PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PADA SKALA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS): Apa yang dapat dilakukan dengan metoda Agroforestry ? Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja.
PENDAHULUAN
Suatu pengelolaan daerah aliran sungai yang berhasil setidaknya bertumpuh pada dua pilar utama: inovasi penerapan tekhnologi yang sesuai dan inovasi partisipatori dari institusi yang terkait. Agroforestry mempunyai peran kunci untuk kedua hal tersebut di atas. Meskipun secara konvensional terlihat bahwa pilihan tiknis yang diterapkan hanya dalam tingkat lahan, agroforestry secara meningkat akan akan mengandung peran secara menyeluruh baik dalam tingkat kerangka pengelolaan seluruh lahan dalam komunitas masyarakat terkait dan juga pada tingkat konteks lingkungan. Degradasi dari lingkungan DAS di Asia menghadapi berbagai ancaman di Asia, hal ini terjadi sebagai akibat dari kenyataan bahwa pola pengelolaan DAS ang diterapkan pada masa itu tidak begitu memberi pengaruh yang berguna bagi masyarakatnya. Aliran air pada DAS di Asia mempunyai kadar sedimen yang paling tinggi di dunia. Namum demikian bahwa kadar tersebut masih pada batas ambang, dan bukti-bukti
mengindikasikan bahwa masih ada
kemungkinan pada tingkat luasan perladangan yang kecil dan pengelolaan sumberdaya hutan untuk menerapkan keduanya pola konservasi dan
1
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
produksi dengan tingkat yang masih efektiv. Penelitian dan pengembangan Agroforestry tetap mengadakan upaya dalam merancang suatu pola pemecahan yang praktis dalam mengurangi ketegangan atara kedua fraksi dan selalu memberi keuntungan bagi keduanya antara penyelamatan lingkungan
dengan
fungsi
atau
manfaat
bagi
masyarakat
yang
memanfaatkan daerah DAS tersebut sebagai sumber penghidupan mereka yang pada kenyataannya mereka menempati daerah tersebut dalam jumlah yang sangat besar sebagai suatu perkampungan yang sangat padat. Preaktek terbaik bagi sistem agroforestry sedang dikaji untuk tiga pola ekosistem perladangan lahan kering utama
di kawasan DAS di Asia:
pinggiran atau perbatasan hutan, padang alang-alang (Imperata grasslands), dan perladangan permanen kaki bukit. Dampak lingkungan dari agroforest yang kompleks, perusahaan penebangan kayu skala kecil, dan sistem produksi pohon buah-buahan, mengembangkan sistem pengelolaan lahan kosong, dan sistem penanaman lahan dengan cara pertanaman vegetasi pada baris dengan mengikuti kontur adalah merupakan berbagai topik yang juga turut dibicarakan dalam pembicaraan ini. Beberapa pola penanganan DAS di Thailand, Philippines, and Indonesia merupakan materi yang dimaksukkan dalam upaya mencari solusi dan pola pengelolaan lahan atas pola peternakan dan pertanian yang berbasis pada kondisi keadaan sumberdaya alam yang ada pada daerah yang bersangkutan. Penerapan suatu pola yang dikenal dengan pola mosaik bentang lahan masyarakat merupakan suatu pola yang cukup menonjol. Pelajaran dari kasus-kasus ini dan dari dua kajian lembaga penelitian global seperti ASB dan SANREM, mengindikasikan bahwa pada masyarakat lokal yang diperbolehkan untuk memperoleh keuntungan langsung dari perbaikan sistem pengelolaan yang dilakukan melalui pola pengamanan penyewaan atau upah dan pelibatan mereka dalam pengambilan keputusan, mereka akan menjadi partner yang
2
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
kuat dalam pengembangan sistem dalam upaya pemulihan kondisi lahan terdegradasi di kawasan DAS di Asia.
PERSOALAN STRATEGI DALAM PENGELOLAAN DAS PADA DAERAH TROPIS Pertambahan penduduk yang semakin meningkat maka mau tidak mau akan mendesak terjadinya perluasan wilayan garapan ke daerah-daerah yang lebih curam, daerah-daerah yang semakin rapuh atau marginal di kawasan perladangan daerah tropis dan pada akhirnya tentunya berbagai area tangkapan DAS akan mengalami erosi yang semakin hebat, menurunkan produktivitas lahan dan terjadinya peningkatan degradasi lingkungan. Degradasi daerah aliran sungai di berbagai negara di Asia saat ini sudah merupakan ancaman ekonomi, dan termasuk didalamnya adalah beban akan kehidupan penduduknya yang sangat tinggi dan yang tergantung terhadap sumber daya ini. Seperti diutarakan sebelumnya bahwa pola pengelolaan yang diterapkan sebelumnya tidak memberikan solusi yang berarti dalam mengatasi masalah-masalah ini. Namun demikian diharapkan bahwa pelajaran yang dapat ditarik dari kondisi ini adalah bahwa dari kegagalan ini diharapkan akan dapat digunakan sebagai alat untuk menyadarkan masyarakat dengan mempromosikan atau memperkenalkan perlunya perubahan dalam hal pengelolaan DAS (Douglas, 1996). Ada dua hal penting yang ditawarkan dalam pengelolaan ini yaitu berlandaskan pada pola pendekatan yang lebih baik dalam usaha peternakan dan peran partisipatori aktiv dari masyarakat yang terkait. Diharapkan bahwa
perubahan kepada penerapan pola
peternakan yang baik dengan menekankan pemanfaatan tanah dengan pola
3
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
daya dukung yang berkelanjutan dengan penerapan pola konservasi tanah yang lebih menyeluruh sehingga membuat prosuksi akan semakin berkelanjutan juga. Hal ini diharapkan akan diikuti oleh adanya kesadaran bahwa walaupun perlu adanya keuntungan nilai dagang atau ekonomi tetapi mereka harus disadarkan bahwa perlu dan mendasar juga untuk harus menyelamatkan
kondisi
kawawan
DAS,
sehingga
keduanya
harus
diusahakan agar selamat dan tidak ada yang ditelantarkan tapi keduanya selamat. Hal ini akan menegaskan bahwa penerapan pola pengelolaan yang sesuai akan memberikan hasil yang baik dan sekaligus juga dapat memerangi degradasi lahan. Penekanan pola partisipatori aktiv masyarakat dalam pengelolaan daerah DAS (dengan terminologi pengelolaan DAS yang diterapkan oleh The British) adalah merupakan suatu pola fenomena kecenderungan baru yang di terapkan di daerah tropis. Hal ini timbul dari kesalahan masa lalu yang terlalu menekankan pendekatan dengan pola "topdown" yang digunaklan pada sektor publik pada pola kegiatan atau aktivitas pada pengelolaan DAS sehingga pada kandisi ini penduduk lokal hanya bersifat passiv menerima pengaruh luar yang diterapkan atau dipaksakan. Dari kesalahan ini perlu dilakukan pendekatan pola pemeliharaan dengan lebih serius melibatkan masyarakat lokal dengan mengutamakan kearifan lokal yang ada sebagai pola penerapan teknologi utama dengan selalu melibatkan secara aktif penduduk setempat berikut institusi-institusi yang ada pada daerah yang bersangkutan dalam tindakan konservasi yang dilakukan pada upaya perlindungan sumberdaya. Suatu pengelolaan daerah aliran sungai yang berhasil seperti diutarakan sebelumnya setidaknya bertumpuh pada dua pilar utama: - inovasi penerapan tekhnologi yang sesuai; dan - inovasi partisipatori dari institusi yang terkait.
4
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
Agroforestry mempunyai peran kunci untuk kedua hal tersebut di atas. Meskipun secara konvensional terlihat bahwa pilihan tiknis yang diterapkan hanya
dalam
tingkat
lahan,
agroforestry secara
meningkat
akan
mengandung peran secara menyeluruh baik dalam tingkat kerangka pengelolaan seluruh lahan dalam komunitas masyarakat terkait dan juga pada tingkat konteks lingkungan. Bab ini akan memperlihatkan bagaimana peranan agroforestry dalam pengelolaan DAS dalam konteks yang sebih luas serta taraf pengkajian yang lebih menyeluruh. Bagian pertama ini akan menyarikan informasi kunci dalam hal pengelolaan DAS di Asia dan berbagai persoalan utama yang didapati secara serius atas dasar evaluasi dari pengalaman
masa
lalu.
Bagian
kedua
akan
menjelaskan
peranan
agroforestry pada pengelolaan DAS di daerah tropis, terutama dalam konteks pola mosaik bentang lahan masyarakat. Bagian ketiga akan menguji peran agroforestry pada wilayah hulu dan menguji suatu proyek percobaan yang telah dilakukan di Philippines and Thailand sebagai bagian dari studi yang dimaksudkan dalam pengkajian ini. Bagian lainnya akan dilanjutkan dengan melihat bagaimana peran agroforestry dalam konteks mana suatu bentang lahan didominasi oleh padang rumput dan pola pertanaman yang terus-menerus, dengan suatu studi kasus khusus yang ada di Indonesia. Pada bagian akhir sebagai bab penutup akan disimpulkan berbagai point utama yang dapat menjadi suatu dasar untuk memperoleh kesuksesan yang lebih besar lagi di masa mendatang dalam menumbuhkan suatu inisiativ pengelolaan DAS. Apa yang telah kita dapati yang merupakan suatu cara efektif untuk dipromosikan sebagai suatu cara pengelolaan sumberdaya alam lokal yang ada pada masyarakat Asia? Pada pendekatan awal telah dilakukan konservasi tanah yang dikembangkan pada luasan lahan yang sangat besar pada daerah beriklim sedang yang didasari pada suatu percobaan rekayasa atau keinsinyuran (sebagai contoh pembuatan teras guludan ). Pengujian
5
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
terhadap penerapan cara ini pada usha pengembangan suatu daerah di negara pertanian, yang memiliki pemilikan lahan pada skala kecil, bermacam-macam pola dan jenis pertanaman, kondisi iklim dan topografi yang ekstrim, kemiskinan yang begitu parah, kondisi kelembagaan pemerintah yang lemah, dan kondisi keahlian yang sangat terbatas, merupakan berbagai hal yang sangat tidak nyaman (Magrath and Doolette, 1990). Namun hal yang menguntungkan adalah munculnya berbagai kemungkinan baik secara teknis maupun secara institusional.
Konsep
pertanian yang berorientasi terhadap penerapan pola konservasi pada lahan kering yang memungkinkan dikombinasikannya pola sistem pertanian yang realisitk dan prakatis untuk meningkatkan produksi total yang diperoleh. Dua strategis yang dapat melengkapi dalam pengembangan dari orientasi konservasi pada pertanian lahan kering yang sedang dikembangkan. Yang pertama adalah penerapan pola pendekatan pemecahan masalah
yang
ditujukan pada pengidentifikasian berbagai hambatan dasar yang dihadapi pada lokasi-lokasi yang spesific. Kedua adalah pengenalan suatu pola penerapan agroforestry yang sesuai yang pada dasarnya dapat atau mampu melakukan suatu pola pendekatan yang bersifat menyeluruh dan mampu mengubah secara lambat laun ke arah pertanian pada suatu lahan kering. Satu contoh diantara berbagai hal ini adalah sistem pertanaman strip mengikuti kontur yang mampu menyediakan suatu dasar suatu saat ke arah konversi menjadi sistem yang berdasar pada penanaman pohon. Metoda lain yang yang juga dikenal mempunyai potensi yang sangat besar adalah pembangunan lingkungan agroforest kecil yang cukup menguatkan, membuat pendapatan berkelanjutan sekaligus mengkonservasi
sumber
daya tanah dan air yang dalam prakteknya sangat mirip dengan kondisi keadaan
hutan
alamiah.
Pendekatan secara
konvensional terhadap
pengelolaan daerah DAS sendiri tidak memberi pengaruh yang besar karena dianggap hal ini merupakan dominasi dari pola solusi dengan kebijakan yang
6
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
top-down yang digagas oleh orang diluar sistem, jadi bukan dari masyarakat itu sendiri. Para pemangku kepentingan yang berasal dari luar yang merupakan suatu lembaga pemerintah ataupun lembaga internasional, biasanya solusi yang mereka tawarkan sering berupa suatu pola dengan skala
besar
seperti
penghutanan
kembali
pada
lahan-lahan
yang
dimanfaatkan oleh para penduduk lokal yang mana hal ini secara nyata berlawanan dengan apa yang diperlukan masyarakat setempat yang merupakan pemilik lahan dengan luasan yang kecil namun lahan inilah yang menjadi sumber pengaman penghasilan
dan kebutuhan pangan bagi
mereka sendiri. Namun demikian perlu disadari bahwa kesesuaian program dan kesadaran akan hak atas pemanfaatan lahan juga merupakan suatu hal yang mendasar yang harus dipertimbangkan. Setelah 50 tahun para pembuat keputusan tidak merasa puas akan keputusan yang mereka buat dan dipaksa kembali untuk meninjau kembali berbagai asumsi yang mereka buat, maka mereka terbangun kembali bahwa mereka harus membangun kerjasama
dengan
masyarakat
petani
lokal
dalam
mendapatkan
pemecahana atas masalah yang mereka hadapi bersama sehingga diperoleh suatu cara yang memfasilitasi keduanya, sehingga petani mendapatkan manfaat untuk memenuhi kebutuhan mereka dan tujuan untuk menjadika kondisi DAS terpelihara dapat dicapai. Pada tahap ini disadari timbulnya suatu era dimana para petani pemilik lahan skala kecilpun menjadi dihargai sebagai unsur yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan dan bukan menjadi kambing hitam saja dalam seluruh masalah atau persoalan yang timbul pada DAS tersebut.
DAERAH ALIRAN SUNGAI DI DAERAH ASIA
7
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
Suatu daerah aliran sungai (atau daerah tangkapan) diartikan sebagai suatu luasan wilayah yang airnya keluar oleh sistem sungai yang ada pada daerah tersebut. Di Asia, lahan yang bertempat pada kondisi kemiringan di atas 8% ditetapkan sebagai suatu daerah tangkapan. Lahan dengan kemiringan diatas 30% diartikan sebagai daerah hulu dari suatu daerah tangkapan. Atas dasar pertimbangan tersebut maka di daerah Asia didapati sebesar 900 juta ha atau sekitar 53% dari total lahan yang ada (Magrath and Doolette, 1990). Sekitar 65% dari populasi wilayah ini 1,6 millar penduduk pedalamannya
menempati
wilayah DAS ini. Pengelola dari lahan ini
merupakan para petani dengan luas lahan sempit di daerah pedalaman dari DAS tersebut. Mereka-mereka ini sangat tertekan dan dihambat oleh kondisi kemiskinan dan keadaan teknologinya. Sehingga dalam mereka berupaya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri untuk usaha pertanian maupun penggembalaan selalu bergerak menggarap lahan ke arah lahan tangkapan di hulu maupun lahan basah lainnya. Jumlah penduduk yang menduduki bagian hulu dari DAS ini secara perhitungan kasar mencapai 128 juta jiwa (Magrath and Doolette, 1990). Peningkatan jumlah penduduk di wilayah ini memaksa percepatan terhadap peningkatan penggunaan lahan-lahan yang makin dalam ke daerah hutan bahkan ke hutan itu sendiri. Setidaknya wilayah yang mereka garap ini sudah mencapai 19% merupakan lahan hutan tertutup (yang dilarang negara untuk diusahakan). Hutan yang masih tinggal sekarang merupakan hutan hujan tropis, reservoir atau daerah hidroorology 40% yang berperan dalam mendukung keanekaragaman di planet bumi ini. Degradasi sebagai akibat dari pembalakan dan penggembalaan yang berlebihan sudah sampai kepada tingkat penurunan produktivitas dari sebagian besar lahan yang masih ada atau tersisa sampai saat ini (Doolette and Smyle, 1990). Penurunan penutupan hutan mencapai laju 1% per tahun. Pendugaan terbaru mengajukan bahwa laju deforestasi bukan malah melambat, tetapi meningkat
8
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
dengan kecepatan atau laju yang semakin besar. Pada sebagian besar wilayah ini hutan merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem pertanian sebagai sumber pakan ternak dan berbagai macam produk lainnya. Besarnya kegentingan terjadinya erosi di daerah ini tidak mendapat perhatian yang cukup, hanya menduga-duga atau menyimpulkan atas dasar bukti-bukti tidak langsung. Suatu gambaran yang paling dapat diterima atau dapat dipertimbangkan adalah melalui gambaran jumlah laju sedimen yang diusung oleh sungai-sungai utama ke laut, seperti yang terjadi di dunia. Menurut data global bahwa Asia diindikasikan sebagai wilayah yang mempunyai kelas tersendiri dalam hal ini; hal ini dikarenakan jumlah sedimen yang terbawa kelaut dari wilayah ini adalah merupakan yang terbesar dibandingkan terhadap jumlah yang dihasilkan oleh DAS lainnya pada luas yang serupa diseluruh dunia (Milliman and Meade, 1983).
Tekanan yang
dilakukan manusia terhadap sumber daya ini tidak hanya berupa adaya kegiatan manusia yang menimbulkan besarnya laju sedimen yang begitu banyak ini sebagai akibat intensivnya penghancuran dan pengendapan yang yerjadi. Kawasan Asia Tenggara yang merupakan daerah yang masih muda secara geologi, dan secara khusus daerah ini sangat curam. Faktor-faktor tersebut juga sangat penting; tetapi kondisi penduduk yang sangat padat pada daerah ini dan merupakan yang terpadat di seluruh dunia maka daerah DAS pada wilayah ini menjadi yang terbesar laju erosinya di dunia, dan kondisi degradasi yang terjadi menjadi semakin buruk. Bangsa-bangsa
di
Asia
Tenggara
tetap
berupaya
membuka
perekonomian mereka secara progressiv, dan peran mereka pada pasar ekonomi duni terus meningkat. Hal ini mengakibatkan perubahan mendalam pada sistem kehidupan masyarakat di daerah DAS, begitu juga keadaan lingkungan dari daerah tangkapan tersebut. Keadaan ekonomi masyarakat pengelola DAS di Asia Tenggara menunjukkan adanya interaksi yang lebih bersemangat
9
dibandingkan
dengan
sebelumnya,
dengan
adanya
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
pembukaan perbatasa, pembangunan jalur kereta api yang memfasilitasi perdangangan antar daerah perbatasan. Berbagai produk yang bersumber dari kayu yang ada di Asia Tenggara sangat diperlukan oleh pasar dunia di berbagai belahan bumi, hal ini turut mendorong perkembangan pengusahaan lahan karet pada skala kecil, perkebunan sawit, getah damar, dan berbagai macam buah-buahan yang juga hasil kayu dari pertanian yang ada. Kekuatan ini akan terus menghasilkan berbagai dampak terhadap perubahan pola pemanfaatan lahan yang pada akhirnya akan semakin rumit untuk masa yang akan datang. Degradasi lahan yang terjadi pada DAS bukan berarti hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam upaya pemanfaatan lahan sebagai sumber daya untuk pertanian dan kehutanan. Adalah sangat mungkin bagi para pengelola lahan dalam skala kecil untuk turut berperan dalam pengelolaan sumber daya hutan yang ada di daerah DAS untuk tujuan produksi dan sekaligus menerapkan pola konservasi tanah dan air yang efektiv. Tanpa mengabaikan berbagai kemungkinan yang sangat luas dalam menentukan pilihah yang akan diterapkan, sebagian besar poyek tergantung pada pilihan yang terbatas yang pada umumnya merupakan pilihan yang memerlukan biaya besar dan memerlukan intervensi. Persoalan ini mencakup teknis pengembangan yang merupakan modal dalam pengelolaan DAS, namun yang lebih besar dari itu adalah modal sosial yang mampu memfasilitasi proses pengelolaan ini. Dengan demikian sekarang menjadi jelas bahwa produktivitas pertanian yang dikembangkan pada daerah tangkapan dapat dilakukan secara intensif sekaligus juga memelihara kondisi lingkungan
yang
tetap
baik
dan
berkelanjutan
atau
secara
berkesinambungan. Namun tentunya pola pendekatan lain ini harus segera ditemukan agar hal yang demikian ini dapat tercipta kepada kenyataan.
10
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
JASA DIBANDINGKAN TERHADAP PENGELOLAAN PADA DAS
Diluar para pemangku kepentingan seperti daerah hilir dengan penduduknya, institusi pemerintah nasional, dan juga komunitas global ( seperti seluruh apa yang ada diluar dari penduduk yang ada pada daerah DAS) menunjukan bahwa mereka juga mempunyai kecenderungan yang sangat mendalam akan perlunya fungsi pelayanan dari kehadiran atau keberfungsian dari suatu DAS. Perhatian para pembuat kebijakan ditingkat nasional seperti biasanya tertarik kepada pola keperdulian akan perlunya debit air yang lebih besar lagi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada kawasan hilir dan juga keterkaitan antara hulu dan hilir pada suatu kesatuan kelompok DAS tersebut. Kunci fungsi pelayanan atau jasa DAS bagi pihak masyarakat luar kawasan DAS antara lain adalah: -
Pengaturan aliran air yang teratur untuk daerah hilir agar banjir dapat dikurangi dan selalu dapat memenuhi seluruh kebutuhan air yang dibutuhkan pada daerah hilir termasuk didalamnya kebutuhan air irigasi dan untuk hydropower jika ada;
-
Mencegah kehilangan tanah dalam upaya melindungi pembangkit listrik tenaga air dan juga jaringan irigasi;
-
Memelihara keanekaragaman dan melindungi ekosistem alam;
-
Menyaring karbon untuk memperkecil ancaman akan pemanasan global.
Meskipun demikian keprdulian ini dapat saja dikontribusikan secara meluas kepada seluruh populasi masyarakat yang ada pada DAS tersebut, karena mereka pada dasarnya seluruhnya paling tergantung kepada tingkat produktivitas keberadaan sumber daya DAS tersebut, untuk mendukung:
11
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
-
Produksi pertanian yang berkelanjutan, dan
-
Mempertahankan fungsi sumber daya hutan untuk penggunaan fungsi lokal seperti: kayu, bahan bakar, penggembalaan, dan berbagai produk non kayu lainnya.
Apakah mungkin dapat kita lakukan suatu pemecahan yang mampu memberikan kedua keperluan tersebut sekaligus? Dalam berbagai keadaan, adalah sangat mungkin untuk meningkatkan keadaan lingkungan dan meningkatkan hasil yang baik dan sekaligus juga memberi pelayanan pada lingkungan pada waktu yang sama. Satu tujuan utama dari pengembangan penerapan agroforestri di kawasan DAS di Asia Tenggara adalah untuk mengurangi ketegangan antara kedua tujuan tersebut di atas dengan cara menciptakan suatu pilihan yang dapat memberi keuntungan bagi keduanya baik jasa maupun pasar (Thomas, 1996). Kehilangan ekonomi dari degradasi yang timbul dalam pengelolaan suatu DAS digolongkan kepada dua bagian yaitu pada DAS itu sendiri dan di luar DAS. Dampak yang timbul pada DAS sebagai akibat dari terjadinya degradasi adalah turunnya kualitas sumber daya alam DAS tersebut yang dapat tercermin dari terjadinya penurunan hasil yang didapat, penurunan daya topang terhadap penggembalaan yang ada, dan penurunan pada pasokan produk hutan tersebut. Dampak terhadap kawasan luar DAS berasal dari pengaruh tidak langsung yang berupa kerugian yang timbul sebagai akibat degradasi tersebut terhadap terjadinya biaya tambahan untuk memperoleh fungsi kegunaan dari DAS sertsebut. Hal yang perlu harus diperbaiki dulu dalam pengelolaan DAS adalah upaya pengurangan kerugian di luar DAS, terutama jika kawasan DAS berada pada daerah hulu dari suatu dam penanggulangan banjir atau lembah atau dataran lainnya. Namun demikian, biasanya biaya ini sering tidak begityu diperdulikan karena biayanya yang jauh berada dibawah biaya perbaikan yang dibutuhkan untuk perbaikan bagi kerusakan yang timbul pada DAS tersebut. Sebagai contoh di daerah Jawa, Indonesia, sebagai contoh bahwa
12
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
biaya perbaikan kerusakan yang timbul pada
daerah luar DAS misalnya
diperkirakan (bisa mencapai 25,6 sampai 92,2 juta dollar Amerika) ini masih hanya perkiraan sepihak dari kehilangan atau kerugian 335 juta dollar Amerika yang disebabkan oleh kehilangan produktivitasnya. Secara praktis, berarti adalah kerugian ekonomi atau biaya yang timbul dalam perbaikan pada daerah terdegradasi dalam suatu DAS menjadi merupakan yang paling penting harus ditangani dalam suatu rencama perbaikan pengelolaan suatu DAS. Namun demikian biaya yang timbul pada kawasan diluar DAS meskipun masih perlu diusahakan pengurangannya dapat dipertimbangkan sebagai suatu hal yang sekunder saja (Douglas, 1996). Pengelolaan suatu DAS melibatkan berbagai aktivitas. Masing-masing kegiatan yang terlibat tersebut
diharapkan
dapat
memberi
manfaat
dalam
tujuan
untuk
meningkatkan keberlanjutan produktivitas dari sumber daya alam yang ada, melindungai kemerosotan ekosistem alami, meningkatkan pengelolaan air hujan agar ketersediaannya terjamin baik jumlah maupun kualitasnya dalam memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat yang ada di daerah hilir dari suatu DAS.
PERAN AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN DAS DI DAERAH TROPIS Pengertian dari agroforestry secara konvensional adalah merupakan suatu penanaman kawasan bentang lahan dengan tanaman pohon-pohonan yang berumur tahunan dengan tanaman pertanian diantaranya baik secara bersambungan atau secara campuran. Sehingga banyak orang hanya memandang hal ini tidak lebih dari sekedar perbedaan pola penggunaan lahan saja. Pembatasan ini padahal sangat-sangat begitu potensil atau mengandung arti. Sekarang kita melihat bahwa pada agroforestry sebagai suatu upaya mengitegrasikan tanaman pohon pada sistem penggunaan lahan yang pada akahirnya terkandung dalam sistem pengelolaan ini bahwa
13
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
suatu saat akan terjadinya evolusi pada ekosistem ini yang mana agroekosistem
yang
matang
meningkatkan
itegritas
dari
ini
menjadi
lingkungan
itu
suatu sendiri.
lingkungan Leakey
yang (1996)
mengajukan bahwa suatu agroforestry merupakan suatu sistem yang “ dinamis, berbasis lingkungan, suatu sistem pengelolaan lingkungan yang bersifat alamai, integrasi dari tanaman pohon dengan usaha pertanian, keanekaragaman dalam mendukung pola produksi pertanian yang dapat meningkatkan keadalaan ekonomi dan sosial maupun keuntungan bagi kondisi lingkungan ”. Batasan defenisi ini merupakan suatu pengertian yang diajukan oleh the International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) sebagai suatu istilah atau pengertian bagi agroforestry secara menyeluruh. Hal ini membangunkan berbagai integritas dari pola penerapan agroforestry yang sedang diterapkan saat ini sebagai suatu usaha yang dapat diartikan sebagai suatu sistem pemanfaatan lahan dalam usaha produksi sekaligus menjaga atau memelihara keberlanjutannya. Dengan cara ini pemanfaatan lahan menjadi lebih maju walaupun lebih kompleks, beraneka, dan berwawasan lingkungan dan juga berfungsi ekonomi dengan lebih dapat dipulihkan. Hal ini merupakan pola inisiativ baru yang ditransformasikan oleh ICRAF sebagai satu pola pendekatan. Sanchez (1995) mencatat bahwa meskipun sistem agroforestry diartikan dalam berbagai pengertian, namun pada akhirnya setidaknya ada dua tipe fungsi yang berbeda didalamnya, suatu sistem yang simultan dan sistem yang berkesinambungan. Sistem pemanfaatan lahan dengan pola berkesinambungan digambarkan sebagai suatu pola pemanfaatan lahan yang bertahap seperti pola perladangan berpindah yang dirotasi dengan memberakan lahan seketika jangka waktu tertentu. Sedangkan pola penggunaan yang sekaligus dimaksudkan adalah dengan contoh yang mana petani penggarap dalam waktu yang sama dan tinggal menetap pada lahan garapannya dengan berbagai pola pertanaman yang dilakukan, seperti
14
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
berkebun dan membentuk suatu agroforest. AGROFORESTRY PADA KAWASAN HULU DAS: BATAS PINGGIRAN HUTAN Keberhasilan dari upaya pengurangan pembalakan hutan tropis sangat tergantung kepada pemahaman yang semakin baik terhadap betapa kuatnya dorongan untuk selamat dari kerusakan yang ditimbulkannya. Faktor pendorong kerusakan dimaksud sangat tergantung kepada kondisi lokal dari suatu daerah dalam suatu negara tertentu. Ada dua persoalan yang dicoba untuk diperbincangkan dalam hal ini yaitu: -
Apakah
pengalihan
fungsi
hutan
sudah
merupakan
suatu
keharusan, atau bahkan apakah pengalih fungsian hutan memang sudah terjadi, kalau harus dilakukan pengubahan pola apakah yang menjadi pilihan agar kondisi DAS terpelihara dan menyediakan bentuk pembenahan sumber daya hutan yang perlu. -
Apakah ekosistem hutan telah dirancang untuk upaya konservasi penuhjang, dan bagaimana sebaiknya perbatasan dilindungi?
MEMPERTAHANKAN FUNGSI LINGKUNGAN PADA SAAT KONVERSI HUTAN TIDAK DAPAT DIELAKKAN Di Indonesia dari hasil pengamatan yang dilakukan bahwa suatu saat dimasa depan bahwa pengkonversian hutan dalam skala besar adalah merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan. Pembukaan ini merupakan suatu akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan pembukaan lahan oleh para petani penggarap yang memiliki kepemilikan lahan sempit untu digunakan menjadi suatu ladang pertanian atau perkebunan. Dicatat juga bahwa penggunaan lahan yang baru sangat bervariasi dalam kemampuan mereka dalam menukar fungsi pelayanan alamiah yang
15
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
diberikan hutan pada awalnya. Agroforest pada Hutan produksi, di Indonesia, banyak hutan yang dirancang sebagai hutan produksi sehinga terjadi degradasi hutan pada tingkat yang tiada bandingnya yang diakibatkan oleh praktek logging yang tidak menjalankan tanggungjawab penghutanan kembali.
Pola
pembakaran
yang
dilakukan
juga
mengakibatkan
pendegradasian yang sangat pesat. Meski menteri kehutanan telah melarang agar hutan produksi tidak dijadikan tempat pemukiman oleh para petani penggarap berskala kepemilikan sempit. Namun pada kenyataannya hal ini tidak dapat terlaksana. Para petani ini sering melakukan penggunaan hutan dengan penanaman dengan pola komleks agroforestry seperti menanam tanaman karet, tanaman penghasil getah, dan berbagai tanaman buah maupun untuk keperluan penggembalaan. Petani sering mengembangkan agroforest dengan mencampurkan berbagai tanaman sebagai suatu sistem hutan sekunder dalam sturkturnya dan ekologinya. Pohon menjadi penyedia bahan makanan, bahan bakar, dan sumber uang. Pola agroforet mengakumulasi persediaan karbon dalam jumlah yang tidak terbayangkan jumlahnya. Contohnya hutan damar di Lampung, Sumatra, Indonesia (Michon et al, 1995). Pola pemanfaatan hutan dengan sistem campuran ini, secara khusus pola
agroforestry
mampu
menyediakan
satu
alternativ
untuk
pola
pemanfaatan lahan lainnya yang sekaligus berfungsi untuk meleindungi tanah dari erosi dan resiko banjir, melindungi lebih banyak keanekaragaman, dan menyediakan suatu sumber yang dapat membangkitkan penghasilan masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut dibandingkan terhadap berbagai pola pemanfaatan lahan yang monokultur lainnya. Ada berbagai penelitian empiris yang telah terbukti mendukung hal ini (seperti Mary and Michon, 1987; Salafsky, 1993; Momberg, 1993; de Foresta and Michon, 1997). Pola pengelolaan dengan sistem agroforest terbesar di Indonesia
16
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
adalah agroforestry karet (hutan karet) yang menempati 2,5 juta ha (Gouyon et al, 1993). Pada pola ini tanaman karet merupakan tanaman utama dan berbagai tanaman lainnya seperti buah ditanam diantaranya atau yang secara alamiah tumbuh dan berregenerasi dengan sendirinya. Multi fungsi hutan dan agroforest merupakan suatu contoh dari pola penegelolaan
yang
terintegrasi.
Strategi
pencampuran
ini
akan
memperlihatkan bagaimana suatu kondisi yang alamiah dapat berdampingan dengan
pola
pertanian
yang
merupakan
suatu
lingkungan
buatan.
Keanekaragaman akan dapat terlihat diantara berbagai variasi bentang lahan yang ada.
17
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
Gambar 11.1 Contoh suatu agroforest yang sudah dfewasa yang didesain untuk tujuan produksi dan keberlanjutan pada suatu kondisi pemilikan lahan yang sempit.
18
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
AGROFOREST SEBAGAI BUFFER ZONE SUATU EKOSISTEM YANG DILINDUNGI Tanaman Nasional dan persediaan alam lainnya adalah merupakan suatu parit atau garis benteng atau pertahanan terkahir terhadap perlindungan biodiversity yang tidak ternilai harganya.
Keanekaragaman
akan dapat terlihat diantara berbagai variasi bentang lahan yang ada dilingkungan sumberdaya hutan hujan tropis.
-
Rain
cj i-
in oo
FIGURE 11.2 Kadar air tanah rata-rata di Mae Sa Mai, bagian utara Thailand, pada pola pemanfaatan lahan yang sangat berbeda. (From Turkelboom, F. and van Keer, K., Eds., Land Management Research for Highland Agriculture in Transition, Mae Jo University, Thailand, 1996. With permission.)
Namun demikian mereka ini sedang menghadapi ancaman dari segala sisi keadaan pada tingkat yang melampaui batas kemampuan mereka untuk
19
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
bertahan. Pola atau cara klasik ini sebagai upaya untuk menyelamatkan mereka perlu diusahakan penerapannya yang tanpa batas dan tanpa kecuali juga termasuk oleh masyarakat lokal. Batas yang telah ditentukan harus dijaga dengan ketat oleh patroli yang bertugas. Tidak mengejutkan bahwa pada kenyataannya hal ini tidak berhasil. Malah pada nyatanya banyak menimbulkan konflik antara petugas yang berwajib dengan masyarakat lokal yang tinggal pada wilayah tersebut. Saat ini banyak dikembangkan proyek yang dikenal dengan integrated conservation development projects (ICDPs) dengan mana dicoba untuk menyelamatkan daerah DAS melalui penerapan pendekatan dengan cara ini. Namun dengan tidak menguntungkan, ada asumsi yang sangat luas diantara praktisi dari pendekatan ICDP sendiri bahwa adalah lebih baik apa yang dilakukan oleh masyarakat sendiri apabila personel undur diri dari daerah yang ada eksploitasi ilegal pada daerah persediaan atau daerah yang dilindungi bahkan walaupun tidak ada petugas yang bertugas ditempat tersebut. Wells dan Brandon's (1992) dari hasil review secara global terhadap kegiatan ICDPs menyatakan bahwa hal ini benar-benar tidak ada bukti yang mendukung hal tersebut. Suatu kontrak sosial antara masyarakat dan pemangku kepentingan yang berada diluar harus masuk sampai kepada suatu penyertaan secara tandem (bergandengan) baik dalam penegakan hukum maupun dalam pembagian hasil yang diperoleh dari kegiatan tersebut. Kompensasi yang harus diperoleh penduduk boleh dalam berbagai bentuk. Kebanyakan proyek membuat upaya meyakinkan mereka untuk memperoleh pengelolaan sumber daya diluar dari areal perlindungan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dari masyarakat dengan cara mengintensifkan kegiatan mereka sehingga mereka dapat keluar dari keinginan untuk selalu memperluas daerah yang mereka usahakan, yang pada
dasarnya
secara
lingkungan
mengakibatkan
kerusakan
yang
mengakibatkan degradasi.
20
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
Sebagai tambahan terhadap penguatan
peningkatan intsnsitas
penggunaan lahan ada dua foktor lain yang perlu diperhatikan yaitu berupa pemindahan masyarakat dan mempekerjakan mereka pada bidang usaha non pertanian. Jika dalam hal terjadinya pemindahan, maka percepatan pertambahan populasi akan memberikan tekanan yang kurang baik antara intensifikasi dan penguatan. Namun perlu pengontrolan yang sangat ketat pada pelaksanaannya. Ada yang berhasil pada kondisi masyarakat yang sudah dewasa (misalnya di masyarakat Minangkabau, Indonesia) tetapi sering terjadi kegagalan juga pada banyak masyarakat lainnya. Syarat agar timbulnya suatu daya tarik untuk perpindahan adalah peran ekonomi yang lebih luas. Para perkerja pedesaan diluar daerah DAS dapat saja makin bertambah jumlah mereka atau sebaliknya merurun. Seperti terlihat pada Gambar 11.3 yang mencoba mengilustrasikan persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan taman konservasi sebagai pengaruh dari empat faktor:
intensitas
penggunaan
lahan
(i);
penegakan
hukum
dalam
pengawasan perbatasan (E), perpindahan (M), dan pekerja diluar DAS (OFE, off-farm employment). Program ICDP harus mempertimbangkan implikasi dari
segala
faktor
tersebut
berikut
interaksinya.
Dengan
demikian
pengembangan sistem agroforestry sudah sering dinyatakan sebagai satu dari berbagai cara yang dapat diterapkan dalam intensifikasi pengelolaan buffer zone dari suatu wilayah atau kawasan yang dilindungi (Wells and Brandon, 1992; Garrity, 1995b; Cairns et al., 1997). Penanaman pohon merupakan suatu cara yang sangat dikehendaki oleh masyarakat setempat yang tinggal di sekitar daerah yang dilindungi tersebut. Dengan demikian program penyediaan bibit tanaman pohon yang hendak ditanam menjadi suatu unggulan yang populer dalam program ICDP dalam mengintervensi pengembangan daerah tersebut. Dengan hal ini diharapkan bahwa para petani disekitar DAS dapat memperoleh manfaat seperti buah, atau hasil kayu lainnya yang bermanfaat bagi pengembangan kondisi gizi dan keadaan
21
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alih Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. PS-AET-Faperta-UHN-Medan.
ekonomi masyarakat tersebut bahkan dapat dilakukan dengan pola bertanam pada kebun pekarangan rumah mereka. Diberbagai daerah pola penanaman pohon dengan cara ini sudah diterapkan sebagai suatu pola pertanian yang berhasil sekalipun dilakukan dengan pola perladagnan berpindah (Garrity and Mercado,1994). Beberapa contoh keberhasilan ini di Indonesia adalah seperti penanaman tanaman damar di Tanaman Nasional Bukit Barisan di Lampung Indonesia (Michon et al., 1995) dan juga pengelolaan hutan karet dengan pola agroforest Kerinci-Seblat di Taman Nasional Provinsi Jambi (van Noordwijk et al., 1995a).
EFFECTIVE BUFFER ZONE MANAGEMENT
22
Judul Asli: Natural Resource Management on a Watershed Scale: What Can Agroforestry Contribute? Dennis P. Garrity and Fahmuddin Agus: Alihdengan Bahasa: Parlindungan Lumbanraja. FIGURE 11.3 Perlindungan terhadap hamparan alami pengelolaan daerah PS-AET-Faperta-UHN-Medan. buffer zone secara efektiv yang merupaka funsi dari land-use intensification (I), boundary enforcement (E), off-farm employment (OFE), and migration (M).
STUDI KASUS DI DAS MANUPALI, MINDANAO, PHILIPPIN
Penelitian akan menjadi mempunyai nilai penting yang terus meningkat dalam hal pendukungan untuk mendapatkan berbagai pilihan dan wawasan dalam hal pengembangan ICDP. Sustainable Agriculture and Natural Resources
Management
(SANREM)
yang
Research Support Program yang bersifat
merupakan
global menjadikan pola
pengelolaan dengan pendekatan partisipatori. Pada mengambil daerah penelitian di Philippines,
Collaborative
SANREM yang
Manupali Watershed in Mindanao,
dengan bekerja sama dengan consorsium ICRAF
dengan
mengadakan ikatan berupa kontrak sosial dalam pelaksanaan pengelolaan buffer zone, mengembangkan pola agroforest yang telah diperbaiki dalam penanganan buffer zone, dan menggabungkan pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam untuk Katanglad National Park. Tim peneliti merupakan gabungan dari para ilmuan dan praktisi yang terdiri dari
ICRAF, non-
governmental organizations (NGOs), universitas, komunitas suku-suku yang ada, dan masyarakat lokal dan instansi pemerintah tingkat nasional. Diperoleh bahwa pola pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh penduduk asli dari komunitas Talaandig yang hidup di daerah perbatasan tersebut memberikan dampak yang baik dan bahkan dapat menjadi pondasi dalam upaya perlindungan taman tersebut (Cairns, 1995). Namun demikian, peningkatan jumlah penduduk dan penjualan produksi sayur-sayuran yang menjadi semakin komersil menjadi suatu pemicu terhadap tekanan pelanggaran atau penerobosan melewati perbatasan. Sehingga
daerah
penyangga
yang
ada
disekeliling
taman
(yang
diklasifikasikan sebagai hutan produksi nasional) menjadi suatu daerah
dengan tekanan untuk menjadi daerah pertanian dan tempat tinggal, sehingga saat ini telah menjadi didominasi daerah penggembalaan dan perladangan berpindah. Yang sedang dikembangkan saat ini adalah pola pertanian keluarga dengan mengintensifkan produksi sayuran dalam skala kecil yang dikombinasikan dengan penanaman pohon untuk produksi kayu maupun buah-buahan. Seperti hasil survey dan pemetaan yang dilakukan oleh (Glynn, 1996)
masyarakat tani lokal yang sudah menanam pohon
dalam berbagai spesies pada kawasan DAS mulai dari ketinggian wilayah 200 hingga 1800 m). Dengan berdasarkan kepada kondisi ini maka sedang diupayakan agar seluruh kawasan sekitar DAS tersebut sedang di galang untuk melakukan hal yang sama sampai kepada suatu tingkat pembuatan jaringan pengaman dalam upaya penyelamatan integritas atau keberadaan taman tersebut. Dari pelajaran pola pendekatan ini
dan dengan
menggandengkannya dengan the Integrated Protected Areas Network in the Philippines. Hanya dengan mendemokrasikan dan pendesentralisasian kuasa agar pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan dengan berhasil. Menguntungkannya bahwa hal ini sedang dilakukan di Philippin. Pemerintah lokal telah memulai untuk merespon kebutuhan setempat baik dalam otoritas maupun penanganan sumber daya alam yang ada. Sedangkan dibagian lain di Asia Tenggara pewarisan antar generasi yang demikian ini sudah jauh lebih maju lagi. Di Vietnam berbagai capaian yang sangat luarbiasa dari percobaan penerapan pola pendekatan partisipatori dalam pengelolaan sumber daya alam. Lahan-lahan pemerintah, termasuk lokasi yang berada sekitar hutan terdekat pada berbagai bagian daerah negara tersebut, telah diberikan suatu kontrak untuk dapat dikelola oleh usaha keluarga dengan pola pengelolaan yang sesuai dengan kontrak yang ditetapkan. Dengan kontrak ini diharapkan bahwa keluarga desa tersebut mampu mengelola dengan bertanggungjawab
sehingga terjadi kesinambungan dalam pengelolaan lahan tersebut. Setiap tahunnya mkeluarga tersebut memperoleh honor dari pemerintah sebagai upah adanya tekat yang baik dan nyata dalam pemanfaatan lingkungan tersebut
yang
menekankan
tercapainya
pemeliharaan
ekosistem,
pengambilan hasil hutan yang secara ekstraktiv tapi terpulihkan, pembatasan daerah penggembalaan, dan berbagai tindakan lainnya yang dianggap baik. Jadi ini dapat dikatakan merupakan suatu tindakan yang menjadi pelopor atau permulaan yang menswastakan pengelolaan sumber daya alam negara. Tentunya harus ditarik berbagai pelajaran yang sangat spektakuler dari pengalaman ini.
PENERAPAN PENGELOLAAN LAHAN KONSEP BERBASIS AGROFORESTRY: SUATU KASUS DI PROYEK SAM MUEN, THAILAND UTARA Di Thailand, penghancuran hutan dan degradasi dari kawasan DAS sudah menjadi perhatian khusus di dataran tinggi bagian utara negara itu, yang merupakan daerah hulu dari mana berbagi anak-anak sungai utama negara tersebut yang menjadi sungai utama (artery) the Chao Phraya River. Ratusan desa pertanian yang ada pada daerah hulu dari sungai ini, yang karenanya departemen kehutanan negara ini sedang menggalakkan upaya untuk melakukan penghutanan kembali, memindahkan seluruh penduduk dari areal yang dilindungi, dan sekaligus menerapkan peraturan yang melarang adanya usaha pertanian pada areal tersebut, tetapi hal ini mendapat perlawanan dari penduduk setempat. Dari sini terlihat bahwa upaya ini hanya memberi pengaruh yang tidak berarti. Sehingga diperlukan upaya bagaimana untuk mendapatkan pola yang dapat menciptakan perbaikan dari DAS pada kawasan hulu dengan tidak merugikan masyarakat, sehingga dapat digandengkan usaha masyarakat dalam memperoleh
penghidupan mereka dari usaha yang dapat mereka lakukan pada DAS tersebut dengan selalu menjaga keadaan atau kondisi DAS. ICRAF yang bekerjasama dengan berbagai partner mengembangkan pengelolaan
bentang
lahan
dengan
pola
pengelolaan
kunci
yang
berdasarkan konsep pengelolaan DAS. Konsep utamanuya adalah dengan mengutamakan kepentingan komunitas diatas kepentingan pribadi individu keluarga petani dalam penerapan pengelolaan DAS yang dilakukan (Thomas, 1996). Pola pengelolaan sumber daya alam dengan sistem agroforestry merupakan suatu mosaik pengelolaan komunitas DAS
termasuk
pengelolaan lahan dan bahkan juga hutannya sendiri, pohon, dan juga tanaman pertanian yang berinteraksi dalam berbagai pola yang ada. Pola pengelolaan seperti ini sudah merupakan pengalaman dari
Sam Muen
Highland Development Project (Limchoowong and Oberhauser, 1996). Dan ini merupakan suatu conton pelopor dalam pengembangan sistem mosaik komunitas yang membuat orang berpikir ulang tentang pengelolaan daerah bagian hulu DAS yang dilakukan oleh pemerintah.
FIGURE 11.4
Perubahan penggunaan lahan melalui pola perencanaan penggunaan lahan dengan pola partisipatory
APPLIKASI DI INDONESIA Sukardi et al (1993) memprediksi luasnya areal alang-alang di Indonesia sekitar 9 juta ha (5% dari luas total lahan yang ada). Sebagian besar lahan ini berada pada daerah yang terdaftar sebagai kawasan hutan. Pemanfaatan lahan alang-alang ini sebagai lahan pertanian lebih tidak merusak dibandingkan dengan pembabatan kawasan hutan. Adiningsih dan Mulyadi (1993) mendapatkan bahwa pada lahan alangalang, defisiensi fosfor, toksisitas aluminium, dan kadar bahanorganik yang rendah menjadi penghambat utama dalam pemanfaatan lahan ini menjadi lahan pertanian.
Mereka menunujukkan bahwa pemberian
batuan fosfat berikut penggunaan tanaman leguminosa pada tanah masam di areal lahan alang alang dapat berhasil. merekomendasikan
bahwa
pemanfaatan
lahan
Sukmana (1993) alang-alang
diintegrasikan dengan pola pertanian yang memasukkan
yang
tanaman
tahunan dalam pengelolaannya sebagai gambaran pola agroforestry dan produksi ternak. Pola pengolahan tanah minimum dikombinasikan dengan tanaman penutup tanah merupakan cara yang paling unggul
TABLE 11.1 Soil Loss (t/ha/yr) as Affected by hedgerow Treatments on a Typic Eutropept with Slopes Ranging from 10 to 15% Treatment 1989/90 Control Caliandra Flemingia Vetiver
Year of Observation 1990/91 1991/92
66 8 0 12
107 22 0 14
133 19 1 0
1992/93 68 20 0 2
After Rachman et al., 1995.
dalam upaya mempertinggi produksi pertanian dan mengurangi tenaga kerja. Table 11.1 memperlihatkan bagaimana efektifnya pola agroforestry, secara khusus penggunaan Flemingia sebagai tanaman penguat dalam menekan erosi yang terjadi di Indonesia. Selain hal tersebut (Ai et al., 1995) mengutarakan bahwa Flemingia menghasilkan biomass yang lebih besar samapi empat kali lipat dibandingkan terhadap Vetiver.
AGROFORESTRY SEBAGAI POLOA KONSERVASI PADA PERTANIAN BERBUKIT Pola pertanian dengan cara tebang bakar adalah merupakan suatu cara pertanian konservasi yang sudah dilakukan dengan setia oleh para petani pada awalnya. Namun dengan pertambahan kepadatan penduduk yang meningkat, kondisi tanah untuk dibiarkan tanpa diusahakan menjadi makin singkat dan produksi biomassa dari pertanaman tanaman hijau semakin berkurang. Pola pengolahan tanah dengan pembersihan total terhadap rumput dan gulma semakin sering dilakukan sekalipun pada lahanlahan dengan kemiringan yang besar sehingga kehilangan tanah semakin dipercepat dan hal ini menjadi seperti sesuatu yang menjadi kebiasaan. Para petani dengan kepemilikan lahan skala kecil yang menerapakan pola pengolahan tanah bersih pada lahan-lahan minring memang sudah mulai menyadarai akan masalah kehilangan lapisan tanah ini sebagai akibat erosi, dan untuk ini mereka sudah mulai mempunyai kecenderungan untuk
memperlajari bagaimana suatu pola konservasi tanah dapat diterapkan Fujisaka, 1993), sejauh metoda tersebut mereka rasakan praktis atau dapat dilakukan, dengan seluruh keterbatasan sumberdaya yang mereka miliki. Namun berbagai hal yang kurang menguntungkan, bahwa berbagai metoda yang diusulkan tidak ada yang dapat mereka lakukan setidaknya menurut pola pandang dari petani tersebut. Tetapi bagaimanapun para petani degan skala pemilikan yang kecil ini
tetap menantikan adanya pola konservasi
tanah yang dapat diterapkan dengan tenaga kerja yang rendah, investasi rendah. Jika pola konservasi tanah dengan pelaksanaan yang praktis yang tersedia dapat diterapkan maka hanya dengan cara yang demikianlah baru ada harapan yang menjanjikan bagaimana pola pertanian di lahan kering dengan melibatkan petani di kawasan Asia Tenggara dapat berhasil.
SUATU KASUS UNTUK CONTOH JALUR VEGETATIV ALAMI
Penerapan pertanian
konskervasi yang utama dilakukan di Asia
Tenggara adalah penerapan pola pertanian sistem pertanaman mengikuti kontur (Garrity, 1995a). Maka pemandangan seperti pertanaman baris tanaman legum menjadi suatu pemandangan yang umum disuatu pertanian di Asia Tenggara yang direncanakan akan dapat mendukung kekeberlanjutan pemanfaatan lahan pada pertanian lahan miring. Menurut hasil penelitian bahwa sistem pertanian yang demikian ini sangat efektif untuk menekan erosi, sekalipun pada lahan dengan kemiringan yang terjal (Kiepe, 1995; Garrity, 1995). Data dari hasil penelitian percobaan yang dilakukan oleh IBSRAM Sloping Lands Network pada enam daerah negara menegaskan dengan jelas bahwa pola pertanian degan penggunaan baris tanam kontur ini mengurangi kehilangan tanah sebagai akibat erosi sebesar 70 sampai 99% (Sajjapongse and Syers, 1995). Beberapa penelitian lainnya melaporkan bahwa ada penakian hasil jika tanaman ditanam diantara barisan tanaman strip tersebut. Namun demikian hanya sangat kecil saja petani yang mengadopsi pola pertanian
ini. Yang menjadi penghambat adalah adanya kecenderungan bahwa tanaman yang menahun ini akan menimbulkan persaingan dengan tanaman usaha , dan juga adanya kekhawatiran terjadinya masalah kekurangan fosfor dalam siklus pada saat pemangkasan. Tetapi sebenarnya yang menjadi masalah mendasan pada hal ini adalah diperlukannya tenaga kerja ekstra untuk pemeliharaan dan pemangkasan (ICRAF, 1996). Karena pekerjaan lembur bukanlah tanpa bayaran. Di
Claveria,
Philippines,
mengembangkan suatu praktek mengikut kontur ini
beberapa
petani
secara
mandiri
membiarkan jalur tanaman yang
degan tidak perlu ditanami kembali jadi dibiarkan
tumbuh dengan sendirinya saja oleh tanaman rumput maupun tanaman lainnya. Penelitian membuktikan bahwa jalur tanaman alamiah yang demikian ini ( natural vegetative strips /NVS) mempunyai berbagai nilai fungsi kegunaan yang sangat diinginkan memerlukan
sedikit banyak adanya
(Garrity, 1993). Namun
upaya
pengurusan seperti
pemangkasan dibandingkan dengan tanaman rumput makanan ternak atau
jenis tanaman lain yang diperkenalkan agar dampak persaingan
yang ditimbulkannya terhadap berbagai hal dengan tanaman usaha dapat diminimalkan . Mereka ini sangat efisien dalam menurunkan kehilangan tanah sebagai akibat dari erosi (Agus, 1993). menunjukkan adanya kecenderungan
Mereka juga tidak
timbulnya masalah gulma yang
semakin besar pada saat berassosiasi dengan tanaman setahun. NVS ini juga telah dijumpai sebagai pola yang indigenous oleh para petani di sebagian kecil daerah tersebut termasuk Batangas dan Provinsi Leyte.
PROGRAM UNTUK MENGINTENSIVKAN PERTANIAN DI KAWASAN DAS DI INDONESIA
Karena tekanan akan kebutuhan lahan di kawasan dataran tinggi di Indonesia, petani sudah mulai melakukan pertanaman pada daerahdaerah lahan berkemiringan tinggi. Untuk itu pemerintah Indonesia (The government of Indonesia / GOI) memperkenalkan suatu program yang
fokus pada pemanfaatan lahan pertanian di wilayah DAS dengan pola teknik konservasi tanah dan air dengan berdasarkan pola perencanaan pengembangan dan pemanfaatan atas dasar pengelolaan DAS. Satu yang paling terbaik yang pernah dilakukan pengelolaan kawasan hulu dari DAS Solo pada awal 1970s, lalu diikuti dengan pola penerapan konservasi tanah dan air pada kawasan DAS Citanduy dan praktek lainnya di daerah
Yogyakarta. Pada praktek ini petani dibantu dalam
pengadaan pembangunan teras pengendali, pengadaan agroteknologi seperti pemberian benih dan pupuk, penghutanan kembali lahan-lahan pemerintan, pembangunan check dam dan penutupan parit. Program terbaru dari pemerintah dalam hal pengelolaan DAS dan konservasi tanah adalah upaya usaha penghijauan dan penghutanan kembali (the Regreening and Reforestation Program / R&R Program). Kegiatan ini telah dimulai sejak awal
1976 dengan berbagai tujuan
berikut ini: (1) mengontrol erosi dan banjir, (2) meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani, dan (3) meningkatkan peran serta masyarakat
dalam
penyelamatan
sumber
daya.
Pada
awalnya,
pelaksanaan ini sangat terbantu dalam hal pemberian benih
untuk
ditanam pada lahan petani (tujuan penghijauan / regreening) dan pada lahan
publik
atau
umum
untuk
tujuan
penghutanan
kembali
(reforestation). Pendekatan yang dilakukan termasuk didalamnya adalah percontohan upaya konservasi tanah dan paket agronomi melalui unit demonstrasi plot konservasi tanah ( Soil Conservation Demonstration Units (Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam = UPSA) dan melalui percontohan pola pertanian menetap (Sedentary Farming Demonstration Units/Usaha Pertanian Menetap = UPM). Upaya utama dengan pendekatan pola peningkatan
penutupan
lahan
dengan
UPSA dan UPM ialah penerapan
agroforestry.
Pemerintah mengupayakan agar penutupan lahan sebesar
25% pada
lahan dengan kemiringan lereng antara 15 dan 25%,
sedangkan
penutupan harus mencapai 50% pada lahan dengan kemiringan lereng antara 25 dan 40%, dan lahan harus
100% tertutup jika lahan
mempunyai kemiringan lereng lebih besar dari
40% (Sekretariat Tim
Pengendali Penghijauan dan Reboisasi Pusat, 1996). Penerapan dari
gagasan ini menghadapi berbagai hambatan seperti:
secara khusus
adanya kecenderungan pola pertanian yang ada berfungsi subsisten, ketidak pastian kepemilikan lahan sehingga petani berupaya untuk melakukan usaha yang mampu mengembalikan investasi yang dia tanam harus secepat mungkin kembali, dan ketidak adanya jaringan pasar dan ketidak pastian harga pasar yang ada. Untuk hal itu perlu menjadi pertimbangan
bagaimana
tanaman
setahun
digabungkan
dengan
tanaman tahunan dengan cara yang praktis saja. Sehingga dengan sangat teliti dan secara ringkas kami mempertimbangan kelayakan dari penerapan teknologi yang ditawarkan agar berdasar pada tekkonlogi yang diperkenalkan sebelaumnya sebagai teknologi metoda penghijauan dan penghutanan kembali
(the R&R Program) dan berbagai pola sistem
pertanian yang sudah atau sedang dikembangkan.
PROGRAM YANG DISESUAIKAN DENGAN UPAYA UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN MASYARAKAT Diluar keberhasilan yang dicapai, perlu terjaga kembali atas apa yang diperoleh sebagi peran dari program R & R. Diantaranya kelemahan yang paling utama adalah pola penggunaan teknologi
yang sangat
kurang sebagai akibat dari kurangnya keikutsertaan para petani dan lemahnya hubungan antara penelitian dan penyuluhan. Terlalu berlebihan penekanan terhadap pola praktek yang kurang mengandung tindakan konservasi sebagai akibat dari rendahnya pengertian petani sebagai pelaksana terhadap keberadaan lingkungan dimana program tersebut akan diterapkan. Bukan saja hanya persoalan
kecocokan pilihan
teknologi yang akan diterapkan dengan kondisi biophisik wilayah dan juga terhadap keadaan sosial ekonomi masyarakat tersebut, tetapi kondisi pendekatan top-down yang mendominasi kegiatan konservasi yang akan dilakukan.
Dimulai dari tahun 1994, dari pelajaran yang ditarik dari
kenyataan tersebut maka program R&R membuat perubahan untuk
memperbaiki
pelaksanaannya
dalam
perencanaan
nasional,
dan
menyediakan petunjuk program bagi pengembangan yang berdasarkan dan bertujuan untuk mengatasi atau menangani kondisi lokal daerah tersebut serta memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat tersebut. Namun perlu disadari bahwa masih banyak faktor yang harus dilalui dalam pencapaian hal ini. Jadi ada baiknya para penyuluh jangan membatasi diri mereka dengan pola pilihan yang hanya bersifat sempit saja, tetapi harus membekali diri dengan berbagai pola pilihan yang bisa diterapkan (Agus et al, 1997). Ada perubahan paradigma yang timbul terhadap pola pertanian konservasi pada daerah berlereng seperti diindikasikan oleh Garrity and van Noordwijk (1995): 1. pola pendekatan keteknikan harusk berubah menjadi pendekatan secara biologi, 2. pola perencanaan dengan pendekatan yang top-down harus berubah menjadi yang lahir dari masyarakat itu sendiri melalui pola pendekatan yang bottom-up, dan pola klasik yang menerapkan pola pertanian dengan konsep tanaman tunggal harus didiversifikasi degan pola pertanaman yang lebih beraneka ragam dengan pola agroforestry. Sanchez (1995) dan Lal (1991) memperingatkan agar jangan terlalu membanggakan teknology
agroforestry
karena sebagaian besar dugaan manfaatnya
masih perlu dibuktikan . Diharapkan bahwa penelitian-penelitian untuk masa yang akan datang harus menjadi sarana untuk menjawab hal tersebut.
KESIMPULAN
Apayang harus dilakukan di lingkungan Asia Tenggara yang kondisi DAS-nya sangat terdegradasi dengan kecepatan yang sangat besar? Pengelolaan DAS di wilayah ini sangat memerlukan suatu pola yang terintegrasi dan juga pola pendekatan yang multi sektor dalam merencanakan
pola
pengelolaannya
yang
berkelanjutan,
tetapi
sayangnya bahwa kondisi instansi pemerintah yang terkait didalamnya masih berfikir dalam pola yang terkelompok atau terkotak-kotak dalam
pelaksanaannya dan kental dengan kebijakan yang bersiffat top-down. Mereka harus berubah. Pola pendekatan partisipatory adalah seharusnya lebih ditonjolkan dari pada sekedar menjalankan hal cara pemecahan yang standard saja, dan harus menyediak pola penanganan yang sangat banyak daripada hanya menawarkan satu set penangan. Memang dalam melakukan analisis masalah tidak harus sematamata dilakukan oleh orang luar
untuk masyarakat itu sendiri, tetapi
adalah lebih baik jika dilakukan oleh masyarakat itu sendiri dan didukung oleh orang luar. Penyelesaian yang diterapkan bukan hanya sekedar untuk menerapkan teknologi yang sudah diketahui sebelumnya tetapi harus merupakan pilihan dan keputusan masyarakat sendiri atas keberadaan sumber daya dan kemampuan mereka. Ingat bahwa hal seperti ini melekat pada masyarakat desa, berpendidikan atau tidak, mereka mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam menganalisa, merencanakan, dan melaksanakan aktivitas pembangunan mereka dibandingkan terhadap yang sebelumnya diasumsikan oleh orang luar. Apa kontribusi atau manfaat dari agroforestry ? Sebagaimana besarnya keintergrafivan lingkungan pada kegiatan pertanian, kehutanan, soosial, dan lingkungan ilmu pengetahuan, agroforestry memegang peran sentral untuk menolong dalam penyediaan inovasi dalam pengelolaan lahan baik dalam skala institusi maupun teknis. Sebagai suatu sistem kegiatan pengelolaan dari sumber daya alam sangat meningkatkan peranan pohon secara terintegrasi dengan bentang lahan pertanian, memegang peran yang sangat besar, menyeluruh dan secara mumpuni ( holistically and comprehensively) dalam proses penyediaan berbagai pilihan ditengah keperluan masyarakat yang meningkat, dengan selalu mengaitkannya dengan cara-cara yang sangat kondusif terhadap tindakan konservasi bagi sumberdaya DAS yang sangat rapuh.
DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, J.S. and Mulyadi, D.1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang [Alternatives of rehabilitation and
utilization of Imperata grassland], in S. Sukmana, Ed., Pemanfaatan Lahan Alang-alang Untuk Usahatani Berkelanjutan, Pro-siding Seminar Lahan Alang-alang, Bogor, 1 Des. 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Agus, F. 1993. Soil Processes and Crop Production under Contour Hedgerow Systems on Sloping Oxisols, Ph.d. dissertation, North Carolina State University, Raleigh, 141 pp. Agus, F., Gintings, A.N., and Ai, D. 1996. Sumberdaya alam daerah aliran sungai Cimanuk Hulu dan teknologi konservasi [Land resources of the Upper Cimanuk Watershed and conservation technology], in B.R. Prawiradiputra et al., Eds., Prosiding Lokakarya Pem-bahasan Hasil Penelitian dan Analisis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Pusat Pene-litian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 113-128. Agus, F., Abdurachman, A., and van der Poel, P. 1997. Daerah aliran sungai sebagai unit pengelolaan pelestarian lingkungan dan peningkatan produksi pertanian [Watershed as a unit of environmental management and conservation and agricultural production], Prosiding Pertemuan Teknis Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Ai, D., Suganda, H., Sujitno, E., Tala'ohu, S.H., and Sutrisno, N. 1995. Rehabilitasi lahan alang-alang dengan sistem budidaya lorong di Pakenjeng, Kabupaten Garut [Rehabilitation of Imperata grassland using alley cropping systems at Pakenjeng, Garut District], in D. Santoso, Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 31-41. Bannerjee, A.K. 1990. Revegetation techniques, in Doolette, J. and Magrath, W.B., Eds., Watershed Development in Asia: Strategies and Technologies, World Bank Technical Paper No. 127. World Bank, Washington, D.C., 109-130. Cairns, M. 1994. Shifting Cultivation on the Perimeter of a National Park, MSc thesis, York University, Toronto, Canada. Cairns, M. 1995. Ancestral Domain and National Park Protection: A Mutually Supportive Paradigm? International Center for Research in Agroforestry, Southeast Asian Regional Research Program, Bogor, Indonesia. Cairns, M., Murniati, Otsuka, M., and Garrity, D.P. 1997. Characterization of the Air Dingin-Muara Labuh Area of the Kerinci Seblat National Park: farm and national park interactions in Proceedings of the Workshop on Alternatives to Slash and Burn, Central Research Institute for Food Crops, Bogor, Indonesia, June 1995, 135-172 (in press). Carson, B. 1989. Soil Conservation Strategies for Upland Areas of Indonesia, Occasional Paper No. 9, Environment and Policy Institute, East-West Center, University of Hawaii, Honolulu. de Foresta, H. and Michon, G. 1997. The agroforest alternative to Imperata grasslands, Agroforestry Syst. 36:105-120. de Foresta, H. and Schwartz, D. 1991. Chromalaena oderata and disturbance of natural succession after shifting cultivation: an example from Mayonbe, Congo, Central Africa, in R. Nuniappau and P. Ferrar, Eds., Ecology and Management of Chromalaena odorata, BIOTROP Spec Publ. No. 44: 23-41.
Doolette, J.B. and Smyle, J.W. 1990. Soil and moisture conservation strategies: review of the literature, in Doolette, J.B. and Magrath, W.B., Eds., Watershed Development in Asia: Strategies and Technologies. World Bank Technical Paper No. 127. World Bank, Washington, D.C., 35-70. Douglas, M. 1996. Participatory Catchment Management, 2 Vols., HR Wallingford, Oxon, U.K. Dove MR. 1986. The practical reason of weeds in Indonesia: peasant vs. state views of Imperata and Chromalaena, Human Ecol. 14:163-190. Fujisaka, S. 1993. A case of farmer adaptation and adoption of contour hedgerows for soil conservation, Exp. Agric. 29:97-105. Garrity, D.P. 1993. Sustainable land-use systems for sloping uplands in Southeast Asia, in Technologies for Sustainable Agriculture in the Tropics, American Society of Agronomy Special Publication 56, Madison, WI, 41-66. Garrity, D.P. 1995a. Improved agroforestry technologies for conservation farming: pathways toward sustainability, in Proc International Workshop on Conservation Farming for Sloping Uplands in Southeast Asia: Challenges, Opportunities and Prospects, IBSRAM,Bangkok, Thailand, Proc. No. 14, 145-168. Garrity, D.P. 1995b. Buffer Zone Management and Agroforestry: Some Lessons from a Global Perspective, International Centre for Research in Agroforestry, Southeast Asian Regional Research Program, Bogor, Indonesia. Garrity, D.P., Ed. 1997a. Agroforestry innovations for Imperata grassland rehabilitation, Agroforestry Syst. Special Issue 36, 276 pp. Garrity, D.P. 1997b. Conservation Tillage: A Southeast Asian Perspective, International Center for Research in Agroforestry, Southeast Asian Regional Research Program, Bogor, Indonesia, 26 pp. Garrity, D.P. 1997c. Addressing Key Natural Resource Management Challenges in the Humid Tropics through Agroforestry Research, International Centre for Research in Agrofor-estry, Bogor, Indonesia, 29 pp. Garrity, D.P. and Mercado, A. 1994. Reforestation through agroforestry: market-driven smallholder timber production on the frontier, in Raintree, J.B. and Francisco, H.A., Eds., Marketing of Multipurpose Tree Products in Asia, Winrock International, Morrilton, AR,265-268. Garrity, D.P. and Van Noordwijk, M. 1995. Research Imperative in Conservation Farming and Environmental Management on Sloping Lands: An ICRAF Perspective, ICRAF, Bogor, Indonesia, 5 pp. Garrity, D.P., Soekardi, M., Van Noordwijk, M., de La Cruz, R., Pathak, P.S., Gunasena, H.P.M., So, N., van Huijin, G., and Majid, N.M. 1997. The Imperata grasslands of tropical Asia: area, distribution, and typology, Agroforestry Syst. 36:3-29. Glynn, C. 1996. Overcoming Constraints to Agroforestry Adoption in Tropical Highlands: Part I: An Investigation of Performance by Elevation Patterns for Some Commonly Grown Timber Species in
the Manupaly Watershed, Bukidnon, Philippines, M.Sc thesis, Tropical and Subtropical Horticulture and Crop Science, Wye College, University of London, London. Gouyon, A., de Foresta, H., and Levang, P. 1993. Does "Jungle Rubber" deserve its name? An analysis of rubber agroforestry systems in southeast Sumatra, Agroforestry Syst. 22:181-206. ICRAF. 1996. Annual Report For 1995, International Centre for Research in Agroforestry, Nairobi, Kenya. ICRAF. 1997. Annual Report For 1996, International Centre for Research in Agroforestry, Nairobi, Kenya. Kiepe, P. 1995. No Runoff, No Soil Loss: Soil and Water Conservation in Hedgerow Barrier Systems, Wageningen Agricultural University, Wageningen, the Netherlands. Lal, R. 1991. Myths and scientific realities of agroforestry as a strategy for sustainable management for soils in the tropics, Adv. Soil. Sci. 15:91-137. Leakey, R. 1996. Definition of agroforestry revisited, Agroforestry Today 8(1):5-6. Limchoowong, S. and Oberhauser, U. 1996. In Proceedings of the Discussion Forum ""igh-land Farming: Soil and the Future?" Can villagers manage highland resources well?" Maejo University, Chiangmai, Thailand. pp. 13-22. Magrath, W.B. and Doolette, J.W. 1990. Strategic issues in watershed development, in Doolette, J.W. and Magrath, W.B., Eds., Watershed Development in Asia: Strategies and Technologies, World Bank Technical Paper No. 127, World Bank, Washington, D.C., 1-34. Mary, F. and Michon, G. 1987. When agroforests drive back natural forests: a socio-economic analysis of a rice/agroforest system in South Sumatra, Agroforestry Syst. 5:27-55. Mercado, A. Jr., Stark, M., and Garrity, D.P. 1997. Enhancing sloping land management technology adoption and dissemination, paper presented at the IBSRAM Sloping Land Management Workshop, Bogor, Indonesia, 15-21 September, 1997, 24 pp. Michon, G., de Foresta, H., and Aliadi, A. 1995. An Agroforestry Strategy for the Re-appropriation of Forest Resources by Local Communities: The Case Study of Damar Agroforests in West Lampung, Sumatra, International Center for Research in Agroforestry, Southeast Asian Regional Research Program, Bogor, Indonesia, 54 pp. Milliman, J.D. and Meade, 1983. World-wide delivery of river sediment to the oceans, J. Geol. 91:1-21. Momberg, F. 1993. Indigenous Knowledge Systems. Potentials for Social Forestry Development: Resource Management of LandDayaks in West Kalimantan, M.Sc. thesis, Tech-nische Universitat Berlin, Germany. Penot, E. 1996. Sustainability Through Productivity Improvement of Indonesian Rubber-Based Agroforestry Systems, International
Center for Research in Agroforestry, Southeast Asian Regional Research Program, Bogor, Indonesia, 13 pp. Rachman, A., Abdurachman, A., and Haryono, 1995. Erosi dan perubahan sifat tanah dalam sistem pertanaman lorong pada tanah Eutropepts, Ungaran [Erosion and changes in soil properties in alley cropping system on Eutropepts, Ungaran], in Proceedings Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat Bidang Konservasi Tanah dan Air, dan Agrokli-mat, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 17-30. Sajjapongse, A. and Syers, K. 1995. Tangible outcomes and impacts from the ASIALAND management of sloping lands network, in Proc. International Workshop on Conservation Farming for Sloping Uplands in Southeast Asia: Challenges, Opportunities and Prospects, IBSRAM, Bangkok, Thailand, Proc. No. 14, 3-14. Salafsky, N. 1993. The Forest Garden Project: An Ecological and Economic Study of a Locally Developed Land-Use System in West Kalimantan, Indonesia, Ph.D. thesis, Duke University, Durham, NC, 327 pp. Sanchez, P.A. 1995. Science in agroforestry. Agroforestry Syst. 30:555. Sekretariat Tim Pengendali Penghijauan dan Reboisasi Pusat. 1996. Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Bantuan Penghijauan dan Reboisasi, Jakarta. Sembiring, H., Syam, A., Hardianto, R., Kartono, G., and Sukmana, S. 1989. Evaluasi adopsi teknologi usahatani konservasi lahan kering di DAS Brantas: Studi kasus Desa Srimulyo, Malang [Evaluation and adoption of conservation farming technologies in the upland of Brantas Watershed: a case study at Srimulyo village, Malang], in H. Suhardjo, Ed., Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah Bidang Konservasi Tanah dan Air, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Soekardi, M., Retno, M.W., and Hikmatullah, 1993. Inventariasasi dan karakterisasi lahan alang-alang [Inventarization and characterization of Imperata grassland], in S. Sukmana, Ed., Pemenfaatan Lahan Alang-alang untuk Usahatani Berkelanjutan, Prosiding Seminar Lahan Alang-alang, Bogor, 1 Dec 1992, Center for Soils ansd Agrlclimate Research, Bogor, Indonesia, 1-17. Stoutjesdijk, J.A.J.H. 1935. Eupatorium pallescens DC op Sumatra's westkust [Eupatorium pallescens DC on the west coast of Sumatra], Tectona 28:919-926. Sukmana, S., Ed. 1993. Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usahatani berkelanjutan [The use of Imperata land for sustainable land management]. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang, Bogor, 1 Dec. 1992, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sukmana, S. 1995. Perkembangan penelitian konservasi tanah dan air di Indonesia [The development of soil conservation research in Indonesia], Dalam D. Santoso et al., Ed., Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 10-12 Jan. 1995, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 153-169. Szott, L.T., Palm, C.A., and Sanchez, P.A. 1991. Agroforestry in acid soils of the humid tropics, Adv. Agron. 45:275-300.
Thiollay, J.M. 1995. The role of traditional agroforests in the conservation of rain forest bird diversity in Sumatra, Conserv. Biol. 9(2):335-353. Thomas, D. 1996. Opportunities and limitations for agroforestry systems in the highlands of north Thailand, in Proceedings of the Discussion Forum "Highland Farming: Soil and the Future?" Maejo University, Chiangmai, Thailand. Tomich, T.P., J. Kussipalo, K. Menz and N. Byron. 1997. Imperata economics and policy, Agroforestry Syst. 36:233-261. Tomich, T.P., van Noordwijk, M., Vosti, S., and Whitcover, J. 1998. Agricultural development with rainforest conservation: Methods for seeking best-bet alternatives to slashand-burn, J. Agric. Econ. 19: 1-2, 159-174. Torquebiau, E. 1992. Are tropical home gardens sustainable? Agric. Ecosyst. Environ.41:189-207. Turkelboom, F. and van Keer, K., Eds. 1996. Land Management Research for Highland Agriculture in Transition, Mae Jo University, Thailand, and Catholic University of Leuven, Belgium, 53 pp. van Noordwijk, M., Tomich, T.P., Winahyu, R., Murdiyarso, D., Partoharjono, S., and Fagi, A.M., Eds. 1995a. Alternatives to Slash-and-Burn in Indonesia. Summary Report of Phase 1. ASBIndonesia Report No. 4, International Centre for Research in Agroforestry, Southeast Asian Regional Research Program, Bogor, Indonesia. 151 pp. van Noordwijk, M., van Schaik, C.P., de Foresta, H., and Tomich, T.P. 1995b. Segregate or Integrate: Nature and Agriculture for Biodiversity Conservation, International Centre for Research in Agroforestry, Bogor, Indonesia, 16 pp. van Noordwijk, M., Hairiah, K., Partoharjono, S., Labios, R.V., and Garrity, D.P. 1997. Foodcrop based production systems as sustainable alternatives for Imperata grasslands? Agroforestry Syst. 36:55-82. Wells, M. and Brandon, K. 1992. People and Parks: Linking Protected Area Management with Local Communities, The World Bank, Washington, D.C.