MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM YANG BERKELANJUTAN
MOH. HASAN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Model Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang Berkelanjutan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2011 Mohamad Hasan NRP P062054724
ABSTRACT MOHAMAD HASAN. A Policy Model For Sustainable Water Resources Management Of Citarum River Basin. Under the direction of ASEP SAPEI, M. YANUAR J. PURWANTO, AND SUKARDI. The study is intended to analyze (i) the status of sustainability, (ii) prioritization on river basin organization and (iii) appropriate models for sustainable development. The methods of the study are combination of soft and hard system methodology approach (SSM and HSM). The SSM analysis was based on questionaires of expert choice. For the goal (i), the analysis was using descriptive analysis of secondary data on water quality, catchment area degradation and land subsidence as well as Multi Dimensional Scaling (MDS) Model. For goal (ii) and (iii), the analyze were using Analytical Herarchy Process (AHP) and System Dynamic Model respectively. The results of the analyze indicate that the basin is not sustainable. The worst element is enviromental condition. The result of AHP shows that the most prioritized institution to take the role of river basin organization is Perum Jasa Tirta model. The various scenarios of coverage responsibility of PJT II was analyzed with an indicator on cost recovery. The most appropriate shape of PJT II seems to be scenario wherein PJT II is responsible for only reservoir and conveyance infrastructure management. Finally, the recommendations of the study were focussed on three models on institutions, management and financing to ensure the sustainability of the river basin development in the future. Strong recommendation is to establish Coordination Body on Water Resources Management (TK-PSDA) at river basin level, as a central institution, having a vital role on coordination and integration management.
Keyword: Water Resources, Integration, Policy, model, system.
RINGKASAN MOHAMAD HASAN, Model Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang Berkelanjutan, dibawah bimbingan ASEP SAPEI, M. YANUAR J. PURWANTO, dan SUKARDI. Secara global, paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya air (SDA) mencoba menggambarkan daerah aliran sungai (DAS) sebagai sistim ekologi yang terintegrasi, serta mendorong pemangku kepentingan untuk memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Sungai Citarum yang terletak di Propinsi Jawa Barat memiliki potensi SDA yang sangat stategis. Daerah irigasi Jatiluhur merupakan lahan sawah beririgasi terluas di Indonesia dan lumbung padi nasional. Disamping itu, waduk Jatiluhur merupakan pemasok utama air baku untuk keperluan air minum DKI Jakarta. Energi listrik yang dihasilkan melalui bendungan Saguling dan Cirata merupakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang paling besar di Indonesia. Namun demikian, kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan SDA pada daerah aliran sungai (DAS) Citarum ini sangat rumit dengan ruang lingkup kewenangan yang saling tumpang tindih dan tidak terkoordinasi. Akibatnya pengelolaan SDA yang seharusnya dilakukan secara terpadu pada kenyataannya menjadi fragmented. Pengelolaan sungai dan prasarananya telah dikelola secara independen oleh berbagai lembaga pengelola baik oleh lembaga pemerintah (Balai Pengelolaan Sumber Daya Air dan Balai Besar Wilayah Sungai), semi pemerintah (Perum Jasa Tirta II, Perusahaan Listrik Negara dan Perusahaan Daerah Air Minum), swasta (Perusahaan Air Minum Palija dan Aerta) dan persatuan petani pemakai air (P3A). Fragmentasi pengelolaan SDA telah menciptakan polemik kepentingan yang belum terselesaikan diantara berbagai stakeholders. Permasalahan kelembagaan ini berakar dari berbedanya persepsi antara para stakeholders atas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air DAS Citarum. Undang-undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air beserta peraturan turunannya merupakan landasan hukum dalam pelaksanaan pengelolaan SDA secara terpadu. Namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya difahami oleh seluruh stakeholders baik di tingkat pembuat kebijakan maupun ditingkat operasional. Kecenderungan fragmentasi pengelolaan SDA semakin menguat dalam kerangka otonomi daerah. Masing-masing institusi merasa berhak melakukan pengelolaan atau melakukan eksploitasi sesuai dengan tujuan masing-masing. Akibatnya, terjadi tumpang tindih dalam tugas pokok, fungsi dan kewenangan pengelolaannya. Kajian ini bertujuan untuk menganalisa (i) status keberlanjutan, (ii) urutan prioritas dalam penetapan River Basin Organization (RBO) dan (iii) merumuskan model untuk pengelolaan sumber daya air pada DAS Citarum secara berkelanjutan. Metoda penelitian menggunakan pendekatan soft dan hard system methodology. Untuk tujuan pertama, dilakukan analisis deskriptif menggunakan data sekunder pada kondisi air tanah, kualitas air dan daerah tangkapan, kemudian dikombinasikan dengan model Multi Dimensional Scaling (MDS). Sedangkan untuk tujuan kedua dan ketiga, menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) dan model Sistem Dinamik.
Berdasarkan pendapat para pakar (survey MDS) hampir semua dimensi kecuali dimensi teknis dan dimensi sosial budaya menunjukan kondisi yang tidak berkelanjutan. Dimensi lingkungan memiliki nilai indeks yang paling rendah (7,52%) dengan faktor dominan ditujukan pada masih seringnya terjadi kekeringan dan bencana banjir. Permasalahan pada dimensi kelembagaan berakar dari berbedanya persepsi antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten (MDS) atas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air Sungai Citarum. Berdasarkan kuesioner yang dikumpulkan dari 12 stakeholders/pakar yang kemudian dianalisis dengan teknik AHP, diperoleh hasil bahwa alternatif lembaga yang paling tepat untuk melaksanakan fungsi operator sebagai river basin organization (RBO) dalam pengelolaan sumber daya air DAS Citarum adalah alternatip model PJT (korporasi). Sedangkan tujuan dengan prioritas yang paling tinggi adalah kesejahteraan masyarakat, faktor yang paling dominan adalah kelestarian sumber air dan ukuran utama untuk mengukur kinerja adalah akuntabilitas dan transparansi. Selanjutnya prioritas teratas pada masingmasing tingkatan tersebut digunakan sebagai variabel dalam merumuskan model konseptual kebijakan dalam pengelolaan SDA. Perumusan model konseptual kebijakan didasarkan pada prinsip water governance yang demokratis, transparan dan akuntabel dengan pemisahan fungsi ekonomi (yang ditangani korporasi dengan kaidah perusahaan) dan fungsi publik (yang menjadi tugas pemerintah) dengan mempertimbangkan pembagian tanggung jawab yang seimbang antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten. Ruang lingkup tanggung jawab PJT II harus dibatasi hanya meliputi pengelolaan (i) waduk dan (ii) prasarana utama pengatur air (skenario 3). Pengelolaan waduk Saguling dan Cirata yang menjadi aset PLN ditangani oleh unit Operation Center dengan standard operation procedure (SOP) yang jelas. Komponen lainnya menjadi beban APBN, dengan pengaturan: (i) pengelolaan sungai orde dua dan tiga diserahkan kepada Balai PSDA propinsi Jawa Barat melalui mekanisme tugas pembantuan (TP), (ii) pengelolaan irigasi diserahkan kepada pemerintah kabupaten melalui TP-OP, (iii) pengelolaan badan sungai dan pembangunan prasarana tetap menjadi tanggung jawab BBWS, dan (iv) reboisasi kawasan hulu tetap tanggung jawab BP-DAS dengan dukungan partisipasi masyarakat dan swasta. Model pengelolaan sumber daya air yang diusulkan meliputi model kelembagaan, model manajemen dan model pendanaan. Wadah koordinasi TKPSDA, dengan keanggotaan yang seimbang antara unsur pemerintah dan non pemerintah, pada tingkat wilayah sungai atau DAS perlu dibentuk dengan peran sentral pada fungsi koordinasi dan kebijakan operasional strategis yang meliputi pola / rencana pengelolaan SDA, perijinan alokasi air dan rencana tanam. Dengan pembagian tanggung jawab yang jelas sesuai dengan ruang lingkup dan fungsinya maka diharapkan sinergi dalam pengelolaan sumber daya air DAS Citarum dapat dicapai dengan prinsip one river, one plan and one integrated management. Implikasi dari penerapan model kebijakan ini diharapkan dapat (i) meningkatkan kemampuan penyediaan air baku untuk air minum, (ii) meningkatkan kesehatan lingkungan, serta (iii) memperbaiki kondisi finansial PJT II melalui peningkatan revenue.
MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM YANG BERKELANJUTAN
MOH. HASAN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Terbuka:
Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan. Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM.
PRAKATA Ucapan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat-nya sehingga disertasi yang berjudul “Model Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air pada DAS Citarum yang Berkelanjutan” dapat diselesaikan dengan baik. Kebijakan pengelolaan sumber daya air sangat penting untuk dikaji karena sebagai bagian dari ekosistem harus dijaga kelestariannya guna memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan tulus disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS, sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS dan Dr. Ir. Sukardi, MM, masing-masing sebagai anggota komisi, atas segala bimbingan dan pengarahannya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS, sebagai ketua Program Studi PSL dan Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE, dan Dr. Ir. Prawoto, MS, sebagai penguji luar komisi pada ujian prelim, Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng, dan Dr. Ir. Etty Riani, MS, sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan dan Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM, sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, serta Dr. Ir. Rachman Kurniawan, M.Si, Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto, M.Sc., Ir. Iskandar A. Yusuf, M.Sc., Dr. Ir. Suardi, M.Eng, Dr. Ir. Agung Bagiawan, M.Eng., Drs. Waluyo Hatmoko, M.Sc., Ir. Eko Winar Irianto, MT, Ir. Alvadison, yang telah banyak memberikan masukan dan dukungan pada proses penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Direktur Utama PJT I dan PJT II, Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bandung, Perwakilan K-Water Korea dan Japan Water Agency atas dukungan moril dan informasi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana IPB atas saran, masukan dan dukungan dalam penyelesaian disertasi ini. Untuk istri tercinta Nennie Gina dan anak-anak tersayang Kalista, Falah dan Affan terima kasih atas dorongan dan doanya. Untuk Mas Ary dan Mbak Dyah terima kasih banyak atas pengorbanannya.
Bogor, Desember 2011 Moh. Hasan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 9 Mei 1953 di Bandung, sebagai anak keenam dari sembilan bersaudara dari bapak Moh. E. Hasim (alm) dan Ibu Fatimah (alm). Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di Bandung. Pada tahun 1977, penulis menyelesaikan S1 di Jurusan Teknik Sipil, ITB dan pada tahun 1980 menyelesaikan Post Graduate Programme (S2) di Institute of Hydraulic Engineering, Delft, Belanda dengan predikat distinction. Tahun 2006 mulai menempuh program S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB. Mulai tahun 1977 penulis bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum. Kemudian pada tahun 1989 sampai 1994 bertugas di kantor Bank Dunia sebagai Irrigation Officer. Kembali ke Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 1995 sampai sekarang, dengan posisi terakhir saat ini sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan. Penulis mendapat tanda penghargaan Satyalencana Karya Satya XX (2001) dan XXX (2009), Satyalencana Pembangunan (1998) dan Satyalencana Wira Karya (2005). Dalam organisasi profesi, saat ini penulis adalah Ketua Umum ICID – Indonesia (Internationan Commision on Irrigation and Drainage - Indonesia) untuk periode 2011 – 2015, dan Ketua Umum INWEPF Indonesia (International Network for Water and Ecosystem in Paddy Field Indonesia) sejak 2007. Penulis menikah dengan Nennie Gina Anggraenie yang bekerja sebagai wiraswasta dan dikaruniai tiga anak, Kalista Az-Zahra, Moh. Hamzah Nurfalah dan Moh. Harits Nurfauzan. Publikasi ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian disertasi ini telah diterima untuk dipublikasikan pada Jurnal Sumber Daya Air, Vol. 7 No. 2, November 2011, jurnal ini terakreditasi LIPI No. 816/D/2009 tanggal 28 Agustus 2009. Judul artikel “Kajian Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air DAS Citarum”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI …………………………………………………………………… ...
xi
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xvii
BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.3 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 1.4 Perumusan Masalah .......................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 1.6 Kebaruan (Novelty) ...........................................................................
1 3 3 5 8 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumber Daya Air .......................................................... 2.2 Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumber Daya Air ....................... 2.3 River Basin Organization (RBO) ..................................................... 2.3.1 Perkembangan RBO di dunia.................................................. 2.3.2 RBO di Indonesia ................................................................... 2.4 Keterkaitan Pengelolaan SDA dengan Penataan Ruang .................. 2.5 Pembangunan Berkelanjutan ............................................................ 2.6 Multi Dimensional Scaling (MDS) ................................................... 2.7 Analytical Hierarchy Process (AHP) .............................................. 2.8 Pendekatan Sistem ............................................................................ 2.8.1 Analisis Sistem Dinamik......................................................... 2.8.2 Verifikasi dan Validasi Model ................................................
11 18 22 22 27 32 37 42 46 51 53 54
BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 3.2 Rancangan Penelitian ........................................................................ 3.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 3.4 Metode Analisis Data ....................................................................... 3.4.1 Analisis Keberlanjutan ........................................................... 3.4.2 Analisis Prioritas Kebijakan ............................................ .... 3.4.3 Analisis Model Kebijakan .....................................................
55 55 56 58 58 59 60
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Fisik WS Citarum ............................................................... 65
xi
4.1.1. Kondisi Morfologi ............................................................... 4.1.2. Kondisi Tataguna Lahan ...................................................... 4.2. Kondisi Sosio-Ekonomi .................................................................... 4.3. Kondisi Sumber Daya Air ........ ........................................................ 4.3.1. Air Permukaan ......................................................... ............ 4.3.2. Potensi Air Tanah .......................................................... ...... 4.4. Kondisi Lingkungan ....................................................................... 4.4.1.Kondisi Lingkungan Hidrologi DAS ... ................................... 4.4.2 Kejadian Banjir ........................................................................ 4.4.3 Penurunan Muka Air Tanah dan Land Subsidence ................. 4.4.4 Pencemaran Air .......................................................................
66 68 70 71 71 73 74 75 75 77 78
BAB V ANALISIS KEBERLANJUTAN 5.1. Analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) ..................................... 5.1.1 Status Keberlanjutan Dimensi Kebijakan .............................. 5.1.2 Status Keberlanjutan Dimensi Teknis .................................... 5.1.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya........................ 5.1.4 Status Keberlanjutan Dimensi Lingkungan ........................... 5.1.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan......................... 5.1.6 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ................................ 5.2. Analisis Data Sekunder ................................................................... 5.2.1 Analisis Karakteristik DAS .................................................... 5.2.2 Kekritisan Kualitas Air .......................................................... 5.2.3 Kajian Operasi Kaskade Tiga Waduk .................................... 5.2.4 Kajian Water Balance ...........................................................
83 83 84 86 87 89 91 94 95 97 99 108
BAB VII MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN 6.1. Analisis Prioritas Kebijakan ............................................................. 6.2 Perumusan Model Dinamik .............................................................. 6.2.1 Perumusan Rancang Bangun Sub Model ............................. 6.2.2 Simulasi Model ..................................................................... 6.2.3 Validasi Model...................................................................... 6.3 Konsep Kebijakan Pengelolaan SDA ............................................... 6.3.1 Pemisahan Fungsi Publik dan Fungsi Ekonomi ................... 6.3.2 Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat – Daerah .......... 6.4 Aplikasi Model Kebijakan ................................................................ 6.4.1 Model Kelembagaan ............................................................. 6.4.2 Model Manajemen ................................................................ 6.4.3 Model Pendanaan.................................................................. 6.5 Implikasi Kebijakan .........................................................................
111 116 118 121 127 126 129 129 137 137 141 144 147
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ...................................................................................... 151 7.2. Saran .................................... ................................................... ....... 153 xii
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................ DAFTAR ISTILAH ................................................................................................ LAMPIRAN ...........................................................................................................
xiii
155 163 165 167
DAFTAR TABEL Halaman
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Instansi yang terlibat pada DAS Citarum ................................................ .... Perbedaan pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai .............................. Beberapa tipe RBO menurut Hooper ............................................................. Kategori status keberlanjutan DAS Citarum.................................................. Matriks perbandingan/komparasi berpasangan .............................................. Matriks perbandingan berpasangan ............................................................... Formula matriks pendapat individu ............................................................... Tataguna lahan DAS Citarum tahun 1994-2010 ............................................ Kejadian banjir di DAS Citarum Hulu ........................................................... Industri di DAS Citarum ................................................................................ Potensi beban pencemaran industri DAS Citarum ....................................... Potensi beban pencemaran krom dari industri DAS Citarum ........................ Potensi beban pencemaran penduduk di DAS Citarum ................................. Nilai indeks keberlanjutan RAP-Citarum ...................................................... Komparasi dengan hasil analisa Monte Carlo ............................................... Nilai stress dan koefisien determinasi (R2) hasil analisis RAP-Citarum ....... Perhitungan indeks muatan sedimen pada pos Nanjung ............................... Kondisi batas operasi waduk ......................................................................... Batasan pada SOP operasi waduk .................................................................. Proyeksi kebutuhan air .................................................................................. Debit unregulated flow (sungai lain) ............................................................ Ketersediaan air (Jt m3/th).............................................................................. Proyeksi Ketersediaan – Kebutuhan air ......................................................... Hasil simulasi pertumbuhan penduduk .......................................................... Hasil simulasi peningkatan beban pencemar ................................................. Hasil simulasi ketersediaan air DKI Jakarta .................................................. Hasil simulasi revenue dan cost recovery ..................................................... Hasil simulasi revenue dan biaya pengelolaan sumber daya air .................... Data validasi penduduk DKI .......................................................................... Data validasi parameter beban pencemaran ................................................... Skenario pengelolaan prasaran DAS Citarum ............................................... Pembagian kewenangan antar srata pemerintah menurut fungsi ................... Pengaturan tanggung jawab pengelolaan SDA pada DAS Citarum ..............
xiv
4 14 24 43 46 46 47 67 74 77 78 78 79 91 92 92 94 99 100 108 109 110 110 121 123 124 125 126 128 129 132 135 136
DAFTAR GAMBAR Halaman
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kerangka pikir penelitian ......................................................................... .... Hiraerki pengelolaan sumber daya alam air DAS Citarum............................ Kompleksitas pengelolaan SDA .................................................................... Sistem pengelolaan SDA yang berkelanjutan ................................................ Model RBO berdasarkan batasan hidrologi ................................................... Konsep daya dukung lingkungan ................................................................... Konsep pembangunan berkelanjutan ............................................................. Lokasi penelitian DAS Citarum ..................................................................... Diagram alir penelitian................................................................................... DAS Citarum ................................................................................................. Tataguna lahan DAS Citarum ....................................................................... Peta kepadatan penduduk pada Citarum Hulu ............................................... Rata-rata Debit Masuk dan Keluar waduk Jatiluhur ..................................... Neraca air DAS Citarum ................................................................................ CAT Bandung-Soreang (DAS Citarum Hulu) ............................................... Zonasi Penurunan Tanah di DAS Citarum Hulu ........................................... Industri dengan kadar COD tidak sesuai BMLC di DAS Citarum Hulu ....... Beban pencemaran Gabungan ........................................................................ Nilai Storet Sungai Citarum 2009 .................................................................. Indeks keberlanjutan dimensi kebijakan ........................................................ Peran atribut dimensi kebijakan ..................................................................... Indeks keberlanjutan dimensi teknis ............................................................. Peran masing-masing atribut dimensi teknis ................................................. Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya .................................................. Peran masing-masing atribut dimensi sosial budaya ..................................... Indeks keberlanjutan dimensi lingkungan...................................................... Peran masing-masing atribut dimensi lingkungan ......................................... Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan ................................................. Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan ...................................... Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi.......................................................... Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi ............................................. Diagram layang-layang (kite diagram) Rap-Citarum .................................... Pola aliran pada pos AWLR Nanjung ............................................................ Hasil analisis indeks ratio kekritisan tahun 2001-2005 ................................ Indeks Muatan Sediman pada Pos Nanjung .................................................. Profil kualitas air sungai Citarum .................................................................. Indeks bio akumulasi pada ikan dan indeks diversitas DAS Citarum .......... Skema jaringan sistem hidrologi di DAS Citarum ........................................ Kondisi debit air yang masuk ke Waduk Saguling ........................................ T.M.A maksimum di Waduk Saguling dengan menahan TMA + 644 m ...... xv
4 7 11 16 22 35 38 53 56 64 66 67 70 70 71 76 77 80 80 81 82 83 83 84 85 86 87 88 88 89 90 91 93 94 95 96 97 98 100 102
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
T.M.A maksimum Waduk Cirata dengan menahan TMA + 222 m .............. T.M.A Maksimum Waduk Jatilihur dengan outflow debit 200 m3/s ............ Pola operasi bendungan Saguling tahun 2011 ............................................... Pola operasi bendungan Cirata tahun 2011 .................................................... Pola operasi bendungan Jatiluhur tahun 2011................................................ Proyeksi kebutuhan air .................................................................................. Prioritas kebijakan pengelolaan SDA ............................................................ Grafik kriteria tujuan ...................................................................................... Grafik kriteria faktor ...................................................................................... Grafik kriteria level kinerja ............................................................................ Grafik kriteria level alternatif ........................................................................ Causal loop model pengelolaan sumber daya air Citarum ............................ Stock-flow diagram sub-model sosial kependudukan .................................... Stock-flow diagram sub-model lingkungan .................................................... Stock-flow diagram sub-model nilai-nilai ekonomi ...................................... Hasil simulasi pertumbuhan penduduk .......................................................... Hasil simulasi pemenuhan kebutuhan ............................................................ Hasil simulasi peningkatan beban pencemar ................................................. Hasil simulasi ketersediaan air DKI Jakarta .................................................. Hasil simulasi cost recovery .......................................................................... Hasil simulasi revenue dan biaya pengelolaan SDA ..................................... Perbandingan jumlah penduduk DKI Jakarta aktual dan simulasi ................ Perbandingan revenue aktual dan simulasi .................................................... Perbandingan beban pencemaran aktual dan simulasi ................................... Hasil simulasi cost recovery ......................................................................... Kerangka interaksi kelembagaan pengelola SDA.......................................... Model kelembagaan ...................................................................................... Model manajemen .......................................................................................... Model pedanaan ............................................................................................. Proyeksi pemenuhan kebutuhan air minum setelah kebijakan ...................... Proyeksi peningkatan kondisi lingkungan sesudah kebijakan ....................... Proyeksi cost recovery PJT II setelah kebijakan ............................................
xvi
102 103 105 105 105 109 113 114 114 115 115 116 119 119 120 121 122 123 124 125 126 128 129 129 132 138 140 142 146 148 149 149
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
No 1 2 3 4 5 6
Kebijakan pengelolaan sumber daya air .................................................. .... Prasarana pada DAS Citarum ........................................................................ Multi dimensional scaling .............................................................................. Hasil kuesioner AHP ...................................................................................... Diagram alir sistem dinamik .......................................................................... Persamaan model sistem dinamik pengelolaan SDA pada DAS Citarum .....
xvii
167 169 175 178 179 181
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang terletak di daerah tropis merupakan negara dengan ketersediaan air yang cukup, namun secara alamiah Indonesia menghadapi krisis dalam memenuhi kebutuhan air bersih karena distribusinya yang tidak merata sehingga air yang dapat disediakan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan, baik dalam jumlah maupun mutu. Menurut Bank Dunia (2006) dalam Ruzardi (2007) dari 230 juta penduduk Indonesia, hanya 108 juta penduduk atau sekitar 47% yang memiliki akses air terhadap air bersih yang aman untuk dikonsumsi. Ini menunjukkan bahwa 53% penduduk Indonesia belum mendapatkan air bersih. Padahal, menurut sumber yang sama 6% potensi air dunia atau 21% potensi air Asia terdapat di Indonesia (Country Report, 2006). Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat terutama dalam dekade terakhir telah mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya air (SDA) dan meningkatnya daya rusak air. Krisis SDA telah terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia. Pulau Jawa misalnya, yang hanya memiliki ketersediaan air sebesar 6% dari total ketersediaan air Indonesia harus melayani penduduk lebih dari 55%. Sungai Citarum yang terletak di Propinsi Jawa Barat memiliki potensi SDA yang sangat strategis. Daerah irigasi Jatiluhur merupakan lahan sawah beririgasi terluas di Indonesia dan lumbung padi nasional. Disamping itu, waduk Jatiluhur merupakan pemasok utama air baku untuk keperluan air minum DKI Jakarta. Energi listrik yang dihasilkan melalui bendungan Saguling dan Cirata merupakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang paling penting di Indonesia. Namun demikian, kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan SDA pada daerah aliran sungai (DAS) Citarum ini sangat rumit dengan ruang lingkup kewenangan yang saling tumpang tindih dan tidak terkoordinasi. Akibatnya pengelolaan SDA yang seharusnya dilakukan secara terpadu pada kenyataannya menjadi fragmented. Pengelolaan sungai dan
prasarananya telah dikelola secara independen oleh
berbagai lembaga pengelola baik oleh lembaga pemerintah (Balai Pengelolaan Sumber Daya Air dan Balai Besar Wilayah Sungai), semi pemerintah (Perum Jasa
2
Tirta II, Perusahaan Listrik Negara dan Perusahaan Daerah Air Minum), swasta (Perusahaan Air Minum Palija dan Aerta) dan persatuan petani pemakai air (P3A). Fragmentasi pengelolaan SDA telah menciptakan konflik kepentingan yang belum terselesaikan diantara berbagai stakeholders. Permasalahan kelembagaan ini berakar dari berbedanya persepsi antara para stakeholders atas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air DAS Citarum. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air beserta peraturan turunannya sebenarnya sudah menerapkan kaidah-kaidah pengelolaan SDA secara terpadu. Namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya difahami oleh seluruh stakeholders baik di tingkat pembuat kebijakan maupun ditingkat operasional. Kecenderungan fragmentasi pengelolaan SDA semakin menguat dalam kerangka otonomi daerah. Pemda ingin mendapatkan kendali yang lebih kuat dalam pengelolaan SDA yang berada dalam jurisdiksi wilayah administrasinya agar dapat memanfaatkan SDA yang lebih besar sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Masing-masing institusi merasa berhak melakukan pengelolaan sesuai dengan tujuan masingmasing. Akibatnya, terjadi tumpang tindih dalam tugas pokok, fungsi dan kewenangan pengelolaannya. Dampak dari kerancuan kelembagaan ini secara langsung atau tidak langsung dirasakan oleh masyarakat. Perubahan tata guna lahan akibat pertumbuhan penduduk telah menyebabkan menurunnya luas hutan dalam dua dekade terakhir. Luas hutan pada awal dekade „90 masih diatas 30% telah turun dibawah 10% pada tahun 2010. Akibatnya, terjadi sedimentasi dan pendangkalan pada badan sungai sehingga menurunnya kapasitas aliran sungai yang berdampak pada meningkatnya bencana banjir pada kawasan Bandung selatan. Prasarana di sepanjang zona hulu dan tengah terdapat beberapa bangunan air dan tiga waduk besar (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur). Jumlah prasarana yang dimiliki dan kapasitas waduk yang cukup besar (mencapai tiga milyar meter kubik secara keseluruhan) seharusnya pengelolaan sumber daya air dapat dikendalikan dengan baik. Namun kenyataannya bencana banjir dan kekeringan di zona hilir masih sering terjadi. Kondisi kualitas air terus memburuk sejak 20 tahun terakhir. Akar permasalahannya terutama disebabkan oleh beban pencemaran di zona hulu. Kadar BOD,COD serta koli tinja terus meningkat melewati standar baku mutu.
3
Kondisi air tanah pada DAS Citarum Hulu mengalami penurunan akibat pengambilan air tanah yang berlebihan (over-pumping) oleh industri. Penurunan air tanah ini lebih lanjut menjadi penyebab terjadinya land subdidence yang cukup signifikan sehingga memperparah resiko genangan banjir. Kondisi semacam ini akan dihadapi dalam praktek pengelolaan SDA pada sebagian besar daerah aliran sungai di Indonesia sehingga diperlukan penelitian untuk merumuskan model kebijakan dalam pengelolaan SDA daerah aliran sungai (DAS) yang dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak secara adil dan berkelanjutan. Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada pengelolaan sumber daya air permukaan, meskipun secara terbatas menyinggung keterkaitannya dengan sumber daya lahan pada kawasan hulu khususnya dalam konteks tinjauan secara holistik. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian adalah merumuskan model kebijakan pengelolaan SDA pada DAS Citarum yang berkelanjutan dengan memperhatikan harmonisasi aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Penelitian ini juga memiliki tujuan khusus untuk mendukung perumusan kebijakan, yaitu: 1. Menganalisis sejauh mana status keberlanjutan DAS Citarum ditinjau dari berbagai prespektif; 2. Menganalisis urutan prioritas dalam merumuskan sistem pengelolaan SDA pada DAS Citarum yang berkelanjutan berdasarkan tujuan, kinerja serta alternatif lembaga pelaksananya; 3. Merumuskan model kebijakan pengelolaan SDA pada DAS Citarum yang berkelanjutan dengan memperhatikan pemisahan fungsi publik – fungsi ekonomi serta keseimbangan kewenangan pusat – daerah. 1.3 Kerangka Pemikiran Saat ini pengelolaan SDA pada DAS Citarum sangat kompleks dengan banyaknya stakeholders yang terlibat di dalamnya (Tabel 1). Selain itu, kerangka otonomi daerah juga turut memperkuat berbagai masalah yang bisa menghambat pengelolaan alokasi SDA secara berkelanjutan. Permasalahan tersebut antara lain adanya inkonsistensi perencanaan dan fragmentasi pengelolaan, yang juga
4
menyebabkan tidak terkelolanya (unmanageable) alokasi SDA pada DAS Citarum. Permasalahan ini menyebabkan makin kritisnya kondisi DAS Citarum yang ditunjukkan antara lain dengan adanya bencana banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau, serta pencemaran limbah yang semakin meningkat. Tabel 1 Instansi yang terlibat pada DAS Citarum No
Nama Lembaga
Jenis Lembaga
Dasar Hukum
Peran
1
Perum Jasa Tirta (PJT) II
BUMN
PP 07/10
Operator
2
Pemerintah Pusat Pemda Kabupaten BUMN
PERMEN No. 26/PRT/M/2006 PERDA No. 15 tahun 2000 PERMEN
Operator Operator
APBD
4
Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Balai Pendayagunaan SDA (BPSDA) PLN
Sumber Dana Sendiri (Jasa Air) APBN
PLTA (Waduk Saguling dan Cirata)
Sendiri (Jasa Listrik)
5
BP - DAS
Pemerintah Pusat
Konservasi Wilayah Hulu Sungai
APBN
3
Kebijakan Otonomi Daerah
Perubahan Paradigma Pengelolaan SDA Global
UU No. 07/2007 Sumber Daya Air
Pembangunan Berkelanjutan
Kondisi DAS Citarum
Model Pengelolaan SDA pada DAS Citarum Tumpang Tindih Kelembagaan
Fragmentasi Pengelolaan
Inkonsistensi Perencanaan DAS
Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air Kebijakan Kelembagaan Kebijakan Manajemen
Stakeholders
Kebijakan Pendanaan
Pengelolaan SDA pada DAS Citarum
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian Secara global pengelolaan DAS telah mengalami perubahan paradigma dari semula bersifat hydrocentric, yang memandang air sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi secara maksimun, menjadi pengelolaan berwawasan
5
lingkungan. Dalam paradigm baru ini air dipandang sebagai bagian dari ekosistem, oleh karena itu pengelolaannya lebih mengedepankan pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan. Keadaan ini telah mendorong ditetapkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang mendorong pengelolaan SDA dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Namun demikian dalam operasionalisasi di lapangan masih terjadi kesenjangan. Implementasi paradigma baru dilapangan bisa dilakukan dalam pengelolaan SDA pada DAS Citarum melalui penguatan berbagai aspek, terutama pada aspek kelembagaan, manajemen dan pendanaan. Penguatan pada aspek kelembagaan diharapkan mampu meningkatkan sinkronisasi dan memperjelas fungsi masing-masing instansi, serta membangun wadah dan mekanisme koordinasi yang efektif. Penguatan pada aspek manajemen diharapkan mampu meningkatkan fokus pengelolaan pada tiga pilar utama yaitu berwawasan
lingkungan,
berkeadilan
sosial
dan
pendanaan
yang
berkesinambungan. Penguatan pada aspek pendanaan diharapkan mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumber pendanaan secara transparan dan akuntabel sebagai pendukung pengelolaan SDA pada DAS Citarum secara terpadu dan berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan sistemik guna memperbaiki pengelolaan SDA pada DAS Citarum secara lebih holistik, terpadu dan efektif agar mampu mendukung pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut dapat dilaksanakan bilamana kebijakan yang menjadi landasan operasional dalam pengelolaan SDA ditata kembali dalam bentuk model kebijakan, yang mengatur aspek kelembagaan, manajemen dan pendanaan. 1.4 Perumusan Masalah Perkembangan kawasan pada DAS Citarum dalam dua dekade terakhir tumbuh sangat pesat yang dimotori oleh pembangunan sektor industri (60% terhadap PDRB) serta pembangunan permukiman dan pusat-pusat perniagaan. Pertumbuhan tersebut membutuhkan peningkatan pelayanan penyediaan yang lebih layak dan terjamin. Namun penyediaan pelayanan sumber daya air oleh pemerintah tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan tersebut, sehingga akibatnya telah terjadi kesenjangan (gap) antara kemampuan pelayanan dengan
6
harapan masyarakat. Kondisi ini terjadi pada penyediaan air baku untuk berbagai keperluan (air minum, perkotaan dan industri). Akibatnya, para pengusaha industri memilih memompa air tanah, sehingga pemanfaatan air tanah yang berlebihan (over pumping) sulit untuk dikendalikan. Permukaan air tanah (groundwater table) menurun dengan cepat, tidak dapat diimbangi oleh proses imbuhan kembali secara alami (natural recharge). Bahkan di beberapa tempat terjadi penurunan permukaan tanah (land subsidence) yang sangat mengganggu lingkungan. Pembangunan yang tidak taat asas, dan pelaksanaan yang kurang peduli rencana tata ruang, berdampak negatif pada kemampuan daya dukung lingkungan. Kondisi ini terutama terjadi di cekungan Bandung yang merupakan bagian hulu sungai Citarum. Kondisi lain yang juga sangat mencemaskan adalah menurunnya kualitas air dan sumber air. Sumber beban pencemar pada sungai Citarum berasal dari permukiman, industri dan pertanian/peternakan/perikanan. Limbah padat maupun cair dari permukiman merupakan pencemar utama. Kesadaran masyarakat yang belum tinggi menyebabkan mereka memanfaatkan potensi DAS Citarum sebagai tempat membuang limbah rumah tangganya. Pada kota-kota besar seperti Bandung yang penduduknya sangat padat, banyak masyarakat yang bertempat tinggal di tepi sungai. Hampir semua bantaran sungai telah menjadi permukiman yang sangat padat. Demikian pula industri di Citarum Hulu, belum semua pengusaha mentaati standar limbah yang boleh dibuang ke badan air (effluent standard). Pada saat ini, kecuali untuk beberapa industri, tidak ada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di daerah tersebut. Kualitas air permukaan sangat rendah, sehingga terjadi peningkatan penyakit dan lain-lain. Berubahnya tataguna lahan dalam dua dekade terakhir telah menyebabkan fungsi resapan daerah tangkapan menurun sehingga aliran permukaan (run off) menjadi sangat besar. Dengan kapasitas daya tampung sungai yang tetap bahkan menurun akibat penyempitan maka dapat dipastikan dampaknya adalah bencana banjir. Sebaliknya pada musim kemarau aliran dasar (base flow) menjadi sangat kecil yang menimbulkan kekeringan. Hal ini terjadi terutama akibat ulah manusia (human interference), antara lain masyarakat memanfaatkan kawasan hulu
7
menjadi lahan budidaya. Perlindungan terhadap daerah resapan dan upaya penegakan hukum yang tegas belum dapat dilaksanakan. Dilain pihak, dalam dekade terakhir telah pula terjadi pergeseran cara pandang masyarakat, antara lain: (1) air tidak hanya mempunyai nilai sosial tetapi juga memiliki nilai ekonomi; (2) pemerintah tidak lagi berperan sebagai penyedia (provider) tetapi menjadi pemberdaya (enabler); (3) pembangunan prasarana tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah tetapi dituntut peran serta masyarakat dan sektor swasta secara aktif; (4) kewenangan dan tanggung jawab pemerintahan berubah dari sentralistrik ke arah desentralistik; dan (5) petani tidak hanya pemakai air tetapi menjadi pengelola air. Perubahan ini semakin memperbesar gap antara tuntutan masyarakat dengan kinerja pelayanan dalam pengelolaan SDA. Dorongan ekonomi dari masyarakat kadangkala bertentangan dengan kebijakan pemerintah untuk menciptakan lingkungan sungai yang bersih, sehingga seringkali menimbulkan bentrokan. Oleh karena itu permasalahan di DAS Citarum menjadi lebih kompleks dan memerlukan perhatian yang khusus. Diperlukan usaha dan kerja keras dari setiap instansi untuk mewujudkan hal ini. Beberapa instansi yang terlibat dalam pengelolaan
SDA pada DAS Citarum
berdasarkan hierarkinya dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Tingkat Pusat
Presiden Dewan SDA Nasional Kem. PU
Kem. Dalam Negeri
KemNeg. BUMN
Kem. Kehutanan
Ditjen SDA
Tingkat DAS
Pem. Prov. Jabar
BBWS Citarum
PJT II
PLN
BPSDA Citarum
BPDAS
Wilayah Sungai Citarum
Keterangan :
: Garis Komando
: Garis Koordinasi
Gambar 2 Hierarki pengelolaan sumber daya air DAS Citarum
8
Beberapa instansi dalam pengelolaan sumber daya air yang memiliki fungsi dan kepentingan sektoral sebagai kepanjangan tangan dari kementerian terkait. Namun demikian, pada kenyataannya terdapat instansi yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang sama. Kondisi ini menimbulkan permasalahan pengelolaan yang terfragmentasi, sektoral dan terjadinya konflik kepentingan. Terlebih-lebih, lemahnya koordinasi antar lembaga dan belum adanya master plan pengembangan DAS Citarum menyebabkan pengelolaan SDA menjadi tidak efektif. Pada perspektif ini, ketidak-efektifan tersebut dapat diukur dari masih seringnya kejadian bencana banjir, kekeringan, belum terpenuhinya kepentingan masyarakat dalam mengakses air untuk kebutuhan hidupnya serta menurunnya kondisi lingkungan keairan. Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa permasalahan DAS Citarum demikian kompleks sehingga perlu penanganan yang komprehensif dan holistik. Faktor kebijakan merupakan faktor kunci dalam memecahkan masalah ini. Konsep kebijakan baru perlu dirumuskan, kebijakan tersebut harus fleksibel dan mampu menjawab terjadinya perubahan yang dinamis terhadap proses pengambilan keputusan, proyeksi peningkatan jumlah penduduk, tata guna lahan dan perubahan tingkat kebutuhan sosial masyarakat. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pengelolaan SDA dimasa yang akan datang. Manfaat penelitian secara lebih rinci adalah: 1. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pertimbangan dalam penataan kelembagaan pada pengelolaan SDA pada DAS Citarum yang meliputi: (i) pemisahan fungsi yang jelas antar masing-masing instansi serta mekanisme kerja dan tata cara koordinasinya, (ii) prosedur operasionalisasi pengelolaan SDA, (iii) skema pendanaan untuk setiap kegiatan. 2. Hasil penelitian dapat digunakan untuk memahami pentingnya pengelolaan SDA secara holistik sehingga dapat memberikan peluang pada: (i) meningkatkan pelayanan ketersediaan air minum dan irigasi, (ii) memperbaiki kesehatan lingkungan dan (iii) menurunkan resiko bencana banjir dan kekeringan.
9
3. Penelitian akan melengkapi kajian pengelolaan sumber daya air dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang menekankan pada pendekatan kelembagaan yang berimbang antara pusat – daerah serta pemisahan fungsi publik dan fungsi ekonomi atas air. 1.6
Kebaruan (Novelty) Berkaitan dengan segi metode penelitian, kebaruan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kesisteman dengan memadukan beberapa teknik analisis, yaitu: (1) Pendekatan teknik multy dimensional scalling dengan Rap-Citarum (Rapid Appraisal for Citarum) yang mengintegrasikan dimensi kebijakan, kelembagaan, teknik, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan; (2) Pendekatan proses hirarki analisis atau AHP (analytical hierarchy process) untuk menentukan prioritas tujuan, kinerja serta kelembagaan pada pengelolaan SDA; serta (3) Penggunaan sistem dinamik untuk pemisahan fungsi publik dan fungsi ekonomi, kemudian penggabungan atas ketiga teknik analisis tersebut dalam proses perumusan model kebijakan dalam pengelolaan SDA pada DAS Citarum yang terpadu dan berkelanjutan. Kebaruan dari segi hasil adalah dirumuskannya model kebijakan pengelolaan SDA pada DAS yang berbasis kelembagaan terpadu dengan memperhatikan keseimbangan kewenangan Pusat – Daerah dan pemisahan fungsi ekonomi dan fungsi publik yang jelas.
10
11
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumber Daya Air Air merupakan sumber daya alam yang strategis dan vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan serta keberadaannya tidak dapat digantikan oleh materi lainnya (Dinar et al., 2005). Air dibutuhkan untuk menunjang berbagai sistem kehidupan, baik dalam lingkup atmosfir, litosfir dan biosfir. Hampir semua kebutuhan hidup manusia membutuhkan air, baik untuk kebutuhan rumah tangga (domestik), pertanian, industri dan kegiatan ekonomi lainnya (Nittu, 2005). Air sebagai sumber kehidupan masyarakat secara alami keberadaannya bersifat dinamis mengalir ke tempat yang lebih rendah tanpa mengenal batas wilayah administrasi. Aliran air selain dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat lokal, juga dimanfaatkan oleh penduduk yang berada di wilayah hilirnya yang secara administratif dan atau politik berbeda. Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona resapan sumber air dan kawasan hilirnya dalam pemanfaatan air sangat erat, sehingga upaya untuk mewujudkan pengelolaan air berkelanjutan menjadi tanggung-jawab semua wilayah di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) tersebut (Karyana, 2007). Upaya perlindungan ekosistem kawasan sumber air yang umumnya berada di bagian hulu DAS merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan air berkelanjutan (Edwarsyah, 2008). Kondisi ideal tersebut tidak mudah diwujudkan karena adanya masalah-masalah dalam manajemen sumber daya air (SDA). Masalah kelangkaan dan alokasi air lintas wilayah yang tidak merata telah menjadikan air yang awalnya merupakan barang publik (public goods) bergeser menjadi komoditas ekonomi, alat politik dan bahkan sumber konflik lintas wilayah (Saiki, 2004). Sumber daya air (SDA) mempunyai sifat mengalir dan dinamis serta berinteraksi dengan sumber daya lain sehingga membentuk suatu sistem (Nuddin, 2007). Dengan demikian, pengelolaan SDA akan berdampak pada kondisi sumber daya lainnya dan sebaliknya. Pengelolaan SDA Terpadu mengisyaratkan pengelolaan SDA yang utuh dari hulu sampai hilir dengan basis daerah aliran sungai dalam satu pola pengelolaan SDA tanpa dipengaruhi oleh batas-batas wilayah administrasi yang dilaluinya (Sjarief, 2009). Oleh karena itu,
12
agar pengelolaan berbagai sumber daya tersebut dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat secara optimal, maka diperlukan suatu acuan pengelolaan terpadu antar lembaga dan antar wilayah serta berkelanjutan. Kompleksitas dan banyaknya pihak yang terlibat dan berkepntingan dalam pengelolaan SDA dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah.
IRIGASI
Departemen PU SUMBERDAYA AIR PERMUKAAN : SUNGAI
SUMBER AIR MINUM Kebutuhan Pertanian Lain
Keterhubungan sumberdaya air dan lahan
Departemen ESDM
Departemen Kehutanan
Pemerintah Daerah dan Pusat
Kebutuhan Air Baku
PLTA SUMBERDAYA LAHAN: Hutan (Catchement Area), Sawah dan Industri
Swasta dan Masyarakat
Kebutuhan industri
Eksploitasi Alih fungsi Lahn untuk investasi dan peningkatan PAD
Stakeholders lain
Gambar 3 Kompeksitas pengelolaan SDA Sumber daya air alamiah berada di dalam wilayah hidrologis yang disebut daerah aliran sungai (DAS). Ketersediaan SDA dalam setiap DAS sangat dipengaruhi
oleh
kondisi
cuaca
dan
hidrogeologi
setempat
sehingga
mengakibatkan adanya DAS dengan ketersediaan air yang melimpah dan DAS yang sangat kekurangan air. Sumber daya air memiliki tiga fungsi yaitu fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi. Mereka tidak berdiri sendiri-sendiri akan tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya sehingga dapat dirumuskan bahwa SDA mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi. Hal ini konsisten dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dimensi ekonomi antara lain berkaitan dengan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya sektor industri yang memerlukan ketersediaan air baku, mengurangi kemiskinan serta mengubah pola produksi dan konsumsi kearah yang seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat, peningkatan kualitas hidup dan kesehatan lingkungan keairan. Dimensi lingkungan meliputi upaya pengurangan dan
13
pencegahan terhadap polusi, pengolahan limbah serta konservasi. Pembangunan dalam pengelolaan SDA yang ditopang oleh ketiga aspek tersebut harus bersinergi satu sama lain. Guna mencapai ketiga aspek diatas maka strategi pembangunan harus memenuhi persyaratan diantaranya sistem politik yang menjamin secara efektif partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Sistem ekonomi dan inovasi teknologi yang mampu menghasilkan manfaat secara berkesinambungan. Sistem sosial yang menyediakan cara pemecahan secara efektif terhadap permasalahan yang timbul karena ketidakharmonisan dalam pelaksanaan pembangunan. Sistem pengelolaan sumber daya air berkelanjutan (sustainable water resources management systems) merupakan sistem pengelolaan SDA yang didesain dan dikelola serta berkontribusi penuh terhadap tujuan masyarakat (sosial dan ekonomi) saat ini dan masa yang akan datang, dengan tetap mempertahankan kelestarian aspek ekologisnya (Pasandaran, Zuliasri dan Sugiharto, 2002). Pembangunan di bidang SDA pada dasarnya adalah upaya untuk memberikan akses secara adil kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan air agar mampu berkehidupan yang sehat, bersih dan produktif (Burke, 2006). Pasokan air untuk mendukung berjalannya pembangunan dan berbagai kebutuhan manusia perlu dijamin kesinambungannya, terutama yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitasnya sesuai dengan yang dibutuhkan (Katiandagho, 2007). Pola pengelolaan SDA merupakan kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan,
memantau
dan
mengevaluasi
kegiatan
konservasi
SDA,
pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai. Pengelolaannya disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah administrasi yang bersangkutan. Pola pengelolaan SDA memuat tujuan dan dasar pertimbangannya, skenario kondisi wilayah sungai pada masa yang akan datang, strategi pengelolaannya dan kebijakan operasional untuk melaksanakan strategi pengelolaan SDA (Sjarief, 2009). Penyusunan pola pengelolaan perlu melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha, baik koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah maupun badan usaha swasta. Sejalan dengan prinsip demokratis, masyarakat tidak hanya diberi peran dalam penyusunan pola pengelolaan SDA, tetapi berperan juga dalam proses
14
perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan, pemantauan serta pengawasan atas pengelolaan SDA. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan rencana induk yang menjadi dasar bagi penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air oleh setiap sektor dan wilayah administrasi. Rencana induk tersebut memuat pokok-pokok program tersebut yang meliputi upaya fisik dan nonfisik, termasuk prakiraan kelayakan serta desain dasar upaya fisik. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah (Sjarief, 2009). Upaya mewujudkan asas keseimbangan dan asas keadilan dalam pengelolaan SDA, dapat dilakukan dengan menyatukan beberapa DAS dalam satu wilayah pengelolaan yang disebut wilayah sungai. Hal ini dilakukan agar wilayah tersebut mampu mencukupi kebutuhan SDA bagi wilayahnya. Penyatuan beberapa DAS kedalam wilayah sungai tetap mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pengelolaannya. Namun demikian dalam perkembangannya pengelolaan wilayah sungai semakin rumit dengan semakin banyaknya institusi yang terlibat dalam
dalam
segmen-segmen
yang
terpisah
mengikuti
kewenangan
kementerian/lembaga yang membentuknya. Secara umum, pengelolaan SDA pada daerah aliran sungai dapat dikelompokan pada tiga pendekatan yang menekankan pada: (1) Konservasi; (2) Pengelolaan secara hidrologis; dan (3) Pengelolaan dalam perspektif otonomi daerah. Menurut pendekatan yang pertama, pengelolaan sumber daya air khususnya catchment area merupakan konservasi sumber daya hutan yang bertujuan menciptakan kondisi hidrologis (tangkapan, pengaliran dan penggunaan air sungai) yang optimal. Pengelolaan menurut sistem pertama ini melibatkan berbagai kepentingan dan lintas pemerintahan, baik secara horizontal (antar pemerintahan setingkat) maupun vertikal (antar tingkatan pemerintahan). Menurut pendekatan kedua, pengelolaan DAS harus dikelola melalui pendekatan hidrologis. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa sistem sumber daya air merupakan suatu sistem yang mencakup subsistem daerah tangkapan air (catchment area), subsistem jaringan sarana-prasarana dan subsistem penggunaan
15
air. Menurut pendekatan ketiga yaitu perspektif otonomi daerah, pengelolaan DAS bertumpu pada batas-batas pemerintah otonom, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Pengelolaan
DAS dengan persepektif ketiga ini menekankan
kewenangan pada pemerintah daerah sebagai pemerintah yang otonom untuk mengelola urusan diluar urusan pemerintah pusat. Ketiga bentuk pengelolaan DAS tersebut memiliki perbedaan dan membawa implikasi seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Perbedaan pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai Pendekatan Konservasi
Letak Perbedaan Menekankan pemeliharaan sumber daya hutan di hulu dan sepanjang aliran sungai
Hidrologis
Menekankan pengelolaan DAS (river basin)
Otonomi Daerah
Menekankan kewenangan pemerintah daerah tempat DAS berada sesuai dengan batas-batas administratif
Implikasi Teknis dan Organisasi Rehabilitasi di hulu dan sepanjang DAS. Pengelolaan catchment area menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan Pengelolaan secara utuh (intregated water resources management) menjadi kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum Pengelolaan wilayah DAS menjadi urusan pemerintah daerah. Pengelolaan terbagi-bagi, tidak utuh
Selanjutnya secara global telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan sumber daya air dari semula hanya mencakup sektor air (hydrocentric), yang memandang air sebagai sumber daya yang harus dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang maksimum, menjadi pengelolaan yang berwawasan lingkungan. Pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan baru ini dikenal sebagai pengelolaan sumber daya air terpadu (integrated water resources management – IWRM). Pendekatan ini mendorong pengembangan dan pengelolaan air, lahan dan sumber daya lainnya secara terkoordinasi untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara adil, dengan tetap memelihara keberlanjutan ekosistem yang vital (Dublin principle). Hooper (2003) mengidentifikasikan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh banyak negara dalam memenuhi kebutuhan air untuk kebutuhan hidup manusia
dan
lingkungan
ternyata
lebih
merupakan
krisis
pengelolaan
(governance) dibandingkan dengan krisis air. Diperlukan adanya pengelolaan yang efektif, memiliki kapasitas yang memadai, dan mampu menangani berbagai tantangan permasalahan air. Water governance meletakkan IWRM pada
16
pengelolaan daerah aliran atau wilayah sungai, dan peranserta masyarakat dan pemangku kepentingan akan sumber daya air. Perubahan pengelolaan ini menyiratkan perlunya kebijakan baru, strategi baru, peraturan serta kelembagaan baru untuk dapat melaksanakan pengelolaan sumber daya air dengan prinsip IWRM. Selanjutnya Sjarief (2009) menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya air adalah substansi yang kompleks dan padat konfik sehingga memerlukan perubahan lembaga dan menata ulang peran para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam masyarakat. Pemangku kepentingan perlu mewujudkan pengelolaan yang adil, efektif, efisien dan berkelanjutan sehingga perubahan kinerja perlu dilakukan. Kemitraan dari semua pihak yang berkepentingan dan kelompok yang terpengaruh adalah mekanisme yang perlu dalam proses pengelolaan sumber daya air terpadu untuk mewujudkan keadilan sosial, efisiensi dan keberlanjutan. 1. People support what the help create, orang-orang akan mendukung apa yang ikut yang mereka rumuskan. 2. When more people are heard fewer asset are wasted. Kalau lebih banyak mendengar saran dan masukan, maka wasted akan menjadi lebih sedikit. Lembaga pengelola wilayah sungai atau bisa disebut river basin organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya satu sungai dikelola kedalam satu kesatuan sistim yang utuh dari hulu hingga muara yang tidak dapat dipilah-pilah oleh batas administrasi pemerintahan. Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 7 tentang Sumber Daya Air, bahwa air mempunyai fungsi sosial, lingkungan maupun ekonomi. Oleh karena itu dalam operasionalisasinya konsep IWRM harus dilaksanakan berdasarkan tiga pilar utama yaitu berwawasasn lingkungan, berkeadilan sosial dan pendanaan yang berkesinambungan dalam sistem pengelolaan yang terintegrasi, sebagaimana pada Gambar 4.
17
KEBIJAKAN
Aspek Ekonomi
Aspek Ekologi Kualitas Air
Cost Recovery Pengelolaan SDA yang
KELEMBAGAAN
PENDANAAN
Berkelanjutan
Aspek Sosial Ketersediaan Air baku
PENGELOLAAN
Gambar 4 Sistem pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Dalam
mewujudkan
ketiga
pilar
tersebut
diperlukan
pembagian
kewenangan dan keterkaitan yang erat baik antara unit-unit pengelola yang terlibat maupun koordinasi dan komunikasi antara unit pengelola dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) dan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibentuk wadah koordinasi yang efektif dengan menempatkan wakil-wakil dari seluruh pemangku kepentingan. Sementara, pemerintah berperan menjembatani program – progam pembangunan serta mensosialisasikan kebijakan atau peratuan baru kepada pemda kabupaten/kota, serta memotivasi masyarakat untuk berperanserta
baik dalam pelaksanaan pembangunan prasarana maupun
pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan yang efektif tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa dukungan pendanaan yang berkesinambungan sehingga peran pemerintah daerah dan peran serta masyarakat menjadi sangat penting. Bilamana kerjasama dan koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan dan pengelola dapat disinkronkan dan terintegrasi serta didukung dengan tersedianya tata cara yang jelas dalam pengaturan kelembagaan, manajemen pelaksanaan pengelolaan serta mekanisme pendanaannya maka dapat dicapai IWRM yang berkelanjutan, terintegrasi dan holistik.
18
2.2 Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air Scott (2008) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang memberikan kedamaian dalam kehidupan sosial dan memberikan dukungan bagi sistem sosial dalam ruang dan waktunya. Scott (2008) menganalisisnya atas tiga elemen yang disebut tiga pilar kelembagaan yaitu aturan, norma dan pengetahuan budaya. Masing-masing
pilar
memiliki
unsur
dan
konsekuensi
yang
berbeda.
Kelembagaan yang dikategorikan regulatif memiliki pengertian yang sama dengan organisasi. Kelembagaan sebagai organisasi menunjuk pada lembaga-lembaga formal yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan seperti perusahaan dan negara yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumber daya serta memiliki sanksi dan kewenangan yang diatur secara formal. Pemahaman kelembagaan sebagai organisasi juga dikemukakan oleh North dan Horton (1984). Mereka memandang organisasi sebagai kontinum dari kelembagaan, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga. Institution adalah the rules of the games, organizations are the players. Horton merumuskan bahwa institution do not have members, they have followers. Sementara itu Tjondronegoro (1984) menyatakan kelembagaan berkembang secara kontinum ke organisasi. Tjondronegoro membedakan kelembagaan dengan organisasi. Lembaga berorientasi pada kebutuhan, peranan yang dimainkan, pengakuan karena membudaya, terlibatnya pendukung, tradisi turun-temurun, berpegang pada norma dan bersifat memenuhi kebutuhan tertentu. Sementara organisasi lebih berorientasi pada tujuan, tugas yang dilaksanakan, prosedur, pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi dan merupakan alat dalam mencapai tujuan tertentu. Kelembagaan menurut Schmid (1972) dalam Pakpahan (1989) adalah suatu himpunan hubungan yang tertata diantara orang-orang dengan mendefenisikan hak-haknya, pengaruhnya terhadap hak orang lain, privilage dan tanggung jawab. Tiga hal utama yang mencirikan suatu kelembagaan adalah: 1) Batas kewenangan (jurisdiksi) adalah menyangkut masalah kewenangan dalam menentukan harga output dan peranan dalam keberhasilan produksi; 2) Hak kepemilikan (property right) adalah mengandung makna sosial yang berimplikasi ekonomi. Property right yang paling penting adalah faktor
19
kepemilikan terhadap sumber daya seperti lahan, hasil produksi dan lain-lain. Hak pemilikan yang lebih jelas akan adapat menentukan besarnya kekuatan tawar terhadap suatu persoalan; 3) Aturan adalah representasi dalam masalah sistem atau prosedur mengenai suatu keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut (Anwar 2006). Pengertian kelembagaan yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa kelembagaan dimaknai oleh para penulisnya secara beragam. Pada intinya kelembagaan diartikan sebagai seperangkat pengaturan formal dan non-formal yang mengatur perilaku (behavioral rules) dan dapat memfasilitasi terjadinya koordinasi atau mengatur hubungan interaksi antar individu. Oleh karena itu, kelembagaan memiliki: (1) aturan main (rules of the games); (2) organisasi yang melaksanakan rules of the games atau sebagai the player of the games; (3) aturan main yang telah mengalami keseimbangan (equilibrium rules of the games). Perkembangan kelembagaan menuju organisasi menyebabkan organisasi menjadi alat sosial yang ampuh dan dapat diandalkan untuk menggabungkan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kelembagaan dalam bentuk organisasi tersebut menuntut adanya efektivitas dan efisiensi yang dapat mengkoordinir berbagai kegiatan yang kompleks secara terintegrasi. Pengelolaan sumber daya air yang komplek dan menyangkut kepentingan banyak sektor memerlukan dukungan sistem kelembagaan yang kuat dan terstruktur. Ditinjau dari fungsinya, sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya air secara garis besar dapat dipilah secara sederhana atas lima unsur yaitu: a. Regulator atau pemerintah, yaitu institusi pengambil keputusan yang dalam hal ini adalah para pejabat yang berwenang menetapkan kebijakan (misalnya Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Dinas terkait yang menjadi subordinatnya); b. Operator, yaitu institusi yang sehari-hari berfungsi untuk melaksanakan pengelolaan air, sumber air dan prasarana yang ada dalam suatu Wilayah Sungai (misalnya Balai Besar Wilayah Sungai, Balai Pengelolaan Sumber
20
daya air, Perum Jasa Tirta II ataupun Balai Pengelola DAS). Institusi ini dibentuk oleh regulator dengan tugas utama menjalankan keputusan regulator dalam pelayanan sumber daya air kepada masyarakat; c. Developer, yaitu institusi yang berfungsi melaksanakan pembangunan prasarana dan sarana pengairan baik dari unsur pemerintah (misalnya Badan Pelaksana Proyek, BUMN atau BUMD) maupun lembaga non pemerintah (investor). Perannya terutama ketika terjadi ketidak seimbangan antara permintaan
dengan
kemampuan
menyediakan
air,
sehingga
perlu
pembangunan prasarana misalnya bendungan, pengendali banjir atau jaringan irigasi; d. User atau penerima manfaat, yaitu mencakup seluruh unsur masyarakat baik perorangan maupun kelompok yang mendapat manfaat langsung maupun tak langsung dari jasa pengelolaan sumber daya air; e. Wadah koordinasi, yaitu wadah koordinasi yang berfungsi untuk menerima, menyerap dan menyalurkan aspirasi dan keluhan semua unsur stakeholders. Wadah ini bersifat perwakilan yang bertugas menyampaikan masukan kepada regulator sekaligus menyiapkan resolusi dan rekomendasi penyelesaian masalah-masalah sumber daya air. Keanggotaan badan ini tediri atas unsur pemerintah dan non pemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar keterwakilan. Sebagaimana diatur dalam pasal 86 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, sebagai wadah koordinasi tersebut dibentuk Dewan Sumber daya Air yang mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah serta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air melalui proses koordinasi. Secara berjenjang Dewan SDA dibentuk pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bilamana diperlukan pada tingkat wilayah sungai. Tugas Dewan SDA adalah: (a) menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air; (b) memberikan pertimbangan untuk penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; (c) menyusun dan merumuskan kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi; (d) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tindak lanjut
21
penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah serta pengusulan perubahan penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah. Dewan Sumber daya Air menyelenggarakan fungsi koordinasi melalui: (a) Konsultasi dengan pihak terkait guna keterpaduan dan pengintegrasian kebijakan serta tercapainya kesepahaman antar sektor, antar wilayah dan antar pemilik kepentingan; (b) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan; (c) Konsultasi dengan pihak terkait guna pemberian pertimbangan untuk penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; (d) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tindak lanjut penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; (e) Konsultasi dengan pihak
terkait
guna
keterpaduan
kebijakan
sistem
informasi
hidrologi,
hidrometeorologi dan hidrogeologi; (f) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi. Menurut Gany (2005) setelah lolosnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air dari uji formil dan materiil Mahkamah Agung, perlu segera diikuti dengan komitmen yaitu membentuk dan memfungsikan Dewan Sumber Daya Air Nasional, wilayah sungai, propinsi dan kabupaten/kota untuk memfasilitasi dialog konstruktif antara semua pihak terkait dalam pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan melalui prinsip kemitraan yang sejajar. Gany (2005) menyatakan bahwa perlunya penerapan pendekatan kemitraan terpadu hulu, tengah dan hilir yang konsisten, pendataan terpadu dan transparan dengan melibatkan stakeholders dalam pengelolaan sumber daya air terpadu dan berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan, pendanaan yang memadai dan penegakan hukum yang konsisten. Biaya pengelolaan sumber daya air telah ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumber daya air. Kebutuhan nyata adalah dana yang dibutuhkan semata-mata untuk membiayai pengelolaan sumber daya air untuk menjamin keberlanjutan fungsi sumber daya air. Biaya dimaksud mencakup tiga aspek pengelolaan sumber daya air, yaitu konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 jenis pembiayaan pengelolaan sumber daya air meliputi:
22
a. Biaya sistem informasi; b. Biaya perencanaan; c. Biaya pelaksanaan konstruksi termasuk di dalamnya biaya konservasi sumber daya air; d. Biaya operasi dan pemeliharaan (OP); dan e. Biaya pemantauan, evaluasi dan pemberdayaan masyarakat. Sumber dana untuk setiap jenis biaya dapat berasal dari: (a) Anggaran pemerintah; (b) Anggaran swasta; dan atau (c) Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air. 2.3 River Basin Organization (RBO) Aspek kelembagaan merupakan satu komponen penting dalam proses pengelolaan wilayah sungai yang terpadu dan menyeluruh. Kelembagaan wilayah sungai, kemudian secara internasional dikenal sebagai River Basin Organization (RBO), telah menjadi unsur yang menentukan dalam mengimplementasikan konsep pengelolaan sumber daya air. 2.3.1
Perkembangan RBO di Dunia Beberapa jenis RBO telah berkembang di dunia yang masing-masing
mempunyai sejarah, fungsi, tanggung jawab dan kapasitas yang berbeda (Blomquist, et al. 2005). Mostert (1998) membagi RBO dalam tiga kategori berdasarkan batasan wilayah operasionalnya, yaitu: (a) model hidrologi; (b) model administratif; dan (c) model koordinasi. RBO model hidrologi adalah suatu RBO yang wilayah operasionalnya didasarkan pada batas-batas hidrologi sehingga jenis RBO ini seringkali melewati batas-batas administratif yang ada Oleh karena itu pengelolaan sungai dari wilayah hulu sampai dengan hilir secara utuh menjadi wewenangnya (Alaert dan Le Moigne 2003). RBO model administratif merupakan kebalikan dari model hidrologi (Japan bank 2008). Pada saat RBO ini praktek pengelolaan air diselenggarakan oleh pemda kabupaten maupun provinsi yang wilayahnya dilewati oleh sungai tersebut. Oleh karena itu pengelolaan sungai menjadi terbagi-bagi (fragmented). RBO model koordinasi adalah suatu RBO dengan kombinasi dari kedua model diatas. Pada model ini, pengambilan keputusan terutama dalam menentukan perencanaan wilayah sungai
23
yang strategis dilakukan secara model administrasi sedangkan pelaksanaannya dilakukan secara model hidrologi.
Gambar 5 Model RBO berdasarkan batasan hidrologi Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa Inggris telah menerapkan RBO model hidrologi. Setelah dibentuknya Nation Rivers Autority (NRA) yang awalnya berfungsi mengelola catchment area. Namun sejak tahun 1996 NRA bergabung dengan beberapa lembaga lingkungan dan berubah menjadi Environment Agency (EA) yang merupakan lembaga semi independen dibawah Departemen Lingkungan. EA memiliki tugas menjaga dan meningkatkan SDA segaligus melindungi dari daya rusak air baik air sungai maupun air laut. EA juga memiliki wewenang
dalam
perencanaan
dan
pengelolaan
SDA,
kualitas
air,
penanggulangan banjir, perikanan, rekreasi, konservasi dan pelayaran laut. Disamping itu, EA juga berwewenang dalam perencanaan penggunaan lahan atau RTRW. Portugal memiliki RBO model koordinasi dengan indikasi memiliki dua lembaga pengelola air yaitu Institute For Water (INAG), lembaga sektoral dari kementerian lingkungan dan sumber daya alam dan lima lembaga direktorat lingkungan (DRARNs) pada kementerian yang sama. INAG bertanggungjawab terhadap penetapan kebijakan dan perencanaan air nasional, plus perencanaan wilayah sungai untuk empat wilayah sungai. Sedangkan DRARNs bertanggung
24
jawab terhadap penerapan dan draf perencanaan sebelas wilayah sungai nasional. DRARNs wajib menerapkan kebijakan yang dikeluarkan oleh INAG. DRARNs tidak hanya kompeten dalam pengelolaan badan sungai tetapi juga perencanaan penggunaan lahan (land use). Pengelolaan sumber daya air di Jerman dan Belanda dipengaruhi oleh konsep pengelolaan wilayah sungai yang tidak menyeluruh. Pengelolaan wilayah sungai pada kedua negara tersebut dilakukan oleh pemerintahan daerah yang dilewati oleh sungai tersebut, sehingga RBO adalah model administratif. Menurut Moelle, Waster dan Hirsh (2007) RBO dibedakan berdasarkan fungsi, tugas dan tanggung jawab operasionalnya. RBO dibagi menjadi empat kategori, yaitu: (i) Otoritas wilayah sungai; (ii) Komite wilayah sungai; (iii) Dewan koordinasi wilayah sungai; dan (iv) Komisi internasional wilayah sungai. Hooper (2006) membagi RBO berdasarkan pada kemampuan dan fungsi dalam arti yang lebih luas. Ada sembilan jenis RBO menurut Hooper, yaitu: (i) Panitia penasehat (advisory committee); (ii) Otoritas (authority); (iii) Asosiasi (association); (iv) Komisi pengawas (commission); (v) Dewan (council); (vi) Badan Hukum (corporation); (vii) Badan Peradilan (tribunal); (viii) Kepercayaan (trust); dan ( ix) Federasi (federation). Seperti yang dijelaskan pada Tabel 3. Disamping beraneka ragamnya pengelolaan sumber daya air yang telah dilakukan pada berbagai negara, namun masih dan akan senantias pengelolan sumber daya air dihadapkan pada permasalahan meningkatnya jumlah penduduk yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan air yang dibarengi dengan meningkatnya aktifitas sosial ekonomi. Peningkatan kebutuhan air ini seringkali tidak dapat terpenuhi karena terbatasanya pasokan air dan infrastruktur yang ada. Disamping itu pengelolaan sumber daya air sering dihadapkan pada berbagai permasalahan baik dari aspek kelembagaan, aspek kebijakan, aspek pendanaan dan aspek pengelolaan sumber daya airnya sendiri seperti dalam perencanaan, pelaksanaan dan operasi pemeliharaannya. Pendekatan dalam pengelolaan sumber daya air dapat dilakukan dengan cara tradisional maupun pendekatan pengelolaan secara terpadu.
25
Tabel 3 Beberapa tipe RBO menurut Hooper No 1
2
Tipe Panitia Penasehat (Advisory Committee ) Otoritas (Authority)
3
Asosiasi (Association)
4
Komisi pengawas (Commission)
5
Dewan (Council)
6
Badan Hukum ( Corporation )
7
Badan Peradilan ( Tribunal )
8
Kepercayaan ( Trust )
9
Federasi (Federation)
Diskripsi Lembaga formal atau non formal, dimana anggotanya bertanggung jawab merencanakan kegiatan dan memberikan saran. Pada umumnya mempunyai kekuatan hukum yang terbatas. Lembaga kebijakan perencanaan pada pemerintahan tingkat pusat atau daerah. RBO ini bisa menetapkan aturan atau memiliki otoritas untuk menyetujui pengembangan di wilayahnya. Suatu lembaga yang didirikan oleh individu atau kelompok dengan berbagai latar belakang. Pada wilayah sungai lembaga ini mempunyai bermacam-macam peran: tempat konsultasi, mendorong pengembangan wilayah, pendidikan, menumbuhkan rasa memiliki pada isu-isu pengelolaan SDA, fungsi pendidikan dan forum diskusi Pada umumnya diberikan tugas untuk pertimbangan pengelolaan SDA. Kewenanganya bervariasi meliputi evaluasi dan laporan, menyelesaikan target dari kebijakan pemerintah atau kesepakatan internasional. Komisi pengawas didirikan oleh suatu keputusan formal dari pemerintah untuk mengatur wilayah dan SDA. Kadang-kadang, komisi pengawas dapat juga mempunyai kewenangan untuk melakukan pengaturan. Suatu lembaga formal beranggotakan tenaga ahli, menteri, politikus, dan warganegara yang bersama-sama berdiskusi berbagai hal di dalam pengelolaan SDA. Dewan berbeda dengan Komisi. Walaupun beranggotakan tenaga ahli, dewan secara khusus memiliki kewenangan pengaturan disamping penasehat kepada pemerintah Kelembagaan yang didirikan oleh perundang-undangan, yang terdiri dari suatu kelompok orang, pemegang saham atau anggota (perusahaan bukan laba), untuk menciptakan suatu organisasi, yang kemudian memusatkan pada sasaran hasil yang sudah direncanakan. Memiliki wewenang yang diatur oleh undang-undang seperti untuk menggugat dan digugat, memiliki, mengadakan karyawan atau simpan pinjam modal. Suatu badan yang dibentuk melalui prosedur yang formal dengan kewenangan hukum yang sah. Pengambilan keputusan bersifat birokratis. Stakeholders secara formal terlibat melalui dengar pendapat. Keputusan yang utama diambil oleh badan independen, seperti keputusan harga air. Badan ini bertindak sebagai suatu mahkamah luar biasa yang menguji permasalahan khusus. Peraturan hukum digunakan untuk mengatur keuangan atau kepemilikan barang (tanah) orang atau organisasi. Suatu bentuk organisasi yang mengembangkan dan melaksanakan perencanaan strategis. Mandatnya lebih merupakan “penyokong”. Program koordinasi setempat, melalui MoU atau perjanjian lain, dapat menaikan pajak (dana) setempat untuk program kerja dan memantau kepentingan masyarakat Kerjasama beberapa organisasi dalam suatu sistem pemerintahan atau antara daerah dengan pusat yang berperan membangun dan mengelola wilayah sungai. Kerjasamanya meliputi pola pelaksanaan, biaya kerjasama, MoU, program kerja dan kebijakan yang disepakati.
Sumber: Hooper (2006)
Pendekatan tradisional berorientasi hanya pada sektor sumber air saja sehingga daerah aliran sungai dan air tanah digambarkan sebagai suatu sistim fisik yang kompleks yang berkaitan dengan hidrologi dan karakteristik dari
26
geomorphologi
daerah
aliran
sungainya.
Paradigma
tradisional
ini
mengasumsikan bahwa air merupakan sarana publik dikendalikan dan pendistribusiannya disubsidi oleh pemerintah dan seringkali mengabaikan keaneka-ragaman pemanfaatan dari wilayah sungai yang dapat berakibat buruk pada pengelolaan lingkungan dan keberlanjutan dari pengelolaan SDA. Pada tahun-tahun belakangan ini ada perubahan dramatis didalam pengelolaan sumber daya air sebagai hasil dari suatu paradigma baru. Pengelolaan sumber daya air terpadu merupakan suatu sistim yang terintegrasi dengan memperhatikan lahan, sumber dan lingkungannya. Pengelolaan sumber daya alam ditentukan bagaimana pengelola memanfaatkan lahan dan sumber air untuk sesuatu yang bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomis bagi kesejahteraan masyarakat. Pendekatan ini menggambarkan suatu DAS sebagai suatu sistim dimana sumber daya air akan dimanfaatkan dan dialokasikan lebih efektif ke pengguna untuk pengembangan ekonomi. Telah banyak inovasi teknologi dan metodologi yang diusahakan untuk dapat memadukan pendekatan ekologi dan ekosistim dalam pengelolaan sumber daya air. Paradigma baru mencoba menggambarkan wilayah sungai yang sangat luas dan kompleks merupakan sistim ekologi yang terintegrasi serta mendorong pemangku kepentingan untuk memperhatikan cakupan keterkaitan yang lebih luas dari aspek sosial dan lingkungan dimana pengelolaan dilakukan dengan tujuan sosial dan memfungsikan ekosistim yang ada. Pengelolaaan sumber daya air yang terpadu ini akan mengintegrasikan berbagai sektor kepentingan dengan pendekatan koordinasi untuk pengelolaan sumber daya air dari suatu daerah aliran sungai dalam skala waktu dan ruang. Meskipun pengelolaan terpadu telah mengkoordinasikan pengelolaan dengan para pemangku kepentingan namun masih tetap dihadapkan pada permasalahan klasik dari pengelolaan seperti perbedaan interpretasi tentang kewenangan dan kepemilikan, konflik kepentingan, variasi dari tempat dan waktu dalam penyediaan air, kerawanan terhadap bencana banjir dan kekeringan serta kekurangan dalam pendanaan.
27
2.3.2 RBO di Indonesia Kelembagaan atau institusi pengelola sumber daya air untuk Wilayah Sungai (WS) di Indonesia masih relatif baru yakni dimulai pada tahun 1995 (Kurniawan 2009). Pada awalnya pengertian pengelolaan SDA lebih berkonotasi sempit yakni kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana SDA. Berkenaan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA pengertian Pengelolaan Sumber daya air sudah mencakup pengertian yang lebih luas meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi serta operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi-konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air (Gunalatika 2004). Hingga akhir tahun 2008 di Indonesia telah terbentuk 59 UPTD Balai PSDA yang tersebar di 15 Provinsi dan 30 UPT BBWS/BWS dan 2 BUMN pengelola sumber daya air wilayah sungai, yakni Perum JasaTirta I (WS Brantas dan WS Bengawan Solo) dan Perum Jasa Tirta II (WS Citarum). Oleh karena itu secara keseluruhan telah ada 91 Pengelola SDAWS atau River Basin Organization (RBO). Menurut Sarwan (2009) secara garis besar, saat ini di Indonesia terdapat tiga model institusi pengelola sumber daya air wilayah sungai atau biasa disebut River Basin Organization (RBO), yakni: (a) RBO dengan O & M cost recovery di dalamnya terdapat pengusahaan sumber daya air wilayah sungai (PJT I dan PJT II); (b) RBO yang hanya melaksanakan O & P prasarana sumber daya air dengan biaya APBD (59 UPTD di bawah Dinas PU provinsi); dan (c) RBO dengan kegiatan lengkap mulai dari perencanaan, pengembangan dan O & P dengan biaya APBN dan belum melaksanakan OM cost recovery (30 UPT/BWS/BBWS dibawah Ditjen Sumber daya air, Kementerian Pekerjaan Umum). a)
Balai Besar/Balai Wilayah Sungai (BBWS/BWS) Berdasarkan Permen PU Nomor 11A/PRT/M/2006 wilayah sungai lintas
negara, lintas provinsi dan strategis nasional yang jumlahnya 69 buah merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber daya air (Wright dan Sanjaya 2007). Ketika melaksanakan kewenangan tersebut pemerintah dalam hal ini Departemen PU dengan persetujuan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara membentuk
28
30 UPT BWS/BBWS yang terdiri 11 UPT BBWS dan 19 UPT BWS dengan wilayah kerja meliputi 69 WS kewenangan pusat. Wilayah
kerja
UPT
BBWS/BWS
menggunakan
wilayah
kerja
hidrologis/wilayah sungai. Namun dari 69 WS kewenangan pusat hanya ada 30 BWS/BBWS, sehingga satu BWS/BBWS umumnya mempunyai wilayah kerja lebih dari 1 WS. Namun dilain pihak, terdapat 1 WS (Ciujung-Cidanau, Cidurian, Ciliwung Cisadane dan Citarum) dengan 3 (tiga) UPT BBWS. Pada awal tahun 2007 pembentukan unit pengelola SDAWS bergulir terus dengan bertambahnya 30 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Wilayah Sungai (BWS) dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pengelola SDAWS sebagai organisasi struktural yang berada dibawah Direktorat Jenderal Sumber daya air. Pembentukan 30 UPT BBWS/BWS tersebut merupakan konsekwensi logis dari adanya kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan SDA sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA pasal 14, 15, 16 dan adanya sistem unified budget yang tidak dikenal lagi organisasi proyek (Sarwan, 2009). Pemerintah pusat mempunyai kewenangan melaksanakan pengelolaan SDAWS pada wilayah sungai yang bersifat lintas negara, lintas provinsi dan strategis nasional. Balai Besar Wilayah Sungai mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) Menyusun pola dan rencana pengelolaan; 2) Menyusun rencana dan pelaksanaan penyuluhan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai; 3) Melakukan pengelolaan SDA yang meliputi konservasi, pembangunan, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak; 4) Menyiapkan rekomendasi teknis dalam pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan SDA; 5) Melaksanakan OP, pengelolaan sistem
hidrologi
dan pemberdayaan
masyarakat.
b) Balai PSDA Pada awalnya, Balai PSDA berbentuk satgas PSDA yang dibentuk di lima WS pilot. Satgas ini dibentuk dengan SK Dirjen Pengairan, bukan merupakan unit organik di bawah Ditjen Pengairan maupun Dinas PU Provinsi, namun bersifat
29
sementara dan bertanggung jawab kepada kepala dinas PU pengairan provinsi. Satgas PSDA ini cukup unik sebab yang membentuk adalah Dirjen Pengairan (pusat) namun bertangggung jawab kepada kepala Dinas Provinsi (daerah) dan SDM nya pun sebagian besar merupakan SDM campuran dari daerah dan PIPWS. Hal ini dapat dipahami karena pada saat itu belum ada kejelasan wewenang pengelolaan SDA sehingga muncul anggapan bahwa Dinas PU di daerah berafiliasi ke Departemen Pekerjaan Umum. Kemudian, pada tanggal 23 Oktober 1996 Menteri dalam Negeri menerbitkan keputusan No. 179 Tahun 1996 tentang pedoman pembentukan dan Tata Kerja Balai PSDA. Dengan Kepmen Mendagri tersebut disiapkan pembentukan Balai PSDA sebanyak 30 buah di Pulau Jawa yakni Jawa Timur tahun 1996 (9 Balai) disebut Balai PSAWS, tahun 1997 di Jawa Barat 6 Balai PSDA, tahun 1999 di Jawa Tengah 7 Balai PSDA dan 2 Balai PSDA di DIY. Pembentukan Balai PSDA termasuk lima organisasi Satgas PSDA sebagai pilot untuk menjadi Balai PSDA. Fungsi Balai PSDA adalah: 1) Perumusan kebijakan operasional di bidang pengelolaan SDA; 2) Pembinaan pelaksanaan operasional di bidang SDA meliputi pembinaan program, pembinaan konservasi dan pelestarian, pembinaan teknik, pembinaan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan serta pembinaan pemanfaatan; 3) Penyediaan fasilitas dan sistem investasi pengusahaan SDA; 4) Pemberian perijinan pemanfaatan air dan SDA serta pelaksanaan pelayanan umum di bidang pengelolaan SDA; 5) Fasilitasi pelaksanaan pengelolaan SDA; 6) Pengawasan, pengendalian dan evaluasi pengelolaan SDA; 7) Penyelenggaraan tugas-tugas ketatausahaan. Tugas Balai PSDA lebih dititikberatkan pada pengelolaan WS dalam arti sempit (yakni OP SDA) sebagaiman dituangkan dalam Kepmendagri diatas. Melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 pengertian pengelolaan SDA menjadi sedemikian luas yakni upaya merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air. Maka dalam merumuskan tugas dan fungsi UPT BBWS/BWS mengikuti pengertian yang ada dalam Undang-
30
undang Nomor 7 Tahun 2004. Tugas BWS/BBWS adalah melaksanakan pengelolaan sumber daya air yang meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi, serta operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi-konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air. Berkaitan dengan wilayah kerja antara UPTD/Balai PSDA yang saat ini berjumlah 59 buah dan UPT (BWS/BBWS) yang saat ini berjumlah 31 buah, separuh lebih mempunyai wilayah kerja yang saling overlaping. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar UPTD/Balai PSDA dibentuk mendasarkan pembagian wilayah sungai sesuai dengan Peraturan Menteri PU No. 39 tahun 1989 sedangkan wilayah kerja UPT (BWS/BBWS) mendasarkan wilayah sungai sebagimana diatur dalam Permen PU Nomor 11A Tahun 2006. Pada saat penataan organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai tindak lanjut dari PP Nomor 41 Tahun 2007 dalam kenyataannya wilayah kerja UPTD/Balai PSDA hampir tidak mengalami perubahan bahkan ada kecenderungan jumlah UPTD bertambah banyak. Overlapping wilayah kerja antara UPTD dengan UPT tersebut dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan sering menimbulkan keraguan khususnya bagi rekan-rekan dari UPTD. c)
Model Perum Jasa Tirta (PJT I dan PJT II) Permasalahan pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sejak 30 tahun
lalu dalam melaksanakan kegiatan O & P adalah keterbatasan dana. Keterbatasan ini mengakibatkan penurunan fungsi prasarana pengairan karena mengurangi umur teknis dan unjuk kerja bangunan tersebut. Akibatnya kemampuan mensuplai air guna memenuhi tuntutan berbagai sektor pemanfaat (pertanian, domestik, industri dan lingkungan) mengalami penurunan juga. Guna menjawab persoalan di atas, digagas pendirian suatu badan usaha yang memiliki tugas pokok mengelola wilayah sungai beserta prasarana pengairan yang telah dibangun, sehingga pemenuhan kebutuhan air untuk berbagai sektor dapat tersedia secara akuntabel. Pada tanggal 4 November 1986, dalam rapat yang dipimpin Menteri PU disepakati pembentukan suatu lembaga yang menangani wilayah sungai Kali Brantas dengan nama Perum Jasa Tirta Brantas. Selanjutnya, dalam PP Nomor 5 Tahun 1990 tentang Perum Jasa Tirta dikukuhkan sebagai sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang berkedudukan di Kota Malang.
31
Pemerintah menerbitkan PP Nomor 93 Tahun 1999 (13 Oktober 1999) yang mengatur kembali keberadaan Perum Jasa Tirta. Sesuai Pasal 2 Ayat (2) dari PP tersebut, ditetapkan Perum jasa Tirta sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 5 Tahun 1990 diubah namanya menjadi Perusahaan Umum (Perum) JasaTirta I. Pada 14 september 2000 terbit Kepres Nomor 129 tahun 2000 dengan menambah wilayah kerjanya dengan Wilayah Sungai (WS) Bengawan Solo beserta 25 anak sungainya. PJT I diberi wewenang memungut iuran eksploitasi dan pemeliharaan (EP) kepada para pengguna komersial dan hasil dana yang diperoleh digunakan untuk membiayai kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana SDA. Melalui pendiriannya, PJT tersebut mulai diterapkan prinsip "pemanfaat membayar” (user pay principle), meskipun hanya terbatas pada pemanfaat yang bersifat komersil saja seperti penggunaan air baku untuk air minum, airbaku untuk industri dan air baku untuk tenaga listrik. Sebelum PJT I Brantas berdiri lebih dulu Perum Otorita Jatiluhur (POJ) yang mengelola WS Citarum telah dibentuk dengan PP Nomor 20 Tahun 1970. POJ merupakan peleburan dari berbagai institusi yang berada di wilayah Jatiluhur. Institusi-institusi tersebut adalah Proyek Irigasi Jatiluhur (Dep. PU), Proyek Pengairan Tersier Jatiluhur (Depdagri), PN Jatiluhur (Dep. Industri) dan Jawatan Jawa Barat Balai Daerah Purwakarta (Propinsi Jawa Barat). Dapat dipahami bahwa pada awal pendiriannya POJ memiliki wilayah kerja terbatas pada bagian hilir (wilayah Jatiluhur) dengan tugas pokok OP jaringan irigasi Jatiluhur dan pengelolaan tenaga listrik. Dengan demikian, POJ melaksanakan pelayanan umum yang bersifat sosial dan sekaligus pengusahaan air yang bersifat komersial. POJ memobilisasi dana iuran dari para penerima manfaat guna pembiayaan OP prasarana SDA dan pelaksanaan usahanya. PP tentang POJ ini mengalami beberapa kali penyesuaian dengan terbitnya PP Nomor 35 Tahun 1980 dan disesuaikan lagi dengan PP Nomor 42 Tahun 1990. Selanjutnya terbit PP Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum dan POJ diubah dan disesuaikan dengan nama Perum Jasa Tirta II (PJT II) berdasarkan PP Nomor 94 Tahun 1999.
32
Berdasarkan konteks pengelolaan wilayah sungai, kenyataan dil apangan menunjukkan bahwa peran PJT II berbeda dengan PJT I. Wilayah kerja PJT II lebih terkonsentrasi pada pengelolaan bendungan Jatiluhur dan wilayah pelayanannya di hilir, sedangkan di bagian tengah terdapat dua bendungan yaitu Saguling dan Cirata yang dibangun dan dikelola oleh PLN untuk pembangkit tenaga listrik. Demikian pula pada bagian hulu, dapat dikatakan kegiatan yang dilakukan oleh PJT II sangat minimal. 2.4 Keterkaitan Pengelolaan SDA dengan Penataan Ruang Air memerlukan ruang untuk berlangsungnya proses produksi air secara alamiah yang disebut siklus hidrologi. Proses tersebut terjadi di ruang-ruang atmosfir, daratan, dan lautan. Ruang untuk air ini sering berbenturan dengan ruang untuk kepentingan manusia, misalnya tangkapan air di hulu yang seharusnya merupakan hutan lindung telah dialih fungsi menjadi lahan budi daya pertaniaan, permukiman, dan lain-lain. Daerah dataran banjir yang juga merupakan ruang air telah menjadi daerah pertanian intensif yang kemudian telah berkembang menjadi pusat-pusat permukiman penduduk di desa bahkan di perkotaan. Bantaran sungai telah menjadi permukiman penduduk, dan banyak ruang-ruang air lainya telah ditempati oleh manusia baik secara legal maupun illegal (Kodoatie, 2009). DAS sebagai terjemahan dari watershed secara harfiah diartikan sebagai permukaan miring yang mengalirkan air. Dalam konteks suatu unit pengelolaan DAS didefinisikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh topografi pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung bukit/gunung yang menangkap curah hujan, menyimpan dan kemudian mengalirkannya melalui saluran-saluran pengaliran ke satu titik (outlet), yang umumnya berada di muara sungai atau danau. DAS dengan titik patokan berada di sungai biasa dikategorikan sebagai Sub DAS. DAS merupakan satu kesatuan unit sistem hidrologi, yaitu bahwa kuantitas dan kualitas air di outlet merupakan satu titik kajian hasil air (water yield). Water yield ini merupakan akumulasi aliran permukaan tanah (surface flow), aliran bawah permukaan (sub surface flow) dan aliran bumi (ground water flow). Berdasarkan prinsip kesatuan hidrologi ini maka sebenarnya batas DAS tidak hanya ditentukan
33
oleh topografi, akan tetapi juga oleh struktur batuan yang menentukan pola aliran ground water flow. Delineasi pola aliran ground water ditetapkan dan cenderung bersifat dinamis, sehingga dengan pertimbangan praktis batas DAS hanya ditentukan berdasarkan aliran permukaan. Mengacu pada sistem hidrologi, maka ada keterkaitan yang jelas antara DAS bagian hulu dan hilir. Aktivitas yang mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan mempengaruhi kondisi bagian tengah dan hilir. Dilain pihak, manusia memerlukan ruang untuk menjalankan kehidupan dan melaksanakan kegiatannya. Ruang tersebut harus diatur penggunaannya agar tidak terjadi konflik ruang antar kegiatan yang dilakukan manusia, sektor, ataupun daerah sehingga setiap proses kegiatan dapat dilakukan dengan hasil yang optimal dan mencegah dampak negatif yang mungkin dapat terjadi. Upaya untuk menata ruang yang digunakan oleh berbagai kegiatan manusia tersebut dikenal sebagai “tata ruang”. Tata ruang telah menjadi suatu konsep dan berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang menginduk kepada disiplin ilmu perencanaan wilayah. Keterkaitan antara pengaturan wilayah sungai dan penataan ruang dapat dilihat pada pasal 59 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA, yang menyatakan bahwa rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Ruang adalah wujud dari struktur ruang dan pola ruang. Sering kali terjadi perbenturan antara penggunaan ruang untuk kepentingan manusia dan tata ruang air yang telah menimbulkan gangguan dan kerusakan, baik untuk kepentingan keberadaan air maupun untuk kehidupan manusia sendiri. Ruang air yang paling penting yang mempunyai potensi untuk terjadinya konflik dengan ruang manusia adalah ruang air yang ada di darat yang dalam konsep pengelolaan air harus berbasis daerah aliran sungai (DAS). Upaya menata ruang air untuk memberikan hasil dan dampak yang optimal harus dilakukan diruang air
34
darat, secara spesifik di wilayah sungai. Upaya tersebut disebut “tata ruang air – wilayah sungai”. Tata ruang air – wilayah sungai, dalam konteks konsep tata ruang air, bertujuan terutama untuk “mengatur ruang air di wilayah sungai sedemikian rupa untuk dapat memaksimalkan peresapan air ke dalam tanah, sehingga meminimalkan air permukaan”. Rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas kabupaten/kota menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi bersangkutan; rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi yang bersangkutan (Kodoatie, 2009). Selain sebagai masukan untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah, rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai juga digunakan sebagai masukan untuk meninjau kembali rencana tata ruang wilayah dalam hal terjadi perubahan-perubahan, baik pada rencana pengelolaan sumber daya air maupun pada rencana tata ruang pada periode waktu tertentu. Perubahan yang dimaksud merupakan tuntutan perkembangan kondisi dan situasi. Dengan demikian, antara rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan. Menurut PP Nomor 42 tahun 2008, Pengelolaan sumber daya air diselenggarakan dengan berlandaskan pada: (a) kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (b) wilayah sungai dan cekungan air tanah yang ditetapkan; dan (c) pola pengelolaan sumber daya air yang berbasis wilayah sungai. Berdasarkan PP yang sama juga pola pengelolaan sumber daya air dijabarkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air melalui inventarisasi sumber daya air serta penyusunan dan penetapan rencana pengelolaan sumber daya air. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan rencana induk yang menjadi dasar bagi penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air oleh setiap sektor dan wilayah administrasi. Rencana induk tersebut memuat pokok-pokok program konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air yang
35
meliputi upaya fisik dan nonfisik, termasuk prakiraan kelayakan serta desain dasar upaya fisik. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah. Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang definisi penataan ruang sendiri adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang wilayah dalam kaitannya untuk pengelolaan SDA yaitu untuk pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air, pengembangan sumber daya air, pencegahan bencana akibat daya rusak air. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Adapun pengertian umum wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. Wilayah sungai meliputi wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas provinsi, dan wilayah sungai strategis nasional. Cakupan wilayah sungai (WS) dapat meliputi satu atau lebih DAS kabupaten/kota, propinsi maupun nasional. Terdapat hubungan timbal balik antara pengaturan wilayah sungai (WS kabupaten/kota, propinsi, nasional) dan penataan ruang
(RTRW
kabupaten/kota,
propinsi,
nasional).
Keduanya
saling
mempengaruhi dan bersifat interaktif dalam pengembangan Kegiatan sosialekonomi suatu wilayah yang optimal dan berkelanjutan. Sistem DAS terdiri dari unsur bio-fisik yang bersifat alami dan unsur-unsur non-biofisik. Unsur biofisik terdiri dari, vegetasi, hewan, satwa liar, jasad renik, tanah, iklim dan air.
Sedangkan unsur nonbiofisik adalah manusia dengan
berbagai ragam persoalannya, latar belakang budaya, sosial ekonomi, sikap politik, kelembagaan serta tatanan masyarakat itu sendiri. Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pemanfaatan sumberdaya alam di dalam sistem
36
DAS semakin terarah, melalui penerapan teknik-teknik budidaya tanaman pertanian, perkebunan, padang rumput, peternakan, atau kehutanan. Selain itu potensi sumberdaya alam yang terkandung di sistem DAS dimanfaatkan dengan mengarah pada pengaturan ketersediaan dan peningkatan nilai tambah sumberdaya alam yang ada, misalnya dalam bentuk pembangunan waduk atau bendungan untuk mengatur air irigasi, menghasilkan tenaga listrik, sarana rekreasi, usaha perikanan dan lain-lain kegiatan. Pengkajian dan studi mengenai pengembangan DAS dan pemanfaatan sumber daya air sebaiknya ditinjau dari kerangka umum pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai satuan hidrologi. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus memperhatikan faktor-faktor bio-fisik DAS yang mempengaruhi proses hidrologi, selain faktor curah hujan sebagai masukan utama dalam proses hidrologi pada suatu DAS. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikembangkan berbagai solusi pemecahan masalah yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam dengan konsep pendekatan ekosistem DAS. Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pemanfaatan sumberdaya alam di dalam sistem DAS semakin terarah, melalui penerapan teknik-teknik budidaya tanaman pertanian, perkebunan, padang rumput, peternakan atau kehutanan. Selain itu potensi sumberdaya alam yang terkandung di sistem DAS dimanfaatkan dengan mengarah pada pengaturan ketersediaan dan peningkatan nilai tambah sumberdaya alam yang ada, misalnya dalam bentuk pembangunan waduk atau bendungan untuk mengatur air irigasi, menghasilkan tenaga listrik, sarana rekreasi, usaha perikanan dan lain-lain kegiatan. Menurut Prastowo (2009), konsep daya dukung lingkungan sebagaimana Gambar 6 berikut.
37
Kemampuan Lahan Alami/Potensi produktivits lahan
Tingkat Produktivitas Lahan Aktual
Lahan Penggunaan Lahan
Kualitas Udara Kebutuhan Manusia
Daya Dukung Lingkungan Kelebihan Air Hujan (excess rain water) Air
+
Jumlah dan Kualitas air tersedia
Kriteria Daya Dukung Lingkungan
Air tertahan (stored water) Status Daya Dukung Lingkungan
Gambar 6 Konsep daya dukung lingkungan (Prastowo, 2009) 2.5 Pembangunan Berkelanjutan Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar, yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial. Pilar ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasiskan penggunaan sumberdaya yang efisien. Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia. Sedangkan pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya, meliputi penghindaran konflik keadilan, baik antar generasi masa kini dengan generasi mendatang. Menurut Barbier (1987), tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan aset-aset di wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan/ekosistem serta ukuran keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi
38
terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap kemandirian teknis (Nurmalina, 2007). Terkait dengan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan, Nurmalina (2007) mengungkapkan empat ciri-ciri spesifik terpenting lingkungan khususnya sebagai agroekosistem. Empat aspek umum tersebut adalah: kemerataan (equitability),
keberlanjutan
(sustainability),
kestabilan
(stability)
dan
produktivitas (productivity). Secara sederhana, equitability merupakan penilaian tentang sejauh mana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantara masyarakatnya. Sustainability dapat diberi pengertian sebagai kemampuan sumberdaya mempertahankan produktivitasnya, walaupun menghadapi berbagai kendala. Stability merupakan ukuran tentang sejauh mana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi lingkungan. Productivity adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik atau ekonominya. Berdasarkan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2009, pembangunan
berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin
keutuhan
lingkungan
hidup
serta
keselamatan,
kemampuan,
kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United Nation's conference on the human environment di Stockholm tahun 1972. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sehagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (Soegandy dan Hakim, 2007). Komisi Bruntland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses perubahan dimana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.
39
Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial, dan politik. Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat. Tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat. Atribut tersebut dapat mencakup: kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses terhadap sumberdaya, distribusi pendapatan yang lebih merata dan sebagainya sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dimana karakter vektor pembangunan tersebut tidak berkurang sejalan dengan waktu. Berkenaan dengan hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Ketika mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga (Gambar 7). Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Munasinghe, 1993). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien.
40
EKOLOGI Sumber Daya Alam Wilayah Perbatasan)
SOSIAL
Nilai-nilai budaya Partisipasi Konsultasi
Keadilan Pemerataan Kesejahteraan
Gambar 7 Konsep pembangunan berkelanjutan Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Sedangkan berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan
hendaknya
pembangunan,
mobilitas
dapat sosial,
menciptakan kohesi
sosial,
pemerataan partisipasi
hasil-hasil masyarakat,
pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan. Secara
operasional,
pembangunan
berkelanjutan
sinergik
dengan
pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Pelestarian lingkungan hidup merupakan rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan
41
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, guna terjaganya kehidupan berkualitas. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Sedangkan sumberdaya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumberdaya manusia, sumberdaya alam, baik hayati maupun non hayati dan sumberdaya buatan. Menurut Senanayake (1991), membangun pengukuran kuantitatif untuk keberlanjutan adalah prasyarat penting. Indikator keberlanjutan telah didefinisikan sebagai indikator yang memberikan informasi secara langsung atau tidak langsung mengenai viabilitas di masa datang dari berbagai level tujuan (sosial, ekonomi dan ekologi). Walker dan Reuter (1996) menunjukkan bahwa indikator untuk menilai keberlanjutan dibagi dalam dua tipe, yaitu: (1) indikator kondisi yang mendefinisikan kondisi sistem relatif terhadap kondisi sistem relatif terhadap kondisi yang dapat digunakan untuk menilai lingkungan; dan (2) indikator trend yang menggambarkan seluruh kecenderungan linier dari suatu keadaan sumberdaya selama periode simulasi. Penelitian keberlanjutan dilakukan oleh Ridwan (2006) yang menggunakan enam dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologis, ekonomis, sosial budaya, hukum, kelembagaan dan teknologi. Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan analisis MDS dan analisis finansial usaha, namun perbedaannya terletak pada analisis lanjutan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis ekonometrika dan sistem dinamik pada usaha peternakan sapi perah di kawasan pariwisata Kabupaten Bogor. Penelitian keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dilakukan Marhayudi (2006) dengan menggunakan analisis MDS pada enam dimensi namun perbedaannya dilanjutkan dengan analisis sistem dinamik dan perspektif. Demikian pula Thamrin (2009) meneliti keberlanjutan di Kalimantan Barat dengan menggunakan MDS pada enam dimensi yang sama, namun dengan tambahan analisis kesesuaian lahan, kelayakan finansial dan prospektif. Model adalah penyederhanaan dari dunia nyata. Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut dalam situasi
42
tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para pembuatnya (Dunn, 2003). Menurut Dunn (2003), kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan (mempengaruhi pertumbuhan), baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sementara itu menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi. Hal ini meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Sedangkan dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi. 2.6
Multi Dimensional Scaling (MDS) MDS merupakan salah satu metode multy variate yang dapat menangani
data metrik (skala ordinal atau nominal). Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduce space). Ordinasi sendiri merupakan proses plotting titik obyek di sepanjang sumbu-sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship) atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Thamrin, 2009). Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multi dimensi dapat diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana. Metode ordinasi juga
43
memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan. MDS juga merupakan teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multi dimensi kedalam dimensi yang lebih rendah (Thamrin, 2009). Menurut Marhayudi (2006), MDS adalah suatu kelas prosedur untuk menyajikan persepsi secara spasial dengan menggunakan tayangan yang dapat dilihat. Persepsi atau hubungan antara stimulus secara psikologis ditunjukkan sebagai hubungan geografis antara titik-titik di dalam suatu ruang multi dimensional. Sumbu dari peta spasial diasumsikan menunjukkan dasar psikologis atau dimensi yang dipergunakan oleh responden, untuk membentuk persepsi sebagai stimulus. Teknik ordinasi dalam MDS didasarkan pada euclidian distance, yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut: d
x x 1
2
2
y1 y2 z1 z2 ........... 2
2
................................................(1)
Konfigurasi atau ordinasi suatu objek di dalam MDS selanjutnya diaproksimasi dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal
ij
sebagaimana persamaan berikut:
dij ij ...............................................................................................(2) Metoda yang dipergunakan untuk meregresikan persamaan diatas adalah metoda ALSCAL, yaitu metoda least squared bergantian yang didasarkan pada akar dari euclidian distance (squared distance). Metoda ini mengoptimisasi jarak kuadrat (squared distance = dijk) terhadap data kuadrat (titik asal = Oijk) dalam tiga dimensi (i, j, k) dan ditulis dalam formula yang disebut s-stress sebagai berikut:
S
2 dijk2 oijk m 1 i j 4 m k 1 j oijk i
2
........................................................................(3)
jarak kuadrat merupakan jarak euclidian yang dibobot atau ditulis dengan rumus:
dijk2 Wka xia x ja ......................................................................................(4) r
2
a 1
Aplikasi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
44
(1)
Desk study Pada tahap ini dilakukan pencarian informasi yang terkait loksi penelitian melalui berbagai saluran informasi seperti internet, lembaga penelitian, perguruan tinggi dan lembaga pemerintah lainnya. Data sekunder dimaksud, dipergunakan untuk mengisi kolom nilai bagi atribut-atribut yang telah dipersiapkan untuk lokasi penelitian;
(2)
Konsultasi ahli Kolom nilai atribut yang tidak dapat diisi oleh informasi sekunder yang ada, dikonsultasikan ke narasumber yang dianggap memiliki penguasaan pengetahuan berkaitan dengan pertanyaan pada kolom atribut. Melalui konsultasi ahli ini, juga dilakukan penggalian informasi berkaitan dengan data sekunder yang telah ada, guna penyempurnaan informasi;
(3)
Verifikasi lapang Kegiatan ini dilakukan melalui kunjungan lapangan untuk memperkaya data sekunder dengan fakta-fakta yang ada di lapangan. Disamping itu, dalam kunjungan lapangan ini juga dilakukan wawancara/diskusi kepada berbagai pihak, seperti: 1) Pejabat dinas terkait yang bertanggung jawab atas kegiatan perindustrian dan perdagangan di lokasi, berkaitan dengan kebijakan lokal, pengalaman lapang pejabat dan kegiatan di lokasi; 2) Pelaku yang terlibat di lokasi penelitian terpilih dan dibantu dengan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya;
(4)
Tabulasi dan pengolahan data Sebelum dilakukan tabulasi, seluruh data yang dikumpulkan didiskusikan kembali untuk memperoleh jawaban final berkaitan dengan atribut yang dipergunakan. Selanjutnya, hasil tabulasi dijadikan dijadikan bahan dasar bagi tahapan entry data ke program;
(5)
Interpretasi hasil Ketika melakukan interpretasi hasil, setiap kegiatan diamati aspek-aspeknya yang berkinerja baik, sedang atau buruk, sehingga dapat ditentukan statusnya.
Mengingat nilai indeks keberlanjutan pada lokasi penelitian
berada dalam selang 0 (bad) sampai 100 (good), maka untuk mempermudah
45
penentuan status keberlanjutannya dilakukan pengelompokkan nilai indeks dimaksud. Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multi dimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan, yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kategori status keberlanjutan DAS Citarum
Melalui
Nilai Indeks
Kategori
0 -25 26 - 50 51 - 75 76 – 100
Sangat Buruk Buruk Baik Sangat baik
metode
MDS,
maka
posisi
titik
keberlanjutan
dapat
divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Melalui proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (sangat baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50% (> 50%), maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable) dan dinyatakan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50% (< 50%). Pada analisis Rap-Citarum, analisis ordinasi dilakukan untuk menentukan ordinasi dan nilai stress. Setelah itu dilakukan penyusunan indeks dan status keberlanjutan wilayah sungai Citarum, baik yang dikaji secara umum maupun pada setiap dimensi. Kemudian diintegrasikan analisis sensitivitas (leverage analysis) untuk menilai penyimpangan/anomali yang terjadi dan melihat atribut atau peubah sensitif yang mempengaruhi indeks keberlanjutan. Analisis leverage atau analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui efek stabilitas jika salah satu atribut dihilangkan saat dilakukannya ordinasi. Pada M atribut, analisis leverage dilakukan M+1 kali perhitungan, yaitu 1 kali perhitungan terhadap seluruh atribut (M atribut) dan M kali terhadap salah satu atribut jika dihilangkan. Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan standardisasi atribut untuk menyamakan skala pada skor masing-masing atribut.
46
Hasil analisis leverage ini menunjukkan persentase perubahan root mean square masing-masing atribut jika dihilangkan dalam ordinasi. Atribut yang memiliki persentase tertinggi merupakan atribut yang paling sensitif/berpengaruh kuat terhadap keberlanjutan (Iswari, 2008). Berdasarkan analisis tersebut akan terdapat pengaruh error yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan input data atau ada data yang hilang dan tingginya nilai stres (nilai stress dapat diterima jika nilainya <25%) (Iswari 2008). Guna mengevaluasi pengaruh error pada pendugaan nilai ordinasi digunakan analisis monte carlo. Menurut Gomes dan Helmsing (2007), analisis monte carlo dilakukan pada tahapan terakhir dari analisis keberlanjutan yang dilakukan untuk menilai ketidakpastian dalam multy dimensional scalling. Analisis monte carlo merupakan metode simulasi statistik untuk mengevaluasi efek dari random error pada proses pendugaan serta untuk mengestimasikan nilai yang sebenarnya. Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari nilai s-stress yang dihitung berdasarkan nilai s diatas dan R2. Nilai stres yang rendah menunjukkan good of fit, demikian pula sebaliknya. Menurut Budiharsono (2005), model yang baik ditunjukkan dengan nilai s < 0,25 dan nilai R 2 yang baik, jika mendekati 1. Apabila perbedaan (selisih antara hasil perhitungan MDS dengan hasil perhitungan monte carlo tidak lebih dari satu, maka sistem yang dikaji sesuai dengan kondisi nyata (Iswari, 2008). 2.7 Analytical Hierarchy Process (AHP) Proses
hierarki
analitik
(analytical
hierarchy
process
-
AHP)
dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business pada tahun 1970 untuk mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih alternatif yang paling disukai (Saaty dalam Marimin, 2004). Pada saat menggunakan AHP, suatu persoalan yang akan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang
47
kompleks
dapat
disederhanakan
dan
dipercepat
proses
pengambilan
keputusannya. Prinsip kerja AHP adalah penyerderhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategis dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Melalui AHP, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki atau hierarki harus distruktur ulang. Data dapat diperoleh dengan cara wawancara langsung dan pengisian kuesioner. Oleh karena pendekatan AHP berbasis pada expertices judgement, maka pemilihan responden ditujukan pada responden yang benar-benar memahami permasalahan. Guna mengkuatitatifkan data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 - 9 dalam penyusunan skala kepentingan seperti pada Tabel 5.
48
Tabel 5 Matriks perbandingan/komparasi berpasangan Tingkat Kepentingan 1
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen mutlak iebih penting daripada elemen lainnya
9
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
2,4,6,8
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya Satu elemen dengan kuat didukung dan dominasi terlihat dalam praktek Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan.
Jika vektor pembobotan elemen - elemen kegiatan A1, A2, A3 dinyatakan sebagai vektor W, dengan W = (W1,W2, W3), maka intensitas kepentingan elemen kegiatan A1 dibandingkan dengan A2 dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen A1 kegiatan A2 terhadap A2, yaitu W1/W2 = A12 Matriks perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Matriks perbandingan berpasangan A1
A1 A2 A3 … An
W1/W1 W2/W1 W3/W1 … Wn/W1
A2 W1/W2 W2/W2 W3/W2 … Wn/W2
A3 W1/W3 W2/W3 W3/W3 … Wn/W3
………… ………… ………… ………… ………… …………
An W1/Wn W2/Wn W3/Wn … Wn/Wn
Nilai Wi/Wj, dengan i, j = 1, 2, 3,.......n didapat dari partisipasi yaitu para pengambil keputusan yang
berkompeten dalam permasalahan yang dianalisis.
Bila matriks ini dikalikan dengan vektor kolom W (W1, W2, W3.......Wn) maka diperoleh hubungan: A W = n W. Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai W, maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut: (A - nI) W = 0 ........................................................................................(5) Keterangan: I = Matriks identitas
49
a)
Matriks Pendapat Individu Formula matriks pendapat individu dapat dilihat pada Tabel 7 sebagai berikut: Tabel 7 Formula matriks pendapat individu C1 1 1/a12 .... 1/a1n
C1 C2 .... Cn
C2 A12 1 .... 1/a2n
...................... ..................... ...................... ...................... ......................
Cn A1n A2n .... 1
Dalam hal ini C1, C2, ..., Cn adalah set elemen pada satu tingkat keputusan dalam hierarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj. b) Menghitung akar ciri, untuk mendapatkan akar ciri: (A - n I) = 0 Dijelaskan dengan menggunakan matriks A:
1 a12 a 21 1 a31 a32
a13 1 0 0 a 23 n 0 1 0 0 0 0 1 1
1 a12 a 21 1 a31 a32
a13 n 0 0 a 23 0 n 0 0 1 0 0 n
Hasil perhitungan akan didapatkan akar ciri n1, n2, n3 c) Menghitung vektor ciri Nilai
vektor
ciri
merupakan
bobot
setiap
elemen
untuk
mensintesis Judgement dalam penentuan prioritas. Vektor ciri (w) maka akar ciri (n) maka rumusnya: (A-nI)w = 0 ; dengan menggunakan normalisasi W1 + W2 + W3 = 1, maka didapatkan n maksimum = 2, maka perkaliannya sebagai berikut: A-n I w = 0
1 a12 a 21 1 a31 a32
a13 a 23 2 1
1 0 0 w1 0 1 0 w 0 2 0 0 1 w3
50
Maka diperoleh: 1 2 a 21 a31
a12 1 2 a32
a13 w1 a 23 w2 0 w3 1 2
Pada akhir perhitungan diperoleh vektor ciri w1, w2, w3. Vektor ciri dapat memberikan pilihan skenario yang paling optimal. d)
Perhitungan konsistensi Perhitungan CI (consistency index) yang menyatakan penyimpangan konsistensi
dan
concistency
ratio
(CR)
untuk
menentukan
apakah
konsisten/tidak suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan. Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi sebagai berikut:
max CI ...........................................................................................(6) n 1 Keterangan : λmaxπ = akar ciri maksimum; n = ukuran matriks Indeks konsistensi (CI) merupakan matriks acak/random dengan skala penilaian 1-9 dan kebalikannya sebagai Indeks Random (RI). Perbandingan antara CI dan RI untuk suatu matriks didefmisikan sebagai Ratio Konsistensi (CR).
CR
CI ....................................................................................................... (7) RI
Pengukuran Ratio Kosistensi (CR) konsistensi
dilakukan untuk
mengetahui
secara menyeluruh dari berbagai pertimbangan. Nilai Rasio
Konsistensi (CR) adalah perbandingan antara Indeks Konsistensi (CI) dengan Indeks Acak (RI), dimana nilai-nilai RI telah ditentukan. e) Matriks pendapat gabungan Matriks gabungan merupakan matriks baru yang elemen-elemennya (gij) berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu yang nilai concistency ratio (CR) memenuhi syarat, dengan formula sebagai berikut: g ij m aijk 1 (k ) .......................................................................................(8)
Keterangan: gij = rata-rata geometrik m = jumlah responden
51
aij = matriks individu Keluaran hasil pengolahan data oleh perangkat lunak disintesis untuk menentukan prioritas. Berdasarkan urutan prioritas tersebut maka alternatif yang berada di prioritas teratas adalah yang dinilai paling efisien dan efektif yang sebaiknya di terapkan. 2.8
Pendekatan Sistem Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan
terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetsch & Park, 1979 dalam Eriyatno, 1999). Pendekatan sistem adalah pendekatan terpadu yang memandang suatu objek atau masalah yang kompleks dan bersifat antar disiplin sebagai bagian dari sistem.
Pendekatan sistem
menggali elemen-elemen terpenting yang memiliki kontribusi yang signifikan terhadap tujuan sistem. Menurut Marimin (2005) pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisa organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisa. Metode ini merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, di mana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 1998). Pendekatan secara holistik yang berorientasi tujuan dapat dilakukan menggunakan analisis sistem dinamik. Hal ini bisa dilakukan dengan memulai berfikir sistemik tentang keadaan tersebut.
Berfikir sistemik adalah adanya
kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan kejadian sebagai sebuah sistem atau system approach (Muhammadi et al., 2001). Dalam analisis sistem dinamik, gambaran keadaan sesungguhnya (real world) seperti ini bisa disimplifikasi dalam sebuah model yang dapat disimulasikan, sehingga dapat dicari berbagai kombinasi yang bisa memenuhi tujuan pengelolaan sumber daya air DAS Citarum secara berkelanjutan.
52
Senge (1990) menjelaskan bahwa system dynamics sebagai metodologi dipahami melalui interaksi antar struktur yang terdiri atas struktur fisik, struktur pengambilan keputusan dan struktur model. Struktur fisik yaitu aliran orang, barang, produksi, uang dan limbah pencemar. Struktur pengambilan keputusan terdiri dari aktor-aktor di dalam sistem, sedangkan struktur model dibangun melalui analisis struktural berdasarkan pendekatan system thinking dan dimungkinkan mempunyai titik kontak yang banyak dan saling interdependensi. Hubungan unsur-unsur yang saling interdependensi itu merupakan hubungan sebab-akibat yang bersifat umpan balik dan bukan hubungan sebab-akibat yang bersifat searah. Selanjutnya, Tasrif (2006) menjelaskan bahwa struktur fisik maupun struktur pengambilan keputusan yang telah disusun diyakini dibangun oleh unsur-unsur yang saling bergantung dan membentuk suatu lingkar tertutup (feedback loop). Sterman dan John (2000) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip pembuatan model dinamik adalah (a) keadaan yang diinginkan dan keadaan yang terjadi harus secara ekplisit dinyatakan dan dibedakan di dalam model; (b) struktur stok dan aliran dalam kehidupan nyata harus dapat dipresentasikan di dalam model, (c) aliran-aliran yang secara konseptual berlainan cirinya harus secara tegas dibedakan di dalam menanganinya; (d) hanya informasi-informasi aktual yang tersedia untuk aktor-aktor dalam sistem tersebut yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan pemodelan; (e) struktur pengambilan keputusan dari model harus berkaitan dengan tindakan manajerial; (f) model harus tegar (robust) dalam kondisi ekstrim. Tasrif (2006) juga menjelaskan bahwa model yang dibentuk haruslah menuhi syarat-syarat sebagai berikut (a) Efek suatu intervensi, misal: suatu kebijakan dalam bentuk perilaku yang merupakan suatu kejadian berikutnya, maka untuk melacak unsur komponen waktu perlu “system dynamics”; (b) Mampu mensimulasikan berbagai macam intervensi dan dapat memunculkan perilaku sistem, karena adanya intervensi akan dapat dilakukan perubahan perubahan baik parameter maupun struktur model; (c) Memungkinkan mensimulasikan suatu intervensi yang efeknya dapat berbeda secara dramatik baik dalam jangka pendek dan jangka panjang sesuai kompleksitas perilaku dinamik; (d) Perilaku sistem dapat merupakan perilaku yang pernah dialami dan teramati, yaitu melalui data historis, ataupun perilaku yang belum pernah teramati yang meliputi perilaku yang pernah dialami tetapi tidak teramati maupun perilaku yang belum pernah dialami tetapi kemungkinan besar terjadi; (e) Mampu menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat terjadi.
53
Tangirala, dkk (2003) menyatakan bahwa metodologi “system dynamics” merupakan konsep yang berdasarkan pada sistem berfikir, dimana terjadi interaksi dinamik antara unsur-unsur dari suatu sistem untuk dipelajari dan diketahui perilakunya sebagai suatu sistem yang menyeluruh. Tangirala, dkk (2003) menjelaskan bahwa ide utama dalam pemodelan “system dynamics” adalah untuk mengerti perilaku suatu sistem dengan menggunakan struktur matematika yang sederhana. Dengan demikian, sistem dinamik dapat membantu para perencana dalam hal-hal sebagai berikut: (a) menggambarkan suatu sistem; (b) mengerti suatu sistem; (c) mengembangkan model secara kualitatif dan kuantitatif; (d) mengidentfikasi perilaku umpan-balik dari suatu sistem; (e) mengembangkan kendali kebijakan untuk pengelolaan sistem yang lebih baik. 2.8.1
Analisis Sistem Dinamik Analisis sistem dinamik ini merupakan bagian dari pendekatan sistem yang
berasal dari pengembangan teori sistem. Berdasarkan adanya pemahaman tentang kejadian sistemik tersebut, berikut ini ada lima langkah yang dapat ditempuh untuk menghasilkan bangunan pemikiran (model) yang bersifat sistemik, yaitu: i) identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata; ii) identifikasi kejadian yang diinginkan; iii) identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan; iv) identifikasi dinamika menutup kesenjangan; v) analisis kebijakan (Muhammadi et al. 2001). Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang sistematis. Menurut Eriyatno (1999) metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa), meliputi: (1) analisa kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi permasalahan, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial, dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (finansial). Pendekatan sistem memiliki dua hal umum sebagai tandanya, yaitu (1) dalam semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membentuk keputusan secara rasional (Marimin, 2005).
Salah satu dasar utama untuk
mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan
54
pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Teknik kuantitatif dan simulasi digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar peubah dalam sebuah model. Sistem yang diberi abstrak dan deskripsi yang disederhanakan memudahkan penggunaan model untuk menentukan usaha-usaha penelitian atau menguraikan garis besar suatu masalah untuk pengkajian yang lebih mendetail. 2.8.2
Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi model dilakukan sebagai proses uji sahih untuk mengetahui
berbagai kelemahan maupun kekurangan, serta identifikasi berbagai persoalan yang harus diantisipasi dalam kaitan penerapan kebijakan yang dihasilkan (Eriyatno & Sofyar, 2007). Menurut Hartrisari (2007) kata verifikasi diartikan sebagai menyatakan kebenaran, ketepatan atau kenyataan (to establish the truth, accuracy or reality), sedangkan kata valid didefinisikan sebagai mendapatkan hasil kesimpulan yang benar, berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Validitas adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan yang ditunjukkan dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta (Muhammadi et al., 2001). Sementara validasi model memiliki berbagai teknik untuk melaksanakannya. Teknik-teknik validasi tersebut antara lain: (1) animation, (2) comparison to the other models, (3) degeneration test, (4) event validity, (5) test extreme condition, (6) face validity, (7) faxed values, (8) historical data validation, (9) historical method, (10) internal validity, (11) multistage validity, (12) operational graphic, (13) parameter variability-sensitivity analysis, (14) predictive validation, (15) traces dan (16) turing test. Studi ini memanfaatkan face validity terhadap para pakar guna memeriksa kesesuaian antara prilaku model dengan prilaku sistem yang diwakilinya.
55
III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di Wilayah DAS Citarum yang terletak di Propinsi Jawa Barat meliputi luas 6.541 Km 2. Secara administratif DAS Citarum meliputi enam kabupaten yaitu: Karawang, Purwakarta, Subang, Cianjur, Sumedang, Bandung, serta dua kota yaitu: Bandung, dan Cimahi (lihat Gambar 8). DAS Citarum memiliki fungsi strategis karena melayani kebutuhan air berbagai sektor yaitu untuk pertanian (irigasi), air minum, industri dan PLTA. Berdasarkan potensi ekonomi, lingkungan dan sosialnya, stakeholders DAS Citarum tidak hanya masyarakat pada wilayah diatas, tetapi
juga
termasuk
masyarakat DKI Jakarta yang mengkonsumsi air minum yang berasal dari DAS Citarum. Penelitian ini dilaksanakan selama 18 bulan dari bulan Juni 2010 sampai dengan Desember 2011 dari tahap persiapan, survey dan pengumpulan data, analisis dan penulisan disertasi.
Gambar 8 Lokasi penelitian DAS Citarum 3.2 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dicapai (Gambar 9). Tujuan penelitian pertama dicapai dengan beberapa tahapan yaitu pengumpulan data sekunder dan data primer yang dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan MDS (multi dimensional scalling) untuk mendapatkan status keberlanjutan DAS Citarum.
56
Tujuan kedua untuk mendapatkan kebijakan prioritas pengelolaan sumber daya air DAS Citarum dilakukan melalui FGD (focus group discussion) guna mendapatkan struktur hirarki terkait kebijakan prioritas. Hal ini dianalisis menggunakan analisis deskriptif yang selanjutnya dijadikan bahan kuisioner guna diisi oleh para pakar sebagai bahan pembobotan alternatif kebijakan. Hasilnya dianalisis dengan menggunakan teknik AHP (analysis hierarchy process) untuk memperoleh kebijakan prioritas. Semua hasil di atas dijadikan sebagai bahan pemodelan menggunakan analisis sistem dinamik dan analisis kebijakan guna menghasilkan sintesa model konseptual kebijakan guna memenuhi tujuan ketiga dari penelitian ini. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dan informasi dari berbagai sumber dilakukan dengan menggunakan beberapa cara sebagai berikut: a) Studi literatur dan pengumpulan data sekunder Penelitian dilakukan menggunakan data sekunder ditunjang berbagai literatur pendukung. Data sekunder dilakukan melalui pengumpulan data, laporan dan dokumen serta publikasi yang diterbitkan oleh instansi terkait, serta berbagai jurnal, materi seminar dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian. Instasi terkait tersebut antara lain Perum Jasa Tirta II, Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, Dinas PSDA, Balai PSDA Citarum, Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung, Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Pengelolaan Sumberdaya Air Kementerian PU dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan. b) Wawancara Wawancara dilakukan secara semi terstruktur dengan beberapa narasumber kunci dan pihak-pihak lain yang terkait. Hasil wawancara ditunjang dengan pengumpulan data dari masyarakat dan stakeholders terkait melalui kuesioner. c) Focus Group Discussion (FDG) Focus group discussion dilaksanakan dengan para stakeholders pengelola sumber daya air di lingkungan kementerian PU dan institusi dari luar negeri yang bekerjasama dengan kementerian PU. Diskusi ini memberikan wawasan baru tentang pengalaman, kendala dan permasalahan dalam melaksanakan kebijakan
Tujuan
1. Menganalisis sejauh mana status keberlanjutan DAS Citarum ditinjau dari berbagai prespektif
Diagram Penelitian
Metode
Tools
Data sekunder
Studi Literatur
Pustaka
Survey Pakar Wawancara
Kuisioner
Analisis MDS
Rap-Citarum
Data primer
Kondisi Kekritisan
Persepsi Keberlanjutan
Status Keberlanjutan Analisis Deskriftif
2. Menganalisis urutan prioritas dalam merumuskan sistem pengelolaan SDA pada DAS Citarum yang berkelanjutan berdasarkan tujuan, kinerja serta alternatif lembaga pelaksananya;
FGD
Struktur Hirarki
Kebijakan Prioritas
AHP
CDP 3.05
Pemodelan
Analisis Sistem Dinamik Model Dinamik
Model Kebijakan Powersim Studio 2005E Analisis Kebijakan
3. Merumuskan model kebijakan pengelolaan SDA pada DAS Citarum yang berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan kemampuan pusat – daerah.
Verifikasi & Validasi
Face Validity AME
Fungsi Publik & Fungsi Ekonomi Pembagian Kewenangan (Pusat – Daerah)
MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS CITARUM Model Kelembagaan
Model Pendanaan
Model Manajemen
Gambar 9 Diagram alir penelitian. 57
58
dalam pengelolaan SDA, baik dari sudut kelembagaan, manajemen dan pendanaan pada negara yang lebih maju. 3.4 Metode Analisis Data Masalah pengelolaan SDA pada DAS Citarum rumit dan kompleks karena permasalahan ekologis berinteraksi dengan permasalahan ekonomi dan sosial, kemudian berimplikasi pada permasalahan kelembagaan yang menimbulkan beberapa faktor yang saling terkait dalam suatu ruang wilayah. Mengingat kompleksitas permasalahan tersebut, maka secara holistik penelitian dilakukan melalui pendekatan sistem (systems approach) yang dirancang guna merumuskan kebijakan pengelolaan SDA DAS Citarum secara berkelanjutan. Kebijakan tersebut dibangun melalui pendekatan manajemen basis data, manajemen basis model, dan manajemen basis knowledge. Analisis data yang digunakan terdiri dari: (1) analisis keberlanjutan yang terdiri dari analisis deskriptif dan analisis MDS guna memperoleh status keberlanjutan DAS Citarum; (2) proses hirarki analitik (AHP) guna mendapatkan kebijakan prioritas; serta (3) analisis analisis sistem dinamik dan analisis kebijakan guna merumuskan sintesa model konseptual kebijakan secara keseluruhan. 3.4.1
Analisis Keberlanjutan Analisis keberlanjutan ini dilakukan dengan dua cara yaitu analisis dengan
menggunakan teknik multi dimensional scalling (MDS) dan analisis deskriptif berdasarkan data sekunder. (1) Analisis MDS Analisis indeks dan status keberlanjutan dilakukan dengan teknik ordinasi Rap-Citarum, modifikasi dari Rapfish yang menempatkan sesuatu pada urutan yang terukur dengan metode MDS. Metoda ini melakukan transformasi multi dimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Pada penelitian ini, dimensi aspek keberlanjutan yang dipergunakan adalah ekologi, ekonomi, teknik, sosial budaya, kebijakan dan kelembagaan. Keenam dimensi tersebut memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan. Indikator yang digunakan dalam analisis keberlanjutan ini diadopsi dari Rapfish yang dimodifikasi (Rap-Citarum) sesuai dengan kondisi lingkungan
59
penelitian di DAS Citarum. Data untuk keperluan analisis diproses dengan kuesioner. Responden yang dipilih terdiri dari 16 pakar yang mewakili seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan SDA pada DAS Citarum dan memahami permasalahannya. Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multi dimensional yang mencerminkan posisi keberlanjutan. Melalui metode MDS, maka posisi keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Kemudian, dengan proses rotasi, posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (sangat baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih besar atau sama dengan 50% (> 50%), maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable) dan dinyatakan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50% (< 50%). (2) Analisis Deskriptif Analisis ini dikembangkan untuk mengevaluasi kinerja dari pengelolaan DAS Citarum yang berkaitan dengan kondisi kekritisan. Kondisi yang dikaji adalah kekritisan DAS pada kawasan hulu, kualitas air dan operasi kaskade tiga waduk.
Analisis
dilakukan
dengan
menggunakan
data
sekunder
yang
dikumpulkan dari berbagai instansi terkait. Analisis pada operasi kaskade tiga waduk menggunakan pendekatan model simulasi dari analisis deskriptif. Pada dasarnya pendekatan modul simulasi menganalogikan kondisi alam dan proses dari komponen-komponennya kedalam suatu konsep logika yang dapat dijabarkan dalam persamaan matematik. Output dari analisis ini dapat dibandingkan dengan kondisi nyata yang terjadi di lapangan. Hasil analisis, dapat diperoleh gambaran sampai sejauh mana tingkat kekritisan pada aspek tertentu, sekaligus untuk melengkapi status keberlanjutan dengan yang dihasilkan dengan teknik MDS. Hasil analisis kekritisan DAS pada kawasan hulu dan kualitas air akan digunakan sebagai komparasi terhadap dimensi lingkungan pada analisis MDS. Sedangkan analisis operasi kaskade tiga waduk merupakan komparasi terhadap dimensi kelembagaan dari analisis MDS. 3.4.2
Analisis Prioritas Kebijakan Analisis ini bertujuan mendapatkan alternatif kelembagaan yang paling
efektif dan efisien dalam pengelolaan DAS Citarum. Analisis ini dilakukan
60
melalui pendekatan analytical hierarchy process (AHP). Pelaksanaan penelitian meliputi: (a) studi pustaka dan diskusi untuk menyusun rancangan hirarki; (b) Pembuatan kuesioner untuk pengumpulan data primer; (c) wawancara langsung dengan responden dan pengisian kuesioner; (d) tabulasi data kuesioner; (e) operasionalisasi model dengan criterium decision plus (CDP) versi 3.0.4. Data untuk keperluan analisis ini akan diperoleh dengan cara wawancara langsung dan pengisian kuesioner. Oleh karena pendekatan AHP berbasis pada experties judgement, maka pemilihan responden ditujukan pada responden yang benarbenar memahami permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan DAS Citarum. Dalam hal ini responden dipilih dari kalangan pengguna air, birokrasi pemerintah baik pusat maupun daerah, perusahaan swasta, perguruan tinggi, BUMN (PLN dan PJT) dan LSM dengan jumlah responden sebanyak 12 orang. Hierarki atau struktur keputusan digambarkan dengan elemen sistem atau alternatif model dalam abstraksi sistem hierarki keputusan. Struktur hirarki dirumuskan melalui FGD yang dihadiri para pakar. Alternatif kelembagaan yang akan dianalisis adalah alternatif BBWS, PJT atau Balai PSDA, yang mana ketiganya mempunyai peran yang sama sebagai pengelola SDA. Keluaran hasil pengolahan data disintesis untuk menentukan prioritas lembaga pengelola SDA. Berdasarkan urutan prioritas tersebut maka alternatif kelembagaan yang berada di prioritas teratas adalah model kelembagaan yang dinilai paling efisien dan efektif untuk di terapkan dalam pengelolaan SDA pada DAS Citarum. Disamping itu, analisis ini akan menghasilkan juga urutan prioritas tujuan, faktor dan kinerja berdsarkan nilai skor tertinggi pada masingmasing tingkatan. 3.4.3
Analisis Model Kebijakan Perumusan sintesa model konseptual kebijakan secara keseluruhan disusun
berdasarkan model dinamik hasil analisis sistem dinamik dan model kebijakan hasil analisis kebijakan. (1) Analisis Sistem Dinamik Analisis model dinamik dilakukan terhadap variabel-variabel yang telah teridentifikasi yang meliputi aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Analisis model dinamik dilakukan melalui 2 tahap, yaitu pembuatan diagram simpal kausal dan
61
diagram alir. Diagram simpal kausal menunjukkan hubungan antar variabel dalam proses sistem yang dikaji. Prinsip dasar pembuatannya adalah suatu proses sebagai sebab yang akan menghasilkan keadaan, atau sebaliknya suatu keadaan sebagai sebab akan menghasilkan proses. Sedangkan diagram alir dibuat berdasarkan persamaan model dinamik yang mencakup variabel keadaan (level), aliran (rate), auxiliary, dan konstanta (constant). Variabel tersebut berupa lambang-lambang yang digunakan dalam pembuatan model dengan menggunakan piranti lunak Powersim. Model yang dikembangkan selanjutnya digunakan sebagai alat simulasi. Simulasi ini dilakukan setelah uji validitas dan hasil pengujian menunjukkan adanya kesesuaian atau keabsahan antara hasil simulasi dengan data empiris (Muhammadi et al., 2001). Analisis dan simulasi sistem dinamik dilakukan dengan bantuan program powersim studio 2005E untuk memproyeksikan kecenderungan kondisi pengelolan sumber daya air DAS Citarum saat ini dan analisis prospekif dampak pengelolaan setelah adanya kebijakan. (2) Perumusan Model Kebijakan Data dan informasi yang dihasilkan dari analisis keberlanjutan dan analisis prioritas kebijakan digunakan untuk merumuskan rancang bangun model. leverage factor pada beberapa dimensi yang kritis menurut hasil MDS dan urutan prioritas teratas pada masing-masing tingkatan sebagai hasil dari metode AHP merupakan variabel yang digunakan sebagai dasar dalam membangun model kebijakan. Selanjutnya dengan rancang bangun model dinamik, dilakukan analisis perumusan kebijakan dengan tahapan sebagai berikut: a) Perumusan sistem kelembagaan untuk menentukan lembaga pengelola yang ditujuk sebagai RBO, dilakukan dengan teknik AHP. b) Pemisahan fungsi publik dengan fungsi ekonomi, melalui skenario ruang lingkup PJT II berdasarkan hasil cost recovery dengan menggunakan teknik sistem dinamik. c) Pembagian kewenangan Pusat – Propinsi – Daerah
dalam penanganan
komponen yang menjadi fungsi publik dengan memperhatikan efektifitas dan
62
kemampuan masing-masing instansi serta efisiensinya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang optimal. d) Perumusan hirarki pengelolaan prasarana SDA dari hulu sampai hilir berikut sumber dananya dan mekanisme pertanggungjawabannya. e) Perumusan model kelembagaan, manajemen dan keuangan dilakukan dengan memperhatikan azas demokratis, akuntabel dan transparan. Tinjauan atas implikasi penerapan kebijakan pada pengelolaan DAS Citarum dengan indikator i) jangkauan layanan ketersediaan air baku untuk air minum, ii) kondisi lingkungan keairan dan iii) cost recovery PJT II. (3) Verifikasi dan Validasi Model Proses verifikasi model kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui berbagai kelemahan dan kekurangan dari model serta mengidentfikasi berbagai masalah yang perlu diantisipasi terkait dengan penerapan kebijakan yang dirumuskan (Eriyatno & Sofyar, 2007). Proses uji validasi pada penelitian kebijakan dilakukan terhadap dua aspek, yaitu proses perumusan kebijakan dan produk kebijakan. Verifikasi proses perumusan kebijakan dilakukan terhadap metode yang digunakan dalam pengembangan kebijakan. Sedangkan validasi produk kebijakan dilakukan melalui uji pendapat pakar atau dilakukan dengan membandingkan produk kebijakan hasil penelitian terhadap kebijakan yang sedang berjalan atau sudah dijalankan. Untuk model dinamik, kinerja beberapa variabel dilakukan dengan uji statistik. Uji statistik dimaksudkan untuk melihat penyimpangan antara keluaran simulasi dengan data aktual. Pengujian statistik meliputi uji penyimpangan ratarata absolut (AME), penyimpangan variasi absolut (AVE), saringan Kalman (KF), koefisien diskrepansi (U-Theils) dan Durbin Watson (DW). Absolute means error (AME) adalah penyimpangan antara nilai rata-rata simulasi terhadap data aktual. Sedangkan absolute variation error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap data aktual. U-Theils adalah koefisien diskrepansi antara nilai simulasi dengan data aktual. U-Theils dapat menggambarkan ada tidaknya penyimpangan yang menonjol.
63
Batas penyimpangan yang dapat diterima untuk AME, AVE dan U-Theils adalah antara 5-10%. Untuk mengamati pola penyimpangan dapat dilakukan melalui uji DW (Durbin Watson) dan KF (Kalman Filter). DW digunakan untuk melihat pola fluktuasi, jika DW > 2 maka terdapat fluktuasi yang tajam dan DW < 2 fluktuasi kurang tajam. Sedangkan KF digunakan untuk menjelaskan tingkat kesesuaian (fitting) antara hasil simulasi dan data aktual. Jika nilai KF = 0,5 maka model 100% sesuai, kurang 0,5 berarti nilai simulasi di bawah aktual dan lebih 0,5 berarti nilai simulasi melebihi data aktual (Muhammadi et al., 2001).
64
65
IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik DAS Citarum Daerah aliran sungai (DAS) Citarum dengan luas sekitar 6.600 km2.DAS Citarum terletak di bagian Tengah Jawa Barat dan bagian hulu sungai berada di Kabupaten Bandung. Sungai Citarum bersumber dari Situ Cisanti yang terletak di kaki Gunung Wayang pada ketinggian ± 2.198 m di atas permukaan laut, mengalir ke arah utara melewati Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, Purwakarta dan akhirnya bermuara di Laut Jawa di daerah Kabupaten Karawang dengan panjang total dari hulu sampai ke muara Laut Jawa sekitar 245 Km. Kondisi topografi DAS Citarum sangat bergelombang, terutama di daerah hulu dan tengah. Gradien sungai terbagi dalam tiga bagian, yaitu bagian hulu sepanjang ± 25 km merupakan bagian yang paling terjal dengan kemiringan sungai rata-rata 1:30. Bagian tengah sepanjang ± 150 km, mulai dari Daerah Cekungan Bandung ke hilir, kemiringan sungai cukup terjal yaitu rata-rata 1: 300. Sedangkan di bagian hilir waduk Jatiluhur, sungai mengalir di dataran endapan alluvial dengan bermeander pada kemiringan sangat landai sepanjang ± 70 km sampai di muara Laut Jawa (Gambar 10). Kondisi geologi regional, sebagian besar dataran Bandung ditutupi oleh aluvium yang terbentuk dari endapan sungai dan situ. Endapan aluvial yang menjadi aquifer utama di DAS Citarum umumnya tertutup oleh produk vulkanik kuarter yang dibentuk dari material pyroclastic dan aliran lava. Permeabilitas produk vulkanik bervariasi pada material yang tidak terkonsolidasi atau aliran lava berongga. Produk vulkanik ini memainkan peranan penting pada aquifer. Produk vulkanik kuarter ditutupi oleh batuan sedimenter dari zaman tersier. Batuan sedimenteryang membentuk rangkaian pegunungan di bagian Selatan dan Barat dataran Bandung ini tersusun atas pasir, lempung, marl (campuran tanah liat dan kapur), breksi, dan batu kapur yang sebagian besar bercampur. Tingkat permeabilitas tanah pada umumnya rendah namun sangat bervariasi pada batuan kapur (Dinas PSDA, 2009).
66
UTARA
Gambar 10 DAS Citarum 4.1.1 Kondisi Morfologi Morfologi yang terbentuk di DAS Citarum adalah hasil kegiatan tektonik dan vulkanisme, dilanjutkan proses erosi dan sedimentasi. Kondisi morfologi DAS Citarum adalah sebagai berikut: Morfologi Gunung Api, Daerah hulu anak-anak sungai pada DAS Citarum terbentuk dari morfologi gunung api yang memiliki karaktersitik relief landai bergunung, elevasi ketinggian 750 – 2300 m diatas muka laut (m dpl), kemiringan lereng di kaki 5 – 15%, di tengah 15 – 30%, dan di puncak 30 – 90 %. Pola aliran sungai sejajar dan radier, umumnya merupakan daerah resapan utama air tanah dangkal dan dalam serta tempat keluarnya mata air–mata air pada lokasi tekuk lereng. Batuan penyusun berupa endapan gunungapi muda dan tua, terdiri dari tufa, breksi, lahar dan lava. Proses geodinamis adalah aktivitas gunung api dan pengangkatan karena magma, serta agradasi karena longsoran tebing, erosi dan aktivitas manusia seperti penggalian, pemotongan lereng dan lain-lain.
67
DAS Citarum berada pada morfologi gunung api, di daerah Bandung Utara antara lain berderet G. Tangkubanparahu (2.075m), G. Burangrang (2.064m), G. Bukit Tunggul (2.209m), dan G. Manglayang (1800m), dengan anak-anak Sungai Citarum antara lain: S. Cikapundung, S. Cikeruh, S. Cimahi, S. Cipamokolan, S. Cibeureum, dan S. Cipalasari yang mengalir ke arah Selatan. Sedangkan deretan di sebelah selatan adalah G. Malabar (2.343 m), G Tilu (2.040 m), G Wayang (2.182m), G. Patuha, dan G. Guntur (2.040m) dengan anak-anak Sungai Citarum antara lain: S. Citarum Hulu, S. Citarik, S. Cisangkuy, S. Ciasiah, dan S. Ciwidey, mengalir ke Utara. Di daerah Cianjur antara lain G. Gede dengan anak-anak sungainya yang mengarah ke Timur menuju Waduk Cirata. (Atlas SDA Dinas PSDA, 2005). Morfologi Perbukitan, morfologi ini dibagi menjadi perbukitan batuan beku dan bergelombang, mempunyai karaktersitik yaitu relief berbukit, terpisah, elevasi ketinggian 700 – 1500 m diatas muka laut (m dpl), kemiringan lereng 15 - 70%, berpola aliran sungai sejajar dan dendritik, umumnya bukan daerah resapan utama air tanah. Batuan penyusun berupa batuan beku intrusi dan lava serta breksi gunung dan batuan sedimen tersier. Proses geodinamis adalah patahan aktif, serta agradasi karena longsoran tebing, erosi dan aktivitas manusia. DAS Citarum mempunyai morfologi perbukitan intrusi antara lain G. Parang (975m), G Haur (522m) di sekitar waduk Jatiluhur, G Lagadar (800 m), G. Lalakon di Cimahi Bandung, dan gugusan G.Geulis di sekitar Banjaran- Ciparay Bandung. Perbukitan bergelombang memanjang, terjal terdapat di sekitar Rajamandala dekat Waduk Saguling. Morfologi Pedataran, Morfologi pedataran dapat dibagi menjadi dataran tinggi, dataran kipas aluvium, dataran aluvium sungai, dataran rawa dan pantai. Mempunyai karaktersitik yaitu relief rendah, elevasi ketinggian 0 – 700 m diatas muka laut (m dpl) kemiringan lereng 0 - 15%, Sungai-sungai meandering, berpola sejajar dan dendritik, umumnya merupakan daerah banjir dan lepasan air tanah. Batuan penyusun berupa kipas gunung api, endapan sedimen sungai, pantai dan rawa. Proses geodinamis adalah longsoran tebing sungai, erosi dan aktivitas manusia seperti penggalian, penimbunan dan lain-lain. Datarantinggi terdapat di Cekungan Bandung dan sekitarnya, sedangkan sisanya berada pada dataran kipas
68
aluvium ditempati Kota Karawang, Purwakarta dan Subang. Dataran limpah banjir menghampar meluas di dataran pantai utara berbentuk meandering, Dataran aluvium sungai terdapat pada alur-alur dibentuk oleh endapan sungai-sungai. Dataran rawa dan pantai yang berbatasan langsung dengan garis pantai terdapat muara beserta cabang-cabangnya membentuk delta. 4.1.2 Kondisi Tataguna Lahan Sebagaimana tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Jawa Barat Tahun 2003 (Perda Nomor 2 Tahun 2003 Tentang RTRW Provinsi Jawa Barat), perubahan tataguna lahan DAS Citarum dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 11 dan Tabel 8 dibawah ini.
UTARA
Keterangan: Batas Provinsi Batas Kabupaten/Kota I bukot a Kabupaten/Kota Gunung Danau/Waduk Sungai Batas DAS Hutan Primer Hutan Sekunder Perkebunan Kebun Campuran Ladang/Tegalan Permukiman Kota Sawah Permukiman Perdesaan Pertambangan/Galian Padang Rumput Semak/Belukar Tanah Kosong/Terbuka Tambak Bakau/Mangroove
Gambar 11Tataguna Lahan DAS Citarum (Tahun 2005)
69
Tabel 8 Tataguna Lahan (%) DAS Citarum Tahun 1994-2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Penggunaan Lahan Hutan Primer Hutan Sekunder Lahan Pertambangan Lahan Industri Tanaman Campuran Lahan yang tidak beririgasi Semak/Belukar Kebun/Perkebunan Lahan Permukiman Sawah Sungai/Danau/Waduk/Situ Tambak/Empang Tanah terbuka
1994 11,4 21 0 0,2 4,6 2,7 1,2 9,2 1,9 45,6 1,1 1 0,1
Tahun 2001 2005 8,8 8,2 3,3 3,1 0 0 0,3 0,3 6,5 10,3 3,7 3,4 1,4 1,7 19,6 25,4 2,4 2,7 51,5 42,5 1,3 1,2 1,1 1,1 0,1 0,1
2010 1,2 8,1 0 0,3 16,3 3,5 11,6 7,3 26,1 25,3 0,1 0,1 0,1
Sumber: Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat (Bapeda, 2003).
Perubahan tata guna lahan yang paling sensitif terutama dampaknya terhadap ketersediaan air adalah kebutuhan lahan untuk permukiman dan kerusakan kawasan lindung/daerah kehutanan akibat aktivitas pertanian lahan kering oleh masyarakat. Perubahan tersebut akan mendorong meningkatnya runoff dan menurunnya resapan air untuk mengisi air tanah yang dampaknya banjir dimusim hujan dan kekeringan di musim kemarau.Kawasan yang rawan terhadap alih fungsi lahan terutama di daerah Bandung dan Bekasi akibat tekanan urbanisasi yang tinggi. Gambar 12 menunjukan tingkat kepadatan penduduk di kawasan Cekungan Bandung (DAS Citarum Hulu). UTARA
Gambar 12 Peta kepadatan penduduk penduduk padaCitarum Hulu
70
Berdasarkan data studi Institutional Strengthening For Integrated Water Resouces Management in 6 Ci’s River Basin Territory, telah terjadi penurunan luas lahan pertanian di DAS Citarum dari 415.025 ha pada tahun 1989, menjadi 355.544 ha pada tahun 2010, yang terdiri dari irigasi teknis dari 366.856 ha menjadi 324.923 ha, dan irigasi semi-teknis dari 48.169 ha menjadi 30.621 ha. 4.2 Kondisi Sosio-Ekonomi Sungai Citarum beserta tiga waduk besar yaitu Saguling, Cirata, dan Juanda, merupakan sumber air tawar terbesar dan memiliki potensi ekonomi yang sangat penting di Jawa Barat. Di dalam kawasan DAS Citarum, saat ini diperkirakan 12,5 juta penduduk bermukimdan lebih kurang 1.000 buah industri beroperasi.Selain itu pemanfaat air S.Citarum ini ada juga penduduk yang bermukim di Jakarta yaitu sekitar 8,8 juta jiwa melalui Saluran Tarum Barat. Sumber air Citarum dimanfaatkan untuk berbagai keperluan kehidupan dan proses pembangunan, antara lain: sumber baku air minum (±25 m3/detik) termasuk untuk Jawa Barat dan DKI Jakarta, pembangkit listrik (3.960 MW), air irigasi, perikanan dan peternakan, sumber baku air industri, pariwisata, dan sarana olah raga. Sebagai penyedia air bagi Daerah Irigasi Jatiluhur seluas ±240.000 ha, DAS Citarum memberikan kontribusi besar terhadap produksi beras Jawa Barat dan malahan Nasional. Selama ini kontribusi Jawa Barat terhadap produksi padi Nasional mencapai 17% per tahun termasuk produksi dari Irigasi Jatiluhur. DASCitarum menanggung beban sangat besar dan jutaan penduduk sangat tergantung dari sumber air Citarum. Beban ini tentu akan terus bertambah sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonominya.Jumlah penduduk yang tinggal pada Kabupaten/Kota yang seluruhnya masuk pada DAS Citarum yaitu Kabupaten Bandung dan Kota Bandung sekitar 7.297.900 jiwa dengan laju pertumbuhan per tahun 0,50 - 2,12% dan kepadatan penduduk sekitar 4.215/km2, dan lainnya yang hanya sebagian dari wilayah administratifnya diantaranya Kabupaten Bekasi dan Karawang sekitar 3.522.126 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 0,58 - 0,98% per tahun dan kepadatan penduduk sekitar 1.488/km2, dan Kabupaten Subang, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Purwakarta sekitar 3.725.100 jiwa, dengan laju pertumbuhan 0,48 - 0,76% per tahun dan kepadatan 410/km2. Sementara itu dari catatan dari Institutional Strengthening For
71
Integrated Water Resouces Management in 6 Ci’s River Basin Territory,penduduk di Sungai Citarum terdiri atas 7.040.337 jiwa pria, dan 6.974.515 jiwa wanita. Selain dari beban penduduk DAS Citarum juga ditempati oleh lebih dari 1000 industri, namun hanya 542 industri saja yang berpotensi membuang limbah cair dengan didominasi oleh industri tekstil mencapai 396 industri. 4.3 Kondisi Sumber Daya Air Sumber air yang ditinjau dalam studi ini pada dasarnya terdiri dari dua jenis yaitu sumber air permukaan dan sumber air tanah. 4.3.2
Air Permukaan Dengan tinggi curah hujan tahunan berkisar antara 1.500-4.000 mm,
potensi sumberdaya air permukaan pada daerah pengaliran Sungai Citarum ratarata mencapai 11 milyar m3 per tahun dalam kondisi normal. Dari potensi tersebut, sampai dengan saat ini baru sekitar 5,2 Milyar m3 per tahun yang sudah terkendali dan dimanfatkan untuk berbagai kebutuhan,sedangkan sisanya sebagian besar terbuang kelaut. Rata-rata curah hujan tahunan DAS Citarum mencapai sekitar 2.400 mm. Rata-rata terendah terjadi di daerah pantai Utara dengan curah hujan sekitar 1.500 mm per tahun,sedangkan rata-rata tertinggi terjadi di daerah hulu sungai Ciherang, Cilamaya, dan hulu sungai Cipunagara dengan curah hujan mencapai 4.000 mm per tahun. Suhu rata-rata di dataran rendah sekitar 27ºC, sedangkan di bagian hulu sungai di daerah dataran tinggi/pegunungan suhu udara minimum rata-rata 15,3ºC yang tercatat di daerah Ciwidey, Pangalengan, dan Lembang. Kelembaban udara relatif rata-rata tahunan antara 80% - 92%, dengan tingkat penguapan rata-rata tahunan sekitar 1.640 mm. Keadaan iklim di DAS Citarum, sebagaimana umumnya wilayah Jawa Barat, adalah memiliki iklim tropis monsun dengan suhu dan kelembaban udara relatif konstan sepanjang tahun. Iklim tropis monsun dicirikan dengan terjadinya dua musim, yaitu hujan dan kemarau.Musim hujan terjadi pada bulan-bulan Oktober - Maret dan musim kering atau kemarau terjadi pada bulan-bulan Juni – September. Bulan-bulan lainnya merupakan masa transisi atau pancaroba.
72
Gambar 13 Rata-rata Debit Masuk dan Keluar Waduk Jatiluhur Berdasarkan catatan dari Institutional Strengthening for Integrated Water Resouces Management in 6 Ci’s River Basin Territory, didapatkan gambaran neraca air di DAS Citarum, seperti disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Neraca air DAS Citarum (Institutional Strengthening For Integrated Water Resouces Management in 6 Ci’s River Basin Territory, Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum) Potensi, pemanfaatan, dan beban Sungai Citarum yang besar tersebut harus dikelola melalui sebuah sistem yang dapat mendatangkan manfaat yang sebesarbesarnya bagi masyarakat luas, baik langsung maupun tidak langsung tanpa
73
menimbulkan dampak negatif yang merugikan. Jika potensi sungai yang ada tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan Sungai Citarum akan menjadi sumber bencana yang dampak negatifnya semakin meningkat di masa mendatang. 4.3.3
Potensi Air Tanah DAS Citarum secara geografis melalui 2 Cekungan Air Tanah (CAT) yaitu
CAT Bandung-Soreang pada DAS Citarum Hulu dan CAT Karawang-Bekasi pada DAS Citarum Tengah-Hilir. Untuk di CAT Bandung-Soreang yang secara geografis mempunyai batas-batas berhimpit dengan DAS Citarum secara umum mempunyai potensi air tanahnya sebagai berikut: Kelompok Akuifer Dangkal (< 40 m). Sistem akuifer dangkal dapat terlihat pada singkapan batuan dan sumur gali penduduk kedalaman 1,2 – 22,5 m dan kedalaman sumur bor 30 m. Tebal akuifer 1,2 – 30 m, muka air tanah 0,5 – 20,8 m dibawah muka tanah setempat, semakin dangkal di dataran sekitar S. Citarum, dan semakin dalam di lereng Utara, Timur, dan Selatan. Fluktuasi muka air tanah di daerah dataran rendah dan kemiringan tinggi relatif tinggi. Arah aliran mengarah ke dataran mengitari S. Citarum. Kelompok Akuifer Tengah (40-150 m). Kedudukan kelompok akuifer ini di 35 – 100 m dibawah muka tanah setempat (mbmt), posisi saringan 34,5 dan 69,5 mbmt, MAT 1,1 – 30 mbmt dan 34,5 – 69,5 mbmt di daerah pengambilan intensif dengan debit sumur 10 L/detik. Kelompok Akuifer Dalam (> 150 m). Kelompok akufer dalam mempunyai kedalaman 100 – 200 mbmt, bersifat tertekan, dengan posisi saringan 57 – 192 mbmt. UTARA
Gambar 15 CAT Bandung-Soreang (DAS Citarum Hulu)
74
Sedangkan untuk wilayah DAS Citarum Tengah-Hilir termasuk pada CAT Karawang-Bekasi yang mempunyai potensi air tanahnya sebagai berikut: Kelompok Akuifer Dangkal (<40 m). Kelompok akuifer ini tersusun oleh konglomerat, breksi, dan batupasir yang merupakan Formasi Citalang. Kedudukan satuan ini hampir sulit dipisahkan dengan lapisan-lapisan yang berada di permukaan, Ketebalan minimum ketiga satuan ini secara keseluruhan mencapai 50 meter. Lapisan-lapisan batupasir dan konglomerat pada ketiga satuan ini merupakan penyusun akuifer tidak tertekan (bebas) dan akuifer semi tertekan (semi confined aquifer). Kelompok Akuifer Tengah (40 – 140 m). Kelompok akuifer tengah tersusun oleh batupasir dan batulempung dengan ketebalan bervariasi yang meruapakan Formasi Kaliwungu antara 40 – 100 m. Lapisan batupasir diperkirakan berfungsi sebagai akuifer yang produktif dengan jenis media pori. Lapisan-lapisan batupasir ini merupakan penyusun utama lapisan akuifer tertekan. Bentuk akuifer tertekan (confined aquifer) ini menjemari dengan lapisan batulempung yang berfungsi sebagai lapisan penekannya. Kedalaman bagian atas lapisan akuifer semakin dalam ke arah utara dan mencapai kedalaman 80 m di bawah muka tanah setempat. Kelompok Akuifer Dalam ( > 140 m). Kelompok akuifer initersusun oleh batulempung, batupasir, dan batupasir gampingan, diendapkan pada laut dangkal. Formasi yang secara regional berpotensi sebagai akuifer dengan produktifitas rendah – sedang. 4.4 Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan di sekitar DAS Citarum sangat berpengaruh terhadap keadaan di Sungai Citarum. Lingkungan DAS yang baik akan membawa dampak positif terhadap Sungai Citarum. Sebaliknya, semakin rusak kondisi lingkungan akan membawa dampak pada potensi bencana di sekitar Sungai Citarum. Beberapa hal yang akan ditinjau dalam bahasan ini antara lain: kondisi lingkungan hidrologi di DAS Citarum, kondisi infrastruktur di sepanjang Sungai Citarum, kejadian banjir, degradasi lingkungan air tanah dan land subsidence, dan pencemaran sungai.
75
4.4.1
Kondisi Lingkungan Hidrologi DAS Secara umum sistem lingkungan hidrologi di DAS Citarum dibagi menjadi
dua bagian, yaitu sistem hidrologi bagian hulu (dari Gunung Wayang sampai Bendungan Saguling) dan sistem hidrologi bagian hilir (dari Bendungan Saguling sampai muara). Sebagai sistem hidrologi, DAS bagian hulu pada umumnya memiliki fungsi perlindungan, dan DAS bagian hilir memiliki fungsi pemanfaatan. Selain sebagai sistem hidrologi, DAS yang terdiri dari komponenkomponen vegetasi, tanah, air dan sumber air, topografi, dan manusia, adalah merupakan suatu sistem ekologi yang sifatnya sangat kompleks. Kerusakan lingkungan hidrologi DAS bagian hulu akan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Berdasarkan hasil studi 6 Ci menyatakan bahwa 38,7% dari Wilayah Sungai Citarum adalah dalam kondisi kritis, terutamalingkungan hidrologi DAS Citarum hulu. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh rusaknya kawasan hutan akibat penebangan liar dan adanya kegiatan pertanian rakyat yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi, serta berkembangnya daerah-daerah permukiman tanpa perencanaan yang baik. Kondisi ini mengakibatkan tingginya runoff, tingginya tingkat erosi lahan, dan rawan tanah longsor. Indikasi kerusakan DAS Citarum, terutama di bagian hulu, juga terlihat dari kecenderungan perubahan perubahan perilaku aliran air yang masuk ke Bendungan Saguling. Tingkat fluktuasi debit yang masuk Bendungan Saguling berdasarkan hasil observasi telah mengalami peningkatan dari 3,4 pada tahun 1992 meningkat menjadi 7,4 pada tahun 2003 (ICWRMP, 2006). Sedangkan laju erosi berdasarkan survey batimetri yang dilakukan Indonesia Power di waduk Saguling, telah mencapai 8 Juta m 3 per tahun atau sekitar 60 ton/ha/tahun. Sedimentasi yang tinggi di waduk dapat memperpendek umur ekonomi waduk. 4.4.2
Kejadian Banjir Banjir dan kekeringan adalah salah satu konsekuensi dari rusaknya
lingkungan hidrologi DAS. Bencana banjir Bandung Selatan terjadi hampir setiap tahun, pada dasarnya adalah karena meluapnya sungai Citarum pada saat banjir ke daerah permukiman dan atau tertahannya air banjir lokal yang tidak dapat masuk ke Sungai Citarum. Secara teknis hidrolis, meluapnya banjir Sungai Citarum
76
adalah akibat kapasitas sungai yang tidak mampu menampung debit banjir yang terjadi. Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan kerusakan lingkungan hidrologi DAS hulu yang mengakibatkan tingginya debit puncak banjir, dan bersamaan dengan itu tingginya erosi di hulu dan sedimentasi di hilir mengakibatkan kapasitas Sungai Citarum di daerah Bandung Selatan cepat menurun. Dampak banjir Bandung Selatan sebagaimana Tabel 9. Tabel 9 Kejadian banjir di DAS Citarum Hulu (Atlas SDA Jabar, 2005) Kejadian Banjir Maret 2010 Kec Baleendah, Rancaekek, Dayeuh Kolot 16 Mei, 2005* Kec.Dayeuhkolot 19–20 Februari , 2005**
Lama Genangan
Tinggi Genangan
Luas
6 – 20 hari
2–4m
10.000 ha
6 –10 hari
2–3m
-
-
Genangan Permukiman Jiwa KK Rumah
-
-
-
-
2 hari
0,5- 2 m
Kec. Rancasari
-
-
1.004 ha
-
-
-
Kec.Rancaekek
-
-
440 ha
-
-
-
Kec.Dayeuhkolot&Bale Endah
-
-
475 ha
-
-
-
16-21 Februari,2003***
6 hari
0,5 –1,5 m
Kec.Baleendah,Kel Andir
-
-
-
8.345
1.936
-
3 hari
1–5m
-
1.025
224
-
1.Kel Andir
-
-
-
7.345
1.936
1.250
2. Ds.Rancamanyar
-
-
-
420
140
40
3.Ds.Bojongmalaka
-
-
-
826
160
180
1.Kel Pesawahan
-
-
-
1.695
569
361
2.Ds.Cangkuang wetan
-
-
-
3.410
793
621
3.Ds. Dayeuhkolot
-
-
-
1.750
675
384
-
-
7.450 ha
-
-
-
Kec.D.kolot Kel. Pasawahan 25-27 Des,2002** Kec.Baleendah
Kec.Dayeuhkolot
Maret, 1986 Sekitar Kec.Dayeuhkolot
Sumber: *Trijono, Pengendalian Banjir S.Citarum Hulu, 2005; **Satlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsian Kab.Bandung; ***Satlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsian Kab.Bandung
Genangan banjir menyebabkan terendamnya permukiman termasuk sumur penduduk, hal ini menyebabkan kesulitan mendapatkan air bersih dengan dampak timbul penyakit paska banjir. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, penduduk pada paska banjir terjangkit penyakit (diare, kulit dan mata ) yang diantaranya terjadi di kecamatan Rancaekek dan Bale Endah.
77
Sedangkan dampak sosial dari banjir tahun 2010, bencana banjir juga terjadi di Kota Bekasi terutama di hilir pertemuan dua anak sungai Cikeas dan sungai Cileungsi yang bermuara di Kali Bekasi., diantaranya yang teridentifikasi adalah: a) 3.882 dan 6.000 rumah terendam di Kel. Baleendah dan kel. Andir, Kecamatan Baleendah. b) 248 rumah, 10 masjid, dan 5 Sekolah Dasar terendam 1 – 3 m di Kecamatan Dayeuhkolot. c) Ratusan rumah di Desa Bojongsoang dan Tegaluar. d) Banjir setinggi 1,5 m merendam ratusan rumah di Kecamatan Rancaekek akibat bobolnya tanggul S. Cikeruh di beberapa tempat. e) Kabupaten Bekasi 16.077 buah rumah dan 666 ha sawah. f) Kabupaten Karawang 1.097 buah rumah dan 1.069 ha sawah. g) Kabupaten Purwakarta, Cikao 450 buah rumah. 4.4.3
Penurunan Muka Air Tanah dan Land Subsidence Ekploitasi air tanah yang tidak terkontrol di terutama kawasan CAT
Bandung-Soreang atau DAS Citarum Hulu terutama untuk kebutuhan air baku industri, telah menyebabkan penurunan air tanah dan degradasi lingkungan berupa penurunan muka tanah (land subsidence). Sebagai pusat industri tekstil di Indonesia, penurunan muka airtanah (MAT) yang cukup signifikan sebagai akibat dari pengambilan airtanah dilaporkan telah terjadi di daerah Bandung dan sekitarnya.Eksploitasi airtanah selama 40 tahun terakhir yang dimulai tahun 1970an telah menyebabkan terjadinya penurunan MAT dengan laju penurunan bervariasi di beberapa tempat. Dampak lingkungan akibat penurunan MAT di wilayah Bandung dan sekitarnya, berdasarkan hasil studi oleh Abidin dkk (2009) menggunakan teknologi satelit dan GPS, terbukti telah mengalami land subsidence (amblesan tanah) dengan besar bervariasi 5-75 cm dari tahun 2000 sampai tahun 2008. Daerah-daerah yang terbesar mengalami amblesan tanah tersebut adalah Dayeuhkolot, Rancaekek, dan Cimahi.Penelitian lapangan di daerah-daerah yang mengalami fenomena amblesan tanah, menunjukkan bahwa daerah-daerah
78
inimerupakan daerah kompleks industri (Wirakusumah dkk., 2006 dalam Abidin dkk., 2009). Untuk daerah DAS Citarum Tengah-Hilir yang termasuk CAT Karawang_Bekasi juga telah terjadi penurunan MAT pada zona rusak. Zona rusak yaitu daerah yang saat ini mempunyai kedudukan lebih dari 40 m bmt, antaralin di daerah di Desa Telagaasih, Sukadanau, Gandasari, dan Gandamekar di Kec. Cikarang Barat, Desa Tambun, dan Jatimulya di kec. Tambun Selatang (Dinas Bina Marga dan Pengairan, Kab Bekasi, 2009) seperti pada Gambar 16. Sedangkan landsubsidence di daerah ini belum diketemukan laporan/tulisannya.
UTARA
Gambar 16 Zonasi Penurunan Tanah di DAS Citarum Hulu (Abidin dkk., 2009) 4.4.4
Pencemaran Air Beban Pencemar Industri, Industri yang terdapat di DAS Citarum sampai
tahun 2005 yang berpotensi pencemaran sumber air adalah sekitar 542 unit, tersebar mulai DAS Citarum hulu, tengah dan hilir. Industri tersebut terletak pada beberapa kabupaten dan kota dengan sebaran sebagaimana pada Table 10 di bawah.
79
Tabel 10 Industri di DAS Citarum No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Jenis Tekstil Kimia Kertas Kulit Cat Logam/Elektroplating Farmasi Makanan dan Minuman Pupuk/Pestisida Detergent Cold Storage Percetakan Uang Minyak Goreng Karpet Keramik Karet Kawasan Industri Jumlah
Jumlah
Persentase
396 26 7 7 6 12 13 21 1 2 7 1 1 3 4 2 33 542
73,1% 4.8% 1.3% 1.3% 1.1% 2.2% 2.4% 3.9% 0.2% 0.4% 1.3% 0.2% 0.2% 0.6% 0.7% 0.4% 6.1% 100%
Sumber: Strategi Pengelolaan Lingkungan Propinsi Jabar, 2005, h.21
Kewajiban mengolah limbah bagi industri diatur dalam
PP Nomor 82
Tahun 2001, tentang “Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air”. Sedangkan beban pencemaran industri diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51/MENLH/10/1995 tentang “Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri”. Berdasarkan potensi pencemaran Kabupaten Bandung Tahun 2008, diidentifikasi 114 industri (93,4%) dari 122 industri di DAS Citarum Hulu (didominasi industri tekstil), telah dilengkapi IPAL dan IPAL Gabungan Cisirung yang melayani sekitar 24 industri atau 7,5 tonBOD/hari. Walaupun sebagian besar industri telah dilengkapi IPAL, S.Citarum masih jelek kualitasnya karena industri tersebut tidak memenuhi ketentuan Baku Mutu Limbah Cair (BMLC) yang ditunjukan pada Gambar17. 30 25 20 15 10 5 0
Tidak Ada F F,K F,K,B
Gambar 17 Industri dengan Kadar COD tidak Sesuai BMLC di DAS Citarum Hulu
80
Secara rinci jumlah industri yang berada di DAS Citarum yaitu terdiri dari 471 industri kecil dan 600 industri besar, namun yang berpotensi membuang limbah cair adalah sebanyak 542 industri saja atau sekitar 92,4%-nya adalah industri besar. Potensi untuk membuang limbah cair untuk industri kecil diantaranya seperti: pabrik tahu, tempe, makanan dan sedangkan industri besar umumnya membuang limbah cair tetapi ada juga yang tidak berpotensi membuang limbah cair seperti industri garment dan benang. Selain kegiatan yang langsung oleh industri termasuk juga limbah fasilitas perkotaan dan berbagai kegiatan perdagangan lainnya. Secara keseluruhan beban pencemaran industri yang umumnya disajikan dengan beban pencemaran BOD atau juga COD seperti pada Tabel 11 (Yusuf, 2010). Tabel 11 Potensi Beban Pencemaran Industri DAS Citarum Beban Pencemaran, BOD(ton/hari) No.
Beban Pencemaran, COD(ton/hari)
Zonasi
1.
Zona Hulu
2.
Zona Tengah
3.
Zona Hilir Jumlah
1990
2000
2010
2020
1990
2000
2010
2020
67,789
78,901
92,515
106,128
197,266
237,729
279,765
340,671
7,541
16,664
24,600
32,536
18,249
43,86
70,75
98,259
27,696
30,125
32,770
35,412
83,642
95,316
105,323
117,214
103,026
125,690
149,885
174,076
299,157
376,905
455,838
556,144
Selain parameter indikator limbah industri seperti BOD dan COD yaitu logam berat. Berdasarkan KepMen LH Nomor 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri (beberapa industri), efluen air limbah industri tekstil diantaranya parameter zat pencemar yaitu: BOD, COD, TSS, Fenol, Cr, Amonia Tot (NH3-N), Sulfida (S), M&L, pH, warna, suhu;maka untuk potensi pencemaran logam berat dalam hal ini Cr-total seperti pada Tabel 12 (Yusuf, 2010). Tabel 12 Potensi Beban Pencemaran Krom dari Industri di DAS Citarum No. 1. 2. 3.
Zonasi Zona Hulu Zona Tengah Zona Hilir Jumlah
Beban Pencemaran, Cr(kg/hari) 1990 10,54 0,975 4,469
2000 12,703 2,344 5,093
2010 14,949 3,78 5,628
2020 18,203 5,25 6,263
15,984
20,14
24,357
29,716
81
Beban Pencemar Penduduk, penduduk merupakan sumber pencemar bagi S.Citarum. Berdasarkan Yusuf (2010), jumlah penduduk yang bermukim di DAS Citarum untuk masing-masing zonasi sungai adalah seperti pada Tabel 13. Tabel 13 Potensi Beban Pencemaran Penduduk di DAS Citarum (2010) No.
1. 2. 3.
Jumlah Penduduk (jiwa)
Zonasi
Zona Hulu Zona Tengah Zona Hilir Jumlah
6.343.993 5.343.452 680.374 12.367.819
Sistem Sanitasi IPLT/ SepticTank IPAL (jiwa) (jiwa) Tahun 2010 2.403.449 625.000 1.395.261 75.000 214.975 21.825 4.013.685 721.825
Tanpa Pengolahan
(jiwa) 3.315.544 3.873.191 465.399 7.654.134
Beban Pencemaran, BOD (ton/hari) 153,732 160,986 19,052 333,770
2020 188,648 188,277 22,455 399,370
Limbah penduduk tersebut dengan berbagai sistemnya dan akhirnya masuk ke S.Citarum baik melalui perpipaan secara langsung ataupun melalui anak-anak sungainya sehingga mengakibatkan memburuknya kualitas air S.Citarum. Jumlah penduduk yang menggunakan sistem pengolahan air limbah yang umumnya menggunakan septic tank yaitu 4.013.685 atau 32,4%; yang menggunakan IPAL terpadu yaitu hanya di anak sungai Cikapundung yang melalui Kota Bandung untuk 500.000 jiwa, selain itu ada juga sistem instalasi pengolahan limbah tinja (IPLT)yang mekanismenya diangkut dengan mobil tinja sebanyak 221.825 jiwa yang tersebar di Kabupaten Bandung. Sebagai kontributor pencemaran yaitu yang membuang limbah secara langsung ke sungai sebanyak 7.654.134 jiwa atau 61,88%, sehingga total potensi beban pencemaran limbah penduduk adalah 333,77 tonBOD/hari pada tahun 2010 dan dengan pertumbuhan penduduk sekitar 1,7% maka pada tahun 2020 beban pencemaran diperkirakan
akan
berkembang
dengan
keterbatasan
ruang
namun
kemungkinannya akan berkembang ke arah vertikal sehingga menjadi 399,37 tonBOD/hari. Ini merupakan jumlah beban pencemaran organik yang sangat tinggi dibanding dengan jumlah beban pencemaran industri tahun 2020 yaitu hanya 174,076 tonBOD/hari. Beban Pencemar Gabungan, selain sumber pencemar air dari penduduk dan industriyaitu limbah pertanian dan peternakan. Berdasarkan hasil perhitungan beban pencemar industri, penduduk, pertanian, dan peternakan maka beban pencemar total seperti pada Gambar 18 berikut ini.
82
ri st u d In
Gambar 18 Beban Pencemaran Gabungan Konsekuensi rasional dari tingginya beban pencemaran yang tidak dikelola secara baik memicu rendahnya status mutu air Sungai Citarum, yang menurut indeks Storet (BPLHD Jabar, 2009) adalah dalam kondisi tercemar berat (dibawah -31), dengan data selengkapnya seperti terlihat pada Gambar 19.
-120
-100
-80
-60
-40
-20
-47 -69 -111 -92 -95 -85 -88 -77 -57 -66
Wangisagara Majalaya Sapan
Lokasi
0
Cijeruk Dayeuhkolot Burujul/Daraulin
Nanjung Bendung Curug Bendung Walahar Tanjungpura
Nilai Storet Gambar 19 Nilai Storet S.Citarum 2009 (BPLHD Jabar, 2009)
83
V ANALISIS KEBERLANJUTAN 5.1
Analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) Kondisi keberlanjutan pada DAS Citarum dikaji dengan menggunakan
analisis MDS, berdasarkan penentuan indeks keberlanjutan pada enam dimensi yaitu dimensi kebijakan, teknis, sosial dan budaya, lingkungan, kelembagaan dan ekonomi dengan nilai scoring atribut hasil pendapat pakar berdasarkan kondisi eksisting lokasi penelitian. Analisis dilakukan dengan menggunakan Rapid Appraisal for Citarum (Rap-Citarum). Berdasarkan hasil analisis atas kuesioner dari responden yang terdiri dari 16 instansi/pakar diperoleh data sebagaimana pada lampiran 3. 5.1.1
Status Keberlanjutan Dimensi Kebijakan Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi kebijakan terdiri atas delapan atribut, yaitu: (1) kebijakan dan komitmen nasional tentang peraturan sumber daya air; (2) kualitas peraturan pada pembentukan instansi-instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS Citarum; (3) kesamaan persepsi dalam pengelolaan DAS Citarum; (4) sosialisasi peraturan perundangan tentang DAS Citarum ke masyarakat; (5) tersedianya pedoman teknis dan operasional dalam pengelolaan DAS Citarum; (6) konsistensi RTRW dengan rencana pengelolaan DAS Citarum; (7) harmonisasi antar peraturan; (8) penyusunan kebijakan memperhatikan aspirasi semua pihak. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi kebijakan Rap-Citarum sebesar 37,17 dengan status tidak berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 20. ANALISIS RAP CITARUM DIMENSI KEBIJAKAN 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
References 20
0
Anchors
37.17
BAD
0
GOOD 20
40
60
80
100
120
-20
-40
DOWN -60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI KEBIJAKAN RAPCITARUM
Gambar 20 Indeks keberlanjutan dimensi kebijakan
84
Guna melihat atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kebijakan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan yaitu: sosialisasi peraturan (6,67), kesamaan persepsi (6,26) dan konsistensi RTRW dengan pengelolaan (6,17). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 21. ANALISIS LEVERAGE DIMENSI KEBIJAKAN RAP-CITARUM
1.12
Memperhatikan aspirasi semua pihak
3.83
Harmonisasi antar peraturan
Attribute Atribut
Konsistensi RTRW dengan pengelolaan
5.17
Ketersediaan Pedoman Teknis Operasional
4.28 5.67
Sosialisasi Peraturan
5.26
Kesamaan Persepsi
2.80
Kualitas Peraturan
1.59
Peraturan Sumberdaya Air 0
1
2
3
4
5
6
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute Re move d (on Susta ina bility sca le 0 to 100)
Gambar 21 Peran atribut dimensi kebijakan Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 37,53; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 37,17; terdapat perbedaan sebesar 0,36. Perbedaan itu sangat kecil sehingga dapat dinyatakan hasil analisis Rap-Citarum valid dan akurat. Faktor kunci pada dimensi kebijakan ini adalah sosialisasi peraturan dan kesamaan persepsi. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan tentang pengelolaan SDA, khususnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 dan turunannya belum sepenuhnya dipahami oleh stakeholders ditingkat lapangan baik oleh pembuat kebijakan maupun pelaksana operasional. Kondisi ini merupakan akar utama permasalahan yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih pada kelembagaan serta kebijakan operasional, yang perlu mendapat perhatian secara khusus. 5.1.2
Status Keberlanjutan Dimensi Teknis Atribut yang memberikan pengaruh terhadap dimensi teknis terdiri atas
delapan, yaitu: (1) ketersediaan air di DAS Citarum; (2) memadainya infrastruktur untuk pengelolaan DAS Citarum yang efisien; (3) tersedianya pedoman
85
operasional pengelolaan DAS dan jaringan distribusi; (4) kondisi jaringan distribusi air baku dan irigasi; (5) teknologi sumber daya air yang digunakan di DAS Citarum; (6) mekanisme pengoperasian tiga waduk utama; (7) tersedianya pola dan rencana DAS Citarum; (8) tersedianya sistem telemetri untuk forecasting banjir. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi teknis Rap-Citarum sebesar 64,90 dengan status berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 22. ANALISIS RAP-CITARUM DIMENSI TEKNIS 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
References 20
0
Anchors
64.90
BAD
0
GOOD 20
40
60
80
100
120
-20
-40
DOWN -60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI TEKNIS RAP-CITARUM
Gambar 22 Indeks keberlanjutan dimensi teknis. Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknis, dilakukan analisis
leverage.
Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknis, yaitu: tersedianya pedoman operasional (4,57), mekanisme pengoperasian 3 waduk (4,41) dan infrastruktur yang memadai (3,81). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 23. ANALISIS LEVERAGE DIMENSI TEKNIS RAP-CITARUM Tersedianya sistem telemetri utk forecasting banjir
3.64
Tersedianya pola dan rencana WS Citarum
Atribut Attribute
Mekanisme pengoperasian utama
3.74
3 waduk
4.41 3.47
Teknologi sumber daya air
1.61
Kondisi jaringan distribusi
4.57
Tersedianya pedoman operasional
3.81
Infrastruktur yg memadai
0.53
Ketersediaan air 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute Re move d (on Susta ina bility sca le 0 to 100)
Gambar 23 Peran masing-masing atribut dimensi teknis
86
Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 63,45; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 64,90; terdapat perbedaan sebesar 1,45. Meskipun memiliki status berkelanjutan, pada dimensi teknis terungkap indikasi kuat perlunya pedoman operasional dalam pengelolaan SDA dan mendesaknya penanganan operasi kaskade tiga waduk yang selama tidak sinkron dan berdampak pada kerugian masyarakat. Hal ini menunjukan sangat pentingnya koordinasi atau pengaturan khusus atas operasi kaskade tiga waduk secara terpadu, sekaligus tersedianya Standard Operation Procedure (SOP). 5.1.3
Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Atribut memberikan pengaruh terhadap dimensi sosial budaya terdiri atas
delapan, yaitu: (1) dampak sosial pada masyarakat akibat banjir; (2) tingkat kesehatan masyarakat di sekitar DAS Citarum akibat menggunakan air yang tercemar; (3) tingkat kemiskinan di kawasan hulu sehingga merambah hutan; (4) konflik sosial budaya; (5) tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan; (6) lapangan pekerjaan yang tersedia pada kegiatan sekitar DAS Citarum; (7) budaya hemat air; (8) kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan sungai. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya Rap-Citarum sebesar 50,97 dengan status berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 24. ANALISIS RAP-CITARUM DIMENSI SOSIAL BUDAYA 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
20
50.97
BAD
0 0
References
GOOD 20
40
60
80
100
120
Anchors
-20
-40 DOWN -60
-80 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI SOSIAL BUDAYA RAPCITARUM
Gambar 24 Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya
87
Guna melihat atribut-atribut yang sensitif terhadap dimensi sosial budaya, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu: tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan (6,69); tingkat kemiskinan (6,29) dan konflik sosial budaya (1,66). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 25. ANALISIS LEVERAGE DIMENSI SOSIAL BUDAYA RAPCITARUM Kesadaran masyarakat menjaga kebersihan sungai
0.82 0.17
Budaya hemat air
0.68
Attribute
Lapangan pekerjaan Tingkat pemahaman masyarakat thd peraturan
5.69 1.66
Konflik sosial budaya
5.29
Tingkat kemiskinan
0.52
Tingkat kesehatan masyarakat
0.18
Dampak sosial akibat banjir 0
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change in Ordination w hen Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 25 Peran masing-masing atribut dimensi sosial budaya Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 50,36; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 50,97; terdapat perbedaan sebesar 0,61. Faktor kunci yang dominan pada dimensi sosial budaya adalah tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan dan tingkat kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan perubahan paradigma pada pengelolaan SDA, yang menjadi jiwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004, masyarakat dituntut memahami peraturan agar dapat melaksanakan perannya. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam pelaksanaan kebijakan operasional. Disamping itu, terungkap pentingnya pengelolaan SDA dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 5.1.4
Status Keberlanjutan Dimensi Lingkungan Atribut yang memberikan pengaruh terhadap dimensi lingkungan terdiri
atas delapan, yaitu: (1) ratio Qmax/Qmin di hulu sungai Citarum akibat
88
penggundulan hutan; (2) turunnya muka air tanah di Bandung Selatan akibat over pumping; (3) alih fungsi lahan pertanian/lahan basah; (4) frekuensi dan lamanya banjir; (5) pencemaran di waduk Saguling akibat kotornya inflow dan limbah jeramba jaring apung; (6) kualitas air sungai (BOD, COD, sampah dan sebagainya); (7) kekeringan di kawasan irigasi Jatiluhur; (8) Prosentase hutan di DAS Citarum. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan RapCitarum sebesar 7,52 dengan status tidak berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 26. ANALISIS RAP-CITARUM DIMENSI LINGKUNGAN 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
20
References Anchors
BAD
0 0
20 7.52
GOOD 40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN -60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI LINGKUNGAN RAPCITARUM
Gambar 26 Indeks keberlanjutan dimensi lingkungan Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap dimensi lingkungan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan, yaitu: kekeringan di kawasan irigasi Jatiluhur (7,70); frekuensi dan lamanya banjir (1,96) dan turunnya muka air tanah (1,68). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 27.
89
ANALISIS LEVERAGE DIMENSI LINGKUNGAN RAP-CITARUM
0.37
Pe rse ntase hutan di DAS Citarum Ke ke ringan di kawasan irigasi Jatiluhur
7.70 0.75
Attribute
Atribut
Kualitas air sungai
1.23
Pe nce maran di waduk Saguling
1.96
Fre kue nsi dan lamanya banjir
1.55
Alih fungsi lahan pe rtanian
Turunnya muka air tanah
1.68
Ratio Qmax/Q min
1.63 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute Re move d (on Susta ina bility sca le 0 to 100)
Gambar 27 Peran masing-masing atribut dimensi lingkungan Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 9,87; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 7,52; terdapat perbedaan sebesar 2,35. Perbedaan itu sangat kecil sehingga dapat dinyatakan hasil analisis Rap-Citarum valid dan akurat. Pada dimensi lingkungan, faktor kunci yang paling berpengaruh adalah terjadinya kekeringan pada daerah irigasi Jatiluhur, kemudian disusul oleh kondisi banjir. Hal ini terkait erat dengan optimalnya pengoperasian tiga waduk. Seharusnya dengan kapasitas yang demikian besar (sekitar 3 milyar meter kubik secara keseluruhan) kondisi kekeringan dan banjir untuk kawasan hilir dapat dikendalikan secara baik. 5.1.5
Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Atribut yang memberikan pengaruh terhadap dimensi kelembagaan terdiri
atas delapan, yaitu: (1) koordinasi/frekuensi dilakukan kerjasama antar instansi/lembaga; (2) jumlah institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS Citarum; (3) keefektifan lembaga/institusi; (4) tumpang tindih tanggung jawab dan kewenangan antar instansi; (5) hubungan kerja antar instansi; (6) master plan yang disepakati sebagai acuan pengelolaan DAS Citarum; (7) pola operasi yang disepakati dalam pengelolaan DAS Citarum; (8) sosialisasi kelembagaan di masyarakat dan dunia usaha.
90
Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan Rap-Citarum sebesar 48,20 dengan status tidak berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 28. ANALISIS KEBERLANJUTAN DIMENSI KELEMBAGAAN RAP-CITARUM 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
20
48.20 BAD
0 0
GOOD 20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN -60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI KELEMBAGAAN RAP-CITARUM
Gambar 28 Indeks Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Guna melihat atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, yaitu : hubungan kerjasama antar instansi (11,82), kesepakatan tentang master plan (8,09) dan tumpang tindih tanggung jawab (8,26). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 29. ANALISIS LEVERAGE DIMENSI KELEMBAGAAN RAPCITARUM Sosialisasi Kelembagaan
2.58
Pola Operasi yg disepakati
4.25
Attribute
Kesepakatan ttg Master Plan
8.09
Hubungan Kerja antar instansi
11.82
Tumpang tindih tanggung jawab
6.25
Keefektifan lembaga/institusi
0.52
Jumlah Institusi yang terlbat
0.47
Koordinasi Kerjasama Antar Lembaga
2.41 0
2
4
6
8
10
12
14
Root Mean Square Change in Ordination w hen Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 29 Peran Masing-Masing Atribut Dimensi Kelembagaan
91
Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 48,31; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 48,20; terdapat perbedaan sebesar 0,11. Perbedaan itu cukup kecil sehingga dapat dinyatakan hasil analisis Rap-Citarum valid dan akurat. Pada dimensi kelembagaan ini, hubungan kerja antar instansi dinilai merupakan faktor kunci. Hal ini sangat relevan dengan kondisi dilapangan dimana masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri untuk menjalankan kebijakan dan kepentingan sektornya masing-masing. Demikian juga masterplan mendesak untuk segera dibuat sebagai rujukan bersama terhadap arah pelaksanaan kebijakan masing-masing instansi kedepan. 5.1.6
Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Atribut yang memberikan pengaruh terhadap dimensi ekonomi terdiri atas
delapan, yaitu: (1) tingkat kesejahteraan/upah masyarakat di sekitar DAS Citarum; (2) nilai manfaat ekonomi di sekitar DAS Citarum; (3) cost recovery untuk dana operasi; (4) kesesuaian harga air dengan nilai keekonomian pada air baku untuk industri dan PDAM; (5) dampak finansial dan ekonomi akibat terjadinya banjir; (6) biaya water treatment untuk PDAM akibat tercemarnya air; (7) biaya operasi pompa air tanah akibat tidak adanya pasokan air permukaan kawasan industri di dawrah Bandung Selatan; (8) jumlah produksi padi sebagai akibat dari efisiensinya operasional air irigasi. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Rap-Citarum sebesar 27,96 dengan status berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 30. ANALISIS DIMENSI EKONOMI RAP-CITARUM 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
20 References
27.96
Anchors
BAD
0 0
GOOD 20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN -60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI EKONOMI RAP-CITARUM
Gambar 30 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi
92
Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, yaitu : cost recovery (6,69), nilai manfaat ekonomi (5,83) dan tingkat kesejahteraan/upah minimum (4,72). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 31. ANALISIS LEVERAGE DIMENSI EKONOMI RAP-CITARUM
4.14 4.61
LA
4.52
T
R E
E
R A
S I
JU M O P
R
4.08
E
A
T
Y
A N
S IA
W A
IA
A
B
F
N
A K
5.83
IA
P
R E
E
4.72 1
2
3
4
5
6
7
8
E
R A
A
0
K
E S
E
JA
H T
N IL A
IM
A
N F
A
A T
K
C O
E S
S T
E
S U
D A
A
M
6.69
H A
IN
Y IA B
Atribut Attribute
H
P R P OD O L M UK C R A K N P S T /U ON OV GA BA A M IP N P E E A O A A R M IR JIR NT IR AD H Y I I
0.72
Root Mean Square Cha nge in Ordina tion w he n Selected Attribute Removed (on Sustaina bility scale 0 to 100)
Gambar 31 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 28,87; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 27,96; terdapat perbedaan sebesar 0,91. Perbedaan itu relatif kecil sehingga dapat dinyatakan hasil analisis Rap-Citarum valid dan akurat. Pada dimensi ekonomi ini tampaknya faktor cost recovery dianggap paling penting. Hal ini terutama terkait dengan perlunya pengelolaan SDA dilaksanakan dengan sistem kelembagaan yang kuat secara finansial, sehingga dapat menjamin terlaksananya pengelolaan SDA secara berkelanjutan. Faktor penting lainnya adalah nilai manfaat ekonomi, artinya pengelolaan SDA Citarum memiliki pengaruh yang cukup kuat pada kondisi perekonomian. Secara keseluruhan hasil analisis diatas menunjukan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi kebijakan sebesar 37,17 dengan status tidak berkelanjutan. Dimensi teknis sebesar 64,90 dengan status berkelanjutan, dimensi sosial budaya sebesar 50,97 dengan status berkelanjutan, dimensi lingkungan
93
sebesar 7,52 dengan status tidak berkelanjutan, dimensi kelembagaan sebesar 48,20 dengan status tidak berkelanjutan dan dimensi ekonomi sebesar 27,96 dengan status tidak berkelanjutan. Data hasil analisis nilai indeks keberlanjutan Rap-Citarum ini dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Nilai indeks keberlanjutan Rap-Citarum No
Dimensi/Aspek
Nilai
RAP-CITARUM
Indeks
INDIKATOR
1
KEBIJAKAN
37,17
TIDAK BERKELANJUTAN
2
TEKNIS
64,90
BERKELANJUTAN
3
SOSIAL BUDAYA
50,97
BERKELANJUTAN
4
LINGKUNGAN
7,52
TIDAK BERKELANJUTAN
5
KELEMBAGAAN
4,20
TIDAK BERKELANJUTAN
6
EKONOMI
27,96
TIDAK BERKELANJUTAN
Dengan gambaran diatas dapat disimpulkan bahwa hampir semua dimensi kecuali dimensi teknis dan sosial budaya menunjukan status tidak berlanjut. Dimensi lingkungan memiliki nilai yang paling rendah (7,52%). Agar nilai indeks ini di masa yang akan datang dapat meningkat mencapai status berkelanjutan, perlu perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi kebijakan, teknis, lingkungan, kelembagaan dan ekonomi. Adapun gambar diagram layang-layang (kite diagram) hasil analisis Rap-Citarum seperti pada Gambar 32. DIA GRA M LA Y A NG-LA Y A NG A NA LISIS RA P-CITA RUM KEBIJA KA N
100 80 60 EKONOMI
T EKNIS
37.17 40
27.96
64.9
20 0
7.52 48.2
50.97
KELEMBA GA A N
SOSIA L BUDA Y A
LINGKUNGA N
Gambar 32 Diagram layang-layang (kite diagram) Rap-Citarum Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan Rap-Citarum pada taraf kepercayaan 95%, memperlihatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis Rap-Citarum (Multi
94
Dimensional Scaling = MDS). Ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian scoring setiap atribut, variasi pemberian scoring karena perbedaan opini dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 15. Tabel 15 Komparasi dengan Hasil Analisis Monte Carlo Nilai Indeks Keberlanjutan (%) MDS Monte Carlo
Dimensi Keberlanjutan
Perbedaan
KEBIJAKAN
37,17
37,53
0,36
TEKNIS
64,90
63,45
1,45
SOSIAL BUDAYA
50,97
50,36
0,61
LINGKUNGAN
7,52
9,87
2,35
KELEMBAGAAN
48,20
48,31
0,11
EKONOMI
27,96
28,87
0,91
Hasil analisis Rap-Citarum menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan untuk pengelolaan DAS Citarum, cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang dapat dipertanggungjawabkan. Nilai stress hanya berkisar antara 13 sampai 14,5% dan nilai koefisien determinasi (R 2) berkisar antara 0,92 dan 0,93. Hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari 0,25 (25%) dan nilai koefisien determinasi (R 2) mendekati 1,0. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti Tabel 16. Tabel 16 Nilai stress dan koefisien determinasi (R2) hasil analisis Rap-Citarum Parameter Stress 2
R
Keterangan :
Dimensi Keberlanjutan A
B
C
D
E
F
0,1359
0,1430
0,1352
0,1344
0,1399
0,1361
0,93
0,92
0,92
0,92
0,91
0,93
A= dimensi kebijakan; B = dimensi teknis, C = dimensi sosial budaya, D = dimensi lingkungan, E = dimensi kelembagaan dan F = dimensi ekonomi
5.2 Analisis Data Sekunder Analisis data sekunder dilakukan atas kondisi kekritisan DAS, kondisi kulitas air serta kajian operasi kaskade tiga waduk. Hasil analisis ini merupakan cross-check terhadap hasil MDS, khususnya pada dimensi lingkungan dan dimensi kelembagaan.
95
5.2.1
Analisa Karakteristik DAS Perubahan karakteristik aliran yang terindikasi dari debit maksimun pada
saat musim hujan dan debit minimun pada musim kemarau merupakan salah satu indikator yang menunjukkan kekritisan kondisi DAS. Perubahan tersebut dapat dilihat dari data perubahan pola debit rata-rata harian pada pos AWLR yang DASnya mengalami kerusakan berat. Dari pengamatan pola aliran pada pos AWLR Nanjung yang dianggap mewakili zona hulu DAS Citarum, terlihat bahwa dari tahun ke tahun terlihat adanya perubahan karakteristik aliran yang sangat berarti. Hal ini ditunjukan dari cepatnya fluktuasi naik dan turunnya hidrograf aliran serta rapatnya hidrograf aliran tersebut. Pada awal tahun 1990 fluktuasi hidrograf terlihat masih menunjukan bahwa DAS masih dapat menahan atau menyimpan air, sedangkan pada akhir tahun 1999 DAS sudah tidak dapat menyimpan air seperti pada tahun 1990 tersebut. Disamping itu terdeteksi pula bahwa periode kering lebih panjang, hal ini ditunjukan dengan menurunnya dan semakin panjangnya base flow. Penggundulan hutan telah berakibat pada peningkatan debit maksimum dan penurunan debit minimum karena hujan pada DAS tersebut dominan menjadi aliran permukaan sehingga aliran dasar akan menurun. Perubahan besarnya ratio antara debit maksimum dan minimum harian pertahun untuk pos Nanjung dapat dilihat pada Gambar 33. Debit Harian Citarum-Nanjung 1994-1998 500
Debit (m3/det)
400
300
200
100
Okt
Nov
Des
Okt
Nov
Sep Sep
Des
Jul
Aug Aug
Mei
Jul
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Des
Sep
Jul
Aug
Mei
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Jul
Sep
Aug
Mei
Apr
Des
1997
1996
Bulan
1995
1994
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Des
Jul
Sep
Aug
Mei
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Des
Jul
Sep
Aug
Mei
Apr
Jun
Mar
Feb
Jan
0
1998
Debit Harian Citarum-Nanjung 1999-2003 500
300
200
100
1999
2000
Bulan
Gambar 33 Pola aliran pada pos AWLR Nanjung
Mei
Apr
Jun
Mar
Jan
2002
Feb
Des
Okt
Nov
Sep
Aug
Jul
Mei
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Nov
Okt
2001
Des
Sep
Aug
Jul
Mei
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Des
Sep
Aug
Jul
Mei
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Des
Sep
Aug
Jul
Jun
Mei
Apr
Mar
Feb
0 Jan
Debit (m3/det)
400
2003
96
Indikator lain dalam perubahan karakteristik aliran adalah perbandingan nilai debit maksimum dan minimum (Qmak/Qmin). Perubahan tersebut terlihat dari meningkatnya grafik rasio (Qmak/Qmin) pada tahun-tahun yang lebih akhir (lihat Gambar 34). Meningkatnya debit karena hujan yang turun sebagian besar berubah menjadi aliran permukaan sehingga menambah debit sungai, sedangkan menurunnya debit minimum karena menurunnya baseflow pada sungai.
Pos Nanjung
No. 1.
Pos Stasiun AWLR Citarum-Nanjung
Rasio Qmax/Qmin 1994-2001 2001-2005 23,9
127,9
Gambar 34 Hasil analisis indeks rasio kekritisan tahun 2001 – 2005 Selanjutnya, analisis Indeks Muatan Sedimen (IMS) dapat mengungkapkan trend dari laju muatan sedimen, yang juga erat korelasinya dengan tingkat kekritisan DAS. Data dari tahun 1976 – 1982, 1991-1997 dan 2005-2006, digunakan untuk analisis muatan sedimen, dimana hasilnya dapat dilihat pada Gambar 35 dan Tabel 14. Tabel 14 Perhitungan indeks muatan sedimen pada pos Nanjung Tahun
Konsentrasi (mg/L)
Q rata-rata (m3/detik)
IMS
05-06
341,19
791,42
5957,50
91-97
240,9
824,88
4384,17
76-82
233,77
736,54
3798,79
97
INDEKS MUATAN SEDIMEN (IMS) 7000 6000
IMS
5000 4000 3000 2000 1000 0 0
1
2
76-82
3
91-97
4
'05-06
PERIODA
Gambar 35 Indeks muatan sedimen di pos Nanjung Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap indikator kekritisan DAS di pos Nanjung dari perioda 1980 hingga 2010 dapat diperoleh gambaran bahwa:
Kekritisan yang ditinjau dari hubungan Qmax dan Qmin dapat menggambarkan kekritisan suatu DAS. Pada pos Nanjung rasio Qmax/Qmin menunjukkan peningkatan baik dari pengamatan hidrograf maupun data debit aliran dari 23,9 menjadi 127,9.
Indikator
dari
indeks
muatan
sedimen
yang
dianalisis
dengan
menggunakan data dari beberapa perioda menggambarkan bahwa pada pos Nanjung terjadi peningkatan muatan sedimen, hal ini juga terbukti dengan perubahan hubungan antara debit Sedimen dan debit air. 5.2.2
Kekritisan Kualitas Air Berdasarkan hasil pengujian dan analisis kualitas air yang dilakukan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, dapat diperoleh gambaran umum tren kualitas air untuk parameter BOD dan COD Sungai Citarum dari tahun 1990-2000-2010 sebagaimana tersaji pada Gambar 36.
98
(a )
BOD (mg/L)
80
2010 2000 1990
70 60 50 40 30 20 10 0
Hulu
Tengah
Hilir
(b )
COD (mg/L)
200
2010 2000 1990
150 100 50 0
Hulu
a a n k t G in g ar ay pa ru olo ul un IN a g al Sa ra an j ij e hk a UL is a j C u D N G g M e A y an S W Da
Tengah
Hilir
TA RA I C
r ug h a ur a C al W
TI JA
R HU LU
ra pu g n u nj Ta
Gambar 36 Profil kualitas air sungai Citarum Berdasarkan data dari hasil analisis trenkualitas air dapatdijelaskan sebagai berikut: 1.
BOD; merupakan indikator pencemaran organik yang diamati sejak tahun 1990 dan meningkat sangat drastis di zona hulu dan hilir pada tahun 2000 dan kemudian meningkat sedikit pada tahun 2010. Sedangkan pada zona tengah yang merupakan kaskade tiga waduk dengan volume tampungan yang sangat besar pada tahun 1990 menjadikan kadar BOD turun sampai memenuhi kelas 1 dari PP Nomor 82 Tahun 2001 layak sebagai sumber air baku minum, kemudian sejalan dengan zona hulu dan hilirnya kadar BOD meningkat drastis pada tahun 2000 yang kemudian meningkat lagi sedikit seperti pada Gambar 36.
2.
COD; merupakan indikator parameter organik secara kimia sehingga tren kondisi kualitas airnya sangat mirip dengan parameter BOD. Profil COD ini seperti terlihat padan Gambar 36. Bahan pencemar yang masuk kedalam badan air sungai dapat menyebabkan
perubahan pada kehidupan organisma perairan termasuk benthos, plankton, maupun bakteri koli tinja dan streptokokus. Kualitas air dapat mempengaruhi organisma perairan tersebut, sehingga parameter organisme perairan dapat digunakan sebagai indikator terjadinya perubahan kualitas air. Untuk aspek kekritisan kualitas air lainnya yaitu bio akumulasi logam berat pada tubuh/daging ikan dan parameter indikator lain yaitu dikenal dengan Indeks
99
Diversitas. Hasil uji yang dilaksanakan di zona hulu Sungai Citarum pada tahun 2004 untuk indeks bioakumulasi logam pada tubuh/daging ikan dan indeks diversitas dapat dilihat seperti pada Gambar 37.
KJA, Wd. Saguling Nanjung
WADUK SAGULING
Curug Jompong
S.Citepus S.Cikapundung
S.Citarum, Kp.Pameuntasan
S.Cikeruh
S.Ciganitri S.Ciwidey, Kp.Pameuntasan
S.Dano, Kp.Dano Ds.Kopo-Soreang
S.Cisangkuy, Dayeuhkolot
S.Citarik
IPAL-D, Bojongsoang
S.Ciwidey
Bio akumulasi logam pada ikan
Indek Diversitas S.Cisangkuy
Tidak tercemar
S.Cirasea
Majalaya
Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
Gambar 37 Indeks bio akumulasi pada ikan dan indeks diversitas DAS Citarum (tahun 2004) Dari Gambar 36 tersebut dapat dikatakan bahwa indikator hidrobiologi dengan Indeks Diversitas di anak-sungai Cirasea, Citepus dan Cimahi telah tercemar berat. Sedangkan untuk lokasi-lokasi anak-sungai Citarik, Ciganitri, Cisangkuy dan Ciwidey masih tercemar ringan. Sementara indeks bioakumulasi logam pada tubuh ikan pada DAS Citarum Hulu pada tahun 2004 ini dapat dikatakan tidak tercemar. 5.2.3 Kajian Operasi KaskadeTiga Waduk Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur adalah tiga waduk kaskade yang terletak di sungai Citarum dari hulu ke hilir. Dihilir dari ketiga waduk adalah daerah Karawang yang merupakan daerah pertanian dan menjadi lumbung padi. Kejadian ekstrim basah pada akhir bulan Maret 2010 dan ekstrim kering pada awal tahun 2011 sangat mempengaruhi produksi pertanian, bahkan seringkali memicu bencana. Untuk mengetahui sejauhmana efektivitas operasi ketiga waduk
100
dilakukan evaluasi dengan simulasi pola pengoperasian waduk yang dilakukan oleh masing-masing pengelola. Waduk Saguling dan Cirata yang terletak di hulu waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Indonesia Power dan PJB sedangkan waduk Jatiluhur dikelola oleh Perum Jasa Tirta II. Dalam perjalanannya banyak terjadi kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan atau menjaga keseimbangan. Banyak faktor teknis dan non teknis yang mempengaruhi pola operasi dari ketiga waduk. Faktor teknis yang sangat penting adalah prinsip pola operasi yang mempunyai kepentingan yang berbeda. Kedua, kesulitan dalam memperkirakan besarnya inflow dan debit aliran lokal dalam sistem jaringan sungai Citarum dan kebijakan dalam pola operasi waduk. Gambar 38 berikut ini adalah diagram sistem dari ke tiga waduk dimana inflow ke masing-masing waduk sangat dipengaruhi oleh fungsi waduk, kebijakan pengeluaran air dari waduk dihulunya dan debit lokal antara waduk-waduk tersebut.
N
Lokal Cirata (A =1778 km2)
Lc
Nanjung (A = 1718 km2)
Saguling (A = 2283 km2)
S
Cirata (A =4061km2)
Cikao
C
Lj
J
Jatiluhur (A = 4601 km2)
Cr
Walahar
Lokal Jatiluhur (A =540 km2)
Curug
W
Cibeet
LAUT
Gambar 38 Skema jaringan sistem hidrologis di DAS Citarum
101
Waduk Saguling dan Cirata merupakan waduk yang difungsikan untuk pembangkit tenaga listrik dengan prinsip mempertahankan muka air waduk senantiasa tinggi. Sedangkan waduk Jatiluhur merupakan waduk serbaguna, berfungsi untuk pembangkit listrik, pasokan pemenuhan kebutuhan air baku serta pengendalian banjir. Dalam pengoperasian sering mengalami konflik, karena disatu sisi ingin mempertahankan muka air tinggi untuk mendapatkan energi listrik, namun hal ini menjadi tidak tepat untuk pengendalian banjir. Kurangnya koordinasi dalam pengoperasian tiga waduk oleh masing-masing operator telah berakibat kejadian banjir di segmen Citarum Hilir pada bulan Januari - April 2010 dan kekurangan pasokan air di bulan Januari – April 2011. Pada awal tahun 2010, terjadi hujan lebat yang terus menerus diseluruh DAS dan meningkat pada akhir Maret 2010 sehingga muka air di waduk terus mengalami peningkatan mendekati muka air banjir. Dalam kondisi demikian maka kebijakan dan koordinasi antara para pengelola waduk dalam menentukan pengeluaran outflow sangat menentukan dampaknya terhadap bencana banjir. Sesungguhnya telah ada batasan dalam mengatur outflow oleh masing-masing operator sebagaimana pada Tabel 18 dan Tabel 19 dibawah ini. Tabel 18 Kondisi batas operasi waduk Waduk
Saguling
Cirata
Juanda
Fungsi
(PLTA)
(PLTA)
Multipurpose
Elevasi mercu pelimpah
+ 643,00
+ 220,00
+ 107,00
Elevasi MAB
+ 645,00
+ 223,00
+ 111,00
Elevasi minimum
+ 625,80
+ 206,50
+ 87,50
Elevasi minimum power generation
+ 623,00
+ 205,00
+ 75,00
Elevasi bottom gate
+ 623,00
+ 180,00
+ 45,00
Sharing tampungan
21%
29%
50%
102
Tabel 19 Batasan pada SOP operasi waduk Constraint
Normal
Kering
Basah
Tidak ada batasan
Tidak ada batasan
≥ kebutuhan (Jan-Jun)
≥ kebutuhan
3
outflow Djuanda
≤210 m /s
outflow Djuanda
≥ kebutuhan
≥ 90% demand (Jul-Dec) Elevasi Saguling
≤ 641,0 m
≥ 625,8 m
≤ 645,0 m
Tidak ada batasan
≥ 206,5 m
Tidak ada batasan
% volume di Saguling
21%
21%
21%
% volume di Cirata
29%
29%
29%
% volume di Djuanda
50%
50%
50%
Elevasi Cirata
Pada perioda Maret 2010, terlihat bahwa hidrograf debit yang teramati di Nanjung, hulu waduk Saguling (Gambar 39), menunjukkan beberapa kali terjadi debit puncak diatas 450 m3/detik sehingga, selama periode bulan Maret ini merupakan perioda ekstrim basah. 500 450
Debit Aliran (m3/detik)
400 350 300 250 200 150 100 50
03/28/10
03/23/10
03/18/10
03/13/10
03/08/10
03/03/10
02/26/10
02/21/10
02/16/10
02/11/10
02/06/10
02/01/10
01/27/10
01/22/10
01/17/10
01/12/10
01/07/10
01/02/10
12/28/09
0
WAKTU
Gambar 39 Kondisi debit air yang masuk ke waduk Saguling Dengan tingginya inflow masuk ke waduk Jatiluhur akibat pengeluaran dari Saguling dan Cirata, telah menyebabkan meningkatnya elevasi muka air di waduk Jatiluhur melewati spillway. Sebenarnya, waduk Saguling dapat memanfaatkan tampungan banjirnya pada elevasi (+ 643 m dpl s/d + 645 m dpl) dan demikian pula waduk Cirata pada elevasi (+ 220 m dpl s/d + 223 m dpl) sehingga tidak perlu mengeluarkan debit yang cukup besar kehilir untuk memberi kesempatan pada waduk Jatiluhur menurunkan muka airnya. Namun karena kepentingan pembangkitan listik oleh PLN, maka debit yang seharusnya ditahan kenyataanya terus dilepas ke waduk Jatiluhur. Untuk mengetahui sejauh mana kondisi muka air
103
diketiga waduk bila Saguling dan Cirata memanfaatkan tampungan banjirnya (flood pool storage) dilakukan simulasi dan skenario dibawah ini. Skenario Operasi Waduk pada Saat Banjir Polaoperasi ketiga waduk disimulasikan dengan skenario dan asumsi sebagai berikut: a. Inflow yang masuk ke waduk untuk kondisi banjir diasumsikan sama dengan hidrograf banjir tanggal 19 Maret sampai dengan 25 Maret 2010. b. Simulasi dilakukan dengan mempertahankan elevasi muka air di waduk Saguling sekitar + 643 m dpl hingga + 644 m dpl. c. Simulasi di waduk Cirata dicoba dengan variasi tinggi muka air dari + 220 m dpl hingga + 223 m dpl. d. Simulasi di Waduk Jatiluhur dengan variasi tinggi muka air dari + 107 m dpl hingga + 108 m dpl. Pengaturan outflow Jatiluhur bervariasi mulai dari 200 m3/detik sampai dengan 500 m3/detik, sehingga tinggi muka air (TMA) mencapai level tertentu e. Adanya hujan lebat yang akan berakibat banjir di Karawang. Skenario pengoperasian waduk dibuat untuk mengurangi debit keluar dari Jatiluhur tetapi masih aman bagi bendungan itu sendiri. Hasil simulasi menunjukkan bahwa: a. Simulasi tanpa upaya menahan air di Waduk Saguling dan Cirata akan membahayakan waduk Jatiluhur karena elevasi maksimumnya + 109,25 m dpl atau 0,75 m di bawah elevasi spilway Ubrug meskipun dari waduk Jatiluhur telah dikeluarkan debit 500 m3/detik (tanpa memperhatikan banjir di hilir) b. Jika saguling tetap dipertahankan (+ 643 m dpl) dan waduk Cirata menahan Elevasi waduk hingga + 223 m dpl (memanfaatkan tampungan banjirnya) dengan pengeluaran debit 200 m 3/detik, maka TMA di Jatiluhur mencapai elevasi tertinggi +107,98 m dpl. Hal ini tidak membahayakan bendungan, karena masih ada sisa tinggi 2,02 m dari elevasi Ubrug. c. Simulasi coba dilakukan dengan memanfaatkan tampungan banjir Waduk Saguling terlihat bahwa elevasi maksimum di waduk Saguling mencapai +
104
644,37 m dpl, di Cirata + 221,36 m dpl dan bila di Jatiluhur mengeluarkan debit 400 m3/detik, maka TMA maksimum di Juanda +108,34 m dpl. d. Simulasi coba dilakukan juga dengan memanfaatkan tampungan banjir diwaduk Cirata, TMA di Cirata akan mencapai elevasi + 222,44 m dpl, sehingga waduk Jatiluhur cukup mengeluarkan debit 200 m 3/detik sehingga TMA maksimum di Jatiluhur hanya mencapai + 108,70 m dpl yang berarti masih berjarak 1,3 m dari spillway Ubrug. Hal ini dapat menurunkan beban banjir di hilir waduk Jatiluhur. Hasil simulasi untuk berbagai skenario yang dilakukan untuk berbagai pola pengeluaran (outflow) dari ketiga waduk dapat dilihat pada Gambar 40 s/d Gambar 42 ini adalah kondisi inflow, outflow dan fluktuasi muka air di ketiga waduk pada saat kondisi muka air banjir dimana kondisi muka air di ketiga waduk sangat berfluktuasi untuk suatu periode waktu yang relatif singkat . Operasi Waduk Saguling pd Bulan Maret 700
644,50
600 644,00
643,50
400 300
643,00
T.M.A (m)
Q (m3/s)
500
200 642,50 100
4
3
2
1
31
30
29
28
27
642,00
26
0
Ta ngga l Inflow
Outflow
T.M.A
MAN
Gambar 40 TMA maksimum di waduk Saguling dengan menahan TMA + 644 m dpl Operasi Waduk Cirata pd Bulan Maret 800
223,00 222,50
700
222,00 600 221,00
400
220,50 220,00
300
T.M.A (mm)
Q (m3/s)
221,50 500
219,50 200 219,00 100
218,50
4
3
2
1
31
30
29
28
27
218,00
26
0
Tanggal Inflow
Outflow
T.M.A
MAN
Gambar 41 TMA maksimum di waduk Cirata dengan menahan TMA + 222 m dpl
105
Operasi Waduk Jatiluhur pd Bulan Maret 1.000
109,00
900 108,50
800
108,00
600 500
107,50
400
T.M.A (m)
Q (m3/s)
700
107,00
300 200
106,50
100
5
4
3
2
1
30
29
28
27
106,00
26
0
Ta ngga l Inflow
Outflow
T.M.A
MAN
Gambar 42 TMA maksimum di waduk Jatiluhur dengan outflow debit 200 m3/detik
Kondisi ketiga waduk yang sangat berfluktuasi seperti ini sulit dapat dihindari jika tidak tersedia kerjasama dan koordinasi diantara para operator serta keinginan bersama mengamankan kepentingan masyarakat. Untuk mengurangi kegagalan karena kesalahan dalam pengoperasian maka sistem informasi tepat waktu dan terintegrasi antara ketiga waduk serta informasi kondisi muka air dimasing-masing waduk secara tepat waktu perlu disiapkan. Perencanaan Jaringan telemetri pada DAS di Citarum hulu dan di waduk Cirata serta di hilir waduk Jatiluhur sangat diperlukan untuk menunjang optimalisasi pola operasi waduk. Skenario Kekurangan Pasokan Air Periode Januari – April 2011 Sesuai dengan standard operation procedure (SOP) yang ada, telah disepakati pola operasi dan perencanaan cadangan air yang dilakukan secara berkala tiap tahun oleh para operator tiga waduk (PT. Indonesia Power, PT. Pembangkit Jawa Bali, dan Perum Jasa Tirta II). Pada tahun 2011 telah disepakati pola operasi ketiga bendungan mulai dari bulan Januari sampai Desember. Namun, kondisi inflow yang terjadi pada ketiga waduk berbeda dengan inflow prediksi maka fluktuasi muka air waduk tidak sesuai dengan yang diharapkan. Operator ketiga waduk perlu melakukan kaji ulang pola pengeluaran outflownya untuk bulan Februari, Maret dan April. Dengan perubahan pola outflow ini terlihat fluktuasi muka air waduk Saguling dan Cirata kembali ke elevasi sesuai pola operasi. Namun pada waduk Jatiluhur pola outflow tetap melebihi dari inflow yang masuk ke waduk sehingga muka air waduk jatiluhur tetap mengalami penurunan dan belum kembali ke elevasi pola operasi rencana. Kekurangan pasokan air yang
106
terjadi di ketiga bendungan yang ada merupakan pelajaran yang cukup baik dalam upaya perbaikan sistem pengelolaan pada masa-masa yang akan datang. Selain evaluasi karena kurangnya curah hujan yang terjadi yang berakibat pada kurangnya inflow ke waduk, dilakukan juga evaluasi terhadap sistem pengaturan air di masing-masing bendungan, mulai bulan Januari sampai April 2011. Dari analisis yang telah dilakukan dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pada bulan Januari waduk Saguling dan Cirata mengeluarkan air lebih besar dari rencana pengeluaran, sementara air yang masuk lebih kecil dari prediksi inflow. Besarnya debit yang dikeluarkan oleh waduk Cirata membuat air yang masuk ke waduk Jatiluhur menjadi lebih besar dari debit rencana, sehingga waduk Jatiluhur juga harus mengeluarkan debit yang lebih besar untuk menjaga sistem operasi sesuai rencana. Akibat dari pengeluaran debit yang melebihi debit rencana di waduk Saguling dan Cirata, maka elevasi muka air pada kedua waduk tersebut pada akhir bulan Januari mengalami kekurangan air yang cukup besar. 2. Mulai bulan Februari sampai April, dua waduk di hulu melakukan penahanan air dengan memperkecil debit air yang dikeluarkan. Hal ini dilakukan untuk mengisi kekurangan air akibat pemakaian pada bulan Januari. Dengan pola pengeluaran tersebut waduk Saguling dan Cirata berhasil menambah cadangan air mendekati pola operasi perencanaan awal, namun akibat penahanan tersebut, debit yang masuk ke waduk Jatiluhur menjadi lebih kecil sementara pengeluaran air Jatiluhur tetap besar sesuai kebutuhan hilir. Maka sampai dengan bulan April elevasi muka air pada waduk Jatiluhur masih belum dapat kembali ke pola operasi rencana. Kajian ini dapat dilihat pada Gambar 43, Gambar 44 dan Gambar 45.
107
Gambar 43 Pola operasi waduk Saguling tahun 2011
Gambar 44 Pola operasi waduk Cirata tahun 2011
Gambar 45 Pola operasi waduk Jatiluhur tahun 2011
108
5.2.4
Kajian Water Balance
Analisis kebutuhan air (water demand) dan ketersediaan air (water availability) beserta proyeksinya sampai tahun 2025 dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai sumber, serta asumsi pertumbuhan yang konstan pada periode yang sudah berjalan (past trend). Proyeksi Kebutuhan Air Pengguna terbesar air baku pada DAS Citarum dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu i) irigasi dan ii) domestik, perkotaan dan industri (DPI). Kebutuhan air untuk irigasi dihitung berdasarkan luas area dan kebutuhan air tanaman (crop water requirement) yang berlaku. Selanjutnya past trend dihitung berdasarkan data 1995 – 2010 yang mana luas daerah irigasi telah mengalami penurunan karena alih fungsi dengan laju bervariasi antara 0,36% sampai 1% per tahun. Pasokan air baku untuk DPI pada saat ini tercatat sebesar 26,6 m 3/detik. Sebagian besar dialirkan melalui saluran Tarum Barat sebesar 22 m3/detik, untuk mensuplai wilayah DKI Jakarta sebesar 16,3 m 3/detik dan sisanya ke wilayah Bekasi dan sekitarnya (Non-DKI). Selanjutnya proyeksi kebutuhan air baku untuk DPI dihitung berdasarkan perkiraan pertumbuhan penduduk, baik DKI maupun Non-DKI, serta proyeksi pertumbuhan kawasan industri. Proyeksi kebutuhan air sampai tahun 2025 baik untuk irigasi maupun DPI secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 20 dan Gambar 46. Tabel 20 Proyeksi kebutuhan air
Irigasi
2010
2015
2020
2025
Sal. Tarum Barat
52.628 ha
50.048 ha
47.595 ha
4.563 ha
Sal. Tarum Timur
90.230 ha
88.085 ha
85.990 ha
83.945 ha
Sal. Tarum Utara
85.945 ha
8.441 ha
82.900 ha
81.420 ha
Jumlah
228.803 ha
222.543 ha
216.485 ha
210.628 ha
4.290
4.188
4.082
3.973
Kebutuhan Air Irigasi (Jt m3 /th) DKI Jakarta (m3 /detik) DPI
16.31
26.31
31.31
31.31
3
9.35
15.18
21.94
29.77
3
25.66
41.49
53.25
61.08
883
1.444
1.864
2.135
5.173
5.632
5.946
6.108
Non DKI (m /detik) Jumlah
(m /detik) 3 (Jt m /th)
Jumlah Total Kebutuhan Air
Sumber: M edernization of Jatiluhur Irrigation System, Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, 2010
kebutuhan air (Jt m3/th)
109
7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0
1.864
1.444
883
2.135 DPI
4.290
4.188
4.082
3.973
2010
2015
2020
2025
IRR
Gambar 46 Proyeksi Kebutuhan air Proyeksi Ketersediaan Air Sumber air pada DAS Citarum adalah S. Citarum yang dikendalikan (regulated flow) dengan kaskade tiga waduk Saguling – Cirata – Jatiluhur serta beberapa sungai lain pada DAS yang bersifat unregulated, yaitu S. Bekasi, S. Cikarang, S. Cibeet, S. Cilamaya, S. Cijengkol, S. Ciasem, S. Cigadung, dan S. Cipunagara. Regulated flow rata-rata dari waduk Jatiluhur mengalami penurunan dari 194,9 m3/detik (periode tahun 1967 – 1986) menjadi 169,4 m3/detik (periode tahun 1993 – 2008) atau setara dengan 5.344 Jt m3/th. Ketersediaan air dari unregulated flow (sungai lain) dihitung menggunakan debit andalan dengan 80% dependability. Berdasarkan data debit pada periode tahun 1973 – 2009, debit ratarata dan debit andalan unregulated flow dapat dilihat pada Tabel 21 di bawah. Tabel 21 Debit unregulated flow (sungai lain) debit rata-rata Jt m3 /th
debit andalan Jt m3 /th
Bekasi
893
505
Cikarang
409
238
Cibeet
917
409
Cilamaya
650
329
Cijengkol
421
227
Ciasem
334
234
Cigadung
305
185
1730
1031
5.659
3.158
Sungai
Cipunagara Jumlah
Berdasarkan data yang tercatat pada periode 1920 – 2008 pada regulated flow (S. Citarum) terjadi penurunan debit rata-rata 0,1% per tahun, sedangkan pada sungai lain (unregulated flow) terjadi penurunan debit rata-rata 0,7% per tahun selama 1973 – 2004. Selanjutnya proyeksi ketersediaan air pada S. Citarum (regulated) dan sungai lainnya (unregulated) dapat dilihat pada Tabel 22.
110
Tabel 22
3
Ketersediaan Air (Jt m /th) 2010
2015
2020
2025
Sungai Citarum (regulated, rata-rata)
5.344
5.317
5.291
5.264
Sungai Lain
3.158
3.049
2.944
2.842
8.502
8.366
8.235
8.106
(unregulated, debit andalan 80% )
Total Debit rata-rata Sumber: Data debit sungai, Pusat Litbang Sumber Daya Air.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proyeksi kebutuhan air untuk irigasi mengalami penurunan sedangkan DPI mengalami peningkatan. Kebutuhan air secara keseluruhan meningkat dari 5.173 Jt m 3/th pada 2010 menjadi 6.108 Jt m3/th pada 2025. Dilain pihak, proyeksi ketersediaan air baik pada S. Citarum (regulated flow) maupun sungai lainya mengalami penurunan, yang secara keseluruhan menurun dari 8.502 Jt m3tahun pada 2010 menjadi 8.106 Jt m3tahun pada 2025. Namun demikian sumber air yang ada masih mampu memenuhi kebutuhan air sampai dengan tahun 2025 bilamana didukung oleh prasarana yang memadai sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Proyeksi Ketersediaan - kebutuhan air Tahun 2010
Ketersediaan air Waduk Sungai lain Total Jatiluhur 5.344 3.158 8.502
Kebutuhan air Irigasi
DPI
Total
Sisa
4.290
883
5.173
3.329
2015
5.317
3.049
8.366
4.188
1.444
5.632
2.734
2020
5.291
2.944
8.235
4.082
1.864
5.946
2.289
2025
5.264
2.842
8.106
3.973
2.135
6.108
1.998
Untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan air yang dipicu oleh pertumbuhan penduduk dan pengembangan industri di DAS Citarum yang demikian pesat seperti terlihat tren sisa air (kolom 8 Tabel 23) yang terus menurun, maka diperlukan peningkatan productivity dan intervensi teknologi. Berbagai upaya tersebut diantaranya menurunkan konsumsi air yang dapat dilakukan melalui sosialisasi hemat air penggunaan irigasi hemat air serta perbaikan kebocoran pada sistim distribusi jaringan air minum. Disamping itu, upaya konservasi air perlu dilakukan antara lain pembangunan program impouding, reboisasi daerah hulu serta penggalakan sumur resapan ataupun biopori atau bahkan memberlakukan sistem zero waste management.
111
VI MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN 6.1 Analisis Prioritas Kebijakan Semenjak waduk serbaguna Jatiluhur selesai dibangun pada tahun 1967, pengelolaan waduk berikut PLTA Ir. H. Juanda telah diserahkan oleh Pemerintah kepada PN Jatiluhur melalui PP Nomor 8 Tahun 1967, yang kemudian terakhir menjadi Perum Jasa Tirta II (PJTII) melalui PP Nomor7 Tahun 2010. Melalui PP tersebut, Pemerintah telah memberikan kewenangan pengelolaan aset Pemerintah kepada PJTII atas Waduk Jatiluhur beserta keseluruhan jaringan infrastrukturnya dengan cakupan wilayah antara lainmeliputi wilayah DAS Citarum. Sementara itu,untuk mengatasi kebutuhan air jangka panjang yang diproyeksi semakin kritis,sungai Citarum dinilai sebagai sumber pemasok air utama untuk kawasan Jawa Barat.Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, dapat dipahami apabila baik Pemda Propinsi Jawa Barat maupun Pemda Kabupaten/Kota, dalam upaya untuk mengantisipasi kebutuhan air jangka panjang ini, ingin memanfaatkan secara optimal kendali mereka dalam pengelolaan SDA.Kecenderungan ini mempertajam potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan DAS Citarum. Perspektif Pusat. Perspektif yang berkembang di Pusat menyimpulkan bahwa sungai Citarum dianggap sebagai strategis nasional oleh karena itu menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam pengelolaan SDA dengan kewenangan pusat dikenal dua tipe kelembagaan pengelola (operator) SDA.Pertama, Balai Besar Wilayah Sungai/Balai Wilayah Sungai (BBWS/BWS) yang belum dapat dikelola secara korporasi dimana fungsi pelayanan publiknya masih sangat kuat dan masih menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Kedua, BUMN untuk sungai yang telah dapat dikelola dengan prinsip korporasi. Tidak seperti BBWS/BWS, korporasi ini dapat memperoleh revenue dari para pemakai air (dengan prinsip “user pays” sesuai kemampuannya) dan dari pencemar (dengan prinsip “polluter pays”). Dengan demikian pengelola sungai diharapkan dapat membiayai dirinya sendiri dan meningkatkan pelayanan air. Pada DAS Citarum disamping PJT II yang sudah beroperasi sejak lama sebagai korporasi, kementerian Pekerjaan Umum juga membentuk BBWS Citarum yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat.
112
Perspektif Propinsi. Dalam pandangan pemda propinsi Jawa Barat, kewenangan pengelolaan sungai Citarum dianggap menjadi kewenangan propinsi karena sungai Citarum mengalir sepenuhnya di propinsi Jawa Barat.Rencana pengembangan dan pengelolaan SDA Jawa Barat termasuk Sungai Citarum dituangkan dalam Pola Induk yang telah dikukuhkan dalam Perda Nomor 3 Tahun 2001. Program-program yang diusulkan merupakan wujud nyata dari keinginan masyarakat dan Pemda Jawa Barat dalam proses pengalihan wewenang Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Propinsi dalam kerangka desentralisasi. Pengelolaan S. Citarum dikembangkan dengan membentuk institusi pengelola SDA yaitu Balai PSDA Citarum, yang merupakan unit pelaksana teknis dinas (UPTD) di bawah Dinas PSDA. Disamping itu, Pemda Jawa Barat telah membentuk Perusahaan Air Jawa Barat (PAJB) dengan kewajiban operasional untuk pelayanan air bersih seluruh Jawa Barat. Untuk menjamin optimalisasi kinerja PAJB Pemda Jawa Barat berencana untuk mengkaji pembentukan badan regulator air yang akan mempertimbangkan kepentingan stakeholders kunci di Propinsi Jawa Barat. Sampai sejauh ini aspirasi tersebut belum dapat diwujudkan sepenuhnya. Perspektif Kabupaten. Ada euphoria otonomi yang ditunjukan dari sikap Pemda Kabupaten dalam menyikapi Pemda Propinsi sebagai referensi untuk menuntut kesetaraan.Pemda Kabupaten juga berkeinginan untuk mengusahakan air untuk kepentingan daerah (PAD) melalui PDAM yang independen. PDAM Kabupaten/Kota pada umumnya belum dapat menerima jika harus berada dalam payung PAJB. Secaraumum perhatian Pemda Kabupaten lebih memprioritaskan pada masalah pengelolaan jaringan irigasi yang dianggap dapat memberikan manfaat langsung pada masyarakat. Disamping itu, dalam konteks kontribusi PAD pemerintah Kabupaten merasa sangat berkepentingan dengan pengelolaan galian C pada badan sungai. Dari uraian diatas jelas bahwa masing-masing stakeholders utama memiliki prioritas kepentingan yang berbeda, oleh karena itu perlu dilakukan analisis prioritas secara objektif. Analisis prioritas dilakukan dengan teknik AHP, berdasarkan pengumpulan kuesioner dari instansi/pakar yang dianggap mewakili stakeholders DAS Citarum secara menyeluruh. Penyusunan struktur hirarki
113
keputusan dirumuskan melalui FGD yang dihadiri oleh beberapa pakar. Struktur hirarki terdiri atas lima tingkatan kriteria sebagai berikut: (i) tingkatan pertama adalah fokus: pengelolaan SDA pada DAS Citarum, (ii) kriteria keduayaitu tujuan yaitu peningkatan nilai manfaat ekonomis, peningkatan kesejahteran, pemulihan ekosistem, minimalisasi bencana, dan minimalisasi konflik, (iii) kriteria ketiga adalah faktor yaitu kebijakan pemerintah, penegakan hukum, hubungan stakeholders, ketersediaan pendanaan, kelestarian sumber air, dan partisipasi masyarakat, (iv) kriteria keempatadalah kinerja yaitu kesesuaian mandat, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas, pendanaan dan SDM, dan yang terakhir kriteria kelima adalah alternatiflembaga pengelola yaitu alternatif BBWS, PJT atau Balai PSDA. Hasil kuesioner yang terdiri dari 12 instansi/pakar dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil AHP menunjukan penilaian gabungan kriteria dan alternatif yang dilakukan para pakar terhadap struktur tersebut memiliki tingkat konsistensi yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio konsistensi (CR) berkisar antara 0,00 hingga 0,096 pada semua elemennya, sehingga memenuhi batas CR maksimum yang diperbolehkan sebesar 0,1. Penilaian ini menghasilkan nilai pembobotan pada setiap elemen, sekaligus memberikan gambaran prioritas pada setiap elemen tersebut (Gambar 47).
Gambar 47 Prioritas kebijakan pengelolaan SDA
114
Berdasarkan hasil analisis prioritas jenjang keputusan seperti pada Gambar 47 diatas, pada level tujuan yang menempati prioritas tertinggi adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yaitu sebesar 0,372. Kemudian secara berturut-turut prioritasnya turun sampai terkecil adalah: (1) Peningkatan Kesejahteraan (2) Pemulihan Ekosistem; (3) Minimalisasi Bencana; (4) Minimalisasi Konflik dan (5) Peningkatan Nilai Manfaat Ekonomi (lihat Gambar 48). 0,093 0,372 0,222 0,178 0,135
Gambar 48 Grafikkriteria level tujuan Pada level faktor, yang memiliki bobot terbesar adalah kelestarian sumber daya air yaitu sebesar 0,244. Kemudian secara berturut-turut prioritas terbesar sampai terkecil adalah: (1) Kelestarian Sumberdaya Air; (2) Partisipasi Masyarakat; (3) Penegakan Hukum; (4) Kebijakan Pemerintah; (5) Hubungan Stakeholders; (6) Ketersediaan Wadah Organisasi (lihat Gambar 49).
0,114 0,184 0,114 0,110 0,244 0,233
Gambar 49 Grafik kriteria level faktor
115
Pada level kinerja, yang memiliki bobot terbesar adalah transparansi dan akuntabilitas yaitu sebesar 0,236. Kemudian secara berturut-turut prioritas terbesar sampai terkecil adalah: (1) Transparansi dan Akuntabilitas; (2) SDM; (3) Pendanaan; (4) Efektivitas; (5) Kesesuaian Mandat (lihat Gambar 50).
0,161 0,193 0,236 0,194 0,216
Gambar 50 Grafik kriteria level kinerja. Sedangkan pada level alternatif model lembaga pengelola yang memiliki bobot terbesar adalah model Perum jasa Tirta (PJT) yaitu sebesar 0,565. Kemudian secara berturut-turut prioritas berikutnya adalah: (1) Model PJT; (2) Model Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) dan (3) Model Balai Besar Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) (lihat Gambar 51).
0,243
0,565
0,192
Gambar 51 Grafiklevel alternative Hasil diatas menunjukan bahwa alternatif lembaga pengelola yang dianggap paling tepat untuk menjalankan fungsi RBO adalah PJT II.Tujuan yang memiliki prioritas paling tinggi adalah kesejahteraan masyarakat.Sedangkan faktor yang
116
memilki prioritas paling tinggi adalah kelestarian sumber air dan kinerja yang paling utama adalah akuntabilitas dan transparansi. Elemen-elemen ini akan menjadi pertimbangan utama dalam merumuskan model kebijakan. 6.2 Perumusan Model Dinamik Sebagai salah satu sumber daya air yang vital bagi wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, DAS Citarum memiliki interaksi sistem sosial, ekonomi, dan lingkungan. Ketiga sistem dan interaksinya tersebut disimplifikasi menjadi model pengelolaan sumber daya air Citarum yang mencakup sub-model sosial kependudukan, sub-model lingkungan, dan sub-model nilai ekonomi. Untuk memahami sistem tersebut dilakukan simplifikasi awal melalui diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), seperti disajikan pada Gambar 52. Gambar tersebut menunjukkan setiap sub-model memiliki keterkaitan sebabakibat. Sub-model sosial kependudukan direpresentasikan oleh elemen penduduk, kebutuhan air, prilaku, dan kesejahteraan masyarakat, serta PJT II sebagai institusi pengelola. Sub-model lingkungan direpresentasikan oleh elemen limbah, ipal, kualitas air, kuantitas air, lingkungan air, lingkungan, dan konservasi. +
penduduk
+
kebutuhan air
limbah
+
-
-
prilaku
ketersediaan air
+
ipal kualitas air
+
+
+
cost recovery +
OPR
+
+
PJT II -
+
kesejahteraan masyarakat
+
biaya
kuantitas air +
revenue
-
+
lingkungan air
+
+
+
kinerja prasarana
lingkungan +
pengendalian
+
+ +
+ konservasi
Gambar 52 Causal loop model pengelolaan sumber daya air Sementara sub-model nilai ekonomi direpresentasikan oleh elemen ketersediaan air, revenue, biaya, cost recovery, operasi dan pemeliharaan, serta rehabilitasi (OPR), kinerja prasarana, dan pengendalian.
117
Sistem dinamik yang dibangun merepresentasikan hubungan saling bergantung (dipengaruhi dan mempengaruhi); atau umpan balik (feedback). Hubungan saling mempengaruhi ini menunjukkan tiga aspek utama dalam pengelolaan sumber daya air, yaitu: kondisi kesejahteraan masyarakat yang dicerminkan indeks pemenuhan kebutuhan air masyarakat; lingkungan yang dicerminkan indeks perbaikan lingkungan; dan nilai ekonomi yang dicerminkan oleh cost recovery, yang secara langsung dan tidak langsung saling mempengaruhi. Pemicu permasalahan ini adalah bertambahnya jumlah penduduk, yang selain menurunkan kondisi lingkungan, juga meningkatkan kebutuhan air dan kebutuhan lain yang terkait dengan air, sehingga menimbulkan kesenjangan antara kebutuhan dengan ketersediaan air (kondisi yang diharapkan). Untuk mencapai kondisi yang diharapkan ini, dapat dilakukan peningkatan operasi
dan
pemeliharaan
untuk
meningkatkan
kinerja
infrastruktur;
melaksanakan pengembangan untuk menambah ketersediaan prasarana sumber daya air dan pengembangan. Adanya ketersediaan dana yang berasal dari biaya jasa pemeliharaan pengelolaan sumber daya air (BJ-PSDA) merupakan revenueyang akan digunakan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumber daya air, melalui operasi dan pemeliharaan dan peningkatan sumber daya manusia. Untuk pengembangan prasarana sumber daya air yang membutuhkan biaya besar, maka peran pemerintah melalui pendanaan DIPA masih diperlukan. Ketersediaan dana tersebut secara langsung akan meningkatkan kondisi ekosistemdan
peningkatan
sumber
daya
manusia,
antara
lain
dengan
meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam setiap tahap pengelolaan sumber daya air dan memupuk budaya cinta air dan lingkungan dan kebiasaan hemat air. Sistem yang dibangun menunjukkan adanya suatu putaran umpan balik yang positif (positive feedback loop) yang saling menguatkan, yaitu: cost-recovery ketersediaan dana operasi dan pemeliharaan kinerja infrastruktur pengelolaan sumber daya air. Putaran yang saling menguatkan ini sangat strategis, dan perlu dipelihara keberlangsungannya. Putaran umpan balik penting lainnya adalah yang dimulai dengan adanya kesenjangan pelayanan (gap of services), meningkatkan pengembangan serta operasi dan pemeliharaan, meningkatkan kinerja infrastruktur dan meningkatkan
118
pengelolaan sumber daya air, sehingga kesenjangan akan berkurang. Putaran umpan balik ini merupakan putaran yang mencari kestabilan, yaitu titik optimal pengelolaan sumber daya air yang dapat dilaksanakan dengan ketersediaan dana, teknologi, dan sumber daya manusia yang ada. Gambaran di atas menunjukkan pentingnya peran lembaga Perum Jasa Tirta yang mampu mendanai operasi dan pemeliharaan melalui biaya jasa pengelolaan sumber daya air sebagai suatu cost recovery, disamping masih diperlukannya peran pemerintah dalam melaksanakan pengembangan prasarana sumber daya air. Semua sub-model tersebut ditransformasi menjadi stock flow diagram (SFD) sebagai penjabaran causal loop diatas disajikan dalam Lampiran 5. Perilaku sub-model dijabarkan dalam aliran energi dan informasi dalam SFD dengan pendekatan matematis. Penyusunan SFD dan pendekatan matematisnya dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Powersim Studio 2005E. Tampilan menu model pengelolaan sumber daya air Citarum secara berkelanjutan dibuat guna memudahkan alur simulasi yang akan dilakukan (lihat lampiran 5). Menu model menampilkan judul dengan hyperlink pada setiap submenu yang akan ditampilkan dalam simulasi. Sub-sub menu tersebut adalah causal loop; SFD; grafik dan tabel terkait penduduk; grafik dan tabel terkait lingkungan; grafik dan tabel terkait ketersediaan air; serta grafik dan tabel terkait nilai ekonomi.Selain itu, tampilan menu juga mengakomodasi grafik dan tabel validasi, serta persamaan yang digunakan dalam model tersebut. 6.2. 1 Perumusan Rancang Bangun Sub Model a) Sub-Model Sosial Kependudukan Sub-sistem sosial kependudukan terdiri dari parameter utama berupa jumlah penduduk dan indeks pemenuhan kebutuhan air. Parameter turunan pertambahan jumlah penduduk merupakan agregat dari adanya pertumbuhan penduduk berupa kelahiran dan imigrasi, serta pengurangan jumlah penduduk yang terdiri dari kematian dan emigrasi. Penduduk dibedakan berdasarkan lokasi service area dari Waduk Jatiluhur sebagai penghasil sumber daya air yang dikelola PJT II. Penduduk diklasifikasi menjadi penduduk yang berdomisili di DKI Jakarta dan di luar DKI Jakarta (non-DKI). Stock flow diagram sub-model sosial kependudukan disajikan dalam Gambar 53.
119
Gambar 53 Stock-flow diagram sub-model sosial kependudukan b) Sub-Model Lingkungan Sub-sistem lingkungan berupa akumulasi beban pencemar ke dalam badan sungai.Stock flow diagram sub-model lingkungan disajikan dalam Gambar 54.
Gambar 54 Stock-flow diagram sub-model lingkungan Peningkatan penduduk akan mendorong peningkatan limbah domestik yang masuk ke badan sungai. Limbah tersebut bisa berupa beban pencemar yang secara terus menerus terakumulasi pada badan sungai. Diasumsikan penduduk di DKI
120
Jakarta pada awal simulasi adalah 8,84juta orang dengan laju pertambahan penduduk sebesar 1,06% per tahun. Sementara penduduk non-DKI berjumlah 12,39 juta orang pada awal tahun simulasi dengan laju pertambahan penduduk sebesar 1,75% per tahun. Beban emisi limbah penduduk yang tidak diolah mengandung beban pencemar sebesar 53 gram BOD/kapita per hari. Beban pencemar lainnya berasal dari kegiatan non-domestik lainnya, seperti kegiatan industri, kegiatan pertanian dan kegiatan peternakan. Beban pencemar akibat kegiatan industri berasal dari limbah yang diolah (treated) dan yang tidak diolah (un-treated). Beban pencemar dari kegiatan pertanian berasal dari lahan perkebunan dan lahan sawah. Sementara beban pencemar kegiatan peternakan berasal dari berbagai jenis ternak yang dipelihara masyarakat dan limbahnya masuk ke dalam badan air pada DAS Citarum. c) Sub-Model Nilai Ekonomi Sub-sistem perekonomian daerah dicerminkan oleh parameter utama berupa nilai keuntungan ekonomis dalam bentuk revenue dan biaya pengelolaan yang harus dikeluarkan. Keuntungan yang dihasilkan berasal dari penjualan sumber daya air berupa air baku (PDAM), hasil penjualan listrik (PLN), dan beban jasa sumber daya air (BJ-SDA) lainnya. Beban jasa SDA lainnya terdiri dari penggunaan badan air untuk wisata, iuran keramba jaring apung (KJA), sarana penunjang air minum (SPAM), dan lain-lain. Stock flow diagram sub-model nilai ekonomi disajikan dalam Gambar 55.
Gambar 55 Stock-flow diagram sub-model nilai ekonomi
121
6.2.2 Simulasi Model a) Sub-Model Sosial Kependudukan Hasil simulasi pertumbuhan penduduk memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2010 sampai 2040. Hal ini disebabkan secara kumulatif laju tingkat pertumbuhan penduduk lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengurangan penduduk. Laju pertambahan penduduk ini terdiri dari jumlah penduduk eksisiting ditambah dengan jumlah kelahiran dan jumlah imigrasi yang masuk ke wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Jumlah petumbuhan penduduk di DKI Jakarta sebesar 1,06% (BPS DKI Jakarta, 2010). Sementara jumlahpetumbuhan penduduk di wilayah non-DKI Jakarta sebesar 1,75%. Hasil simulasi pertumbuhan penduduk disajikan pada Gambar 56 dan Tabel 24. Grafik jumlah penduduk memperlihatkan prediksi peningkatan yang signifikan mulai tahun 2010 sebanyak 21,2 juta jiwa sampai menjadi 32,9 jutajiwa pada tahun 2040. Jumlah Penduduk
Penduduk (jiwa)
30.000.000
20.000.000 P e nduduk DKI P e nduduk Non-DKI P e nduduk Tota l 10.000.000
0 01 Ja n 2010
01 Ja n 2020
01 Ja n 2030
01 Ja n 2040
Gambar 56 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk Tabel 24 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk Waktu Time
Penduduk DKI
Penduduk Non-DKI Penduduk Total Indeks Pemenuhan Kebutuhan Air
01 Jan 2010
8.842.346,00
12.387.819
21.230.165
0,6961
01 Jan 2015
9.321.031,47
13.510.361
22.831.392
0,7635
01 Jan 2020
9.825.630,85
14.734.623
24.560.254
0,8579
01 Jan 2025
10.357.547,02
16.069.824
26.427.371
0,9272
01 Jan 2030
10.918.258,76
17.526.016
28.444.275
0,9527
01 Jan 2035
11.509.324,96
19.114.164
30.623.489
0,9348
01 Jan 2040
12.132.388,87
20.846.223
32.978.612
0,8537
122
Indeks pemenuhan kebutuhan air baku adalah perbandingan antara kebutuhan air baku terhadap ketersediaannya. Berdasarkan hasil simulasi di atas, diketahui bahwa indeks pemenuhan air baku baru berkisar sebesar 0,69 pada tahun2010 dan mencapai 0,95 pada sekitar tahun 2030 (Gambar 57), namun menurun lagi seiring pesatnya peningkatan kebutuhan air menjadi 0,85 pada tahun 2040. Hal ini terjadi karena sampai saat ini masih terdapat kesenjangan antara faktor-faktor yang mendukung ketersediaan air baku dengan kebutuhan yang terus meningkat, artinya rata-rata fraksi peningkatan kebutuhan melebihi rata-rata fraksi peningkatan ketersediaan. Dampak dari adanya kesenjangan ini, menyebabkan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat tidak pernah terpenuhi secara optimal
Indeks Pemenuhan Kebutuhan Air
(indeks < 1).
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0 01 Ja n 2010
01 Ja n 2015
01 Ja n 2020
01 Ja n 2025
01 Ja n 2030
01 Ja n 2035
01 Ja n 2040
Time
Gambar 57 Hasil simulasi pemenuhan kebutuhan b) Sub-Model Lingkungan Hasil simulasi disajikan pada Gambar 58 dan Tabel 25 menunjukkan bahwa jumlah beban pencemar (BP) yang berasal dari kegiatan domestik, industri, pertanian dan peternakan. Beban pencemar domestik menyumbang limbah terbesar diikuti BP industri, BP pertanian dan BP ternak. Pertumbuhan beban pencemar domestik sangat pesat seiring dengan pertambahan penduduk rata-rata 1,75% per tahun, sementara pertumbuhan industri sangat dipengaruhi tren jenis industri tekstil yang masih dominan di DAS Citarum dengan pertumbuhan 1,4% per tahun. Berikutnya sumber pencemar pertanian dan peternakan diasumsikan tetap.
123
Beban Pencemaran (ton/hari)
2500 2000
COD 1500 B P - B OD B P - C OD B P - Cr
1000
BOD
500
Cr
0 0 1 Ja n 2 0 1 0
0 1 Ja n 2 0 2 0
0 1 Ja n 2 0 3 0
0 1 Ja n 2 0 3 0
Time
Gambar58 Hasil simulasi peningkatan beban pencemar Pada kondisi eksisting (tahun 2010) BP sebesar 673,80 ton BOD/hari, 1.184,84 ton COD/hari dan 24,52 kgCr/hari dan diprediksikan akan meningkat menjadi1.033,67 ton BOD/hari, 1.886,93 ton COD/hari dan 43,03 kg Cr/hari pada tahun 2040 seperti pada Tabel 25 berikut ini. Tabel 25 Hasil simulasi peningkatan beban pencemar Waktu Time
BP BOD
BP COD
BP Cr
01 Jan 2010
673,80
1.184,84
24,52
01 Jan 2015
722,38
1.283,28
27,12
01 Jan 2020
775,03
1.388,50
29,89
01 Jan 2025
832,09
1.500,96
32,85
01 Jan 2030
893,94
1.621,15
36,02
01 Jan 2035
960,99
1.749,62
39,41
01 Jan 2040
1.033,67
1.886,93
43,03
c) Sub-sistem Nilai Ekonomi Gambar 59 dan Tabel 26 menunjukkan hasil simulasi ketersediaan air dan kebutuhan air di wilayah DKI Jakarta. Ketersediaan air direpresentasikan dengan banyaknya distribusi air yang bisa dilakukan oleh operator penyalur, seperti PDAM. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebutuhan air penduduk DKI Jakarta akan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduknya. Pada tahun 2010 setidaknya diperlukan debit air sebesar 17,9 m 3/detik dan meningkat terus hingga sebesar 24,6 m3/detik pada tahun 2040 untuk memenuhi kebutuhan air penduduk DKI Jakarta.
Debit Air (m3/detik)
124
20
15 Kebutuhan Air Penduduk DKI
10
Debit Distribusi
5
0 01 Jan 2010
01 Jan 2015
01 Jan 2020
01 Jan 2025
01 Jan 2030
01 Jan 2035
01 Jan 2040
Time
Gambar 59 Hasil simulasi ketersediaan air DKI Jakarta Guna memenuhi kebutuhan tersebut, sejak tahun 2010 debit air distribusi ditingkatkan terus dari 10,5 m3/detik menjadi sebesar 22,6 m3/detik pada tahun 2018. Hal ini dimungkinkan dengan selesai dibangunnya saluran syphon Bekasi pada tahun 2013 yang bisa meningkatkan kapasitas penyaluran air dari 21,1 m3/detik menjadi 31,1 m3/detik hingga 5 tahun setelah pembangunannya (tahun 2018). Hal ini tentunya akan meningkatkan kapasitas produksi di hilirnya yang mengarah ke wilayah DKI Jakarta, yaitu IPA Pulo Gadung dan IPA Buaran. Namun jika tidak dilakukan pemeliharaan yang optimal dan pembangunan infrastruktur baru, maka setelah 5 tahun syphon Bekasi beroperasi diprediksikan akan terjadi penurunan kapasitas penyaluran yang berakibat turunnya produksi air. Hal ini ditunjukkan dari hasil simulasi yang memperlihatkan penurunan distribusi air sejak tahun 2018 hingga mencapai 14,5m3/detik pada tahun 2040. Tabel 26 Hasil simulasi ketersediaan air DKI Jakarta T ime Waktu
Debit Distribusi Aktual Kebutuhan Air Penduduk DKI Aktual
01 Jan 2010
10,54
17,91
01 Jan 2015
16,97
18,88
01 Jan 2020
21,70
19,90
01 Jan 2025
19,61
20,98
01 Jan 2030
17,73
22,11
01 Jan 2035
16,03
23,31
01 Jan 2040
14,49
24,57
Adanya dinamika distribusi dan kebutuhan air ini akan menimbulkan kesenjangan (gap) antara kebutuhan dan ketersediaan air baku. Dinamika distribusi air yang bisa disalurkan akan secara langsung mempengaruhi pemasukkan dan keuntungan (revenue) yang bisa diperoleh operator. Hal ini akan
125
pencapaian cost recovery (CR) yang meningkat pada awal tahun simulasi dan cenderung kembali menurun seiring distribusi air yang bisa disalurkan (Gambar 60 dan Tabel 27). Cost recovery yang bisa dicapai hanya berkisar 0,85 pada awal tahun simulasi dan terus meningkat menjadi 1,16 pada tahun 2018, namun terus menurun hingga mencapai 0,87 pada tahun 2040. Hal ini disebabkan kurang terkelolanya sumber daya air secara optimal. Kurang optimalnya pengelolaan disebabkan pengelola tidak mampu meningkatkan revenue dan menekan biaya pengelolaan, yang direpresentasikan oleh rendahnya pencapaian cost recovery. 1,5
Cost Recovery
1,0
0,5
0,0 01 Ja n 2010
01 Ja n 2020
01 Ja n 2030
01 Ja n 2040
Gambar 60 Hasil simulasi cost recovery Tabel 27 Hasil simulasi revenue dan cost recovery Waktu Time
Revenue Aktual
01 Jan 2010
336.017.371.136
Biaya Pengelolaan 394.000.000.000
Kondisi CR Aktual 0,85
01 Jan 2015
447.838.749.810
412.052.025.208
1,09
01 Jan 2020
485.205.728.000
430.931.145.884
1,13
01 Jan 2025
473.959.195.463
450.675.257.327
1,05
01 Jan 2030
464.399.906.162
471.323.991.099
0,99
01 Jan 2035
456.406.691.229
492.918.794.573
0,93
01 Jan 2040
449.872.791.200
515.503.014.130
0,87
Hasil simulasi (lihat Gambar 61 dan Tabel 28) menunjukkan pencapaian revenue total saat ini sekitar Rp 336,0 milyar pada tahun 2010 dan Rp 449,9 milyar pada tahun 2040. Pada awalnya revenue masih lebih rendah dari pada biaya pengelolaan yang harus dikeluarkan, hingga bisa didorong dengan peningkatan produksi air hingga bisa diseimbangkan pada tahun 2017 (CR =1), bahkan terlampaui hingga dicapai CR maksimum pada tahun 2018. Tetapi pesatnya peningkatan biaya pengelolaan dan menurunnya distribusi air menyebabkan hal ini menjadi sebaliknya, hingga mulai terjadi defisit kembali (CR
126
<1) pada sekitar tahun 2029. Sehingga sejak saat itu, cost recovery menjadi kurang dari satu yang menyebabkan efektivitas pengelolaan menjadi menurun akibat beban biaya yang terus meningkat. Beban biaya ini terdiri dari kegiatan operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi (OPR) irigasi, badan sungai, waduk, dan prasarana lainnya. Semua biaya tersebut digabungkan menjadi beban biaya pengelolaan. 500.000.000.000
400.000.000.000
(Rp)
300.000.000.000 R e ve nue Bia ya P e nge lo la a n
200.000.000.000
100.000.000.000
0 01 Ja n 2010
01 Ja n 2020
01 Ja n 2030
01 Ja n 2040
Time
Gambar 61 Hasil simulasi revenue dan biaya pengelolaan sumber daya air Tabel 28 Hasil simulasi revenue dan biaya pengelolaan sumber daya air Waktu Time
Revenue Aktual
01 Jan 2010
336.017.371.136
Biaya Pengelolaan 394.000.000.000
Kondisi CR Aktual 0,85
01 Jan 2015
447.838.749.810
412.052.025.208
1,09
01 Jan 2020
485.205.728.000
430.931.145.884
1,13
01 Jan 2025
473.959.195.463
450.675.257.327
1,05
01 Jan 2030
464.399.906.162
471.323.991.099
0,99
01 Jan 2035
456.406.691.229
492.918.794.573
0,93
01 Jan 2040
449.872.791.200
515.503.014.130
0,87
Berdasarkan proyeksi diatas maka terlihat kualitas air (nilai BOD) semakin memburuk yang mengancam kesehatan ekosistem. Disamping itu, secara finansial PJT II sudah tidak sehat untuk melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga dapat dipastikan sebagian tanggungjawab pengelolaan terabaikan atau PJT II sebagai Perum akan kolaps. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang komprehensif guna mencegah degradasi kondisi lingkungan dan memburuknya kinerja PJT II. Dilain pihak, jumlah masyarakat yang terlayani air bersih yang meningkat pada tahun 2018 perlu dipertahankan dengan pemeliharaan prasarana yang baik sejalan dengan meningkatnya kinerja PJT II.
127
6.2.3 ValidasiModel Guna mendapatkan hasil kesimpulan yang benar berdasarkan persyaratanpersyaratan yang telah ditetapkan perlu dilakukan validasi (Hartrisari, 2007) terhadap model pengelolaan sumber daya air Citarum. Validasi struktur model dilakukan untuk melihat sejauh mana kesesuaian struktur model dengan struktur nyata, yang berkaitan dengan batasan sistem, variabel-variabel pembentuk sistem, dan asumsi mengenai interaksi yang terjadi dalam sistem. Validasi struktur dilakukan dengan dua bentuk pengujian, yaitu; uji kesesuaian struktur dan uji kestabilan struktur. Sementara validasi kinerja model adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta.Hal ini dilakukan melalui perbandingan validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris (Muhammadi et al. 2001).
Uji Kesesuaian Struktur Uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model
tidak berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan. Model pengelolaan sumber daya air DAS Citarum menunjukkan pertambahan penduduk yang menjadi pemicu kebutuhan air masyarakat yang cenderung menurunkan indeks pemenuhan kebutuhan air. Secara teoritis model dinamis yang dibangun memiliki validitas terhadap kondisi nyata di lapangan.
Validasi Kinerja Model Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan
sifat kesalahan dapat digunakan: 1) absolute mean error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai actual, 2) absolute variation error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simuasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 1 -10%. Adapun validasi yang digunakan adalah AME dengan persamaan seperti di bawah ini.
128
AME =
S A A
S
x100% ;
Si N
A
Ai N
S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan interval waktu pengamatan.Berdasarkan hasil analisis sistem dinamis dapat dilihat bahwa perilaku model pengelolaan sumber daya air dapat terpenuhi syarat kecukupan struktur dari suatu modelnya dengan melakukan validasi atas perilaku yang dihasilkan oleh suatu struktur model. Data validasi disajikan padaTabel 29 dan Gambar 62 untuk penduduk DKI, Gambar 63 untuk revenue, Tabel 30 dan Gambar 64 untuk beban pencemaran. Tabel 29 Data validasipenduduk DKI Time
Waktu
Penduduk DKI
Penduduk Aktual DKI
01 Jan 2005
8.842.346,00
8.842.346,00
01 Jan 2006
8.936.074,87
8.979.716,00
01 Jan 2007
9.030.797,26
9.064.591,00
01 Jan 2008
9.126.523,71
9.146.181,00
01 Jan 2009
9.223.264,86
9.223.000,00
01 Jan 2010
9.321.031,47
9.321.031,47
Penduduk (jiwa)
9.200.000
9.000.000
Pe nduduk DKI Sim ulasi
8.800.000
Pe nduduk DKI Ak tual
8.600.000
05
06
07
08
Time
Gambar 62 Perbandingan jumlah penduduk DKI Jakarta aktual dan simulasi
129
Revenue (Rp)
300.000.000.000
200.000.000.000
Revenue Aktual Revenue Sim ulasi 100.000.000.000
05
06
07
08
Time
Gambar 63 Perbandingan revenue aktual dan simulasi Tabel 30 Data validasi parameter beban pencemaran Waktu Time
BP Domestik
BP Domestik Data
01 Jan 2005
335,77
317,14
01 Jan 2006
341,65
321,22
01 Jan 2007
347,63
325,35
01 Jan 2008
353,71
329,53
01 Jan 2009
359,90
333,77
01 Jan 2010
366,20
333,77
Beban Pencemar (ton/hari)
400
300
200
BP Dom e stik Ak tual BP Dom e stik Sim ulasi
100
0 05
06
07
08
Time
Gambar 64 Perbandingan beban pencemar aktual dan simulasi
130
Validasi dilakukan terhadap tiga parameter yang mewakili sub-model sosial, ekonomi dan lingkungan, yaitu validasi jumlah penduduk, revenue dan beban pencemaran. Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk menunjukkan bahwa, AME menyimpang 0,4% untuk pertambahan penduduk DKI Jakarta dari data aktual. Hasil validasi terhadap revenue menunjukkan nilai AME sebesar 9% dan validasi terhadap beban pencemar domestik menunjukkan nilai AME sebesar 7%. Batas penyimpangan pada parameter AME adalah <10%, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan. 6.3 Konsep Kebijakan Pengelolaan SDA Dasar bagi pengelolaan sumber daya air dengan tepat dirumuskan dalam ketentuan UUD 1945 yaitu pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan demikian secara konstitusional landasan pengelolaan sumber daya air memberikan dasar bagi diakuinya hak atas air. Oleh karena itu, meskipun negara mempunyai hak penguasaan atas air, namum karena air menyangkut aspek hak asasi, maka pengelolaan sumber daya air harus dilaksanakan secara transparan yaitu dengan mengikutsertakan peran masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan. Hal ini sangat sejalan dengan hasil analisis prioritas kebijakan dengan teknik AHP pada level kriteria kinerja yang menghendaki transparansi dan akuntabilitas sebagai prioritas paling tinggi. Berdasarkan hasil analisis MDS, pada dimensi kelembagaan menunjukan perlunya hubungan kerja yang baik antara satu instansi dengan instansi lainnya.Sedangkan pada dimensi lingkungan masalah kekeringan menjadi isu utama. Hal ini menunjukan bahwa pada bagian hilir Sungai Citarum masih mengalami kekurangan air yang serius. Kondisi ini, sangat ironis karena DAS Citarum memiliki tiga waduk besar yang mestinya dapat melakukan pengaturan air secara optimal.Hal-hal diatas menunjukan betapa pentingnya mekanisme dalam pelaksanaan koordinasi. Dimensi kebijakan yang menghasilkan leverage factor: perlunya sosialisasi peraturan yang ada, bahkan memperkuat mendesaknya tuntutan akan koordinasi. Oleh karena itu, sejalan dengan Undang-undang Nomor
131
7 Tahun 2004 makakonsep kebijakan dalam pengelolaan DAS Citarum perlu mempertimbangkan dibentuknya wadah koordinasi pada tingkat DAS yaitu dengan pembentukan Tim Koordinasi–Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA). Sebagai wadah koordinasi TK-PSDA juga bertugas untuk merumuskan kebijakan operasional pengelolaan sumber daya air serta penyelesaian konflik terutama dalam pembagian alokasi air.Keanggotaan TK–PSDA jumlahnya seimbang antara pemerintah dan non pemerintah, sehingga diharapkan dapat mewakili aspirasi masyarakat. Selain prinsip-prinsip diatas, konsep kebijakan pengelolaan SDA tetap harus memperhatikan sifat universal air yang mensyaratkan perlunya menerapkan pandangan holistik air sebagai bagian dari ekosistem. Oleh karena itu konsep kebijakan perlu berpegang pada prinsip keterpaduan, terutama mengintegrasikan kepentingan hulu vs hilir (upstream vs downstream), kesimbangan air permukaan vs air tanah (surface water vs ground water) dan kuantitas vs kualitas air (quantity vs quality). 6.3.1 Pemisahan fungsi publik dan fungsi ekonomi Berdasarkan hasil analisis AHP, model pengelola utama yang dipilih adalah model PJT. Sehingga PJT II perlu dikukuhkan sebagai pengelola utama (RBO). Namun demikian, secara finansial PJT II sangat berat untuk memikul tanggung jawab pengelolaan secara keseluruhan.Sebagaimana hasil focus group discussion (FDG), ternyata di negara yang sudah majupun seperti Korea dan Jepang ternyata bantuan pemerintah tetap diperlukan dalam pengelolaan SDA. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa air memiliki nilai ekonomi, namun tetap berfungsi sosial. Oleh karena itu perlu ada pemisahan yang jelas antara fungsi publik dan fungsi ekonomi dalam pengelolaan SDA.Komponen publik harus tetap menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan komponen ekonomi yang memiliki potensi pendapatan (revenue) dapat ditangani oleh RBO yang berbentuk korporasi, seperti PJT II. Namun demikian pengelolaan kedua komponen ini mutlak memerlukan keterpaduan (integrasi). Untuk lebih memastikan komponen apa saja yang dapat dikelola oleh PJT II sebagai RBO utama, maka dilakukan simulasi dengan beberapa skenario dalam pengaturan beban tanggung jawab PJT II yang berbeda (lihat Tabel
132
31).Pembagian ini didasarkan pada prinsip akuntabilitas yaitu keutuhan tanggung jawab pengelolaan pada suatu komponen yang meliputi operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi (OPR). Pemisahan tanggung jawab atas tiga kegiatan itu akan menjadi disinsentif bagi kinerja pengelolaan. Tabel 31 Skenario Pengelolaan Prasarana DAS Citarum Skenario
Badan Sungai
Waduk
Prasarana Utama
Irigasi
S0
̶
OP
OP
O
S1
OPR
OPR
OPR
OPR
S2 S3
OPR ̶
OPR OPR
OPR OPR
̶ ̶
Simulasi dilakukan dengan mengintervensi berbagai kebijakan terkait, guna mencapai model optimasi dengan fokus pada sub-model nilai ekonomi yang terkait dengan kinerja cost recovery PJT II. Penentuan kebijakan disusun dalam beberapa skenario (kondisi aktual dan tiga skenario) dengan mengintervensi pengelolaan biaya. Skenario satu (S1) dilakukan dengan membebankan seluruh pembiayaan OPRmenjadi tanggung jawab PJT II.Skenario dua (S2) dengan melanjutkan S1 ditambah dengan mengeluarkan OPR irigasi dari tanggung jawab PJT. Skenario tiga (S3) dengan melanjutkan S2 ditambah dengan mengeluarkan OPR badan sungai dari tanggung jawab PJT II. Hasil simulasi disajikan pada Gambar 65.
Gambar 65 Hasil simulasi cost recovery Perubahan signifikan bisa dicapai pada skenario tiga yang bisa memenuhi kebutuhan air sekitar tahun 2024. Secara umum, skenario tiga (S3) merupakan
133
skenario paling optimal dengan indeks pemenuhan kebutuhan air dan cost recovery terbesar. Skenario satu memiliki kinerja paling rendah, karena semua beban pembiayaan operasional ditanggung PJT.Hal ini bahkan menunjukkan kinerja yang tidak lebih baik dari kondisi aktual (S0). Skenario dua memiliki kinerja lebih baik dari skenario satu, perbedaannya hanya pada pengurangan beban biaya OPR irigasi. Skenario tiga merupakan skenario terbaik yang mampu mempertahankan cost recovery di atas satu sejak diberlakukan hingga akhir simulasi pada tahun 2040, sementara S0 sempat mencapai CR>1 dan menurun hingga di bawah satu pada tahun 2015. Sementara skenario lainnya (S1 dan S2) tidak pernah mencapai cost recovery lebih besar dari satu. Dengan demikian skenario tiga merupakan satu-satunya pilihan yang memberikan cost recovery diatas satu, artinya secara finansial PJT II sebagai koorporasi bisa tetap sehat bilamana cakupan tanggung jawabnya dibatasi pada pengelolaan waduk dan prasarana utama.Selanjutnya komponen-komponen ini dianggap sebagai komponen fungsi ekonomi, sedangkan komponen sisanya dianggap merupakan komponen publik yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah. 6.3.2 Pembagian Kewenangan pemerintah pusat-daerah Meskipun DAS Citarum merupakan kewenangan pusat, namun konsep kebijakan perlu mempertimbangkan semangat otonomi daerah.Pengelolaan komponen publik perlu dibagi atas strata pemerintah dengan memperhatikan keseimbangan beban tanggung jawab serta kapasitas pada instansi-instansi tersebut. Sesuai dengan prinsip akuntabilitas, maka dalam pengaturan tersebut peran pemerintah pusat, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota haruslah jelas batas-batasnya sehingga terlihat “siapa” berbuat “apa”, demikian pula dunia usaha dan masyarakat juga harus jelas kewajiban dan haknya.Namun demikian, prinsip dasar kewenangan yang melekat didalamnya dengan tanggung jawab, maka pemerintah pusat pada dasarnya bertanggung jawab atas seluruh pembebanan biaya komponen publik, termasuk pembangunan dan pengeloaan.Pelimpahan kepada pemerintah propinsi dan kabupaten dapat dilakukan dengan mekanisme tugas pembantuan (TP).
134
Pengaturan yang diusulkan dalam konsep kebijakan ini antara lain meliputi tanggung jawab pembangunan yang harus tetap menjadi beban Pemerintah Pusat, yang pelaksanaannya ditangani oleh BBWS. Pengelolaan irigasi yang merupakan fungsi publik, pengelolaannya bisa dilakukan secara tugas pembantuan
kepada
pemerintah
kabupaten.Namun
demikian,
sekiranya
diperlukan dapat diatur masa transisi dimana pengelolaan irigasi dapat dilakukan melalui contract service dengan PJT II.Demikian juga dengan pengelolaan badan sungai.Pada dasarnya badan sungai terutama terkait dengan pengendalian banjir, oleh karena itu harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat (BBWS). Sementara itu, pemerintah propinsi Jawa Barat (Balai PSDA) dapat dilimpahi tanggung jawab atas pengelolaan sungai orde dua dan tiga.Mekanisme pelaksanaannya dapat dilakukan melalui mekanisme tugas pembantuan dari BBWS ke Balai PSDA.Penanganan konservasi hulu tetap dilaksanakan oleh Kementerian
Kehutanan
melalui
BPPAS
bersama
dengan
pemerintah
propinsi/kabupaten dan masyarakat. Memperhatikan pembagian tanggungjawab diatas, maka jelas bahwa meskipun DAS Citarum terletak pada wilayah sungai yang merupakan kewenangan pusat, namun pengembangan model harus mempertimbangkan ketentuan dalam kebijakan otonomi daerah. Pembagian kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten dalam konsep kebijakan ini memiliki efektifitas yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki oleh instansi pada masing-masing strata pemerintah. Secara garis besar, pembagian kewenangan masing-masing strata pemerintahan dalam konsep kebijakan ini berdasarkan fungsinya dapat dilihat pada Tabel 32. Selanjutnya pengaturan pembagian tanggung jawab dalam fungsi operator secara menyeluruh dibagi habis sampai pada tingkat paling hilir sampai dengan pelibatan peran serta masyarakat sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 33.
135
Tabel 32 Pembagian Kewenangan antar Strata Pemerintah Menurut Fungsi Fungsi
Stakeholders Operator Regulator Developer PEMERINTAH - Badan Sungai Utama - Penetapan Ijin - Pembangunan PUSAT (Main river) Alokasi Air prasarana pada (BBWS) sungai utama - Penetapan Pola dan Rencana - Penetapan tarif: air baku, tenaga listrik, pollution fee dan BJPSDA lainnya - Ijin galian golongan C (di badan sungai) (BP-DAS) - Reboisasi kawasan hulu PUBLIK PEMERINTAH - Sungai orde 2 dan 3 - Penetapan Rencana - Pembangunan PROPINSI (tugas pembantuan) Tanam prasarana pada (BALAI PSDA) sungai orde 2 dan 3 (tugas pembantuan) - Jaringan Irigasi - Penetapan RTRW 1000 - 3000 ha Propinsi PEMERINTAH - Jaringan Irigasi - Ijin pengambilan air - Reboisasi KABUPATEN < 1000 ha tanah Kawasan Hulu (Dinas Terkait) - TP-OP jaringan irigasi > 3000 ha KORPORASI - Waduk - CSR: Reboisasi ( PJT II) Kawasan Hulu EKONOMI - Prasarana utama pembagi alokasi air
Tabel 33 Pengaturan tanggungjawab pengelolaan SDA pada DAS Citarum
136
137
6.4 Aplikasi Model Kebijakan Memperhatikan
hal-hal
diatas,
dapat
dipahami
bahwa
dalam
operasionalisasinya ada tiga pilar penting yang sangat mempengaruhi kinerja pengelolaan SDA, yaitu: (i) tata kelola SDA (water Governance), (ii) kapasitas kelembagaan, (iii) sistem pembiayaan investasi dan operasi pemeliharaan. Water Governance yang efektif mencakup rangkaian sistem hukum, politik,sosial dan administratif yang disusun dalam rangka mengembangkan dan mengelola SDA agar dapat berkelanjutan. Sebagaimana diuraikan pada butir 6.3, model kebijakan yang diusulkan ini menegaskan penerapan konsep corporate sebagai RBO utama.Dalam perkembangannya tanggung jawab PJT II (corporate) pada pengelolaan SDA dapat meningkat sejalan dengan tumbuhnya kemampuan finansial. Oleh karena itu dalam masa transisi perlu didukung oleh kondisi water govermance
yang
kondusif
serta
terjaminnya
dana
pemerintah
untuk
penyelenggaraan komponen publik.Di tingkatwilayah sungai, water governance berarti mempraktekkan pengelolaan sumber daya air terpadu dengan keterpaduan antar sektor dan antar daerah serta partisipasi publik dan pemberdayaan komunitas sebagai faktor-faktor keberhasilan kritikal. Penerapan tiga pilar utama diatas, pada DAS Citarum dirumuskan dalam tiga model yaitu model kelembagaan, model manajemen dan model pendanaan. 6.4.1 Model Kelembagaan Model kelembagaan harus mengatur dengan jelas peran dan fungsi instansi yang ada serta bagaimana mekanisme koordinasinya, kerjasama dan kewenangan masing-masing instansi dalam proses pengambilan keputusan. Prinsip dasar model kelembagaan yang diusulkan adalah transparansi dan akuntabilitas yaitu pembagian fungsi yang jelas dan terpisah antara koordinator, regulator, developer, operator dan user. Pembagian fungsi ini harus terinci pada setiap strata wilayah kewenangan yang dibagi dalam tingkat nasional, antar wilayah sungai, tingkat propinsi, tingkat daerah aliran sungai dan tingkat kabupaten.Dengan demikian, ruang lingkup kewenangan masing-masing instansi serta bagaimana satu instansi dan instansi lainya saling berhubungan baik secara struktural atau koordinasi, serta jalus pembinaan menjadi jelas.Keterkaitan antara masing-masing fungsi dari kelembagaan yang diusulkan dapat dilihat pada Gambar 66.
138
REGULATOR Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Dinas
DEVELOPER Proyek Pemerintah, Investasi Swasta
WADAH KOORDINASI
OPERATOR BPDAS, PJT, BPSDA
USER/PUBLIC Pertanian, Perkotaan, Energi, Industri, Perkebunan, Pakar, LSM
Gambar 66 Kerangka Interaksi Kelembagaan Pengelola SDA Berdasarkan tanggung jawab masing-masing institusi sebagaimana diuraikan pada butir 6.3, secara visual dapat dilihat posisi masing-masing instansi serta bagaimana hubungan satu instansi dengan instansi lainnya baik secara struktural, koordinasi maupun jalur pembinaan diilustrasikan pada Gambar 67. Fungsi Koordinasi Dalam pengelolaan sumber daya air DAS Citarum yang bersifat multi institusi serta latar belakang yang sarat dengan konfik kepentingan, maka fungsi koordinasi ini berperan sangat penting dan merupakan conditio sine qua non untuk pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.Melengkapi Dewan Sumberdaya air Nasional dan TK-PSDA 6 Cis yang sudah terbentuk, diusulkan pembentukan TK-PSDA DAS Citarum.Institusi ini secara struktural berada langsung dibawah Dewan SDA-Nas, sedangkan dengan Dewan SDA-Prov memiliki hubungan pembinaan. Fungsi Regulasi Pada tingkat nasional terdapat beberapa kementerian yang berwenang dalam menetapkan kebijakan dan peraturan pelaksanaannya antara lain Kementerian Pekerjaan Umum, Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Sebagai kepanjangan tangan Pemerintah pusat pada wilayah sungai, BBWS Citarum memiliki peran utama dalam menjalankan fungsiregulator. Beberapa hal penting terkait dengan fungsi ini antara lain perijinan alokasi air, penetapan pola dan rencana pengelolaan SDA dan pengaturan rencana tanam. Lembaga regulator yang berada di tingkat propinsi yaitu Dinas PSDA Propinsi, sedangkan untuk
139
tingkat Kabupaten adalah Dinas yang membidangi sumber daya air di Kabupaten/Kota. Penegakan hukum untuk menjamin terlaksananya peraturan yang telah ditetapkan dilakukan oleh Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota terkait dengan pengendalian pencemaran, penertiban sempadan, penertiban penambangan pasir liar, dan lain-lain.Dalam hal ini, PJT II memberikan dukungan berupa back up data serta membantu sosialisasi peraturandan penegakan hukum. Fungsi Developer (Planning) Pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab Pemerintah (cq. Kementerian Pekerjaan Umum). Dalam pelaksanaan fungsi ini dilaksanakan oleh BBWS berdasarkan pola dan rencana pengelolaan SDA yang sudah ditetapkan oleh menteri berdasarkan rekomendasi teknis dari TK – PSDA. Dalam tingkat Kabupaten/Kota, dinas yang membidangi sumber daya air di Kabupaten/Kota bertanggungjawab atas pembangunan irigasi baru sesuai dengan kewenangannya. Dalam melaksanakan Public Private Partnership (PPP) dibidang pengembangan SDA untuk pengusahaan, PJT II mempunyai peran strategis yaitu menjadi katalisator dan wakil Pemerintah dalam kerjasama Pemerintah dengan swasta melalui hubungan Business to Business (B to B). Dalam hal rencana bisnis layak secara ekonomis namun tidak layak secara finansial, maka government sharedapat diperhitungkan sebagai penyertaan modal pemerintah (PMP) sehingga PJT II menjadi majority shareholders. Fungsi Operator PJT II sebagai korporasi profesional merupakan operator utama yang bertanggung jawab atas pengelolaan waduk Jatiluhur, prasarana utama serta pengendalian kualitas air. Untuk menjamin keterpaduan operasi kaskade tiga waduk, maka waduk Saguling dan waduk Cirata diusulkan agar dikelola oleh unit baru yaitu operation center citarum (OCC). Pengendalian OCC ini dilakukan oleh PJT II dengan koordinasi dengan PLN. Pengelolaan irigasi di tangani melalui tugas pembantuan kepada dinas Kabupaten, namun untuk tahap transisi pelaksanaannya bisa dilakukan oleh PJT II melalui service contract. BBWS juga bertanggung jawab untuk mengelola badan sungai utama. Balai PSDA bertanggung jawab atas pengelolaan sungai orde 2 dan 3 melalui mekanisme tugas pembantuan dari BBWS, BP-DAS bertanggung jawab mengelola konservasi kawasan hulu.
Gambar 67 Model kelembagaan
140
141
Fungsi User Berbagai institusi yang berfungsi sebagai user antara lain kementerian Pertanian, BUMN di tingkat pusat, sedangkan pada tingkat DAS user utama antara lain PLN, PDAM, industri dan Petani/P3A. User tersebut berhak memperoleh pelayanan yang baik dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.Selain haknya tersebut, user diharapkan dapat menggunakan air secara efisien dan ikut menjaga kelestarian lingkungan,Userwajib memberi kontribusi pembiayaan baik langsung maupun tak langsung, kecuali pertanian rakyat dan pemakaian air untuk keperluan hidup sehari-hari. User juga wajib memberi kontrol sosial yang positif atas pengelolaan SDA. 6.4.2 Model Manajemen Model manajemen berkaitan dengan perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan pengawasan yang diusulkan dalam konsep kebijakan ini dapat dilihat pada Gambar 68. Pola dan Rencana Pengembangan DAS Dalam tingkat perencanaan, pemerintah pusat melalui kementerian Pekerjaan Umum merumuskan rencana tata ruang wilayah nasional yang selanjutnya menjadi dasar dalam penyusunan RTRW Propinsi.Sejalan dengan itu Kementerian PU menyusun rencana kerja pemerintah (RKP) sebagai dasar penyusunan program pembangunan.Kegiatan ini menjadi tanggung jawab BBWS. Berdasarkan RTRW Propinsi dan RKP tersebut, BBWS menyusun konsep pola dan rencana DAS yang disampaikan ke TK PSDA untuk dapat dibahas oleh seluruh anggota TK
PSDA. Pola-rencana DAS dan RTRW harus sinkron agar dapat: i)
menghasilkan koefisien run-offyang minimal dan ii) memenuhi proyeksi kebutuhan air baku untuk berbagai rencana pengembangan wilayah kedepan. Selanjutnya setelah dibahas di TK PSDA, rencana tersebut diusulkan ke Menteri PU untuk ditetapkan.Atas dasar pola dan rencana yang telah diputuskan oleh Menteri PU tersebut maka BBWS dapat melaksanakan pembangunan konstruksi infrastruktur, serta menjadi pedoman bagi PJT II untuk melakukan pengoperasian tugasnya sebagai operator. Setelah melaksanakan pembangunan prasarana, BBWS menyerahkan aset tersebut ke PJT II untuk dioperasikan.
Gambar 68 Model Manajemen
142
143
Operation Center kaskade tiga waduk Mempertimbangkan adanya tiga buah waduk seri yang pengelolaannya oleh instansi yang berbeda maka diusulkan untuk dibentuk pusat pengoperasian tiga waduk dibawah pengelolaan PJT II. Pusat operasi tiga waduk ini akan melakukan pengelolaan untuk mengintegrasikan dan mengsinkronkan pengoperasian Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Pelaksanaan pengelolaan pembangkitan listrik tenaga air dan pendistribusiannya tetap oleh PLN yang dalam hal ini dilakukan oleh Indonesia Power dan PJB. Pada kondisi ekstrim, OCC mempunyai wewenang untuk mengambil langkah-langkah pengamanan terhadap bencana yang mungkin terjadi. Alokasi Air Pada dasarnya perijinan merupakan kewenangan pemerintah cq. Menteri Pekerjaan Umum (PU). Berdasarkan pola dan rencana yang telah ditetapkan, user dapat mengajukan usulan alokasi air kepada BBWS. Kemudian setelah dianalisis kesesuaian dan ketersediaan air, BBWS mengajukan rekomendasi teknis ke kementerian PU. Setelah mempertimbangkan dan mendiskusikannya maka menteri PU menetapkan ijin alokasi air yang selanjutnya disampaikan ke PJT II untuk dapat dilaksanakan. Pelaksanaan distribusi air oleh PJT II harus efisien dengan mengadopsi teknologi yang berkembang. Hal ini penting untuk menekan operation loss yang selama ini dinilai masih tinggi. Rencana Tanam Tahunan Di dalam pelaksanaan OP irigasi, petani/P3A mengajukan rencana tanam tahunan melalui dinas kabupaten terkait yang selanjutnya diusulkan ke Gubernur melalui dinas propinsi. Setelah ditetapkan eloh Gubernur melalui koordinasi oleh TKPSDA kemudian disampaikan ke PJT II untuk dilaksanakan. Untuk meningkatkan efisiensi pemakaian air untuk tanaman, rencana tanam harus sudah memasukan pembagian golongan, jenis tanaman serta sejauh dimungkinkan termasuk pola budi dayanya, khususnya budi daya hemat air. Konservasi Hulu Kegiatan konservasi hulu ini sangat penting untuk menjamin keberlanjutan sumber air. Pelaksanaan konservasi di hulu pada dasarnya merupakan kewajiban
144
semua pihak (everybody business) namun pada pelaksanaannya seolah-olah membatasi exploitasi di bagian hulu, tetapi sebenarnya suatu keharusan semua para pemangku kepentingan untuk mengikuti RTRW ataupun pola dan rencana DAS Citarum. Namun demikian penanggung jawab utama adalah BP-DAS yang merupakan unit pelaksana kementerian Kehutanan. Jika terjadi penyimpangan perlu diberi sangsi yang diantaranya dapat berupa dana kompensasi perlindungan wilayah resapan air dan harus melaksanakan konsep zerowaste management. Mekanisme Pengawasan (Controlling) Dalam mengoptimalkan pelaksanaan pengelolaan, para pelaksana dan pemangku kepentingan dapat memberikan masukkan / aspirasi ke TK PSDA berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan operasi alokasi air, dan pengendalian banjir untuk selanjutnya TK PSDA dapat melaporkan aspirasi dan masukkan tersebut ke PJT II sebagai umpan balik untuk perbaikan kinerja pengelolaan SDA selanjutnya. 6.4.3 Model Pendanaan Untuk pengelolaan sungai secara berkelanjutan perlu didukung oleh kebijakan tarif air yang mengakomodasikan prinsip full cost recovery yang memungkinkan pengenaan tarif air kepada user sesuai dengan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan SDA. Struktur tarif air yang diusulkan terdiri dari tiga elemen sebagai pemenuhan
biaya: (i) OP prasarana & sarana, (ii)
manajemen pengelolaan air, (iii) fee lingkungan untuk pelestarian sumber air. Konsep kebijakan dalam mekanisme pendanaan dirumuskan dalam model pendanaan sebagaimana diagram pada Gambar 69. Anggaran Pemerintah Meskipun pengelola utama ditangani oleh PJT II, namun demikian masih diperlukan bantuan pemerintah untuk menangani komponen fungsi publik. Anggaran pemerintah pusat (APBN) cq. Kementrian Keuangan tidak hanya menyediakan dana untuk pelaksanaan melalui Kementerian Kehutanan dan Kementerian PU tetapi juga memberikan pengalokasian dana ke Pemerintah Propinsi dan Kabupaten sebagai dana perimbangan untuk kebutuhan konservasi dan operasi jaringan irigasi (APBD) yang menjadi tanggung jawabnya masingmasing. Kementerian Kehutanan melalui dana APBN yang dilaksanakan oleh
145
BPDAS melakukan konservasi hulu dengan program reboisasi. Sedangkan Kementrian PU membiayai program yang telah disusun oleh BBWS untuk melakukan perencanaan, pembangunan dan OPR atas prasarana yang menjadi tanggung jawabnya. BBWS setelah melakukan pembangunan infrastruktur menyerahkan aset tersebut ke PJT II melalui penyertaan modal pemerintah (PMP). Badan usaha industri dan PLN melalui CSR mendukung masyarakat lokal dan adat untuk berpartisipasi dalam mensukseskan program reboisasi. Dengan keterlibatan dari Pemerintah pusat, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten serta para pemangku kepentingan, diharapkan diperoleh dana yang berkesinambungan untuk pengelolaan SDA di DAS Citarum. Revenue PJT II Para user yang dilayani oleh PJT II (PDAM, Indonesia Power, Badan Pariwisata, Badan Usaha Industri) memberikan BJ-PSDA ke PJT II. Disamping itu, badan usaha industri memberikan tambahan kompensasi berupa pollution fee ke PJT II sesuai dengan besarnya beban pencemaran yang masuk ke badan sungai. Sedangkan dari pembangkitan listrik, PJT II mendapat dana dari menjual listrik kepada PLN. Dukungan pendanaan juga didapat dari jasa pelayanan lainnya sesuai dengan tarif yang ditetapkan, serta uang sewa dari pengusaha keramba. Meskipun budidaya keramba merupakan potensi revenue yang cukup besar, namun PJT II perlu membatasi jumlah keramba agar limbahnya dapat terkendali sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungannya. Sebagai korporasi yang bergerak dalam pengusahaan PJT II berkewajiban membayar pajak ke pemerintah.
DINAS TERKAIT
PEMERINTAH KABUPATEN
DINAS TERKAIT
PEMERINTAH PROPINSI
DANA PERIMBANGAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN
BPDAS
KEMENTERIAN PU
APBD
APBD
Jasa- OP
Kontrak
PMP
OP. JARINGAN IRIGASI
REBOISASI HULU
PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR (OP & Rehab.)
OP. IRIGASI
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
Pajak
Gambar 69 Model Pendanaan
BBWS
APBN
KEMENTERIAN KEUANGAN
APBN
BJ - PSDA
Masyarakat Lokal & Adat
Uang Sewa
Tarif
Hasil Jual Listrik
POLLUTION FEE (Imbal Jasa Lingkungan)
PJT II
SKEMA PENDANAAN
Pengusaha Keramba
CSR
Jasa Pelayanan lainnya
PLN
BADAN USAHA INDUSTRI
INDONESIA POWER / PJB
PDAM
146
147
6.5 Implikasi Kebijakan Skenario kinerja pengelolaan SDA setelah penerapan model dilakukan dengan melakukan intervensi terhadap beberapa faktor kunci. Beberapa faktor kunci yang diintervensi adalah efektivitas pengelolaan air (EPA) melalui peningkatan biaya pengelolaan pencemaran (Pollution Fee, PF); peningkatan ketersediaan air melalui efektivitas kinerja PJT II dan peningkatan pendapatan pengelolaan melalui peningkatan tarif pengelolaan pencemaran (PF), peningkatan tarif listrik, serta peningkatan tarif penggunaan air untuk energi (BJ-PSDA). Pada kondisi lingkungan, jika dilakukan perbaikan prasarana IPAL dan peningkatan biaya pengelolaan lingkungan diharapkan mampu menurunkan BOD dari 18,7 mg/L menjadi 5,5 mg/L setelah prasarana selesai dibangun dan berangsur-angsur turun menjadi 2,5 mg/L pada tahun 2018 dan setelahnya. Sementara peningkatan ketersediaan air dilakukan dengan meningkatkan efisiensi penyaluran air dari kondisi setelah prasarana selesai dibangun tahun 2018 (optimal) kemudian menurun 2% pertahun diintervensi menjadi stabil pada kapasitas 31 m3/detik. Hal ini bisa dicapai melalui peningkatan prasarana, peningkatan kinerja, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia PJT II. Selain itu dilakukan juga intervensi dengan meningkatkan biaya pengelolaan melalui peningkatan tarif berbagai penggunaan air secara rasional. Tarif pollution fee diterapkan sebesar Rp 10.000/m3. Tarif penggunaan air untuk pembangkitan listrik dinaikkan dari Rp 202/kwh menjadi Rp 550/kwh. Sementara tarif penggunaan air untuk energi (BJ-PSDA) pada Waduk Saguling dan Waduk Cirata ditingkatkan dari semula tidak membayar menjadi Rp 10/m 3. Hal ini akan berimplikasi pada ketiga indikator pencapaian tujuan pengelolaan sumber daya air DAS Citarum, berupa indeks pemenuhan kebutuhan air (IPKA), indeks perbaikan lingkungan (IPL), dan cost recovery (CR). Hasil simulasi disajikan dalam Gambar 70, 71 dan 72 yang menggambarkan kondisi sebelum intervensi dan sesudah intervensi. Hasil simulasi IPKA disajikan dalam Gambar 70 yang menunjukkan perbaikan kinerja setelah dilakukan intervensi. Hal ini terlihat dari pencapaian IPKA sebelum intervensi yang baru mencapai indeks 1 (kebutuhan terpenuhi) pada tahun 2017 - 2022 (ketersediaan air baru bisa setara dengan kebutuhan
148
masyarakat). Adanya intervensi kebijakan mampu mempertahankan pemenuhan IPKA pada indeks 1 (satu) antara 2017 - 2032. Kondisi ini bisa dicapai karena terdapat kelebihan ketersediaan air yang berasal dari selisih ketersediaan dan
Debit Air (m3/detik)
kebutuhan air yang ada.
20
15 Kebutuhan Air Penduduk DKI 10
Debit Distribusi Sebelum Intervensi Debit Distribusi Setelah Intervensi
5
0 01 Jan 2010 01 Jan 2015 01 Jan 2020 01 Jan 2025 01 Jan 2030 01 Jan 2035 01 Jan 2040
Time
Gambar 70 Proyeksi pemenuhan kebutuhan air minum setelah kebijakan Hasil simulasi IPL disajikan dalam Gambar 71 yang menunjukkan perbaikan kualitas air setelah dilakukan intervensi. Hal ini terlihat dari kadar BOD menurun terus dari semula 18,7 mg/L menjadi 5,5 mg/L pada tahun 2016 dan 3 mg/L pada tahun 2018. Demikian juga kadar COD menurun dari semula 64,4 mg/L, sedangkan Cr turun dari 0,0014 mg/L menjadi 0,0011 mg/L. Hal ini bisa tercapai dengan adanya efektivitas IPAL dan pembebanan PF sebesar Rp 10.000/m3, sehingga bisa meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan. Setelah tahun 2016 IPL terus meningkat seiring perbaikan efektivitas IPAL dan peningkatan pemasukkan untuk biaya pengelolaan lingkungan. Implikasi keadaan ini akan berdampak pada berkurangnya pencemaran di badan air dan peningkatan kualitas air yang bisa diterima oleh masyarakat.
149
0,005
Kadar BOD Sebelum Intervensi
0,004 COD
0,003 0,002
Cr
0,001 BOD
0,000
Kadar Cr (mg/L)
Kadar BOD & COD (mg/L)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Kadar BOD Setelah Intervensi Kadar COD Sebelum Intervensi Kadar COD Setelah Intervensi Kadar Cr Sebelum Intervensi Kadar Cr Setelah Intervensi
-0,001 2010
2015
2020
2025
2030
2035
2040
Tahun
Gambar 71 Proyeksi peningkatan kondisi lingkungan sesudah kebijakan Hasil simulasi lainnya disajikan dalam Gambar 72 yang menunjukkan peningkatan CR setelah dilakukan intervensi. Hal ini terlihat dari peningkatan CR pada awal tahun simulasi dari 1,09 pada kondisi sebelum intervensi menjadi 1,37 setelah diintervensi. Meskipun demikian, peningkatan CR relatif lamban mengingat adanya peningkatan biaya pengelolaan setiap tahunnya, pada kondisi sesudah intervensi. Pada akhir tahun simulasi, kondisi sebelum intervensi hanya mencapai CR sebesar 0,9 sementara setelah intervensi CR meningkat menjadi 1,36.
Cost Recovery
1,0
Kondisi C R Se be lum Inte rve nsi Sk e na rio C R 4 Se te la h Inte rve nsi
0,5
0,0 01 Ja n 2010
01 Ja n 2020
01 Ja n 2030
01 Ja n 2040
Gambar 72 Proyeksicost recovery PJT II setelah kebijakan
150
151
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 1.
Kesimpulan Menurut hasil analisis MDS yang dilakukan berdasarkan pendapat 16 pakar menunjukan bahwa hampir semua dimensi memiliki nilai tidak berkelanjutan kecuali dimensi teknis dan dimensi sosial budaya. Dimensi lingkungan memiliki nilai indeks yang paling rendah (7,52%) dengan faktor dominan ditunjukkan pada masih seringnya terjadi kekeringan dan bencana banjir.
2.
Berdasarkan hasil simulasi model sistem dinamik, kondisi saat ini menunjukkan proyeksi yang tidak berkelanjutan pada ketiga indikator: sosial, lingkungan dan ekonomi. Hal ini ditunjukkan pada (i) menurunnya kemampuan pemenuhan kebutuhan air baku, (ii) makin buruknya kondisi kualitas air pada badan sungai, serta (iii) menurunya kondisi finansial PJT II.
3.
Analisis kekritisan yang dilakukan berdasarkan data sekunder menunjukan (a) peningkatan rasio Qmax/Qmin pada stasiun Nanjung sebesar tiga kali lipat selama 1994 – 2005, hal ini menunjukan kondisi kawasan hulu DAS semakin buruk, (b) kadar BOD serta koli tinja pada zona hulu dan hilir terus memburuk diatas standar baku mutu, serta beberapa anak sungai sudah tercemar ringan sampai berat, dan (c) ketidak-terpaduan operasi kaskade tiga waduk berdampak pada kejadian banjir di awal 2010 dan kekurangan air pada paruh pertama 2011, hal ini menunjukan pengelolaan SDA masih dilakukan secara terfragmentasi dan kurang terkoordinasi.
4.
Berdasarkan kuesioner yang dikumpulkan dari 12 pakar yang kemudian dianalisis dengan teknik AHP, diperoleh hasil bahwa alternatip lembaga yang paling tepat adalah alternatipmodel PJT (korporasi). Hal ini menunjukkan bahwa PJT II dipilih untuk melaksanakan fungsi operator sebagai river basin organization (RBO) dalam pengelolaan sumber daya air DAS Citarum.Sedangkan tujuan dengan prioritas yang paling tinggi
152
adalah kesejahteraan masyarakat, berarti ada keinginan yang kuat bahwa pengelolaan SDA dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan faktor yang paling dominan adalah kelestarian sumber air dan ukuran utama untuk mengukur kinerja adalah akuntabilitas dan transparansi. Variabel-variabel tersebut menjadi pertimbangan utama dalam merumuskan model konseptual kebijakan dalam pengelolaan SDA. 5.
Model konseptual kebijakan didasarkan pada prinsip water governance yang demokratis, transparan dan akuntabel dengan pemisahan
fungsi
ekonomi (yang ditangani PJT II dengan kaidah perusahaan) dan fungsi publik (yang menjadi tugas pemerintah). Berdasarkan hasil analisis model dinamik, ruanglingkup tanggung jawab PJT II harus dibatasi hanya meliputi pengelolaan (i) waduk dan (ii) prasarana utama pengatur air (skenario 3) agar secara finansial PJT II bisa tetap sehat. 6.
Komponen publik menjadi beban pemerintah dengan pendanaan dari APBN, dengan pengaturan: (i) pengelolaan sungai orde dua dan tiga diserahkan kepada BalaiPSDA propinsi Jawa Barat melalui mekanisme tugas pembantuan (TP), (ii) pengelolaan irigasi diserahkan kepada pemerintah pusat, yang kemudian dapat diserahkan kepada kabupaten melalui TP-OP, (iii) pengelolaan badan sungai dan pembangunan prasarana tetap menjadi tanggung jawab BBWS, dan (iv) reboisasi kawasan hulu tetap tanggung jawab BP-DAS dengan dukungan partisipasi masyarakat dan swasta.
7.
Model pengelolaan sumber daya air yang diusulkan meliputi model kelembagaan, model manajemen dan model pendanaan. Wadah koordinasi TK-PSDA pada tingkat wilayah sungai atau DAS perlu dibentuk dengan keanggotaan yang seimbang antara unsur pemerintah dan non pemerintah.TK-PSDA memiliki peran sentral pada fungsi koordinasi dan kebijakan operasional strategis yang meliputi pola danrencana pengelolaan SDA, perijinan alokasi air dan rencana tanam. Pengelolaan waduk Saguling dan Cirata yang menjadi aset PLN ditangani oleh unit Operation Center dengan standard operation procedure (SOP) yang jelas.
153
8.
Implikasi dari penerapan model kebijakan ini,menurut simulasi model dinamikmenunjukkan hasil yang positif pada ketiga indikator dan dapat (i) meningkatkan kemampuan penyediaan air baku untuk air minum, (ii) meningkatkan kesehatan lingkungan, serta (iii) memperbaiki kondisi finansial PJT II melalui peningkatan revenue.
7.2
Saran Perlu pengkajian lebih lanjut tentang (a) proyeksi pengembangan lahan berdasarkantren pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk, serta korelasinya terhadap proyeksi kebutuhan air dan beban pencemaran; (b) analisis BJ-PSDA berdasarkan perhitungan full cost recovery, atas seluruh biaya untuk pengelolaan SDA, sebagai dasar untuk penetapan tarif; (c) kajian keseimbangan input – output sedimen pada badan sungai guna penetapan batas maksimun galian – C yang diijinkan pada badan sungai, dan (d) perencanaan IPAL untuk perkotaan dan kawasan industri, serta analisis biaya pengelolaan IPAL untuk penetapan pollution fee. Peraturan perundangan yang menjadi landasan hukum pembentukan PJT II, BBWS Citarum dan Balai PSDA harus ditinjau kembali dengan penyesuaian ruang lingkup kewenangan masing-masing sesuai fungsinya, secara jelas dan tidak tumpang tindih. Untuk meningkatkan revenue PJT II agar bisa memenuhi cost recovery atas kegiatan-kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya perlu dilakukan peninjauan kembali atas peraturan-peraturan yang ada atau perumusan peraturan baru sebagai berikut: Kepmen PU No. 56/KPTS/M/2010 dan 72/KPTS/M/2011 tentang tarif air baku PJT II ke DKI dan Jawa Barat perlu ditinjau kembali sesuai dengan kajian BJ-PSDA. Surat Menteri ESDM No. 2581/36/KEM.L/2004 tentang penetapan harga jual PLTA Ir. H. Juanda kepada PLN agar ditinjau lagi dan disesuaikan dengan dinamika perkembangan ekonomi dan industri saat
154
ini,
sejalan
dengan
Undang-undang
No.
30/2009
tenaga
ketenagalistrikan. Merumuskan peraturan baru tentang BJ-PSDA untuk penggunaan tenaga listrik yang selama ini belum diberlakukan pada Waduk Saguling, Cirata dan Jatilluhur. Peraturan Daerah yang terkait dengan retribusi ijin pembuangan limbah cair perlu ditinjau kembali, kemudian sesuai dengan kewenangannya perlu menerbitan keputusan baru yang mengatur (a) penunjukkan PJT II sebagai pengelola IPAL yang berwenang menarik pungutan pollution fee, (b) penetapan tarif pollution fee, dan (c) effluent IPAL yang diijinkan untuk sungai diturunkan sesuai dengan baku mutu air sungai (3 mg BOD/L). Peraturan tentang pengelolaan galian C agar ditinjau lagi, kewenangan dalam pemberian ijin galian C pada badan sungai agar dilimpahkan kepada institusi pengelolaan sungai sesuai dengan kewenangannya. Diperlukan upaya bersama untuk reboisasi kawasan hulu yang merupakan sumber air bagi DAS Citarum, baik melalui program pemerintah maupun bantuan swasta serta partisipasi masyarakat. Upaya ini harus terintegrasi dengan RTRW Propinsi Jawa Barat dengan sasaran meningkatkan kawasan hutan di hulu minimum 30%.
155
DAFTAR PUSTAKA Abidin, H.Z., Andreas, H., Gumilar I, Wangsaatmaja S., Hukuda Y., dan Deguchi, T., 2009. Landsubsidence and Groundwater Extraction in Bandung Basin (Indonesia). Workshop Inception Report of Upper Citarum Flood Management.Pusat Litbang SDA-Asian Development Bank. Adiprasetyo T. 2010. Rancang Bangun Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Alaert G, Moigne G le. 2003. Water Week: Integrated Water Management at River Basin Level: An Institutional Development Focus on River Basin Organizations,( World Bank ). Anwar. 2006. Peranan Kelembagaan Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Lokal. Makalah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Barbier EB. 1987. The Concept of Sustainable Economic Development. Environment Conservation: 14, 1-6. Berger T, Birner R, Jos´e D´ıaz, McCarthy N, Wittmer H. 2006. Capturing the complexity of water uses and water users within a multi-agent framework. Water Resources Management (2007) 21:129–148. DOI 10.1007/s11269-006-9045-z Blomquist W, Dinar A, Kemper K. 2005. Comparison Of Institutional Arrangements For River Basin Management In Eight Basins. Barrutia JM, Aguado I, Echebarria C. 2007. Networking for Local Agenda 21 Implementation: Learning from Experiences with Udaltalde and Udalsarea in The Basque Autonomous Community. Faculty of Economics and Business Administration. University of The Basque Country. Spain. Geoforum: 38, 33-48. Budiharsono S. 2005. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Budiharsono S. 2007. Peningkatan Ketahanan Pangan Melalui Pengembangan Ekonomi Lokal. Bappeda Kabupaten Bogor. Burke J. 2006. Impulses For Water Resource Planning and Institutional Reform in Indonesia, Towards an Effective Institutional Framework. Senior Water Policy Officer, NRLW, Land and Water Division. FAO. Rome. Italy. BPS. 2010. DKI Jakarta Dalam Angka.
156
Country Report. 2006. Indonesia: Integrated Water Resources Development and AManagement in a River Basin Context: The Brantas River Basin‟s Experience. [CSD] Commission on Sustainable Development. 2001. Indicators of Sustainable Development: Framework and Methodology. Commission on Sustainable Development. Background Paper No.3. New York: Division for Sustainable Development. Dinar A, et al. 2005. Decentralization Of River Basin Management: A Global Analysis. Draft Working Paper, Washington D.C.: World Bank Dunn W. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Edwarsyah. 2008. Rancang Bangun Sistem Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir (Studi Kasus: DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat). [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Effendi R., Ilyas A., Kayo S. 2000. Perubahan Peruntukan Lahan terhadap Drainase Inti Kotamadya Bandung. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pengairan, No. 45, Th 15, KW. II-2000.Halaman 41-46. ISSN: 0215 – 1111. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1. Bogor: IPB Press. Eriyatno. Sofyar F. 2007. Riset kebijakan: metode penelitian untuk pascasarjana. Bogor: IPB Press. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Teori dan
Gany AH. 2005. Sumber Daya Air Memasuki Era Globalisasi: Dari Perspektif Hidrologi, Desentralisasi dan Demokratisasi di Seputra Konstalasi Privatisasi dan Hak Guna Air. Jurnal Konstitusi, Volume 2, Nomor 2. Jakarta. Gunatilaka A. 2004. River Basin Management Strategies for Indonesia – Extension of the Brantas Model to Central Java. Global Water Partnership (GWP). 2004. “Informal Stakeholder Baseline Survey: Current Status of National Effort to Move Towards Sustainable Water Management Using an IWRM Approach” Status Report No. 1, April. Stockholm: GWP. Global Water Partnership. 2009. A Handbook for Integrated Water Resources Management in Basins.
157
Gomez GM, HelmsingV. 2007. Selective Spatial Closure and Local Economic Development: What Do We Learn from The Argentine Local Currency Systems / Institute of Social Studies. The Hague. The Netherlands. World Development: 36 (11), 2489-2511. Hajkowicz S, Collins K. 2006. A Review of Multiple Criteria Analysis for Water Resource Planning and Management. Water Resour Manage (2007) 21:1553–1566. DOI 10.1007/s11269-006-9112-5. Hartrisari H. 2001. Bahan Kuliah Analisis Sistem dan Pemodelan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (Tidak Dipublikasi). Program Pascasarjana SPL-IPB. Bogor. Hartrisari H. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Seameo Biotrop. Bogor. Hasan. 2003. Model Tata Ruang Kota Tani yang Berorientasi Ekonomis dan Ekologis (Studi Kasus di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Heinz I, Velazquez PM, Lund JR, Andreu J. 2007. Hydro-economic Modeling in River Basin Management: Implications and Applications for the European Water Framework Directive. Water Resour Manage (2007) 21:1103–1125. DOI 10.1007/s11269-006-9101-8 Henrique M, Chaves L, Alipaz S.2006. An Integrated Indicator Based on Basin Hydrology, Environment, Life, and Policy: The Watershed Sustainability Index. Water Resources Management (2007) 21:883–895. DOI 10.1007/s11269-006-9107-2. Hooper BP. 2003. Integrated Water Resources Management and River Basin Governance. Southem lllinois University. Carbondale. Hooper BP. 2006. VSP-01. Key Performance Indicators of River Basin Organization. Southern lllinois University. Carbondale. Idrus H.
2005. Country Report: Indonesia: Jasa Tirta II Public Corporation Experience in Managing Citarum River Basin.
Iglesias A, Garrote L, Flores F, Moneo M. 2006. Challenges to Manage the Risk of Water Scarcity and Climate Change in the Mediterranean. Water Resources Management (2007) 21:775–788. DOI 10.1007/s11269-0069111-6 Ilyas A. 1987. Pemantauan Kondisi Suatu DAS Berdasarkan Indikator Erosi/Sedimen; Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pengairan, No. 5, Th 2, I-1987.Halaman 28-38. ISSN: 0215 – 1111.
158
International Conference on Water and the Environment (ICWE) 1992. The Dublin Statement and Report of the Confernce. International Conference on Water and the Environment, 26-31 January 1992. Iswari D. 2008. Indeks Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Jeruk dengan Rap-Citrus (Studi Kasus di Kabupaten Agam, Sumatera Barat) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Japan International Cooperation Agency (JICA). 1998. Water Resources Development Plan for the Brantas River Basin. Final Report. Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Japan Bank for International Cooperation Institute Research Paper No 36-2. 2008. Aid Effectiveness to Infrastructures: A Comparative Study to East Asia and Sub-Saharan Africa – Case Study of East Asia. Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Institute. Karyana A. 2007. Analisis Posisi dan Peran Lembaga serta Pengembangan Kelembagaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Katiandagho TM. 2007. Model Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Kompetisi Antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur: Pendekatan Optimasi Dinamik. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kei S. 2004. A Design of IWRM Basin Performance Benchmarking Program, Intern SEAE Division Master Course Student, Civil Engineering Department, The University of Tokyo. Koch H, Grunewald U. 2008. A Comparison of Modeling Systems for the Development and Revision of Water Resources Management Plans. Water Resour Management (2009) 23:1403–1422. DOI 10.1007/s11269008-9333-x. Kodoatie R, Sjarief R. 2009. Tata Ruang Air. Kurniawan I. 2009. Performance of River Basin Organization in Indonesia: A Case Study of Perum Jasa Tirta (PJT) II. Thesis. UNESCO-IHE. Kusumawati R. 2010. Kebijakan Pengembangan Ekonomi Lokal Industri Alas Kaki yang Berkelanjutan di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Loukas A, Mylopoulos N, Vasiliades L. 2006. A Modeling System for the Evaluation of Water Resources Management Strategies in Thessaly, Greece.
159
Menetsch TJ, Park GL. 1976. System Analysis and Simulations with Application to Economic and Social Systems. USA: Michigan State University. Muhammadi, AminullahE, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamik : Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. Marhayudi P. 2006. Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Marimin. 2005. Teknik Dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. Moelle, Waster, Hirsh. 2007. River Basin development and Management. Available at http//www.iwmi.cgir.org/assessment. Mogheir Y, Singh VP. 2002. Application of Information Theory to Groundwater Quality Monitoring Networks. Water Resources Management 16: 37–49, 2002. Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands. Mostert E. 1998. River Basin Management and Planning. Centre for Research on River Basin Administratin, Analysis and Management Delft University of Technology, Delft, The Netherlands. Munasinghe M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. Washington D.C. USA. Napitupulu. 2005. Keterangan Tertulis Ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusional pada Pengujian Undang-undang Nomor 7/2004, tentang Sumber Daya Air. Nittu A. 2005. Albania. Water of Food, Water for Life. Norman U. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Connecticut. Kumarian Press. North, Horton. 1984. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Connecticut. Kumarian Press. Nuddin A. 2007. Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi Pengelolaan Lahan Kritis DAS Bila. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nurmalina R. 2007. Model Neraca Ketersediaan Beras yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
160
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor Sungai.
38 Tahun 2011 Tentang
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor Tentang. Pengelolaan Sumber Daya Air.
42 Tahun 2008 Tentang
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor PerumJasa Tirta II.
7 Tahun 2010 Tentang
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pakpahan. 1989. Mengubah Pertanian Tradisional Dalam Pembangunan Jangka Panjang. Tahap kedua : Pendekatan Kelembagaan. Makalah. Institut Pertanian Bogor. Pasandaran E, Zuliasri N, Sugiharto B. 2002. Peluang-Peluang Pemanfaatan Sumberdaya Air Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Hari Pangan Sedunia Ke 22. Jakarta, 9 Oktober 2002, Departemen Pertanian. Prastowo. 2009. Analisis Daya Dukung Lingkungan (Aspek Sumber Daya Air). Hand out Bahan Kuliah PSL S3 IPB. Bogor. Pulselli FM, Ciampalini F, Tiezzi E, Zappia C. 2006. The Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW) for a Local Authority: A Case Study in Italy. Department of Chemical and Biosystems Sciences and Technologies. University of Siena. Italy. Ecological Economics: 60, 271-281. Pusat Litbang Sumber Daya Air. 2007. Potensi Aliran Sungai di Indonesia; Volume I: Pulau Jawa. Badan Penelitian dan Pengembangan. Departemen Pekerjaan Umum. ISBN: 979-3197-42-0. Bandung. Pusat Litbang Sumber Daya Air. 2010. Data Tahunan Debit Sungai; Buku II: Badan Penelitian dan Pengembangan. Kementerian Pekerjaan Umum. Rachman, B. 1999. Analisis Kelembagaan Jaringan Tata Air dalam Meningkatkan Efisiensi dan Optimasi Alokasi Penyaluran Air Irigasi di Wilayah Pengembangan IP-Padi 300 Jawa Barat. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ridwan, WA. 2006. Model Agribisnis Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan pada Kawasan Pariwisata di Kabupaten Bogor (Kasus Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung). [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
161
Ruzardi. 2007. Analisis : Ketahanan Air Nasional. http://www.merauke.go.id. [24 November 2008]. Saaty, TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Terjemahan. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sarwan S. 2009. Menengok Sejarah Pembentukan Lembaga Pengelola Sumber Daya Air Wilayah Sungai atau River Basin Organization (RBO). Media informasi SDA: AIRedisi Agustus-September 2009. hal. 18 – 24. Scott, R. 2008, Institutions and Organizations, Idea and Interest. Los Angeles: Sage Publications. Senanayake R 1991. Sustainable Agriculture: Definition and Parameters for Measurement. Journal of Sustainable Agriculture: 1 (1-4). Senge P. 1990. The Fifth Discipline: The Art and Practice of the learning Organization. London: Century. Sjarief R. 2010. Multi Leve Basin Management. Jakarta Soegandhy, A dan R. Hakim. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Sofyar, CF. 2004. Pengembangan Kebijakan Usaha Kecil yang Berbasis Produksi Bersih [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana., Institut Pertanian Bogor. Srdjevic B, Medeiros YDP, Faria AS. 2003. An Objective Multi-Criteria Evaluation of Water Management Scenarios. Water Resources Management 18: 35–54, 2004. © 2004 Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands. Stock. 1994. A Frame Work for Evaluating The Sustainability of Agricultural Production Systems. American Journal of Alternative Agriculture: 9, 1020. Tasrif. 2006. Analisis Kebijakan Menggunakan Model System Dynamic, 2006. Thamrin. 2009. Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Secara Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat – Malaysia (Studi Kasus Kecamatan Dekat Perbatasan di Kabupaten Bengkayang) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tisdell, C. 1986. Economic Indicators to Access The Sustainability of Conservation Farming Projects: An Evaluation Agriculture. Ecosystems and Environments : 57, 1-7. Tjondronegoro. 1984. Teori Kelembagaan. Penerbit Pustaka. Jakarta.
162
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Undang-Undang Nomor 26Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Walker and Reuter. 1996. Challenges in The Development and Use of Ecological Indicators: 1, 1-5. World Bank 1993. Water Resources Management: A World Bank Policy Papper. Washington, DC. Wright, G dan Soendjaja, S. 2007. Diagnostic Report for Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWS). Kementrian Pekerjaan Umum. Jakarta. Xu ZX, Chen YN, Li JY. 2004. Impact of Climate Change on Water Resources in the Tarim River Basin. Water Resources Management 18: 439–458, 2004.Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands. Yusuf I. 2010. Fakta Lingkungan Keairan Sungai Citarum.[Laporan Teknis]. Pusat Litbang Sumber Daya Air. Bandung. Zaag P van der. 2007. Asymmetry and Equity in Water Resources Management; Critical Institutional Issues for Southern Africa. Water Resources Management (2007) 21:1993–2004. DOI 10.1007/s11269-006-9124-1
163
DAFTAR SINGKATAN
AHP BBWS BJ-PSDA BPDAS BPS BPSDA BUMN BWS DAS EP FDG ISM OP PAD Pemda Permen PIAJB PIPWS PJT PLN POJ PPTPA PTPA PU RBO SDA SDAWS SWS UPT WS
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Analytical Hierarchy Process Balai Besar Wilayah Sungai Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Badan Pusat Statistik Balai Pengelolaan Sumber Daya AIr Kementrian Negara Badan Usaha Milik Negara Balai Wilayah Sungai Daerah Aliran Sungai Eksploitasi dan Pemeliharaan Focus Group Discussion Interpretative Structural Modelling Operasi dan Pemeliharaan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Daerah Peraturan Menteri Proyek Irigasi Andalan Jawa Barat Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Perum Jasa Tirta Perusahaan Listrik Negara Perum Otorita Jatiluhur Panitia Pelaksana Tata Pengaturan Air Panitia Tata Pengaturan Air Kementrian Pekerjaan Umum River Basin Organization Sumberdaya Air Sumberdaya Air Wilayah Sungai Satuan Wilayah Sungai Unit Pelaksana Teknis Wilayah Sungai
164
165
DAFTAR ISTILAH
ISTILAH Sumber daya air Air
Air permukaan Air tanah Sumber air
Daya air
Pengelolaan sumber daya air
Pola pengelolaan sumber daya air
Rencana pengelolaan sumber daya air Wilayah sungai
Daerah aliran sungai
Cekungan air tanah
Hak guna air
KETERANGAN air, sumber air, dan daya air yang terkandung didalamnya. semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. semua air yang terdapat pada permukaan tanah. air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah. tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya. upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. hasil perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air. kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya airdalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan.
166
ISTILAH Hak guna pakai air Hak guna usaha air Pemerintah daerah
KETERANGAN hak untuk memperoleh dan memakai air. hak untuk memperoleh dan mengusahakan air. kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah Konservasi sumber daya upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan air keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Pendayagunaan sumber upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, daya air pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna. Pengendalian daya upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan rusak air kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air. Daya rusak air daya air yang dapat merugikan kehidupan. Perencanaan suatu proses kegiatan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumber daya air. Operasi kegiatan pengaturan, pengalokasian, serta penyediaan air dan sumber air untuk mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sumber daya air. Pemeliharaan kegiatan untuk merawat sumber air dan prasarana sumber daya air yang ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi sumber air dan prasarana sumber daya air. Prasarana sumber daya bangunan air beserta bangunan lain yang menunjang air kegiatan pengelolaan sumber daya air, baik langsung maupun tidak langsung. Pengelola sumber daya institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakan air pengelolaan sumber daya air.
167
LAMPIRAN
168
169
Lampiran 1 Kebijakan pengelolaan sumber daya air Peraturan / Perundangan Undang-undang
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Keputusan Presiden Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor
Tentang
41 Tahun 1999
Kehutanan
17 Tahun 2003
Keuangan Negara
1 Tahun 2004
Perbendaharaan Negara
7 Tahun 2004
Sumber Daya Air
32 Tahun 2004
Pemerintah Daerah
33 Tahun 2004 26 Tahun 2007 32 Tahun 2009
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Penataan Ruang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup
16 Tahun 2005
Pengembangan Sistem Penyediaan Air minum
55 Tahun 2005
Dana Perimbangan
20 Tahun 2006
Irigasi
26 Tahun 2007
Rencana Tata ruang Wilayah Nasional (RTRWN
38 Tahun 2007
42 Tahun 2008
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota Pengelolaan SDA
43 Tahun 2008
Air tanah
37 Tahun 2010
Bendungan
38 Tahun 2011
Sungai
12 Tahun 2008
Dewan Sumber Daya Air
5 Tahun 2010 33 Tahun 2011
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air
6 Tahun 2009
Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Nasional
26 Tahun 2011
Penetapan Cekungan Air tanah
11A/PRT/M/2006 Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai,membagi Indonesia dibagi atas 133 wilayah sungai 18/PRT/M/2007 Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum 30/PRT/M/2007 Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem irigasi 31/PRT/M/2007
Pedoman mengenai Komisi Irigasi
32/PRT/M/2007
Pedoman Operasional dan Pemeliharaan Jaringa Irigasi
33/PRT/M/2007
Pedoman Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A
11/PRT/M/2008
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Dewan Sumber Daya Air Nasional Pedoman Pembentukan Wadah Koordinasi Pengelolaan SDA pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Wilayah Sungai Pedoman Pengamanan Pantai
4/PRT/M/2008
9/PRT/M/2010 12/PRT/M/2010 21/PRT/M/2010 6/PRT/M/2011
Pedoman Kerjasama Pengusahaan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pekerjaan Umum Pedoman Penggunaan Sumber Daya Air
170
Peraturan / Perundangan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor
Tentang
390/KPTS/M/2007 Penetapan Status Daerah Irigasi yang Pengelolaannya Menjadi Wewenang dan Tanggungjawab Pemeerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 18/KPTS/M/2009 Pedoman Pengalihan Alur Sungai dan/atau Pemanfaatan Ruas Bekas Sungai
171
Lampiran2 Prasarana pada DAS Citarum BendunganSaguling Da ta Bendunga n Ti pe
Da ta Pemba ngki t Li s tri k UBI
Ti pe
s emi ba wa h ta na h
El ev. Punca k (m)
650,50
Di mens i
32,5 x 104,4 x 42,5
Ja ga a n MAB (m)
5,50
Turbi n
4 bh, Francis vert
Ja ga a n MAN (m)
7,50
Ka pa s . Terpa s a ng (KW)
4 x 178.800
Ti nggi terh. D. s unga i (m)
97,50
Ener. Thn.
2,156 x 1000
Ti nggi terh. D. ga l . (m)
99,00
Genera tor
1/2 pa yung, AC 3 fa s e
Pa nj. Punca k (m)
301,40
Tra ns forma tor
AC khus us di l ua r
Leba r Punca k (m)
10,00
Vol. Tubuh (m3)
27900000,00
Lereng U/S
2,60
Lereng D/S
1,90 Da ta Wa duk
El ev. MAB (m)
645
El ev. MAN (m)
643
El ev. MAM (m)
623
6
3
970
6
3
875
Vol . -MAB (10 m ) Vol . -MAN (10 m ) 6
3
Vol . - Ma ti (10 m ) 6
3
Vol -Eff (10 m )
264 611
Potongan Melintang Bendungan Saguling
172
Lanjutan Lampiran2 Prasarana pada DAS Citarum
DenahBendunganSaguling
173
Lanjutan Lampiran2 Prasarana pada DAS Citarum
BendunganCirata Da ta Bendunga n
Da ta Wa duk
Ti pe
UBM
El ev. MAB (m)
+ 223
El ev. Punca k (m)
225,00
El ev. MAN (m)
+ 220
Ja ga a n MAB (m)
2,00
El ev. MAM (m)
Ja ga a n MAN (m)
5,00
6
Ti nggi terh. D. s unga i (m) 125,00 Ti nggi terh. D. ga l . (m)
125,00
Pa nj. Punca k (m)
453,00
Leba r Punca k (m)
15,00
Vol . Tubuh (m3)
3900000,00
Lereng U/S
1,60
Lereng D/S
1,60
+ 205 3
Vol . -MAB (10 m )
2.165.000
Vol . -MAN (106 m 3 )
2165
6
3
Vol . - Ma ti (10 m ) 6
3
Vol -Eff (10 m )
TipikalPotonganMelintangBendunganCirata
177 796
174
Lanjutan Lampiran2 Prasarana pada DAS Citarum
DenahBendunganCirata
175
Lanjutan Lampiran2 Prasarana pada DAS Citarum
BendunganJatiluhur Da ta Bendunga n
Da ta Wa duk
Ti pe
UBI
El ev. MAB (m)
+ 111,50
El ev. Punca k (m)
114,50
El ev. MAN (m)
+ 107,00
Ja ga a n MAB (m)
3,00
El ev. MAM (m)
7,50
6
3
2893,000
6
3
2.556,00
Ja ga a n MAN (m)
Ti nggi terh. D. s unga i (m) 96,00 Ti nggi terh. D. ga l . (m)
105,00
Pa nj. Punca k (m)
1,220,00
Leba r Punca k (m)
10,00
Vol . Tubuh (m3)
9100000,00
Lereng U/S
-
Lereng D/S
-
+ 75,00
Vol . -MAB (10 m ) Vol . -MAN (10 m ) 6
3
Vol . - Ma ti (10 m ) 6
3
Vol -Eff (10 m )
960,00 1.790,00
Salah Satu PenampangMelintangDenahBendunganJatiluhur
176
Lanjutan Lampiran 2 Prasarana pada DAS Citarum
Denah BendunganJatiluhur
177
Lampiran 3 Multi Dimensional Scaling (MDS) Hasil Olahan Data Analisis Keberlanjutan Rap-Citarum NO INDIKATOR DIMENSI KEBIJAKAN 1 PERATURAN SD AIR 2 KUALITAS PERATURAN 3 KESAMAAN PERSEPSI 4 SOSIALISASI PERATURAN 5 PEDOMAN TEKNIS ADA 6 KONSISTENSI RTRW 7 HARMONISASI PERATURAN 8 ASPIRASI SEMUA PIHAK DIMENSI TEKNIS 9 KETERSEDIAAN AIR 10 MEMADAINYA INFRASTRUKTUR 11 OPERASIONAL PENGELOLAAN 12 JARINGAN AIR BAKU & IRIGASI 13 TEKNOLOGI SD AIR 14 MEKANISME PENGOPERASIAN 15 POLA & RENCANA WADUK ADA 16 SISTEM TELEMETRI TERSEDIA DIMENSI SOSIAL BUDAYA 17 DAMPAK SOSIAL 18 TK KESEHATAN MASYARAKAT 19 TK KEMISKINAN DI HULU 20 KONFLIK SOSIAL BUDAYA 21 PAHAM PERATURAN 22 LAPANGAN PEKERJAAN 23 BUDAYA HEMAT AIR 24 KESADARAN MASYARAKAT DIMENSI LINGKUNGAN 25 RATIO QMAX/QMIN 26 TURUNNYA MUKA AIR TANAH 27 ALIH FUNGSI LAHAN 28 FREKUENSI & LAMANYA BANJIR 29 PENCEMARAN DI WDK SAGULING 30 KUALITAS AIR SUNGAI 31 KEKERINGAN DI KWSN IRIGASI 32 PROSENTASE HUTAN DI CITARUM DIMENSI KELEMBAGAAN 33 KERJASAMA INSTANSI 34 INSTITUSI YG TERLIBAT 35 KEEFEKTIFAN LEMBAGA 36 TUMPANG TINDIH TG JAWAB 37 HUBUNGAN KERJA INSTANSI 38 MASTER PLAN YG DISEPAKATI 39 POLA OPERASI YG DISEPAKATI 40 SOSIALISASI KELEMBAGAAN DIMENSI EKONOMI 41 TK KESEJAHTERAAN/UPAH 42 NILI MANFAAT EKONOMI 43 COST RECOVERY DANA OPERASI 44 KESESUAIAN HARGA AIR 45 DAMPAK FINANSIAL DARI BANJIR 46 BIAYA WATER TREATMENT 47 BIAYA OPERASI POMPA AIR TANAH 48 JUMLAH PRODUKSI PADI
1
2
3
4
5
6 7
8
9
10
11
12
13
14
15
16 MODUS
diurutkan dari terkecil s/d terbesar 1 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 1 0 0 0
1 1 0 0 1 0 0 0
1 1 0 1 1 0 0 0
1 1 0 1 1 0 0 1
1 1 0 1 1 0 0 1
1 1 0 1 1 0 0 1
1 1 0 1 1 0 1 1
1 1 1 1 1 0 1 1
2 1 1 1 1 0 1 1
2 1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 1 0 1 1
2 1 1 1 1 0 1 1
2 1 1 2 2 1 1 1
1 1 0 1 1 0 0 1
0 0 0 0 0 0 1 0
1 0 1 0 0 1 1 0
1 0 1 1 0 1 1 0
1 0 1 1 0 1 1 0
1 1 1 1 0 1 1 1
1 1 1 1 0 1 1 1
1 1 1 1 1 2 1 1
1 1 1 1 1 2 1 1
1 1 1 1 1 2 1 1
1 1 1 1 1 2 1 1
1 1 1 1 1 2 1 1
2 1 1 1 1 2 1 1
2 1 1 1 1 2 2 1
2 1 2 2 1 2 2 1
2 1 2 2 1 2 2 2
2 1 2 2 1 2 2 2
1 1 1 1 1 2 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0 0 0
0 1 0 1 0 0 1 0
1 1 0 1 0 1 1 0
1 1 0 1 1 1 1 0
1 0 1 1 1 1 0
1 1 1 1 1 1 1 0
1 1 1 1 1 1 1 0
1 1 1 1 1 1 1 0
1 1 1 1 1 1 1 0
1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 2 1 1
2 2 1 1 1 2 1 1
1 1 0 1 1 1 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 1 0 0 1 0
0 1 0 1 0 0 1 0
0 1 1 1 0 0 2 0
0 1 1 1 0 0 2 1
1 1 1 1 1 2 2 1
1 2 1 1 2 2 2 1
0 0 0 0 0 0 1 0
0 1 0 0 0 0 0 0
1 1 1 0 0 0 0 0
1 1 1 0 1 0 1 0
1 1 1 0 1 0 1 0
1 1 1 0 1 0 1 0
1 1 1 0 1 0 1 0
1 1 1 0 1 0 1 0
1 1 1 0 1 0 1 0
1 2 1 0 1 1 1 1
1 2 1 0 1 1 2 1
1 2 1 0 1 1 2 1
1 2 1 1 1 1 2 1
2 2 2 1 2 1 2 1
2 2 2 1 2 1 2 1
2 2 2 1 2 1 2 1
2 2 2 1 2 1 2 2
1 1 1 0 1 0 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0 0 1
0 1 1 0 0 0 0 1
1 1 1 0 0 0 0 1
1 1 1 0 0 0 0 1
1 1 1 0 0 0 0 1
1 1 1 0 0 0 0 1
1 1 1 0 0 0 0 1
1 1 2 0 0 0 0 1
1 2 2 0 0 0 0 1
1 2 2 0 0 0 0 1
1 2 2 1 0 0 0 2
1 2 2 1 0 0 1 2
2 2 2 1 0 0 1 2
2 2 2 2 1 2 1 2
1 1 1 0 0 0 0 1
1
Lanjutan Lampiran 3 Multi Dimensional Scaling (MDS)
178
ANALISIS MONTE CARLO DIMENSI KEBIJAKAN RAPCITARUM (Median with Error Bars showing 95% Confidence of Median) 80
Other Distingishing Features
60
40
20
37.53
0
0 0
100 20
40
60
80
100
120
-20
-40
-60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI KEBIJAKAN RAP-CITARUM
ANALISIS MONTE CARLO DIMENSI TEKNIS RAP-CITARUM (Median with Error Bars showing 95% Confidence of Median) 80
Other Distingishing Features
60
40
20
63.45
0
0 0
100 20
40
60
80
100
120
-20
-40
-60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI TEKNIS RAP-CITARUM
ANALISIS M ONTE CARLO DIM ENSI SOSIAL BUDAYA RAP-CITARUM
(Median with Error Bars showing 95% Confidence of Median) 80
60
Other Distingishing Features
40
20
50.36 0 0
20
40
60
80
100
-20
-40
-60
-80 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI SOSIAL BUDAYA RAP-CITARUM
Lanjutan Lampiran 3 Multi Dimensional Scaling (MDS)
120
179
ANALISIS MONTE CARLO DIMENSI LINGKUNGAN RAPCITARUM (Median with Error Bars showing 95% Confidence of Median) 80
Other Distingishing Features
60
40
20
0 0
20
40
60
80
100
120
9.87
-20
-40
-60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI LINGKUNGAN RAP-CITARUM
ANALISIS M ONTECARLO DIM ENSI KELEM BAGAAN RAP-CITARUM (M e dian with Error Bars showing 95%Confide nce of M e dian) 80
Other Distingishing Features
60
40
20
48.31 0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
-60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI KELEMBAGAAN RAP-CITARUM
ANALISIS MONTE CARLO DIMENSI EKONOMI RAP-CITARUM (Median with Error Bars showing 95% Confidence of Median) 80
Other Distingishing Features
60
40
20
28.87 0 0
20
40
60
80
100
-20
-40
-60 INDEKS KEBERLANUTAN DIMENSI EKONOMI RAP-CITARUM
120
180
Lampiran 4 Hasil Kuesioner AHP 1 NAMA PAKAR TUJUAN PENINGKATAN NILAI MANFAAT EKONOMI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PEMULIHAN EKOSISTEM MINIMALISASI BENCANA MINIMALISASI KONFLIK FAKTOR KABIJAKAN PEMERINTAH PENEGAKAN HUKUM HUBUNGAN STAKEHOLDER KETERSEDIAAN WADAH KOORDINASI KELESTARIAN SUMBERDAYA AIR PARTISIPASI MASYARAKAT KINERJA KESESUAIAN MANDAT EFEKTIFITAS TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENDANAAN SDM MODEL BBWS PJT BALAI PSDA
BPSDA
2 PU PUSAT
3 PAKAR
0,01 0,06 0,08 0,41 0,34
0,03 0,50 0,31 0,08 0,08
0,08 0,31 0,22 0,16 0,12 0,12
4 PLN
5 PEM KAB.
6 PEM PROV
7 BBWS
0,17 0,38 0,27 0,06 0,13
0,20 0,20 0,20 0,20 0,20
0,16 0,42 0,04 0,06 0,32
0,09 0,55 0,15 0,18 0,04
0,08 0,05 0,19 0,05 0,18 0,46
0,12 0,18 0,11 0,12 0,19 0,29
0,12 0,24 0,08 0,15 0,21 0,14
0,21 0,11 0,14 0,10 0,22 0,22
0,16 0,16 0,16 0,30 0,22
0,04 0,17 0,42 0,14 0,23
0,12 0,08 0,26 0,15 0,40
0,15 0,17 0,19 0,28 0,22
0,36 0,28 0,36
0,15 0,74 0,11
0,20 0,60 0,20
0,27 0,66 0,07
8
9
10
11
12
PJT II
PJT I
PERGURUAN TINGGI
PAKAR
LSM
0,18 0,59 0,09 0,09 0,06
0,08 0,30 0,27 0,32 0,04
0,05 0,33 0,33 0,20 0,08
0,087 0,477 0,224 0,181 0,030
0,11 0,18 0,12 0,14 0,45
0,04 0,09 0,29 0,29 0,29
0,15 0,18 0,05 0,05 0,31 0,25
0,16 0,18 0,07 0,03 0,29 0,27
0,13 0,09 0,08 0,08 0,38 0,24
0,12 0,17 0,07 0,19 0,24 0,21
0,077 0,112 0,060 0,113 0,156 0,482
0,09 0,33 0,04 0,10 0,30 0,16
0,04 0,35 0,15 0,13 0,16 0,17
0,33 0,20 0,19 0,12 0,16
0,25 0,23 0,25 0,17 0,10
0,26 0,25 0,22 0,04 0,23
0,08 0,24 0,21 0,28 0,19
0,08 0,19 0,25 0,25 0,23
0,058 0,145 0,183 0,351 0,263
0,10 0,24 0,33 0,07 0,26
0,28 0,15 0,14 0,24 0,19
0,47 0,39 0,14
0,32 0,58 0,10
0,31 0,47 0,23
0,14 0,72 0,14
0,15 0,75 0,11
0,373 0,438 0,189
0,10 0,46 0,44
0,20 0,57 0,23
181
Lampiran 5 Diagram alir sistem dinamik
182
Lanjutan Lampiran 5 Diagram alir sistem dinamik
183
Lampiran 6
Persamaan model system dinamik pengelolaan SDA pada DAS Citarum
184
185