PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU Arief Lukman Hakim dan Nugroho Wienarto Yayasan FIELD Indonesia
Degradasi Sumber Daya Alam Kerusakan sumber daya hutan dan lahan menjadi perhatian dunia saat ini. Akibat yang ditimbulkannya tidak hanya dirasakan dalam skala lokal namun juga dalam tatanan global. Banjir, kekeringan serta menurunnya kualitas air dalam skala lokal merupakan hal yang sering dijumpai akhir-akhir ini. Dalam skala yang lebih luas perubahan iklim merupakan fenomena global yang hangat dibicarakan. Jika ditelaah dengan hati-hati, degradasi hutan dan lahan di Indonesia cukup memprihatinkan. Angka kerusakan hutan tidak kurang dari 1,5 juta hektar pertahun. Degradasi hutan dan lahan ini mengganggu fungsi hidrologis hutan dan lahan. Degradasi lahan merupakan fenomena penurunan daya dukung lahan yang mengakibatkan penurunan produktivitas lahan. Beberapa penyebab degradasi lahan adalah: (1) perpindahan partikel tanah yang ringan dan subur ke tempat lain sebagai akibat transportasi air atau angin. Kondisi ini terkenal dengan istilah erosi tanah, (2) penurunan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Kehilangan makro, meso dan mikroflora dan fauna tanah yang merupakan ciri kehidupan tanah, penurunan kandungan bahan organik tanah, naik atau turunnya keasaman tanah, meningkatnya kegaraman tanah karena kesalahan tata kelola pengairan, (3) penurunan muka air tanah karena penggunaan air tanah yang melebihi kemampuan pengisian kembali (recharge) air tanah. Hal ini mengakibatkan ketersediaan air menjadi faktor pembatas, (4) Deforestasi dan pembukaan lahan yang berlebihan mengakibatkan fungsi hidrologi lahan terganggu, (5) Risiko banjir dan genangan. Banjir dan genangan permanen mengakibatkan daya dukung lahan menurun dan (6) Dominasi dan penyebaran gulma invasif seperti alang-alang dalam skala luas mengakibatkan produktivitas lahan menurun. Penyebab degradasi lahan dapat dibagi dua yaitu sebab alamiah dan yang disebabkan oleh tata guna tata olah lahan. Sebab-sebab alamiah seperti kerusakan landscape karena aliran lahar, gempa bumi, tsunami dan dampak-dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim terhadap produktivitas lahan baik secara permanen maupun temporal tidak dibahas dalam makalah ini. Pada tahun 1990-an luas lahan kritis di Indonesia mencapai 13,18 juta hektar, pada awal 2006 diperkirakan luas lahan kritis mencapai 23,24 juta hektar, sebagian besar (65 persen) berada di luar kawasan hutan (Atmojo 2006). Pada tahun 2000, kerusakan hutan
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
dan lahan di Indonesia mencapai 56,98 juta ha, sedangkan tahun 2002 mengindikasikan perkembangan kerusakan menjadi 94,17 juta ha, atau meningkat 65,5 persen selama 2 tahun. Penggundulan hutan dan lahan di daerah hulu mengakibatkan erosi dalam tingkat daerah aliran sungai. Ibarat pisau bermata dua, erosi selalu diiringi sedimentasi. Transportasi bahan memindahkan lapisan tanah halus dan ringan dari daerah hulu dan menumpuknya pada daerah hilir. Struktur dan tekstur tanah dari daerah tererosi dan daerah tersedimentasi berubah. Lapisan tanah subur di hulu tergerus dan partikel tanah yang halus dan ringan menutupi top soil yang subur dan mengisi pori-pori tanah tersedimentasi.
Gambar 1. Peta DAS Brantas Jawa Timur (Sumber: Perum Jasa Tirta I) Sumber : Hasil Analisis Program “Menuju Indonesia Hijau” – Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Indonesia sangat berlimpah dalam ketersediaan air. Jika dibuat rata-rata setiap jiwa penduduk Indonesia memiliki kelimpahan air 4 kali lipat dari pada penduduk di negara Asia lainnya. Namun demikian tata kelola lahan yang kurang tepat mengakibatkan risiko bencana banjir dan tanah longsor.
331
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Tabel 1. Proporsi Luasan Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2000-2005-2007-2008 DAS Brantas - Propinsi Jawa Timur Tutupan Lahan Hutan
Tahun 2000
Tahun 2005
Tahun 2007
Tahun 2008
(Ha)
(Ha)
(Ha)
(Ha)
(%)
(%)
(%)
(%)
80.938
5,21
51.529
3,32
42.795
2,76
42.683
2,75
Kebun Campuran
273.484
17,61
311.870
20,08
115.501
7,44
114.687
7,38
Pemukiman
265.301
17,08
370.896
23,88
451.035
29,04
458.961
29,55 10,79
Perkebunan
0
0,00
49.483
3,19
167.021
10,75
167.606
193
0,01
5
0,00
1
0,00
1
0,00
608.915
39,21
626.189
40,32
669.292
43,09
661.638
42,60
Semak/Belukar
61.677
3,97
25.533
1,64
18.213
1,17
18.051
1,16
Tambak/Empang
19.216
1,24
14.747
0,95
13.571
0,87
13.571
0,87
Tanah Terbuka
23.513
1,51
17.647
1,14
9.415
0,61
8.947
0,58
Tegalan/Ladang
208.445
13,42
73.516
4,73
53.960
3,47
54.658
3,52
11.438
0,74
11.704
0,75
12.315
0,79
12.315
0,79
Rawa Sawah
Tubuh Air TOTAL
1.553.119 100,00 1.553.119 100,00 1.553.119 100,00 1.553.119 100,00
Sumber: Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur
Kondisi DAS Brantas Hulu yang Kritis dan Upaya yang dilakukan oleh Program Jasa Lingkungan (Environment Services Program) di Jawa Timur Target utama ESP Jatim adalah DAS Brantas yang mencakup 1/3 total area Jatim. Di hulu Brantas, mata air dan air tanah (yang tersebar di pegunungan hingga dataran aluvial) digunakan sebagai sumber air masyarakat untuk keperluan domestik oleh manajemen HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) dan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Aliran sungai Brantas mencakup 11 kabupaten dan 4 kota, dan menjadi sumber air untuk PDAM Surabaya. DAS Brantas telah mendapat status kritis sejak 1989, namun upaya penanggulangannya terkotak-kotak diantara lembaga publik sektoral dan swasta. Di Hulu DAS Brantas, pengelolaan menjadi tanggung jawab BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) dengan mitra Dinas Kehutanan, Perum PERHUTANI, dan Taman Hutan Raya. Berbagai lembaga lain mempunyai tanggung jawab terbatas dalam kaitannya dengan DAS, seperti BPSDA (Balai Pengelolaan Sumber Daya Air), Proyek Kali Brantas (PU), Dinas Pengairan, BAPPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan), Dinas Lingkungan Hidup, Perum Jasa Tirta, Dinas Pertanian dan BAPEDA/BAPEKO (Badan Perencanaan Daerah/ Kota). Masyarakat, individu, perusahaan dan LSM sangat tergantung pada sumber daya air untuk kehidupan mereka. Upaya koordinasi dilakukan dengan membentuk forum komunikasi walaupun kerangka kerja untuk mengantisipasi permasalahan kebijakan dan kelembagaan masih perlu diterapkan dalam tataran perencanaan dan tindakan manajemen yang berorientasi fisik. 332
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Sub-DAS Konto, Sumber Brantas-Bango-Amprong, dan Lesti-Genteng mencakup wilayah tutupan seluas 237 km2 (10% DAS Brantas Hulu), 788 km2 (35%) dan 381 km2 (17 persen) secara berturut-turut yang menjadi sumber tangkapan air untuk DAS Brantas dan merupakan fokus untuk Forum Pengelolaan DAS. Antara tahun 1990 dan 2000, seluas 131.144 ha hutan (35 persen dari hutan di dalam DAS pada tahun 1990) diubah menjadi lahan tanaman pangan di daerah atas dengan tanpa upaya konservasi tanah dan air. Beberapa isu pengelolaan hulu DAS Brantas adalah: (1) lembaga-lembaga lebih menerapkan pendekatan ‘top-down’ walaupun sudah mulai menggunakan pendekatan partisipatif; (2) hanya sedikit kebijakan lembaga pemerintah yang didasarkan pada data kuantitatif dan dokumentasi pengetahuan, dan metode pengelolaan lahan yang berkelanjutan masih lemah; (3) pendekatan sektoral dalam pengelolaan lahan masih menonjol dan koordinasi dan keterpaduan diantara para pemangku kepentingan masih lemah; (4) upaya proyek pada tingkat masyarakat masih berlandaskan pendekatan sektoral dan kurang mempertimbangkan dampak pada fungsi DAS; (5) penegakan hukum lemah; (6) peningkatan kemiskinan selama dan setelah krisis ekonomi Indonesia (1997-sekarang); (7) kesadaran masyarakat lokal tentang degradasi lahan masih rendah; dan (8) tidak ada upaya penyebaran informasi/sosialisasi secara partisipatif. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, ESP Jawa Timur menawarkan fasilitasi manajemen DAS dan konservasi keanekaragaman hayati kepada para pemangku kepentingan melalui empat program utama yaitu: (1) Pengembangan rencana manajemen DAS; (2) Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan; (3) Pengembangan manajemen konservasi wilayah lindung dan hutan; dan (4) Pengembangan dukungan kebijakan manajemen DAS. Pendekatan ESP ini dipilih karena dalam proses pengelolaan DAS Brantas, kondisi hidrologi DAS merupakan isu utama. Pelaksanaan kegiatan ESP diharapkan dapat memberikan pemahaman dan cara pandang baru bagi para pihak terhadap kondisi dan pengelolaan DAS Brantas.1 Upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang merupakan kegiatan praktis di tingkat lapangan dari forum pengelolaan DAS dipusatkan di Sub-DAS Sumber Brantas. Di sini, konversi tutupan hutan menjadi lahan pertanian dan lainnya dalam periode 1991-2000 merupakan deforestasi yang paling dramatis di Jatim. Tutupan hutan di sini meliputi daerah tangkapan air untuk 111 mata air. Penggundulan hutan terutama terjadi di dalam kawasan lindung Taman Hutan Raya Raden Soeryo dan kawasan produksi Perum Perhutani. Salah satu isu di awal adalah lembaga ini berkonflik dengan masyarakat lokal yang tinggal di perbatasan hutan. Masyarakat cenderung menggunakan hutan untuk produksi sayuran dan tanaman pangan tahunan dalam rangka pengamanan pangan keluarga. Konflik ini terjadi karena kurang pemahaman tentang fungsi DAS, penegakan hukum yang lemah dan rendahnya kemampuan melakukan perundingan. Pengurangan tutupan hutan ini 1
Suprayogo Didik. 2009. Menjamin Kesehatan DAS Brantas, dalam Strategi adalah Kreativitas. Aliansi Jurnalis Independen Malang dan Environment Services Program – USAID Jawa Timur.
333
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
menjadi kendala pengisian air di wilayah ini dan penurunan debit 58 mata air. Dampak lain adalah meningkatnya peak flow, beban sedimen, dan terjadinya 24 titik bahaya banjir dan penurunan base flow selama musim kemarau di daerah hilir. Dalam Gerakan rehabilitasi lahan, ESP Jatim telah melakukan beberapa kegiatan termasuk diskusi dengan LSM lokal, organisasi masyarakat, melakukan survei lapangan, rembug di tingkat desa dan berbagai lokakarya yang meliputi isu seperti: (1) ekosistem air dan permasalahan spesifik lokasi, yaitu air di wilayah tangkapan air, air di sisi sungai, mata air, air di desa/wilayah domestik, air di pertanian dan air dalam perikehidupan masyarakat; (2) metode kajian; (3) keterampilan memandu; (4) pengorganisasian masyarakat; (5) pengembangan rencana aksi. Setelah periode kajian, tahap berikutnya adalah melaksanakan kegiatan di tingkat masyarakat, termasuk (1) Sekolah Lapangan – pendidikan ekologis terkait air, sanitasi, kesehatan dan kebersihan; (2) Pelaksanan kegiatan belajar untuk pembibitan pohon dan restorasi oleh masyarakat; (3) Pelaksanaan kegiatan belajar tentang isu lahan. Sebuah kelompok konservasi lahan melibatkan 14 desa di 3 kecamatan Kota Batu sudah terbentuk dan dikukuhkan dalam lokakarya setempat. Kegiatan utama konservasi lahan adalah menghijaukan Kota Batu yaitu menghijaukan Kakisu (kanan kiri sungai), Kakisua (kanan kiri sumber air), Kakija (kana kiri jalan). Kegiatan lain meliputi belajar dan menerapkan pertanian berkelanjutan yang mengurangi erosi tanah, sedimentasi dan kontaminasi bahan kimia pertanian di air permukaan. Disamping itu, ESP juga melakukan kegiatan menjangkau publik dan strategi komunikasi yang berfokus kepada penyebaran informasi tentang “air untuk kehidupan” dan “lingkungan bersih yang terbebas dari bencana banjir”. Beberapa pertemuan sudah dilakukan dengan pemerintah, LSM, jurnalis dan kampanye program ESP di koran, radio dan TV. Konsep manajemen DAS yang dikembangkan membahas tentang (1) Bentang lahan, penggunaan lahan dan kepemilikan lahan – terkait dengan Sistem Informasi Geografis; (2) Peningkatan pendapatan; (3) Penguatan inisiatif masyarakat untuk jasa lingkungan; (4) Fungsi ekologis; (5) Dukungan negosiasi; (6) Keberlanjutan yang didukung Pemda, kelompok masyarakat, LSM, universitas dan lembaga teknis; (7) Monitoring dan evaluasi tentang unjuk kerja DAS, dan (8) Forum DAS, gerakan konservasi dan perubahan kebijakan dan kelembagaan. Kerangka kerja ini menjadi bahan rencana kerja ESP untuk DAS Brantas. Komitmen awal dari para pihak untuk pembiayaan pengelolaan DAS antara lain dari Walikota Batu, Badan Perencanaan Kota Batu, dan BP DAS. Komitmen ini diikuti jajaran pemerintah dan masyarakat di beberapa kabupaten serta perusahaan yang berkepentingan terhadap sektor air (HM Sampoerna, Coca Cola, Schering Plough, dan PT Pembangkitan Jawa Bali). Strategi ESP Jatim adalah berkonsentrasi pada penguatan hubungan kerja antara para pihak dengan ESP, analisis kebutuhan para pihak dan pengembangan rencana aksi. ESP memfasilitasi pelaksanaan rencana pengelolaan DAS terpadu oleh para pihak tersebut. 334
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Lokasi Kerja Pemilihan lokasi kerja prioritas perlu dilakukan karena bekerja pada level Daerah Aliran Sungai melibatkan cakupan wilayah yang cukup luas dari hulu ke hilir, mencakup luasan ratusan Km2 area, melintasi beberapa kabupaten bahkan kadang melintasi batas provinsi. Tingkat DAS terlalu besar bila dikelola untuk sumber daya kegiatan yang terbatas, oleh karena itu pemilihan beberapa sub DAS utama merupakan langkah yang perlu dipertimbangkan.
Teknologi GIS dimanfaatkan untuk pemilihan DAS hingga sub DAS prioritas. Proses analisis overlay (tumpang tindih) beberapa data geo-spasial berdasarkan kriteria-kriteria yang disepakati dalam proses pemilihan dan akan menghasilkan nilai-nilai kuantitatif wilayah yang disajikan dalam bentuk skor matriks dan urutan wilayah prioritas dengan disertai peta wilayah terpilih dengan urutan prioritas tertinggi sehingga wilayah kerja terpilih tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan perencanaan dan mendukung pelaksanaan aktivitas program. Pemilihan lokasi kerja prioritas memasukkan 3 faktor utama yaitu: (i) Faktor Sosial Ekonomi masyarakat di DAS, (ii) Biofisik (iii) Faktor Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya. Lebih detailnya disajikan dalam tabel.
335
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Gambaran sosial ekonomi masyarakat didasarkan pada data Potensi Desa (PODES) tahun 2003 yang dikeluarkan oleh (BPS) Biro Pusat Statistik. Data yang dianalisis meliputi: jumlah penduduk miskin dalam desa, jumlah kepala keluarga (KK) yang tinggal di bantaran sungai, tinggal di wilayah hutan lindung, jumlah KK yang tinggal di lahan kritis, di daerah yang berisiko banjir dan bencana, data kejadian penyakit terkait sanitasi dan air bersih seperti diare dan demam berdarah dan data yang mengarah kepada kesehatan daerah aliran sungai yang terkait dengan masyarakat. Gambaran Biofisik didasarkan pada analisis Land Position Map (LPM) yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan yag merupakan Unit Pelaksana Teknis Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan. LPM didasarkan pada analisis citra LANDSAT dengan pengklasifikasian parameter yang didasarkan pada KEPRES No 32/1990 dan KEPMENTAN No 837/Kpts/Um/11/1981 yang meliputi paramater: ketinggian dari permukaan laut, kelerengan, jenis tanah dan juga mempertimbangkan formasi geologi, karakteristik DAS (bentuk, kemiringan, kerapatan aliran), posisi dalam DAS (hulu, tengah dan hilir) berdasarkan tingkat pengaruhnya terhadap run off dan erosi.
336
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Faktor pengelolaan DAS, pemanfaatan Sumber Daya air dan Prasarana Bernilai Tinggi diperoleh dari Perum Jasa Tirta sebagai penyelenggara eksploitasi dan pemeliharaan prasarana dan pengusahaan air dan sumber air, PDAM, Dinas Sumber Daya Air dan Energi. PERUSAHAAN UMUM (PERUM) JASA TIRTA I Jl. Surabaya 2A, Malang – 65115 Telp.(0341) 551971, Fax.(0341) 551976 E-mail :
[email protected] KAPASITAS ORIGINAL NO
NAMA WADUK
EFEKTIF
TOTAL
(juta m3)
(juta m3)
2,5
21,5
KAPASITAS SAAT INI EFEKTIF
TOTAL
(juta m3)
(juta m3)
1988
1,1
TAHUN
% THD ORIGINAL
TAHUN
EFEKTIF
TOTAL
2,3
2003
45
11
1
Sengguruh
2
Sutami
253,0
343,0
1972
145,2
174,6
2003
57
51
3
Lahor
29,4
36,1
1977
25,8
31,3
2002
88
87
4
Wlingi
5,2
24,0
1977
2,1
4,0
2001
41
17
5
Lodoyo
4,2
5,8
1980
1,9
2,0
1999
46
35
6
Selorejo
50,1
62,3
1970
41,5
44,0
2003
83
71
7
Bening
28,4
32,9
1981
22,3
24,2
1999
79
73
8
Wonorejo
105,8
121,5
2001
105,8
121,5
2001
100
100
337
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Masyarakat adalah pihak yang langsung berhubungan dengan permasalahan lingkungan karena masyarakat tinggal selama 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu dan yang paling merasakan pertama kali dampaknya. Jumlah masyarakat yang berhubungan langsung dengan masalah jauh lebih banyak dari jumlah petugas pemerintah. Pengalamam hidup mereka memperkaya pandangan dan sikapnya terhadap permasalahan lingkungan. Persepsi masyarakat merupakan kunci utama dalam pengelolaan masalah lingkungan. Persepsi masyarakat mungkin berbeda dengan persepsi peneliti disatu sisi, dan persepsi pemerintah disisi yang lain. Persepsi masyarakat didasarkan pada subjektivitas. Namun, dari subjektivitas individu dicoba dibangun komitmen bersama. Kelebihan upaya memahami persepsi subjektivitas masyarakat antara lain adalah: 1. Persepsi Empiris. Persepsi yang diperoleh dari proses pengalaman sehari-hari yang panjang. Melihat, merasakan, mengalami secara berulang-ulang menjadi suatu hal kewajaran atau, sebaliknya, dalam periode sangat pendek terjadi perubahan dramatis dengan dampak besar. Contohnya antara lain pengalaman akan bencana akan membawa persepsi yang realistis dalam menyusun rencana, menghadapi dan mengatasi masalah. Partisipasi publik sulit diraih jika program yang disusun oleh pihak luar bertentangan dengan persepsi empiris masyarakat. 2. Persepsi Masyarakat terkait langsung dengan Perikehidupan Masyarakat. Persepsi ini menunjukkan keterkaitan langsung antara permasalahan dengan perikehidupan masyarakat. Keterkaitan langsung umumnya menghasilkan upaya kuat untuk melakukan tindakan. Masalah yang tidak menyangkut hajat hidup masyarakat akan menjadi prioritas rendah. 3. Persepsi Masyarakat Bersifat Praktis. Pengalaman dari yang dipahami dari permasalahan lingkungan lebih bersifat praktis. Kondisi tersebut dapat sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat dengan sedikit dukungan yang dibutuhkan dari pihak luar. Pandangan teknis dan ekonomis yang semakin sederhana akan meningkatkan persepsi masyarakat ke tingkat yang semakin baik. Pendekatan subjektif yang mendasarkan pada persepsi masyarakat memiliki kekurangan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan menyangkut hal-hal sebagai berikut: 1. Akurasi. Masalah akurasi fakta atau data kurang begitu kuat. Pengamatan komunitas terhadap suatu permasalahan lingkungan secara detail dan terperinci sulit diharapkan dan sulit dikuantifikasi menjadi ukuran. Sebagai contoh adalah kesulitan mengukur tingkat keparahan banjir atau kekeringan yang terjadi beberapa tahun yang lalu, atau upaya mengukur penurunan debit dan kualitas air dari suatu mata air. Dalam kondisi ini dapat diterapkan perkiraan kecenderungan penurunan atau peningkatan dari tahun ke tahun. 2. Analisis Interaksi ekosistem kompleks. Dalam pemahaman masyarakat terhadap permasalahan lingkungan, terutama degradasi lahan, merupakan hasil analisis 338
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
interaksi yang kompleks dari berbagai faktor. Namun hal tersebut seringkali terlalu mengakomodasi kondisi lokal spesifik, terutama sifat lokal spesifik yang unik sehingga tidak relevan jika dikembangkan di daerah lain.
Partisipasi Publik dalam Pengelolaan Lingkungan Dalam melakukan analisis perikehidupan berkelanjutan dibutuhkan sarana untuk membuka ruang partisipasi publik dalam pengelolaan lingkungan. Salah satu pendekatan yang awalnya dikembangkan oleh DFID untuk melakukan kajian terkait isu kemiskinan adalah Perikehidupan yang Berkelanjutan (Sustainable Livelihood Analysis (SLA))2. Sekitar tahun 2006 Program Jasa Lingkungan -Environmentas Services Program (ESP) - USAID melakukan beberapa modifikasi dan mengemas Analisis Perikehidupan yang berkelanjutan dalam format Sekolah Lapangan. Langkah-Langkah yang dilakukan dalam upaya melibatkan masyarakat adalah sebagaii berikut: 1. Pemetaan Desa: Pemetaan desa adalah awal proses pemahaman masyarakatakan kondisi realitas desa terkait dengan perikehidupan. Proses ini dimulai dengan pemahaman akan makna peta, manfaat dan cara membuatnya, termasuk jenis dan klasifikasi informasi serta simbol-simbol yang diletakkan. Kecenderungan masyarakat yang tidak akrab dengan peta, dalam proses diskusi menjadi kendala yang terus dicermati. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tidak terjebak pada aktivitas menghasilkan peta hanya untuk hiasan. Metode pemetaan partisipatif untuk menentukan arah, titik, dan kemiringan lahan adalah bagian penting dalam kegiatan lapangan. Peta yang dihasilkan dalam proses ini sangat dinamis dan dapat diubah atau ditambah sesuai perkembangan yang disepakati peserta sekolah lapangan. 2. Jelajah Kawasan (Transect): Realitas perikehidupan dan alam pedesaan yang sudah dituangkan di dalam peta dicermati dan dinilai melalui kegiatan jelajah kawasan (transect). Pengumpulan data dan informasi kondisi lapangan dengan metode pengamatan pada titik-titik tertentu dilakukan untuk melengkapi informasi dalam peta. Sebelum melakukan jelajah kawasan, setiap kelompok diskusi menetapkan faktor atau elemen yang akan diamati, diukur dan dianalisis. Kesepakatan ini dituangkan dalam bentuk matriks yang diisi selama mereka melakukan perjalanan. Selain kegiatan mengamati, juga dilakukan wawancara dengan beberapa anggota masyarakat setempat untuk mendapatkan informasi yang tidak dapat ditangkap dari kenampakan keadaan. Hasil kegiatan dirumuskan dalam bentuk gambar melintang kawasan desa yang dilengkapi dengan catatan spesifik. 3. Analisis Foto: Selama kegiatan jelajah kawasan, peserta memotret suatu tempat, aktivitas, atau kejadian yang dapat menggambarkan kondisi desanya. Peserta mereka dibekali dengan pemahaman tentang foto dan manfaatnya sebagai sarana diskusi, termasuk 2
http://www.nssd.net/references/SustLiveli/DFIDapproach.htm
339
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
4.
5.
6.
7.
8.
340
keterampilan mengoperasikan kamera dan menentukan sudut pandang. Sebelum digunakan untuk melengkapi peta desa, hasil pemotretan dipilih untuk memaparkan cerita dari foto yang diambil tersebut. Gabungan informasi yang dituangkan dalam peta, transect, dan foto menjadi sarana diskusi pengambilan keputusan serta bahan dasar untuk menyusun profil desa dan rencana aksi desa. Analisis Kecenderungan: Kecenderungan yang terjadi di desa diperoleh dengan mengkaji sejarah desa. Dalam proses diskusi, peserta merumuskan faktor-faktor penyebab perubahan. Hasil diskusi digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam merancang aktivitas. Analisis Kalender: Berdasarkan analisis kecenderungan, kejadian dan aktivitas masyarakat dipolakan waktunya dalam dalam bentuk kalender. Analisis ini ditujukan untuk mengetahui waktu kejadian dan jadwal aktivitas yang sering terjadi. Hubungan sebab-akibat antar kejadian dan aktivitas juga dapat diketahui dengan menarik dan menganalisis beberapa parameter. Analisis Posisi: Hubungan, keterlibatan, peran dan sumbangan lembaga untuk masyarakat dipolakan posisinya untuk mengetahui tingkat kepentingan akan lembaga yang ada di lokasi kegiatan di desa untuk memberi dukungan aktivitas masyarakat. Hasil analisis dipakai untuk mempertimbangkan individu atau kelompok masyarakat yang akan dilibatkan dalam aksi mendatang. Penilaian 5 Modal Perikehidupan: Hasil analisis kondisi, aktivitas, kejadian dan persoalan dengan beberapa metode tersebut di atas, digunakan untuk menilai setiap modal yang dimiliki desa. Setiap hal yang dituangkan dalam masing-masing modal dinilai secara sederhana dengan memberi poin satu sampai lima. Poin-poin tersebut kemudian dijumlahkan untuk mengetahui seberapa besar modal manusia, alam, sosial, fisik, dan finansial yang ada di desa. Penyusunan Rencana Aksi: Proses terakhir tahap perencanaan adalah penyusunan rencana aksi desa. Kegiatan yang dirancang harus memenuhi tiga syarat yaitu: memiliki kompetensi, realistis, dan sesuai potensi. Rencana aksi desa disusun secara detail meliputi informasi tentang tujuan, keluaran, lokasi dan waktu, tahapan, keterlibatan dan dana yang dibutuhkan. Rencana aksi desa dijalankan dengan skala kecil dalam tahap kegiatan aksi rintisan. Selama penerapan aksi rintisan, masyarakat secara bersama melakukan proses pembelajaran untuk mencermati setiap tahapan pelaksanaan aksi. Rencana aksi desa bersifat dinamis, dapat diubah atau ditambah kapan saja. Pada akhir pelaksanaan aksi rintisan, masyarakat melakukan evaluasi untuk memperbaiki rencana aksi desa. Hasil perbaikan dipaparkan dalam hari temu lapangan untuk mendapat dukungan dari para pihak dalam tindak lanjut pengembangan program. Di sisi lain rencana aksi desa yang telah diperbaiki akan digunakan sebagai bahan dasar untuk penyusunan rencana pengelolaan kawasan.
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Membangun Jejaring Kerjasama Perikehidupan masyarakat dalam pengelolaan daerah aliran sungai terkait dengan tata guna lahan. Pengorganisasian kegiatan dan jaringan juga selayaknya mempertimbangkan aspek ini. Masyarakat yang perikehidupannya bergantung kepada kawasan hutan tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Namun, mengorganisir pengelolaan sub-DAS dalam level desa kurang memberikan dampak. Pengorganisasian dalam skala bentang lahan yang lebih luas lebih diperlukan. Pembentukan paguyuban LMDH yang beranggotakan LMDH dari beberapa desa ternyata cukup efektif. Pengorganisasian masyarakat untuk penyelamatan DAS perlu juga dilakukan di daerah di luar kawasan hutan. Hal ini untuk menangani permasalahan ditengah dan hilir dari suatu sub DAS yang meliputi permasalahan pertanian, sepanjang aliran sungai, dan masalah terkait pencemaran badan air dan sanitasi.
Peran Swasta dalam Pengelolaan DAS Upaya penyelamatan DAS bukanlah tanggung jawab masyarakat semata. Peran pemerintah, swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak kalah penting. Namun demikian, kerangka kerja yang masuk akal diperlukan untuk memberikan landasan yang kuat bagi pihak swasta untuk berpartisipasi secara tepat dalam pengelolaan daerah aliran sungai. Pihak swasta tidak dianggap semata-mata sebagai sumber dana alternatif dalam upaya penyelamatan daerah aliran sungai. Dalam hal ini perlu disusun argumen dasar untuk menjawab pertanyaan mengapa pihak swasta perlu berpartisipasi dan bagaimana partisipasi tersebut seharusnya dilakukan. Argumen dasar yang dibangun adalah dalam kerangka Payment for Environmental Services (PES). PES pada dasarnya adalah jual beli jasa lingkungan yang mengandung 3 unsur pertanyaan dasar. Siapa penjual yang memberikan jasa (seller), siapa pembeli jasa (buyer) dan berapa harga jualnya. Teknik pelingkupan wilayah (delineasi) DAS mikro dengan memanfaatkan data spasial GIS digunakan untuk menjawab pertanyaab dasar PES tersebut. DAS mikro adalah kawasan wilayah berbentuk sub-sub (bahkan sub-sub) DAS kecil yang berbentuk cawancawan hidrologis yang menampung daerah aliran air dari satu inlet dan keluar dalam outlet yang sama. Ukuran mikro DAS dapat mencapai beberapa puluh, bahkan puluhan ribu hektar area. Gambar delineasi di bawah ini menunjukkan lokasi sumur dalam dan letak pabrik perusahaan air minum dalam kemasan (Aqua) dan Schering Plough (titik berwarna biru), Coca Cola (titik berwarna merah) di daerah Pandaan Pasuruan. Garis berwana hijau adalah delineasi sub DAS mikro Coca cola dan garis berwarna kuning menunjukkan sub DAS mikro pabrik Sechering Plough dan Aqua. Garis berbentuk setengah lingkaran berwarna putih menunjukkan kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura R. Soerjo) yang merupakan hutan lindung Gunung Arjuno Welirang dengan nilai keaneka ragaman hayati yang tinggi sekaligus merupakan daerah tangkapan air bagi dua sub DAS mikro tersebut. 341
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Pelingkupan wilayah DAS mikro tersebut menunjukkan bahwa upaya penyelamatan DAS bukan kegiatan amal, namun setidaknya mengandung dua hal penting dalam manajemen perusahaan, yaitu secara biofisik adalah Risk Management dan secara sosial adalah Public Relations bagi masyarakat miskin di daerah hulu DAS mikro. Pengguna air dan pihak yang terkait dalam DAS mikro merupakan pembeli (buyer) dalam kerangka PES. Penjual (Seller) adalah LSM dan kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Harga jualnya setara dengan biaya upaya penyelamatan hektar luas hutan atau lahan kritis di kawasan tersebut. Contoh kasus yang sedang berjalan saat ini adalah kegiatan Hutan asuh di wilayah Prigen, Pasuruan. Pihak pembeli diprakarsai oleh PT Sampoerna dan beberapa pihak swasta lainnya, sedangkan penjualnya adalah Yayasan Kaliandra Sejati (LSM), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Paguyuban Kelompok Tani Tahura (PKTT). Harga jualnya untuk tahun pertama setara dengan biaya pengasuhan hutan dan atau lahan kritis oleh masyarakat seluas 50 ha dan Aqua menanggung 25 ha. Teknik delineasi ini hanya mampu melingkupi wilayah dengan geologi batuan vulkanik seperti di kawasan hulu DAS Brantas. Pendekatan delineasi untuk kawasan daerah
342
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
berkapur (Karst) tidak dilakukan dilakukan karena aliran air di daerah batuan kapur dapat meresap ke arah mana saja dan keluar di mana saja, kadang-kadang dalam bentuk sungai di bawah tanah.
: PLTA Sengguruh
: Lokasi Kegiatan
Contoh kerjasama dengan pihak swasta lain adalah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dilakukan oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB). Kegiatan ini bekerja sama dengan kelompok Tani Desa Pandan Sari Lor, Kec Jabung Kab Malang dan LMDH Desa Tulung Rejo Kota Batu sebagai seller. Tujuan kegiatan ini adalah menahan laju erosi dan sedimentasi yang masuk kedalam aliran sungai Amprong (Jabung) dan Sungai Brantas Hulu. Dua sungai itu mengalirkan sedimen yang mengarah ke Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sengguruh. Luasan lahan yang direhabilitasi sekitar 200 ha. Luasan 200 ha adalah kuantifikasi dari pembayaran. Kegiatan ini melibatkan berbagai pihak, antara lain adalah siswa sekolah, LSM, Kelompok tani, pemuda dan unsur masyarakat lain. Sebelum dilakukan aksi rehablitasi lahan berbagai kegiatan yang dikemas dalam bentuk sekolah lapangan tematik dilaksanakan di dua kelompok masyarakat tersebut. Pemilihan kelompok didasarkan pada posisi relatif hulu dua lokasi wilayah tersebut terhadap PLTA sengguruh dengan sungai sebagai benang merahnya.
343
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Contoh Kasus 1. Kelompok Tani Bumi Jaya II, Desa Bumiaji Kecamatan Bumiaji, Batu Produktivitas tanaman apel petani di Bumiaji dari tahun ke tahun semakin menurun. Hampir semua lahan apel pada awalnya berupa hutan rakyat, kemudian hutan rakyat dengan pola tanam kebun campur diubah menjadi pertanaman apel. Produksi tanaman apel yang semakin menurun mendorong petani untuk membuka hutan kembali dan menggantinya dengan tanaman apel. Pertanaman apel semakin lama semakin bergeser ke daerah yang lebih tinggi ke arah hulu. Disisi yang lain serangan hama “mumul” semakin meningkat. Hama tersebut merusak karena memakan pucuk dan calon bunga apel. Harga sarana produksi pertanian yang semakin mahal menimbulkan kesulitan dalam berusaha tani. Analisis Perikehidupan berkelanjutan menghasilkan rencana aksi untuk memperbaiki keragaman hayati tanaman apel dengan cara mengembalikan sebesar mungkin iklim mikro bentang lahan dengan menanam tanaman keras tanpa mengganggu produksi tanaman apel. Pembibitan tanam keras seperti sengon, nangka, mahoni mulai dilakukan. Pembibitan ini menghasilkan tidak kurang dari 70.000 tanaman pertahun. Tanaman keras tersebut ditanam di sepanjang kanan kiri jalan, di sela-sela pembatas tanaman apel dan di sekitar mata air. Harapan kegiatan ini adalah agar iklim mikro kembali sejuk dan cocok untuk tanaman apel. Penambahan jenis dan jumlah tanaman keras diharapkan juga akan meningkatkan keragaman hayati serangga sehingga populasi hama mumul bisa dikurangi. Untuk meningkatkan produksi tanaman apel dilakukan konservasi tanah dengan meningkatkan penggunaan bahan organik. Anggota kelompok tani Bumijaya II menggunakan bahan organik dari pupuk kandang untuk meningkatkan kapasitas lahan dalam menahan air dan kemampuan lahan menahan nutrisi. Unit usaha pupuk kandang ini selanjutnya dikelola oleh beberapa pemuda putus sekolah.
2. Rumah Kompos Pemuda Sampah dan pemuda mungkin dua hal yang sulit dihubungkan. Sangat jarang dijumpai pemuda yang tekun bergulat dengan sampah. Namun tidak demikian halnya dengan pemuda di desa Bumiaji, Kec Bumiaji, Kota Batu. Usai mengikuti Sekolah Lapangan Pak Darmanto anggota kelompok Tani Bumijaya II tergerak hatinya untuk mencoba ide-ide kreatif memecahkan masalah lingkungan di sekitar mereka. Salah satu rencana tindak 344
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
lanjut mereka berprinsip pada mengubah tantangan menjadi peluang: membuat kompos dari sampah dan limbah. Selama ini sampah menjadi permasalahan yang kian rumit untuk dipecahkan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan semakin padatnya pemukiman. Di sisi yang lain tuntuan pertanian ramah lingkungan semakin tidak bisa dihindari. Rencana mereka mendapat dukungan dari pemerintah desa. Melalui dana ADD (Alokasi Dana Desa), desa mengalokasikan Rp 13 juta untuk pengolahan sampah. Langkah pertama yang dilakukan oleh Pak Darmanto dari Kelompok Tani Bumi Jaya II dalam mengarahkan pemuda di desa tersebut adalah dengan membangun rumah kompos. Pengomposan dilakukan dengan menggunakan teknik fermentasi dengan biang kompos yang dibuat sendiri yang disebut MOL (Mikroorganisme Lokal). Semua bahan MOL diramu dari bahan-bahan alamiah yang tidak perlu dibeli. Penggunaan MOL mempercepat produksi kompos. Produksi yang diperoleh mencapai 6 ton dalam 10 hari. Namun produksi tersebut belum mampu memenuhi permintaan petani apel, sayur dan bunga hias. Layanan Rumah Kompos masih mengutamakan pada anggota dan kelebihannya dijual. Perhitungan Pak Darmanto menunjukkan bahwa laba bersih rumah kompos berkisar sekitar Rp 1 juta perbulan. Keuntungan tersebut sudah dikurangi biaya air, bahan bakar dan tenaga kerja. Meskipun dengan peralatan seadanya rumah kompos ini mampu menyerap sekitar 5 tenaga kerja per hari. ”Lumayan untuk penghasilan pemuda putus sekolah” tambah Pak Darmanto.
3. Mandiri Energi: Mengolah Limbah Menyelamatkan Hutan Dusun Bendrong, Desa Argosari Kecamatan Jabung kabupaten Malang adalah salah satu desa penyangga di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Jumlah rumah tangga di dusun tersebut 452 KK. Peternak sapi perah berjumlah 360 KK dengan populasi ternak sapi 806 ekor. Sapi dipelihara dengan sistim kandang yang menempel dengan rumah induk, tak jarang bersebelahan dengan ruang tamu atau dapur. Seekor menghasilkan 20 kg kotoran padat dan 10 liter kotoran cair perhari. Rata-rata dusun Bendrong menghasilkan 16 ton kotoran sapi per hari. Kotoran sapi ditumpuk begitu saja di samping rumah dan membawa permasalahan higienitas. Bau, lalat dan serangga vektor penyakit lain banyak ditemukan. Selama musim hujan timbunan kotoran ini terbawa air dan mencemari sungai dan mata air. Kebutuhan energi masyarakat dusun Bendrong cukup tinggi. Lebih dari 90persen penduduk tergantung kepada kayu bakar yang diperoleh dari hutan baik hutan 345
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Perhutani mapun TNBTS. Hal ini menjadi ancaman yang nyata bagi kelestarian hutan dan mata air. Satu kepala keluarga menghabiskan sekitar 4 batang pohon berdiameter 1 m setiap tahun. Hampir 400 batang pohon akan ditebang setiap tahun. Permasalahan yang selalu dihadapi oleh masyarakat dusun Bendrong dari tahun ketahun adalah tanah longsor, masalah air bersih, sanitasi dan produksi tanaman jagung dan padi yang semakin tahun hasilnya semakin tidak menentu. Melalui analisis perikehidupan yang berkelanjutan masyarakat mempelajari hubungan hutan, mata air, ternak, pertanian dan higienitas. Lingkungan hidup dan perekonomian selalu dipertentangkan dan seakan tidak pernah ada titik temunya. Pertumbuhan ekonomi selalu dikaitkan dengan penurunan kualitas lingkungan hidup. Hipotesis yang dikembangkan dalam pelaksanaan analisis perikehidupan berkelanjutan adalah bagaimana memperoleh keuntungan ekonomi dan dalam waktu bersamaan mempertahankan kualitas lingkungan hidup. Seperti halnya di Bumiaji fokus kegiatan tidak diawali dari lahan dan hutan, tetapi dari perikehidupan masyarakat. Analisis dimulai dari rumah tangga masingmasing tentang perikehidupan mereka, dampak, tantangan dan keberlanjutan kedepan.
K
Skema Kerangka kerja Perikehidupan berkelanjutan Dusun Bendrong: sanitasi dan air bersih, mandiri energi, konservasi hutan Dengan dukungan dari pemerintah lokal, dusun Bendrong, desa Argosari, mencanangkan diri sebagai desa mandiri energi dengan cara memanfaatkan limbah kotoran sapi sebagai sumber energi terbaharukan melalui pembangunan biogas plastik skala rumah 346
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
tangga. Saat ini sudah 115 unit biogas dibangun. Sebanyak 135 kepala keluarga menikmati energi biogas untuk memasak dan tidak lagi menggantungkan diri pada sumber daya hutan.
Keuntungan Hemat Biaya. Kebutuhan rata-rata untuk satu rumah tangga di wilayah yang berbatasan dengan hutan sekitar 2 liter minyak tanah dan satu ikat kayu bakar dengan perkiraan nominal uang sekitar Rp 12.500 per hari. Hemat waktu. Untuk mengumpulkan kayu bakar di hutan dibutuhkan waktu sekitar 3-5 jam, sedangkan untuk membuat api dibutuhkan waktu sekitar 15 menit sampai setengah jam. Dengan tersedianya biogas, petani tidak perlu lagi mengumpukan kayu bakar dan menjemur karena untuk membuat api api tinggal menyalakan pemantik. Ramah Lingkungan. Pemanfaatan kotoran sapi untuk biogas bersifat ramah lingkungan karena kotoran sapi yang keluar dari digester sudah tidak berbau dan siap digunakan sebagai pupuk tanaman. Pelestarian Hutan. Penggunaan alternatif energi dari biogas mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan. Masyarakat di sekitar hutan tidak lagi masuk hutan untuk mencari kayu bakar. Mengurangi Emisi Gas Metana. Peternakan sapi merupakan salah satu penyumbang emisi gas methane. Dengan dimasukkan kedalam digester, gas methane dikumpulkan dan dipecah dalam proses pembakaran yang menghasilkan energi. Tidak berasap. Menggunakan kayu bakar menghasilkan asap yang mengganggu. Kadang-kadang asap sampai masuk ke seluruh rumah terutama pada pagi hari. Penggunaan biogas tidak menghasilkan asap sehingga alat masak lebih bersih dan tidak berjelaga sehingga menghemat air yang digunakan untuk mencuci alat masak.
4. Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kelompok tani di dusun Bendrong melaksanakan serangkaian kegiatan penghijauan. Hal ini dilakukan untuk menanggulangi longsor dan menjamin pasokan air bersih bagi seluruh desa. Sekitar 300 ha hutan dan lahan sudah ditanami tanaman keras berupa tanaman kakao, mahoni dan kopi. Melalui program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyaraakat) dengan Perum Perhutani, kelompok tani di dusun Bendrong juga mencoba mengembangkan tanaman hijauan makanan ternak untuk mengurangi ketergantungan hijauan dari tanaman hutan.
347
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Lampiran Program Jasa Lingkungan USAID Di Indonesia, lebih dari 100 juta orang mengalami kesulitan mengakses air bersih dan 61 persen dari populasi perkotaan tidak terlayani oleh instalasi pipa air yang sudah ada. Sebagian besar dari mereka yang tidak tersambung ke instalasi pipa air tersebut berada di kawasan berpenghasilan rendah dan pinggiran kota, tempat dengan angka pengangguran dan gangguan sosial paling tinggi. Lonjakan kegiatan ekonomi dan industrialisasi, peningkatan tekanan populasi, mismanajemen PDAM, keterbatasan peraturan lingkungan dan penegakannya, serta penurunan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sangat cepat telah memperparah persoalan pasokan air, kualitas air dan beban terhadap sistem distribusi air. Praktik pengelolaan DAS yang buruk telah menimbulkan perubahan signifikan dalam pola distribusi air di Indonesia sehingga berbagai kawasan yang pernah memiliki pasokan air memadai, kini menderita kekeringan, erosi berat, tanah longsor, dan sering mengalami banjir besar. Di sisi lain, investasi untuk layanan air bersih dan sanitasi yang terjangkau kalah cepat oleh kebutuhan yang terus bertambah. Untuk mengatasi kondisi di atas, USAID/Indonesia meluncurkan Program Layanan Jasa Lingkungan (ESP) sebagai komponen pokok Tujuan Strategis, yaitu Layanan Kebutuhan Dasar Manusia dengan Kualitas yang Lebih Tinggi. Merujuk pada Bagian C dalam kontrak, ESP membina kerja sama dengan Pemerintah Indonesia, sektor swasta, LSM, kelompok masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya untuk memperbaiki pengelolaan daerah aliran sungai dan layanan lingkungan pokok melalui empat tujuan yang saling berhubungan: 1. Memperkuat kapasitas masyarakat, pemerintah, sektor swasta, institusi lokal, dan LSM untuk mendukung perluasan layanan pokok lingkungan melalui peningkatan pengelolaan sumber daya air dan kawasan yang dilindungi; 2. Memperluas kesempatan bagi masyarakat, LSM, sektor swasta dan universitas untuk berperan serta secara lebih efektif dalam pengelolaan sumber daya air lokal dan pemenuhan layanan pokok lingkungan; 3. Memperkokoh pelestarian keanekaragaman hayati melalui peningkatan pemahaman dan penghargaan terhadap keterkaitan antara kawasan lindung dan kawasan hutan serta pemenuhan layanan pokok lingkungan; dan 4. Meningkatkan kesehatan dan mata pencaharian penduduk Indonesia melalui perbaikan serta perluasan akses terhadap layanan pokok lingkungan (yakni air, penampungan dan pengolahan air limbah, serta pengolahan limbah padat) dengan memanfaatkan teknologi yang tepat, pendanaan yang inovatif, praktik-praktik terbaik yang berkelanjutan secara lingkungan dan kegiatan berorientasi pasar yang berkelanjutan.
348
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
ESP mengambil pendekatan ‘Hulu ke Hilir’ dalam pengelolaan sumber daya air dan penyediaan air bersih serta jasa sanitasi. Berbagai kegiatan di wilayah hulu daerah aliran sungai mencakup pelestarian hutan, rehabilitasi lahan kritis, dan perlindungan sumber daya air. Sedangkan kegiatan di wilayah hilir memprioritaskan peningkatan akses terhadap air bersih dan jasa sanitasi di kawasan perkotaan dan pinggiran perkotaan. Hubungan antara masyarakat hulu dan hilir dikembangkan melalui Imbal Jasa Lingkungan (Payment for Environmental Services - PES), yaitu imbalan atau bayaran dari pemakai sumber daya air di wilayah hilir kepada penyedia sumber daya air di wilayah hulu yang telah melindungi pasokan air bersih secara berkelanjutan. Selain itu, baik pemangku kepentingan di hulu maupun hilir juga ikut serta dalam kegiatan kesehatan dan kebersihan yang diarahkan untuk memperbaiki kesehatan dengan memutus siklus penyebaran kuman. ESP mengelola pendekatan ‘Hulu ke Hilir’ ini melalui empat komponen teknis yang spesifik dan sejumlah tema yang saling terkait: t Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati (Watershed Management and Biodiversity Conservation) menangani pelestarian hutan, rehabilitasi lahan kritis, dan perlindungan sumber daya air. Hal ini dilakukan dengan memfasilitasi forum pengelolaan daerah aliran sungai yang beranggotakan berbagai pemangku kepentingan, serta pengembangan dan pelaksanaan rencana pengelolaan daerah aliran sungai. t Penyediaan Jasa Lingkungan (Environmental Services Delivery) mendukung peningkatan akses terhadap air bersih dan jasa sanitasi di kawasan perkotaan dan pinggiran perkotaan. Langkah-langkah yang dilakukan termasuk bekerja sama erat dengan PDAM untuk memperbaiki dan memperluas layanan, dan juga dengan lembaga pemerintah, LSM, dan kelompok masyarakat untuk memperluas layanan sanitasi. t Pembiayaan Jasa Lingkungan (Environmental Services Finance) berupaya mendorong investasi yang diperlukan untuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan jasa sanitasi, termasuk dengan mengembangkan mekanisme pembiayaan alternatif bagi pengembangan infrastruktur dan kredit mikro bagi sambungan air rumah tangga, serta memfasilitasi berbagai model Imbal Jasa Lingkungan (PES). t Komunikasi Strategis (Strategic Communications) berupaya menyampaikan hasil dan pencapaian ESP, melakukan penjangkauan publik kepada jaringan wartawan untuk menyampaikan prinsip dan pendekatan ESP, serta menyampaikan pesan Kesehatan dan Kebersihan untuk mengatasi masalah kesehatan dari tingkat masyarakat sampai rumah tangga. t Berbagai tema yang saling terkait yang mendukung komponen teknis tersebut mencakup GIS (Geographic Information Systems atau Sistem Informasi Geografis), program Hibah Kecil dengan jangkauan yang cukup luas, kesadaran dan integrasi Gender, serta Pemantauan dan Evaluasi.
349
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
ESP menerapkan sejumlah perangkat dan pendekatan demi mencapai hasil. Beberapa perangkat terpenting termasuk: t GIS dan Development Pathways yang memungkinkan pendekatan cepat namun analitis bagi pemilihan lokasi, serta pemantauan dan evaluasi program dari tingkat provinsi sampai tingkat lokal. Pemilihan lokasi mencakup analisis berbagai variabel termasuk sumber daya air, jangkauan hutan, tekanan populasi, tingkat kejadian penyakit bawaan air (water-borne disease) dan faktor lainnya. Hal ini memungkinkan ESP untuk memilih lokasi yang cukup sesuai dengan pendekatan ’Hulu ke Hilir’ dan menyeimbangkan kemampuan untuk menciptakan dampak dalam pengelolaan daerah aliran sungai serta memberikan hasil dalam penyampaian jasa lingkungan. t Sekolah Lapangan dan Hari Lapangan memberikan pendekatan konseptual untuk mengorganisir dan memobilisasi kelompok masyarakat supaya dapat memahami dan mengambil tindakan memperbaiki ekologi air yang berpengaruh terhadap kesehatan dan lingkungan. Berdasarkan prinsip pendidikan non formal bagi orang dewasa, Sekolah Lapangan membangun kapasitas kelompok masyarakat untuk menjadi pendukung yang efektif demi meningkatkan penyampaian layanan. Hari Lapangan mempertemukan kelompok masyarakat dengan lembaga pemerintah lokal, PDAM, dan sektor swasta supaya kelompok masyarakat dapat menggalang dukungan yang dibutuhkan demi meningkatkan penyampaian layanan. Meskipun pendekatan ini mulanya dipusatkan pada masyarakat kawasan hulu daerah aliran sungai, pendekatan ini belakangan juga diadaptasi untuk masyarakat perkotaan. t Kredit Mikro untuk sambungan air ledeng rumah tangga telah terbukti sebagai pendekatan efektif yang memungkinkan rumah tangga miskin untuk membayar sambungan mereka dalam bentuk angsuran alih-alih pembayaran tunggal di muka. Hal ini membutuhkan dibangunnya kemitraan antara PDAM dan bank lokal. Inisiatif percontohan dari ESP telah mendorong penerapan yang cepat di sejumlah Provinsi Utama dan mungkin akan diperluas secara nasional melalui dukungan salah satu bank terkemuka di Indonesia. t Meter Komunal untuk akses air ledeng adalah pendekatan inovatif lainnya yang memungkinkan masyarakat miskin untuk mendapatkan air ledeng sampai ke rumah, sedangkan PDAM cukup menyalurkan air ledeng sampai ke sebuah titik akses tunggal berpengukur. Organisasi Berbasis Masyarakat (Community-based organization - CBO) mengadakan perjanjian dengan PDAM dan membayar air yang dikirim melalui titik akses tunggal tersebut dan kemudian meneruskan sistem air ledeng ke rumah tangga lokal.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Komponen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dari ESP turut memberikan sumbangsih dalam menstabilkan dan memperbaiki 350
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
pasokan air bagi pusat populasi di perkotaan dan pinggiran perkotaan di berbagai wilayah di Jawa, Sumatera Utara, dan Aceh. Hal ini dicapai dengan mendorong pendekatan bentang alam untuk meningkatkan pemeliharaan tanah, mengintegrasikan pelestarian hutan alam dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi; pemulihan dan rehabilitasi lahan kritis dan hutan yang rusak, terutama di kawasan yang berbatasan dengan zona resapan air; dan pengolahan lahan pertanian yang berkelanjutan. ESP bekerja sama dengan mitra lapangan dari masyarakat lokal, lembaga pemerintah dari tingkat lokal sampai nasional, PDAM, dan sektor swasta agar pencapaian yang diperoleh dari pengelolaan daerah aliran sungai dapat ditingkatkan ke skala yang lebih luas. Selain melampaui semua target hasil dan serahan (deliverable), pencapaian penting selama program berjalan antara lain: t ESP memberikan banyak bantuan teknis dalam pembuatan kerangka kerja nasional bagi pengelolaan daerah aliran sungai secara terpadu, yang telah ditandatangani oleh Menteri Kehutanan dan diakui dengan Instruksi Presiden No. 05/2008. t Pendekatan ESP dalam pengelolaan daerah aliran sungai multi pemangku kepentingan telah diadaptasi di tingkat nasional melalui sebuah surat keputusan dari Bappenas pada bulan Desember 2009 mengenai pembentukan Forum Koordinasi Nasional untuk Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. t Perum Perhutani telah menerapkan perangkat, prinsip, dan pendekatan ESP untuk pengelolaan daerah aliran sungai secara partisipatif, terutama bagi rehabilitasi lahan krisis di 2.400.000 hektar Hutan Lindung di Jawa. Perhutani juga telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan Kementerian Kehutanan untuk kerja sama yang menekankan pada pendekatan berbasis daerah aliran sungai guna mengelola hutan. t ESP memberikan sumbangsih berupa rangkaian kebijakan yang menunjang pengelolaan daerah aliran sungai secara terpadu, pengelolaan kelestarian yang terdesentralisasi dan kolaboratif, serta perhutanan sosial. t ESP menyusun kumpulan perangkat sebanyak 5 buku untuk Pengelolaan Daerah Aliran Sungai secara Terpadu yang kini dipakai oleh kelompok masyarakat, lembaga pemerintah regional maupun nasional, LSM, sektor swasta, dan berbagai universitas di seluruh Indonesia.
ESP Jawa Timur Setelah bekerja selama lima tahun di Jawa Timur, ESP telah menggalang keikutsertaan dari sejumlah besar pemangku kepentingan untuk menanggapi masalah lingkungan dan kesehatan. Upaya yang awalnya difokuskan di tingkat sub-DAS, perlahan-lahan diperluas sampai ke tingkat daerah aliran sungai Brantas. pada tingkat akar rumput, ESP melibatkan masyarakat dan sekolah, serta meningkatkan kapasitas dan insentif untuk mengatasi 351
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
persoalan lokal. Secara bersamaan, ESP berupaya meningkatkan kapasitas berbagai lembaga pemangku kepentingan dan meningkatkan kerja sama antara organisasi lokal, LSM, dan perusahaan swasta. Hasilnya, pekerjaan ESP telah diambil alih dan disebarkan secara independen oleh para mitranya. Pencapaian penting selama program berjalan di Jawa Timur antara lain: t Sebanyak 9.326,5 hektar lahan kritis telah direhabilitasi dengan dipimpin oleh berbagai forum kerja sama dan 134 kelompok masyarakat yang aktif dalam pembibitan berbasis masyarakat, penanaman pohon, dan pemantauan. t Sejumlah kesepakatan telah dibuat di antara berbagai pihak dan masyarakat, termasuk untuk perbaikan daerah aliran sungai dan perlindungan mata air (6 kebijakan lokal, 7 rencana pengelolaan daerah aliran sungai, dan 4 rencana perlindungan mata air) pada 4 sub-DAS. t Akses terhadap layanan dasar telah meningkat selama berlangsungnya proyek dengan penambahan 10.786 sambungan air ledeng baru melalui PDAM dan sistem berbasis masyarakat; 7.374 dari antaranya merupakan rumah tangga penerima manfaat Kredit Mikro dari BRI dan Bank Jatim. t 1.901 rumah tangga, atau 9.505 penerima manfaat, mempraktikkan pengelolaan limbah padat di 16 lokasi. Berdasarkan survei kecil untuk menetapkan angka awal, perbaikan kesehatan ditandai dengan berkurangnya insiden diare dari rata-rata 23,6 persen (Februari 2007) menjadi 9,3 persen (Juni 2009) di seluruh lokasi ESP. t Perluasan prinsip dan pendekatan ESP dicontohkan melalui penerapan konsep CGH (Clean, Green, Hygiene) yang melanjutkan dari 23 sekolah dasar penerima bantuan ESP. Dinas Pendidikan Kota Batu dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur telah memperkenalkan konsep tersebut masing-masing di sekolah dasar di Batu dan di seluruh sekolah Muhammadiyah Jawa Timur. ESP mendorong perbaikan melalui perubahan perilaku dengan mendukung berbagai acara, termasuk acara peringatan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun di Malang Raya ketika 7.389 peserta ambil bagian untuk mempraktikkan Cuci Tangan Pakai Sabun dengan benar.
Keberlanjutan Program Sejak awal, ESP telah menyadari perannya sebagai program yang akan berakhir setelah lima tahun. ESP berupaya menjadi pemicu atau fasilitator berbagai organisasi di Indonesia, mulai dari masyarakat lokal, sampai ke lembaga pemerintah baik regional maupun nasional, supaya dapat memimpin pelaksanaan pekerjaan ESP dan mengarusutamakan pekerjaan tersebut ke dalam agenda pengembangannya masing-masing. Beberapa pendekatan spesifik yang turut memberikan sumbangsih bagi keberlanjutan jangka panjang termasuk:
352
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
t Inisiatif lapangan di tingkat wilayah mendorong reformasi kebijakan tingkat nasional. ESP memulai pekerjaannya di tingkat lokal dengan membangun pengalaman lapangan di Indonesia yang selanjutnya dapat berperan dalam kebijakan tingkat nasional. Pendekatan ini membangun kapasitas mitra di lapangan untuk menjadi pendukung reformasi kebijakan karena kelak akan menjadi juru bicara bagi reformasi kebijakan adalah mitra masyarakat ESP dan mitra pemerintah lokal dan bukan sebagai staf ESP. Selain membangun jaringan kuat dan berdampak terhadap kebijakan saat ini, pendekatan ini pun akan memungkinkan terjadinya reformasi kebijakan di masa yang datang. t Menggalang keberlanjutan. ESP yang berhasil mengembangkan model yang efektif di tingkat lokal mendorong staf dan mitra ESP untuk aktif memanfaatkan hasil-hasil tersebut untuk memperluas dan memperkuat dampaknya. Langkah ini berhasil menarik pemerintah lokal dan nasional untuk membuat anggaran rutin bagi keberlanjutan dan perluasan kegiatan ESP serta mengajak lembaga pemerintah, LSM, dan sektor swasta untuk memanfaatkan perangkat dan pendekatan ESP sehingga pelaksanaannya dapat diperluas ke wilayah baru. t Membangun jaringan pemimpin dan penyedia layanan dari masyarakat. Berbagai mitra ESP, terutama di tingkat masyarakat, memperlihatkan keahlian wiraswasta dan pengembangan yang tidak hanya berguna bagi perbaikan masyarakat di tempat mereka, tetapi juga dapat diterapkan di tempat lain. ESP banyak memanfaatkan mitra lokal sebagai sumber daya teknis dan sering mengirim konsultan dari satu masyarakat ke daerah baru atau mengadakan widyawisata dari satu provinsi ke provinsi lain. Hasilnya adalah tumbuhnya sebuah jaringan masyarakat yang kuat dan aktif untuk melakukan pekerjaan inovatif. t Pengembangan dan distribusi berbagai perangkat ESP. Selama dua tahun terakhir berlangsungnya program, staf dan mitra ESP bekerja sama untuk menciptakan, menyempurnakan, menerbitkan, dan mendistribusikan berbagai kumpulan perangkat (toolkit) yang didasarkan pada praktik terbaik, pembelajaran, dan pengalaman lapangan yang telah dikumpulkan ESP. Kumpulan perangkat ini mencakup Water for the Poor, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu (Integrated Watershed Management), Pemantauan Sumber Daya Air (Water Resource Monitoring), dan Pemantauan dan Evaluasi secara Partisipatif (Participatory Monitoring and Evaluation). Kumpulan perangkat (toolkit) tersebut telah didistribusikan kepada berbagai mitra ESP di pemerintahan, LSM, dan masyarakat. Selain itu, timbul pula permintaan yang semakin banyak dari lembaga pemerintah dan LSM yang lain, serta sejumlah universitas. ESP telah menyediakan semua kumpulan perangkat dan dokumen proyeknya agar dapat diakses secara daring (online) untuk jangka panjang. t Serah terima ESP. Seiring berakhirnya ESP, berbagai acara serah terima diadakan di daerah pekerjaan utama, termasuk di Provinsi Utama, kota di Indonesia timur, 353
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
dan di Jakarta. Acara-acara tersebut difokuskan pada keberlanjutan jaringan dan mempertahankan dampak yang telah dimulai ESP dengan disampaikannya komitmen konkret dari mitra dalam acara tersebut. Pembelajaran terpenting dari pengalaman ESP adalah bahwa keberhasilan jangka panjang dan keberlanjutannya berada di tangan mitra program. Pesan ESP untuk memanfaatkan air sebagai tema terpadu guna menjawab masalah kesehatan manusia dan lingkungan ditanggapi dengan sangat baik oleh masyarakat lokal maupun lembaga pemerintahan pusat. Sebagai fasilitator, ESP telah membantu untuk membangun kesadaran bahwa pengamanan ekologi air dapat meningkatkan kesehatan. Adanya jaringan rakyat Indonesia dari pemerintah dan masyarakat sipil yang berkeyakinan kuat akan dapat mempertahankan kesadaran ini sampai masa depan.
Daftar Pustaka Aliansi Jurnalis Independen. 2009. Strategi adalah Kreatifitas: Kumpulan Pengalaman Kerja Lapangan di Beberapa Area Hulu Hilir Brantas. Environmental Services Program (ESP) USAID. Amrullah. 2006. Watershed Analysis: Identification, Selection & Mapping Priority Major Watershed Working Area for ESP-East Java. Anonymous. 2006. LPM Presentation. BPKH XI Jawa Madura. Jogjakarta. Atmojo, W.S. 2006. Degradasi lahan & ancaman bagi pertanian. Solo Pos 7 November 2006. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur. 2009. Perubahan Luas Tutupan Lahan DAS Brantas tahun 2000-2008. Budiyanto, N et al., 2010. Sekolah Lapangan ESP. Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Air. Environmental Services Program (ESP) USAID. DFID – Department for International Development, United Kingdom. 1997. The DFID Approach to Sustainable Livelihoods dalam White Paper on International Development, DFID. http://www.nssd.net/ references/SustLiveli/DFIDapproach. htm Environment Services Program. 2010. Final Report, December 2004 - March 2010, USAID Indonesia. www.esp.or.id Lestari, A.S. et al. 2010. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapangan ESP. Environmental Services Program (ESP) USAID. www.esp.or.id
354
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DAS BRANTAS HULU
Mulyana, A. 2008. Konsep Perlindungan Sumber Daya Air Tanah dan Mata Air Partisipatif Model ESP-USAID. Environmental Services Program (ESP) USAID Indonesia. www.esp.or.id Perum Jasa Tirta I. 2010. Profil Lembaga. Sumartono, S. et al.. 2010. Pemilihan Lokasi Partisipatif, Panduan Memilih Lokasi Rehabilitasi Lahan Prioritas. Environmental Services Program (ESP) USAID. Suprayogo, D. 2009. Menjamin Kesehatan DAS Brantas, dalam Strategi adalah Kreativitas. Aliansi Jurnalis Independen Malang dan Environment Services Program – USAID Jawa Timur. Thorburn, C. 2010. Kami Bisa! Sekolah Lapangan untuk Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan. FIELD Indonesia. Mulyana, A. 2010. Panduan Perlindungan Sumber Daya Air, Metode Delineasi-zonasi dan Sumur resapan. Environmental Services Program (ESP) USAID.
355