Bulletin Masyarakat Swadaya Air Indonesia – Edisi April 2014 “Peduli Air Untuk Kemakmuran”
Gambar 1: Ilustrasi Outlet Aliran Permukaan di Danau UI (Sumber: Munir, 2014)
Perdebatan Padangan Antara “Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA)” dengan “Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)” Oleh: Ahmad Munir, Pengamat Hidrologi
Pendahuluan Air merupakan sumber daya alam vital dan strategis. Vital karena keberadaannya sangat dibutuhkan dan menjadi basic need (pra-syarat tumbuh dan hidup) bagi kehidupan mahluk. Sedangkan strategis bermakna mempengaruhi hajat hidup orang banyak, menjadi barang publik, dan seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran warga negara. Bahkan di Indonesia, air menjadi barang yang kadang memiliki nilai estetika dengan kandungan spiritual tinggi. Pada berbagai upacara keagamaan dan aliran kepercayaan, air selalu menjadi media ritual yang utama. Maka begitu pentingnya air bagi kehidupan. Walaupun demikian penting, pengelolaan air tidak selalu menjadi perkara yang diprioritaskan. Bukti bahwa air selalu tidak menjadi barang prioritas untuk dikelola di negeri ini adalah tidak adanya kementrian yang khusus menangani sumber daya air. Pengelolaan air sebagai barang vital masih di bawah direktorat jenderal (dirjen). Padahal dalam unit pemerintahan terkecil di 1|
Memasyarakatkan Konsep DAS dalam Pembangunan
Bulletin Masyarakat Swadaya Air Indonesia – Edisi April 2014 “Peduli Air Untuk Kemakmuran”
Indonesia yakni tingkat desa, selalu ada “mantri air” yang kedudukannya bertanggungjawab untuk pemenuhan kebutuhan air bagi warga desa baik irigasi pertanian maupun pangan. Kedudukannya setara dengan sekretaris desa (carik – istilah jawa). Sedemikian penting kedudukan air bagi masyarakat desa, yang umumnya petani sebanding dengan pentingnya air bagi negara agraris, seperti Indonesia. Saat ini, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dibawah kewenangan Badan pengelola DAS (BP DAS). Badan ini tidak bisa berbuat banyak, karena koordinasi kewenanganya lebih banyak pada pengawasan air di kawasan hutan. Air di danau, situ, waduk, sungai itu menjadi kewenangan BP DAS namun pemanfaatan airnya kewenangan Pekerjaan Umum. Bahkan badan adhoc di bawah BP DAS yakni Forum DAS lebih banyak tidak dapat berbuat dikarenakan tidak memiliki kewenangan anggaran, fungsinya memberikan masukan yang lebih dominan tergantung faktor di atasnya. Di sisi lain, objek yang sama yakni DAS diatur oleh dua badan, badan itu ialah Dewan Sumber Daya Air dan Forum DAS. Kesulitan pemisahan kewenangan pada dua badan tersebut adalah Forum DAS (Pengelolaan DAS) sesuai polanya berwenang memberikan masukan pada DAS sedangkan Pengelolaan Sumber Daya Air (Dewan Sumber Daya Air) berwenang memberikan masukan pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air. Bahkan Rencana pengelolaan DAS harus sesuai rencana pengelolaan Sumber Daya Air. Karena di bagian ini, kedudukan rencana pengelolaan sumber daya air sebagai input penataan ruang. Perdebatan di Tingkat Daerah Otonom BP-SDA provinsi Sulawesi Utara berpandangan bahwa kondisi DAS yang ada di Sulawesi Utara, beberapa pengelolaan DAS dibawah kewenangan Balai Besar Sungai atau bisa BP-SDA. Sampai saat ini, perhatian banyak diberikan secara kelembagaan dari UPT, kementrian PU, Kementrian Kehutanan dan Badan Koordinasi pengelolaan DAS. Kemudian, juga ada upaya pembentukan Dewan Pengelolaan Sumber Daya Air (DP-SDA) yang dibentuk dengan SK Gubernur.
2|
Memasyarakatkan Konsep DAS dalam Pembangunan
Bulletin Masyarakat Swadaya Air Indonesia – Edisi April 2014 “Peduli Air Untuk Kemakmuran”
Kondisi Daerah Resapan Air pada DAS di sana sudah sangat berkurang, bahkan telah menimbulan bencana banjir. Umunya banjir terjadi karena banyaknya DAM-DAM kecil yang jebol. Dengan 1000–an DAM yang bobol maka telah terjadi banjir dengan dampak cukup besar di Sulawesi Utara. Pemerintah Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara berpandangan bahwa kebijakan pengelolaan DAS di pusat masih cenderung tidak konsisten. Banyak kegiatan lintas sektor ini berdampak besar pada kondisi DAS, namun kewenanganya masih tumpang tindih. Lalu, timbul pertanyaan siapa yang akan mempertemukan ini dan bagaimana caranya? Secara formal, disarankan teman-teman di Depdagri dan Bappenas mempertemukan pandangan ini dalam forum yang sesuai. Sudah lama telah dibuat forum sumber daya air dan DAS guna menangani konflik tambak dan kehutanan, soal air antar kementrian PU dan kehutanan. Apakah Depdagri mampu menyelesaikan itu dulu? Jika terjawab, maka teman-teman di Depdagri dan Bappenas akan mendapati bahwa pekerjaan ini tidak akan selesai dengan mudah. Pandangan Badan dan Lembaga Berwenang Pengelolaan sumber daya air harus mengacu pada kebijakan tata ruang. Dalam kurun waktu setiap 5 tahun harus di-update. Walaupun timing-nya rencana pembangunan berdasarkan tata ruang untuk jangka waktu 20 tahun. Namun tetap yang menjadi acuan kebijakan penataan ruang. Namun saat ini, pelanggaran tata ruang dalam konteks DAS terlampau besar dan beragam. Sehingga perlu upaya lebih serius, untuk konsisten untuk menyadarkan ketaatan pada ketentuan tata ruang. Dalam kaitanya dengan hal ini, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) bisa berdiskusi kaitanya dengan kondisi tanah di sepandan sungai. Kasusnya tanah di sepandan sungai tidak boleh dimiliki, tetapi banyak yang sudah bersertifikat. Maka solusinya, perlu disosialisasikan bahwa tidak boleh memiliki kembali lahan dibantaran sungai, sekaligus memberikan batasan peruntukan lahan dibantaran sungai, yang sudah “kadung (dalam bahasa jawa)” bersertifikat agar dibatasi pemanfaatannya. Bahkan ada yang dahulunya air, tetapi karena mengalami pendangkalan 3|
Memasyarakatkan Konsep DAS dalam Pembangunan
Bulletin Masyarakat Swadaya Air Indonesia – Edisi April 2014 “Peduli Air Untuk Kemakmuran”
menjadi tanah yang bersertifikat, padahal 10 tahun sebelumnya adalah badan air. Bagaimana mungkin air pada badan air bisa sertifikat? Faktanya itu terjadi, maka banyak hal yang perlu didiskusikan. Saat ini pemanfaatan air dalam suatu wilayah DAS, lebih banyak timbal baliknya dalam bentuk kompensasi ke masyarakat, belum pada tahap membayar jasa lingkungan. Sehingga banyak yang membayar tetapi tidak berdampak pada kesejahteraan dan perbaikan lahan secara keseluruhan. Untuk menuju pada tahap konservasi, sebaiknya konversi lingkungan dicairkan timbal baliknya dalam wujud program. Dalam hal ini, perlu dorongan agar semuanya berfungsi baik, karena pada umumnya semuanya pingin memiliki kewenangan, tapi tidak mau bertindak/bekerja. Ini semakin memperparah kerusakan dalam sistem DAS. Juga diperlukan penetapan pola dan rencana. DAS Pamalicomal contoh yang sudah berjalan kaitanya dengan pengelolaan sumber daya air. Dalam konteks ini, rencana menjadi induk penanganan masalah air. Kalau air tidak lancar, sedangkan rencana pola tidak disesuaikan, maka BPK bisa mengaudit program yang berjalan tidak sesuai rencana. Maknanya tidak ada kematangan konsep dalam pola dan rencana ruang. Masukan Pakar/ Ahli 1.
Dr. Handayanto
Dualisme pandangan pengelolaan sumber daya air karena faktanya batas batas admin tidak selalu berdasarkan pada daerah aliran sungai (DAS), wilayah sungai (WS) pada tiap provinsi. Kenapa penting muncul pengelolaan sumber daya air dengan pengelolaan daerah aliran sungai? Jawabanya, ketika menggunakan batas yuridiksi dengan ketentuan batas administrasi ada yang terputus. Padahal sebenarnya, batas administrasi, DAS dan WS, ketiganya memiliki keterkaitan erat. Antara pola pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan DAS terpadu berkaitan dalam tahap perencanaan. RPJM, RPJP dan Tahunan sangat berkaitan dengan tata ruang. Dalam konteks pembangunan wilayah provinsi kabupaten kota. Pola pengelolaan sumber daya air (Mentri PU) dan Pengelolaan DAS 4|
Memasyarakatkan Konsep DAS dalam Pembangunan
Bulletin Masyarakat Swadaya Air Indonesia – Edisi April 2014 “Peduli Air Untuk Kemakmuran”
(Menhut). Dalam pandangan lain, seperti yang tertuang dalam undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) basisnya bertambah batasan ekoregion. Maka akan semakin komplek, jika konsep batas ini tidak dipadukan. Padahal pengelolaan air dan DAS tidak bisa lepas dari konteks air itu sendiri dan juga termasuk tempatnya air. Dalam hal ini terdapat pada administrasi, DAS, dan WS. Dalam kewenangan ada batas kewenangan sektoral, sehingga konteksnya kewenangannya perlu bersifat koordinatif, khususnya pada DAS yang menunjukkan pola lintas kabupaten/provinsi. Rencana-rencana itu, walaupun saling bertumpang tindih, namun bisa diminimalkan pada proses kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Maka melaui instrument KLHS adalah saatnya memadukan berbagai sektor, yang berbeda tersebut, bertemu dengan satu pandangan. Forum DAS sebagai lembaga voluntery kuncinya adalah interaksi dalam forum itu. Umumnya, kalau kita bukan korban maka kita tidak akan menggebu gebu, karena disitu kurang yang empati, namun sebaliknya jika terdapat korban, maka empati akan tinggi sekali. Sebagai catatan, forum apapaun namanya, ketika dibentuk dan legal sangat diperlukan harmonisasi di tingkat nasional. 2.
Dr. Tarsoen Waryono, M. Sc
Dalam pengelolaan DAS, kemungkinan terjadi konflik besar dan bisa menurunkan kualitas lahan. Sebaiknya, pengelolan DAS mengarah pada pengembalian lahan ke kawasan hijau untuk mencegah sedimentasi tinggi dan terjadinya banjir. Pada konflik tanah yang awalnya hak guna usaha, pada masa itu hendak dikembalikan ke negara, tetapi tidak ada yang menerima dan mengolah, sehingga berkembang menjadi lahan liar yang tidak berfungsi sebagai wilayah konservasi. Mestinya Kemendagri mengambil tanah hak guna usaha yang ada di wilayah kabupaten/provinsi untuk dijadikan kawasan konservasi guna pengelolaan yang yang berlanjut. Seharusnya persis pada moment terbentuknya otonomi daerah,
5|
Memasyarakatkan Konsep DAS dalam Pembangunan
Bulletin Masyarakat Swadaya Air Indonesia – Edisi April 2014 “Peduli Air Untuk Kemakmuran”
mestinya harus langsung menerima dan langsung dikembalikan ke sektor masing-masing. Pada wilayah sempadan sungai, hampir semua terjadi okupasi bantaran sungai oleh penduduk. Kegiatan dan pengendalian badan sungai mulai hilang dan tidak jelas kewenangannya. Hal ini, pada dasarnya harus diatasi dan ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya. Sebagai pembanding, bisa diajukan pertanyaan. Sampai sejauh mana pola perhatian terhadap pengelolan sungai dan pola pengelolaan DAS kalau dibandingkan dengan pola pembangunan daerah perbatasan? Dengan anggaran yang lebih besar pada pengelolan DAS, kenapa tidak dibentuk Dewan Nasional Pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS). Dan DAS itu tidak pernah overlay secara DAS Nasional. Kelebihan ini, bisa menjadi rujukan untuk pembangunan selanjutnya, agar penekanannya pada pengelolaan DAS, namun sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Sehingga tumpang tindih di daerah dapat dihindarkan dan pada saatnya akan menjadi sangat baik, kaitanya dengan pembinaan pengairan di wilayah DAS. Penutup Perbedaan pandangan tentang makna pengelolaan sumber daya air (SDA) dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) sebenarnya telah terpecahkan 30 tahu lalu. Harmonisasi keduanya terletak pada batas kewenangan, Kegiatan kaitanya dengan kehutanan biasanya di daerah hulu sungai biasanya ditangani BP DAS, sedangkan kegiatan PU dibagian tengah dan hilir daerah aliran sungai. Kehutanan bekerja pada bagian konservasi, keanekaragaman hayati dan tata air. Sedangkan PU pada pemanfaatan air. Diantaranya memang ada tumpang tindih (overlap). Ahmad Munir, S. Si Lahir di Wonosobo, 20 Oktober 1988. Gelar Sarjana Sains (S. Si) diperoleh dari Departemen Geografi UI Tahun 2012. Saat ini sedang melanjutkan studi di Program Magister Ilmu Lingkungan, Pascasarjana UI. Aktif menjadi pengamat dan pembicara masalah hidrologi di berbagai media. Aktif berbagi padangan tentang manajemen sumber daya air dan konservasinya serta pencegahan banjir dan kekeringan.
6|
Memasyarakatkan Konsep DAS dalam Pembangunan