low participation Partisipasi semua pihak dalam menangani berbagai masalah di tenda-tenda penampungan semestinya dapat berlangsung sinergis terutama antara aparat kelurahan dengan warganya. Akan tetapi hal itu tidak terwujud, karena tingkat partisipasi masyarakat pendatang yang ditampung di tendatenda penampungan tingkat partisipanya sangat rendah. Hal ini semakin mempertajam budaya low empathy yang telah disinggung di atas. Selama masyarakat pendatang terutama para migran sirkuler masih memperlakukan tempat tinggal barunya hanya sebatas untuk urusan ekonomi saja maka rasa memiliki dan kepedulian terhadap penanganan banjir akan tetap rendah. Akibatnya pemerintah daerah selalu dipandang harus menjadi penyelamat dan tempat mereka bergantung. Kebijakan Pemeritan Provinsi DKI Jakarta dalam tata ruang dan wilayah menurut berbagai pihak termasuk masyarakat korban banjir 20
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
ditengarai sebagai salah satu penyebab masalah terbesar dalam bencana banjir di DKI Jakarta. 3. Rational society Masyarakat yang berada dalam tingkat persaingan tinggi dalam memperoleh nafkah cenderung akan melahirkan masyarakat yang sangat rasional. Kerangka budaya rasional dalam hal ini merupakan implikasi dari orientasi masyarakat yang seluruhnya ditujukan untuk kepentingan ekonomi, sehingga semuanya akan dihitung berdasarkan nilai-nilai untung dan rugi. Penduduk yang tinggal di Wilayah Bantaran Sungai Ciliwung sebagian besar merupakan masyarakat rasional yang sangat berorientasi pada ekonomi terutama untuk pemenuhan konsumsi keluarga. Dari hasil penelitian (anonim) juga menunjukkan bahwa berdasarkan wawancara singkat yang dilakukan oleh lembaga independent kepada penduduk sekitar bantaran sungai didapati sebab-sebab digunakannya bantaran sungai sebagai tempat tinggal, antara lain: tersedianya air untuk usaha perekonomian, tempat buangan limbah (padat & cair) yang luas dan bebas, dan bencana “banjir” dianggap sebagai “dinamika hidup” tahunan yang harus diterima sebagai resiko.
21
22
BAB III HASIL RAPID ASSESSMENT DAS CILIWUNG DI KELURAHAN MANGGARAI DAN KELURAHAN KAMPUNG MELAYU
Pada bagian ini dikemukakan hasil dan pembahasan quick research (baca: rapid assessment) terhadap warga DAS Ciliwung baik di Kelurahan Manggarai Kecamatan Tebet Jakarta Selatan maupun Kelurahan Kampung Melayu Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur. Data dan informasi diperoleh dari: (a) perwakilan warga yang tinggal pada RT-RT pada DAS Ciliwung di dua kelurahan tersebut; (b) aparat kelurahan khususnya di Kampung Melayu; (c) pilar pembangunan kesejahteraan sosial (Pekerja Sosial Masyarakat, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan); dan (d) aparat Suku Dinas Sosial (Jakarta Selatan, Jakarta Timur). Kegiatan rapid assessment ini dilakukan pada saat Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sedang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (gubernur). Dalam kondisi demikian, pelaksanaan rapid assessment di lapangan terdapat sejumlah keterbatasan, sekurang-kurannya adalah bahwa dalam kondisi (sedang melakukan) pemilihan kepala daerah, kegiatan rapid assessment tidak memungkinkan dilakukan secara “leluasa” karena (diidentifikasi) terdapat sejumlah “kerawanan”. Disamping itu permasalahan DAS Ciliwung sudah merupakan permasalahan klasik yang dikhawatirkan muncul resistensi dari warga. Atas kondisi itu, rapid assessment ini dilakukan dengan hatihati, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan cara (lebih) mendayagunakan pilar-pilar kesejahteraan sosial (PSM, TKSK) dimana mereka yang lebih aktif (line-up) berkomunikasi langsung dengan warga yang tinggal DAS Ciliwung pada dua kelurahan dimaksud 23
Muhtar dkk.
yang sebelumnya telah diarahkan oleh petugas peneliti. Keterbatasan lain adalah bahwa seyogyanya rapid assessment ini akan dilakukan secara komprehensif baik dari sisi metode, petugas (lapangan), dan alokasi dana. Akan tetapi karena kondisi nyata dilapangan tidak seperti direncanakan, maka Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan sosial (Puslitbangkesos) melakukan rapid assessment ini dalam kondisi keterbatasannya. Berdasarkan kondisi seperti dikemukakan, secara berturut-turut hasil rapid assessment dan pembahasannya dikemukakan sebagai berikut: A. Penyajian Hasil Rapid Assessment 1. Karateristik Responden Responden kegiatan rapid assessment ini adalah warga yang tinggal pada di DAS Ciliwung pada Kelurahan Manggarai Jakarta Selatan dan Kampung Melayu Jakarta Timur. Masingmasing diwakili oleh 20 orang responden dari RT-RT pada DAS Ciliwung di kedua kelurahan tersebut. Dengan demikian dalam rapid assessment ini terdapat 40 responden. Umur responden berkisar antara 40 s/d 80 tahun, dan yang paling banyak berumur antara 50 s/d 60 tahun. Tingkat pendidikan responden antara Sekolah Dasar/Sekolah Rakyat (dulu) sampai dengan Sekolah Lanjutan Atas (SMA/ SMK). Kebanyakan responden berpendidikan Sekolah Dasar/ Sekolah Rakyat, bahkan beberapa responden menyatakan tidak pernah sekolah (Buta Huruf). Lama tinggal responden di DAS Ciliwung pada kedua lokasi tersebut berkisar antara 10 sampai dengan 60 tahun dan paling banyak antara 50 sampai dengan 60 tahun. Secara lebih jelas terlihat pada tabel berikut:
24
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung Tabel 2, Lama Tinggal pada DAS Ciliwung - Manggarai: No
Lama Tinggal
Jumlah
Prosentase
1.
< 10 Thn
-
0
2.
11 Thn - 20 Thn
4
20
3.
21 Thn - 30 Thn
3
15
4.
30 Thn >
13
65
20
100
Jumlah Sumber: Rapid Assessment, 2012.
Tabel 3, Lama Tinggal pada DAS Ciliwung - Kampung Melayu: No
Lama Tinggal
Jumlah
Prosentase
1.
< 10 Thn
4
20
2.
10 Thn - 20 Thn
1
5
3.
21 Thn - 30 Thn
1
5
4.
30 Thn >
14
70
20
100
Jumlah Sumber: Rapid Assessment, 2012.
Dari data tersebut terlihat bahwa responden tinggal di DAS Ciliwung baik di Kelurahan Manggarai maupun Kelurahan Kampung Melayu sebagian besar telah cukup lama yakni diatas 30-an tahun, dimana pada Kelurahan Manggarai mencapai 65% bahkan di Kelurahan Kampung Melayu mencapai 70%. 2. Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi warga DAS Ciliwung pada Kelurahan Manggarai dan Kelurahan Kampung Melayu sekurangkurangnya dapat dilihat dari sisi: (a) pekerjaan atau mata pencarian; (b) kondisi rumah/tempat tinggal; (c) status rumah/ tempat tinggal; (d) luas rumah/tempat tinggal; (e) status kepemilikan tanah rumah/tempat tinggal; (f) sumber air bersih; dan (g) sumber penerangan. Dari sisi pekerjaan atau mata pencarian umumnya warga yang tinggal di DAS Ciliwung bermatapencarian di sektor informal, 25
Muhtar dkk.
seperti: berjualan di pasar, kuli angkut di pasar, berjualan keliling (PKL), ojek, tukang urut/pijit, pemulung dan lainnya. Secara lebih jelas terlihat pada tabel berikut: Tabel 4, Jenis Pekerjaan Warga DAS Ciliwung - Manggarai: NO
Mata Pencaharian
Jumlah
Prosentase
1.
Buruh Harian
6
30
2.
Buruh di Pasar (Kuli Panggul)
1
5
3.
Karyawan Swasta
1
5
4.
Ojek
1
5
5.
Sopir Angkot
3
15
6.
Pemulung
1
5
7.
Lain-lain Jumlah
7
35
20
100
Tabel 5, Jenis Pekerjaan Warga DAS Ciliwung - Kampung Melayu: NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Mata Pencaharian Pedagang Buruh Tukang Urut Guru Honor Sopir Angkot Pemulung Lain-lain Jumlah
Jumlah 5 2 1 1 1 1 9 20
Prosentase 25 10 5 5 5 5 45 100
Selanjutnya, kondisi rumah/tempat warga DAS Ciliwung di dua kelurahan tersebut variatif, dari permanen hingga tidak layak huni. Di Kelurahan Manggarai 55% responden menyatakan bahwa rumah/tempat tinggal mereka dalam kondisi darurat, dan 10% menyatakan tidak layak huni. Sementara itu di Kelurahan Kampung Melayu, 55% responden menyatakan, rumah/tempat tinggal mereka dalam kondisi semi permanen dan 25% tidak layak huni. Secara lebih jelas terlihat pada tabel berikut:
26
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung Tabel 6, Kondisi Rumah Warga DAS Ciliwung - Manggarai No 1 2 2. 3.
Kondisi Rumah Permanen Semi Permanen Darurat Tidak Layak Huni Jumlah
Jumlah 0 7 11 2 20
Prosentase 0 35 55 10 100
Tabel 7, Kondisi Rumah Warga DAS Ciliwung - Kampung Melayu: No 1. 2. 3 3.
Kondisi Rumah Semi Permanen Permanen Darurat Tidak Layak Huni Jumlah
Jumlah 10 5 0 5 20
Prosentase 50 25 0 25 100
Status rumah/tempat tinggal mereka juga variatif, mulai dari kontrak/sewa, milik sendiri, warisan orang tua, dan (masih) ikut orang tua. Di Kelurahan Manggarai, 60% responden menyatakan bahwa rumah/tempat tinggal mereka milik sendiri. Bahkan di Kampung Melayu yang menyatakan rumah/tempat tinggal milik sendiri mencapai 75%, sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 8, Status Rumah/Tempat Tinggal Warga DAS Ciliwung - Manggarai: No
Status Rumah
Jumlah
Prosentase
1.
Kontrak
0
0
2.
Milik Sendiri
12
60
3.
Warisan
2
10
4.
Ikut Orang Tua Jumlah
27
6
30
20
100
Muhtar dkk. Tabel 9. Status Rumah/Tempat Tinggal Warga DAS Ciliwung - Kampung Mela No
Status Rumah
Jumlah
Prosentase
1.
Kontrak
4
20
2.
Milik Sendiri
15
75
3.
Warisan
0
0
4.
Ikut Orang Tua
1
5
Jumlah
20
100
Luas rumah/tempat tinggal mereka umumnya kecil, di Kelurahan Kampung Melayu, 55% respoden menyatakan tinggal pada rumah yang berukuran kurang dari 5 meter persegi. Namun demikian di Kelurahan Kampung Melayu sedikit berbeda, dimana 45% responden menyatakan tinggal pada rumah yang berukuran 7 meter persegi lebih. Secara lebih jelas terlihat pada pada tabel berikut: Tabel 10, Luas Bangunan Rumah/Tempat Tinggal Warga DAS - Manggarai No
Luas Bangunan
Jumlah
Prosentase
1.
< 5 M²
11
55
2.
5,5 M² - 7M²
7
35
3.
7,5 M² >
2
10
20
100
Jumlah
Tabel 11, Luas Bangunan Tempat Tinggal Warga DAS Ciliwung - Kampung Melayu No
Luas Bangunan
Jumlah
Prosentase
1.
< 5 M²
6
30
2.
5,5 M² - 7M²
5
25
3.
7,5 M² >
9
45
Jumlah
20
100
28
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
Status tanah rumah/tempat tinggal mereka 100% responden (warga DAS–Manggarai) menyatakan milik pengairan dan mereka juga memahami bahwa lokasi dimaksud bukan untuk pemukiman. Sementara warga DAS–Kampung Melayu, 50% responden menyatakan mempunyai surat kepemilikan (Hak Guna Bangunan) atas rumah/ tempat tinggal mereka. Hal itu terlihat pada tabel berikut: Tabel 12, Status Kepemilikan Tanah Warga DAS Ciliwung-Manggarai No 1. 2. 3.
Status Tanah Mempunyai Surat Kepemilikan Lain-lain Milik Pengairan Jumlah
Jumlah 0 0 20 20
Prosentase 0 0 100 100
Tabel 13, Status Kepemilikan Tanah Warga DAS Ciliwung - Kampung Melayu: No 1. 2.
Status Tanah Mempunyai Surat Kepemilikan Lain-lain Jumlah
Jumlah 10 10 20
Prosentase 50 50 100
Sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari mereka, 90% responden warga DAS-Manggarai menyatakan menggunakan sumur pompa (umum). Sementara 70% responden warga DAS– Kampung Melayu menyatakan mereka memperoleh air bersih dengan cara membeli, sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 14, Sumber Air Bersih - Manggarai No 1. 2. 3. 4.
Sumber Air PAM Jet-Pam Beli Air Sumur Pompa umum Jumlah
Jumlah 2 0 0 18 20
29
Prosentase 10 0 0 90 100
Muhtar dkk. Tabel 15, Sumber Air Bersih - Kampung Melayu No
Sumber Air
Jumlah
Prosentase
1.
PAM
4
20
2.
Jet-Pam
2
10
3.
Beli Air
14
70
4.
Sumur pompa
0
0
Jumlah
20
100
Sumber penerangan mereka baik warga DAS Ciliwung di Kelurahan Manggarai maupun Kelurahan Kampung Melayu 100% menggunakan listrik meskipun sebagian (kecil) responden menyatakan bahwa mereka memakai lampu penerangan listrik dengan cara numpang tetangga terdekat. 3. Permasalahan, Kebutuhan dan Potensi Dari sisi lingkungan tempat tinggal permasalahan utama yang dihadapi watga DAS Ciliwung di Kelurahan Manggarai dan Kelurahan Kampung Melayu adalah banjir. Penyebabnya antara lain: (a) pada Daerah DAS Ciliwung mengalami perubahan peruntukan lahan yang semula banyak daerah resapan saat ini berubah menjadi permukiman dan daerah urban. (b) Pada beberapa lokasi di alur sungai (khususnya daerah hilir) terjadi pendangkalan dan penyempitan sehingga menyebabkan kapasitas tampungan Sungai Ciliwung berkurang. (c) Pada beberapa lokasi di Sungai Ciliwung (pada daerah hulu Pintu Air Manggarai) terdapat beberapa belokan sungai (meandering) yang menyebabkan kurang lancarnya aliran air banjir pada Kali Ciliwung. (d) Adanya alih fungsi bantaran sungai (dimanfaatkan untuk permukiman, industri, dan usaha perkantoran) sehingga memperkecil penampang basah kali dan menghambat aliran air. (e). Kondisi saluran-saluran drainasi kota yang kurang maksimal karena dipenuhi sampah, sehingga pada saat hujan besar datang, genangan air cepat terbentuk. (f) Digunakannya bantaran di dalam garis sempadan Sungai Ciliwung sebagai
30
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
permukiman (squatter) yang menyebabkan terhambatnya aliran sungai pada saat banjir. Selanjutnya dari sisi lingkungan sosial kepadatan penduduk dan kekumuhan menjadi tak terhindarkan sebagaimana terlihat pada gambar berikut: Gambar 6. Jalan Gang (Siang hari Lampu tetap nyala)
Gambar 7. Sungai Ciliwung menjadi tempat Pembuangan sampah
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2012.
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2012.
Permasalahan kesejahteraan sosial yang menonjol pada DAS di Kelurahan Manggarai dan Kelurahan Kampung Melayu adalah rumah tidak layak huni (RTLH). Secara jelas terlihat pada tabel berikut: Tabel 16, Jenis PMKS di RW 01 DAS Ciliwung Kelurahan Manggarai N0 1 2 3 4 5 6 7
RTLH: 11 KK 15 KK 30 KK 14 KK 13 KK 5 KK 6 KK
Jenis PMKS LUT Anak Putus Sekolah 1 orang 5 Anak -
Sumber: Hasil Rapid Asesment, 2012.
31
Alamat (RT/ RW) 11/01 09/01 10/01 10/01 09/01 11/01 11/01
Muhtar dkk. Tabel 17, Jenis PMKS di RW 04 DAS Ciliwung Kelurahan Manggarai No.
Jenis PMKS
Alamat (RT/RW)
RTLH :
Penyandang Cacat
1
20 KK
-
01/04
2
12 KK
-
03/04
3
6 KK
-
06/04
4
16 KK
-
13/04
5
15 KK
-
11/04
6
16 KK
2 orang
10/04
7
10 KK
-
08/04
Sumber: Hasil Rapid Asesment, 2012.
Dari sisi Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang ada baik di Kelurahan Manggarai maupun di Kelurahan Kampung Melayu antara lain: Karang Taruna (KT), Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), Taruna Siaga Bencana (Tagana), dan Organisasi Sosial (Orsos)/Yayasan/lembaga kesejahteraan sosial. Secara lebih jelas terlihat pada tabel berikut: Tabel 18, Data PSKS pada DAS Ciliwung Kelurahan Manggarai JENIS PSKS NO
Pekerja Sosial Masyarakat
Tagana
Karang Taruna
ALAMAT (RT/ RW)
1
1
1
-
01/0 4
2
-
1
-
02/0 4
3
3
-
1
11/01
4
4
-
-
10/01
5
4
-
-
09/01
6
1
-
-
10/01
Sumber: Hasil Rapid Asesment, 2012.
32
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung Tabel 19, PSKS pada DAS Ciliwung di Kelurahan Kampung Melayu NO 1
4
JENIS PSKS Yayasan Pendidikan Takhsa Dzikra Mardadilah (Pendidikan TK ) Yayasan Bangun Cipta Negeri (Bidang Pendidikan) Yayasan Gembala Baik (Pendidikan dan Panti Asuhan) Yayasan Az-Zahra Mulia
5
PUSAKA 53
6
Yayasan Ruhul Islam
7
Yayasan Bhakti Nurul Iman
8
Rumah Singgah Permata
9
PSAA Parartasi
10
Pusaka 25
11
Pusaka 53
2 3
ALAMAT (RT/RW) Kampun pulo RT. 013/02 No.08
KET. Daftar (baru) Januari 2011
Jl. Matraman Raya No.200 Kel. Kampung Melayu Jl. Jatinegara Barat No.122 RT. 7 RW. 1
Daftar (baru) Maret 2011 Daftar (ulang) Maret 2011
Jl. Jatinegara Barat 1 No.2A RT. 13 RW. 03 Kampung pulo-Kampung Melayu. Jl. Jatinegara Barat 1 No.2A RT. 13 RW. 03 Kampungpulo-Kampung Melayu. Jl. Kebon Pala-Tanah Rendah Gg 1 RT. 06 RW. 7 Jl. Kebon Pala ll No.- Tanah Rendah RT. 06 RW. 05 Kampung Melayu Jl.Kebon Pala ll No. 1 RT. 06 RW. 005 Kel. Kampung Melayu Jl.Jatinegara Barat No. 122 Kelurahan Kampung Melayu. Jl.kampungpulo RT. 009 RW. 002 Kel. Kampung Melayu Jl.Jatinegara Barat 1 No.2A RT. 013 RW 03 Kel. Kampung Melayu
Daftar (ulang) April 2011 Daftar (ulang) April 2011 Mei 2011 -
Terkait aset komunitas/warga pada DAS Ciliwung yang tersedia baik di Kelurahan Manggarai dan Kelurahan Kampung Melayu antara lain aset fisik. Aset fisik misalnya: perumahan/ pemukiman warga, jalan (gang), sarana air bersih (sumur: pompa, jet pump, PAM), mushalla, masjid bahkan bangunan perkantoran. Disamping aset fisik tersebut pada DAS Ciliwung di kedua lokasi tersebut, yang cukup menonjol adalah aset sosial-spiritual dimana pada semua rukun tetangga terdapat majlis ta’lim (pengajian) khususnya bagi kaum ibu-ibu.
33
Muhtar dkk.
Sementara itu aset-aset lain seperti aset finansial, umumnya warga dalam kondisi kemiskinan. Kondisi ini dapat dikatakan berbanding lurus dengan tingkat pendidikan sumberdaya manusia (human capital) warga DAS Ciliwung yang umumnya rendah, rata-rata sekolah dasar bahkan terdapat beberapa warga yang tidak pernah sekolah. Kondisi ini berimplikasi pada kepedulian warga terhadap (kebersihan) lingkungan yang dapat dikatakan rendah pula, dimana salah satu buktinya adalah dijadikannya kali Ciliwung sebagai salah satu tempat pembuangan sampah/limbah baik limbah padat maupun limbah cair. Berdasarkan kenyataan di lapangan tersebut, kebutuhan warga DAS Ciliwung baik di Kelurahan Manggarai maupun di Kelurahan Kampung Melayu adalah terbebasnya dari kebanjiran dan terbebasnya dari permasalahan-permasalahan kesejahteraan sosial khususnya kemiskinan, dalam pengertian, warga DAS Ciliwung di kedua kelurahan tersebut dapat mengakses pelayanan-pelayanan kesejahteraan sosial secara maksimal. 4. Pilihan Relokasi Responden yang tinggal pada DAS Ciliwung baik di Kelurahan Manggarai maupun Kelurahan Kampung Melayu umumnya menyadari bahwa mereka tinggal di area/lokasi yang bukan hak milik mereka (dan tidak diperuntukkan bagi pemukiman). Dengan kata lain ada kesediaan mereka untuk ditata. Informasi tersebut juga diperkuat oleh pilar pembangunan kesejahteraan sosial maupun aparat Suku Dinas Sosial setempat, namun yang perlu diperhatikan adalah dengan cara-cara yang bijak dan manusiawi dan kesabaran. 5. Dukungan Terkait Pilihan Relokasi Kerelaan dan/atau kesediaan mereka yang tinggal pada DAS Ciliwung di dua kelurahan tersebut untuk ditata, diperoleh 34
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
informasi “bersyarat”. Syarat dimaksud adalah “pesangon”. Alasan mereka adalah bahwa sejauh ini selama tinggal di DAS Ciliwung mereka membayar pajak dan iuran lainnya sebagaimana berlaku pada warga masyarakat umumnya. Informasi tersebut juga diperkuat oleh pilar pembangunan kesejahteraan sosial dan aparat Suku Dinas Sosial setempat. B. Pembahasan Hasil Rapid Asessment 1. Kondisi Sosial Ekonomi Pekerjaan atau mata pencarian warga DAS Ciliwung baik di Kelurahan Manggarai maupun di Kelurahan Kampung Melayu 100% adalah di sektor informal seperti: berjualan di pasar, kuli angkut di pasar, berjualan keliling (baca: Pedagang Kaki Lima/ PKL), ojek, tukang urut/pijit, pemulung dan lainnya (Bab III, Hal. 26). Kondisi ini sejalan dengan pendapat Lacabana dan Cariola, 2003 (Bab I, Hal. 6.) bahwa dari aspek ekonomi, kegiatan ekonomi formal di perkotaan yang merupakan bentuk baru integrasi global semakin meluas, namun kegiatan tersebut tidak mampu menyerap pekerja dengan pendidikan dan kemampuan rendah. Pada akhirnya, pekerja dengan produktivitas rendah tersebut bekerja pada sektor informal. Hal itu berkorelasi dengan tempat tinggal mereka bahwa 100% responden menyatakan mereka tinggal pada area yang bukan miliknya dan memang tidak diperuntukkan untuk pemukiman warga, alias mereka tinggal pada area yang dapat dikatakan illegal (Bab III, Hal. 29). Hal ini juga sejalan dengan pendapat Lacabana dan Cariola (2003) bahwa adanya sektor formal dan sektor informal secara spasial terutama ditunjukkan oleh adanya permukiman legal dan illegal. Hal ini terjadi karena bentuk ruang perkotaan yang terbentuk merupakan bentuk kompetisi aktifitas penduduk yang berkembang di dalamnya. Mc Gee, 1995 (Bab I, Hal. 6) juga sependapat dengan kondisi tersebut bahwa pertumbuhan ekonomi menciptakan dinamika perkotaan, 35
Muhtar dkk.
perubahan penggunaan lahan, munculnya permukiman legal dan illegal serta permasalahan lain seperti kerusakan lingkungan, limbah dan transportasi. Jenis pekerjaan dan dan status tempat tinggal mereka mempunyai implikasi yang sangat luas. Kenyataan di lapangan menunjukkan karena mereka bekerja di sektor informal (dan dalam skala kecil-kecilan), mereka tidak cukup mempunyai uang/dana untuk membayar atau sewa tempat tinggal yang layak. Faktanya mereka umumnya tinggal pada rumah semi parmanen bahkan rumah tidak layak huni baik kualitas maupun ukurannya (Bab III, Hal. 27). Keterbatasan warga DAS Ciliwung tersebut juga berkaitan dengan aksesibitas terhadap air bersih. Kenyataan empirik menunjukkan bahwa warga DAS Ciliwung khususnya di Kelurahan Manggarai 80% menggunakan air sumur pompa (umum) dan 70% warga DAS Ciliwung di Kelurahan Kampung Melayu menyatakan untuk mendapat air bersih dengan cara membeli (Bab. III Hal. 30). Kondisi ini sejalan dengan pendapat Sinulingga (2005) bahwa kampung/permukiman kumuh memiliki ciri bahwa aksesibilitas terhadap air bersih sangat minim, memanfaatkan air telaga cetek, air hujan atau membeli dari penjual air keliling. Disamping itu kampung/permukiman kumuh memiliki ciri: (a) Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat para pakar perkotaan (MMUDP,90) menyatakan bahawa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara kawasan perumahan yang dibangunkan tidak mungkin lagi memiliki pensyaratan fisiologikal, psikologikal dan perlindungan terhadap penyakit; (b) Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kenderaan roda empat, kerana sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi di sebalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain; (c) Kemudahan perparitan
36
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
tidak mencukupi dan terdapat jalan-jalan tanpa perparitan sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah tenggelam oleh air; (d) Kemudahan pembuangan air kotor/buangan sangat minimum sekali. Ada di antaranya yang langsung membuang buangan ke saluran yang dekat dengan rumah, ataupun ada juga yang membuangnya ke sungai yang terdekat. Kondisi itu sejalan dengan kenyataan di lapangan seperti terlihat pada gambar 6 dan 7 (Bab. III, Hal. 31) bahwa kepadatan penduduk dan kekumuhan tidak terhindarkan. Antropolog Parsudi Suparlan, 1984 (Bab. I, Hal. 11) memperkuat kondisi tersebut bahwa ciri-ciri permukiman kumuh adalah: 1. Keadaan rumah dan permukiman serta penggunaan ruangannya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin. 2. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan penduduk yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan tidak terurus tata ruang dan ketidakmampuan ekonomi penghuninya. 3. Permukiman kumuh merupakan satu-satu komuniti yang hidup secara sendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai: a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan kerana itu dapat digolongkan sebagai penghuni bebas. b. Satu komuniti tunggal yang merupakan sebahagian daripada sebuah Rukun Tetangga, atau sebuah Rukun Warga. c. Sebuah komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan penghuni bebas.
37
Muhtar dkk.
4. Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai sumber pencarian (kerja) dan tingkat kepadatan yang beraneka ragam, begitu juga asal usulnya. Dalam masyarakat permukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berasaskan di atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut. 5. Sebahagian besar penghuni (ahli) permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai sumber pencarian tambahan di sektor informal. 2. Permasalahan, Kebutuhan dan Potensi Urbanisasi yang tidak terkendali dalam konteks ini DAS Ciliwung berimplikasi pada munculnya kompleksitas permasalahan lingkungan khususnya banjir dan dampak ikutannya sebagai akibat dan sekaligus penyebab. Menurut Mc Gee, 1995 (Bab. I, Hal. 6) permasalahan tersebut antara lain “... munculnya permukiman legal dan ilegal serta permasalahan lain seperti kerusakan lingkungan, limbah dan transportasi. Pada aspek sosial, wilayah perkotaan yang semakin tumbuh dan berkembang juga menyebabkan berkembangnya heterogenitas. Sementara itu menurut Feitosa, 2009 (Bab. I, Hal. 7), karakteristik kemiskinan yang terlihat di wilayah pinggiran misalnya, kelompok penduduk tertentu mengalami kemiskinan yang semakin parah karena mengalami keterbatasan pelayanan prasarana dan sarana publik serta kesempatan kerja yang lebih sempit dibandingkan dengan wilayah lain yang fasilitas perkotaannya lebih lengkap. Derycke, 1999 (Bab. I, Hal. 6), menambahkan menurunnya tingkat pelayanan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat kota. Dari segi ketersediaan ruang dan daya tampung kota, penambahan penduduk akibat urbanisasi menambah kepadatan (density), dan heterogenitas. Ketidak-seimbangan antara jumlah penduduk dengan daya tampung kota ini menyebabkan kota menjadi sesak, padat, dan melebihi kapasitas. Adapun menurut 38
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
Jelamu, 1999 (Bab. I, Hal. 8), warga desa yang berbondongbondong berpindah ke kota-kota besar membutuhkan waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan cara hidup kota dengan segala tuntutannya. Bagi warga desa yang mampu bersaing dengan kerasnya kehidupan kota (biasanya jumlahnya sedikit), proses adaptasi sosial bisa dilakukan dengan cepat. Sebaliknya sebagian besar warga desa dengan minim pendidikan, pengalaman, dan keterampilan membutuhkan waktu yang sangat lama bahkan tidak pernah mampu beradaptasi dengan gaya hidup kota. Ketidakmampuan untuk memasuki budaya kota ini berakibat pada terciptanya tindakan-tindakan kriminal dan penyimpangan-penyimpangan sosial di wilayah-wilayah perkotaan. Permasalahan-permasalahan seperti dikemukakan para ahli dengan sangat mudah ditemukan khususnya pada pemukiman yang padat penduduk, kumuh, miskin dan area yang bukan untuk peruntukan pemukiman. Pendek kata, salah satunya kondisi tersebut adalah bantaran/DAS Ciliwung dalam konteks rapid assessment ini adalah Kelurahan Manggarai dan Kelurahan Kampung Melayu (Bab. III, Hal. 31-32). Mengacu pada kompleksitas permasalahan yang muncul seperti dikemukakan, yang sekurang-kurangnya menurut Sulistyawati, 2007 (Bab I, Hal. 10) karena kelompok masyarakat ini luput dari perencanaan dan sentuhan pembangunan fasilitas kota, dan menurut Lestari, 2006 (Bab. I, Hal. 10) bahwa tingkat kerentanan masyarakat tergolong sangat tinggi disebabkan oleh kondisi aset keuangan (ketidakpastian penghasilan) dan sumberdaya daya manusia/sumber insani (ketidakpastian mata pencaharian) dan aset fisik yang berpotensi menimbulkan kerentanan, status kepemilikan lahan yang akan hilang apabila terjadi penggusuran, maka sekurang-kurangnya dari sisi kebijakan diperlukan regulasi baik pada tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan/atau secara bersinergi antara pemerintah pusat dan
39
Muhtar dkk.
pemerintah daerah tersebut untuk melakukan perencanaan secara baik dan sentuhan pembangunan perkotaan. Dalam kerangka implementasi kebijakan tersebut pemerintah pusat dan daerah sangat dimungkinkan memanfaatkan potensi masyarakat, dalam konteks ini warga DAS Ciliwung di Kelurahan Manggarai dan Kelurahan Kampung Melayu dimana nilai-nilai sosial-spiritual masih kental dalam kehidupan seharihari mereka. Pada warga DAS di kedua kelurahan tersebut majlis ta’lim (pengajian) khususnya di kalangan kaum ibu dan juga arisan sangat mudah ditemukan pada setiap lingkungan (RT) (Bab III, Hal. 33-35). Teknis pelaksanaan (sosialisasi program pembangunan) dalam konteks ini kegiatan pelibatan masyarakat dan tokoh-tokoh pada lokasi-lokasi tersebut, pihak pemerintah sangat dimungkinkan melibatkan mereka baik untuk skala mikro (lokal) bahkan tingkat yang lebih luas dengan mempertahatikan urgensi dan keperluannya. 3. Pilihan Relokasi Dengan mencermati respon/jawaban dan/atau informasi warga DAS Ciliwung baik di Kelurahan Manggarai maupun Kelurahan Kampung Melayu bahwa mereka memahami dan menyadari tinggal di lokasi yang bukan hak milik mereka dan tidak diperuntukkan bagi pemukiman (Bab. III, Hal. 36), maka situasi ini (cukup) kondusif untuk dilakukanya penataan bagi warga warga yang tinggal pada DAS Ciliwung baik di Kelurahan Manggarai maupun Kelurahan Kampung Melayu. Situasi kondusif tersebut relevan bagi kebijakan pemerintah (Bab. I, Hal. 2) yang secara lintas sektoral berencana melakukan penataan pemukiman kumuh bantaran atau daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung secara komprehensif. Hasil Rapat Koordinasi Tingkat Menteri tanggal 26 Januari 2012 tentang penataan pemukiman kumuh DAS Ciliwung tersebut, pada prinsipnya, Kementerian Perumahan Rakyat berencana melakukan pembangunan rumah susun umum sewa (Rusunawa) sebanyak 40
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
21 tower (31.640 unit hunian) dan sarana-prasarana yang mendukungnya (pendidikan, ibadah, niaga dan perbelanjaan serta pelatihan bagi penghuni Rusunawa) pada lahan yang sekarang (masih) digunakan oleh TNI AD dan Kodam Jaya (Berlan) untuk merelokasi sekitar 34.051 kepala keluarga di sepanjang DAS Ciliwung mulai Kelurahan Manggarai hingga Kelurahan Srengseng Sawah. Maupun kebijakan terbaru dimana pemerintah (DKI Jakarta) sekarang berencana membangun “Rumah Susun Berderet”. Rumah Sususun Sewa (Rusunawa), dan yang sejenisnya. 4. Dukungan Terkait Pilihan Relokasi Namun demikian, dukungan bagi warga di DAS Ciliwung di kedua kelurahan tersebut terkait kesediaan untuk ditata adalah bahwa mereka berharap ada uang pesangon atau ganti rugi karena selama tinggal di DAS Ciliwung mereka membayar pajak (Bab. III, Hal. 36). Terkait hal ini diperlukan suatu forum pertemuan antara pihak pemerintah dan masyarakat untuk secara transparan mendiskusikan permasalahan dan kebutuhan bersama. Ini mempunyai makna, yang menurut Sulistyawati, 2007 (Bab I, Hal.10) adalah perlunya keterlibatan kelompok masyarakat yang luput dari perencanaan dan sentuhan pembangunan fasilitas kota.
41
42
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Dari pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa warga yang tinggal pada DAS Ciliwung baik di Kelurahan Manggarai maupun di Kelurahan Kampung Melayu adalah beragam dari sisi etnis, yang oleh karenanya beragam budaya, pendidikan dan latar belakang sosial ekonomi mereka. Dari sisi sosial ekonomi, mata pencarian mereka adalah di sektor informal, seperti: usaha dalam skala kecil-kecilan baik di pasar, keliling/pedagang kaki lima (PKL), buruh harian seadanya termasuk kuli di pasar, tukang urut/pijit, ojek, sopir (angkot), bahkan pemulung, dan masih banyak yang lainnya. Permasalahan lingkungan selama ini adalah banjir sebagai akibat dan sekaligus sebab dan permasalahan turunannya. Permasalahan sosial mereka yang menonjol adalah kepadatan penduduk dan kekumuhan (kemiskinan). Sementara itu potensi yang menonjol pada komunitas DAS Ciliwung dari sisi (aset) spiritual dan sosial adalah pengajian melalui majlis ta’lim dan arisan khususnya di kalangan kaum ibu, dengan sangat mudah ditemukan pada setiap lingkungan RT. Berdasarkan realitas tersebut kebutuhan mereka adalah adalah terbebasnya dari banjir dari sisi permasalahan lingkungan dan kemiskinan dari sisi permasalahan sosial. Terdapat pemahaman dari komunitas DAS Ciliwung bahwa mereka tinggal pada tempat/ area yang bukan hak milik mereka dan bukan untuk peruntukan pemukiman. Kondisi ini (cukup) kondusif sebagai titik awal untuk dilakukanya penataan lingkungan DAS Ciliwung baik di Kelurahan Manggarai maupun Kelurahan Kampung Melayu.
43
Muhtar dkk.
B. S a r a n Mencermati bahwa di era sekarang (baca: globalisasi), arus urbanisasi tidak mungkin dibendung atau hentikan karena adanya pelbagai kemudahan dan menjadi hak semua orang untuk memilih dan menentukan nasibnya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, maka pilihan yang dinilai rasional adalah mengelola fenomena urbanisasi secara bijak. Dalam kaitan itu disarankan: (a) Dari sisi kebijakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan/atau secara bersinergi membuat regulasi yang partisipatif. Riilnya adalah dimungkinkan segera merealisasikan hasil Rakor Tingkat Menteri (26 Januari 2012) tentang penataan pemukiman kumuh DAS Ciliwung dan/atau kebijakan terbaru pemerintah DKI Jakarta sekarang yang berencana membangun “Rumah/Kampung Susun Berderet”, dan sejenisnya; (b) Dari sisi data dan informasi, hasil rapid assessment ini dapat diperluas mengingat keterbatasan seperti dikemukakan dan baru dilaksanakan pada dua kelurahan dari enam kelurahan daerah alir Sungai Ciliwung di DKI Jakarta.
44
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Pengendalian Banjir Sungai Ciliwung. Ashman, Karen K. Kirst & Jr. Hull, Grafton H. 1993. Understanding Generalist Practice. North Canal Street, Chicago, Illionis. Adi, Isbandi Rukminto. 1997. Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas (dari pemikiran menuju penerapan). Jakarta: FISIP-UI Press. Bintarto, R. 1984. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Brockerhorff, M dan Brennan. 1998. The Poverty of Cities in Developing Regions. Population and Development Review 24, no. 1. BPS. Berita Resmi Statistik No. 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012. Budi Wiandjono, R. 1995. Kajian Kesesuaian Program Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus: Daerah Aliran Sungai Ciliwung). Jakarta Effendi, Tajudin Noor. 1993. Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Feitosa, Flávia F, dkk. 2009. Global and Local Spatial Indices of Urban Segregation diakses melalui http://www.dpi.inpe.br/gilberto/ papers/feitosa_camara_ijgis.pdf pada tanggal 10 Pebruari 2012. Lacabana, Miguel dan Cecilia Cariola. 2003. Globalization and metropolitan expansion: Residential Strategies and Livelihoods in Caracas and its periphery, Environment and Urbanization 2003; 15; 65 diakses melalui http://eau.sagepub.com pada tanggal 10 Pebruari 2012. Lestari, B. 2003. Hubungan antara stres lingkungan dengan perilaku coping. Suatu studi pada masyarakat di salah satu RW, Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Jakarta: Universitas Tarumanegara. Marius, Jelamu Ardu. 2006 ,Vol. 2, No. 2. Jurnal Penyuluhan-Kajian Analitik, Perubahan Sosial. 45
Muhtar dkk.
Mc Gee, T.G. 1995. Metrofitting the Emerging Mega-Urban Regions of ASEAN : An Overview dalam The Mega-Urban Regions of Southeast Asia. Vancouver: UBC Press, pp. 1-26. McKay, Andrew dan Abbi M.Kedir. 2005. Chronic Poverty in Urban Ethiopia: Panel Data Evidence dalam Jurnal Internasional Planning Studies Vol.10, No.1, 49-67. Muchtar. 2008. Potret Suram TKI di Malaysia: Tinjauan Empirik. Majalah Informasi Permasalahan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Puslitbang Kessos. Media Indonesia, 4 November 2011. Opini Pikiran Rakyat. 8 April 2010. Urbanisasi dan Kemiskinan Kota. Rakor Tingkat Menteri, Penataan DAS Ciliwung. 26 Pebruari 2012. Shalimow. 2004. Pemberdayaan Sektor Informal Masyarakat Melalui P2KP diakses melalui http://shalimow.com/ pemberdayaan/ pemberdayaan-sektor-informal-asyarakat melalui-p2kpsekedar-abstraksi.html pada tanggal 14 April 2012. Sumodiningrat, Gunawan. 1998. Membangun Perekonomian Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suparlan, P. 2001. Segi sosial dan ekonomi pemukiman kumuh. Retrieved June 10, 2007 fromInformasi sosial interaktif,http:// www.infosocieta.com. Sulistyawati. 2007. Arsitektur dan permukiman kelompok sosial terpinggirkan di Kota Denpasar: Perspektif kebudayaan kemiskinan. Universitas Udayana, Bali. Jurnal Permukiman Natah,5 (2), 62 - 108. Tjiptoherijanto, Prijono. Urbanisasi, Mobilitas dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia.
46
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
SEKILAS EDITOR DAN PENULIS
Bambang Widianto, lahir pada 22 Maret 1953 di Jakarta. Disamping sebagai dosen di Universitas Indonesia (UI), Beliau juga seorang Peneliti di PPSML-UI(Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia). Posisi saat ini adalah Editor pada Jurnal Pembangunan dan Lingkungan PPSML-UI. Pendidikan S1 (Sarjana Antropologi) Beliau tamatkan di UI pada Tahun 1981, Kemudian pada Tahun 1988 meraih Master untuk Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan, masih di Universitas yang sama. Dan pada Tahun 1993 meraih MES (Master in Environmental Studies) dari York University, Toronto, Canada. Muhtar, lahir di Magetan Jawa Timur (1962). Pendidikan terakhir, Pasca Sarjana (S2) Program Studi Sosiologi Kekhusussan Ilmu Kesejahteraan Sosial (FISIP-UI, 2004). Mengawali sebagai Pegawai Negeri Sipil Departemen Sosial R.I. (Depsos) di Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Selatan (1991). Pernah ditunjuk sebagai Pemimpin Proyek Bantuan Kesejahteraan Sosial (1993/1994, 1994/1995). Tahun 1996 pindah ke Depsos-Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial-. Sejak itu, terlibat dalam penelitian permasalahan kesejahteraan sosial, dan sejak 1999 menekuni sebagai peneliti. Topik-topik penelitian yang pernah dilakukan antara lain: Permasalahan Sosial HIV/AIDS, Pemberdayaan Masyarakat, Permasalahan Pekerja Migran (di Singapura dan Malaysia), Permasalahan Daerah Perbatasan Antar Negara (Miangas), dan lain sebagainya. Dalam upaya menyosialisasikan hasil pennelitian, aktif menulis pada majalah dilingkungan Depsos. Short course yang pernah diikuti antara lain: pelatihan peneliti muda, pelatihan analisis dampak lingkungan sosial, pengolahan dan analisis data kuantitatif (SPSS), penulisan populer ilmiah, dan presentation skill. Kursus Bahasa Inggris yang pernah diikuti adalah di FIB-UI (2005-2006) dan di LIA (2006); Saat ini, sebagai dewan redaksi Majalah Jurnal Puslitbang Kesos, dan anggota pengirim berita portal Depsos.
47
Muhtar dkk.
Teti Ati Padmi, lahir di Ciamis (1954). Pendidikan: Sarjana Muda Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung Tahun 1977 dan Sarjana STIA-LAN, tahun 1992. Pernah menduduki eselon IV dilingkungan unit kelitbangan Departemen Sosial (Kementerian Sosial). Kini, ia menjabat sebagai Peneliti Madya. Berbagai penelitian bidang kesejahteraan sosial telah dilakukannya, demikian halnya berbagai karya ilmiah bidang kesejahteraan sosial telah ditulisnya baik dalam bentuk buku maupun jurnal yang diterbitkan secara kelembagaan (Kementerian Sosial). Sugiyanto, lahir di Tawangharjo (1961). Magister Sains Program Studi Ilmu Administrasi Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Publik, Kekhususan Pengembangan Masyarakat (S2), diperoleh dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2005) dan S1 (Sarjana Pendidikan Moral Pancasila dan Kewargaan Negara) diperoleh dari Sekolah Tinggi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (STPIPS) YAPSI Jayapura (1994). Jabatan peneliti: Peneliti Muda Bidang Kesejahteraan Sosial di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI. Aktif mengikuti kegiatan penelitian bidang kesejahteraan sosial, dan berbagai seminar permasalahan sosial di Indonesia. Beberapa hasil penelitiannya telah diterbitkan, baik secara mandiri maupun kelompok, dan tulisanya pernah diterbitkan di JURNAL maupun INFORMASI. Badrun Susantyo, lahir di Sragen pada 20 Agustus 1967.Adalah
peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejehateraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Menyelesaikan pendidikan Sarjana di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, kemudian melanjutkan pendidikan magister di Institut Pertanian Bogor (IPB), untuk program studi Penyuluhan Pembangunan. Gelar Doktor dalam bidang Pembangunan Sosial/Pekerjaan Sosial diraihnya dari Universiti Sains Malaysia (USM) Penang Malaysia.
48
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
INDEKS
A
L
B
I
Aset Komunitas, 33, 45
Banjir, 3, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 30, 31, 34, 38, 43, 45
D
DAS Ciliwung, iii, v, 2, 3, 4, 5, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 34, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 46
G
Globalisasi, 8, 44
K
Kebijakan, v, 1, 5, 13, 20, 39, 40, 41, 44, 48 Kementerian Sosial, 1, 2, 3, 5, 14, 47, 48 Kelurahan Manggarai, iii, v, 2, 4, 13, 14, 16, 23, 24, 25, 26, 27, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 39, 40, 41, 43 Kelurahan Kampung Melayu, iii, v, 3, 4, 13, 16, 17, 18, 23, 26, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 39, 40, 43 Kemiskinan Perkotaan, v, 2, 5, 9, 14, Kepadatan Penduduk, 10, 31, 37, 43 Kumuh, iii, 2, 4, 9, 10, 11, 36, 37, 38, 39, 40, 44, 46 Kampung Susun, iii, 44
Legal, 5, 6, 35, 36, 38,
Illegal, 35, 36
M
Majlis Ta’lim, 33, 40, 43
N
Negara, 1, 2, 6, 10, 37, 47, 48
P
Perpindahan Penduduk, iii, 1, 7 Pemerintah Provinsi DKI, 2 Puslitbangkesos, iv, 3, 24 Pilar Pembangunan Kesejahteraan Sosial, 23, 34, 35, Pasar Kaget, 15, Pemulung, 1, 26, 35, 43, PMKS, 31, 32 PSKS, 32, 33 PSM, 16, 23, 32,
R
Rapat Koordinasi, iii, 2, 40 Rapid Assessment, iii, iv, 4, 5, 12, 13, 14, 23, 24, 39, 44, Rusun, 44
49
Muhtar dkk.
S
Sektor Formal, 6, 35, Sektor Informal, 6, 9, 10, 11, 15, 19, 25, 35, 36, 38, 43, 46 Sosial Ekonomi, v, 19, 25, 35
T
TKSK, 23, 32
U
Urbanisasi, v, 4, 5, 8, 9, 38, 44, 45, 46
50
Rapid Assessment Daerah Aliran Sungai Ciliwung
51