LAPORAN HASIL PENELITIAN
OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Oleh: Eko Sabar Prihatin (Bagian Hukum Tata Negara FH UNDIP)
Dibiayai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Tahun Anggaran 2009
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG TAHUN 2009
HALAMAN PENGESAHAN HASIL PENELITIAN
1. a. Judul Penelitian
: OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
2. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. Gol./Pangkat/NIP d. Jabatan Fungsional e. Jabatan Struktural f. Bagian
: : : : : : :
Eko Sabar Prihatin,SH,MS Laki-laki IVB/Pembina Tk.I/131458541 Lektor Kepala Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNDIP
3. Jumlah Peneliti a. Wakil Ketua b. Sekretaris c. Anggota d. Anggota e. Anggota f. Anggota g. Anggota h. Anggota i. Tenaga Pendukung j. Tenaga Pendukung k. Tenaga Pendukung
: : : : : : : : : : : :
11 (sebelas) orang Untung Dwi Hananto, SH, MHum Indarja,SH,M H Lita Tyesta ALW, SH,MHum Untung Sri Harjanto,SH,MH Amiek Sumarmi,SH,MHum Amalia Diamantina,SH, MHum Fifiana Wisnaeni, SH, MHum Retno Saraswati, SH, MHum Susilo, SH Triyono, SH, MH Heru Setiyono, Ssi
4. Lokasi Penelitian
: Jawa Tengah
5. Lama Penelitian
: 2 (dua) bulan
6. Biaya yang diperlukan
: Rp. 108.250.000,- (seratus delapan juta dua ratus lima puluh rupiah )
Semarang, 28 Agustus 2009 Mengetahui Dekan Fakultas Hukum UNDIP
Ketua Peneliti,
Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MS NIP. 130 937 134
Eko Sabar Prihatin,SH,MS NIP. 131 458 541
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas selesainya penelitian dengan judul “OTONOMI DAERAH DANPENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM” ini. Pada kesempatan ini kami tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam bentuk apapaun sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Tim peneliti juga menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Karenanya atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam hasil penelitian ini, kami mohon maaf dan mengharapkan saran, kritik serta masukan agar hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penelitian selanjutnya
Semarang, 28 Agsutus 2009 Tim Peneliti
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………..... ......
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………......
ii
ABSTRAK ………………………………………………………………….... .
iv
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………........
1
A. Latar Belakang Penelitian …………………………………........
1
B. Rumusan Masalah..…………………………………...................
5
C. Tujuan Penelitian …………………………………………….....
6
D. Kontribusi Penelitian ………………………………………… ...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………......
7
BAB III
METODE PENELITIAN ………………………………………...
16
A. Metode Pendekatan ……………………………………………...
16
B. Spefikasi Penelitian .......................................................................
16
C. Metode Pengumpulan Data ………………………………….......
16
D. Metode Penyajian Data …………………………………….........
17
E. Metode Analisis Data ……………………………………............
17
HASIL PENELITIAN DAN PEMABAHASAN ………………...
19
1. Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Pembangunan Berkelanjutan ..........................................................
19
2. Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup...........................................................................
22
3. Pengelolaan Sumber Daya Alam .....................................................
34
4. Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Era Otonomi Daerah..............
47
BAB IV
ii
BAB V
PENUTUP …………………………………………………… ........
93
A. Kesimpulan ……………………………………………………..
93
B. Saran …………………………………………………………....
95
DAFTAR PUSTAKA
iii
ABSTRAK
Banyak permasalahan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkaitan dengan otonomi daerah. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya. Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-mana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan daerah, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal-hal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Permasalahannya adalah Apakah di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan? Bagaimanakah upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam di daerah? Bagimanakah penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan? Bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders di daerah? Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif. Metode yuridis digunakan sehubungan dalam penelitian ini yang diteliti adalah peraturan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan, pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.
Kata kunci : otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam
iv
BAB I PENDAHULUAN
a.
LATAR BELAKANG MASALAH
Otonomi Daerah adalah salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyat sehingga ruang partisipasi rakyat demi demokratisasi menjadi terbuka. Dengan dekatnya ‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat dengan pembuat kebijakan seharusnya, kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah semakin besar. Otonomi dianggap jauh lebih demokratis dibanding sistem yang terpusat, bahkan lebih menjamin adanya pluralitas (tidak menggunakan pendekatan yang seragam seperti pada masa orde baru), karena menghindari dominasi suatu kekuasaan berdasarkan budaya atau agama atau kepercayaan/ideologi tertentu. Dengan otonomi maka daerah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kebijakan sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Dalam bidang pengelolaan sumber daya alam, otonomi daerah berarti: a.
Menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dengan ekosistem setempat.
b.
Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan masyarakat didalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari.
c.
Tidak
berdasarkan
batas
administratif,
tetapi
berdasarkan
batas
ekologi
(bioecoregion). d.
Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat dan bukan menghancurkan daya dukung ekosistem dengan eksploitasi yang melewati daya dukung.
1
e.
Pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang paling berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Agar kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan kekuasaan daerah dapat
memenuhi rasa keadilan, kebutuhan dan keadilan masyarakat setempat, maka pelaksanaan otonomi harus memenuhi prasyarat sebagai berikut : 1) Otonomi bukan hanya menyangkut penyelenggaraan kekuasaan pemerintah atau pun legislatif, tetapi yang lebih penting lagi adalah merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pengalihan kekuasaan dari pemerintahan yang selama ini terpusat harus menjadi bagian dari proses demokratisasi yang dicirikan oleh adanya pengembangan kemampuan (capacity) dan sistem pertanggung-jawaban secara politik maupun hukum (tanggung-gugat) secara terbuka oleh para pejabat daerah; serta pengembangan kemampuan dan peluang rakyat setempat dalam melakukan pengawasan. 2) Untuk menjamin adanya demokratisasi dan pertanggung-jawaban pemerintah daerah dan DPRD maka sangatlah penting untuk mengubah sistem pemilihan umum. Pemilihan umum harus dilakukan dengan sistem distrik, sehingga para anggota DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat akan lebih bertanggung-jawab kepada para pemilihnya dan bukan kepada partai seperti yang terjadi saat ini. Selain itu, sistem pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa/Lurah) hingga pemerintah yang ada pada unit terkecil harus dilakukan dengan cara pemilihan langsung. Ini akan menghindari munculnya persokongkolan antara partai atau DPRD dengan kepala daerah, bahkan membuka peluang bagi rakyat untuk
2
mempersoalkan atau menggugat kebijakan pemerintah setempat yang merugikan kepentingan rakyat. 3) Otonomi yang paling dasar haruslah ada pada tingkat komunitas masyarakat yang terkecil seperti desa atau sejenis. Disini rakyatlah yang memutuskan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Rakyat diberi hak dan jaminan hukum untuk ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di desanya, misalnya soal penataan ruang atau kawasan, pemberian ijin investasi, bahkan hak untuk memperoleh prioritas dalam memanfaatkan atau menikmati hasil pengelolaan sumberdaya alam setempat. 4) Agar otonomi terhindar dari sistem negara di dalam negara, maka pengelolaan daerah-daerah otonom harus dilandaskan pada konstitusi nasional maupun pada peraturan perundangan lainnya yang berlaku secara nasional dan universal yaitu peraturan perundangan yang mengatur lingkungan hidup, hak azasi manusia, moneter, kebijakan luar negeri, dan pertahanan. 5) Daerah otonom juga harus menghormati hukum internasional yang telah disepakati oleh banyak negara, misalnya konvensi tentang hak-hak buruh; tentang anak-anak dan perempuan; tentang keanekaragaman hayati; tentang perdagangan bahan beracun berbahaya atau B3 (konvensi Basel); tentang perdagangan satwa (CITES); tentang hak azasi manusia; tentang hak untuk berpindah dan menetap; diskriminasi etnik dan ras, dan sebagainya. 6) Oleh karena itu, otonomi memerlukan adanya masyarakat sipil (civil society) yang terdiri dari berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat, yang kuat, solid, selalu berpikir kritis, dan mampu melakukan kontrol atau pengawasan terhadap 3
penyelenggaraan kekuasaan daerah yang berada di tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif. 7) Otonomi haruslah mengubah pandangan dan perilaku penyelenggara kekuasaan di daerah untuk benar-benar menjadi pelayan masyarakat. Artinya pemerintah benarbenar meletakkan kepentingan dan suara masyarakat sebagai pijakan dari semua kebijakan publik yang dibuat. Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa begitu banyak masalah yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkaitan dengan otonomi daerah. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya. Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di manamana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan daerah, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari halhal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan, pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal 4
ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaikbaiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.
b. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas peneliti merumuskan masalah penelitian ini adalah: 1.
Apakah di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan?
2.
Bagaimanakah upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam di daerah?
3.
Bagimanakah penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan?
4.
Bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders di daerah?
5
c.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. 2. Mengetahui upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam di daerah. 3. Mengetahui penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan. 4. Mengetahui upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders di daerah.
d. KONTRIBUSI PENELITIAN
a. Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat menjadi bahan kajian lebih jauh tentang otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam. b. Selain hal itu diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk menambah dan melengkapi ilmu hukum khususnya Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan tentang otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan sumber daya alam termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan,sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan sumber daya alam, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah. 1.
Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah: •
Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
•
Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
•
Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
•
Menetapkan pendekatan kewilayahan. 7
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004, pengelolaan sumber daya alam titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit RPJPN merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup : 1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah. 2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam. Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasankawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif 8
3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup. Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan. 4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten. 5. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
9
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan. 2.
Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Penegakan Hukum Lingkungan Dengan pesatnya pembangunan nasional yang tujuannya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga hal ini dapat menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliputi : 1.
Regulasi Perda tentang Sumber Daya Alam.
2.
Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
3.
Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
4.
Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup.
10
5.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders
6.
Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
7.
Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup.
8.
Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
9.
Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pengelolaan Sumber Daya Alam adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan. Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam UUPLH, maka undang-undang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam
11
penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat pengelolaan sumber daya alam memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang kehutanan, UU No. 26 Th 2007 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur. Mengingat kompleksnya pengelolaan sumber daya alam dan permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai fihak, serta ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan serta penaatan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk mengelola lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak berhenti pada slogan semata. Namun demikian fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di lapangan yang dapat diamati. Hal-hal
12
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam di daerah dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut. •
Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimpahkan sebagian kewenangan mengelola sumber daya alam di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam, demikian juga ego sektor. Pengelolaan sumber daya alam sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain, tumpang tindih perencanaan antar sektor. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan sumber daya alam) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain
•
Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program pengelolaan sumber daya alam, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan sumber daya alam.
•
Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan sumber daya alam selain dana yang memadai juga harus didukung oleh sumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan sumber daya alam (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup.
13
•
Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian; eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang semestinya.
•
Lemahnya implementasi paraturan perundang-undangan. Peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi dalam implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundang-undangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuannya.
•
Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan perundang-undangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat lemah didalam pemberian sanksi hukum.
•
Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini, perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi dapat juga
14
masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup. •
Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang
sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-temurun. Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerahdaerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifakasi satu per satu, yang kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta di atas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah kondisi lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah jelek? Hal ini sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik tsunami, gempabumi, banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang mengharapkan itu semua terjadi. Sebagian bencana alam juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.
15
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan secara yuridis yang mendasarkan pada kaidahkaidah hukum publik.
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah secara deskriptif analitis, artinya suatu cara pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan memamarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta – fakta yang tampak sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis secara objektif. Deskriptif artinya memberikan gambaran tentang objek yang diteliti, yaitu segala ketentuan dan prosedural yang berhubungan dengan otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam. Sedangkan analitis artinya melakukan kajian deduktif, yaitu kajian yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan (yang merupakan pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus) terhadap objek penelitian. Analitis ini dilakukan dalam rangka menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
C. Metode Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang lengkap, diperlukan data yang bersifat primer dan sekunder.
16
1. Data Primer Adalah data yang diperoleh melalui penelitian di lapangan dengan cara : a. Observasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek yang diteliti. b. Wawancara, yaitu dengan melakukan wawancara langsung secara terpimpin. Dalam hal ini dipersiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan sebagai pedoman , tetapi masih dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan. 2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung, dalam arti bahwa data ini diperoleh dari buku-buku karya ilmiah para sarjana, peraturan perundangundangan, catatan-catatan, arsip-arsip.
D. Metode Penyajian Data Data Primer dan Data Sekunder yang telah diperoleh selama penelitian disajikan dalam bentuk laporan sesuai dengan sifat data itu sendiri.
E. Metode Analisis Data Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh, dipilih dan disusun secara sistematis untuk kemudian dianalisa secara kualitatif untuk menggambarkan hasil penelitian, selanjutnya disusun dalam karya ilmiah.
17
Data-data yang telah terkumpul diteliti dan dianalisis dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yaitu pola berfikir yang mendasarkan dari suatu fakta yang sifatnya umum kemudian ditarik kesimpulan yang sifatnya khusus.
18
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembangunan Berkelanjutan atau sustainable development sebenarnya bukanlah suatu konsep yang baru di tingkat global maupun nasional. Namun dalam pelaksanaannya masih belum dipahami dengan baik, karena masih banyak menimbulkan kerancuan pada tingkat kebijakan dan pengaturan serta mempunyai banyak hambatan pada tataran implementasi atau pelaksanaan. Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian sebagai pembangunan yang memperhatikan dan mempertimbangkan dimensi lingkungan hidup. Dalam pelaksanaannya konsep tersebut sudah menjadi topik pembicaraan dalam konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang menganjurkan
agar
pembangunan
dilaksanakan
dengan
memperhatikan
faktor
lingkungan, menurut Siti Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm telah membahas masalah lingkungan serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development). Dilaksanakannya konferensi tersebut adalah sejalan dengan keinginan dari PBB untuk menanggulangi dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi, bertepatan dengan di umumkannya “Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke–2” (The Second UN Development Decade) yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970. Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan
19
tindakan nasional serta Internasional guna menanggulangi “proses pemerosotan kualitas lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang Umum PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada Panitia Persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada usaha “melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang sedang berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan secara serasi kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana Pembangunan Nasional. Amanat inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm yang dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal konsep Pembangunan Berkelanjutan. Pengaruh Konferensi Stocholm terhadap gerakan kesadaran lingkungan tercermin dari perkembangan dan peningkatan perhatian terhadap masalah lingkungan dan terbentuknya perundang-undangan nasional di bidang lingkungan hidup, termasuk di Indonesia. Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disahkan oleh resolusi SU PBB No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya Deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-negara yang terlibat dalam konferensi ini dapat dilihat dari penilaian negara peserta yang mengatakan bahwa deklarasi dianggap sebagai “a first step in developing international environment law”. Bagi Indonesia konsep ini sebenarnya merupakan suatu konsep yang relatif baru. Menurut Emil Salim, inti pokok dari Pembangunan yang lama tidak mempertimbangkan lingkungan, dan memandang kerusakan lingkungan sebagai biaya yang harus dibayar. Walaupun demikian konsep ini sebenarnya sudah dibahas mendahului Konferensi Stockholm dalam Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional di Bandung tanggal 15-18 Mei 19972 sedangkan Konferensi Stockholm berlangsung tanggal 15-18 Juni 1972. Menurut Daud Silalahi Seminar Nasional
20
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional 1972 di UNPAD yang bekerjasama dengan BAPPENAS telah mengawali konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan (ecodevelopment). Menurut pendapatnya pertemuan ini membawa pengaruh pada pengaturan hukum lingkungan dan pada konsep pembangunan dengan
masuknya
pertimbangan
lingkungan
dalam
setiap
keputusan
rencana
pembangunan. Seminar Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional (1972) dengan tema “hanya dalam lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik, dan hanya dengan lingkungan akan berkembang ke arah yang optimal”. Otto Sumarwoto menilai seminar tersebut sebagai suatu tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup di Indonesia. Karena itu perbincangan tentang pembangunan tentang Pembangunan Berkelanjutan sudah dibahas di Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, namun hingga sekarang masih menjadi masalah yang belum dapat diwujudkan secara baik. Dalam kurun waktu tersebut bangsa Indonesia telah berusaha untuk menjadikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai pembangunan yang berkelanjutan bahkan ditambah dengan berwawasan lingkungan, namun prakteknya menunjukkan lain. Dalam gambaran tentang kondisi umum mengenai pengelolaan Sumber daya alam dan lingkungan hidup, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menyebutkan bahwa Konsep Pembangunan Berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah sebuah harapan yang harus diwujudkan dan dalam upaya mewujudkannya itu peranan hukum menjadi sangat relevan.
21
2.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP .
Istilah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yang kita pergunakan disini merupakan terjemahan dari “sustainable development” yang sangat populer dipergunakan di negara-negara Barat. Istilah Pembangunan Berkelanjutan secara resmi dipergunakan dalam Tap MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN, sedangkan istilah Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan Hidup digunakan dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu juga dikenal ada istilah lingkungan dan pembangunan, sedang sebelumnya lebih popular digunakan istilah Pembangunan yang berwawasan Lingkungan sebagai terjemah dari Eco-development. Sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Pertama kali istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the conservation of nature, lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam bukunya Building a Suistainable Society (1981). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat popular melalui laporan Bruntland, Our Common Future (1987). Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang akhirnya pada konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil, paradigma Pembangunan Berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia. Perkembangan kebijakan lingkungan hidup, menurut Koesnadi Hardjasoemantri, didorong oleh hasil kerja World Commission on Environment and Development, disingkat WCED. WCED dibentuk PBB memenuhi keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161 dan dipimpin oleh Nyonya Gro Harlem Bruntland (Norwegia) dan dr.
22
Mansour Khalid (Sudan), salah satu anggotanya dari Indonesia adalah Prof. Dr. Emil Salim. Salah satu tugas WCED adalah mengajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkungan menuju pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya. WCED telah memberikan laporannya pada tahun 2000 yang diberi judul “Our Common Future” yang memuat banyak rekomendasi khusus untuk perubahan institusional dan perubahan hukum. Sedangkan Soerjani menambahkan bahwa panitia ini menghasilkan laporan yang berjudul “Our Common Future” pada tahun 1987. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul “Hari Depan Kita Bersama” 1988. Salah satu tonggak penting yang di pancangkan oleh panitia ini adalah agar pemahaman tentang perlunya wawasan lingkungan dalam Pembangunan di praktekkan di semua sektor dan terkenal dengan istilah “Sustainable Development”. Dalam laporan WCED “Our Common Future” ditemui sebuah rumusan tentang “Sustainable Development” sebagai berikut: “Suistainable Development is defined as development that meet the needs of the present without comprosing the ability of future generations to meet their own needs”. Ada beberapa penekanan yang kita temukan dalam terjemahan rumusan ini. Dalam terjemahan Laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan disebutkan “Umat memiliki kemampuan untuk menjadikan pembangunan ini berkesinambungan (sustainable) untuk memastikan bahwa Pembangunan ini dapat memenuhi kebutuhanya” . Selanjutanya dalam laporan Komisi Dunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan tentang “Hari Depan Kita Bersama” (1988) dikemukakan
beberapa
penegasan lebih lanjut tentang pembangunan berkelanjutan ini. Dikatakan konsep pembangunan yang berkesinabungan memang mengimplikasikan batas - bukan batas absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi dan organisasi sosial
23
sekarang ini mengenai sumber daya lingkungan serta oleh kemampuan biosfer menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia, akan tetapi teknologi untuk memberi jalan bagi era baru pertumbuhan ekonomi. Kemudian ditambahkan pula bahwa Pembangunan global yang berkesinambungan juga mensyaratkan mereka yang hidup lebih mewah untuk mengambil gaya hidup dalam batas-batas kemampuan ekologi planet ini dalam hal penggunaan energi, misalnya. Lebih lanjut penduduk yang bertambah cepat dapat meningkatkan tekanan pada sumber daya dan penyelamatan naiknya taraf hidup, jadi pembangunan yang berkelanjutan hanya dapat dikejar bila besarnya populasi penduduk dan pertumbuhan selaras dengan potensi produktif yang terus berubah dari ekosistem. Akhirnya pembangunan yang berkelanjutan bukanlah suatu tingkat keselarasan yang tetap, akan tetapi lebih berupa suatu proses dengan pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan yang konsisten dengan kebutuhan hari depan dan kebutuhan masa kini. Kami menyadari bahwa proses itu tidak mudah. Pilihan-pilihan yang menyakitkan harus dibuat. Jadi dalam analisis akhirnya, pembangunan yang berkelanjutan pasti bersandar pada kemauan politik. Dalam menanggapi rumusan Pembangunan Berkelanjutan, Emil Salim dalam terjemahan laporan ke dalam bahasa Indonesia mengemukakan bahwa rumusan pembangunan berkelanjutan memuat dua konsep pokok yakni, pertama, konsep “kebutuhan”, khususnya kebutuhan pokok kaum miskin sedunia, terhadap siapa prioritas utama perlu diberikan; dan kedua, gagasan keterbatasan yang bersumber pada keadaan teknologi dan organisasi sosial yang dikenakan terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa depan. Dengan demikian keprihatinan kemiskinan dan ikhtiar menanggapi keterbatasan akibat keadaan teknologi dan organisasi
24
sosial
menjadi
latar
belakang
pembahasan
masalah-masalah
lingkungan
dan
pembangunan. Selain hal itu dikemukakan ada beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasari konsep pembangunan berkelanjutan ini, yaitu : Pertama, proses pembangunan itu mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus di topang oleh sumber daya alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berlanjut, Kedua, sumber daya alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas, sehingga penggunaannya akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya. Penurunan itu berarti berkurangnya kemampuan sumber daya alam tersebut untuk menopang pembangunan secara berkelanjutan, sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber daya alam dengan sumber daya manusia. Ketiga, kualitas lingkungan berkolerasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin baik kualitas lingkungan, semakin posistif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan usia hidup, pada turunnya tingkat kematian dan lain sebagainya. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan, akan memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup. Keempat, pembangunan berkelanjutan menumbuhkan solidaritas transgenerasi, dimana pembangunan ini memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pandangan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Ignas Kleden yang antara lain menyatakan bahwa ada dua hal yang dipertaruhkan disini, yaitu daya dukung sumber-sumber daya tersebut, dan solidaritas transgenerasi; maksudnya adalah bagaimana kita mengekang diri untuk tidak merusak sumber-sumber daya yang ada, agar
25
dapat bersikap adil terhadap masa depan umat manusia. Kegagalan kita untuk memelihara daya dukung sumber-sumber daya itu akan menyebabkan kita berdosa karena telah melakukan sesuatu (sin of commission) sementara kegagalan untuk mewujudkan solidaritas transgenerasi itu akan menyebabkan kita berdosa karena telah melalaikan sesuatu. Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan tidak lepas dari berbagai interpretasi. Moeljarto Tjokrowinoto misalnya menyebutkan ada interpretasi yang lahir dari pemikiran kaum environmentalist dan ada pula interpretasi yang datang dari para pakar lembaga-lembaga donor. Kedua interpretasi pembangunan berkelanjutan tadi mempunyai implikasi administratif tertentu. Menurut Moeljarto munculnya konsep pembangunan berkelanjutan didorong oleh kenyataan tingginya mortality rate proyekproyek pembangunan di negara berkembang. Alokasi input yang berkesinambungan tidak menjadikan proyek pembangunan tadi berkembang dengan kekuatan tersendiri. Dikatakan pula bahwa sustainable development atau pembangunan berkelanjutan ini mungkin diwujudkan melalui keterkaitan (interlinkages) yang tepat antara alam, aspek sosio-ekonomis dan kultur. Dikatakan juga bahwa sustainable development bukanlah suatu situasi harmoni yang tetap dan statis, akan tetapi merupakan suatu proses perubahan dimana eksploitasi sumber daya alam, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, perubahan kelembagaan konsisten dengan kebutuhan pada saat ini dan di masa mendatang. Pandangan lain diungkapkan Sonny Keraf. Dikemukakannya bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kritik pembangunan di satu pihak tetapi di pihak lain adalah suatu teori normatif yang menyodorkan praksis pembangunan yang baru sebagai jalan keluar dari kegagalan developmentalisme selama ini.
26
Sedangkan menurut Mas Achmad Santoso istilah sustainable development mengandung berbagai penafsiran yang berbeda-beda karena terminologi pembangunan berkelanjutan sangat terbuka untuk ditafsirkan dengan berbagai pengertian. Disamping konsep sustainable development yang berasal dari WCED, muncul pula batasan tentang pembangunan yang didukung oleh Bank Dunia, World Conservation Society (IUCN) serta IUCN bersama UNEP dan WWF yang antara lain menekankan pada perbaikan sosial ekonomi, pelestarian sumber daya alam dan perhatian pada daya dukung sumber daya alam serta keanekaragamannya dalam jangka panjang. Konsep ini dirumuskan dalam apa yang dinamakan “ Carrying for the Earth: The Strategy for Sustainable Living”
menggantikan World Conservation Strategy (WCS). Dalam
rumusan Carrying for the Earth disingkat CE (1991) perumusan tentang sustainable development digariskan sebagai berikut: “improving the quality of human life while living within the carrying capacity of supporting ecosystem. A sustainable economy is the product of sustainable development. It maintains natural resources base, it can continue to develop by adopting and through improvement in knowledge, organization, technical efficiency and wisdom”. Konsep pembangunan berkelanjutan ini mengakui tentang pentingnya peranan hukum untuk menopang terlaksananya pembangunan berkelanjutan. Menurut Koesnadi Hardjosoemantri, pertama kali dalam evolusi konsep pembangunan berkelanjutan telah dilakukan upaya untuk menggariskan kerangka hukum yang komprehensif guna menetapkan pembangunan berkelanjutan. Dalam mengemukakan pentingnya mekanisme hukum dalam tingkat nasional, regional dan global dalam menetapkan dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan. CE menyatakan bahwa hukum lingkungan, dalam pengertiannya yang luas, adalah sarana esensial bagi mencapai keberlanjutan.
27
Konsep pembangunan berkelanjutan dikembangkan lebih jauh dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio de Jenairo pada tanggal 3-14 Juni 1992, konferensi ini merupakan momentum global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan membentuk kemitraan dunia untuk mencapai kehidupan dan kualitas dunia, yang lebih baik. Konferensi ini menghasilkan banyak keputusan penting antara lain “The Rio Declaration on Environment and Development” dan agenda 21. Prinsip pertama dari Rio Declaration menyatakan bahwa:” human beings are as the center of the concern for sustainable development. They are entitled to a healthy and productive life in harmony with nature (manusia merupakan perhatian dari pembangunan berkelanjutan. Mereka berhak untuk mendapatkan suatu kehidupan yang baik dan produktif yang harmonis dengan alam). Selanjutnya berdasarkan Agenda 21, pada tahun 1992 telah diselenggarakan Sidang Umum PBB dan The Economic and Social Council (ECOSOC) yang membentuk Commision on Sustainable Development (CSD) yang beranggota 53 negara yang dipilih oleh ECOSOC dengan memperhatikan kelayakan distribusi geografis. Sekretariat CSD berkedudukan di New York dan pertemuan-pertemuan diselenggarakan di New York dan Genewa. CSD bertujuan untuk : “ ensure the effective follow-up of UNCED, as well as to enhance international cooperation and rationalize the intergovermental decision making capacity for the integration of environment and development issues and to examine the progress of the implementation of agenda 21 at the national, regional and international levels, fully guided by the principles of the Conference, in other to achive sustainable development. Dengan demikian sudah ada suatu badan dunia yan menangani pengembangan pembangunan berkelanjutan yang meliputi tatanan nasional, regional dan global.
28
Pertemuan terakhir yang membahas tentang pembangunan berkelanjutan ini adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan (2002) sebagai kelanjutan dari KTT Rio de Jenairo. Dalam KTT ini lebih ditegaskan lagi mengenai perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan tidak saja harus dilihat sebagai pembangunan ekonomi semata, akan tetapi harus memperhatikan dimensi sosial yaitu tentang manusianya sendiri dan alam ciptaan Tuhan yang dianugrahkan kepada manusia. Melalui pendekatan tersebut maka pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mempunyai dasar dan landasan yang lebih kokoh untuk diterapkan, hanya saja konsep tersebut masih harus di sosialisasikan secara lebih luas. Sebagai tindak lanjut dari seminar pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan nasional (1972) untuk tingkat nasional dan UN conference on the human and environment (1972) untuk tingkat global pemerintah tidak hanya memasukkan aspek lingkungan hidup dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tetapi juga membentuk institusi atau lembaga yang membidangi lingkungan hidup, sejak tahun 1973 aspek lingkungan hidup masuk dalam GBHN. Kemudian pengelolaan lingkungan hidup dimasukkan ke Repelita II dan berlangsung terus dalam GBHN 1978 dengan penjabarannya dalam Repelita III. Pada tahun 1978 dibentuk Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang kemudian pada tahun 1982 diubah menjadi Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian pada 1992 dirubah menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) sampai sekarang. Kelembagaan ini mempunyai peranan penting dalam memberi landasan aspek lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di negara kita.
29
Pada tahun 1982 telah diundangkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1982 (LN 1982 No. 12) tentang ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan hidup (UULH) secara terpadu dengan mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan pelaksanaan pembangun-an dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan” Undang-Undang ini mempunyai arti penting tersendiri, menurut Siti Sundari Rangkuti UULH ini mengadung berbagai konsepsi dari pemikiran inovatif dibidang hukum lingkungan baik nasional maupun internasional yang mempunyai implikasi terhadap pembinaan hukum lingkungan Indonesia, sehingga perlu dikajinya perundang-undangan lingkungan modern sebagai satu sistem keterpaduan. Dalam Pasal 4 huruf d Undang-Undang ini disebutkan bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah “terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang”. Mengenai pengertian pembangunan bewawasan lingkungan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 yang menyatakan bahwa “pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan terencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup”. Penjelasan UULH (TLN.3215) dinyatakan bahwa penggunaan dan pengelolaan sumber daya secara bijaksana berarti senantiasa memperhitungkan dampak kegiatan tersebut terhadap lingkungan serta kemampuan sumber daya alam untuk menopang pembangunan secara berkesinambungan. Ketentuan tersebut selain menggunakan istilah “pembangunan berwawasan lingkungan” juga menggunakan istilah “pembangunan berkesinabungan” istilah yang disebutkan terakhir dapat juga dijadikan acuan istilah sustainable
30
development
karena kata “berkesinabungan” dan “berkelanjutan “ dalam bahasa
Indonesia mempunyai makna yang sama. Hal lain yang ditegaskan kembali dalam Pasal 3 tentang asas pengelolaan lingkungan hidup. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa “pengelolaan Lingkungan Hidup Berazaskan Pelestarian Kemampuan Lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Sedangkan
penjelasannya
menyatakan
bahwa
pengertian
pelestarian
mengandung makna tercapainya kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dan peningkatan kemampuan tersebut. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang dapat dicapai kehidupan yang optimal. Berdasarkan uraian tersebut diatas, UULH ini mengandung pengertian bahwa pembangunan yang berwawasan lingkungan hanyalah satu bagian dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 1 angka 13) atau sebagai penunjang dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 3). Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 4 Tahun 1982 dicabut dan digantikan dengan UU No. 23 Tahun 1997 (LN 1997:68) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Dalam UUPLH ini tidak lagi diadakan pembedaan antara pembangunan yang berwawasan lingkungan dengan pembangunan yang berkesinambungan seperti dikemukakan di atas akan tetapi UUPLH ini menggunakan istilah baru lagi yaitu “Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup”. Konsideran UU No. 23 Tahun 1997 antara lain menjelaskan tentang mengapa kita harus melaksanakan ‘Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup” seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka mendaya-gunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu
31
dilaksanakan
pembangunan
berkelanjutan
berdasarkan
kebijaksanaan
nasional
yang
yang
berwawasan
terpadu
dan
lingkungan
menyeluruh
hidup dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Penegasan tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan pengelolaan SDA sebagai suatu asset mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam pertimbangan berikutnya (huruf c) ditegaskan bawa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi selaras dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dalam pertimbangan ini pengelolaan lingkungan hidup dianggap sebagai penunjang terhadap pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan. Dalam UUPLH ini diperkenalkan suatu rumusan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup (Pasal 1 butir 3). Disebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Selanjutnya dalam UUPLH ini dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu sistem pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 3 yang menyatakan: “pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
32
Mengenai “asas berkelanjutan” penjelasan UUPLH (TLN 3699) menyatakan “asas berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuannya dalam meningkatkan pembangunan. Hal ini kemudian ditegaskan dalam UUD 1945 amandmen ke-4 (2002) yang menambahkan ayat (4) dan (5) terhadap Pasal 33 yang sebelumnya tidak pernah mengalami perubahan yang menyebutkan: a) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi nasional. b) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanan pasal ini diatur dalam undangundang. Sejalan dengan pembahasan tersebut juga diadakan perubahan terhadap judul Bab XIV Undang-Undang Dasar yang melengkapi pasal tersebut dan judul semula “Kesejahteraan Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Dalam konteks ini tampak ada penonjolan dimensi ekonomi dalam penguasaan sumber daya alam, yang perlu mendapat perhatian adalah aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan bukan hanya berada dalam dimensi ekonomi belaka tetapi juga dalam dimensi kehidupan menusia termasuk dimensi sosial budaya, kesejahteraan sosial pada dasarnya juga harus menonjolkan aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan dengan demikian konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada umumnya dan sistem hukum lingkungan
33
pada khususnya. Walaupun penjabarannya dalam pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya alam masih belum begitu tampak secara jelas.
3.
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Pengaturan tentang bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sudah dilakukan sejak berdirinya Negara Republik Indonesia. Selain Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan dasar, ada seperangkat Undang-Undang yang mengatur tentang hal tersebut, antara lain Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan pokok Kehutanan, kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang no. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok Pertambangan yang direncanakan akan diganti dalam waktu dekat, Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan, berikut seperangkat ketentuan pelaksanaannya, selain hal itu juga peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan yang telah kita sebutkan di atas dan seperangkat ketetapan MPR yang mengatur tentang hal ini seperti TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang pembaharuan Agraria dan Pengelolaan sumber daya alam. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah dirubah dalam Tahun 2002 berbunyi selengkapnya : 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi Negara. 3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
34
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam UndangUndang Pengelolaan sumber daya alam adalah seperti apa yang disebutkan dalam ayat (3) yaitu melingkupi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. Ketentuan ini kemudian diperluas dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dengan menambah unsur ruang angkasa sehingga meliputi “ Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan penegasan tentang dua hal yaitu: 1. Memberikan kekuasaan kepada negara untuk “menguasai” bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sehingga negara mempunyai “Hak Menguasai”. Hak ini adalah hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak penguasaan sumber daya alam di Indonesia. 2. Membebaskan di satu sisi serta memberikan kewajiban di sisi lain kepada negara untuk mempergunakan sumber daya alam yang ada untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menunjukkan kepada kita bahwa rakyatlah yang harus menerima manfaat kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di Indonesia. Secara singkat pasal ini memberikan hak kepada negara untuk mengatur dan menggunakan sumber daya alam yang wajib ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia, juga
35
membebankan suatu kewajiban kepada negara untuk menggunakan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, bilamana hal ini merupakan kewajiban negara, maka pada sisi lain adalah merupakan hak bagi rakyat Indonesia untuk mendapat kemakmuran melalui pengelolaan sumber daya alam. Pertanyaan yang muncul adalah rakyat Indonesia yang mana yang paling berhak untuk mendapatkan kemakmuran dari pengelolaan sumber daya alam Indonesia? Pada dasarnya seluruh rakyat Indonesia yang berdiam di seluruh wilayah Negara Kesatuan Indonesia pada tingkat atau lapisan manapun mempunyai hak yang sama untuk menikmati kemakmuran tersebut, namun kalau kita membicarakan siapa yang lebih diutamakan tentu saja masyarakat yang berada disekitar sumber daya alam itu berada harus lebih diutamakan dari mereka yang bertempat tinggal jauh dari sumber daya alam yang dimaksud. Hal ini ditegaskan antara lain dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tetang penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya yang berkeadilan serta perimbangan keuangan Pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa keseluruhannya. Dalam pasal ini disebutkan lebih dahulu masyarakat daerah dari bangsa Indonesia secara keseluruhan. Mengisyaratkan kepada kita bahwa masyarakat setempat harus diberikan prioritas haknya untuk menikmati kemakmuran dalam pemanfaatan sumber daya alam ketimbang orang-orang yang jauh bertempat dari sumber daya alam dimaksud. Hak ini telah diberi penekanan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai reaksi dari apa yang selama ini dikenal hegemoni pusat. Orang-orang yang ada di pusat lebih banyak menikmati kemakmuran dari pada masyarakat daerah atau masyarakat setempat. Selain itu kemakmuran dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam bukan
36
hanya sekedar menjadi hak dari generasi masa kini saja. Anak cucu kita sebagai generasi mendatang juga mempunyai hak yang sama untuk menikmati kemakmuran dari pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia. Karena itu kemakmuran yang ingin diwujudkan menurut Undang-Undang Dasar adalah bersifat transgeneration dan oleh karenanya hak untuk mendapat kemakmuran harus berkesinambungan atau berkelanjutan (sustainable). Karena hal ini sejalan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan . Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam dimaksud diatur dalam Bab IV tentang wewenang pengelolaan lingkungan hidup. Secara umum dalam Pasal 1 angka 10 disebutkan bahwa sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan. Pasal 8 Undang-Undang ini menentukan: 1. Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah. 2. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah: a) Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. b) Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika. c) Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika.
37
d) Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial. e) Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku 3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Kemudian dalam Pasal 9 ayat (3) dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konsensus sumber daya alam hayati dan eksistensinya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam yang dikaitkan dengan pembangunan yang berkelanjutan tampak dengan jelas dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pasal 3 dari Undang-Undang ini misalnya menentukan: “Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan: a) Menjamin keberadaan hutan dengan luasnya yang cukup dan sebaran yang proporsional. b) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi komunikasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari. c) Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai. d) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal, dan
38
e) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Karena itu Undang-Undang ini menganut prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan atau “sustainable forest management”. Selanjutnya UU lain yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam adalah UU No. 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Dalam Lampiran UU tersebut Bab II Kondisi Umum arah kebijakan pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup disebutkan: 1. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari satu generasi ke generasi lain. 2. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan. 3. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur dengan Undang-Undang. 4. Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya diatur dengan Undang-Undang. 5. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan, keterbatasan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.
39
Lima prinsip ini kemudian dijabarkan lebih jauh dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam gambaran umum mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup ditegaskan bahwa peran pemerintah dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus dioptimalkan karena sumber daya alam sangat penting peranannya terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak, restribusi dan bagi hasil yang jelas dan adil serta perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan otonomi daerah pendayagunaan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dimaksud untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya fungsi lingkungan. Ditegaskan lebih jauh dalam UU ini, dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, kebijakan di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya: 1. Mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya. 2. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan . 3. Mendelegasikan kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap. 4. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat global.
40
5. Menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. 6. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu, dan 7. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global. Bilamana kita teliti pengarusutamaan tentang rencana pembangunan sebagaimana disebutkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tersebut khususnya yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup – menggambarkan telah dimasukkannya perkembangan pemikiran di bidang lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga cukup beralasan bahwa di Indonesia, pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup telah dilaksanakan walaupun mungkin baru sebatas dalam aturan hukum. Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah Tap MPR/IX/2001 tentang pembaharuan Agraria dan pengelolaan Sumber daya alam Pasal 3 ketetapan ini menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, lautan dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kemudian dalam Pasal 4 ditentukan bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: a) Memelihara dan mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. b) Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. c) Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum.
41
d) Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia e) Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat. f) Mewujudkan peruntukan,
keadilan
termasuk
penggunaan,
kesetaraan
pemanfatan
dan
gender
dalam
pemeliharaan
penguasaan, sumber
daya
agraria/sumber daya alam. g) Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi
sekarang
maupun
generasi yang akan datang, dengan tetap
memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan h) Melaksanakan fungsional, kelestarian, dan fungsi ekologi sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. i) Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar pembangunan antar daerah dalam pelaksanaan pembangunan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. j) Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam. k) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat) masyarakat dan individu. l) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan, ditingkat nasional, daerah propinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alasan dan pengelolaan sumber daya agraris/sumber daya alam. Prinsip-prinsip ini memberikan landasan formal pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
42
Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2) ketetapan ini menentukan bahwa arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah: a) Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sosialisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini. b) Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan c) Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional. d) Memeperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut. e) Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai mana dimaksud Pasal 14 ketetapan ini. f) Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
43
g) Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional. Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia secara umum sudah mempunyai landasan formal yang cukup kuat dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berbasis pembangunan berkelanjutan. Namun apakah dalam realitanya memang sudah seperti apa yang ditentukan dalam ketentuan dimaksud? Dalam gambaran tentang kondisi umum mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
UU No. 17 Tahun 2007 tentang
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 menentukan : konsep pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali dengan akibat perusakan lingkungan yang mengganggu pelestarian alam; ungkapan ini menunjukkan adanya pengakuan dari lembaga negara di Indonesia tentang masih belum terlaksananya pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Konsideran Tap IX/MPR/2001 menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya agraria/ sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Kemudian disebutkan pula bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria atau sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan. Persoalan ini tidak hanya dihadapi di Indonesia akan tetapi juga berlaku secara global dan proses globalisasi itu sendirilah sebenarnya yang memperlemah pelaksanaan
44
pembangunan berkelanjutan, seperti yang dikatakan oleh Martin Khor bahwa proses globalisasi telah semakin mendapat kekuatan, dan proses tersebut telah dan akan semakin menenggelamkan agenda pembangunan berkelanjutan. Dalam tulisannya, Sonny Keraf menyebutkan ada dua penyebab kegagalan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Menurut pendapatnya salah satu sebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma tersebut adalah, paradigma tersebut kurang dipahami sebagai prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Paradigma ini tidak dipahami sebagai bentuk prinsip pokok politik pembangunan itu sendiri. Pada akhir cita-cita yang dituju dan ingin diwujudkan dibalik paradigma tersebut tidak tercapai. Karena, prinsip politik pembangunan yang seharusnya menuntut pemerintah dan semua pihak lainnya dalam rencana dan implementasi pembangunan tidak dipatuhi dengan kata lain, paradigma pembangunan berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma pembangunan berkelanjutan bukti sebuah konsep tentang pembangunan lingkungan hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan juga bukan hanya tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik pembangunan mengenai pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunan itu seharusnya dijalankan. Dalam arti ini, selama paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut tidak dipahami, atau dipahami secara luas, cita-cita moral yang terkandung di dalamnya tidak akan terwujud . Alasan kedua, mengapa paradigma itu tidak jalan, khususnya mengapa krisis ekologi tetap saja terjadi, karena paradigma tersebut kembali menegaskan ideologi developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de Janeiro tujuh belas tahun lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi usulan tentang
45
pembangunan, dengan fokus utama berupa pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, selama tujuh belas tahun terakhir ini, tidak banyak perubahan yang dialami semua negara di dunia dalam rangka mengoreksi pembangunan ekonominya yang tetap saja sama, yaitu penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam dengan segala dampak negatifnya bagi lingkungan hidup, baik kerusakan sumber daya alam maupun pencemaran lingkungan hidup. Sekalipun pembangunan berkelanjutan berada pada suatu titik terendah, menurut Martin Khor, namun muncul juga tanda kebangkitannya kembali sebagai suatu paradigma. Keterbatasan dan kegagalan globalisasi telah menyebabkan munculnya reaksi negatif dari sebagian masyarakat yang pada akhirnya mungkin akan berdampak pada terjadinya perubahan sejumlah kebijakan. Dengan munculnya kekuatan pro pembangunan berkelanjutan dalam pemerintahan di negara-negara sedang berkembang (NSB) mereka menjadi lebih sadar akan hak-hak dan tanggungjawab untuk meralat berbagai persoalan yang ada pada saat ini termasuk mengubah sejumlah peraturan dalam WTO. World Summit On Sustainable Development - WSSD (Konferensi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan) memberikan kesempatan untuk memusatkan kembali perhatian masyarakat maupun upaya-upaya pemantapan, bukan semata-mata mengenai persoalan itu, melainkan juga kebutuhan untuk menggeser paradigma-paradigma. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia patut di catat penilaian dari D. Pearce & G Atkinson dalam tulisanya “A Measure of Sustainable Development” sebagaimana dikutip oleh Soerjani. Dua penulis ini menilai pembangunan Indonesia dinilai masih belum sustainable. Hal ini dengan alasan bahwa depresiasi sumber daya alam Indonesia besarnya adalah 17% dari GDB, sedangkan investasinya hanya 15 %. Pembangunan itu baru dinilai sustainable dalam memanfaatkan
46
sumber daya alam itu melalui rekayasa teknologi dan seni, sehingga kalau yang kita konsumsi nilai tambahnya, sangat mungkin dapat ditabung untuk investasi senilai 17% atau bahkan lebih. Jadi jelas bahwa kemampuan sumber daya manusia untuk memberi “nilai tambah” sumber daya pendukung pembangunan melalui penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni merupakan kunci apakah pembangunan yang dilaksanakan itu sustainable berkelanjutan, berkesinambungan atau tidak. Dengan demikian sekalipun secara formal sudah jelas pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia harus berupa Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Hidup tetapi masih baru pada tataran das solen dan melalui perangkat hukum diharapkan dapat diwujudkan pada tataran das sein. Namun keberhasilan ini masih tergantung pada banyak faktor, selain faktor yang bersifat yuridis, juga politis dan budaya termasuk kondisi sumber daya manusia yang menjadi pelaksanaanya.
4.
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI ERA OTONOMI DAERAH
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa Otonomi Daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Konsep dasar dari Otonomi Daerah adalah memberikan wewenang kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya masing-masing sesuai dengan apa yang mereka kehendaki dan mereka butuhkan, dan pemerintah pusat akan membantu dan memelihara kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dilaksanakan didaerah
47
seperti masalah moneter, pembangunan jalan antar kota dan provinsi, maupun pemeliharaan sistem pengairan yang melintasi berbagai wilayah. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum dengan batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Tujuan dari Otonomi Daerah adalah : a.
Memberdayakan masyarakat.
b.
Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas.
c.
Meningkatkan peran serta masyarakat.
d.
Mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Dalam memahami penggunaan istilah perlu dipahami perbedaan pengertian antara
istilah desentralisasi dan dekonsentrasi. Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang ke daerah; sedangkan dekonsentrasi sebagai pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan atau perangkat pusat didaerah. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta
perimbangan
keuangan
pusat
dan
daerah
disamping
itu
penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua urusan pemerintahan, kecuali urusan
48
pemerintahan dibidang politk luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan agama, serta urusan pemerintahan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan). Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) merupakan urusan pemerintahan yang telah diserahkan ke daerah berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 tersebut. Pemanfaatan sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia sudah berlangsung sejak lama, dan ini adalah sangat manusiawi, yang jadi persoalan adalah dampak negarif dari kesalahan dalam pengelolaan tersebut. Di Indonesia kerusakan alam dan lingkungan sangat signifikan terjadi sejak orde baru, bahkan sampai era yang disebut sebagai era reformasi hal ini malah semakin tidak terkendali. Dalam soal koordinasi pengelolaan sumber daya alam misalnya, kekhawatiran munculnya ketidakpaduan cukup beralasan. Kekhawatiran ini bukan hanya karena UU No. 22 Tahun 1999 tidak tegas dalam soal itu tapi juga dikuatkan oleh pengalaman semenjak UU tersebut efektif diberlakukan sejak 1 Januari 2001. Hingga UU No. 22 Tahun 1999 direvisi pada tahun 2004 telah dikeluarkan berbagai bentuk peraturan perundangan dan kebijakan yang menampilkan aura ego sektoral yang berujung pada semakin kacaunya regulasi sumber daya alam. Eksesnya mudah untuk dilihat, yakni pengurasan dan pengrusakan terhadap sumberdaya hutan dan laut terus berlanjut tanpa menunjukan tanda-tanda berkurang, apalagi berhenti. Pengelolaan sumber daya alam selama ini yang telah mendatangkan berbagai dampak dan permasalahan berawal dari berbagai produk perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam memberikan legitimasi kepada praktek pemanfaatan
49
sumber daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan sumber daya alam dan kepentingan masyarakat daerah. Berbagai Undang-Undang yang mengatur tentang sumber daya alam mempunyai kelemahan substansial antara lain; •
Berorientasi pada ekspolitasi sumber daya alam untuk mengejar keuntungan ekonomi semata, sehingga lebih berpihak kepada para pengusaha besar.
•
Berpusat pada negara, sehingga menggunakan pendekatan kekuasaan secara sentralisitis.
•
Bersifat sektoral, sehingga banyak regulasi, kebijakan, kepentingan maupun pengelolaan yang tumpang tindih.
•
1.
Mengabaikan keadilan terhadap masyarakat daerah setempat.
Regulasi Peraturan Daerah tentang Sumber Daya Alam. Desentralisasi adalah salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintah
dengan rakyat. Dari sini ruang partisipasi rakyat demi demokratisasi terbuka. Dengan dekatnya ‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat dengan pembuat peraturan seharusnya, kontrol terhadap peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintahan daerah semakin besar. Namun, pengalaman belakangan ini menunjukkan bahwa kontrol baik dari rakyat maupun organisasi non pemerintah di daerah terhadap peraturan perundangundangan yang muncul sebagai penjabaran UU diatasnya sangat lemah. Sehingga sangat mungkin, peraturan-peraturan daerah ini justru malah bertolak belakang dari jiwa UU di atasnya tersebut. Hal-hal di atas terjadi walaupun advokasi kebijakan dan pengorganisasian serta pendampingan rakyat telah dilakukan baik bersama ornop maupun oleh rakyat sendiri. Refleksi beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kapasitas dan kualitas 50
pengawalan oleh rakyat beserta ornop dalam memulihkan kerusakan sosial dan ekologis ini masih relatif lemah1. Pemahaman tentang pokok permasalahan relatif masih tidak lengkap. Dalam banyak kasus, metode yang digunakan juga tidak dipahami secara kritis. Akibatnya, seringkali, alih-alih menyelesaikan masalah, justru telah menimbulkan masalah baru. Bahkan di beberapa wilayah ornop masih sibuk membenahi permasalahan internal organisasinya. Hal ini diakui memang terjadi, selain faktor tidak seimbangnya jumlah ornop yang ada (terlalu sedikit) dengan kerusakan-kerusakan yang harus dipulihkan. Seharusnya, ornop bersama rakyat memperkuat dirinya dengan mendalami substansi permasalahan juga metode untuk resolusi konflik. Selain itu pengorganisasian harus diperkuat dan sikap kritis dipertajam sehingga peraturan-pearatran daerah yang keluar dari pemerintahan daerah dapat mencerminkan aspirasi rakyat dan ditujukan untuk memulihkan kerusakan sosial dan ekologis yang selama ini terjadi. Sumber daya alam memang tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan, yaitu kepentingan negara, kepentingan modal
dan kepentingan rakyat. Konflik antar
kepentingan ini selalu memposisikan rakyat sebagai pihak yang kalah. Agenda desentralisasi yang dimaksudkan menyerahkan sejumlah kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah seharusnya memposisikan rakyat sebagai pelaku utama pengelolaan sumber daya alam. Namun, “segala penyakit yang tadinya ada di pemerintah pusat beralih ke pemerintahan daerah”. Selain landasan undang-undangnya sendiri yang harus direvisi, political will dari pemerintah daerah dan DPRD belum muncul serta struktur politik yang ada juga tidak memungkinkan perubahan.
1
Zakaria, Yando. 2003. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang disajikan dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat”
51
Contoh ;Rekapitulasi Tema Perda di Jawa Tengah 1999-2004 No.
Daerah
Kategori
Jumla h
Kelembaga an
Keuanga n
Paja k
Retribu si
Kesehat an
Tenagakerj a
Lainny a
1
Provinsi Jateng
12
13
6
17
3
4
17
72
2
Kota Semarang
7
11
8
9
2
1
8
46
3
Kudus
17
14
2
17
0
1
9
60
4
Pekalongan
17
11
5
12
0
1
5
51
5
Blora
11
7
2
13
1
2
0
36
6
Surakarta
9
14
1
14
2
0
4
44
7
Sragen
23
11
4
28
3
2
11
82
8
Purbalingga
27
15
2
15
2
3
5
69
9
Kebumen
20
10
1
25
2
1
29
88
10
Wonosobo
34
19
4
26
0
2
38
123
11
Cilacap
10
0
6
20
0
1
16
53
187
125
41
196
15
18
142
724
Jumlah
Sumber: Enny Nurbaningsih et al, Dinamika Implementasi Perda, 2006.
Sejalan dengan penyusunan dan pembahasan suatu Raperda Pengelolaan Sumber Daya Alam maka dalam proses penyusunan dan pembahasannya memperhatikan aspek demokrasi. Jika selama ini para stakeholders tidak dilibatkan secara optimal maka sekarang untuk Raperda-PSDA dapat diikutsertakan. Keikutsertaan para stakeholders yang meliputi antara lain pemerintah daerah, legislatif, kalangan dunia usaha, unsur dari masyarakat lokal/adat, unsur pencinta lingkungan dan sebagainya akan dapat memberikan masukan dan pertimbangan yang komprehensif terhadap substansi dan materi Raperda-PSDA. Dengan demikian proses penyusunan dan pembahasan Raperda secara demokratis akan melahirkan Raperda yang mampu menampung berbagai kepentingan dari para stakeholders dan sekaligus akan mengurangi kemungkinan masuknya substansi yang bersifat diskriminatif.
dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung,
52
Melalui proses penyusunan dan pembahasan yang demokratis diharapkan Raperda-PSDA yang akan mengatur kegiatan pengelolaan sumber daya alam di daerah ini dapat mengandung muatan nilai keadilan. Dengan demikian tidak akan ada lagi monopoli dari pihak tertentu dalam pengelolaan SDA. Semua kalangan dunia usaha diberi kesempatan secara fair untuk ikut serta dalam pengelolaan sesuai aturan main yang berlaku. Demikian juga daerah diberi kesempatan secara adil untuk dapat menikmati hasil pengelolaan sumber daya alam tersebut. Selanjutnya aspek keadilan ini hendaknya juga meliputi keadilan dalam kewenangan menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Jadi disamping kewenangan yang dimiliki pusat hendaknya daerah juga diberikan kewenangan dalam menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena pemerintah daerah lebih mengetahui dan memahami secara dekat dan langsung tentang kondisi daerah dan masyarakatnya. Desentralisasi kewenangan kepada daerah akan membatasi dominasi berlebihan pusat terhadap daerah. Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan merupakan suatu prinsip mutlak yang harus dimiliki oleh Raperda-PSDA yang akan disusun. Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang dimaksudkan disini diadaptasi dari definisi pembangunan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh World Commmision on Environment and Development (WCED) dalam Our Common Future yaitu ; “Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pemenuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang”.
Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
53
Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya alam yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang. Sumber daya alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana dengan baik sehingga dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Sedangkan SDA yang non renewable tidak dieksploitasi habis-habisan hanya demi kepentingan generasi sekarang. Melalui prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan ini diharapkan dari masa ke masa seluruh generasi anak bangsa ini akan dapat menikmati kekayaan potensi sumber daya alam yang dimiliki bangsanya. Melalui prinsip tersebut generasi mendatang tentu juga akan dapat belajar bagaimana mengelola sumber daya alam yang baik untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. Di Indonesia, instrumen hukum yang berkaitan dengan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup pada masa lalu memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan substansial seperti berikut: Pertama, berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (resources use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam. Hukum semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan peningkatan pendapatan dan devisa negara; Kedua, berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented), sehingga mengabaikan akses dan kepentingan serta mematikan patensi-potensi pekonomian masyarakat daerah;
54
Ketiga, menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat pada negara pemerintah (state-based resource management), sehingga orientasi pengelolaan sumberdaya alam bercorak sentralistik; Keempat, manajemen pengelolaan sumber daya alam menggunakan pendekatan sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem); Kelima, corak sektoral dalam kewenangan dan kelembagaan menyebabkan tidak adanya koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; dan Keenam, tidak diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia secara utuh, terutama hak-hak masyarakat daerah/lokal dan kemajemukan hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya berbagai kelemahan substansial di atas, maka sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan membuat undang-undang baru. seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (2) UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang saat ini telah direvisi, dan (3) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, persoalan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam masih belum terjawab dalam substansi maupun implementasi dari undang-undang tersebut, karena masih ditemukan kelemahankelemahan seperti berikut: Pertama, pemerintah masih mendominasi peran dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated resource management); kedua, keterpaduan dan koordinasi antar sektor masih lemah; ketiga, pendekatan dalam pengelolaan sumber daya alam tidak komprehensif; keempat, hak-hak masyarakat daerah/local atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum diakui secara
55
utuh; kelima, ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam masih diatur sacara terbatas; keenam, transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam belum diatur secara tegas. Sementara itu, beberapa undang-undang seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahaan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati; (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, mengatur prinsip-prinsip penting yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan. Tetapi, prinsip-prinsip global pengelolaan sumber daya alam antara lain seperti: konservasi dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, desentralisasi, dan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat/lokal, belum terakomodasi dan terintegrasi dalam undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang telah ada. Karena
itu,
persoalan-persoalan
mendasar
dalam
pengaturan
mengenai
pengelolaan sumber daya alam yang berpotesi mengancam kebelanjutan fungsi sumberdaya alam dan kelangsungan hidup bangsa perlu segera diselesaikan. Salah satu agenda nasional yang mendesak untuk direalisasikan untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, meningkatkan partisipasi masyarakat, transparansi dan mendukung proses demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam, menciptakan koordinasi dan keterpaduan antar sektor, serta mendukung terwujudnya good environmental governance, adalah membentuk peraturan perundang-undangan pengelolaan sumber daya alam yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, demokratis, dan berkelanjutan.
56
Dengan demikian masalah regulasi peraturan daerah tentang pengelolaan sumber daya alam di daerah sangat berkaitan dengan: 1. Visi dan misi strategi pembangunan daerah tidak terpadu (Political will) 2. Kapasitas Kelembagaan dan Kebijakan “Good Environment Governance” (GEG) Rendah 3. Menguatnya persepsi,sikap dan perilaku Egosentrisme/sektoral 4. Proses pembuatan Kebijakan
tidak melibatkan semua elemen masyarakat
(stakeholders) 5. Eksploitasi sumber daya alam untuk peningkatan PAD tidak diimbangi upaya konservasi 6. Memaksakan program yang tidak sesuai dengan peruntukan perencanaan tata ruang dan aspirasi masyarakat. 7. Proses perijinan usaha tidak transparan 8. Munculnya Konflik Kepentingan/antar Daerah 9. Lemahnya Penegakan Hukum 10. Alokasi Dana Pengelolaan SDA/LH minim Dengan memperhatikan aspek demokratis, keadilan dan berkelanjutan dalam penyusunan perda tentang pengelolaan sumber daya alam diharapkan berbagai permasalahan yang dialami dan hadapi dalam pengelolaan sumber daya alam selama ini dapat diatasi dengan baik dan juga dapat memenuhi kepentingan para stakeholders.
57
2.
Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam, seharusnya dilakukan
secara komprehensif dan terintegrasi serta mengarah kepada perbaikan 6 (enam) hal, yaitu: a. Lembaga Perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif (effective representative system); b. Peradilan yang bebas dari campur tangan eksekutif, bersih (tidak korup), dan professional; c. Aparatur pemerintah (birokrasi) yang professional dan memiliki integritas yang kokoh; d. Masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi public control (public watchdog) dan penekanan (pressure); e. Desentralisasi dan lembaga perwakilan Daerah yang kuat serta didukung oleh local civil society yang juga kuat (democratic decentralization); f. Adanya mekanisme resolusi konflik. Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan merupakan komitmen kelembagaan di tingkat global, yang tercantum dalam berbagai konvensi yang merupakan tindak lanjut dari KTT di Rio de Janeiro. Dalam Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan sebagai hasil WSSD dinyatakan di antaranya, bahwa Majelis Umum PBB harus mensahkan pembangunan berkelanjutan sebagai satu unsur kunci dalam menentukan kerangka kegiatan PBB khususnya untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan yang telah disepakati secara internasional, termasuk yang terdapat pada Deklarasi Millenium dan harus memberikan arahan politik yang menyeluruh terhadap pelaksanaan Agenda 21 dan pengkajiannya. Rencana tersebut menyatakan pula bahwa 58
Commission for Sustainable Development (CSD) harus terus menjadi komisi tingkat tinggi mengenai pembangunan berkelanjutan dalam sistem PBB dan berfungsi sebagai forum untuk membahas isu-isu yang berkaitan dengan integrasi ketiga dimensi pembangunan berkelanjutan. CSD harus memberikan penekanan yang lebih pada tindakan-tindakan yang mendukung pelaksanaan pada semua tingkatan, termasuk memajukan dan memfasilitasi kemitraan yang melibatkan pemerintah, organisasi internasional dan para pemangku kepentingan terkait untuk pelaksanaan Agenda 21. Rencana tersebut di atas menekankan pula perlunya lembaga-lembaga internasional, baik di dalam maupun di luar sistem PBB, termasuk lembaga keuangan internasional, WTO dan GEF, untuk memperkuat, dalam mandatnya, usaha kerjasama mereka untuk memajukan dukungan kolektif dan efektif bagi pelaksanaan Agenda 21 pada semua tingkatan. Pembangunan berkelanjutan merupakan pula komitmen regional. Dalam Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan dinyatakan bahwa pelaksanaan Agenda 21 dan hasil-hasil KTT harus secara efektif dilakukan pada tingkatan regional dan subregional, melalui komisi-komisi regional dan badan-badan serta lembaga-lembaga regional dan sub-regional lainnya. Komitmen regional di antaranya dapat dilihat dalam Asean Environmental Program (ASEP). Dalam Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan tercantum bahwa setiap
negara
mempunyai
tanggung-jawab
utama
terhadap
pembangunan
berkelanjutannya, dan peran dari kebijakan nasional dan strategi pembangunan sangatlah penting. Setiap negara harus memajukan pembangunan berkelanjutan pada tingkat nasional dengan antara lain, memberlakukan dan menegakkan Undang-Undang yang jelas dan efektif yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Semua negara harus
59
memperkuat lembaga-lembaga pemerintah, termasuk melalui penyediaan infrastrukturinfrastruktur yang diperlukan dan dengan memajukan transparansi, akuntabilitas dan lembaga-lembaga administrative dan lembaga-lembaga peradilan yang adil. Dengan pencantumannya dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dimulai dengan GBHN 1993 yang dipengaruhi oleh hasil UNCED pembangunan berkelanjutan senantiasa menjadi kebijakan nasional, yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai produk legislative pada tingkat nasional dan tingkat daerah, diantaranya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimasukkannya ketentuan tentang pembangunan berkelanjutan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional , serta Peraturanperaturan daerahnya masing-masing. Penerapan kebijakan tentang pembangunan berkelanjutan ini dalam praktek menimbulkan deviasi yang cukup jauh, yang diakibatkan oleh kurang singkronnya peraturan satu dengan yang lainnya dan oleh berbedanya persepsi para aparat penegak hukum tentang suatu peraturan. Cukup banyak peraturan yang ketentuan-ketentuannya dapat diinterpretasikan berbeda-beda (multi interpretable) yang mempengaruhi pelaksanaan yang sering bertubrukan satu dengan yang lainnya. Penguatan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam membawa kepada keharusan adanya sinkronisasi pelaksanaan agar terdapat penanganan terpadu dengan pendekatan lintas sector dan multi-serta interdisipliner. Penguatan Kelembagaan Pengolaan sumber daya alam antara lain dilaksanakan dengan: a. Mendorong diterapkannya prinsip pembangunan berkelanjutan. b. Meningkatkan “Political Will” dan kapasitas pengelolaan sumber daya alam.
60
c. Meningkatkan keterlibatan & tanggung jawab semua pihak (Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat). d. Pengembangan berbagai kebijakan, norma, standar, pedoman dan melakukan pembinaan dan supervisi. e. Memperjelas urusan wajib pemerintahan daerah dalam “pengendalian LH” berkaitan dengan SPM f. Pengembangan pendelegasian sebagian kewenangan Pemerintah melalui dekonsentrasi dan tugas pembantuan g. Pengembangan SDM-LH melalui Diklat. h. Penataan sarana dan prasarana kerja. i. Pengembangan sistem monitoring dan evaluasi serta data base kelembagaan sumber daya alam di Daerah. j. Fasilitasi kerjasama antar Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. k. Pembinaan pelaksanaan program pengelolaan sumber daya alam. Sedangkan kendala dalam penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam antara lain: a. Fragmentaris – ego sektoral b. Inkonsistensi – disharmoni c. Political will lemah d. Sumber daya manusia lemah Pilar pilar penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dapat digambarkan sebagai berikut:
61
3.
Penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan UU No 32/2004 meletakkan otonomi atas dasar lima landasan yaitu:
(1) demokrasi, (2) partisipasi dan pemberdayaan, (3) persamaan dan keadilan, (4) pengakuan atas potensi daerah dan perbedaannya, (5) penguatan parlemen lokal Lima landasan tersebut apabila dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam maka hal tersebut merupakan landasan dalam proses pemberian ijin pengelolaan sumber daya alam di era otonomi daerah. Perijinan pengelolaan sumber daya alam adalah usaha mengoptimalkan sumber daya lokal yang melibatkan pemerintah, legislatif, dunia usaha, akademisi, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani (NGO) untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah. Proses perijinan merupakan suatu tahapan yang harus dilalui untuk keluarnya ijin. Dalam proses perijinan ini diperlukan beberapa dokumen yang terkait. 62
Gambaran sekilas dokumen pengelolaan sumber daya alam: a.
Feasibility Study untuk memberikan justifikasi ilmiah dalam perumusan Rancangan Peraturan Perundangan harus berpijak dari isu dan masalah lingkungan hidup yang dikaji secara obyektif, metodologis, futuristik yang
dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah b.
Menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi penyelenggara
kebijakan sesuai
paradigma Good Environment Governance (GEG) c.
Memberikan
ruang aspirasi dan partisipasi semua pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam proses perencanaan, perumusan, penetapan dan implementasi kebijakan d.
Memberikan jaminan kepastian dan
perlindungan hukum bagi
semua
pelaku
lingkungan dari risiko yang mungkin terjadi akibat kerusakan lingkungan.
IJIN LOKASI
IJIN OPERASI 1.FS 2.AMDAL RKL/RPL 3. AUDIT L
Pengembangan dan Penguatan Kemitraan
Identifikasi Stakeholder
IJIN PRINSIP
Penetapan Faktor Pengungkit
Pemetaan Status PEL
Pengumpulan Data
Analisis Data
TAHAP I
TAHAP II
Penyusunan Rencana Tin Dokumen Pengelolaan SDA.LH Penyusunan
RPJM/D
TAHAP III
RKPD
APBD
OPERASIONAL
PENEGAKAN HUKUM LEMAH
Pengelolaan SDA
TAHAP IV
Monitoring dan Evaluasi Pengelolan SDA
TAHAP V
21
Bagan Proses Perijinan 63
Kumpulan dokumen yang sangat terkait dengan proses perijinan adalah Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Amdal merupakan studi mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh suatu rencana kegiatan atau usaha / studi ilmiah yang memberikan informasi ada/ tidaknya dampak negatif yang merupakan suatu kewajiban untuk terbitnya ijin. Amdal ini berkaitan dengan perizinan/ Amdal merupakan bagian dari proses perizinan persepsinya amdal itu sama dengan keputusan tata usaha negara. Menurut UU No. 23/ 1997 Amdal adalah : Kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha/ atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses terbitnya keputusan tentang penyelenggaraan usaha/ kegiatan. Mengenai peraturan pemerintah yang mengatur tentang Amdal tersebut adalah PP No. 29/ 1986. Kemudian dicabut dengan PP No. 51/ 1993 dan terakhir dicabut lagi dan diganti dengan PP No. 27/ 1999. Amdal berguna untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan layak lingkungan, melalui pengkajian Amdal, sebuah rencana usaha atau kegiatan pembangunan diharapkan telah secara optimal meminimalkan kemungkinan dampak lingkungan hidup yang negatif, serta dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien. Agar pelaksanaan Amdal berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang Amdal secara jelas menegaskan bahwa Amdal adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi Amdal sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.
64
Dokumen Amdal terdiri dari : •
Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
•
Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
•
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
•
Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) Dokumen KA-ANDAL disusun terlebih dahulu untuk menentukan lingkup studi
dan mengidentifikasi isu-isu pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan ANDAL. Dokumen ini dinilai di hadapan Komisi Penilai AMDAL. Setelah disetujui isinya, kegiatan penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL barulah dapat dilaksanakan. Dokumen
ANDAL
mengkaji
seluruh
dampak
lingkungan
hidup
yang
diperkirakan akan terjadi, sesuai dengan lingkup yang telah ditetapkan dalam KAANDAL. Rekomendasi
pengelolaan
dan
pemantauan
lingkungan
hidup
untuk
mengantisipasi dampak-dampak yang telah dievaluasi dalam dokumen ANDAL disusun dalam dokumen RKL dan RPL. Ketiga dokumen ini diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai Amdal. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak, dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak. Dokumen Amdal harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting dan belum memiliki kepastian pengelolaan lingkungannya. Kewajiban menyusun dokumen Amdal didasarkan atas kriteria-kriteria yang telah ditetapkan, sehingga tidak semua jenis kegiatan yang membutuhkan ijin perlu menyusun Amdal. 65
Kriteria kewajiban Amdal pada dasarnya mencakup : -
potensi kegiatan menimbulkan dampak penting;
-
tidak pastinya ketersediaan pengelolaan lingkungan dalam mengontrol dampak penting tersebut. Dalam penyusunan studi Amdal, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk
menyusunkan Amdal. Penyusun dokumen Amdal diharapkan telah memiliki sertifikat Penyusun Amdal (lulus kursus AMDAL B) dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000. Berbagai pedoman penyusunan yang lebih rinci dan spesifik menurut tipe kegiatan maupun ekosistem yang berlaku juga diatur dalam berbagai Keputusan Kepala Bapedal. Pada dasarnya pihak-pihak yang berkepentingan dalam Amdal adalah Komisi Penilai, pemrakarsa, masyarakat terkena dampak, dan pemberi Ijin. Komisi Penilai Amdal; Komisi Penilai Amdal adalah komisi yang bertugas menilai dokumen Amdal. Di tingkat pusat berkedudukan di Bapedal, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedal/Instansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedal/Instansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai Amdal ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai Amdal di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Pemrakarsa; pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan. 66
Warga Masyarakat yang terkena dampak; yaitu seorang atau kelompok warga masyarakat yang akibat akan dibangunnya suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut akan menjadi kelompok yang banyak diuntungkan (beneficiary groups), dan kelompok yang banyak dirugikan (at-risk groups). Lingkup warga masyarakat yang terkena dampak ini dibatasi sebagai berada dalam ruang dampak rencana usaha dan atau kegiatan tersebut. Pemberi Ijin; adalah pejabat yang berwenang membuat keputusan tata usaha negara. Kegiatan yang tidak wajib menyusun Amdal tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL) Upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; serangkaian kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang dilakukan oleh pemrakarsa suatu rencana usaha/kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun Amdal; yaitu kegiatan yang diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak penting. Pelaksanaan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan terdiri dari
dua kategori, yaitu : -
harus melewati suatu kajian lingkungan terlebih dulu yang disebut Dokumen UKLUPL;
-
tidak perlu melewati kajian lingkungan dalam Dokumen UKL-UPL. Ada beberapa kegiatan yang walaupun tidak akan menimbulkan dampak penting
tetap membutuhkan identifikasi dampak terlebih dulu sebelum dapat dipastikan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungannya. Identifikasi dampak ini dibutuhkan karena ada kombinasi antara frekuensi kegiatan yang tinggi dengan intensitas dampak yang tinggi sehingga menyebabkan munculnya ketidakpastian pengelolaan dampak yang perlu dikomunikasikan kepada pihak terkait lainnya. 67
Kajian lingkungan yang dibutuhkan dikenal dengan nama Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Dokumen ini berisi uraian singkat dari proses identifikasi dampak yang dilakukan secara sistematis, dan program pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang akan dilaksanakan. Kegiatan-kegiatan tidak berdampak penting yang frekuensi kegiatan dan intensitas dampaknya relatif rendah sehingga tidak ada lagi ketidakpastian masalah pengelolaan dampaknya tidak perlu menyusun Dokumen UKL - UPL, dan dapat langsung melakukan berbagai upaya pengelolaan dan upaya pemantauan lingkungan yang sesuai dengan standar dan norma yang berlaku. Amdal adalah perangkat wajib yang penggunaannya diharapkan komplemen dengan perangkat-perangkat lainnya. Kaitannya dengan dokumen lingkungan wajib lainnya; ada beberapa dokumen lingkungan maupun kajian lingkungan yang sifatnya diwajibkan. Pada dasarnya, dokumen-dokumen lingkungan wajib seperti ini sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali ada kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Kepala Bapedal. Dokumen-dokumen lingkungan wajib tersebut adalah Dokumen UKL-UPL, Audit Lingkungan Wajib, Revisi RKL-RPL, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Bapedal. Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan menyusun UKL-UPL tidak lagi diwajibkan menyusun Amdal; kegiatan berjalan yang diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan Amdal baru; pengubahan kegiatan yang hanya membutuhkan penyesuaian RKL-RPL tidak perlu menyusun Amdal lagi.
68
Kaitannya dengan dokumen lingkungan sukarela yang dikenal; penyusunan dokumen lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib Amdal tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen Amdal. Walau demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus dapat "menambal" ketidaksempurnaan dokumen Amdal. Dokumen-dokumen lingkungan yang sifatnya sukarela ini sangat bermacam-macam dan terbukti amat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumendokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan macam-macam lainnya. Prosedur AMDAL di Indonesia terdiri dari : •
Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
•
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
•
Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL
•
Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL
Proses penapisan; atau kerap juga disebut proses seleksi wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak. Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat; berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
69
Proses penilaian KA-ANDAL; setelah selesai disusun, pemrakarsa dapat mengajukan dokumen kepada Komisi Penilai Amdal untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari diluar waktu yang dibutuhkan penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya. Proses penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL; penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi Amdal). Setelah selesai disusun, pemrakarsa dapat mengajukan dokumen kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari diluar waktu yang dibutuhkan penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya. Sebagaimana disebutkan diatas, prosedur Amdal pada dasarnya terbagi dalam 4 bagian. Hal-hal yang harus diperhatikan dengan seksama oleh penyusun Amdal adalah: Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat; walaupun tata cara pengumuman dan konsultasi masyarakat tersebut telah dijelaskan secara rinci dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 08/2000, pemrakarsa/penyusun Amdal bebas mengadopsi berbagai teknik dan metodologi pengumuman dan konsultasi masyarakat yang telah dikenal, selama tidak melanggar ketentuan minimal yang telah ditetapkan. Proses pengumuman diharapkan memperhatikan keunikan bahasa dan pola komunikasi setempat yang efektif; dan proses konsultasi masyarakat harus memperhatikan pola dan struktur sosial budaya setempat. World Bank, ADB, dan beberapa negara di dunia seperti Kanada menerapkan aturan khusus pelaksanaan pengumuman dan konsultasi masyarakat dalam proses penyusunan Environmental Assessment yang bisa dijadikan referensi. Diharapkan dalam waktu dekat
70
akan diterbitkan pedoman pelaksanaan konsultasi masyarakat dalam Amdal yang khas Indonesia. Proses penyusunan dokumen KA-ANDAL; secara garis besar, hal terpenting yang perlu terangkum dengan baik dalam KA-ANDAL adalah hasil konsultasi masyarakat dan masukan dari masyarakat. Hal-hal tersebut menentukan proses pelingkupan dan penentuan isu pokok dari potensi dampak di lokasi rencana kegiatan tersebut. Hasil pelingkupan adalah kunci dari KA-ANDAL, dimana hasil konsultasi dengan masyarakat serta masukan masyarakat yang diberikan selama masa pengumuman menjadi sumber informasi utama proses pelingkupan tersebut. Pedoman
pelaksanaan
pelingkupan
diatur
dalam
Keputusan
Menteri
Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 1992, walaupun sangat disarankan untuk menggunakan referensi lain yang ada untuk menyempurnakan dan melengkapi proses pelaksanaan tersebut. Proses penilaian KA-ANDAL; tahap pengajuan dokumen KA-ANDAL dapat dilalui dengan cepat selama memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Telah memperhatikan kelengkapan dokumen sesuai aturan yang ditetapkan dalam lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000 2. Menyampaikan 1 (satu) paket sampel dokumen kepada sekretariat Komisi Penilai Amdal yang berwenang untuk dicek apakah telah memenuhi semua persyaratan 3. Mempersiapkan dokumen yang telah dianggap memenuhi syarat sebanyak jumlah yang ditetapkan sekretariat 4. Memastikan kembali jadwal penilaian oleh Komisi Penilai Amdal Proses penyusunan dokumen ANDAL, RKL, dan RPL; penyusunan dokumen ANDAL, RKL, dan RPL perlu mencermati kekhasan aspek, teknis kegiatan, dan ekosistem rencana 71
kegiatan tersebut. Oleh sebab itu, pedoman penyusunan yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000 tidak cukup. Berbagai pedoman yang secara khusus membahas metodologi penyusunan ANDAL dari aspek sosial, kesehatan masyarakat, valuasi ekonomi; dari tipe kegiatan seperti pemukiman terpadu; dan dari tipe ekosistem seperti lahan basah dan kepulauan, telah diterbitkan dalam bentuk Keputusan Kepala Bapedal. Sangat disarankan untuk melihat referensi-referensi internasional lainnya dalam memperkaya penyusunan dokumen tersebut. Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL; tahap pengajuan dokumen ANDAL, RKL, dan RPL dapat dilalui dengan cepat selama memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Telah memperhatikan kelengkapan dokumen sesuai aturan yang ditetapkan dalam lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000 2. Menyampaikan 1 (satu) paket sampel dokumen kepada sekretariat Komisi Penilai Amdal yang berwenang untuk dicek apakah telah memenuhi semua persyaratan 3. Mempersiapkan dokumen yang telah dianggap memenuhi syarat sebanyak jumlah yang ditetapkan sekretariat 4. Memastikan waktu pertemuan dengan tim teknis 5. Merangkum masukan dari tim teknis sebagai bekal dalam menghadapi Komisi Penilai Amdal 6. Memastikan kembali jadwal penilaian oleh Komisi Penilai Amdal Istilah revisi RKL dan RPL tidak dikenal dalam prosedur resmi Amdal. Namun demikian istilah ini sering disebut/dipergunakan untuk situasi perbaikan isi dokumen RKL dan RPL saja untuk menyesuaikan atas perubahan pola pengelolaan dan pemantauan lingkungan dari suatu kegiatan yang telah beroperasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai revisi RKL dan RPL adalah :
72
•
Revisi RKL dan RPL bukan merupakan prosedur umum bagi sebuah kegiatan yang membutuhkan perubahan atas pola pengelolaan dan pemantauan lingkungannya. Penerapannya bersifat kasuistik.
•
Revisi RKL dan RPL tidak selalu harus dinilai di Komisi Penilai AMDAL. Penilaian dilakukan apabila ada situasi khusus yang menyebabkan perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan kegiatan tersebut wajib dikomunikasikan kepada seluruh pihak yang terkait.
•
Penyempurnaan RKL dan RPL harus selalu dilakukan secara otomatis oleh pemrakarsa sendiri untuk memperbaiki kinerja pengelolaan lingkungannya. Penyempurnaan yang bersifat sukarela ini tidak usah diproses secara formal apabila memang tidak ada perubahan detail kegiatan yang berarti.
•
Perubahan detail kegiatan pada dasarnya berimplikasi pada penyusunan AMDAL baru. Keputusan untuk hanya mengubah RKL dan RPLnya saja harus diambil setelah yakin bahwa studi AMDAL yang lama memang dianggap telah mengantisipasi kemungkinan timbulnya dampak baru akibat perubahan kegiatan.
4.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders
Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, maka kewenangan Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam sangat beragam. Dengan demikian penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam pada era otonomi daerah menemui beberapa kendala, khususnya untuk pengelolaan sumber daya alam lintas kabupaten/propinsi, karena 73
hambatan koordinasi dan integrasi program dalam pengelolaan sumber daya alam antar kabupaten/kota propinsi. Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi/ Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sumber daya alam hanya terbatas pada pertimbangan teknis dalam penyusunan rencana pengelolaan, dan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam skala provinsi / kabupaten / kota. Penetapan pengelolaan sumber daya alam prioritas dan penyusunan rencana pengelolaan sumber daya alam terpadu masih ditangani oleh Pemerintah Pusat. Padahal, pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara terpadu dan menyeluruh dan harus dipandang sebagai satu sistem yang utuh dari hulu sampai hilir, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada di daerah pengelolaan sumber daya alam tersebut. Mengingat hal tersebut, perlu adanya pembagian peran yang tepat dan selaras baik antar wilayah kabupaten/kota dalam propinsi (vertikal) maupun antar institusi dalam kabupaten/kota (horisontal) secara harmonis. Beberapa sektor atau departemen secara kelembagaan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam antara lain adalah kehutanan, pertambangan, pekerjaan umum, lingkungan hidup, pertanian dan pertanahan. Sampai saat ini konsep yang mapan dan jelas tentang pengelolaan sumber daya alam secara nasional belum dapat diwujudkan, karena sifatnya masih bersifat sektoral sehingga pengelolaan sumber daya alam belum merupakan suatu pengelolaan yang terpadu, dimana semua kepentingan sektor dapat terakomodasi dan tidak menimbulkan konflik. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak mengatur soal koordinasi antar sektor dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam. Namun, pengaturan mengenai koordinasi tersebut dapat ditemukan di sejumlah peraturan perundangan-undangan yang lain.
74
Dalam pengelolaan sumber daya alam perlu adanya koordinasi antar sektor terkait. Koordinasi tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam satu kerjasama yang operasional sifatnya, tetapi juga koordinasi dalam pembuatan kebijakan. Koordinasi dalam kerjasama operasional dan kebijakan diharapkan akan menjamin terjadinya sinkronisasi pengelolaan sumber daya alam, Dengan adanya koordinasi dalam penyusunan kebijakan diharapkan akan menghasilkan kebijakan yang sistematis dan tidak berbenturan satu dengan yang lain. Masalah koordinasi dalam pengelolaan sumber daya alam juga tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam suatu kerja sama yang bersifat operasional tetapi juga masalah koordinasi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Dua hal ini memang tidak menjamin terjadinya koordinasi dan sinkronisasi antar berbagai lembaga yang memproduksi peraturan dan kebijakan mengenai sumber daya alam, namun berdasarkan aturan yang berlaku maka koordinasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam akan menghasilkan suatu peraturan yang sistematis dan tidak tumpang tindih satu sama lain. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, ternyata UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak mengatur masalah koordinasi antar sektor dalam rangka pengelolaan sumber daya alam. Pengaturan mengenai koordinasi tersebut dapat ditemukan dalam sejumlah peraturan dan kebijakan di sektor lain. Sektor dimaksudkan sebagai lingkungan kegiatan atau dapat juga disebut sebagai ruang lingkup pekerjaan suatu departemen atau kementerian tertentu.
75
a.
Koordinasi Kelembagaan Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Alam
Beberapa departemen maupun sektor yang secara kelembagaan terkait erat dengan pengelolaan sumber daya alam, antara lain adalah kehutanan, lingkungan hidup, kimpraswil (pemukiman dan prasarana wilayah), kelautan dan pesisir, pertanahan, pertambangan, pertanian dan perkebunan. Koordinasi pengelolaan sumber daya alam antar departemen/sektor seharusnya dilakukan sejak proses perencanaan, pembahasan sampai pada penetapan peraturan atau kebijakan. Kewenangan departemen maupun sektor dalam rangka pengelolaan sumber daya alam diatur dalam Keputusan Presiden tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen atau tupoksi (Tugas, Pokok dan Fungsi) Departemen, termasuk tupoksi 6 departemen yang berhubungan langsung dengan pengelolaan sumber daya alam. Keenam departemen tersebut adalah: 1. dalam negeri; 2. energi dan sumberdaya mineral (ESDM); 3. pertanian; 4. kehutanan; 5. kelautan dan perikanan (DKP), serta 6. kimpraswil. Selain departemen, terdapat juga Menteri Negara (Menneg) yang diatur dalam Keppres tersendiri. Dari sepuluh Menneg yang diatur dalam Keppres ini ada dua Meneg yang terkait langsung dengan pengelolaan sumber daya alam yakni Menneg Lingkungan Hidup (LH) dan Menneg Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
76
Pengaturan koordinasi antar departemen/sektor dalam menyusun peraturan perundangundangan dapat ditemukan dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 18 ayat (1) UU ini mengatakan bahwa rancangan undang undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Lebih jauh dikatakan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Oleh Keppres No. 102 Tahun 2001 tugas koordinasi tersebut dilimpahkan kepada Menteri Kehakiman dan HAM, yang sekarang berganti nama menjadi Menteri Hukum dan HAM. Tetapi metode, definisi, maksud dan tujuan koordinasi tidak diuraikan secara jelas dalam Keppres ini. Sebelum UU No. 10 Tahun 2004 lahir, aturan mengenai proses penyusunan peraturan per-UU-an terdapat dalam Keppres 188 Tahun 1998 Tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. Keppres ini juga menyinggung-nyinggung perihal harmonisasi antar departemen/sektor. Namun, Keppres ini tidak menegaskan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan sarana menuju koordinasi. Dengan begitu, sampai saat ini tak satupun peraturan perundangan yang secara terangterangan mengatur koordinasi antar departemen/sektor dalam rangka penyusunan peraturan per-UU-an. Departemen/sektor masih berpegangan pada tupoksi -nya masingmasing. Sehingga departemen/sektor tidak melakukan inovasi dalam rangka koordinasi karena takut akan menyalahi peraturan perundang-undangan.
77
b. Koordinasi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Uraian berikut ini akan menyajikan koordinasi dalam tingkat yang operasional dengan memperhatikan dua faktor, yakni kebijakan yang dikeluarkan dan penegakan hukum. Keduanya dilihat karena mempunyai andil besar dalam membentuk sistem pemerintahan yang terpadu dan terintegrasi.
1. Koordinasi Kelembagaan dalam Merumuskan Kebijakan Operasional Dalam melakukan koordinasi antar departemen/sektor ada dua hal yang menjadi poin penting yakni lembaga yang melakukan koordinasi dan cara atau metode melakukan koordinasi. Untuk menjembatani koordinasi dan sinkronisasi antar sektor dalam pembuatan kebijakan serta pelaksanaannya di bidang tertentu ketentuan yang termuat dalam Keppres No. 100 tahun 2001 Tentang Tugas Pokok dan Fungsi Menteri Koordinator. Menurut Keppres ini, Menteri Koordinator (Menko) mempunyai tupoksi membantu Presiden dalam mengkoordinasikan dan menyinkronkan penyiapan dan penyusunan kebijakan serta pelaksanaannya di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara. Saat ini terdapat 3 Menko yakni: 1) Menko Bidang Politik dan Keamanan disingkat Menko Polkam; 2) Menko Bidang Perekonomian disingkat Menko Ekuin; dan 3) Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat disingkat Menko Kesra. Masing-masing Menko membawahi sejumlah departemen/sektor. Menko Polkam mempunyai kewenangan mengkoordinasikan Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Menteri
78
Negara Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Pimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Dari sekian departemen/sektor/lembaga yang berada di bawah Menko ini, tak satupun yang tupoksinya terkait langsung dengan sumber daya alam. Menko Perekonomian sendiri mempunyai kewenangan mengkoordinasikan Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menakertrans, Menteri Kimpraswil, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dan Pimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Dari sekian sektor/lembaga yang disebutkan di atas, departemen/sektor yang tupoksinya terkait langsung dengan sumber daya alam adalah Pertanian, ESDM, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Permukiman dan Prasarana Wilayah, dan Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Sedangkan Menko Kesra mempunyai kewenangan mengkoordinasikan Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Sosial, Menteri Agama, Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Meneg Pemberdayaan Perempuan dan Pimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Departemen/ Sektor yang tupoksi-nya terkait langsung dengan sumber daya alam adalah Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Dengan begitu, secara keseluruhan, departemen/sektor yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam adalah Pertanian, ESDM, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Permukiman dan Prasarana Wilayah, Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia dan Lingkungan Hidup.
79
Menurut Pasal 30 Keppres No. 100 Tahun 2001 ada empat cara untuk melakukan koordinasi yakni: 1) rapat koordinasi Menko atau rapat koordinasi gabungan antar Menko, 2) rapat-rapat kelompok kerja yang dibentuk oleh Menko sesuai dengan kebutuhan, 3) forum-forum koordinasi yang sudah ada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan 4) konsultasi langsung dengan para Menteri, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan pimpinan lembaga lain yang terkait. Khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, tidak semua kebijakan departemen/sektor dikoordinasikan oleh Menko untuk disinkronkan dengan departemen/sektor lainnya. Pasal 2 Keppres No 100 Tahun 2001 hanya menyebut “kebijakan tertentu dalam bidang pemerintahan negara”. Tetapi kebijakan tertentu itu tidak diuraikan lebih lanjut dalam Keppres ini. Dalam rangka melaksanakan ketentuan UU atau Peraturan Pemerintah, departemen/sektor menerbitkan Keputusan atau Peraturan Menteri. Karena sifatnya sebagai kebijakan maka secara formal beberapa dari Keputusan, peraturan menteri ataupun kebijakan lain yang lebih rendah tidak begitu patuh dengan beberapa kaidah perundang-undangan seperti lex superior derogat legi inferiori (hukum yang kedudukannya lebih tinggi membatalkan hukum yang kedudukannya lebih rendah), lex specialis derogat legi generali (hukum yang berlaku khusus membatalkan hukum yang berlaku umum) maupun lex posterior derogat legi inferior (hukum yang berlaku kemudian membatalkan hukum yang ada sebelumnya). Selain itu, secara material banyaknya kebijakan yang bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi dan juga bertentangan dengan kebijakan lainnya disebabkan karena masing-masing departemen/
80
sektor merasa perlu untuk membuat kebijakan tentang suatu masalah yang sama tetapi justru tidak saling mendukung. Misalnya, Keputusan Menhutbun No 317/KPTS-II/1999 Tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi dengan Permen Agraria/Kepala BPN No 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Hak Ulayat mempunyai pengaturan yang sama tentang Masyarakat Adat tetapi bertentangan satu sama lain. Dalam Keputusan Menhutbun dikatakan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat pada suatu wilayah tertentu dinyatakan dan ditentukan atas Keputusan Bupati sementara hal yang sama oleh Permen Agraria dikatakan bahwa keberadaan masyarakat adat ditentukan oleh Peraturan Daerah. Di sini terjadi perbedaan mengenai bentuk formal atas pengaturan mengenai keberadaan masyarakat adat di daerah. Keputusan Menhutbun menghendaki wadah pengaturannya dalam bentuk Keputusan Bupati yang umumnya dipakai untuk pengaturan materi yang bersifat konkrit, terikat dengan ruang dan waktu tertentu. Sedangkan peraturan daerah cenderung merupakan ketentuan yang bersifat lebih umum dan abstrak sehingga perlu diterjemahkan lebih lanjut lewat ketetapan. Tetapi selain hal itu, perbedaan mendasar antara Keputusan Bupati dengan Perda adalah pada kekuatannya dalam relasi hierarkhis peraturan perundang-undangan. Keputusan Bupati adalah tindakan hukum bersegi satu atau sepihak dari pejabat administrasi (Bupati) sehingga pencabutannya merupakan kewenangan sepihak bupati. Sedangkan peraturan daerah merupakan ketentuan yang dibentuk dengan melibatkan DPRD, Pemda dan masyarakat. Sehingga kelahirannya melibatkan banyak pihak. Karena itu pencabutannya juga merupakan keputusan yang harus melibatkan banya pihak. Dengan demikian kedudukan perda jauh lebih kuat daripada Keputusan Bupati.
81
Selain koordinasi antar departemen yang umumnya berbentuk kebijakan, koordinasi pengelolaan sumber daya alam juga dilakukan di dalam internal departemen. Departemen Kehutanan misalnya, mencanangkan jangka waktu 20 sampai 30 tahun ke depan sebagai era rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam. Untuk itu Dephut telah menetapkan lima kebijakan prioritas yaitu: (1) rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan; (2) pemberantasan illegal logging; (3) penanggulangan kebakaran hutan; (4) restrukturisasi sektor kehutanan; (5) penguatan desentralisasi kehutanan. Tetapi Dephut dan Departemen ESDM baru-baru ini mengajukan Perpu No. 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang pada prinsipnya menambah ketentuan baru pada UU Nomor 41 tahun 1999, yaitu Pasal 83 (a) dan pasal 83 (b). Pasal 83 (a) mengatakan bahwa semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut. Tetapi, dalam Perpu ini penambangan yang dimaksud bukan berada pada wilayah hutan produksi atau hutan pemanfaatan lainnya tetapi hutan kawasan lindung yang secara substantif jelas berseberangan dengan undang-undang yang juga mengatur soal hutan yakni UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk UU No 41 Tahun 1999. Selain hal itu, perpu tersebut juga berseberangan dengan visi dan misi Dephut sendiri. Menindaklanjuti Perpu ini telah dikeluarkan Keppres No. 41 Tahun 2004 yang member ijin bagi 13 perusahaan terkait untuk
82
melakukan penambangan di kawasan hutan lindung. Isi Keppres ini jelas-jelas bertentangan dengan sejumlah UU yang kedudukannya berada di atasnya.
2. Koordinasi Dalam Penegakan Hukum Koordinasi dalam hal penegakan hukum umumnya ditemukan pada ketentuan yang mengatur mengenai penyidikan. Boleh dibilang, seluruh UU yang mengatur mengenai pengelolaan sumber daya alam, memiliki bab mengenai ini. Ambil contoh pada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Penyidik yang dimaksud oleh berbagai UU tersebut adalah penyidik dari kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Pelanggaran terhadap UU Perikanan dapat disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Perwira TNI AL dan pejabat polisi. Meskipun dalam penegakan hukum atas pengelolaan sumber daya alam, kepolisian dapat bekerja sama dengan sektor yang bersangkutan sebagaimana dijabarkan dalam keempat undang undang di atas, dalam beberapa kasus, polisi justru sering berseberangan dengan sektor terkait. Dalam kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat oleh tailing hasil limbah tambang emas PT Newmont Minahasa Raya telah terjadi perbedaan pendapat antara Menneg LH dengan Mabes Polri. Kompas mencatat pernyataan Menneg LH Nabiel Makarim yang menegaskan bahwa hasil penelitian yang dilakukan Tim Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa air di perairan Teluk Buyat, Minahasa Sulawesi Utara, maupun ikan yang ada di perairan tersebut tidak tercemar. Hal ini berseberangan dengan hasil penelitian Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang secara tegas menyebutkan bahwa pencemaran Teluk Buyat melebihi baku mutu.
83
Dalam penegakan hukum yang menyangkut masalah penebangan liar (illegal logging) juga terjadi miskoordinasi antara Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan dan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Di Kaltim misalnya, Kompas mencatat bahwa industri kayu Malaysia sangat membutuhkan kayu dari Kalimantan yang umumnya diperoleh lewat penyelundupan dan pencurian kayu. Tetapi, Departemen Perindustrian belum melakukan tindakan apapun untuk mencegah mengalirnya kayukayu dari penebangan liar di Kalimantan ke industri-industri pengolahan kayu di Malaysia. Bahkan ada dugaan, bahwa maraknya illegal logging tidak terlepas dari kebijakan instansi tertentu yang mengizinkan masuknya alat-alat berat seperti traktor dan buldoser ke daerah perbatasan. Dugaan ini jelas ditujukan ke departemen perindustrian. Di sisi lain, Dep Kehutanan baru sampai pada rencana mengeluarkan Perpu Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon Dalam Hutan Secara Illegal. Disini tidak terlihat adanya titik temu antara beberapa lembaga tersebut yang diharapkan menunjang penegakan hukum. Konsep otonomi daerah yang terdapat dalam UU Pemerintahan Daerah sebetulnya bukan desentralisasi secara total. Dua konsep lain yang juga dilaksanakan bersamaan dengan desentralisasi tersebut yakni dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Oleh UU No. 32 Tahun 2004, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7). Sedangkan dekonsetrasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu (Pasal 1 angka 8). Adapun tugas pembantuan didefenisikan sebagai penugasan dari Pemerintah
kepada
Daerah
dan/atau
Desa
dari
pemerintah
Provinsi
kepada
84
kabupaten/kota dan/atau Desa serta dari kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu (Pasal 1 angka 9). Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada bagian lain dikatakan bahwa pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dengan begitu desentralisasi tidak hanya berada dalam ruang lingkup kabupaten/kota tetapi juga provinsi. Dalam soal pembagian kewenangan pemerintahan, UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi: (a) politik luar negeri, (b) pertahanan, (c) keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal nasional, dan (f) agama. Secara
tersirat,
Undang-Undang
ini
menyerahkan
kewenangan
urusan
pengelolaan sumber daya alam kepada daerah sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 17 yang mengatur hubungan pemanfaatan sumber daya alam antara pusat-daerah. Bahkan dalam hal pengelolaan laut, pemerintah pusat menyerahkan urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintah daerah (pemda) secara utuh. Tetapi relasi pusat-daerah tersebut disertai dengan catatan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi
85
berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. UU ini juga mengatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan harus memperhatikan keserasian hubungan antara susunan pemerintahan. Terminologi “keserasian” dalam konteks ini tidak begitu jelas, seperti apa dan bagaimana. Jika diinterpretasikan secara administratif maka otonomi seluas-luasnya tetap dalam kerangka kewenangan administrasi pusatdaerah, provinsi-kabupaten, dan kabupaten-desa. Dengan melihat bingkai pembagian penyelenggaran pemerintahan seperti itu UU ini potensial mengembalikan bandul kewenangan pengelolaan sumber daya alam ke pusat (resentralisasi). Pengaturan pengelolaan sumber daya alam yang berkaitan dengan daerah dijabarkan dengan mengatakan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi: (a) pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah; (b) kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan (c) pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Selain dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengaturan desentralisasi juga terdapat dalam sejumlah Undang-Undang yang mengatur mengenai pengelolaan sumber daya alam maupun pada sejumlah kebijakan. Instrumen kebijakan seringkali dipakai untuk
86
mendesetralisasikan pemberian izin seperti ijin peruntukan sumber daya alam, maupun kewenangan mengurus dan mengatur pengelolaan sumberdaya alam.
c.
Kewenangan Mengatur dan Mengurus Pengelolaan Sumberdaya Alam oleh Daerah Sejak berlakunya Otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 hingga
direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004, ada beberapa undang-undang yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang tampil dengan semangat otonomi daerah. Beberapa diantaranya adalah UU Kehutanan, UU Sumberdaya Air, dan UU Perikanan. Pada ketiga UU ini ada perbedaan yang cukup mendasar mengenai kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Secara umum, ada dua jenis kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah daerah, yakni: (1) kewenangan teknis pengelolaan sumber daya alam. Kewenangan ini erat kaitannya dengan kebijakan berupa ijin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya alam di daerah; dan (2) kewenangan mengatur dan mengurus sumber daya alam yang merupakan satu kesatuan yang utuh baik pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/ pengelolaan, pemulihannya (konservasi), maupun kelembagaan, administrasi dan penegakan hukum. Dalam UU Sumber Daya Air dua jenis kewenangan ini dinyatakan secara detail (Pasal 16 sampai 18). UU Sumberdaya Air memberikan kewenangan dan tanggung jawab daerah atas pengelolaan sumberdaya air yakni dalam hal menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air, menetapkan pola pengelolaan sumber daya air, menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air, menetapkan dan mengelola kawasan lindung
87
sumber air, melaksanakan pengelolaan sumber daya air, mengatur, menetapkan dan memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air, membentuk dewan sumber daya air, memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air dan menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. Dengan cara seperti itu, UU Sumber Daya Air secara lengkap menguraikan tentang kewenangan baik yang sifatnya substantif maupun teknis. Kewenangan teknis terutama menyangkut pengaturan, penetapan, pemberian izin, penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air serta pembentukan dewan sumberdaya air sedangkan kewenangan substantif adalah delapan kewenangan lainnya yang secara singkat dapat dikatakan sebagai kewenangan otonomi pengelolaan sumber daya alam. Berbeda dengan UU Sumberdaya Air, UU Kehutanan menyerahkan pengaturan soal penyerahan kewenangan kepada daerah melalui Peraturan Pemerintah (Pasal 66). Adalah PP No 32 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang mengatur lebih jauh dan detail soal penyerahan kewenangan tersebut. Oleh PP ini, desentralisasi tersebut berlaku pada kewenangan dalam bentuk perijinan untuk usaha pemanfaatan kawasan (Pasal 37), pemungutan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu (Pasal 38), dan usaha pemanfaatan jasa lingkungan (Pasal 39). Ketiga izin di atas bisa diberikan oleh Gubernur, Bupati dan Walikota. Sekalipun begitu, daerah tidak mempunyai kewenangan mengurus dan mengatur hutan secara otonom. Dengan demikian, kewenangan daerah hanya merupakan kewenangan perijinan. Dalam bidang pertanahan, salah satu kebijakan desentralisasi bisa ditemukan pada Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keppres
88
ini mengatakan bahwa sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 2 ayat 1). Kewenangan dimaksud meliputi: (a) pemberian ijin lokasi; (b) penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; (c) penyelesaian sengketa tanah garapan; (d) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; (e) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; (f) penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; (g) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; (h) pemberian ijin membuka tanah; (i) perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota. Dari kewenangan-kewenangan yang didesentralisasikan ini beberapa diantaranya adalah kewenangan yang sifatnya teknis dan operasional yang mengatur soal ijin dan kebijakan-kebijakan administratif pertanahan. Tetapi di samping kewenangan administratif langkah maju dalam Keppres ini adalah kewenangan yang sifatnya mengatur dan mengurus yakni perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota dan kewenangan land reform yang menyangkut redistribusi tanah, pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong serta penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi tidak menyebut tentang desentralisasi pengelolaan Minyak dan Gas Bumi ke daerah. UU ini hanya mengatakan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan
89
Pajak yang terdiri dari pajak-pajak; bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai; pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam hal ini daerah hanya mempunyai kewenangan untuk menarik retribusi dari pengelolaan Minyak dan Gas yang ada di wilayahnya. Pengelolaan minyak dan gas bumi secara keseluruhan belum didesentralisasikan. Salah satu alasan karena kedua sumber daya tersebut masih dikontrol ketat dalam kewenangan BUMN Pertamina yang memiliki pengaturan otonom, terlepas dari daerah. Selain hutan, air dan tanah, pengaturan pengelolaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, yang secara eksplisit mengatur soal penyerahan kewenangan ke daerah adalah Panas Bumi. Pengaturan mengenai Panas Bumi ditemukan pada UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. UU ini menyebutkan bahwa Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi: (a) pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota; (b) pembinaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota; (c) pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota; (d) pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di kabupaten/kota; (e) inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di kabupaten/kota; (f) pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah Kerja di kabupaten/kota. Dalam ketentuan ini secara
tersurat ditegaskan bahwa daerah mempunyai
kewenangan untuk membuat peraturan pengelolaan panas bumi sendiri. Perkembangan ini merupakan langkah maju karena dalam beberapa Undang-Undang lainnya kewenangan membuat aturan sendiri tidak disebutkan secara tegas.
90
Dalam UU Perkebunan, desentralisasi juga diatur dalam beberapa hal, diantaranya menyangkut perencanaan perkebunan. Perencanaan perkebunan terdiri dari perencanaan nasional, provinsi, kabupaten/kota. Perencanaan perkebunan tersebut dilakukan oleh pemerintah, provinsi, kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. UU ini mengedepankan kepentingan masyararakat dan bukan struktur administrasi pemerintahan sebagai dasar perencanaan. Sehingga, perkebunan dapat diharapkan mewakili kepentingan masyarakat daerah ketimbang mengabdi kepada kewenangan pusat. Tetapi segera terlihat bahwa kebutuhan masyarakat kemudian dibatasi oleh beberapa patokan semisal kepentingan pasar. UU Perikanan baru yang merevisi UU No. 9 Tahun 1985, juga mengatur soal desentralisasi tetapi dengan sangat terbatas dan lagipula bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah. UU ini menyebutkan bahwa penyerahan sebagian urusan perikanan maupun penarikan kembali kepada pemerintah daerah ditetapkan dengan PP (Pasal 65 ayat 1). Selanjutnya dikatakan kemungkinan pemberian urusan tugas pembantuan di bidang perikanan kepada daerah. Tentu saja norma semacam itu bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang secara tegas mengatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut (Pasal 18). Pembagian kewenangan pengelolaan laut juga diatur sangat jelas. Kewenangan daerah meliputi: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; (b) pengaturan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
91
(e) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan (f) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Dengan demikian dalam desentralisasi pengelolaan sumber daya alam ada berbagai bentuk dan jenis desentralisasi yang telah dijabarkan. Masing-masing pengelolaan sumber daya alam diatur tersendiri dan berdiri sendiri yang sekaligus menentukan jenis desentralisasi dan sejauh mana desentralisasi dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu direalisasikan. Pengaturan yang sendiri-sendiri itulah yang seringkali membedakan ukuran desentralisasi antara satu departemen/sektor dengan departemen/sektor lainnya.
92
BAB V PENUTUP
a.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya alam yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang. Sumber daya alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana dengan baik sehingga dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Sedangkan sumber daya alam yang non renewable tidak dieksploitasi habis-habisan hanya demi kepentingan generasi sekarang. Melalui prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan ini diharapkan dari masa ke masa seluruh generasi anak bangsa ini akan dapat menikmati kekayaan potensi sumber daya alam yang dimiliki bangsanya. Melalui prinsip tersebut generasi mendatang tentu juga akan dapat belajar bagaimana mengelola sumber daya alam yang baik untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. Dengan memperhatikan aspek demokratis, keadilan dan berkelanjutan dalam penyusunan Perda tentang pengelolaan sumber daya alam diharapkan berbagai permasalahan yang dialami dan hadapi dalam pengelolaan sumber daya alam selama ini dapat diatasi dengan baik dan juga dapat memenuhi kepentingan para stakeholders. 2. Di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam baik yang sudah ada maupun yang sedang disusun belum 93
cukup memadai atau masih minim dalam memasukkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. 3. Upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam di daerah sudah cukup memadai walaupun masih ada beberapa kendala yang perlu dieliminasi. 4. Penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan sudah cukup baik secara prosedural, walaupun secara substansial masih perlu peningkatan fungsi dokumen tersebut, yaitu tidak hanya sekedar sebagai syarat keluarnya ijin. 5. Dalam mengelola sumber daya alam koordinasi antar departemen/sektor tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam suatu kerja bersama yang operasional sifatnya tetapi juga koordinasi dalam pembuatan peraturan. Dua hal ini memang tidak serta merta menjamin terjadinya sinkronisasi antar berbagai lembaga yang memproduksi peraturan dan kebijakan mengenai pengelolaan sumber daya alam, tetapi secara normatif koordinasi dalam penyusunan peraturan perundangan diharapkan akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang sistematis dan tidak tumpang tindih satu sama lain. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, UU No. 32 Tahun 2004 sama sekali tidak mengatur soal koordinasi antar departemen/sektor dalam rangka pengelolaan sumber daya alam. Karenanya diperlukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders di daerah.
94
a.
Saran
1. Perlunya pendekatan yang tidak fragmentaris dan ego sektoral dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah 2. Perlunya konsistensi, sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undang mulai dari UU, PP sampai Perda di bidang pengelolaan sumber daya alam di daerah
95
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 juli 2003 Absori, Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam Era Perdagangan Bebas, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2000) ALW, Lita Tyesta. Proses Penyusunan Perda Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009 Ali, Achmad, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta : Yarsif Watampone, 1998) Anu Lounela dan Yando Zakaria (eds), Berebut Tanah dalam Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Insist Press, Jurnal Antropologi Universitas Indonesia dan Karsa, 2002. Danusaputro, Munadjat, Hukum Lingkungan I : Umum, (Jakarta : Binacipta, 1985) Hadisoeprapto, Hartono, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999. Hadi, Sudharto P. Koordinasi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Era Otonomi Daerah, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009 Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Perlindungan Lingkungan (Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991 ______________________, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1986 ______________________, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1990
Hidayat, Arief. Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009 HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Jogjakarta, 2003. Husein, M Harun, Lingkungan Hidup, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992) M. Arief Nurdu’a dan Nursyam B. Sudharsono, Aspek Hukum Penyelesaian Masalah Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, (Semarang : Satya Wacana,1991) Mahfud, Mohammad, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998. Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997. Rahardjo, Satjipto, Hukum dalam Perpsektif Sosial, (Bandung : Alumni, 1981) Rangkuti, Siti Sundari Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya, Airlangga University Press, 1996 Salim, Emil, Pola Pembangunan Berkelanjutan dalam Hari Depan Kita Bersama, (Jakarta : PT. Gramedia, 1988 ) Samekto, FX. Aji. Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Upaya Memformulasikan Pengaturan Sumber Daya Alam, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009 Soemantri, Koesnadi Harja, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1987) Santoso, Edi, Penerapan Dokumen Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Proses Perijinan, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009 Susanto, I.S, Kejahatan Korporasi, (Semarang : Badan Penerbit Undip, 1995) Santosa, Mas Achmad, Hak Gugat Organisasi Lingkungan, (Jakarta: ICEL,1997) _________________ , Good Governance dan Hukum Lingkungan, (Jakarta : ICEL, 2001)
Setianto, Benny D. Meng-Governance-kan Pengawas, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009 Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta : Djambatan, 1991) Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan I dalam Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Bandung, Alumni, 1996) Suparni, Niniek, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992) Sembiring, Sulaiman, Hukum dan Advokasi Lingkungan, (Jakarta : ICEL, 1998) Soesilo, R., RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor : Politea, 1995) Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1985) Soemitro, Ronny Hanitijo, Perspektif Sosial Dalam Pemahaman Masalah-Masalah Sosial, (Semarang, Agung Press, 1989) Steni Bernadinus. Desentralisasi, Koordinasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi Daerah, http://www.huma.or.id Tobing, M.L, Ikhtisar Hukum Lingkungan Hidup, (Jakarta : Erlangga, 1985) Turtiantoro. Sosialisasi peraturan dan pengetahuan pengelolaan sumber daya alam di daerah, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009 Wijoyo, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, (Surabaya : Airlangga University Press,1999) Zaidun, M., Pengendalian dampak Lingkungan Melalui Pendekatan Pemberdayaan masyarakat, (Semarang : Makalah, 1995) Zakaria, Yando. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang disajikan dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat” dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman UU No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi UU No 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan