Peta Jalan Pembaruan Hukum
Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
printed on recycled paper
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
KATA SAMBUTAN Kelemahan peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA-LH) menjadi salah satu akar masalah buruknya tata kelola SDA-LH di Indonesia. Peraturan yang tidak jelas pada tataran implementasi, adanya ketidakharmonisan peraturan antar sektor, termasuk juga adanya peraturan di daerah yang inkonsisten, mengakibatkan praktik-praktik pengelolaan SDA-LH yang merusak fungsi lingkungan dan mengakibatkan konflik tenurial. Ketidakadilan akses dalam pengelolaan SDA-LH juga menjadi persoalan hingga mengakibatkan berbagai konflik antara masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat lokal dengan pelaku usaha dan pemerintah. Kelemahan tersebut sudah saatnya untuk segera diatasi melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan. Perlunya penyempurnaan peraturan perundang-undangan telah ditegaskan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX/2001). TAP MPR tersebut memandatkan untuk dilakukannya pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan SDA-LH dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor. Namun demikian, hingga saat ini cita-cita TAP MPR tersebut belum tercapai. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, Kementerian Hukum dan HAM bersama dengan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP) dan Badan Pengelola REDD+ (sejak masa Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+) menyusun “Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup.” Peta Jalan ini menghasilkan suatu mekanisme pengkajian ulang peraturan perundang-undangan dengan indikator turunan dari prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan SDA-LH yang dituangkan dalam TAP MPR. Mekanisme tersebut telah diaplikasikan ke dalam 3 (tiga) isu yang dianggap prioritas dalam upaya perbaikan tata kelola SDA-LH berbasis lahan, yaitu pengukuhan kawasan hutan, perizinan hak guna usaha, serta hak dan kewajiban masyarakat (termasuk masyarakat hukum adat) dalam kedua hal tersebut. Pengkajian ulang peraturan perundang-undangan di ketiga isu tersebut menghasilkan rekomendasi pembaruan peraturan perundang-undangan yang dapat ditemukan dalam Peta Jalan ini.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
i
Upaya pembaruan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksudkan dalam Peta Jalan ini akan mendukung pelaksanaan cita-cita pemerintahan Jokowi-JK sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita. Nawa Cita berkeinginan untuk mencapai tata kelola SDA-LH yang bersih, efektif, demokratis, bermartabat dan terpercaya, penguatan perekonomian domestik, serta berdaya guna dalam peningkatan kualitas diri dan penghidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tindak lanjut dari Peta Jalan ini merupakan hal yang penting untuk segera dilakukan. Tindak lanjut dari Peta Jalan ini adalah diperlukannya keterlibatan seluruh KementerianLembaga serta Pemerintah Daerah dalam hal; Pertama, implementasi rekomendasi pembaruan peraturan mengenai pengukuhan kawasan hutan, perizinan hak guna usaha, dan hak-kewajiban masyarakat yang terdapat dalam Peta Jalan ini. Kedua, pengkajian ulang peraturan perundangundangan di seluruh bidang SDA-LH. Mekanisme yang telah tersusun dalam Peta Jalan ini dapat menjadi pedoman dalam pengkajian ulang tersebut. Ketiga, implementasi rekomendasi hasil pengkajian ulang sebagaimana dimaksud dalam poin kedua. Kerja bersama secara sinergis seluruh Kementerian dan Lembaga terkait sangat penting dalam menyukseskan upaya tersebut. Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan tugas dan fungsinya, berkomitmen untuk melakukan koordinasi dan supervisi dalam pelaksanaan pengkajian ulang dan pelaksanaan rekomendasi tersebut. Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang menyukseskan penyusunan Peta Jalan ini; meliputi para akademisi dan pakar yang membantu penyusunan Peta Jalan ini, Kementerian-Lembaga yang turut berkontribusi, serta segenap elemen masyarakat yang terlibat. Akhir kata, saya berharap Peta Jalan ini menjadi batu pijak dalam realisasi pembaruan peraturan perundang-undangan di sektor SDA-LH hingga tercapai tata kelola SDA-LH yang berkelanjutan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia.
Jakarta, 25 Februari 2015
ii
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN
I
DAFTAR ISI
III
DAFTAR ISTILAH
IV
PENDAHULUAN 1 A. LATAR BELAKANG.............................................................................................................1 B. TUJUAN..............................................................................................................................2 C. SISTEMATIKA.....................................................................................................................3
METODE ANALISIS DAN EVALUASI
5
A. UNIT ANALISIS...................................................................................................................5 B. CARA MEMBACA TABEL PRINSIP, INDIKATOR, DAN PISAU ANALISIS..........................15
HASIL ANALISIS BIDANG KEHUTANAN
17
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ......................................................................17 B. DAFTAR PERMASALAHAN ..............................................................................................18 C. TABEL REKOMENDASI....................................................................................................24
HASIL ANALISIS BIDANG PERTANAHAN
27
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.......................................................................27 B. DAFTAR PERMASALAHAN...............................................................................................28 C. TABEL REKOMENDASI....................................................................................................34
HASIL ANALISIS BIDANG HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT TERMASUK MASYARAKAT HUKUM ADAT
37
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ......................................................................37 B. DAFTAR PERMASALAHAN ..............................................................................................39 C. TABEL REKOMENDASI....................................................................................................46
REKOMENDASI 49 A. REKOMENDASI PETA JALAN PEMBARUAN HUKUM SDA-LH.......................................49 B. REKOMENDASI PEDOMAN METODE ANALISIS DAN EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM KERANGKA PENYELARASAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN11 ........................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA
67
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
iii
DAFTAR ISTILAH
iv
AMDAL
:
Analisis Dampak Lingkungan
BPN
:
Badan Pertanahan Nasional
DPR
:
Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
:
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
HAM
:
Hak Asasi Manusia
HD
:
Hutan Desa
HK
:
Hutan Konservasi
HKm
:
Hutan Kemasyarakatan
HL
:
Hutan Lindung
HP
:
Hutan Produksi
HPK
:
Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi
HPL
:
Hak Pengelolaan
HPT
:
Hutan Produksi Terbatas
HTI
:
Hutan Tanaman Industri
HTR
:
Hutan Tanaman Rakyat
Illegal Logging
:
Pembalakan Liar
IGD
:
Integrasi Informasi Geospasial Dasar
IGT
:
Informasi Geospasial Tematik
Inpres 2/2013
:
Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri
IUPHHK-HA
:
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam
IUPHHK-HTR
:
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Tanaman Rakyat
Judicial Review
:
Uji Materiil
K/L
:
Kementerian dan Lembaga
Keppres 32/1990
:
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
KLHS
:
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
KPH
:
Kesatuan Pengelolaan Hutan
Legal Pluralism
:
Kemajemukan hukum
Legal Uncertainty
:
Ketidakpastian hukum
LSM
:
Lembaga Swadaya Masyarakat
MK
:
Mahkamah Konstitusi
MPR
:
Majelis Permusyawaratan Rakyat
NKB
:
Nota Kesepahaman Bersama 12 Kementerian/Lembaga
NKRI
:
Negara Kesatuan Republik Indonesia
NSPK
:
Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria
otda
:
Otonomi Daerah
PerBer
:
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-11/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan
PerDirjen
:
Peraturan Direktorat Jenderal
PerDirjen 6/2011
:
Peraturan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.6/VI-KUH/2011 tentang Petunjuk Teknis Pengukuhan Kawasan Hutan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Tata Ruang
PerMen
:
Peraturan Menteri
Permenag 5/1999
:
Peraturan Menteri Negara/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Permendagri 24/2006
:
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Permenhut 44/2011
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi
Permenhut 2 5 /2014
:
P.25/Menhut II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan
Permenhut 6 2 /2013
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/Menhut-II/2013 jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
Permenhut 5 1 /2013
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 51/Menhut-II/2013 tentang Organisasi Balai Diklat Kehutanan
Permenhut 4 3 /2013
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 43/Menhut–II/2013 tentang Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan Hutan, Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan, Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus.
Permenhut 7 /2011
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P/7/Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik
Permendagri 5 2 /2014
:
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Permenagraria 5/1999
:
Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Permenagraria 3/1997
:
Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Permenagraria 2/1999
:
Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi.
Permenagraria 1/1999
:
Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan
PerKaBAN 6/2013
:
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional.
PerKaBAN 2/2013
:
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.
PerKaBAN 2/2010
:
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pengaduan Masyarakat
PerKaBAN 1/2010
:
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.
PerKaBAN 7/2007
:
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksa Tanah.
Permenagraria 5/1999
:
Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Permendagri 76/2012
:
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
Permentan 98/2013
:
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Permenhut 47/2010
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/Menhut-II/2010 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.
Permenhut 67/2006
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.67/Menhut-II/2006 tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan.
PermenLH 16/2012
:
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan.
PermenLH 9/2011
:
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
PermenLH 6/2011
:
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pelayanan Informasi Publik.
PermenLH 15/2011
:
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah Lingkungan Hidup.
PermenLH 9/2010
:
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9/2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan.
Permenhut 6 7 /2006
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.67/Menhut-II/2006 tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan
Permenhut 52/2011
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.52/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan
Permenhut 31/2014
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi
Permenhut 53/2011
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa
Permenhut 44/2012
:
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan
Perpres 61/2005
:
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Legislasi Nasional
Perpres 40/2014
:
Peraturan Presiden Nomor 40/2014 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Perpres 27/2014
:
Peraturan Presiden Nomor 27/2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional.
PP
:
Peraturan Pemerintah
PP 24/1997
:
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
PP 12/2010
:
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penelitian dan Pengembangan, serta pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.
PP 44/2004
:
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
PP 45/2004
:
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
v
PP 3/2008
:
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
PP 10/2010
:
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
PP 15/2010
:
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
PP 68/2010
:
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang
PP 96/2012
:
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelayanan Publik
PP 11/2010
:
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
PP 24/1997
:
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
PP 40/1996
:
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
PP 27/1999
:
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
PP 27/2012
:
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
PP 47/2012
:
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas
PP 60/2012
:
Peraturan Pemerintah Nomor. 60 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10/2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
PP 6/2007
:
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan
PP 9/2014
:
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Informasi Geospasial
RAN HAM
:
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
REDD+
:
Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan dan lahan gambut plus
RIA
:
Regulatory Impact Assessment
RPP
:
Rancangan Peraturan Pemerintah
RPPLH
vi
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
RTRW
:
Rencana Tata Ruang Wilayah
RTRWK
:
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
RTRWP
:
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
TGHK
:
Tata Guna Hutan Kesepakatan
UUD 1945
:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU 5/1960
:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
UU 41/1999
:
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan perubahan setelah Putusan MK No. 35/ PUU-X/2012, Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 Tahun 2011 dan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 Tahun 2011
UU 12/2001
:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
UU 38/2014
:
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Perkebunan
UU 19/2004
:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan
UU 23/2014
:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU 26/2007
:
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
UU 14/2008
:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
UU 24/2013
:
Undang-Undang Nomor 24/2013 Undang-Undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan
UU 2/2012
:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
UU 16/2010
:
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2010 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum)
UU 32/2009
:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
UU 25/2009
:
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik)
UU 14/2008
:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
UU 26/2007
:
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
UU 40/2007
:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)
UU 8/1995
:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
UU 6/2012
:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Desa
UU 4/2014
:
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Informasi Geospasial
UU 2/2012
:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
UU 8/2011
:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi
UU 49/2009
:
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum
UU 48/2009
:
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2001, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX) ditetapkan. Sesuai dengan namanya, TAP MPR IX tersebut memberikan arahan tentang pembaruan agraria dan pengelolaan SDALH Indonesia pasca reformasi. Secara khusus, di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) huruf “a” disebutkan bahwa eksekutif dan legislatif untuk melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan SDA-LH dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar-sektor demi terwujudnya pzeraturan perundang-undangan yang didasarkan pada kedua belas prinsip yang ada dalam Pasal 4 TAP MPR IX. Sampai saat ini, TAP MPR IX dimaksud belum dilaksanakan secara sistematis sementara berbagai persoalan masih menyelimuti pengelolaan SDA-LH-Lingkungan Hidup (SDA-LH) kita. Pada tahun 2012 saja, tercatat di Kementerian Lingkungan Hidup-Kehutanan (KLHK) Indonesia setidaknya 300 kasus lingkungan hidup seperti kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, pelanggaran hukum, dan pertambangan.1 Kasus lingkungan hidup tersebut berkontribusi terhadap lahan dan hutan yang cenderung menurun (periode 2003 – 2006: 808.754 hektar (0,78 persen); 2006 – 2009: 747.754 hektar (0,74 persen); dan 2009 – 2011: 401.253 hektar (0,41 persen)).2 Kerusakan lingkungan hanyalah salah satu wajah dari pengelolaan SDA-LH yang carut marut, wajah lain yang juga mendominasi adalah konflik sosial dan korupsi dalam pengelolaan SDALH yang pada akhirnya juga berdampak terhadap iklim investasi di Indonesia. Pada tahun 2013 konflik sosial terkait dengan lahan tercatat sebanyak 369 konflik dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK).3 Korupsi terkait dengan SDA-LH khususnya hutan juga makin marak terjadi seperti kasus alih fungsi hutan lindung yang menjerat mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin dan kasus alih fungsi lahan kelapa sawit di Riau yang menjerat Gubernur Riau non aktif Anas Mamun. Dalam The Global Competitiveness Report 2012–2013 disebutkan bahwa korupsi menjadi salah satu faktor utama penghambat bisnis dan investasi di Indonesia setelah inefisiensi birokrasi pemerintahan. Berbagai persoalan tersebut muncul akibat lemahnya tata kelola SDA-LH secara umum termasuk hutan.4 Hutan mendapat perhatian khusus mengingat luas hutan secara administratif mencapai hampir 60-70% wilayah Indonesia. Berbagai pengelolaan SDA-LH berbasis lahan lain seperti pertambangan dan perkebunan juga cukup terkonsentrasi di dalam dan sekitar kawasan Mengingat berbagai persoalan tersebut, Pemerintah secara tegas mengagendakan perbaikan tata kelola pengelolaan SDA-LH khususnya di bidang Kehutanan secara menyeluruh. Terdapat dua dokumen kebijakan yang secara tegas memerintahkan hal ini, yaitu Nota Kesepahaman Bersama 1 2 3 4
Olivia Lewi Pramesti, “Potret Lingkungan Indonesia Kian Memprihatinkan”, National Geographic Indonesia, diakses dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/10/potret-lingkungan-indonesia-kian-memprihatinkan, pada tanggal 20 November 2014 pukul 11.15 WIB. Henry Bastaman, “SLHI Tematik 2012 dan IKLH 2012: Laju Kerusakan dan Pencemaran Berkurang”, Kementerian lingkungan Hidup, Diakses dari http://www.menlh.go.id/slhi-tematik-2012-dan-iklh-2012-laju-kerusakan-dan-pencemaran-berkurang/, pada tanggal 20 November 2014 pukul 11.19 Wib. Konsorsium Pembaruan Agraria, “Warisan Buruk Masalah Agraria Di Bawah Kekuasaan SBY”, Laporan Akhir Tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria hlm. 1. Situmorang, Abdul Wahab dkk, Indeks tata kelola hutan, lahan dan REDD+ 2012 di Indonesia, (Jakarta : UNDP Indonesia), hlm 22.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
1
(NKB) 12 Kementerian/Lembaga tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia. (selanjutnya disebut NKB 12 K/L) dan Inpres No. 6/2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (selanjutnya disebut Inpres Moratorium). Salah satu poin penting dalam kedua dokumen adalah memerintahkan kembali agar sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan SDA-LH dilakukan secara sistematis mengingat berbagai persoalan tata kelola tidak dapat dilepaskan dari persoalan carut marut di tingkat pengaturannya, sebagaimana telah diidentifikasi dalam TAP MPR IX. Selain kedua dokumen kebijakan tersebut mengingat pengelolaan SDA-LH yang buruk juga berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan lainnya, maka program penyelarasan ini juga menjadi bagian dalam Inpres No. 2/2013 tentang Penanganan Konflik dan Keamanan serta Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM). Presiden Joko Widodo juga berkomitmen untuk melaksanakan perbaikan tata kelola SDA-LH. Hal ini merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Nawa Cita atau 9 (sembilan) agenda perubahan untuk rakyat Indonesia yang tertera dalam agenda keempat yaitu memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Salah satu bentuk pelaksanaan agendanya adalah membangun politik legislasi yang kuat, pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup dan reformasi lembaga penegak hukum. Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Hukum dan HAM membentuk sebuah Tim Kajian yang ditugaskan untuk menerjemahkan arahan yang tertuang dalam TAP MPR IX ke dalam prinsip-prinsip dan indikator yang lebih operasional dan melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan pengelolaan SDA-LH dengan merujuk pada prinsip dan indikator tersebut. Dari hasil evaluasi, Tim Kajian ini juga ditugaskan untuk menyusun rekomendasi bagi arah pembaruan peraturan perundang-undangan terkait agraria dan SDA-LH sehingga membantu implementasinya. Namun, mengingat luasnya bidang tersebut, Tim Kajian membatasi ruang lingkup dengan melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi pada tiga isu, yaitu kehutanan (khususnya pengukuhan kawasan hutan), pertanahan (khususnya pemberian Hak Guna Usaha (HGU)), dan hak dan kewajiban masyarakat termasuk didalamnya Masyarakat Hukum Adat (MHA) di kedua kegiatan tersebut. Ketiga isu ini dipilih karena menjadi bagian dari akar masalah penting bagi persoalan yang menimbulkan konflik sosial dan buruknya pengelolaan SDA-LH khususnya yang berbasis lahan.
B. Tujuan Peta Jalan ini pada prinsipnya bertujuan untuk: 1. Memberi pedoman serta menyusun secara sistematis langkah-langkah pengkajian ulang berbagai peraturan perundang-undangan. 2. Menerjemahkan prinsip-prinsip yang terdapat pada TAP MPR IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA-LH untuk melakukan pembaruan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengukuhan kawasan hutan, pemberian Hak Guna Usaha, serta hak dan kewajiban masyarakat termasuk Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam ketiga kegiatan tersebut. 3. Melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait kehutanan (khususnya pengukuhan kawasan hutan), pertanahan (pemberian Hak Guna Usaha (HGU)) dan hak dan kewajiban masyarakat termasuk MHA di kedua kegiatan tersebut. Dari hasil kajian tersebut, diidentifikasi masalah dan celah hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait ketiga hal tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi kemudian disusun rekomendasi arah pembaruan peraturan perundang-undangan yang dapat berupa penyusunan peraturan baru, perubahan atau pencabutan peraturan yang sudah ada.
2
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
C. Sistematika Laporan kajian ini terdiri dari enam bab yang berisi tentang: Bab I: Pendahuluan. Bab ini memberikan pengantar kepada pembaca tentang latar belakang dilaksanakannya penelitian, tujuan penelitian serta sistematika penyajian hasil laporannya. Bab II: Metode penelitian. Pada bab ini dipaparkan tentang metode yang digunakan dalam melaksanakan penelitian. Penelitian dilakukan dengan melakukan evaluasi secara normatif terhadap peraturan yang ada pada 3 (tiga) sektor utama yaitu kehutanan, pertanahan dan masyarakat hukum adat. Bab III, IV dan V merupakan bab yang berisi tentang hasil penelitian. Pada Bab III yang dipaparkan adalah hasil analisis bidang kehutanan yang fokus pada pengukuhan kawasan hutan, Bab IV tentang hasil analisis bidang pertanahan dengan fokus pemberian HGU dan Bab V tentang hasil analisis terkait hak dan kewajiban masyarakat termasuk MHA dalam kaitannya dengan proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU. Secara umum hasil analisis berupa identifikasi permasalahan terkait peraturan perundangundangan dan pelaksanaannya di ketiga bidang tersebut, mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan dan penegakan hukum. Bab VI: Rekomendasi. Pada bab terakhir disampaikan rekomendasi yang terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu: Pertama, Rekomendasi bagi pengambil kebijakan untuk menyusun, mengubah atau mencabut peraturan perundang-undangan terkait pembaruan agraria dan SDA-LH; Kedua, Pedoman analisis dan evaluasi dalam rangka penyelarasan peraturan peraturan perundangundangan.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
3
4
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
METODE ANALISIS DAN EVALUASI Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang berbasis pada 2 (dua) sumber data utama, yaitu pendekatan berbasis normatif dengan sumber data yang berasal dari Undang-undang hingga Peraturan di tingkat Kementerian serta merupakan pendekatan berbasis kajian dari para ahli yang telah dilakukan sebelumnya dengan metodologi masing–masing atau dikenal dengan second level data. Titik tolak kajian ini berbasis pada hipotesa bahwa masih lemahnya dan belum selarasnya pengaturan di bidang agraria dan pengelolaan SDA-LH, mulai dari tingkat Undang-Undang hingga peraturan di tingkat Kementerian. Kajian ini mengambil fokus pada tiga bidang yaitu kehutanan khususnya pengukuhan kawasan hutan, pertanahan khususnya pemberian HGU serta hak dan kewajiban masyarakat, khususnya Masyarakat Hukum Adat (MHA).
A. Unit Analisis Kajian ini pada awalnya memposisikan keberadaan TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX) sebagai unit analisis dalam rangka menurunkan pada prinsip dan indikator yang tertuang secara eksplisit dalam dokumen tersebut. Adapun prinsip awal tersebut terdiri dari 12 (dua belas) hal yang meliputi : 1. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. 3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum. 4. Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. 5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat. 6. Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria dan sumber daya alam. 7. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan. 8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. 9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. 10. Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam. 11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
5
12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumber daya agraria dan sumber daya alam. Namun dalam perkembangannya, dilakukan penyesuaian terhadap beberapa hal dalam rangka mengakomodasi analisis antara lain: Pertama, aktualisasi terkait penerapannya agar sesuai dengan dinamika aturan yang ada pada saat ini sehingga menjadi lebih memungkinkan untuk diterapkan. Kedua, menyatukan prinsip yang memiliki kesamaan secara substantif di dalamnya tanpa mengurangi makna yang ada dalam TAP MPR IX. Oleh karena itu, analisis yang dilakukan dan hasilnya disajikan dalam laporan ini bertolak dari lima prinsip, yaitu : 1. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara konseptual merujuk pada pembaruan agraria dan pengelolaan SDA-LH yang terkoordinasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan antar sektor di tiap tingkatan pemerintahan, sehingga dapat dibangun hubungan dan kerjasama yang saling mendukung, dengan menempatkan kepentingan kelestarian dan keberlanjutan fungsi SDA-LH di atas kepentingan sektoral dan kepentingan nasional di atas kepentingan daerah dan individu. 2. Prinsip Keberlanjutan yang secara konseptual merujuk pada kebijakan pengaturan pengelolaan SDA-LH yang harus mampu menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat SDA-LH bagi negara maupun masyarakat serta bagi generasi sekarang dan mendatang. Pengelolaan tersebut harus dilakukan secara terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, menggunakan prinsip kehatihatian, melindungi keanekaragaman hayati serta mengedepankan kepentingan umum. 3. Prinsip Keadilan yang secara konseptual merujuk pada kebijakan pengaturan pengelolaan SDA-LH berkelanjutan agar dapat memenuhi kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang, memenuhi rasa keadilan masyarakat termasuk di dalamnya keadilan dalam alokasi dan distribusi pemanfaatan SDA-LH, memberi pengakuan dan jaminan perlindungan hak MHA setempat serta kemajemukan tatanan hukum mengenai penguasaan dan pemanfaatan SDA-LH yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional, serta penyelesaian konflik secara bijaksana. 4. Prinsip Demokrasi yang secara konseptual mengacu pada kebijakan pengaturan pengelolaan SDA-LH yang harus dilakukan secara transparan dengan memberikan akses informasi kepada masyarakat, partisipatif dengan memberikan ruang bagi masyarakat dan pihak yang berkepentingan untuk dapat turut serta dalam pengambilan keputusan/kebijakan, dan berkeadilan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan keadilan apabila hak-haknya dilanggar sehingga pengelolaan SDA-LH dapat dilakukan secara bertanggung jawab (akuntabel). 5. Prinsip Kepastian Hukum yang secara konseptual mengacu pada pengaturan pengelolaan SDA-LH yang rinci, jelas dan selaras (tidak bertentangan antar sektor dan antar tingkat pemerintahan) Dalam rangka memberikan pemaknaan yang lebih operasional, maka masing–masing prinsip ini dijabarkan ke dalam indikator serta pisau analisis di dalamnya. Dalam rangka memberikan kesamaan konseptual serta definisi operasional yang digunakan serta memberikan persamaan persepsi, maka dalam tabel di bawah ini diuraikan makna masing–masing prinsip serta indikator yang digunakan.
6
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
TABEL PRINSIP, INDIKATOR, PISAU ANALISIS I. PRINSIP NKRI NO.
INDIKATOR
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
I. TAHAP PERENCANAAN 1
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang pembagian kewenangan dan pedoman hubungan tata kerja antar sektor pembangunan dan antar daerah yang konsisten (tidak bertentangan satu sama lain) dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan SDALH. Hubungan dan tata kerja dimaksud harus sejalan dengan kebijakan dan kepentingan nasional.
2.
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang kewajiban bagi Pemerintah untuk menyelesaikan batas administrasi wilayah (untuk menghindarkan konflik antar daerah).
Pembagian kewenangan serta koordinasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Pembagian kewenangan serta koordinasi antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah serta instansi terkait proses pemberian Hak Guna Usaha (HGU).
Pembagian kewenangan serta koordinasi antar Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam melakukan pengakuan batasbatas wilayah MHA secara demokratis.
Kewajiban bagi Pemerintah untuk menyelesaikan batas administrasi (untuk menghindarkan konflik antar daerah dan masyarakat).
Mandat penyelesaian batas administrasi wilayah segera, dengan mempertimbangkan hak MHA di dalamnya. Kewajiban pemerintah untuk menggunakan satu peta dasar dan tematik termasuk peta keberadaan MHA yang menggunakan kriteria yang sama dan dapat diakses oleh Pemda serta K/L terkait di tingkat nasional.
II. TAHAP PEMANFAATAN 1
2
3
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang pembatasan keikutsertaan asing serta mengedepankan kepemilikan/keikutsertaan nasional dalam pengelolaan SDA-LH. Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang peningkatan kesempatan dan kemampuan daya olah SDA-LH di dalam negeri demi peningkatan kesejahteraan dan kemandirian bangsa.
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang pembatasan kepemilikan dan pengelolaan oleh individu dan korporasi atas SDA-LH.
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Penekanan bahwa hanya WNI dan Badan Hukum Indonesia yang dapat memiliki HGU dan HPL serta terikat pada pengutamaan kepentingan nasional. Catatan: Tidak berlaku dalam proses pemberian HGU.
Pembatasan kepemilikan dan pengelolaan oleh individu dan korporasi atas SDA-LH dalam kepemilikan HGU.
Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA Kewajiban Pemerintah untuk meningkatkan kemampuan MHA dalam memanfaatkan dan mengolah hasil hutan. Kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk mengembangkan atau memfasilitasi pengolahan produk hasil hutan/lahan yang dilakukan oleh masyarakat (termasuk MHA). Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA
III. TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM 1
Adanya aturan yang jelas, rinci dan selaras tentang pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan yang mengancam keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan HGU dan HPL yang tetap dalam kerangka NKRI.
Pengakuan dan kesempatan bagi masyarakat, termasuk masyarakat lokal, MHA, perempuan dan masyarakat marginal lainnya untuk terlibat dalam pengawasan pelaksanaan: (1) Penyusunan instrumen dasar otda, dan (2) Pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemda.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
7
NO.
INDIKATOR
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
2
Adanya aturan yang jelas, rinci dan selaras tentang mekanisme pemberian sanksi terhadap pelanggaran peraturan pada tahap perencanaan dan pemanfaatan kepada pejabat yang bertanggung jawab.
Mekanisme pemberian sanksi bila Pemda dan Pemerintah tidak menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan berdasarkan mekanisme dan jangka waktu sesuai peraturan perundangundangan.
Catatan: Indikator ini tidak berlaku untuk MHA
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) Mekanisme pemberian sanksi terhadap pemda dalam rangka penyusunan instrumen dasar perencanaan dan pemanfaatan lahan, termasuk upaya menyelesaikan HGU yang tumpang tindih dalam kerangka NKRI.
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA
II. PRINSIP KEBERLANJUTAN NO
INDIKATOR
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
Proses pengukuhan kawasan hutan berdasarkan perencanaan ruang yang sesuai dengan kajian ilmiah, mengedepankan prinsip kehati-hatian, perlindungan hayati dan kepentingan umum. -
Rencana pemanfaatan yang memberikan prioritas kepada kawasan hutan yang terdegradasi dan seminimal mungkin mengkonversi kawasan hutan yang sesuai daya dukung dan daya tampung.
Pola perencanaan ruang yang terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, kehati-hatian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mengedepankan kepentingan umum, termasuk di wilayah MHA.
Mekanisme yang selektif dan ketat terhadap pengajuan HGU oleh pihak swasta, khususnya pemeriksaan dokumen AMDAL.
-
I. TAHAP PERENCANAAN 1
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras yang menjamin pola perencanaan ruang yang terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, kehati-hatian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mengedepankan kepentingan umum. * Prinsip kehati-hatian: jika ada perkiraan bahwa pemanfaatan ruang atau SDA-LH akan berdampak pada pencemaran atau perusakan lingkungan, walaupun belum dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan, maka pemanfaatan tersebut tidak dapat dilanjutkan.
2
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang perencanaan anggaran pengelolaan SDA-LH yang berkelanjutan.
Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA
Alokasi anggaran yang memadai dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan.
Alokasi pendanaan yang mencukupi untuk melaksanakan penetapan HGU.
Alokasi anggaran yang memadai untuk peningkatan kapasitas MHA, untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan SDA-LH.
-
Memberikan jaminan pemanfaatan lahan yang memperhatikan kepentingan umum serta mekanisme verifikasi, dan mekanisme justifikasi pengelolaan HGU dengan persetujuan masyarakat.
Kewajiban bagi siapa pun, termasuk MHA untuk memanfaatkan SDA-LH sesuai dengan perencanaan ruang yang sesuai dengan RPPLH, KLHS, dan RTRW, termasuk dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Mekanisme/tata cara penerbitan izin yang konsisten (termasuk pengaturan jangka waktu proses penerbitan izin) dan tidak diberikan melebihi batas waktu yang ditentukan.
Kewajiban bagi masyarakat untuk memanfaatkan SDA-LH melalui cara-cara yang tidak merusak ekosistem.
II. TAHAP PEMANFAATAN 1
8
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras yang menjamin pola pemanfaatan ruang dan SDA-LH (pemberian izin) yang sesuai dengan perencanaan (terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, kehati-hatian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mengedepankan kepentingan umum).
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
NO
INDIKATOR
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
III. TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM 1
2
Adanya aturan yang jelas, rinci dan selaras tentang pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan dalam konteks keberlanjutan.
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang mekanisme pertanggungjawaban pelaku untuk memulihkan dampak.
Kewajiban bagi aparat untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan.
Kewajiban bagi aparat untuk melakukan pengawasan.
Sanksi bilamana terdapat pelanggaran dalam penyusunan kajian ilmiah dalam proses perencanaan ruang dan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan perencanaan dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Sanksi bagi aparat yang tidak melakukan kewajiban melakukan pengawasan dalam proses penetapan HGU.
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan yang berbasis keberlanjutan (menampung dinamika daya dukung dan daya tampung).
Mekanisme pertanggungjawaban pelaku untuk memulihkan dampak, termasuk di dalam mekanisme tersebut: penggunaan prinsip kehati-hatian, mekanisme strict liability, pembuktian terbalik, dan/atau internalisasi eksternalitas, dsb.
Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA
Sanksi atau denda bagi masyarakat, termasuk MHA apabila terbukti melakukan perusakan/ pencemaran.
III. PRINSIP KEADILAN NO
INDIKATOR
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
I. TAHAP PERENCANAAN 1
2
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang jaminan atas kualitas lingkungan hidup dan SDA untuk generasi yang akan yang datang dalam perencanaan pengelolaan SDA (Keadilan Inter dan Intra Generasi). *Indikator ini berlaku untuk semua bidang SDA-LH.
Batasan minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagai penyanggah kehidupan generasi akan datang.
Perencanaan yang mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung dalam pemberian HGU.
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang Jaminan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak ulayat dalam perencanaan pengelolaan SDA.
Kewajiban Pemerintah dan/ atau Pemda untuk melakukan inventarisasi keberadaan hak ulayat yang wilayahnya akan dikukuhkan menjadi kawasan hutan.
Terjaminnya pengakuan hak ulayat dalam proses perencanaan HGU dan HPL.
Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA
Jaminan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak ulayat, berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan bersama antara Pemerintah (Daerah) dan masyarakat (pemetaan partisipatif). *PerMenAgraria No. 5/1999, Ps 1: Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari SDA-LH, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
9
NO
INDIKATOR
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
-
Jaminan atas kualitas SDA-LH untuk generasi yang akan yang datang dalam pemanfaatan ruang dan SDA-LH (pemberian izin) sesuai dengan daya dukung dan daya tampung.
Pengakuan hak dan kesempatan bagi MHA untuk terlibat dalam pengelolaan/ pemanfaatan (hasil) hutan dan lahan.
Pengakuan hak masyarakat termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, perempuan dan masyarakat marginal lainnya dalam pemberian HGU dan HPL.
Kewajiban terhadap perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan hidup bagi MHA.
II. TAHAP PEMANFAATAN 1
2
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang jaminan atas kualitas lingkungan hidup dan SDA-LH untuk generasi yang akan yang datang dalam pemanfaatan ruang dan SDA-LH (pemberian izin). Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang pengakuan hak masyarakat termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, perempuan dan masyarakat marginal lainnya dalam pemberian izin pengelolaan SDA.
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Mekanisme/tata cara yang memastikan adanya tanggung jawab sosial dan lingkungan hidup perusahaan. III. TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM
10
1
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang pengakuan terhadap hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara, termasuk mekanisme absorbsi hukum adat oleh hukum negara dalam pengelolaan SDA-LH.
Jaminan pengakuan terhadap penggunaan hukum adat dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta hak atas tanah sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara dan kepentingan nasional.
Jaminan pengakuan terhadap penggunaan hukum adat dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta hak atas tanah sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara dan kepentingan nasional.
Jaminan pengakuan terhadap penggunaan hukum adat dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta hak atas tanah sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara dan kepentingan nasional.
2
Adanya mekanisme penyelesaian sengketa dalam pengelolaan SDA-LH yang independen dan imparsial.
Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pemberian HGU.
Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU.
Kewajiban pemerintah atau pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas aparat dalam menangani penyelesaian sengketa dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pemberian HGU.
Kewajiban pemeritah atau pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas aparat dalam menangani penyelesaian sengketa dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU.
Kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat (termasuk MHA).
Kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat (termasuk MHA).
Kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat (termasuk MHA).
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
NO 3
INDIKATOR Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak pemanfaatan ruang dan SDA.
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/ atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari pengukuhan kawasan hutan.
Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari pemberian HGU.
Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU.
Sanksi bagi aparat yang lalai dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam memberikan jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak dari pengukuhan kawasan hutan.
Sanksi bagi pihak yang lalai dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam memberikan jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak dari pemberian HGU.
Sanksi bagi aparat yang lalai dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam memberikan jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU.
Sanksi bagi aparat yang lalai dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan pengawasan terhadap pemberian jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak dari pemberian HGU
IV. PRINSIP DEMOKRASI NO
INDIKATOR
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
I. TAHAP PERENCANAAN 1
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang akses informasi publik dalam perencanaan pengelolaan SDA-LH.
Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat dapat memperoleh akses informasi dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat dapat memperoleh akses informasi atas setiap rencana pemberian HGU secara khusus dan RPPLH, KLHS, RTRW secara umum.
Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (termasuk MHA) dapat memperoleh akses informasi dalam proses penyusunan dokumen perencanaan, antara lain: RPPLH, KLHS, RTRW, dan pengukuhan kawasan hutan
2
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang partisipasi masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat local, perempuan dan masyarakat marginal lainnya dalam perencanaan pengelolaan SDA.
Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW, dan pengukuhan kawasan hutan (termasuk ruang untuk memberikan masukan dan respon dengan berbagai cara dan waktu yang cukup).
Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses perencanaan areal HGU dan HPL.
Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW, dan pengukuhan kawasan hutan (termasuk ruang untuk memberikan masukan dan respon dengan berbagai cara dan waktu yang cukup).
Kewajiban bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW dan pengukuhan kawasan hutan.
Kewajiban bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW.
Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW (termasuk ruang untuk memberikan masukan dan respon dengan berbagai cara dan waktunya cukup).
Kewajiban bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW dan pengukuhan kawasan hutan.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
11
NO
INDIKATOR
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
3
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang akses terhadap keadilan apabila akses terhadap informasi publik dan akses partisipasi tidak terpenuhi dan apabila timbul kerugian akibat dilaksanakannya perencanaan.
Mekanisme keberatan/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk menyediakan pengaduan yang memudahkan masyarakat untuk memberikan pengaduan bisa dilakukan melalui berbagai forum seperti telepon, fax, internet, atau datang langsung).
Mekanisme keberatan/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk menyediakan mekanisme yang memudahkan masyarakat untuk menyampaikan pengaduan (dapat dilakukan melalui berbagai forum seperti telepon, fax, internet, atau datang langsung).
Mekanisme keberatan/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk menyediakan mekanisme yang memudahkan masyarakat untuk menyampaikan pengaduan (dapat dilakukan melalui berbagai forum seperti telepon, fax, internet, atau datang langsung).
Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat untuk mengakses informasi publik.
Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat untuk mengakses informasi publik.
Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat untuk mengakses informasi publik.
Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian HGU.
Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (MHA) dapat memperoleh akses informasi atas setiap rencana penerbitan izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU.
Kewajiban untuk membangun sebuah database perizinan yang dapat diakses oleh Pemda serta K/L terkait di tingkat pusat (masuk ke bagian pemberian HGU.
Kewajiban untuk membangun sebuah database perizinan yang dapat diakses oleh Pemda serta K/L terkait di tingkat pusat dan daerah.
Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian HGU (termasuk petugas yang bertugas untuk mengelola partisipasi).
Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penerbitan izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU (termasuk petugas yang bertugas untuk mengelola partisipasi).
Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat turut berpartisipasi aktif dalam proses pemberian HGU .
Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat turut berpartisipasi aktif dalam proses penerbitan izin terkait kehutanan dan pemberian HGU .
II. TAHAP PEMANFAATAN 1
2
12
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang akses informasi publik dalam dalam proses penerbitan izin.
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang partisipasi substantif masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, perempuan dan masyarakat marginal, pelaku usaha kecil dan menengah, dalam proses penerbitan izin (pemanfaatan SDA-LH).
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
NO 3
INDIKATOR Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang akses terhadap keadilan apabila akses terhadap informasi publik dan akses partisipasi tidak terpenuhi.
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN) -
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
Sanksi bagi pihak yang menghambat akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian HGU.
Sanksi bagi pihak yang menghambat akses masyarakat untuk memperoleh informasi dan berpartisipasi dalam proses penerbitan izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU.
Kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan mekanisme yang sederhana dan mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keberatan/ pengaduan apabila keinginan masyarakat untuk berpartisipasi tidak dipenuhi.
Kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan mekanisme yang sederhana dan mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keberatan/ pengaduan terkait pemberian izin dan HGU (termasuk apabila haknya untuk memperoleh informasi dan berpartisipasi tidak dipenuhi).
Mekanisme/ tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (MHA) dapat memperoleh akses informasi tentang pengawasan terkait pengukuhan kawasan hutan.
Mekanisme/ tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (MHA) dapat memperoleh akses informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum terkait pelaksanaan RPPLH, KLHS, RTRW, dan pemberian HGU.
Mekanisme/ tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (MHA) dapat memperoleh akses informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum terkait pelaksanaan RPPLH, KLHS, RTRW, pengukuhan kawasan hutan, dan pemberian HGU.
Pengaturan yang jelas dan terukur tentang pembatasan informasi mengenai pengawasan dan penegakan hukum yang dapat diakses publik dengan berdasar pada kepentingan publik.
Pengaturan yang jelas dan terukur tentang Pembatasan akses informasi dalam proses pengawasan dan penegakan hukum di sektor SDA yang dapat diakses publik atas dasar kepentingan umum.
Pengaturan yang jelas dan terukur tentang pembatasan informasi mengenai pengawasan dan penegakan hukum yang dapat diakses publik dengan berdasar pada kepentingan publik .
Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
III. TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM 1
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang akses informasi dalam proses pengawasan dan penegakan hukum di sektor SDA-LH.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
13
NO 2
INDIKATOR Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang akses publik untuk berpartisipasi dalam pengawasan dan penegakan hukum di sektor SDA-LH.
3
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang akses terhadap keadilan dalam proses pengawasan dan penegakan hukum di sektor SDA-LH.
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
Pengakuan dan kesempatan bagi masyarakat, termasuk masyarakat lokal, MHA, perempuan dan masyarakat marginal lainnya untuk terlibat dalam pengawasan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan.
Pengakuan dan kesempatan bagi masyarakat, termasuk masyarakat lokal, MHA, perempuan dan masyarakat marginal lainnya untuk terlibat dalam pengawasan pelaksanaan pemberian HGU.
Pengakuan dan kesempatan bagi masyarakat, termasuk masyarakat lokal, MHA, perempuan dan masyarakat marginal lainnya untuk terlibat dalam pengawasan pelaksanaan: (1) RPPLH, KLHS, dan RTRW, termasuk dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian izin dan HGU dan (2) Pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemda.
Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan.
Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pemberian HGU.
Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengawasan dan penegakan hukum.
Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum.
Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum.
Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum.
Kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan mekanisme pengaduan.
Kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan mekanisme pengaduan.
Kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan mekanisme pengaduan.
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
V. PRINSIP KEPASTIAN HUKUM NO
INDIKATOR
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
I. TAHAP PERENCANAAN 1
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan terkait pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang berisi mengenai asas, norma, dan kaidah penyelenggaraan SDA berdasarkan prinsip NKRI, keberlanjutan, keadilan, demokrasi, dan kepastian hukum. *berlaku untuk semua bidang SDA-LH.
Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan terkait pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang berisi mengenai asas, norma, dan kaidah penyelenggaraan SDA berdasarkan prinsip NKRI, keberlanjutan, keadilan, demokrasi, dan kepastian hukum.
Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan terkait pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang berisi mengenai asas, norma, dan kaidah penyelenggaraan SDA berdasarkan prinsip NKRI, keberlanjutan, keadilan, demokrasi, dan kepastian hukum.
Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan terkait pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang berisi mengenai asas, norma, dan kaidah penyelenggaraan SDA berdasarkan prinsip NKRI, keberlanjutan, keadilan, demokrasi, dan kepastian hukum.
Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah serta instansi terkait pemanfaatan SDA-LH untuk menggunakan satu acuan peta dengan skala operasional, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Memastikan kegiatan pemberian HGU dilakukan di atas tanah yang clean and clear (tidak terdapat klaim dari pihak yang memiliki alas hak yang sah baik berdasarkan bukti tertulis maupun tidak tertulis).
Kewajiban untuk menyelesaikan izin-izin yang tumpang tindih dengan wilayah MHA.
Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah serta instansi terkait pemanfaatan SDA-LH untuk menggunakan satu acuan peta dengan skala operasional, sesuai ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah serta instansi terkait pemanfaatan SDA-LH untuk menggunakan satu acuan peta dengan skala operasional, sesuai ketentuan perundangundangan yang berlaku.
II. TAHAP PEMANFAATAN 1
14
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras prosedur/mekanisme pemberian izin agar tidak terjadi konflik perizinan di tingkat pusat dan daerah.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
NO
INDIKATOR
PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN)
PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU)
PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU
TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM 1
Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pembuatan peraturan perundangundangan dan prosedur/ mekanisme pemberian izin.
Terdapat pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan/ mekanisme pemberian izin yang tidak impelementatif, terjadi ketidaksesuaian norma.
Terdapat pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan/ mekanisme pemberian izin yang tidak impelementatif, terjadi ketidaksesuaian norma.
Terdapat pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan/ mekanisme pemberian izin yang tidak impelementatif, terjadi ketidaksesuaian norma.
Kewenangan lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan.
Kewenangan lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum dalam pemberian HGU.
Kewenangan lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban MHA.
Catatan: Indikator ini tidak digunakan dalam menganalisis MHA. 2
Adanya kewenangan lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum.
B. Cara Membaca Tabel Prinsip, Indikator, dan Pisau Analisis Prinsip-prinsip yang menjadi tolak ukur analisis sebagaimana disebutkan digunakan dalam rangka melakukan evaluasi terhadap masing–masing bidang. Keberadaan dari masing–masing prinsip sebagai tolak ukur analisis tidak dapat dibaca atau dimaknai secara parsial melainkan tersusun sebagai suatu kesatuan (integral). Dalam konteks ini kehadiran urutan dari prinsip-prinsip di atas juga mencerminkan skala prioritas dalam arti jika terjadi pertentangan maka prinsip atau unit analisis yang disebutkan terlebih dahulu wajib diutamakan. (Contoh : Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia bertentangan dengan Prinsip Kepastian Hukum maka Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib diutamakan) Penggunaan unit analisis dalam kajian ini difokuskan kepada tiga lingkup utama yang masih termasuk pada isu kehutanan, pertanahan dan masyarakat. Agar mendapatkan hasil yang optimal maka isu kehutanan akan difokuskan pada lingkup pengukuhan kawasan hutan, isu pertanahan akan difokuskan pada pemberian HGU dan pengakuan serta perlindungan hak dan kewajiban masyarakat, khususnya MHA dalam pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU. Selain fokus pada tematik tertentu, dalam rangka memberikan gambaran yang menyeluruh kajian ini juga melakukan evaluasi berbasis tahapan pengelolaan SDA-LH yang meliputi tahapan perencanaan, pemanfaatan serta pengawasan dan penegakan hukum. Adapun ruang lingkup masing-masing tahap tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tahap perencanaan merujuk pada kegiatan perencanaan ruang dan SDA-LH yang meliputi penataan batas wilayah administrasi, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan pengukuhan kawasan hutan.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
15
2. Tahap pemanfaatan merujuk pada kegiatan pemanfaatan SDA-LH yang pada umum ditandai dengan pemberian izin dan penguasaan hak atas tanah, yang dalam kajian ini dibatasi pada hak guna usaha. 3. Tahap pengawasan dan penegakan hukum merujuk pada kegiatan: (i) pengawasan terhadap kesesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan di lapangan serta kepatuhan pemberi dan penerima izin terhadap peraturan yang berlaku; dan (ii) keberadaan mekanisme penegakan hukum antara lain forum penyelesaian sengketa, pemberian sanksi, dan bantuan hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap perencanaan dan pemanfaatan SDA-LH. Pembagian tahapan ini diharapkan dapat dengan mudah memberikan pedoman serta gambaran nyata untuk melakukan identifikasi kelemahan dan ketidakselarasan peraturan yang berlaku yang terkait dengan masing-masing tahap.
16
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
HASIL ANALISIS BIDANG KEHUTANAN A. Peraturan Perundang-Undangan Analisis bidang kehutanan fokus pada pengukuhan kawasan hutan. dilakukan dengan menggunakan indikator yang telah disebutkan pada BAB II sebagai dasar evaluasi berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengukuhan kawasan hutan. Berikut daftar peraturan terkait dengan pengukuhan kawasan hutan yang menjadi objek analisis:
Bidang Kehutanan: 1. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dengan perubahan setelah Putusan MK No. 35/ PUU-X/2012, Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 Tahun 2011 dan Putusan MK No. 45/PUUIX/2011 Tahun 2011 2. PP No. 12/2010 tentang Penelitian dan Pengembangan, serta Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan. 3. PP No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan 4. PP No. 3/2008 tentang Perubahan atas PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan 5. Peraturan Bersama Mendagri, Menhut, MenPU, dan Kepala BPN No. 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-11/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan 6. Permenhut No. P.31/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi 7. Permenhut No. P.25/Menhut II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan 8. Permenhut No. 62/Menhut-II/2013 jo. Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan 9. Permenhut No. P. 51/Menhut-II/2013 tentang Organisasi Balai Diklat Kehutanan 10. Permenhut No. P. 43/Menhut–II/2013 tentang Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan Hutan, Persetuuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan, Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus. 11. Permenhut No. P/7/Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik 12. Permenhut No. P.67/Menhut-II/2006 tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan 13. Perdirjen Planologi Kehutanan No. P.6/VI-KUH/2011 tentang Petunjuk Teknis Pengukuhan Kawasan Hutan UU No. 26/2007 tentang Tata Ruang
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
17
Bidang Terkait: 1
UU No. 24/2013 jo UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan
2. UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah 3. UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah 4. UU No. 16 Tahun 2010 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum) 5. UU No. 32/2009 tentang PPLH (UU PPLH) 6. UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik 7. UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik 8. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang 9. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria 10. PP No. 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Pemanfaatan Ruang. 11. PP No. 96/2012 tentang Pelayanan Publik 12. PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah 13. Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat 14. Permenag No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 15. Permenagraria No. 3/1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah
B. Daftar Permasalahan Pengukuhan kawasan hutan merupakan rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, dan penetapan kawasan hutan yang. Pengukuhan kawasan hutan merupakan prasyarat pemantapan kawasan hutan untuk mewujudkan kepastian letak dan luas serta legalitas kawasan hutan. Sampai saat ini pengukuhan kawasan hutan belum dapat dilaksanakan secara optimal, sampai dengan tahun 2012 berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, penetapan kawasan hutan hanya 16,62% (21.448 Ha) dari total 129.023.378,15 Ha luas kawasan hutan daratan.5 Hal tersebut telah berubah dengan adanya pemantauan dari berbagai pihak dengan adanya Inpres Moratorium dan NKB 12 K/L, sehingga tercatat sampai dengan Desember tahun 2014 pengukuhan kawasan hutan telah dilaksanakan terhadap 62.056.374.6244 Ha atau 63.30 % dari luas kawasan yang akan dikukuhkan.6 Namun demikian terhadap kawasan yang telah dikukuhkan masih terdapat permasalahan dalam penataan batas sehingga sampai saat ini masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan hak pihak ketiga di atasnya. Selain hak pihak ketiga, permasalahan tata batas disebabkan antara lain kondisi alam yang sulit secara teknis untuk dilakukan tata batas, terbatasnya kapasitas (jumlah dan kemampuan) pelaksana tata batas, pelaksana masih menggunakan theodolite dalam kegiatan pengukuran tata batas, belum optimalnya pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan masih terdapatnya perbedaan pandangan dari para pihak terhadap kawasan hutan yang berdampak tidak terselesaikannya BATB.7
5 6 7
18
Staf ahli menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup bidang hubungan antar lembaga, “Perubahan Kebijakan Dalam Pengukuhan Kawasan”, Presentasi disampaikan dalam Rapat Pembekalan Instrumen Tata Kelola Keuangan dan Inisiatif Tata Kelola Hutan dan Lahan di Balai Kartini, 16 September 2014. Laporan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan Kementerian Kehutanan yang disampaikan kepada UKP-PPP pada Desember 2014. Staff ahli menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup bidang hubungan antar lembaga, “Perubahan Kebijakan Dalam Pengukuhan Kawasan”, Presentasi disampaikan dalam Rapat Pembekalan Instrumen Tata Kelola Keuangan dan Inisiatif Tata Kelola Hutan dan Lahan di Balai Kartini, 16 September 2014.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
Kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh tidak terdapat sinkronisasi/harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait pengukuhan kawasan hutan. Berdasarkan analisis atas dasar prinsipprinsip dalam TAP MPR IX yang dilakukan terhadap peraturan-peraturan tersebut di atas, terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Terdapat ketidakjelasan aturan yang terkait dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah serta aturan terkait koordinasi di antara keduanya. Aturan yang tidak harmonis dapat dilihat pada aturan terkait Panitia Tata Batas (PTB). Pengukuhan kawasan hutan merupakan wewenang dari Pemerintah Pusat dan dalam pelaksanaannya membutuhkan bantuan pemerintah daerah secara dekonsentrasi, khususnya dalam pelaksanaan tata batas kawasan yang akan dikukuhkan sebagai kawasan hutan. Namun, terdapat perbedaan struktur panitia tata batas. Pada Permenhut No. 62/Menhut-II/2013 jo. Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, panitia tata batas diketuai oleh Bupati/Walikota sedangkan pada Permenhut No.P.25/Menhut II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan, panitia tata batas diketuai oleh Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan. Kedua aturan ini perlu diselaraskan. Terkait dengan koordinasi, salah satu persoalan yang kerap dihadapi adalah lemahnya pendataan atas keberadaan masyarakat baik yang berada di dalam maupun sekitar kawasan hutan. Untuk memastikan proses pengukuhan kawasan hutan dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama, seharusnya pendataan atas penduduk telah dilakukan oleh pemerintah daerah secara proaktif tanpa menunggu pengukuhan kawasan hutan dilakukan. Dari hasil kajian yang dilakukan terhadap aturan di bidang kehutanan serta aturan terkait lain terlihat bahwa walaupun aturan di bidang administrasi kependudukan telah menyatakan bahwa pendataan merupakan kewajiban Pemda, namun karena pada aturan sebelumnya di bidang kehutanan disebutkan bahwa pendataan merupakan tugas dari PTB, maka terkesan bahwa Pemda tidak sepenuhnya bertanggungjawab atas data penduduk di wilayahnya. Seharusnya aturan mengenai tata batas dalam Permenhut 25/2014 menentukan kejelasan pelaksana inventarisasi kependudukan agar sesuai dengan aturan di bidang administrasi kependudukan. Secara lebih khusus perlu diperjelas bahwa data penduduk terutama terkait dengan pengukuhan seperti data penduduk, daftar hak-hak pihak ketiga, pengakuan atas MHA dan wilayahnya wajib disediakan oleh Pemda. Bila kejelasan ini ada dan Pemda melaksanakan kewajibannya, maka proses identifikasi dan inventarisasi hak-hak pihak ketiga dapat lebih cepat dan pada akhirnya mempercepat proses pengukuhan kawasan hutan. Absennya informasi atas penduduk serta hak-haknya menjadi salah satu hambatan utama dalam proses pengukuhan kawasan sehingga kerap menimbulkan konflik antara panitia tata batas dengan masyarakat yang mengakibatkan terhambatnya pengukuhan kawasan hutan. 2. Belum diatur kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kapasitas internal pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mempercepat pengukuhan kawasan hutan. Belum terdapat peraturan perundangan yang mengatur tata cara implementasi peningkatan kapasitas aparat pemerintah untuk mempercepat pengukuhan Kawasan Hutan (KH), dalam hal ini Panitia Tata Batas (PTB). Padahal kapasitas aparat sangat penting untuk mempercepat pengukuhan kawasan hutan, khususnya aparat yang bertugas sebagai panitia tata batas kawasan hutan. Kapasitas yang perlu secara berkala ditingkatkan adalah kapasitas untuk melakukan inventarisasi masyarakat, inventarisasi hak ulayat dan hak pihak ketiga, dan penyelesaian sengketa. 3. Proses pengukuhan kawasan hutan belum mengatur kewajiban untuk mendasarkannya pada perencanaan ruang dan kajian ilmiah dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, perlindungan hayati dan kepentingan umum secara terintegrasi.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
19
Secara umum peraturan perundang-undangan yang ada telah mengatur prinsip yang mengedepankan kehati-hatian, perlindungan hayati dan kepentingan umum. Hal ini antara lain terlihat dengan adanya beberapa tahap yang harus dilalui sebagai syarat pengukuhan KH yaitu (PP 44/2004): a. Harus melalui proses pemaduserasian dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK); b. Memenuhi standar inventarisasi hutan; dan c. Secara teknis dapat dijadikan hutan. Selain itu, karena telah diwajibkan untuk paduserasi dengan tata ruang, secara otomatis, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang diatur dalam UU 32/2009 juga menjadi “bagian” dari proses pengukuhan KH. Namun demikian berbagai syarat tersebut tersebar di berbagai peraturan sehingga tidak secara utuh dan mudah dipahami. Sebaiknya instrumen-instrumen tersebut ditentukan secara spesifik dalam PP 44/2004 yang mengatur syarat pengukuhan kawasan hutan sehingga penggunaan instrumen tersebut terjamin. KLHS sebagai bentuk kajian ilmiah yang bersifat holistik perlu secara tegas dinyatakan untuk menjadi acuan dalam proses pengukuhan kawasan hutan. 4. Terdapat pengaturan tentang pembiayaan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan, namun belum terdapat standarisasi pembiayaan dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan. Ketentuan mengenai adanya alokasi anggaran pengukuhan KH telah diakomodir dalam berbagai peraturan, namun pada faktanya anggaran pengukuhan KH kurang sehingga pengukuhan KH tidak memenuhi target yang seharusnya. Untuk mendorong prioritas penganggaran pada perencanaan, dapat dipertimbangkan untuk menyatakan secara tegas kewajiban untuk memprioritaskan anggaran untuk pengukuhan KH mengingat pentingnya pengukuhan KH dalam pengelolaan hutan serta SDA yang berada di dalamnya. Selain skala prioritas perlu pula diatur item dan standar biaya sesuai dengan region masing-masing. Untuk menanggulangi kekurangan pembiayaan maka pembiayaan pengukuhan atas batas yang berimpitan dengan batas izin, sesuai aturan dalam Permenhut. 62/2013 jo Permenhut 44/2012, pembiayaan dibebankan kepada pemegang izin. Hal ini dapat dipahami sebagai sebuah cara untuk mengurangi beban negara dalam melakukan proses penataan batas. Namun demikian terdapat kekhawatiran bahwa akan ada conflict of interest dari pemegang izin untuk tetap mempertahankan wilayahnya. Oleh karena itu, apabila mekanisme pembiayaan ini akan dipertahankan maka perlu adanya standarisasi pembiayaan dan ketegasan bahwa pelaksana dari penataan batas tetap dilakukan oleh pihak independen yang ditugaskan oleh negara bukan oleh pemberi izin. 5. Terdapat aturan tentang batasan minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagai penyangga kehidupan generasi akan datang telah ada namun belum jelas presentasi kawasan hutan berdasarkan fungsi dan terancam tidak dapat terpenuhi. Ketentuan mengenai batasan minimal kawasan hutan telah diatur di berbagai peraturan yang menyebutkan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Namun demikian kriteria fungsi kawasan yang harus dipertahankan tidak jelas sehingga dapat terjadi seluruh kawasan hutan yang tertinggal hanya berfungsi produksi dan bukan lindung. Selain itu, ketentuan minimal 30% tersebut terancam tidak dapat dipertahankan dengan adanya ketentuan pada pasal 24 A ayat 3 jo Pasal 57 ayat 2 Permenhut 62/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan yang menentukan bahwa jika terdapat MHA di dalam kawasan hutan (berdasarkan Perda) maka dikeluarkan dari kawasan hutan. Hal ini terjadi karena adanya pengaturan pada level teknis yang berbeda dengan pengaturan pada UU Kehutanan. UU
20
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
Kehutanan tidak mengatur bahwa Kawasan Hutan hanyalah terdiri dari Hutan Negara, namun aturan di tingkat Permenhut 62/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan secara eksplisit mengartikan demikian. Apabila UU Kehutanan secara konsisten diikuti, maka seharusnya kekhawatiran ini tidak terjadi. Kawasan Hutan dapat dipertahankan sesuai dengan fungsinya dan tidak tergantung pada status kepemilikannya. Untuk itu, dalam rangka mempertahankan luas dan fungsi kawasan hutan (baik yang berstatus hutan negara maupun hutan hak), maka peraturan di bawah UU Kehutanan dan Peraturan Bersama Mendagri, Menhut, MenPU, dan Kepala BPN No. 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-11/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan seharusnya tidak mengatur agar dilepaskan dari KH, melainkan tetap dipertahankan sebagai hutan tetap apabila fungsinya menghendaki demikian. Pengaturan ini sejalan dengan pengaturan di bidang penataan ruang yang tidak mempertahankan fungsi ruang atas dasar status kepemilikan lahan melainkan atas dasar pertimbangan daya dukung lingkungan. 6. Kewajiban Pemda untuk melakukan inventarisasi keberadaan masyarakat yang wilayahnya akan dikukuhkan menjadi kawasan hutan belum diatur secara konsisten. Di dalam peraturan perundang-undangan tahapan inventarisasi hak-hak pihak ketiga tidak konsisten; UU Kehutanan menyatakan bahwa inventarisasi (termasuk inventarisasi masyarakat) dilakukan sebelum proses pengukuhan KH namun PP 44/2004 menyatakan bahwa inventarisasi (termasuk inventarisasi keberadaan masyarakat) dilakukan pula pada tahap pengukuhan. Seharusnya Inventarisasi dilakukan sebelum pengukuhan kawasan hutan sehingga PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Permenhut No.P.25/Menhut II/2014 perlu disesuaikan dengan UU Kehutanan. 7. Tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat dapat memperoleh akses informasi dalam proses pengukuhan kawasan hutan belum diatur secara rinci. Secara umum akses masyarakat untuk mendapatkan informasi telah diatur dalam UU 14/2008. Dari kajian atas berbagai peraturan perundang-undangan terkait pengukuhan, berikut adalah informasi yang secara spesifik disebutkan menjadi hak dari masyarakat: a. Pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara; b. Hasil penetapan kawasan hutan yang telah dikukuhkan; dan c. Rencana peruntukan kehutanan. Sayangnya, kewajiban membuka akses informasi bagi masyarakat tersebut tersebar di berbagai peraturan yang berbeda sehingga tidak memberi pemahaman yang utuh bagi pelaksana aturan. Di samping itu, sebetulnya terdapat pula beberapa informasi krusial yang wajib diketahui oleh masyarakat dalam konteks pengukuhan kawasan hutan, antara lain: a. Peta penunjukan kawasan hutan, trayek batas, dan penetapan kawasan hutan dengan skala operasional (min. 1:50.000); b. Tahapan dan dampak dari setiap proses pengukuhan kawasan hutan; c. Syarat-syarat bagi pengajuan klaim oleh masyarakat; d. Opsi-opsi dalam pengelolaan kawasan hutan yang tersedia bagi masyarakat; dan e. Hasil pengawasan dan penegakan hukum (sepanjang tidak mengganggu proses penegakan hukum). Aturan yang ada saat ini belum secara spesifik menyebutkan informasi tersebut sebagai informasi yang wajib dibuat dan dapat diakses oleh masyarakat. Selain itu terdapat pula persoalan berupa aturan operasional mengenai tata cara/mekanisme kewajiban pemerintah
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
21
agar masyarakat dapat memperoleh akses informasi dalam proses pengukuhan KH serta tidak terdapatnya mekanisme sanksi bagi pihak yang menghambat akses informasi publik bagi masyarakat. Absennya jaminan hukum tersebut selama ini menjadi salah satu alasan terhambatnya pengukuhan kawasan hutan. 8. Tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik serta peningkatan kapasitas dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW, dan pengukuhan kawasan hutan (termasuk ruang untuk memberikan masukan dan respon dengan berbagai cara dan waktu yang cukup) belum diatur dengan baik. Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam penyusunan rencana tata ruang telah diatur dalam PP 68/2010. Namun belum terdapat pengaturan sejenis dalam proses perencanaan dan pengawasan pelaksanaan pengukuhan KH, absennya pengaturan tersebut dapat berakibat pada minim bahkan hilangnya partisipasi yang merupakan hak masyarakat. Terkait mekanisme penerimaan masukan dan respon, peraturan perundang-undangan yang telah ada hanya mengatur kewajiban pemerintah dalam menyelesaikan klaim pihak ketiga, tetapi tidak mengatur kewajiban pemerintah untuk mempertimbangkan masukan dari masyarakat dan kewajiban pemerintah untuk memberikan respon atas masukan masyarakat. Selain itu, aturan operasional terkait RPPLH dan KLHS sebagaimana diamanatkan oleh UU 32/2009 juga belum diselesaikan. Tidak terdapatnya PP tersebut menimbulkan kekosongan hukum mengenai mekanisme partisipasi masyarakat dalam penyusunan KLHS dan RPPLH. Oleh karena itu, seharusnya PP KLHS dan PP RPPLH segera dibuat. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kedua dokumen ini merupakan dokumen penting yang seharusnya menjadi dasar dalam penyusunan perencanaan kehutanan termasuk pengukuhan kawasan hutan. Untuk menjamin terlaksananya partisipasi publik dengan baik, perlu diatur mekanisme sanksi bagi pihak yang menghambat proses partisipasi publik dalam penyusunan serta pengawasan dan penegakan hukum pelaksanaan RPPLH, KLHS, RTRW dan pengukuhan kawasan hutan. Dalam hal peningkatan kapasitas masyarakat, belum terdapat peraturan yang secara operasional mengatur tata cara peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW dan pengukuhan kawasan hutan. Padahal partisipasi masyarakat sangat penting untuk mewujudkan perencanaan yang telah mempertimbangkan berbagai aspek yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. 9. Belum terdapat aturan mengenai mekanisme pemberian sanksi bila Pemerintah tidak menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan berdasarkan mekanisme dan jangka waktu sesuai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur mekanisme pemberian sanksi apabila Pemerintah tidak menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan. Sebagai sebuah insentif bagi percepatan penyelesaian pengukuhan KH maka perlu diatur secara tegas apabila pengukuhan kawasan hutan tidak selesai maka pemanfaatan kawasan hutan tidak dapat dilakukan. Ketidakjelasan ini muncul akibat adanya Penjelasan Pasal 12 UU Kehutanan yang menyatakan bahwa “dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan pengukuhan kawasan hutan tidak selalu harus mendahului kegiatan penatagunaan hutan karena pengukuhan kawasan hutan yang luas akan memerlukan waktu lama”. Demikian juga dengan ketentuan dalam PP 44/2004 ketentuan tersebut memungkinkan penggunaan hutan sebelum dilaksanakan pengukuhan kawasan hutan. Bila dilihat lebih jauh, maka ketentuan dalam Pasal 12 dan PP 44/2004 sesungguhnya hanya memberi ruang bagi kegiatan-kegiatan tertentu. Jelas di dalam Penjelasan Pasal 12 bahwa kegiatan penatagunaan dapat dilakukan sebelum pengukuhan kawasan hutan selesai.
22
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
Selanjutnya di dalam Pasal 25 PP 44/2004 disebutkan bahwa kegiatan penatagunaan terdiri dari penentuan fungsi kawasan hutan dan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan di luar kehutanan. Kegiatan di luar kehutanan kemudian dielaborasi lebih lanjut di dalam penjelasan Pasal 25, jenis kegiatan dimaksud antara lain kepentingan religi, hankam, transportasi, kelistrikan, telekomunikasi dan pertambangan. Aspek pemanfaatan baik pemanfaatan hasil hutan kayu, non kayu maupun pengawasan tidak diatur di dalam Pasal 12. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebetulnya kegiatan pemanfaatan kawasan hutan seperti pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (IUPPHK-HA) ataupun pada hutan tanaman (IUPHHK – HT) sebetulnya tidak dapat dilakukan sebelum perencanaan selesai dilakukan. Dengan demikian, maka ketentuan dimaksud perlu dipertegas dengan sanksi di dalam amandemen UU Kehutanan terhadap setiap pihak yang lalai atau tidak sengaja melaksanakan tugasnya untuk mempercapat kawasan hutan. Selesainya pengukuhan sebelum pemanfaatan dilakukan penting untuk menghindari konflik yang terus terjadi dalam pemanfaatan kawasan hutan. Adanya sanksi ini juga akan mendorong Pemda untuk menyediakan data-data yang lebih akurat sehingga proses pengukuhan kawasan hutan dapat dipercepat. 10. Terdapat aturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas namun standar biaya bantuan hukum belum memadai. Secara normatif peraturan perundang-undangan telah mengatur mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial dan independen serta memberi peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam UU Bantuan Hukum. Namun demikian, terkait dengan ketentuan pengukuhan kawasan hutan, masih terdapat beberapa isu di dalam aturan terkait bantuan hukum terutama di tingkat Peraturan Menteri yang mengatur bahwa nominal bantuan hukum baik bagi perkara litigasi maupun non-litigasi adalah sama untuk seluruh kasus. Padahal kasus-kasus terkait isu pertanahan di dalam proses pengukuhan kawasan hutan memakan lebih banyak waktu dan biaya dibanding perkara-perkara perdata seperti perceraian atau perjanjian biasa. Dengan demikian pengaturan mengenai nominal bagi bantuan hukum perlu diklasifikasikan secara lebih khusus untuk setiap sektor. 11. Tata cara dan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari pengukuhan kawasan hutan belum diatur secara tegas. Peraturan perundang-undangan di bidang Kehutanan (Pasal 68 UU Kehutanan) telah mengatur mengenai kewajiban memberikan kompensasi, namun tidak mengatur mengenai mekanisme/tata cara pemberian jaminan relokasi dan/atau kompensasi. Terhadap penggunaan hutan untuk pembangunan terdapat UU Pengadaan Tanah dimana terdapat pengaturan kompensasi bagi areal yang akan digunakan sebagai ruang terbuka hijau, cagar alam dan cagar budaya. Namun untuk penggunaan kawasan hutan secara umum belum mengatur mekanisme kompensasi tersebut. Mengingat ada pemahaman bahwa aturan di bidang pertanahan hanya berlaku untuk non kawasan hutan, maka untuk memastikan aturan ini juga berlaku di dalam kawasan hutan, maka dalam aturan pelaksanaan UU Pengadaan Tanah perlu ditegaskan bahwa aturan ini juga berlaku di dalam kawasan hutan. 12. Belum diatur kewajiban pemerintah untuk menyediakan mekanisme pengaduan yang memudahkan masyarakat untuk memberikan pengaduan (bisa dilakukan melalui berbagai forum seperti telepon, fax, internet, atau datang langsung). Belum terdapat peraturan yang secara operasional mengatur mekanisme keberatan/tata cara bagi masyarakat untuk menyampaikan pengaduan, hanya terdapat pengaturan umum mengenai kewajiban panitia tata batas untuk merespon dan menyelesaikan sengketa akibat klaim pihak ketiga. Padahal keberatan tidak hanya terjadi akibat klaim pihak ketiga, keberatan
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
23
atas penentuan fungsi kawasan hutan juga seharusnya dan mekanisme pengaduan juga perlu disusun untuk memudahkan masyarakat dalam melaksanakan pengaduan. Aturan yang telah terdapat dalam UU Pelayanan Publik perlu untuk dioperasionalisasikan dalam konteks pengukuhan kawasan hutan. Berdasarkan UU Pelayanan Publik, kementerian diwajibkan untuk menyusun mekanisme penerimaan dan pengeolan pengaduan, menyediakan sarana pengaduan, menyiapkan SDM yang bertugas khusus untuk mengelola pengaduan serta menindaklanjuti pengaduan.
C. Tabel Rekomendasi Berdasarkan analisis dan daftar permasalahan diatas, diperlukan evaluasi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, evaluasi tersebut disusun dalam bentuk rekomendasi sebagai berikut. Perlu diingatkan kembali bahwa rekomendasi ini dikhususkan hanya bagi aspek terkait khusus dengan isu yang dibahas, dalam hal ini pengukuhan kawasan hutan. No.
Peraturan
1.
Penyusunan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat
2.
Perubahan UU Kehutanan
Alasan (Perubahan/Penambahan/Pencabutan)
Waktu pelaksanaan
K/L terkait
Materi Muatan : Hak-hak MHA dalam proses perencanaan kehutanan, khususnya dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Mekanisme bagi pengakuan dan pembuktian MHA dalam kawasan hutan yang akan dikukuhkan.
1 tahun
Kemendagri, KLHK
Dalam UU ini perlu ditambah ketentuan berikut:
1 tahun
KLHK
3 Tahun
KLHK, KKP, ESDM
}} Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat dalam melakukan pen-
gawasan dan penegakan hukum.
}} Sanksi yang mengatur apabila terjadi pelanggaran dalam penyusunan
}}
}}
}} }}
3.
24
Penyusunan UU khusus yang memastikan seluruh pengelolaan SDA secara harmonis (RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA)
kajian ilmiah dalam proses perencanaan ruang dan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan perencanaan dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Sanksi bagi aparat yang lalai dan/atau sengaja tidak memberikan jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak dari pengukuhan kawasan hutan. Ketegasan penjelasan pasal 12, bahwa penggunaan kawasan hutan dalam penatagunaan kawasan hutan hanya terbatas untuk tujuan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Ketegasan bahwa izin tidak dapat diberikan apabila hutan belum dikukuhkan. Hutan belum dapat dikukuhkan apabila klaim hak-hak pihak ke tiga belum diselesaikan.
Materi Muatan: }} Aturan umum yang mengatur mengenai asas, norma, dan kaidah penyelenggaraan pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang secara khusus berisi pedoman mengenai berdasarkan prinsip NKRI, keberlanjutan, keadilan, demokrasi, dan kepastian hukum. }} UU ini bertujuan untuk memastikan seluruh pengelolaan SDA secara harmonis mengikuti prinsip dan asas yang diatur di dalam UU ini.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
No.
Peraturan
Alasan (Perubahan/Penambahan/Pencabutan)
4.
Perubahan Peraturan Pemerintah No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan
}} Ketegasan cakupan mengenai kawasan hutan (Negara, adat, hak). }} Mengatur mengenai mekanisme keberatan dan pengaduan yang memuka
Dalam PP ini perlu ditambahkan ketentuan berikut:
Waktu pelaksanaan
K/L terkait
1 tahun
KLHK
1 tahun
KemenKum-HAM
6 bulan
KLHK
akses bagi masyarakat masyarakat jika tidak sepakat dengan perencanaan kehutanan melalui berbagai kanal yang mudah digunakan. }} Aturan mengenai tata cara implementasi peningkatan kapasitas masyarakat baik untuk turut serta dalam perencanaan kehutanan. }} Mensinkronkan kewajiban untuk melakukan kajian ilmiah dalam perencanaan kehutanan dengan menambahkan KLHS sebagai salah satu instrumen yang wajib dibuat sebelum penunjukan kawasan hutan atau bila aka nada perubahan peruntukan/fungsi kawasan hutan (atau disebutkan di dalam peraturan KLHS).
5.
Perubahan PP No. 42/2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum
Dalam PP ini perlu diubah ketentuan berikut: }} Standar biaya biaya bantuan hukum tidak disamakan untuk setiap perkara (litigasi maupun non litigasi), namun standar biaya disusun dengan klasifikasi khusus berdasarkan sektor dan kebutuhan.
6.
Peraturan Bersama Mendagri, Menhut, MenPU, dan Kepala BPN No. 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-11/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan
Dalam PerBer ini perlu diubah ketentuan berikut : }} Tata cara penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan seharusnya tidak mengatur agar dilepaskan dari dari KH, melainkan tetap dipertahankan sebagai hutan tetap apabila fungsinya menghendaki demikian (dapat berupa hutan hak sebagaimana ditentukan dalam UU Kehutanan).
7.
Perubahan Permenhut No. 62/Menhut-II/2013 Jo. Permenhut No. P.44/ Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan
Dalam Permenhut ini perlu ditambahkan ketentuan berikut: }} Diperjelas bahwa informasi berikut wajib disebarkan kepada masyarakat dalam proses pengukuhan kawasan hutan: }} Peta penunjukan kawasan hutan, trayek batas, dan penetapan kawasan hutan dengan skala operasional (min. 1:50.000); }} Tahapan dan dampak dari setiap proses pengukuhan kawasan hutan; }} Syarat-syarat bagi pengajuan klaim oleh masyarakat; dan }} Opsi-opsi dalam pengelolaan kawasan hutan yang tersedia bagi masyarakat. }} Terkait mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat termasuk MHA dapat memperoleh akses informasi tentang pengawasan terkait pengukuhan kawasan hutan. }} Terkait kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan mekanisme pengaduan baik bagi pemegang hak maupun pemangku kepentingan yang lebih luas. }} Aturan mengenai tata cara implementasi peningkatan kapasitas masyarakat baik untuk turut serta dalam pengukuhan kawasan hutan termasuk dalam pelaksanaan pengawasannya. }} Aturan mengenai tata cara implementasi peningkatan kapasitas aparat dalam menangani penyelesaian sengketa dalam proses pengukuhan kawasan hutan. }} Perlu adanya pengaturan mengenai metode evaluasi peraturan antara lain dengan mencantumkan masa keberlakuan. }} Aturan standarisasi pembiayaan penataan batas kawasan hutan. }} Pelaksana penataan batas berasal dari pihak independen yang ditugaskan oleh negara. Dalam Permenhut ini perlu diubah ketentuan berikut: }} Ketentuan tentang panitia tata batas kawasan hutan, diubah dan diharmonisasi baik struktur maupun fungsinya dengan Permenhut No. P.25/ Menhut II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
25
No.
Peraturan
8.
Perubahan Permenhut No. P. 25/Menhut II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan
Alasan (Perubahan/Penambahan/Pencabutan) Dalam Permenhut ini perlu ditambah ketentuan berikut:
}} Memperjelas mekanisme akuntabilitas dari proses pembahasan di PTB
Waktu pelaksanaan
K/L terkait
6 bulan
KLHK
sehingga siapapun wakil masyarakat dapat dipastikan bahwa kepentingan masyarakat terwakili dengan baik.
Dalam Permenhut ini perlu diubah ketentuan berikut: }} Ketentuan tentang panitia tata batas kawasan hutan, diharmonisasikan baik struktur maupun fungsinya dengan Permenhut No. 62/Menhut-II/2013 jo. Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
26
9.
Permenhut No. P.67/Menhut-II/2006 tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan
Dalam Permenhut ini perlu ditambah ketentuan berikut: }} Memasukkan kajian ilmiah berupa KLHS secara eksplisit sebagai syarat dalam penentuan fungsi dalam kawasan hutan. }} Saat ini sudah dijelaskan beberapa instrumen kajian ilmiah, namun belum disinkronkan dengan ketentuan dalam UU PPLH.
6 bulan
KLHK
10.
Permenhut No. P/7/ Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik
Dalam Permenhut ini perlu ditambah ketentuan berikut: }} Memasukan daftar informasi publik yang berkaitan dengan pengukuhan kawasan hutan, yaitu informasi sebagai berikut: }} Peta penunjukan kawasan hutan, trayek batas, dan penetapan kawasan hutan dengan skala operasional (min. 1:50.000); }} Tahapan dan dampak dari setiap proses pengukuhan kawasan hutan; }} Syarat-syarat bagi pengajuan klaim oleh masyarakat; }} Opsi-opsi dalam pengelolaan kawasan hutan yang tersedia bagi masyarakat; }} Peta batas wilayah administrasi desa sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 27 Tahun 2006 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa; }} Data dan Peta penggunaan lahan oleh masyarakat dan atau perizinan di dalam kawasan hutan.
6 bulan
KLHK
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
HASIL ANALISIS BIDANG PERTANAHAN A. Peraturan Perundang-Undangan Analisis bidang pertanahan fokus pada pemberian Hak Guna Usaha (HGU) dilakukan dengan menggunakan indikator yang telah disebutkan pada BAB II sebagai dasar evaluasi berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian HGU. Berikut daftar peraturan terkait dengan pemberian HGU yang menjadi objek analisis:
Bidang Pertanahan: 1. UU No. 5/1960 tentang Dasar-Dasar Pokok Agraria. 2. PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. 3. PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. 4. PP No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. 5. Perpres No. 40/2014 tentang perubahan atas Perpres No.71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. 6. Permenagraria No. 2/1999 Tentang Izin Lokasi. 7. Permenagraria No. 3/1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. 8. Permenagraria No. 1/1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan 9. PerKaBAN No. 6/2013 Tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional. 10. PerKaBAN No. 2/2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. 11. PerKaBAN No. 1/2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. 12. PerKaBAN No. 7/2007 tentang Panitia Pemeriksa Tanah.
Bidang Terkait: 1. UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. 2. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3. UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 4. UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). 5. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. 6. UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal. 7. PP No. 27/2012 tentang Izin Lingkungan.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
27
8. PP No. 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas. 9. PP No. 60/2012 Tentang Perubahan Atas PP No. 10/2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. 10. PP No. 68/2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Pemanfaatan Ruang. 11. PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. 12. PerBer Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, Dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79, PB.3/MENHUT-11/2014, 17/PRT/M/2014, 8/ SKB/X/2014 Tahun 2014. 13. Permenhut No. P.44/Menhut-II/2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Permenhut No. P.33/Menhut -II/2010 Tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi. 14. Permenhut No. P.17/Menhut-II/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-Ii/2010 Tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi. 15. Permendagri No. 52/2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Permenagraria No. 5/1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 16. Permendagri No. 76/2012 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. 17. Permentan No. 98/Permentan/Ot.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
B. Daftar Permasalahan Hak Guna Usaha (HGU) merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu untuk usaha pertanian, perikanan atau peternakan. Penggunaan lahan untuk usaha perkebunan khususnya kelapa sawit mendominasi peruntukan dan pemberian hak atas tanah dengan HGU8. Saat ini terdapat berbagai permasalahan pemberian HGU untuk usaha perkebunan antara lain seperti beroperasinya perusahaan perkebunan tanpa HGU, tidak dilaksanakannya kewajiban kemitraan oleh pemegang HGU dan Izin Usaha Perkebunan diterbitkan pada wilayah yang belum dibebaskan dari hak pihak ketiga. Menurut Direktur Penatagunaan Tanah BPN, dari 7138 kasus tanah yang ditangani BPN, terdapat kasus beroperasinya perusahaan perkebunan tanpa HGU.9 Menurut data Greenomics tahun 2009, dari total lahan 4.677.170,26 hektar lahan kawasan hutan yang telah dilepas untuk tujuan perkebunan baru 2.436.276,48 hektar yang telah mengantongi HGU. Selebihnya, yang 2.240.893,78 hektar tidak memiliki HGU10. Fakta tersebut diperparah dengan tidak adanya instrumen hukum berupa peraturan perundang-undangan yang mewajibkan adanya pengawasan terhadap pelaksanaan usaha yang tidak taat terhadap kewajiban HGU. Kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh tidak terdapat sinkronisasi/harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait HGU. Berdasarkan analisis atas dasar prinsip-prinsip dalam TAP MPR IX yang dilakukan terhadap peraturan-peraturan tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut:
8 9 10
28
Maria Sumardjono dan Totok Dwi Diantoro, “Kajian Tata Kelola Penetapan HGU dalam Konteks Perizinan Usaha Perkebunan, 2014, hlm 2. Pendapat tersebut bersumber dari pernyataan Direktur PGT BPN RI Iwan Nusa dalam Workshop Hak Atas Tanah pada pertemuan Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ke-7 tanggal 1 November 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia Ibid, Maria Sumardjono. Ibid, Maria Sumardjono.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
1. Kewajiban meminimalisir konversi kawasan hutan untuk HGU telah diatur, namun belum memberikan prioritas terhadap kawasan yang terdegradasi. Konversi kawasan hutan dilakukan untuk berbagai kebutuhan termasuk HGU. PP No. 60/2012 telah mengatur bahwa konversi hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi serta pada provinsi dengan kawasan hutan lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari luas wilayah provinsi. Untuk tetap mempertahankan fungsi kawasan hutan perlu diberlakukan syarat tambahan konversi kawasan hutan (termasuk untuk HGU) hanya untuk kawasan hutan yang telah terdegradasi. Namun, pengaturan yang membatasi perubahan fungsi kawasan atau tata ruang demi untuk menjadikannya sebagai kawasan hutan produksi sehingga bisa dikonversi menjadi kebun belum terlihat dengan jelas sehingga mutlak diperlukan. 2. Sudah terdapat mekanisme dan kewajiban pemerintah untuk memberikan informasi, namun akses informasi atas rencana penetapan, pemanfaatan serta pengawasan dan penegakan hukum pelaksanaan HGU belum diatur oleh Kementerian / Lembaga terkait sebagai informasi publik yang bersifat terbuka. Dalam PP tentang pendaftaran tanah, tidak diatur mengenai kewajiban pemerintah untuk memberikan akses terhadap masyarakat untuk mengetahui data pertanahan baik secara fisik maupun yuridis berupa peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah. Kewajiban memberikan akses informasi terbatas pada pihak berkepentingan dapat mengakibatkan masyarakat sekitar wilayah yang akan dicanangkan HGU kesulitan mengakses informasi tersebut karena keterbatasan akses informasi teknis pertanahan serta keterbatasan pendidikan. Padahal sebaiknya mereka berhak untuk mengetahui perencanaan HGU disekitar wilayah mereka. Absennya ketentuan tersebut dapat diakomodasi dengan adanya kewajiban pengumuman usaha serta wilayah usaha yang dilakukan oleh pemrakarsa/pemilik usaha kepada masyarakat setempat untuk memperoleh masukan, saran dan pendapat sebelum penyusunan AMDAL sebagaimana ditentukan dalam UU PPLH. Namun demikian, untuk menjamin akses informasi masyarakat dalam setiap rencana dan tahapan dalam pemberian HGU perlu disusun kewajiban pemerintah serta pemohon untuk menyediakan akses informasi perihal proses permohonan HGU (khususnya peta wilayah rencana HGU) kepada masyarakat. Agar informasi yang diberikan tidak melanggar hak pihak lain, perlu diatur batasan serta kriteria informasi seputar HGU yang dapat diberikan kepada masyarakat. Secara normatif dalam proses pendaftaran terdapat kewajiban untuk memberikan pengumuman kepada publik terkait pengumuman pertama kali saat terjadi konversi. Namun untuk selanjutnya tidak dibebankan kewajiban tersebut, hal ini akan menjadi salah satu celah dalam mekanisme tidak terdapatnya clean and clear dalam HGU. 3. Belum diatur tata cara yang memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penetapan serta pengawasan dan penegakan hukum pelaksanaan HGU. Secara umum tidak terdapat mekanisme atau kewajiban yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses penatapan serta pengawasan dan penegakan hukum pelaksanaan HGU. Pada proses penerbitan izin, keterlibatan masyarakat (yang berkepentingan) terbatas pada proses penerbitan izin lingkungan khususnya pada tahap penyusunan AMDAL, padahal prasyarat HGU sebelum ditetapkan tidak hanya penyusunan AMDAL. Partisipasi publik seharusnya juga dilaksanakan pada proses izin lokasi, khususnya dalam pelaksanaan pembebasan tanah oleh pemohon HGU. Partisipasi pada pelaksanaan pembebasan tanah dapat menghindari konflik karena masyarakat sekitar HGU mengetahui serta terlibat dalam pembebasan tanah. Partisipasi masyarakat juga diperlukan dalam pengawasan dan penegakan hukum, masyarakat dapat membantu pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap penaatan hukum penanggung jawab usaha dalam mengelola HGU yang dimiliki. Oleh karena itu perlu diatur mekanisme secara operasional memudahkan masyarakat untuk terlibat dalam setiap tahapan
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
29
dalam proses penetapan izin HGU, serta keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan penegakan hukum. Perlu ditekankan kembali pentingnya akses publik atas informasi HGU agar dapat melakukan pengawasan. Untuk mendukung keterlibatan masyarakat, perlu diatur kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kapasitas keterlibatan masyarakat dalam penetapan serta pengawasan dan penegakan hukum tersebut serta diatur mekanisme sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat untuk turut serta dalam berpartisipasi. 4. Belum diatur mekanisme yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi dan peningkatan kapasitas publik dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW (termasuk ruang untuk memberikan masukan dan respon dengan berbagai cara dan waktunya cukup). Ketentuan pemerintah untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan partisipasi publik dalam proses penyusunan RTRW telah diatur dalam UU 26/2007 secara operasional diatur dalam PP 68/2010. Ketentuan pemerintah untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan partisipasi publik secara prinsip telah diakomodasi dalam UU PPLH. Namun demikian dalam perencanaan KLHS dan RPPLH secara operasional belum diatur. aturan operasional terkait RPPLH dan KLHS sebagaimana diamanatkan oleh UU 32/2009 belum diselesaikan. Tidak terdapatnya PP tersebut menimbulkan kekosongan hukum mengenai mekanisme partisipasi masyarakat dalam penyusunan KLHS dan RPPLH. Oleh karena itu, seharusnya PP KLHS dan PP RPPLH segera dibuat. Belum terdapat peraturan yang secara operasional mengatur tata cara peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara substansial dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW. Padahal partisipasi masyarakat sangat penting untuk mewujudkan perencanaan yang telah mempertimbangkan berbagai aspek yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. 5. Terdapat aturan terkait penggunaan tanah yang memperhatikan kepentingan umum namun belum diatur secara operasional. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) telah diatur kewajiban penggunaan tanah termasuk HGU untuk kepentingan umum. Jika diterlantarkan atau digunakan bertentangan dengan kepentingan umum maka hak atas tanah dapat dicabut. Selain itu dalam PP 40/1996 telah diatur mengenai kewajiban pemegang HGU untuk memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar wilayah usaha. Namun kewajiban memperhatikan kepentingan umum terutama masyarakat sekitar belum diatur secara operasional sehingga dalam pelaksanaannya dapat dimungkinkan tidak dilaksanakan. Selain itu belum terdapat mekanimse verifikasi dan justifikasi persetujuan masyarakat dalam pemberian HGU. Absennya mekanisme ini mengakibatkan konflik sosial antara pemilik HGU dengan masyarakat disekitarnya yang tidak setuju dengan pengelolaan HGU oleh pemilik HGU. Oleh karena itu perlu diatur secara operasional pelaksanaan HGU yang memperhatikan kepentingan umum khususnya masyarakat sekitar serta mekanisme dimana masyarakat dapat menyatakan keberatan atas HGU yang akan diberikan sebelum ditetapkan. 6. Belum diatur mekanisme sanksi bagi pemberi dan pemohon HGU dalam tata cara penerbitan HGU yang dapat menjamin konsistensi proses dan jangka waktunya serta pembatasan pemohon yang berhak mengajukan pembaruan HGU. Ketentuan mengenai tata cara (termasuk waktu) penerbitan izin telah diatur dalam PP Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, PP Pendaftaran Tanah, Permenag Izin Lokasi dan UU Perkebunan dan PerKaBAN No. 1/2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. Namun dalam pelaksanaannya izin lokasi, seringkali batas waktu pembebasan tanah melebihi waktu yang ditentukan, dan dalam pelaksanaannya terhadap pelanggaran tersebut tidak diberikan sanksi, padahal seharusnya sanksi yang diberikan adalah tidak dapatnya dilakukan pengajuan izin lokasi pada wilayah yang sama. Oleh karena itu diperlukan konsistensi dalam melaksanakan ketentuan penerbitan izin dari berbagai peraturan tersebut, khususnya mekanisme sanksi terhadap pelanggaran mekansime penerbitan izin tersebut.
30
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
Terkait batas waktu kepemilikan HGU, dalam dalam PP Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah telah ditentukan selama paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang selama 25 (dua puluh lima) tahun. Setelah perpanjangan habis, dapat diberikan pembaruan. Untuk menghindari monopoli grup perusahaan serta untuk mempertahankan daya dukung tanah sebaiknya diatur pembatasan pembaruan HGU serta diatur secara selektif pemohon baru diatas tanah bekas HGU. Hal ini secara eksplisit sudah diatur dalam UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat namun tidak memberikan pengaturan khusus terkait dengan perkebunan di dalamnya khususnya Sawit. 7. Telah diatur kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan namun belum diatur secara operasional. Secara umum telah diatur kewajiban setiap perusahaan untuk melakukan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) secara antara lain terdapat dalam UU PT dan PP TJSL. Aturan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dalam aturan tersebut belum memiliki kriteria spesifik sehingga dalam pelaksanaannya tidak dapat menjamin kesesuaian dengan konsep lingkungan hidup yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar perusahaan. Oleh karena itu perlu disusun peraturan yang secara operasional mengatur secara spesifik pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang sesuai dengan konsep lingkungan hidup yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat dan memiliki kriteria khusus jika berkaitan dengan masyarakat tertentu seperti MHA. Selain itu penerapan TJSL berdasarkan PP TJSL juga berbeda dengan UU PT dalam PP disebutkan bahwa TJSL dilakukan oleh direksi melalui persetujuan dewan komisaris. Ketentuan tersebut bertentangan secara norma dengan Pasal 2 UU PT yang mengatakan bahwa setiap Perseroan selaku subyek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Oleh karena itu PP TJSL tersebut perlu diubah dan disesuaikan dengan norma dalam UU PT. Selain itu perlu memasukkan kriteria dan spefisikasi tertentu dalam pelaksanaan TJSL sehingga dapat menjamin konsep lingkungan yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat. Dalam pengaturan HGU, tidak terdapat ketentuan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, namun demikian dalam bidang usaha perkebunan terdapat kewajiban kemitraan dengan masyarakat berupa menyediakan kebun plasma seluas 20% (dua puluh persen) dari HGU yang diusahakan. Ketentuan tangung jawab sosial dan lingkungan dalam pelaksanaan HGU juga dapat memastikan HGU atas nama perorangan tetap punya TJSL. Namun demikian HGU atas nama badan hukum dapat menyesuaikan dengan UU PT dan PP TJSL. 8. Belum diatur kewajiban pemerintah untuk membangun sebuah database perizinan yang dapat diakses oleh Pemdaserta K/L terkait di tingkat pusat (khususnya berkaitan dengan HGU). Belum terdapat pengaturan yang secara operasional mewajibkan pemerintah untuk membangun database perizinan yang dapat diakses oleh Pemdaserta K/L ditingkat pusat. Keberadaan database perizinan dapat mengantisipasi terjadinya tumpang tindih izin antar HGU atau dengan izin lain dalam satu wilayah yang sama serta dapat dijadikan untuk melaksanakan monitoring terhadap pembatasan kepemilikan HGU oleh satu grup perusahaan. 9. Belum diatur kewajiban bagi aparat untuk melakukan pengawasan pemanfaatan HGU. Belum diatur mekanisme/tata cara pengawasan pemanfaatan HGU oleh lembaga yang mengeluarkan sertifikat HGU. Saat ini hanya terdapat pengaturan pengawasan penaatan lingkungan hidup dan bidang usaha perkebunan sebagaimana diatur dalam UU Perkebunan. UU PPLH dan PP tentang Izin Lingkungan mewajibkan Pemerintah, pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan terhadap penataatan lingkungan berdasarkan izin lingkungan serta perundang-undangan yang berlaku kepada pelaku usaha. Melalui kewajiban tersebut saat ini
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
31
terdapat Badan Pengawas Lingkungan Hidup (BPLH) di berbagai tingkatan pemerintahan. Namun demikian masih terdapat daerah yang kekurangan atau bahkan tidak memiliki SDM BPLHD. Kekurangan atau kekosongan SDM tersebut mengakibatkan pengawasan penaatan lingkungan hidup tidak berjalan dengan baik. Untuk menjamin terlaksananya pengawasan tersebut dengan baik, perlu diatur standar minimal BPLHD yang mencakup jumlah minimal pejabat pengawas lingkungan hidup, mekanisme pendelegasian kewenangan pengawasan dari kepala daerah, serta kewajiban pengaturan perda pelaksanaan pengawasan oleh BPLHD berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Aturan tersebut perlu didukung dengan adanya ketentuan pelaksanaan perlu diatur mekanisme pelaksanaan second line enforcement atau oversight untuk memastikan terlaksananya pengawasan dengan baik. Pengawasan pemanfaatan HGU dapat dilakukan untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam melaksanakan pembaruan HGU atau bahkan pencabutan HGU jika ternyata pemanfaatan HGU tidak sesuai peruntukan/ tanah HGU diterlantarkan serta untuk menghindari terjadinya tumpang tindih HGU. Oleh karena itu perlu diatur mekanisme serta kelembagaan yang bertanggung jawab melakukan pengawasan pemanfaatan HGU dan dalam pelaksanaannya sebaiknya dilakukan berkoordinasi dengan instansi terkait lain. Untuk memastikan pengawasan berjalan dengan baik, perlu diatur mekanisme sanksi bagi aparat yang lalai dalam melakukan pengawasan pemanfaatan HGU. 10. Belum terdapat mekanisme pemberian sanksi terhadap Pemdayang memberikan izin lokasi dan izin usaha perkebunan yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu permasalahan HGU di lapangan adalah adanya tumpang tindih antar HGU atau izin usaha HGU dengan izin usaha lain dalam satu wilayah. Tumpang tindih tersebut dapat mengakibatkan konflik antar masyarakat serta dapat mengakibatkan terbengkalainya HGU yang bermasalah menjadi tanah terlantar. Izin lokasi diberikan oleh Pemdasetelah tanah yang dimohonkan untuk HGU telah dilakukan pembebasan tanah, artinya Pemdaharus memastikan bahwa tanah yang dimohonkan telah bebas dari hak atas tanah dari pihak lain. Selain itu Pemdadapat memberikan izin usaha setelah pemohon memiliki izin lokasi dan AMDAL. Berdasarkan proses tersebut, jika dilaksanakan sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku, tumpang tindih izin dan HGU dapat diantisipasi. Oleh karena itu perlu diatur sanksi bagi Pemdajika lalai atau dengan sengaja memberikan izin usaha serta izin lokasi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini juga harus diperkuat dengan memberikan batasan diskresi dalam hal belum adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) suatu daerah dalam pemberian izin kepada suatu permohonan HGU tertentu. 11. Terdapat aturan mengenai pertanggungjawaban pelaku untuk memulihkan dampak dan/ atau memberikan kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan namun belum diatur secara operasional. UU PPLH telah mengatur kewajiban penanggung jawab usaha atau setiap orang (pelaku) yang melakukan perusakan lingkungan untuk bertanggung jawab dalam melakukan pemulihan lingkungan. Selain itu, penanggung jawab usaha juga berkewajiban untuk mengalokasikan dana penjamin lingkungan yang digunakan jika terjadi kerusakan lingkungan disekitarnya. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memaksa pelaku untuk melakukan pemulihan atau ganti kerugian terhadap akibat kerusakan yang ditimbulkan. Namun demikian aturan tersebut belum secara spesifik dan operasional mengatur mekanisme pertanggung jawaban, mekanisme pemulihan, mekanisme pelaksanaan paksaan pemerintah untuk melakukan pemulihan, syarat suatu lingkungan
32
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
dikategorikan telah mengalami kerusakan serta kriteria besarnya dana jaminan lingkungan serta ganti kerugian. Seharusnya pemerintah menyusun PP yang mengatur mengenai pengendalian kerusakan lingkungan/pencemaran lingkungan serta pemulihan uang ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan sebagaimana dimandatkan dalam UU PPLH. 12. Terdapat mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, namun mekanisme bantuan hukum belum/tidak mengakomodasi fakta di lapangan. Secara normatif peraturan perundang-undangan telah mengatur mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial dan independen. Dalam bidang pertanahan juga terdapat Permenagraria atau PerKaBAN No. 1/1999 yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pertanahan. Namun demikian sengketa HGU umumnya melibatkan penanggung jawab usaha dalam skala besar melawan masyarakat setempat yang tergolong miskin dan tak berpendidikan yang membutuhkan bantuan hukum. Memang hak bantuan hukum masyarakat telah diakomodir oleh adanya UU Bantuan Hukum yang mengatur kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang memerlukan bantuan hukum. Namun demikian, masih terdapat beberapa isu di dalam aturan terkait bantuan hukum terutama di tingkat Peraturan Menteri yang mengatur bahwa nominal bantuan hukum baik bagi perkara litigasi maupun non-litigasi adalah sama untuk seluruh kasus. Padahal kasus-kasus terkait isu pertanahan (HGU) memakan lebih banyak waktu dan biaya dibanding perkara-perkara perdata seperti perceraian atau perjanjian biasa. Dengan demikian pengaturan mengenai nominal bagi bantuan hukum perlu diklasifikasikan secara lebih khusus. Oleh karena itu aturan baru ini harus dapat menjangkau konflik di kurun waktu lampau berbasis subyek maupun obyek yang belum ada pada waktu tersebut. 13. Belum diatur kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari pemberian HGU. Permenagraria tentang izin lokasi telah mengatur kewajiban penanggung jawab usaha untuk melakukan pembebasan hak atau kepentingan lain diatas tanah yang direncanakan HGU berdasarkan izin lokasi. Pembebasan dilakukan kedua belah pihak dengan cara jual beli, ganti kerugian, konsolidasi tanah atau dengan cara lain yang disepakati kedua belah pihak. Namun belum diatur kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pembebasan tanah, dan memastikan masyarakat dan penanggung jawab usaha melakukan kesepakatan pembebasan tanah dengan ganti kerugian/konsolidasi/jual beli yang sesuai kesepakatan tanpa tekanan dan ancaman serta diketahui oleh semua pihak yang terkait. Konflik sering terjadi dalam proses pembebasan tanah karena penanggung jawab usaha menggunakan kekerasan dalam merelokasi masyarakat atau memaksa masyarakat untuk menerima ganti kerugian yang tidak disepakati masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur mekanisme pemerintah dalam melakukan pengawasan pembebasan tanah yang akan diberikan HGU untuk memastikan hak masyarakat dipenuhi oleh penanggung jawab usaha serta untuk memastikan kesepakatan masyarakat dan kedua belah pihak dilakukan dengan benar tanpa paksaan dan ancaman. Untuk menjamin pelaksanaan pengawasan, diatur sanksi bagi aparat yang lalai atau dengan sengaja tidak melaksanakan pengawasan pelaksanaan relokasi ataupun kompensasi. Selain itu juga perlu diatur mekanisme sanksi bagi penanggung jawab usaha yang lalai atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam memberikan jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak pemberian HGU.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
33
C. TABEL REKOMENDASI Berdasarkan analisis dan daftar permasalahan diatas, diperlukan evaluasi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, evaluasi tersebut disusun dalam bentuk rekomendasi sebagai berikut:
No.
34
Peraturan
Arah Perubahan/Penambahan/Pencabutan
Waktu pelaksanaan
K/L terkait
1
Penyusunan UndangUndang Pertanahan
Materi Muatan: }} Kewajiban pemerintah untuk memberikan akses informasi pendaftaran, pemanfaatan serta pengawasan dan penegakan hukum hak atas tanah. }} Kewajiban pemerintah untuk menyediakan database perizinan, dalam pelaksanaanya berkoordinasi dengan K/L terkait izin lain. }} Kewajiban pemerintah untuk memberikan akses partisipasi masyarakat untuk terlibat pada tahap pendaftaran, pemanfaatan serta pengawasan dan penegakan hukum hak atas tanah. }} Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan pemanfaatan tanah HGU. }} Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pemberian relokasi dan kompensasi akibat pemberian HGU/hak atas tanah lain. }} Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat untuk mendapatkan informasi serta akses partisipasi di bidang pertanahan. }} Sanksi administratif terhadap pemegang HGU yang tidak memanfaatkan tanah sesuai peruntukan/menelantarkan tanah. }} Sanksi bagi aparat yang tidak melakukan pengawasan pelaksanaan relokasi dan pemberian kompensasi akibat pemberian HGU/hak tanah lain.
2 Tahun
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Kemenagraria), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemKumHAM)
2
Penyusunan PP tentang pengendalian kerusakan lingkungan/pencemaran lingkungan serta pemulihan dan ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan sebagaimana dimandatkan dalam UU PPLH.
Materi Muatan: }} Syarat dan kriteria kerusakan/pencemaran lingkungan hidup. }} Mekanisme ganti rugi serta pemulihan lingkungan hidup oleh pelaku. }} Mekanisme pelaksanaan dana lingkungan. }} Pengawasan pelaksanaan pemulihan serta ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup. }} Ketentuan standar minimal BPLHD (Jumlah Personil dan kewajiban minimal). }} Mekanisme pelaksanaan second line enforcement atau oversight sesuai UU PPLH. }} Mekanisme insentif dan disinsentif terhadap daerah yang tidak melakukan pengawasan kerusakan lingkungan hidup, serta tidak memenuhi kewajiban memiliki BPLHD yang cukup.
1 Tahun
KLHK-Kemendagri
3
Penyusunan PP tentang Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) sebagaimana dimandatkan oleh UU No. 32/2009 tentang PPLH
Materi Muatan: }} Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) sebagai dasar perencanaan di bidang kehutanan dan pertanahan. }} Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemdauntuk memberikan akses informasi tentang penyusunan Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) sesuai dengan kewenangannya. }} Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemdauntuk membangun mekanisme dan sistem pengelolaan partisipasi masyarakat dalam penyusunan Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). }} Catatan: Dalam pelaksanaannya, sistem mekanisme partisipasi dapat digabungkan ke dalam sistem yang sudah ada. }} Ketentuan tentang hak masyarakat untuk terlibat dalam proses penyusunan dan pengawasan pelaksanaan Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). }} Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemdauntuk melaksanakan pengawasan pelaksanaan Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
1 Tahun
KLHK
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
No.
Peraturan
Arah Perubahan/Penambahan/Pencabutan
Waktu pelaksanaan
K/L terkait
4
Penyusunan PP tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis dimandatkan oleh UU No. 32/2009 tentang PPLH
Materi Muatan: }} Terkait KLHS sebagai dasar perencanaan di bidang kehutanan dan pertanahan. }} Ketentuan tentang hak masyarakat untuk terlibat dalam proses penyusunan KLHS. }} Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemdauntuk memberikan akses informasi tentang penyusunan KLHS sesuai dengan kewenangannya. }} Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemdauntuk membangun mekanisme dan sistem pengelolaan partisipasi masyarakat dalam penyusunan KLHS. }} Catatan: Dalam pelaksanaannya, sistem mekanisme partisipasi dapat digabungkan ke dalam sistem yang sudah ada. }} Terkait kewajiban untuk membangun sistem pengaduan apabila masyarakat dirugikan akibat KLHS atau tidak dilibatkan dalam penyusunan KLHS. }} Catatan: Dalam pelaksanaannya, sistem pengaduan dapat digabungkan ke dalam sistem yang sudah ada. }} Kewajiban Pemerintah dan Pemdauntuk melaksanakan pengawasan pelaksanaan KLHS. }} Keterangan : Penyusunan PP ini bertujuan mencabut Permen LH No. 9/2011 tentang Pedoman KLHS dan Permendagri No. 67/2012 tentang KLHS.
1 Tahun
KLHK
5
Perubahan PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah
Dalam PP ini perlu ditambahkan ketentuan berikut: }} Kewajiban kanwil pertanahan dan pemohon HGU untuk menyebarkan informasi/pengumuman rencana HGU terhadap masyarakat sekitar rencana HGU. }} Kanwil pertanahan memberikan kesempatan kepada masyarakat yang keberatan terhadap rencana HGU.
1 Tahun
Kemenagraria
6
Perubahan PP No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
Dalam PP ini perlu ditambahkan ketentuan berikut: }} Pengawasan pemanfaatan HGU secara berkala yang dilakukan oleh kanwil pertanahan setempat. }} Menambahkan kesanggupan serta rencana pelaksanaan kemitraan dengan masyarakat sekitar HGU sebagai syarat permohonan HGU.
1 Tahun
Kemenagraria
1 Tahun
KemKumHAM, K/L terkait lain
Dalam PP ini perlu dicabut adalah ketentuan berikut: }} Mekanisme permohonan pembaharuan HGU oleh pemegang HGU sebelumnya. 7
Perubahan PP No. 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Dalam PP ini perlu ditambahkan ketentuan berikut: }} Syarat dan Kriteria pelaksanaan TJSL secara spesifik. }} Pengawasan pelaksanaan TJSL perusahaan. Dalam PP ini perlu dicabut ketentuan berikut: }} TJSL dilakukan oleh direksi melalui persetujuan dewan komisaris.
8
Perubahan PP No. 42/2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum
Dalam PP ini perlu diubah ketentuan berikut: }} Standar biaya biaya bantuan hukum tidak disamakan untuk setiap perkara (litigasi maupun non litigasi), namun standar biaya disusun dengan klasifikasi khusus berdasarkan sektor dan kebutuhan.
1 tahun
KemenKum-HAM
9
Penyusunan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang tentang Pelayanan Publik di Lingkungan Kemenagraria.
Materi Muatan: }} Mekanisme penerimaan dan respon pengaduan masyarakat terkait pertanahan. }} Kelembagaan serta SDM pengelola pengaduan masyarakat. }} Sarana penyampaian pengaduan masyarakat. }} Hubungan dengan K/L lain terkait pengaduan, misalnya Ombudsman.
6 Bulan
Kemenagraria
10
Perubahan Permenagraria No. 2/1999 Tentang Izin Lokasi
Dalam Permenagraria ini perlu ditambahkan ketentuan berikut: }} Kewajiban pemohon HGU untuk memberikan laporan berkala pelaksanaan pembebasan tanah. }} Kewajiban pemohon HGU dan Pemda untuk mengumumkan rencana HGU di sekitar wilayah rencana HGU. }} Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pembebasan tanah dan memastikan proses kesepakatan antara pemohon dan masyarakat dilakukan secara sah, tanpa ancaman dan paksaan. }} Mengatur mekanisme khusus pembebasan tanah diatas tanah ulayat (melalui ganti rugi/pinjam pakai), serta jaminan perlindungan atas hak MHA.
6 Bulan
Kemenagraria
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
35
No.
Peraturan
Arah Perubahan/Penambahan/Pencabutan
Waktu pelaksanaan
K/L terkait
11
Perubahan Permenhut No. 33/2010 (dan amandemennya) tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi
Dalam Permenhut ini perlu ditambahkan ketentuan berikut: }} Hutan yang dapat dikonversi terbatas pada hutan produksi yang sudah terdegradasi. }} Panitia tata batas pelepasan kawasan hutan melakukan pengukuran bersama BPN dan pemohon. }} Mekanisme serta jangka waktu proses pelepasan kawasan hutan.
6 Bulan
KLHK
12
Perubahan Permentan No. 98/Permentan/ Ot.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan
Dalam PP ini perlu diubah ketentuan berikut: }} Izin Usaha Perkebunan diberikan jika pemohon telah memiliki sertifikat HGU.
6 Bulan
Kementan
6 Bulan
Kemenagraria
Dalam Permentan ini perlu ditambah ketentuan berikut: Izin prinsip usaha perkebunan sebagai dasar permohonan HGU. Izin prinsip usaha perkebunan tidak memberikan hak kepada pemohon untuk menjalankan usaha perkebunan, sebatas izin prinsip sebagai syarat HGU. 13
36
Perubahan PerKaBAN No. 6/2013 tentang Pelayanan Informasi Publik
Dalam PerKaBAN ini perlu ditambah ketentuan berikut: }} Dokumen/ informasi tentang RTRW beserta lampirannya sebagai informasi yang dapat diperoleh dengan permintaan. }} Memasukan informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum dalam konteks ketaatan penerima HGU sebagai informasi yang dapat diperoleh berdasarkan permintaan atau tersedia setiap saat. }} Terkait pembatasan informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum di bidang pertanahan yang tidak dapat diakses publik.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
HASIL ANALISIS BIDANG HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT TERMASUK MASYARAKAT HUKUM ADAT A. Peraturan Perundang-Undangan Analisis pada bab ini fokus pada hak dan kewajiban masyarakat termasuk MHA, dilakukan dengan menggunakan indikator yang telah disebutkan pada BAB II sebagai dasar evaluasi berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan MHA. Berikut daftar peraturan terkait dengan pengukuhan kawasan hutan yang menjadi objek analisis: Bidang Masyarakat Hukum Adat: 1. UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. 2. UU No. 6/2014 tentang Desa. 3. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 4. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. 5. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. 6. Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. 7. Permenagraria No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Bidang Terkait: 1. UU No. 39 /2014 tentang Perkebunan. 2. UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. 3. UU No. 4/2011 tentang Informasi Geospasial. 4. UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan umum. 5. UU No. 8/2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 6. UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 7. UU No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum. 8. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 9. UU No. 49/2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum 10. UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
37
11. UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 12. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. 14. UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. 15. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. 16. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. 17. PP No. 9/2014 tentang Pelaksanaan UU 4/2011 tentang Informasi Geospasial. 18. PP No. 27/2012 tentang Izin Lingkungan. 19. PP No. 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. 20. PP No. 68/2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang. 21. PP No. 6/ 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. 22. PP No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan. 23. PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. 24. PP No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. 25. Perpres No. 27/2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional. 26. Permenhut No. P.25/Menhut II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan. 27. Permenhut No. 62/Menhut-II/2013 jo. Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. 28. Permenhut No. P.7/Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik di lingkungan Kementerian Kehutanan. 30. Permenhut No. P.67/Menhut-II/2006 tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan. 31. PermenLH No. 16/2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan. 32. PermenLH No. 9/2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis. 33. PermenLH No. 6/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik. 34. PermenLH No. 15/2011 tentang tentang Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 35. PermenLH No. 9/2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan hidup. 36. Permendagri No. 67/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah . 37. Permenagraria No. 2/1999 tentang Izin Lokasi. 38. PerKaBAN No. 6/2013 tentang Pelayanan Informasi Publik di BPN. 39. PerKaBAN No. 2/2010 tentang Pengaduan Masyarakat. 40. PerKaBAN No. 1/2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. 41. Perdirjen Planologi Kehutanan No. P.6/VII-KUH/2011 tentang Petunjuk Teknis Pengukuhan Kawasan Hutan.
38
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
B. Daftar Permasalahan Pelanggaran terhadap hak dan kewajiban masyarakat termasuk MHA menjadi salah satu sumber konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil tim inkuiri nasional KOMNAS HAM terhadap 40 kasus pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat (khusus di dalam kawasan hutan) ditemukan beberapa sebab akar konflik agraria yang berkaitan dengan MHA, antara lain: pertama, ketidakpastian hukum pengakuan masyarakat adat. Kedua, ketiadaan batas-batas wilayah yang dianggap sebagai wilayah adat. Ketiga, simplikasi keberadaan masyarakat adat dan hak-hak atas wilayah serta sumber daya hutan menjadi masalah administrasi semata. Keempat, perseteruan antara legalitas vs legitimasi, misal antara masyarakat adat vs perusahaan atau pemerintah. Kelima, perempuan dalama masyarakat adat masih mengalami diskriminasi berlapis. Keenam, sikap pemerintah atau aparat keamanan lebih melindungi kepentingan perusahaan atau pemegang izin daripada masyarakat adat. Ketujuh, ketiadaan lembaga setingkat menteri dalam penyelesaian konflik-konflik agraria, termasuk kehutanan.11 Kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh tidak terdapat sinkronisasi/harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait hak dan kewajiban masyarakat khususnya MHA. Berdasarkan analisis atas dasar prinsip-prinsip dalam TAP MPR IX yang dilakukan terhadap peraturan-peraturan tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Telah terdapat aturan mengenai perencanaan ruang yang terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, kehati-hatian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mengedepankan kepentingan umum, namun belum diatur secara operasional. UU Penataan Ruang, UU PPLH, UU Kehutanan, dan UUPA telah memandatkan agar pola perencanaan ruang dilakukan secara terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, kehati-hatian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mengedepankan kepentingan umum. Namun, berbagai pengaturan tersebut baru sebatas tataran norma umum, masih perlu ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksana yang lebih operasional, terutama sesuai dengan mandat UU PPLH, yaitu: a. PP tentang inventarisasi lingkungan hidup, ekoregion dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH); dan b. PP tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sekaligus mencabut PermenLH dan Permendagri yang mengatur tentang KLHS. Di dalam kedua PP tersebut perlu mencantumkan hak masyarakat, termasuk MHA, untuk terlibat dalam proses penyusunan inventarisasi lingkungan hidup, ekoregion, PPLH dan KLHS agar hakhaknya terakomodir. 2. Terdapat aturan tentang pembagian kewenangan antar Pemerintah dan Pemda dalam melakukan pengakuan batas-batas wilayah MHA, namun terdapat ketidakselarasan aturan tentang ruang lingkup pengakuan serta pelibatan MHA dalam penentuan batas wilayah. Kewenangan dalam melakukan pengakuan batas-batas wilayah MHA secara demokratis sudah diatur dalam Permenagraria 5/1999 yakni diberikan kepada Pemda, dimana penentuannya harus dilakukan Pemda dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, MHA yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola SDALH. Namun demikian, tata cara pengakuan MHA tersebut masih perlu ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah di wilayah masing-masing.
11
Sapariah Saturi, “Inkuiri Ungkap Banyak Pelanggaran HAM Dera Masyarakat Adat di Kawasan Hutan”, Mongabay, diakses dari http://www. mongabay.co.id/2014/12/18/inkuiri-ungkap-banyak-pelanggaran-ham-dera-masyarakat-adat-di-kawasan-hutan/ , tanggal 20 November 2014 pukul 14.05 WIB.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
39
Dalam hal pelibatan MHA dalam pelaksanaan pengakuan dan penentuan batas wilayah MHA, terdapat ketidakselarasan antara Permenagraria 5/1999 dengan Permendagri 52/2014. Di dalam Permendagri, pengakuan dilakukan oleh Panitia MHA tetapi justru tidak terdapat ketentuan tentang perwakilan MHA untuk duduk dalam atau terlibat dalam kerja-kerja Panitia MHA tersebut. Sementara itu, UU 26/2007 mengatur bahwa penetapan kawasan strategis, termasuk di dalamnya “kawasan adat tertentu” tanpa ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan “kawasan adat tertentu” tersebut dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten yang pembagiannya berdasarkan lingkup kepentingan strategis dari kawasan tersebut. Beberapa peraturan lain mengatur tentang pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemda dalam memberikan pengakuan terhadap keberadaan MHA–bukan pengakuan batas wilayah MHA-, antara lain UU 32/2009 dan UU 23/2014. Oleh karena itu perlu: (a) Penyelarasan Permenagraria 5/1999 dan Permendagri 52/2014 tentang keterlibatan MHA dalam pengakuan batas wilayah MHA, merujuk pada Permenagraria 5/1999 yang lebih demokratis. (b) Penyelarasan ruang lingkup pengakuan terhadap MHA dengan memastikan bahwa pengakuan terhadap MHA adalah termasuk pengakuan terhadap hak ulayat MHA, mengingat keberadaan MHA tidak dapat dipisahkan dengan wilayah tempat tinggalnya. Penyelarasan dapat dilakukan dengan memasukkan ketentuan ini dalam penyusunan rancangan undang-undang tentang MHA. 3. Belum diatur kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang memadai untuk peningkatan kapasitas MHA, untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan SDA-LH. Secara nasional, memang tidak ada aturan earmark anggaran untuk MHA (yang sudah diatur adalah untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan). Penyediaan anggaran dalam pelaksanaan pengakuan dan perlindungan MHA sebagaimana diatur dalam Permendagri 52/2014 bersumber dari APBN, APBD dan sumber pendapatan lain yang yang tidak mengikat. Padahal, MHA sebagai masyarakat marginal, perlu ditingkatkan kapasitasnya, terutama dalam pengelolaan SDA-LH. Oleh karena itu, perlu diatur alokasi anggaran untuk peningkatan kapasitas MHA dalam kaitannya dengan pembaruan agraria dan pengelolaan SDA-LH dan lingkungan hidup. Aturan tersebut dijadikan sebagai dasar Rencana Kerja Anggaran lembaga yang terkait, yaitu KLHK, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta Kementerian, Kemenagraria. 4. Peraturan mengenai jaminan pengakuan dan perlindungan hukum atas MHA belum memberikan jaminan kepastian hukum atas hak ulayat. Jaminan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak ulayat telah diakui di dalam UUPA. Selain itu, telah diatur juga dalam Permenagraria 5/1999. Peraturan tersebut mengatur mekanisme pengakuan dan perlindungan hak ulayat berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan bersama antara Pemerintah (Daerah) dan masyarakat (pemetaan partisipatif). Namun pada pasal 3 Permenagraria tersebut dinyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat MHA tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya peraturan daerah telah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA dan/atau bidangbidang tanah yang telah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku. Ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum hak ulayat MHA, menegasikan pengakuan terhadap hak ulayat dalam UUPA, dan secara serta merta memutus proses identifikasi keberadaan hak ulayat. Padahal proses pengakuan hak ulayat oleh Pemda seharusnya melalui proses identifikasi hak-hak pihak ketiga yang terbit di atas tanah ulayat. Permenagraria 5/1999 yang mengatur tentang pengakuan hak ulayat lahir 4 (empat) dekade pasca lahirnya UUPA, sehingga sangat mungkin selama 40 (empat puluh) tahun telah terbit hak atas tanah oleh pihak lain di atas wilayah MHA sebelum wilayah
40
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
tersebut diakui berdasarkan Perda tentang pengakuan hak ulayat. Oleh karena itu ketentuan tersebut harus diubah dan perlu diatur mengenai identifikasi dan penyelesaian sengketa terhadap hak-hak pihak ketiga di atas wilayah MHA yang akan dikukuhkan melalui Perda. Dalam konteks pengukuhan kawasan hutan, sudah jelas diatur dalam Permenhut 62/2013 bahwa keberadaan MHA ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, memuat letak dan batas wilayah MHA yang dinyatakan secara jelas dalam peta wilayah masyarakat hukum adat. Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan. Mekanisme ini bermasalah karena dapat mengancam eksistensi wilayah kawasan hutan, padahal seharusnya hak ulayat tersebut tetap dapat berada di dalam kawasan hutan, dijadikan sebagai hutan hak sebagaimana ditentukan dalam pembidangan kawasan hutan dalam UU Kehutanan. Oleh karena itu, Pemerintah tidak perlu menyusun Peraturan Direktur Jenderal mengenai tata cara mengeluarkan wilayah masyarakat hukum adat dari Kawasan Hutan sebagaimana dimandatkan oleh Permenhut 62/2013. 5. Telah diatur kewajiban untuk menyelesaikan izin-izin yang tumpang tindih dengan wilayah MHA, namun belum terdapat aturan tentang tata cara dan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU. Kewajiban untuk menyelesaikan izin-izin yang tumpang tindih dengan wilayah MHA telah diatur dalam UU 39/2014, Permenhut 62/2013, Permenagraria No. 2/1999. Permendagri 52/2014 dan Permenag 5/1999. Sementara UU Kehutanan dan UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum telah mengatur tentang jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat atas kehilangan hak di dalam dan di luar kawasan hutan, khususnya untuk kepentingan umum, namun ketentuan tersebut masih sangat umum. Pada proses pengukuhan kawasan hutan, penyelesaian izin-izin yang tumpang tindih dengan MHA menjadi tanggung jawab pemerintah dengan melalui proses identifikasi dan verifikasi. Jika terdapat wilayah MHA maka akan dikeluarkan dari kawasan hutan dan menjadi hak masyarakat hukum adat. Mekanisme ini bermasalah karena dapat mengancam eksistensi wilayah kawasan hutan, padahal seharusnya hak ulayat tersebut tetap dapat berada di dalam kawasan hutan dijadikan sebagai hutan hak sebagaimana ditentukan dalam pembidangan kawasan hutan dalam UU Kehutanan. Di bidang pertanahan, kewajiban penyelesaian tumpang tindih izin dengan wilayah MHA menjadi kewajiban para pihak yang terlibat sengketa, dan pemerintah dilarang menerbitkan izin di atas tanah ulayat MHA sebelum terjadi kesepakatan antara pelaku usaha dan masyarakat. Sementara itu, pada Permenagraria No. 5/1999 tentang proses pengakuan hak ulayat melalui Perda tidak akan dilanjutkan jika ternyata di atas wilayah MHA terdapat hak atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain (perorangan atau badan hukum). Ketentuan ini dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum keberadaan hak ulayat sehingga perlu diatur mekanisme identifikasi dan penyelesaian sengketa terhadap keberadaan hak atas tanah atau izin di atas wilayah hak ulayat di dalam maupun di luar kawasan hutan. Oleh karena itu, perlu disusun: a. Permenhut tentang tata cara penentuan fungsi kawasan hutan adat dalam kawasan hutan; b. Peraturan Menteri KLHK tentang: (i) mekanisme identifikasi dan verifikasinya dan (ii) mekanisme penyelesaian sengketanya, termasuk mekanisme relokasi dan/atau kompensasinya.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
41
6. Terdapat kewajiban bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta instansi terkait pemanfaatan SDA-LH untuk menggunakan satu acuan peta dengan skala operasional sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, namun belum jelas lembaga yang berwenang untuk menyusun peta tematik MHA. UU tentang Informasi Geospasial dan PP pelaksanaanya telah memandatkan penyusunan informasi geospasial (termasuk peta dasar dan tematik) yang akurat. UU ini juga memandatkan BIG bekerja sama dengan Pemda dan K/L membuat jaringan informasi geospasial nasional dan daerah yang bertingkat dan terintegrasi. Informasi Geospasial harus digunakan dalam pengambilan keputusan dan/atau penentuan kebijakan yang berhubungan dengan ruang kebumian, yang dapat dimaknai termasuk di dalamnya pemanfaatan SDA-LH. Dengan demikian, kewajiban untuk menggunakan satu peta dasar sudah ada dasar hukumnya. Sayangnya, belum jelas dalam peraturan tentang Informasi Geospasial tentang siapa yang berwenang menyusun peta tematik MHA dan bagaimana memastikan peta tersebut masuk dalam sistem jaringan Informasi Geospasial. Merujuk pada Permenagraria, Permendagri, dan Permenhut tentang pengakuan (wilayah) MHA, maka dapat dimaknai bahwa kewenangan tersebut ada pada Pemda. Selanjutnya, merujuk pada Pasal 21 (1) UU IG, yang menyebutkan bahwa IGT yang menggambarkan suatu batas yang mempunyai kekuatan hukum dibuat berdasarkan dokumen penetapan batas secara pasti oleh Instansi Pemerintah (tingkat Pusat) yang berwenang, maka wajib diserahkan ke salah satu Kementerian/Lembaga di tingkat pusat. Dengan demikian, Pemda seharusnya memiliki kewajiban untuk menyerahkan peta yang disusunnya kepada K/L tingkat nasional, dalam hal ini diusulkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang /BPN. Peta tersebut tersedia harus diunggah dalam JIGN (Perpres Jaringan Informasi Geospasial Nasional) yang memberi peluang bagi setiap orang (termasuk individu, kelompok orang dan badan hukum) untuk menyampaikan koreksi atau masukan terhadap data dan/atau informasi yang ada di dalam Jaringan IG. 7. Tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (termasuk MHA) dapat memperoleh akses informasi dalam proses penyusunan dokumen perencanaan serta pengawasan penaatan dan penegakan hukum bidang lingkungan (RPPLH, KLHS), penataan ruang (RTRW), pengukuhan kawasan hutan serta rencana penerbitan izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU belum diatur secara tegas dan jelas. Ketentuan umum tentang tata cara memperoleh informasi bagi masyarakat, tak terkecuali MHA, telah diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik. Di dalam UU PPLH, UU Kehutanan, dan UU Penataan Ruang juga telah diatur tentang kewajiban Pemerintah untuk membangun sistem informasi atau memberikan informasi tentang perlindungan dan pengelolaan LH, rencana pengelolaan dan pemanfaatan hutan, serta perencanaan ruang. Namun, dalam aturan lebih lanjut tentang keterbukaan informasi di KemenLH, Kemenhut, KemenPU, dan BPN, tidak disebut secara tegas bahwa dokumen RPPLH, KLHS, RTRW merupakan informasi yang wajib tersedia atau dapat diperoleh berdasarkan permintaan. Demikian juga informasi tentang izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU serta pengawasan dan penegakan hukum terkait dengan pelaksanaan RPPLH, KLHS, RTRW, pemberian dan pelaksanaan izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU, terutama bagi pihak-pihak yang terkait dengan proses pengawasan dan penegakan hukum tersebut. Dalam konteks pengukuhan kawasan hutan, sejauh ini informasi yang dapat diakses (diumumkan) hanya terbatas pada: (1) Berita acara penataan batas sementara yang memuat hasil identifikasi dan inventaris hak-hak pihak ketiga dan rencana penyelesaian hak-hak pihak ketiga Permenhut 62/2013; dan (2) Hasil pemancangan tata batas sementara (Perdirjenplanologi 6/2011). Oleh karena itu, untuk menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, perlu disebut secara tegas dalam peraturan tentang Pelayanan Informasi Publik di Kementerian terkait, bahwa dokumen RPPLH, KLHS, RTRW, rencana izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU serta informasi terhadap pengawasan dan penegakan hukum (tertentu) yang dapat diakses oleh masyarakat. 42
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
8. Belum terdapat mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dan belum ada kewajiban bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pemanfaatan serta pengawasan dan penegakan hukum. Hak partisipasi masyarakat dalam penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW, dan pengukuhan kawasan hutan telah diatur dalam UU PPLH, UU Tata Ruang dan UU Kehutanan. Namun demikian, belum terdapat aturan yang secara operasional dapat dijadikan rujukan untuk menjalankan partisipasi publik, kecuali di bidang penataan ruang, dimana sudah ada PP tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dalam konteks pemanfaatan (penerbitan izin dan pemberian HGU), sejauh ini kewajiban pemerintah untuk memberi ruang partisipasi masyarakat hanya terdapat pada proses izin lingkungan, sementara dalam izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU belum diatur. Dalam konteks pengawasan terdapat pengakuan dan kesempatan bagi masyarakat, termasuk MHA, untuk terlibat dalam pengawasan penyelenggaraan penataan ruang, pengawasan kehutanan, pengawasan pengelolaan aset dan SDA daerah, serta dalam pembuatan peraturan perundang-undangan (yang terakhir, merujuk pada pembagian kewenangan yang diatur UU). Di bidang tata ruang, walaupun UU telah menjamin bahwa MHA dapat terlibat dalam pengawasan penyelenggaraan penataan ruang (yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang), namun dalam PP 68/2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang justru tidak diatur peran serta masyarakat di ketiga kegiatan tersebut. PP hanya mengatur bahwa pengawasan dilakukan terhadap kinerja pelaksanaan standar pelayanan minimal dan pelaksanaan peran masyarakat dalam penataan ruang. Dengan demikian UU dan PP belum selaras sehingga PP perlu disempurnakan. Di bidang kehutanan, jaminan pengakuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan kehutanan sudah ada tetapi belum jelas dan rinci. UU memandatkan pembentukan PP tentang Pengawasan, namun hingga saat ini belum dibuat. Sementara di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, soal pelibatan masyarakat dalam pengawasan tidak diatur. UU PPLH memandatkan agar dibuat PP tentang Pengangkatan Pejabat Pengawasan dan Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan. UU juga memandatkan pembuatan PP tentang KLHS. UU Pemda yang baru tidak mengatur tentang keterlibatan masyarakat dalam pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Namun dalam UU ini masyarakat dapat terlibat dalam pengawasan dalam pengelolaan aset dan SDA daerah. Ketentuan lebih lanjut tentang hal tersebut perlu diatur dalam PP dan Perda. Ketentuan ini membingungkan karena PP dan Perda akan mengatur hal yang sama. Oleh karena itu, perlu dibuat aturan teknis tentang partisipasi masyarakat, termasuk di dalamnya MHA, agar dapat berpartisipasi dalam perencanaan (termasuk penyusunan RPPLH, KLHS, pengukuhan kawasan hutan), pemanfaatan (termasuk pemberian izin pemanfaatan hutan dan pemberian HGU), dan pengawasan dan penegakan hukum. 9. Terdapat aturan yang mewajibkan pengembangan mekanisme keberatan/tata cara menyampaikan pengaduan terkait pelayanan publik, termasuk di dalamnya dalam pengelolaan lingkungan, penataan ruang, pengelolaan hutan dan pertanahan, namun belum ada peraturan teknis di masing-masing Kementerian terkait. Kewajiban pemerintah untuk menyediakan mekanisme yang memudahkan masyarakat untuk menyampaikan keberatan apabila permintaan informasi tidak dipenuhi telah diatur dalam KIP. Selain itu, ketentuan kewajiban pemerintah untuk menyediakan mekanisme pengaduan telah diatur dalam UU Pelayanan Publik dan telah diatur secara operasional dalam Peraturan Pemerintah, yang
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
43
memandatkan kepada instansi pemerintah untuk mengatur mekanisme pengaduan, pengelolaan pengaduan, sumber daya yang secara khusus mengelola serta mekanisme pemberian tanggapan terhadap pengaduan. Di bidang pengelolaan hidup, penataan ruang dan pertanahan, aturan tentang pengelolaan pengaduan ini sudah ada, namun tidak termasuk di dalamnya pengaduan apabila akses untuk mendapatkan informasi dan berpartisipasi tidak dipenuhi. Di bidang kehutanan, terutama dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan dan izin pemanfaatan hutan serta pengawasan dan penegakan hukum, bahkan belum diatur sama sekali. Oleh karena itu, perlu disusun atau menambahkan terhadap peraturan tentang pengelolaan pengaduan di tingkat Kementerian yang sudah ada, agar mencakup: (a) Keberatan atas permintaan informasi, (b) Keberatan atas proses pengelolaan partisipasi, dan (c) Keberatan lain terkait pengelolaan LH dan hutan, dengan memberdayakan sistem yang mungkin sudah ada di Kementerian terkait). 10. Belum diatur tentang kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk mengembangkan atau memfasilitasi pengolahan produk hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya MHA. Ketentuan pada UU Kehutanan dan lampiran UU Pemerintah Daerah perihal kewenangan pemerintahan telah memandatkan Pemerintah dan Pemda untuk mengembangkan atau memfasilitasi pengolahan produk hasil hutan/lahan yang dilakukan oleh MHA. Namun pengaturan tentang hal ini masih sangat umum sehingga perlu diatur secara operasional tentang kewajiban untuk mengembangkan atau memfasilitasi pengolahan produk hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk MHA. Khusus untuk MHA, aturan tersebut dapat dimasukan dalam Peraturan Pemerintah tentang MHA sebagaimana dimandatkan oleh UU Kehutanan. 11. Belum terdapat aturan mengenai kewajiban bagi perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosial bagi MHA. Ketentuan mengenai kewajiban bagi perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya telah diatur dalam UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU PT dan PP TJSL, walaupun tidak secara khusus mengatur tanggung jawab sosial terhadap MHA. Aturan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dalam aturan tersebut belum memiliki kriteria spesifik sehingga dalam pelaksanaannya tidak dapat menjamin kesesuaian dengan konsep lingkungan hidup yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat, khususnya MHA. Oleh karena itu perlu disusun peraturan yang secara operasional mengatur secara spesifik pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang sesuai dengan konsep lingkungan hidup yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat dan memiliki kriteria khusus jika berkaitan dengan MHA. 12. Belum terdapat aturan tentang kewenangan lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban MHA serta belum ada sanksi bagi aparat yang tidak melakukan kewajiban melakukan pengawasan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan RPPLH, KLHS atau penerbitan izin pemanfaatan hutan dan pelaksanaan HGU. UU PPLH dan UU Kehutanan tidak mengatur tentang kewenangan lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban MHA, sedangkan dalam UU Tata ruang, walaupun tidak secara eksplisit, namun dapat diinterpretasikan sudah mengatur hal tersebut. Pengawasan dan penegakan lapis kedua diperlukan untuk
44
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
memastikan pihak yang bertanggung jawab dalam pengakuan hak MHA dapat melaksanakan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada bidang PPLH telah diatur mengenai sanksi terhadap aparat yang tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha. Namun sanksi tersebut tidak berlaku terhadap pejabat yang tidak melakukan pengawasan pelaksanaan RPPLH, KLHS atau penerbitan izin secara tidak sah. Sementara itu pada bidang kehutanan dan agraria, tidak terdapat sanksi jika pejabat tidak melakukan pengawasan dalam pelaksanaan pemanfaatan kawasan hutan dan pelaksanaan HGU. Padahal, pengawasan sangat penting untuk mengetahui apakah pelaksanaan pemanfaatan hutan dan HGU sesuai dengan perencanaan dan hasil pengawasan tersebut dapat dijadikan sebagai media untuk mendeteksi tumpang tindih izin, serta bahan evaluasi pemanfaatan hutan dan penetapan izin. Oleh karena itu, perlu dibuat aturan tentang pemberian sanksi bagi pejabat yang tidak melakukan pengawasan pelaksanaan RPPLH, KLHS atau penerbitan izin secara tidak sah (termasuk pengawasan pelaksanaan relokasi dan atau pemberian kompensasi). 13. Terdapat aturan tentang mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi (mediasi) penyelesaian konflik dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU, namun pelaksanaannya masih perlu ditingkatkan. Di samping itu, bantuan hukum untuk MHA perlu diperkuat. Secara normatif peraturan perundang-undangan telah mengatur mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial dan independen. Apabila ada sengketa antara MHA dengan pihak lain atau ada sengketa tentang penggunaan hukum adat, maka dapat diselesaikan di pengadilan umum. Apabila perkara terkait dengan bunyi atau tafsir suatu Undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, maka dapat diajukan ke MK. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hanya saja dalam pelaksanaannya masih ditemui penyelesaian sengketa yang berpihak kepada kepentingan golongan tertentu, dengan biaya yang tidak murah. Di samping itu, kapasitas aparat untuk memfasilitasi penyelesaian konflik masih perlu ditingkatkan. Di luar forum penyelesaian sengketa resmi sebagaimana disebut di atas, terdapat juga forum penyelesaian sengketa adat. Walaupun ini tidak diatur dalam hukum formal tetapi dalam praktik diakui dan digunakan. Undang-undang juga telah memberi peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam UU Peradilan Umum dan UU Bantuan Hukum. Namun demikian, tidak ada aturan yang secara khusus mengatur tentang bantuan hukum bagi MHA, kecuali apabila MHA masuk dalam kategori orang atau kelompok orang miskin atau tidak mampu (berdasarkan penafsiran terhadap definisi penerima bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum dan UU Peradilan Umum). Oleh karena itu, perlu memasukan dalam PP tentang MHA (yang dimandatkan oleh UU Kehutanan) tentang kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk memberikan bantuan hukum bagi MHA dan bagaimana cara mendapatkan bantuan hukum tersebut, dengan merujuk pada UU Bantuan Hukum. Terkait dengan ketentuan pengukuhan kawasan hutan, masih terdapat beberapa isu di dalam aturan terkait bantuan hukum terutama di tingkat Peraturan Menteri yang mengatur bahwa nominal bantuan hukum baik bagi perkara litigasi maupun non-litigasi adalah sama untuk seluruh kasus. Padahal kasus-kasus terkait isu pertanahan di dalam proses pengukuhan kawasan hutan memakan lebih banyak waktu dan biaya dibanding perkara-perkara perdata seperti perceraian atau perjanjian biasa. Dengan demikian pengaturan mengenai nominal bagi bantuan hukum perlu diklasifikasikan secara lebih khusus.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
45
C. Tabel Rekomendasi Berdasarkan analisis dan daftar permasalahan diatas, diperlukan evaluasi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, evaluasi tersebut disusun dalam bentuk rekomendasi sebagai berikut. Perlu diingatkan kembali bahwa rekomendasi ini dikhususkan hanya bagi aspek terkait khusus dengan isu yang dibahas, dalam hal ini MHA.
No. 1
2
3
46
Peraturan Penyusunan UndangUndang tentang MHA
Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) sebagaimana dimandatkan oleh UU No. 32/2009 tentang PPLH
Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis dimandatkan oleh UU No. 32/2009 tentang PPLH
Arah Perubahan/Penambahan/Pencabutan
Waktu pelaksanaan
K/L terkait
Materi Muatan: Hak-hak MHA di dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, serta pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. }} Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk mengembangkan atau memfasilitasi pengolahan produk hasil hutan/lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Serta mengatur secara detail tentang bagaimana pemberdayaan atau peningkatan kemampuan tersebut harus dilakukan dan darimana sumber pendanaannya. }} Pengukuhan keberadaan dan hapusnya MHA yang berada di dalam kawasan hutan (yang selanjutnya diatur dengan Perda) }} Hak milik atas tanah bagi MHA yang berada di dalam kawasan hutan (mengingat ada ketidaksinkronan antara Permenagraria dan Permendagri, terutama dalam hal keterlibatan masyarakat dalam penetapan hak ulayat). }} Menyelaraskan ketentuan tentang peran serta masyarakat dalam penentuan dan penetapan hak ulayat. }} .Penyusunan PP tersebut juga harus memperhatikan : }} Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013. }} UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. }} Hak masyarakat, termasuk MHA untuk dapat terlibat dalam pengawasan beserta tata caranya.
1 Tahun
KLHK
Materi Muatan: Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan RPPLH sebagai dasar perencanaan di bidang kehutanan dan pertanahan. }} Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk memberikan akses informasi tentang penyusunan Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan RPPLH sesuai dengan kewenangannya. }} Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk membangun mekanisme dan sistem pengelolaan partisipasi masyarakat dalam penyusunan Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan RPPLH. }} Catatan: Dalam pelaksanaannya, sistem mekanisme partisipasi dapat digabungkan ke dalam sistem yang sudah ada. }} Ketentuan tentang hak masyarakat, termasuk MHA, untuk terlibat dalam proses penyusunan dan pengawasan pelaksanaan Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan RPPLH. }} Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk melaksanakan pengawasan pelaksanaan Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan RPPLH.
1 Tahun
KLHK
Materi Muatan: Terkait KLHS sebagai dasar perencanaan di bidang kehutanan dan pertanahan. }} Ketentuan tentang hak masyarakat, termasuk MHA, untuk terlibat dalam proses penyusunan KLHS. }} Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk memberikan akses informasi tentang penyusunan KLHS sesuai dengan kewenangannya. }} Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk membangun mekanisme dan sistem pengelolaan partisipasi masyarakat dalam penyusunan KLHS. }} Catatan: Dalam pelaksanaannya, sistem mekanisme partisipasi dapat digabungkan ke dalam sistem yang sudah ada. }} Terkait kewajiban untuk membangun sistem pengaduan apabila masyarakat dirugikan akibat KLHS atau tidak dilibatkan dalam penyusunan KLHS. }} Catatan: Dalam pelaksanaannya, sistem pengaduan dapat digabungkan ke dalam sistem yang sudah ada. }} Kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk melaksanakan pengawasan pelaksanaan KLHS. }} Keterangan : Penyusunan PP ini bertujuan mencabut PermenLH No. 9/2011 tentang Pedoman KLHS dan Permendagri No. 67/2012 tentang KLHS.
1 Tahun
KLHK
}}
}}
}}
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
No.
Peraturan
4
Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pengawasan Di Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagaimana dimandatkan oleh UU No. 32/2009 tentang PPLH dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (mengingat kedua Kementerian yang berwenang sudah digabung, maka cukup diatur dalam satu PP)
5
6
8
Penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU Pemda, terutama dalam pengawasan pengelolaan asset dan SDA daerah sebagaimana dimandatkan oleh UU Pemda No. 23/2014
Perubahan PP No. 42/2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Penyusunan Peraturan Presiden tentang Panduan Teknis Pelaksanaan Penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA
9
Penyusunan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang tentang Wali Data Informasi Geospasial Tematik MHA
10
Penyusunan Peraturan Bersama Menteri LHKehutanan dan Menteri Agraria tentang mekanisme relokasi dan pemberian kompensasi bagi masyarakat, termasuk MHA di bidang kehutanan dan pertanahan (termasuk pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU)
Arah Perubahan/Penambahan/Pencabutan
Waktu pelaksanaan
K/L terkait
Materi Muatan: Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk menjalankan pengawasan sesuai dengan kewenangannya. }} Terkait mekanisme tata cara pengawasan. }} Terkait kewenangan lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban MHA. }} Ketentuan tentang hak masyarakat, termasuk MHA untuk dapat terlibat dalam pengawasan beserta tata caranya.
1 Tahun
KLHK, Kemendagri
Materi Muatan: Terkait mekanisme/tata cara akses masyarakat terhadap informasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. }} Terkait kelembagaan dan mekanisme partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. }} Terkait bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaran Pemerintahan Daerah. }} Terkait mekanisme/tata cara partisipasi masyarakat (Seharusnya cukup diatur dengan PP sebagai rujukan bagi semua daerah, sedangkan Perda perlu dibuat untuk memastikan adanya pos anggaran untuk kegiatan pengawasan dan pelibatan masyarakat tersebut). }} Dukungan penguatan kapasitas terhadap kelompok dan organisasi kemasyarakatan agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
1 Tahun
Kemendagri
Dalam PP ini perlu diubah ketentuan berikut: Standar biaya biaya bantuan hukum tidak disamakan untuk setiap perkara (litigasi maupun non litigasi), namun standar biaya disusun dengan klasifikasi khusus berdasarkan sektor dan kebutuhan.
1 tahun
Kemen KumHAM
Materi Muatan: }} Peta tematik MHA merupakan peta yang menggambarkan suatu batas wilayah yang berkekuatan hukum yang dibuat berdasarkan dokumen penetapan batas yang pasti. }} Menteri Agraria dan Tata Ruang sebagai wali data peta tematik MHA, yang di dalamnya mengatur tentang: }} Kewajiban Pemda untuk menyusun IGT MHA (menyesuaikan dengan Perda MHA) }} Kewajiban Pemda untuk menyerahkan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang }} Kewajiban Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk mengunggah dalam JIGN dengan berkoordinasi dengan BIG.
6 Bulan
Kemendagri
Materi Muatan: Mewajibkan Pemerintah untuk membangun mekanisme relokasi dan pemberian kompensasi apabila ada hak MHA yang dilanggar, yang di dalamnya mengatur tentang: }} Pihak yang berhak menerima kompensasi/relokasi. }} Mekanisme verifikasi dan klarifikasi. }} Tata cara relokasi dan pemberian kompensasi. }} Jangka waktunya. }} Tata cara penyampaian dan pengelolaan keberatan jika ada ketidakpuasan (penyelesaian keberatan). }} Sanksi bagi aparat yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan kompensasi atau relokasi.
6 Bulan
KLHK, Kemenagraria
}}
}}
}}
Materi Muatan: Mengatur pedoman penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA. }} Mencabut Permendagraria No. 5/1999 dan Permendagri No. 52/2014. }} Berlaku sampai lahirnya UU MHA. }}
}}
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
47
No.
Peraturan
11
Penyusunan PermenLHKehutananan tentang Peran Serta Masyarakat Di Bidang Kehutanan
12
13
Perubahan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Kehutanan) tentang PermenLH No. 9/2010 tentang Pengelolaan Pengaduan Masyarakat Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan
14
Perubahan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 6/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 7/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik Di Lingkungan Kementerian Kehutanan
15
Perubahan Permenhut No. 62/Menhut-II/2013.
16
48
Perubahan Peraturan Pemerintah No. 68/2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang
Perubahan PerKaBAN No. 6/2013 tentang Pelayanan Informasi Publik
Arah Perubahan/Penambahan/Pencabutan
Waktu pelaksanaan
K/L terkait
Materi Muatan: Mewajibkan Kementerian Lingkungan Hidup-Kehutanan untuk membangun mekanisme partisipasi masyarakat yang dalamnya mengatur tentang: }} Kewajiban untuk membangun sistem. }} Kewajiban untuk menunjuk petugas pengelola partisipasi. }} Metode partisipasi. }} Jangka waktu yang cukup untuk memberikan masukan bagi masyarakat dan memberikan respon bagi pejabat pengelola. }} Kewajiban untuk meningkatkan kemampuan partisipasi masyarakat. }} Sanksi bagi pihak yang menghambat partisipasi.
6 Bulan
KLHK
Dalam PP ini perlu ditambah ketentuan berikut: Pengawasan penyelenggaraan penataan ruang (yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai obyek pengawasan).
6 bulan
Kemenagraria
Dalam PermenLH ini perlu ditambah ketentuan berikut: Memasukkan pengaturan tentang pengelolaan pengaduan di bidang LH-Hut yang akan menangani: }} Keberatan atas proses pengelolaan partisipasi. }} Keberatan lain terkait pengelolaan LH dan hutan, misalnya: pengaduan atas pemberian izin di bidang kehutanan dan lingkungan hidup. }} Catatan: dengan memberdayakan sistem yang mungkin sudah ada di Kementerian terkait.
6 Bulan
KLHK
Dalam PermenLH ini perlu ditambah ketentuan berikut: Terkait dokumen/ informasi tentang Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion, RPPLH, KLHS, dan pengukuhan kawasan hutan ke dalam daftar informasi yang dapat diperoleh dengan permintaan. Memasukan informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum terkait pelaksanaan RPPLH, KLHS, RTRW, pengukuhan KH sebagai informasi yang wajib disediakan secara berkala atau dapat diperoleh dengan permintaan. Terkait pembatasan informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum yang tidak dapat diakses oleh publik.
6 Bulan
KLHK
Dalam Permenhut ini perlu ditambah ketentuan berikut: Mengubah ketentuan yang memandatkan penyusunan Peraturan Dirjen Kehutanan tentang tata cara mengeluarkan wilayah MHA dari kawasan hutan dan menggantinya dengan kewajiban untuk menjadikan wilayah MHA yang ada di dalam kawasan hutan sebagai hutan hak.
6 Bulan
KLHK
Dalam PerKaBAN ini perlu ditambah ketentuan berikut: Dokumen/ informasi tentang RTRW beserta lampirannya sebagai informasi yang dapat diperoleh dengan permintaan. }} Memasukan informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum dalam konteks ketaatan penerima HGU sebagai informasi yang dapat diperoleh berdasarkan permintaan atau tersedia setiap saat. }} Terkait pembatasan informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum di bidang pertanahan yang tidak dapat diakses publik.
6 Bulan
Kemenagraria
}}
}}
}}
}}
}}
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
REKOMENDASI A. Rekomendasi Peta Jalan Pembaruan Hukum SDA-LH Pada bagian ini disajikan rekomendasi pembaruan dan penyelarasan peraturan perundangundangan terkait pengukuhan kawasan hutan, pemberian Hak Guna Usaha (HGU) dan hak dan kewajiban masyarakat, khususnya masyarakat adat dalam pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU. Pembaruan dan penyelarasan dimaksud dapat berupa pencabutan, perubahan maupun penyusunan peraturan perundang-undangan baru. Mengingat banyaknya peraturan yang perlu diperbarui dan diselaraskan di satu sisi dan keterbatasan waktu serta sumber daya yang dimiliki oleh pengambil kebijakan, maka rekomendasi disusun berdasarkan skala prioritas, dengan kriteria sebagai berikut: 1. Mandat Peraturan, penyusunan peraturan perundang-undangan yang dimandatkan langsung oleh peraturan perundang-undangan. 2. Mendesak pencabutan, perubahan maupun penyusunan peraturan perundang-undangan baru tersebut dapat mengatasi kondisi darurat yang terjadi, misalnya menyelesaikan konflik atau menghentikan perusakan lingkungan dengan segera. 3. Dapat dikerjakan: pencabutan, perubahan maupun penyusunan peraturan perundangundangan baru tersebut secara obyektif dapat dikerjakan oleh Kementerian/Lembaga yang diberi mandat, dalam artian tersedia sumber daya manusia, waktu dan dana yang cukup. 4. Aturan Kunci: apabila pencabutan, perubahan maupun penyusunan peraturan perundangundangan baru tersebut dilakukan, maka dapat membuka pintu bagi penyelesaian berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan (memberi efek domino). Berdasarkan analisis dan evaluasi yang telah dilakukan berikut daftar peraturan yang perlu diperbaharui dan diselaraskan: 1. Perubahan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Amandemen terhadap UU No. 41/1999 perlu dilakukan mengingat kebutuhan hukum untuk menambah beberapa ketentuan dalam UU ini juga karena terdapat ketidakharmonisan dan ketidaksingkronan UU ini dengan peraturan lain, selain itu UU ini juga telah di Judicial Review (JR) sebanyak 8 (delapan) kali, 3 (tiga) diantaranya diterima. Berdasarkan analisis yang dilakukan, dalam UU ini perlu ditambah ketentuan antara lain sebagai berikut: a. Ketegasan bahwa izin tidak dapat diberikan apabila hutan belum dikukuhkan. b. Hutan belum dapat dikukuhkan apabila klaim hak-hak pihak ke tiga belum diselesaikan. c. Sanksi yang mengatur apabila terjadi pelanggaran dalam penyusunan kajian ilmiah dalam proses perencanaan ruang dan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan perencanaan dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
49
d. Sanksi bagi aparat yang lalai dan/atau sengaja tidak memberikan jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak dari pengukuhan kawasan hutan. e. Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum. 2. Penyusunan Undang-Undang Pertanahan. TAP MPR No. IX tahun 2001 mengamanatkan agar reforma agraria segera dilaksanakan. Dalam bidang pertanahan terdapat masalah seperti tumpang tindih izin hak atas tanah, absennya mekanisme partisipasi masyarakat perencanaan pertanahan, dan absennya kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan pemanfaatan pertanahan. Untuk mengakomodir semua kebutuhan aturan tersebut, perlu disusun peraturan setingkat undang-undang. Berdasarkan hasil analisis, direkomendasikan disusun UU Pertanahan dengan Materi Muatan antara lain sebagai berikut: •
Kewajiban pemerintah untuk memberikan akses informasi pendaftaran, pemanfaatan serta pengawasan dan penegakan hukum hak atas tanah.
• Kewajiban pemerintah untuk menyediakan database perizinan, dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan K/L terkait izin lain. •
Kewajiban pemerintah untuk memberikan akses partisipasi masyarakat untuk terlibat pada tahap pendaftaran, pemanfaatan serta pengawasan dan penegakan hukum hak atas tanah.
•
Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan pemanfaatan tanah HGU.
•
Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pemberian relokasi dan kompensasi akibat pemberian HGU/hak atas tanah lain.
•
Sanksi bagi pihak yang menghambat masyarakat untuk mendapatkan informasi serta akses partisipasi di bidang pertanahan.
• Sanksi administratif terhadap pemegang HGU yang tidak memanfaatkan tanah sesuai peruntukan/menelantarkan tanah. •
Sanksi bagi aparat yang tidak melakukan pengawasan pelaksanaan relokasi dan pemberian kompensasi akibat pemberian HGU/hak tanah lain.
•
Memasukkan mekanisme penyelesaian konflik masa lalu dengan pihak yang berkepentingan.
3. Penyusunan Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai MHA. Pasal 18b ayat 2 UUD 1945 menjelaskan bahwa negara mengakui dan menghormati MHA beserta hak-hak tradisionalnya. UUPA juga mengakui keberadaan hak ulayat sebagai salah satu hak atas tanah. Namun aturan tentang mekanisme pengakuan MHA baru lahir pada tahun 1999 melalui Permenag No. 5/1999. Selama 5 dekade semenjak lahirnya UUPA yang mengakui keberadaan hak ulayat dengan permenag tidak terdapat mekanisme pengakuan MHA, absennya mekanisme tersebut mengancam keberadaan MHA. Berdasarkan hasil analisis direkomendasikan agar disusun PP tentang MHA dengan alasan antara lain untuk mengatasai ketidakharmonisan aturan mekanisme pengakuan MHA dalam permendagri dan permenag, dan penyusunan hak dan kewajiban MHA pasca putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 . Untuk itu, dalam PP perlu diatur Materi Muatan antara lain sebagai berikut:
50
•
Hak-hak MHA dalam proses perencanaan kehutanan, khususnya dalam proses pengukuhan kawasan hutan; Pengukuhan keberadaan dan hapusnya MHA yang berada di dalam kawasan hutan (yang selanjutnya diatur dengan Perda).
•
Terjadinya hak milik atas tanah bagi MHA yang berada di dalam kawasan hutan.
•
Hak masyarakat, termasuk MHA untuk dapat terlibat dalam pengawasan beserta tata caranya.
•
Menyelaraskan ketentuan tentang pengakuan MHA serta hak ulayat, penyelesaian sengketa
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
hak atas tanah yang berada diatas tanah ulayat. •
Peran serta masyarakat dalam penentuan dan penetapan hak ulayat.
Penyusunan PP tersebut juga harus memperhatikan: a) Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. b) UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. 4. Penyusunan UU khusus yang memastikan seluruh pengelolaan SDA secara harmonis (RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam). Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, tumpang tindih pengelolaan peraturan di bidang SDA menjadi salah satu penyebab permasalahan di bidang SDA. Untuk menjawab permasalahan tersebut, diperlukan suatu aturan payung yang memastikan penyusunan peraturan di bidang SDA harmonis. Oleh karena itu perlu disusun UU Pengelolaan SDA dengan Materi Muatan sebagai berikut: 1. Aturan umum yang mengatur mengenai asas, norma, dan kaidah penyelenggaraan pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang secara khusus berisi pedoman mengenai berdasarkan prinsip NKRI, keberlanjutan, keadilan, demokrasi, dan kepastian hukum. 2. UU ini bertujuan untuk memastikan seluruh pengelolaan SDA secara harmonis mengikuti prinsip dan asas yang diatur di dalam UU ini. 5. Perubahan Peraturan Pemerintah No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan. PP Perencanaan Kehutanan menjadi aturan acuan pelaksanaan perencanaan untuk melakukan pemanfaatan kehutanan. Berdasarkan analisis terdapat permasalahan dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan dan inventarisasi hak MHA sebagai bagian dari perencanaan, serta konversi kawasan hutan untuk pemanfaatan HGU. Oleh karena itu, dalam PP ini perlu ditambah ketentuan antara lain sebagai berikut: a. Ketegasan cakupan mengenai kawasan hutan (Negara, adat, hak). b. Mengatur mengenai mekanisme keberatan dan pengaduan yang membuka akses bagi masyarakat masyarakat jika tidak sepakat dengan perencanaan kehutanan melalui berbagai kanal yang mudah digunakan. c. Mensinkronkan kewajiban untuk melakukan kajian ilmiah dalam perencanaan kehutanan dengan menambahkan KLHS sebagai salah satu instrumen yang wajib dibuat sebelum penunjukan kawasan hutan atau bila akan ada perubahan peruntukan/fungsi kawasan hutan (atau disebutkan di dalam peraturan KLHS). d. Ketegasan cakupan mengenai kawasan hutan (Negara, adat, hak). 6. Penyusunan PP tentang pengendalian kerusakan lingkungan/pencemaran lingkungan serta pemulihan dan ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan sebagaimana dimandatkan dalam UU PPLH. UU PPLH telah mengatur secara umum tentang pengendalian kerusakan lingkungan/pencemaran lingkungan serta pemulihan dan ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan. Untuk menjamin terlaksananya ketentuan tersebut, perlu diatur peraturan pelaksana sebagaimana diamantakan oleh UU PPLH, dengan tambahan Materi Muatan antara lain sebagai berikut: •
Syarat dan kriteria kerusakan/pencemaran lingkungan hidup.
•
Mekanisme ganti rugi serta pemulihan lingkungan hidup oleh pelaku.
•
Mekanisme pelaksanaan dana lingkungan.
•
Pengawasan pelaksanaan pemulihan serta ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
51
•
Ketentuan standar minimal BPLHD (Jumlah Personil dan kewajiban minimal).
•
Mekanisme pelaksanaan second line enfocernent atau oversight sesuai UU PPLH.
• Mekanisme insentif dan disinsentif terhadap daerah yang tidak melakukan pengawasan kerusakan lingkungan hidup, serta tidak memenuhi kewajiban memilikI BPLHD yang cukup. 7. Perubahan Peraturan Bersama Mendagri, Menhut, MenPU, dan Kepala BPN No. 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-11/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan. PerBer tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan mengatur mekanisme penyelesaian tanah yang memungkinkan dilakukannya pelepasan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan seharusnya diminimalisasi, dalam UU Kehutanan juga dimungkinkan adanya hutan hak dalam kawasan hutan. Oleh karena itu, PerBer ini perlu diubah dengan ketentuan antara lain sebagai berikut: Tata cara penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan seharusnya tidak mengatur agar dilepaskan dari KH, melainkan tetap dipertahankan sebagai hutan tetap apabila fungsinya menghendaki demikian (dapat berupa hutan hak sebagaimana ditentukan dalam UU Kehutanan). 8. Penyusunan PP tentang Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) sebagaimana dimandatkan oleh UU PPLH. Untuk menjamin terlaksanaanya pemanfaatan lingkungan yang berkelanjutan, UU PPLH telah mengatur instrumen perencanaan berupa RPPLH yang berisi potensi, masalah serta upaya perlindungan lingkungan dalam kurun waktu tertentu. Namun, sampai saat ini mandat UU PPLH agar disusun PP RPPLH belum dilaksanakan, sehingga RPPLH sebagai salah satu instrumen dalam perencanaan lingkungan belum dapat digunakan. Dalam penyusunan PP RPPLH perlu ditambah Materi Muatan antara lain sebagai berikut: •
RPPLH sebagai dasar perencanaan di bidang kehutanan dan pertanahan.
• Akses informasi tentang penyusunan RPPLH sesuai dengan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan/wilayah administratif. •
Kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk membangun mekanisme dan sistem pengelolaan partisipasi masyarakat dalam penyusunan RPPLH.
•
Ketentuan tentang hak masyarakat untuk terlibat dalam proses penyusunan dan pengawasan pelaksanaan RPPLH.
• Terkait kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk melaksanakan pengawasan pelaksanaan RPPLH. 9. Penyusunan PP tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagaimana dimandatkan oleh UU PPLH. Untuk memastikan bahwa pelaksanaan pembangunan, program, rencana dan kebijakan telah menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai dasar yang terintegrasi, UU PPLH mengamanatkan dibuatnya intrumen KLHS. Sampai saat ini KLHS berdasarkan UU PPLH tidak terlaksana sebagaimana mestinya karena PP KLHS belum disusun. Oleh karena itu perlu disusun PP KLHS dengan Materi Muatan antara lain sebagai berikut:
52
•
KLHS sebagai dasar perencanaan di bidang kehutanan dan pertanahan.
•
Hak masyarakat untuk terlibat dalam proses penyusunan KLHS.
•
Kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk memberikan akses informasi tentang penyusunan KLHS sesuai dengan kewenangannya.
•
Kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk membangun mekanisme dan sistem pengelolaan
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
partisipasi masyarakat dalam penyusunan KLHS. •
Kewajiban untuk membangun sistem pengaduan apabila masyarakat dirugikan akibat KLHS atau tidak dilibatkan dalam penyusunan KLHS.
•
Kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk melaksanakan pengawasan pelaksanaan KLHS.
*Keterangan: Penyusunan PP ini bertujuan mencabut PermenLH No. 9/2011 tentang Pedoman KLHS dan Permendagri No. 67/2012 tentang KLHS. 10. Perubahan PP No. 40/1997 tentang Pendaftaran Tanah. PP pendaftaran tanah mengatur mekanisme pendaftaran segala jenis hak atas tanah. Perubahan aturan pendaftaran tanah perlu dilakukan untuk menjamin pelaksanaan pendaftaran tanah yang terbuka, untuk menghindari praktik tumpang tindih izin atau penerbitan izin tanpa alas hak. Berdasarkan hasil analisis perlu ditambah ketentuan antara lain sebagai berikut: a. Kewajiban kanwil pertanahan dan pemohon HGU untuk menyebarkan informasi/ pengumuman rencana HGU terhadap masyarakat sekitar rencana HGU. b. Kanwil pertanahan memberikan kesempatan kepada masyarakat yang keberatan terhadap rencana HGU. 11. Perubahan PP No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Berdasarkan analisis dan evaluasi bidang HGU yang telah dilakukan, diperlukan perubahan PP No. 40/1996 untuk memastikan pelaksanaan HGU sesuai rencana pemanfaatan serta untuk memastikan pemanfaatan HGU mengamalkan pemanfaatan tanah bermanfaat untuk kepentingan umum. Perlu ditambah ketentuan antara lain sebagai berikut: a. Pengawasan pemanfaatan HGU secara berkala yang dilakukan oleh kantor pertanahan. b. Menambah syarat HGU, yaitu kesanggupan melaksanakan kemitraan dengan masyarakat sekitar HGU yang disusun dengan perencanaan yang jelas. c. Menambah aturan tentang pembatasan pihak pemohon yang dapat mengajukan dan memperbaharui HGU dengan mempertimpangkan batas kepemilikan HGU agar redistribusi tanah tercapai. 12. Perubahan PP No. 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas. Pengaturan mengenai kewajiban TJSL terdapat dalam UU PT. Namun dalam PP TJSL terdapat ketentuan yang mendegradasi kewajiban TJSL sebagaimana ditentukan dalam UU PT. Untuk memastikan TJSL sesuai dengan UU PT dan pelaksanaannya tepat guna bagi masyarakat maka perlu dilakukan perubahan sebagai berikut : • Perlu ditambah ketentuan antara lain sebagai berikut: a. Syarat dan Kriteria pelaksanaan TJSL secara spesifik; b. Kewajiban serta mekanisme pengawasan pelaksanaan TJSL oleh Pemerintah; • Perlu dicabut ketentuan mengenai pelaksana TJSL yang dilakukan oleh direksi melalui persetujuan dewan komisaris. Ketentuan ini dicabut karena dapat mendegradasi kewajiban dalam UU PT. 13. Perubahan PP No. 42/2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Perkara litigasi, khususnya perkara yang berkaitan dengan sengketa pertanahan memerlukan waktu yang lama serta biaya yang besar. Peraturan pemerintah ini tidak memberikan klasifikasi khusus terhadap perkara-perkara tertentu yang memerlukan biaya lebih besar dari perkara
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
53
lainnya, sehingga dalam aturan pelaksananya ditetapkan standar biaya yang sama untuk semua jenis perkara. Ketentuan ini menyulitkan pemberi bantuan hukum dalam kasus pertanahan karena biaya bantuan hukum tidak sebanding dengan biaya operasional. Kondisi ini dapat mengancam hak masyarakat untuk menerima bantuan hukum sebagaimana telah ditentukan dalam UU Bantuan Hukum. Oleh karena itu, dalam PP ini perlu diubah ketentuan antara lain sebagai berikut:
Standar biaya-biaya bantuan hukum tidak disamakan untuk setiap perkara (litigasi maupun non litigasi), namun standar biaya disusun dengan klasifikasi khusus berdasarkan sektor dan kebutuhan.
14. Perubahan Permenhut No. 62/Menhut-II/2013 Jo. Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Pengukuhan kawasan hutan merupakan mekanisme yang wajib dilalui dalam perencanaan kehutanan sebelum ditentukan fungsinya serta dimanfaatkan. Pengukuhan kawasan hutan perlu dilakukan secepatnya untuk mengetahui status kawasan hutan, dengan begitu dapat mengurangi konflik yang berkaitan dengan batas kehutanan. Permenhut pengukuhan kawasan hutan telah diubah beberapa kali, terakhir untuk melaksanakan amar putusan MK perihal JR terhadap UU kehutanan, berdasarkan analisis yang dilakukan, dalam permenhut perlu dilakukan perubahan sebagai berikut: Perlu ditambah ketentuan antara lain sebagai berikut: a. Informasi berikut wajib disebarkan kepada masyarakat dalam proses pengukuhan kawasan hutan: a) Peta penunjukan kawasan hutan, trayek batas, dan penetapan kawasan hutan dengan skala operasional (min. 1:50.000); b) Tahapan dan dampak dari setiap proses pengukuhan kawasan hutan; c) Syarat-syarat bagi pengajuan klaim oleh masyarakat; dan d) Opsi-opsi dalam pengelolaan kawasan hutan yang tersedia bagi masyarakat. b. Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat termasuk MHA dapat memperoleh akses informasi tentang pengawasan terkait pengukuhan kawasan hutan. c. Kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan mekanisme pengaduan baik bagi pemegang hak maupun pemangku kepentingan yang lebih luas. d. Tata cara implementasi peningkatan kapasitas masyarakat baik untuk turut serta dalam pengukuhan kawasan hutan termasuk dalam pelaksanaan pengawasannya. e. Tata cara implementasi peningkatan kapasitas aparat dalam menangani penyelesaian sengketa dalam proses pengukuhan kawasan hutan. f.
Mengubah ketentuan yang memandatkan penyusunan Peraturan Dirjen Kehutanan tentang tata cara mengeluarkan wilayah MHA dari kawasan hutan dan menggantinya dengan kewajiban untuk menjadikan wilayah MHA yang ada di dalam kawasan hutan sebagai hutan adat.
g. Aturan standarisasi pembiayaan penataan batas kawasan hutan. h. Pelaksana penataan batas berasal dari pihak independen yang ditugaskan oleh negara. Perlu diubah ketentuan tentang panitia tata batas kawasan hutan, diubah dan diharmonisasi baik struktur maupun fungsinya dengan Permenhut No. P.25/Menhut II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.
54
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
15. Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pengawasan Di Bidang Lingkungan Hidup sebagaimana dimandatkan oleh UU PPLH dan UU Kehutanan. Pengawasan diperlukan untuk memastikan pelaksanaan UU PPLH. Namun sampai saat ini, PP tentang pengawasan lingkungan hidup sebagaimana dimandatkan oleh UU PPLH belum lahir. Oleh karena itu, PP tersebut perlu disusun dengan Materi Muatan antara lain sebagai berikut: • Kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk menjalankan pengawasan sesuai dengan kewenangannya. •
Mekanisme tata cara pengawasan.
• Kewenangan lapis kedua dalam pengawasan dan penegakan hukum, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban MHA. •
Hak masyarakat, termasuk MHA untuk dapat terlibat dalam pengawasan beserta tata caranya.
16. Penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU Pemda, terutama dalam pengawasan pengelolaan aset dan SDA daerah sebagaimana dimandatkan oleh UU Pemda No. 23/2014. Pengawasan pengelolaan aset dan sumber daya, khususnya di daerah perlu dilakukan untuk menjaga serta memastikan penggunaan aset dan SDA sesuai perencanaan dan menggunakan prinsip pembangunan berbasis keberlanjutan. UU Pemda mengatur hubungan keterkaitan antara pusat dan daerah, melalui mekanisme pengawasan tersebut antara lain memandatkan agar dibentuk PP terkait pengawasan pengelolaan aset dan SDA daerah sebagai peraturan pelaksana UU Pemda tersebut, dan berdasarkan analisis direkomendasikan menambahkan Materi Muatan antara lain sebagai berikut: • Terkait mekanisme/tata cara akses masyarakat terhadap informasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. • Terkait kelembagaan dan mekanisme partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. •
Terkait bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaran Pemerintahan Daerah.
• Terkait mekanisme/tata cara partisipasi masyarakat (Seharusnya cukup diatur dengan PP sebagai rujukan bagi semua daerah, sedangkan Perda perlu dibuat untuk memastikan adanya pos anggaran untuk kegiatan pengawasan dan pelibatan masyarakat tersebut). • Dukungan penguatan kapasitas terhadap kelompok dan organisasi kemasyarakatan agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 17. Penyusunan Peraturan Presiden tentang Pedoman Penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa terdapat ketidakharmonisan aturan mekanisme pengakuan dan perlindungan MHA dalam permendagri dan permenag, dan penyusunan hak dan kewajiban MHA pasca putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 . Ketidakharmonisan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi MHA. Saat ini juga belum terdapat aturan yang berisi pedoman penyusunan Perda pengakuan dan perlindungan MHA, oleh karena itu perlu diatur Perpres tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA dengan Materi Muatan sebagai berikut: 1. Mengatur pedoman penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA. 2. Mencabut Permendagraria No. 5/1999 dan Permendagri No. 52/2014. 3. Berlaku sampai lahirnya UU MHA. Perpres ini dimaksudkan untuk mengatasi ketidakharmonisan hukum tentang pengakuan dan perlindungan MHA yang berlaku saat ini sampai diundangkannya UU tentang MHA.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
55
18. Perubahan Permenhut No. P. 25/Menhut II/2014 tentang Panitia Tata Batas (PTB) Kawasan Hutan. Tata batas kawasan hutan dilakukan antara lain untuk menilai dan memeriksa hak-hak pihak ketiga serta menetapkan batas-batas kawasan hutan yang akan dikukuhkan. Pasca putusan MK No. 35, UU No. 23/2014 perlu dilakukan perubahan terhadap permenhut tentang PTB Kawasan hutan dengan perubahan sebagai berikut: Perlu ditambah ketentuan antara lain sebagai berikut: a. Memperjelas mekanisme akuntabilitas dari proses pembahasan di PTB sehingga siapapun wakil masyarakat dapat dipastikan bahwa kepentingan masyarakat terwakili dengan baik. b. Perlu diubah ketentuan tentang panitia tata batas kawasan hutan, diubah dan diharmonisasi baik struktur maupun fungsinya dengan Permenhut No. 62/Menhut-II/2013 jo. Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. 19. Perubahan Permenhut No. P.67/Menhut-II/2006 tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan. Aturan mengenai Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan menentukan kriteria peruntukan kawasan hutan. Mengingat pentingnya aturan ini, perlu diatur instrumen tambahan untuk memastikan penggunaan kawasan hutan berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan antara lain sebagai berikut: Perlu ditambah ketentuan antara lain sebagai berikut: a. Memasukkan kajian ilmiah berupa KLHS secara eksplisit sebagai syarat dalam penentuan fungsi dalam kawasan hutan. 20. Perubahan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 6/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 7/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik Di Lingkungan Kementerian Kehutanan. Akses informasi masyarakat terhadap pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan mutlak diperlukan untuk memastikan masyarakat mengetahui setiap perencanaan serta pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU yang berasal dari konversi kawasan hutan. Agar pengukuhan kawasan hutan dapat dilaksanakan dengan baik, permenhut tentang pelayanan informasi publik kementerian kehutanan perlu dilakukan perubahan sebagai berikut: Perlu ditambah ketentuan antara lain sebagai berikut: 1. Memasukkan daftar informasi publik yang berkaitan dengan pengukuhan kawasan hutan, yaitu informasi sebagai berikut: a) Peta penunjukan kawasan hutan, trayek batas, dan penetapan kawasan hutan dengan skala operasional (min. 1:50.000); b) Tahapan dan dampak dari setiap proses pengukuhan kawasan hutan; c) Syarat-syarat bagi pengajuan klaim oleh masyarakat; d) Opsi-opsi dalam pengelolaan kawasan hutan yang tersedia bagi masyarakat; e) Peta batas wilayah administrasi desa sesuai dengan Permendagri No. 27 Tahun 2006 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa; dan f)
Data dan Peta penggunaan lahan oleh masyarakat dan atau perizinan di dalam kawasan hutan.
2. Menambahkan dokumen/ informasi tentang Inventarisasi Lingkungan Hidup, Ekoregion, RPPLH, KLHS, dan pengukuhan kawasan hutan ke dalam daftar informasi yang dapat diperoleh dengan permintaan.
56
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
3. Memasukan informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum terkait pelaksanaan RPPLH, KLHS, RTRW, pengukuhan KH sebagai informasi yang wajib disediakan secara berkala atau dapat diperoleh dengan permintaan. 4. Memasukan pembatasan informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum yang tidak dapat diakses oleh publik. 21. Penyusunan PermenLH-Kehutananan tentang Peran Serta Masyarakat Di Bidang Kehutanan. Partisipasi masyarakat diperlukan untuk mempermudah pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan. Melalui partisipasi, pemerintah dan masyarakat akan diuntungkan. Misalnya dalam pelaksaanan tata batas akan diperoleh batas kawasan hutan dan daftar inventarisasi hak pihak ketiga dalam kawasan hutan yang akurat. Dengan demikian proses pengukuhan dapat dilakukan dengan mudah, dan minim konflik. Untuk itu perlu disusun aturan peran serta tersebut dengan Materi Muatan antara lain sebagai berikut: 1. Mewajibkan KLHK untuk membangun mekanisme partisipasi masyarakat yang dalamnya mengatur tentang: •
Kewajiban untuk membangun sistem.
•
Kewajiban untuk menunjuk petugas pengelola partisipasi.
•
Metode partisipasi.
•
Jangka waktu yang cukup untuk memberikan masukan bagi masyarakat dan memberikan respon bagi pejabat pengelola.
•
Kewajiban untuk meningkatkan kemampuan partisipasi masyarakat.
•
Sanksi bagi pihak yang menghambat partisipasi.
22. Perubahan Permenagraria No. 2/1999 Tentang Izin Lokasi. Izin lokasi merupakan salah satu tahap terpenting dalam proses permohonan HGU. Sebelum mendapatkan izin lokasi dari pemerintah daerah, pemohon diwajibkan untuk melakukan pembebasan tanah yang akan dijadikan HGU. Pembebasan tanah sangat riskan menimbulkan konflik, oleh karena itu berdasarkan analisis permenagraria ini perlu ditambah dengan ketentuan antara lain sebagai berikut: a. Kewajiban pemohon HGU untuk memberikan laporan berkala pelaksanaan pembebasan tanah. b. Kewajiban pemohon HGU dan pemerintah daerah untuk mengumumkan rencana HGU di sekitar wilayah rencana HGU/atau ditempat yang mudah diakses masyarakat. c. Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pembebasan tanah dan memastikan proses kesepakatan pembebasan tanah antara pemohon dan masyarakat dilakukan secara sah, tanpa ancaman dan paksaan. d. Mekanisme khusus pembebasan tanah diatas tanah ulayat (melalui ganti rugi/pinjam pakai), serta jaminan perlindungan atas hak MHA. 23. Perubahan Permenhut No. 33/2010 (dan perubahannya) tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi. Untuk menjaga ekosistem kawasan hutan, perlu diatur mekanisme yang ketat dalam melaksanakan konversi kawasan hutan menjadi HGU atau peruntukan diluar kawasan hutan lainnya. Untuk memastikan hal tersebut, permenhut ini perlu ditambah dengan ketentuan sebagai antara lain sebagai berikut: a. Hutan yang dapat dikonversi terbatas pada hutan produksi yang sudah terdegradasi.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
57
b. Panitia tata batas pelepasan kawasan hutan wajib melakukan pengukuran bersama BPN dan pemohon, jika berdasarkan identifikasi terdapat masyarakat, maka dapat dilibatkan. c. Mekanisme serta jangka waktu proses pelepasan kawasan hutan. 24. Perubahan Permentan No. 98/Permentan/Ot.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Ketentuan izin usaha perkebunan (IUP) dikeluarkan sebelum HGU mengakibatkan usaha perkebunan dapat dilaksanakan sebelum penanggung jawab usaha memiliki sertifikat HGU. Pemberian HGU setelah IUP juga dapat mengakibatkan luas wilayah HGU berbeda dengan luas wilayah dalam IUP, perbedaan ini dapat menimbulkan masalah apalagi jika perbedaan tersebut berkaitan dengan hak atas tanah pihak ketiga. Oleh karena itu, sebaiknya IUP diberikan setelah sertifikat HGU terbit, untuk mengakomodasi syarat penguasaan hak atas tanah harus berdasarkan alasan peruntukan yang jelas maka pemerintah daerah dapat mengeluarkan izin prinsip usaha perkebunan. Untuk mengubah ketentuan tersebut Permentan No.98/2013 perlu dilakukan perubahan antara lain sebagai berikut: Perlu diubah ketentuan tentang Izin Usaha Perkebunan diberikan jika pemohon telah memiliki sertifikat HGU, Izin lokasi, AMDAL, Izin Prinsip Usaha Perkebunan dan sertifikat pelepasan kawasan hutan (jika berasal dari pelepasan kawasan hutan); Perlu ditambah ketentuan antara lain sebagai berikut: a. Izin prinsip usaha perkebunan sebagai dasar permohonan HGU. b. Izin prinsip usaha perkebunan tidak memberikan hak kepada pemohon untuk menjalankan usaha perkebunan, sebatas izin prinsip sebagai syarat HGU. 25. Perubahan PerKaBAN No. 6/2013 tentang Pelayanan Informasi Publik. Akses informasi masyarakat terhadap pelaksanaan pertanahan diperlukan untuk memastikan masyarakat mengetahui setiap perencanaan serta pelaksanaan pertanahan (pendaftaran, pemanfaatan, pengawasan dan penegakan hukum), akses informasi tersebut memudahkan masyarakat untuk turut berpartisiasi, memberikan pengaduan dan pengawasan pemanfaatan pertanahan. Untuk mewujudkan tata kelola pertanahan yang baik, aturan Perkaban No. 0/2013 perlu ditambah dengan ketentuan antara lain sebagai berikut: a. Dokumen/ informasi tentang RTRW beserta lampirannya sebagai informasi yang dapat diperoleh dengan permintaan. b. Memasukan informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum dalam konteks ketaatan penerima HGU sebagai informasi yang dapat diperoleh berdasarkan permintaan atau tersedia setiap saat. c. Terkait pembatasan informasi tentang pengawasan dan penegakan hukum di bidang pertanahan yang tidak dapat diakses publik. 26. Penyusunan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang tentang Wali Data Informasi Geospasial Tematik MHA. UU tentang Informasi Geospasial memungkinkan instansi di tingkat pusat sesuai kewenangannya untuk menjadi wali data dalam pengelolaan data tematik tertentu yang berkaitan dengan tata batas berkekuatan hukum yang telah ditetapkan. Untuk menjamin keberadaan MHA dalam peta tematik pengelolaan SDA-LH maka Kemenagraria dan Tata Ruang dapat menjadi wali data peta keberadaan wilayah MHA, oleh karena itu perlu diatur peraturan menteri dengan materi muatan sebagai antara lain sebagai berikut: • Peta tematik MHA merupakan peta yang menggambarkan suatu batas wilayah yang berkekuatan hukum yang dibuat berdasaarkan dokumen penetapan batas yang pasti.
58
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
• Menteri Agraria dan Tata Ruang sebagai wali data peta tematik MHA, yang di dalamnya mengatur tentang: a) Kewajiban Pemda untuk menyusun IGT MHA (menyesuaikan dengan Perda MHA); b) Kewajiban Pemda untuk menyerahkan kepada Kemendagri. • Kewajiban Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk mengunggah dalam JIGN dengan berkoordinasi dengan BIG. 27. Penyusunan Peraturan Bersama Menteri LH-Kehutanan dan Menteri Agraria tentang mekanisme relokasi dan pemberian kompensasi bagi masyarakat, termasuk MHA di bidang kehutanan dan pertanahan (termasuk pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU). Jaminan untuk dilaksanakannya relokasi dan pemberian kompensasi secara umum terdapat dalam UUPA dan UU Kehutanan. Namun belum terdapat aturan yang secara operasional melaksanakan kewajiban tersebut. relokasi di bidang pertanahan berkaitan dengan beberapa sektor yang saling terkait maka perlu diatur peraturan bersama dengan Materi Muatan sebagai antara lain sebagai berikut: a. Mewajibkan Pemerintah untuk membangun mekanisme relokasi dan pemberian kompensasi apabila ada hak MHA yang dilanggar, yang di dalamnya mengatur tentang: a) Pihak yang berhak menerima kompensasi/relokasi; b) Mekanisme verifikasi dan klarifikasi; c) Tata cara relokasi dan pemberian kompensasi; d) Jangka waktunya; e) Tata cara penyampaian dan pengelolaan keberatan jika ada ketidakpuasan (penyelesaian keberatan). b. Sanksi bagi aparat yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan kompensasi atau relokasi. 28. Penyusunan PermenLH-Kehutananan tentang Peran Serta Masyarakat Di Bidang Kehutanan. Belum terdapat aturan bidang kehutanan yang secara spesifik mengatur partisipasi masyarakat. Dalam membangun kehutanan, partisipasi dapat membantu pemerintah dalam melaksanakan perencanaan, pemanfaatan serta pengawasan terhadap pelaksanaan. Untuk itu perlu diatur permenLH-Kehutanan dengan Materi Muatan sebagai berikut: • Mewajibkan Kementerian Lingkungan Hidup-Kehutanan untuk membangun mekanisme partisipasi masyarakat yang dalamnya mengatur tentang: a) Kewajiban untuk membangun sistem; b) Kewajiban untuk menunjuk petugas pengelola partisipasi; c) Metode partisipasi; d) Jangka waktu yang cukup untuk memberikan masukan bagi masyarakat dan memberikan respon bagi pejabat pengelola; e) Kewajiban untuk meningkatkan kemampuan partisipasi masyarakat. •
Sanksi bagi pihak yang menghambat partisipasi.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
59
B. Rekomendasi Pedoman Metode Analisis Dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Kerangka Penyelarasan Peraturan PerundangUndangan11 I. PENDAHULUAN Peraturan perundang-undangan yang tidak selaras dan tumpang tindih merupakan salah satu persoalan umum yang kerap ditemui di berbagai sektor. Hal ini tidak hanya terjadi di tingkat Undang-Undang tetapi juga di tingkat yang lebih rendah yang mengatur hal-hal teknis, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah. Adakalanya norma yang diatur dalam suatu undang-undang bertentangan dengan undang-undang lain. Adakalanya pula suatu norma di dalam Peraturan Daerah tidak selaras dengan Peraturan Pemerintah atau Undangundang di atasnya. Saat ini sudah ada peraturan yang memandatkan evaluasi dan penyelarasan peraturan perundang-undangan, antara lain UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dalam Lampiran I Bab III memerintahkan penyelarasan dalam proses penyusunan naskah akademik sebuah UU atau Perda. Demikian pula Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dalam pasal 63 dan 65 memerintahkan penyelarasan dalam proses penyusunan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Namun, perintah untuk melakukan penyelarasan tersebut hanya dalam konteks untuk menyusun suatu peraturan baru, bukan untuk mengevaluasi dan menganalisis peraturan perundang-undangan di bidang tertentu, sebagai dasar untuk melakukan penyelarasan atas konflik antar norma yang menimbulkan permasalahan dalam penerapannya di lapangan. Oleh karena itu, proses evaluasi dan penyelarasan peraturan perundang-undangan yang sudah ada perlu disempurnakan. Pedoman ini merupakan penyempurnaan dari peraturan-peraturan yang sudah ada. Di dalam pedoman ini, analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan setingkat Undang-undang hingga Peraturan Daerah akan dilakukan secara rutin, untuk menilai keselarasan norma dan efektifitas keberlakuan norma yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
II. TUJUAN Dokumen ini berisi tentang panduan untuk melakukan penyelarasan peraturan perundangundangan berdasarkan metode analisis dan evaluasi yang telah dikembangkan oleh Kementerian Hukum & HAM dan Bappenas. Penggunaan panduan ini dalam melakukan analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan diharapkan dapat mengidentifikasi persoalan tumpang tindih, kekosongan norma hukum, tingkat kepatuhan pelaksanaan dan dampak dari peraturan yang sudah ada, sehingga dapat menghasilkan rekomendasi bagi penyempurnaannya. Dengan demikian, sistem hukum yang harmonis dan tujuan hukum sebagaimana dicita-citakan oleh konstitusi akan tercapai.
III. PRINSIP ANALISIS DAN EVALUASI Analisis dan evaluasi harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip berikut: a. Obyektifitas dan Impersonal: Evaluasi dan analisis yang dilakukan harus bersifat obyektif, didasarkan pada alasan rasional serta untuk kepentingan publik. Untuk itu, evaluasi dan analisis harus didasarkan atas indikator yang jelas, kemudian disampaikan secara terbuka kepada publik sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
60
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
b. Transparan. Dalam melakukan evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan, penanggung jawab wajib memastikan aliran informasi berkala yang akurat kepada masyarakat pemangku kepentingan dan pemangku hak, baik secara proaktif maupun berdasarkan permintaan masyarakat. Aliran informasi ini dimaksudkan untuk menyampaikan perkembangan dari kegiatan pengkajian peraturan kepada publik dan mendapatkan masukan (input) dari publik atas pilihan-pilihan kebijakan yang tersedia. c. Partisipatif (Pelibatan Pemangku Kepentingan dan Pemangku Hak). Partisipasi publik pada dasarnya merupakan hal yang krusial dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi tidak saja merupakan hak bagi publik, namun proses pembentukan peraturan yang transparan dan partisipatif akan memastikan pengambil kebijakan mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan untuk keberhasilan pelaksanaan peraturan yang baru. Untuk itu, dalam proses evaluasi dan analisis perlu dilakukan konsultasi publik dan dibukanya ruang bagi publik untuk mendapatkan masukan secara tertulis. d. Akuntabel (Dapat Dipertanggungjawabkan). Akuntabilitas diwujudkan melalui kewajiban lembaga penanggung jawab untuk merespon masukan yang ada dan memberikan alasan dari keputusan akhir yang dibuat.
IV. RUANG LINGKUP Ruang lingkup pedoman ini mencakup: A. Inventarisasi peraturan perundang-undangan B. Penentuan dan pembentukan tim analisis, evaluasi, dan penyelarasan C. Analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan: 1. Langkah-langkah analisis,evaluasi, dan penyelarasan 2. Aspek analisis dan evaluasi 3. Pelibatan masyarakat dalam analisis,evaluasi, dan penyelarasan peraturan perundangundangan D. Pengawalan hasil analisis, evaluasi, dan penyelarasan peraturan perundang-undangan
V. PENGERTIAN UMUM Analisis dan evaluasi: merujuk pada kegiatan untuk menilai atau menelaah kesesuaian antara norma-norma dalam sebuah peraturan, mulai dari tingkat Undang-Undang sampai dengan Peraturan Daerah, dengan prinsip-prinsip dan indikator tertentu, baik prinsip dan indikator umum maupun yang sesuai dengan bidang pengaturannya. Cakupan analisis dan evaluasi: Cakupan merujuk pada bidang menjadi obyek pengaturan, misalnya: bidang pengelolaan SDA-LH, bidang keterbukaan informasi, bidang pemberantasan korupsi, dll. Mengingat peraturan perundang-undangan dibuat untuk mencapai tujuan bernegara, maka analisis dan evaluasi terhadap suatu isu tertentu (ruang lingkup studi) sebaiknya ditentukan berdasarkan Rencana Pembangunan yang berlaku, baik Jangka Panjang, Jangka Menengah dan Jangka Pendek. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa peraturan perundang-undangan selalu diuji efektivitasnya dalam pencapaian suatu tujuan hukum dan tujuan pembangunan tertentu Prinsip: merupakan nilai fundamental yang dijadikan rujukan dalam menilai norma yang tertuang dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Indikator: merupakan komponen kualitas norma dalam suatu peraturan, dalam dokumen ini dibatasi hanya pada tingkat Undang-undang sampai dengan Peraturan Menteri Pisau analisis: merupakan sub-komponen dalam sebuah indikator yang juga digunakan untuk menilai kualitas norma suatu peraturan, namun sudah mengerucut pada cakupan wilayah studi. 11
Pedoman ini dikembangkan berdasarkan metode analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan yang telah digunakan oleh BPHN, Bappenas, PSHK, Epistema Institute dan beberapa rujukan lain.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
61
VI. LANGKAH ANALISIS, EVALUASI, DAN PENYELARASAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN VI.A. INVENTARISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pedoman ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan pengembangan data base peraturan perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. Data base mencakup seluruh jenis peraturan perundang-undangan (UU/Perpu, PP, Perpres, sampai dengan Perda), dan semua peraturan kebijakan yang dikeluarkan Presiden (dalam bentuk Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden/beleidregelen) dan yang dikeluarkan oleh masing-masing Kementerian (dalam bentuk Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, termasuk Surat Edaran Menteri/ beleidregelen). Oleh karena itu, pelaksanaan pemantauan dan evaluasi peraturan perundangundangan ini akan menggunakan data dan informasi peraturan perundang-undangan yang ada dalam database dimaksud.
VI.B. PENENTUAN DAN PEMBENTUKAN TIM ANALISIS, EVALUASI & PENYELARASAN Tim analisis dan evaluasi terdiri dari: 1. Perwakilan Kementerian Hukum dan HAM yang bertanggung jawab di bidang hukum dan perundang-undangan 2. Perwakilan Bappenas yang bertanggungjawab di bidang perencanaan 3. Perwakilan K/L pada sektor terkait 4. Ahli hukum di bidang peraturan perundang-undangan dan sektor yang bersangkutan yang memiliki kualifikasi akademik dan praktik yang memadai. Tim tersebut melakukan analisis dan evaluasi terhadap norma dan perumusan norma suatu peraturan (law in the book) serta implementasinya (law in action). Hasil analisis dan evaluasi merupakan salah satu rujukan bagi perencanaan penyusunan daftar program legislasi baik untuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Perpres maupun Peraturan Menteri. Oleh karena itu, Tim harus menyusun jangka waktu pelaksanaan analisis dan evaluasi secara ketat namun memadai, menyesuaikan dengan waktu penyusunan daftar program legislasi.
VI.C. ANALISIS, EVALUASI & PENYELARASAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Dalam dokumen ini istilah analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan merujuk pada kegiatan untuk menilai atau menelaah kesesuaian antara norma-norma dalam sebuah peraturan, mulai dari tingkat Undang-undang sampai dengan Peraturan Daerah, dengan prinsip-prinsip dan indikator tertentu yang sesuai dengan bidang pengaturan, misalnya: pengelolaan SDA-LH, pemberantasan korupsi, pendidikan, kesehatan jiwa, dll.
VI.C.1. Langkah-langkah dalam melakukan analisis, evaluasi, dan penyelarasan peraturan perundang-undangan Analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut: 1. Menentukan cakupan evaluasi dan memberikan alasan pemilihan (konteks) 2. Menyusun alat evaluasi dan analisis, yang terdiri dari:
62
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
a. Menyusun prinsip b. Menyusun indikator Prinsip dan indikator minimal dapat dilihat pada bagian selanjutnya di dalam pedoman ini. Untuk mempertajam analisis di bidang tertentu, perlu disusun prinsip dan indikator khusus untuk bidang tersebut. 3. Melakukan evaluasi dan analisis, yang terdiri dari: a. Mengindentifikasi peraturan terkait cakupan studi b. Menganalisis peraturan dan menemukan permasalahan 4. Menyusun peta jalan penyelarasan peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari: a. Menyusun daftar permasalahan berdasarkan hasil kajian dan peraturan yang dijadikan rujukan b. Menyusun rekomendasi strategi pembaruan (mengubah, mencabut, atau membuat peraturan baru) c. Menentukan lembaga yang bertanggung jawab dan memiliki kewenangan untuk menyusun strategi pembaruan d. Menentukan jangka waktu untuk menyelesaikan strategi pembaruan (lihat lampiran 1: Contoh rekomendasi)
VI.C.2. Aspek yang dievaluasi Setidaknya terdapat dua aspek yang harus dianalisis dalam melaksanakan evaluasi terhadap efektivitas peraturan perundang-undangan, yaitu aspek penormaan suatu peraturan (law in the book) serta aspek implementasinya (law in action). Aspek penormaan Evaluasi terhadap aspek penormaan harus dilakukan secara horisontal (kesesuaian antara norma peraturan perundang-undangan pada tingkat yang sama) dan vertikal (kesesuaian antar norma yang ada pada peraturan perundang-undangan yang berbeda tingkatannya). Aspek yang perlu dievaluasi adalah: 1. Aspek formal, yang meliputi: a. Tertib kewenangan yang merujuk pada kesesuaian materi muatan peraturan dengan jenis dan hirarkinya dan ketepatan lembaga yang mempunya kewenangan membuat peraturan (berdasarkan Undang-undang yang berlaku – saat ini adalah UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan); b. Kejelasan yang merujuk pada rumusan norma yang tegas, lugas, tidak menimbulkan banyak penafsiran dan menggunakan istilah dalam Bahasa Indonesia yang dikenal umum; c. Keterperincian yang merujuk pada rumusan norma yang logis dan saling terkait satu sama lain dalam hal norma tersebut memuat langkah-langkah atau bagian-bagian yang menjelaskan tahapan suatu prosedur; d. Keselarasan yang merujuk pada rumusan norma yang tidak bertentangan dengan norma yang lain dalam peraturan yang sama atau dalam peraturan yang berbeda, baik yang setara maupun berbeda hirarkinya. 2. Aspek substantif, merujuk pada kesesuaian norma dengan tolak ukur ideal tertentu, yang tertuang di dalam prinsip dan indikator. Penggunaan indikator dimaksud disesuaikan dengan kewenangan mengatur suatu peraturan perundang-undangan.*
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
63
Tolok ukur ideal tersebut setidaknya mencakup: No. 1
Prinsip Legitimasi Kemampuan peraturan untuk memberikan kepastian hukum dan koherensi kebijakan
Indikator a. Dasar hukum Kelengkapan dan ketepatan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum ‘mengingat’ rancangan peraturan. b. Delegasi Kejelasan ketentuan (pasal) dalam peraturan yang memberikan perintah pembentukan peraturan sebagai peraturan pelaksana. c. Peraturan terkait Kesesuaian dengan peraturan lain yang mempunyai ketentuan serupa.
2
3
Signifikansi Kemampuan peraturan untuk memberi arah dan tujuan strategis yang jelas
Efikasi Kemampuan materi muatan peraturan mendorong tindakan-tindakan sosial baru secara efektif
a. Adanya rumusan arah dan tujuan yang jelas dalam peraturan b. Ketentuan dalam peraturan ini yang terkait erat dengan hal-hal substansi pengaturannya. Untuk bagian ini, Tim Evaluasi dan Analisis dapat mengembangkan prinsip dan indikator sendiri, misalnya: }} perlindungan dan pemajuan nilai-nilai HAM. }} perlindungan dan pengelolaan SDA-LH. }} promosi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan anti korupsi }} pemberdayaan perempuan dan anak a. Kejelasan penyebutan subjek yang diatur dalam peraturan. b. Adanya mekanisme yang dibuat untuk mengimplementasikan peraturan ini serta lembaga yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakannnya. c. Adanya penghargaan dan sanksi yang diatur oleh peraturan.* d. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa khusus atau pengaduan yang disediakan oleh peraturan ini.* e. Adanya ketentuan pembiayaan khusus yang diatur dalam peraturan.* f. Adanya mekanisme monitoring dan evaluasi untuk mengukur efektivitas peraturan ini serta lembaga yang bertanggung jawab melaksanakannya.*
Aspek implementasi Evaluasi terhadap aspek implementasi bertujuan untuk melihat efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan mengundang ahli, praktisi dan masyarakat dalam sebuah forum diskusi. Evaluasi aspek implementasi ini dilakukan setelah evaluasi terhadap aspek penormaan. Aspek yang perlu dinilai: a. Apakah subyek yang diatur dalam peraturan sudah menjalankan kewajibannya? b. Apakah perilaku subyek yang diatur sudah berubah? c. Apakah tujuan peraturan sudah tercapai? (Masalah strategis yang ingin diselesaikan sudah dapat diselesaikan). d. Apakah ada pengaturan yang baik dalam peraturan lama yang perlu dipertahankan e. Apakah ada ketentuan atau pengaturan baru yang dianggap dapat mengatasi masalah tersebut. f. Kebijakan atau tindakan di luar peraturan apa saja yang sudah dilakukan untuk membantu mengatasi masalah tersebut. g. Apakah rencana kebijakan atau tindakan di luar peraturan yang perlu dilakukan untuk membantu mengatasi masalah tersebut.
64
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
VI.C.3. Pelibatan masyarakat dalam evaluasi, analisis, dan penyelarasan peraturan perundang-undangan Dalam melakukan evaluasi, analisis, dan penyelarasan peraturan perundang-undangan, Tim perlu melibatkan masyarakat karena mereka akan terkena dampak akibat dikeluarkannya suatu peraturan. Pelibatan dilakukan dengan cara-cara berikut: a. Tim memberikan informasi kepada masyarakat: -
Mengumumkan jadwal dan agenda evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan
-
Mengumumkan nama dan nomor kontak pejabat yang bertanggung jawab
-
Memberikan draft hasil evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan berdasarkan permintaan
b. Tim meminta masukan dari masyarakat: -
Mengundang dan meminta masukan masyarakat dalam forum diskusi; atau
-
Meminta masukan secara tertulis dengan memberikan jangka waktu yang jelas
c. Memastikan masukan masyarakat menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan evaluasi, analisis dan penyelarasan Salah satu cara untuk melibatkan masyarakat adalah dengan memanfaatan tekhnologi informasi. Pemerintah dapat mengunggah dokumen-dokumen dalam proses analisis dan evaluasi dan memberikan akses kepada masyarakat untuk memberikan masukan langsung ke dalam dokumen tersebut.
VI.D. PENGAWALAN IMPLEMENTASI HASIL EVALUASI Hasil dari evaluasi dan analisis adalah peta jalan penyelarasan peraturan perundang-undangan. Setelah tersusun, Tim Pengawalan dari Kementerian Hukum dan HAM, dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), mengawal pelaksanaan penyelarasan peraturan perundangundangan, dari tingkat Undang-undang hingga Peraturan Daerah. Pengawalan bertujuan untuk memantau dan memastikan masing-masing lembaga melakukan tugasnya dalam kerangka waktu tertentu sebagaimana tertuang dalam peta jalan hamonisasi peraturan perundang-undangan. Pemantauan dilakukan secara berkala, setiap 3 atau 6 bulan sekali. Dalam melakukan pengawalan, Tim Pengawalan menggunakan format pemantauan rencana tindak lanjut tahunan.
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
65
66
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
DAFTAR PUSTAKA Buku: Kementerian Kehutanan. Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan. Jakarta, 2009. Kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Laporan Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta, 1990. Kementerian Lingkungan Hidup. Indonesia Second National Communication Under the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, 2010. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Corruption Impact Assessment: Titik Korupsi dalam Lemahnya Kepastian Hukum pada Hutan (Corruption in the Presence of Weak Legal Certainty). Jakarta: KPK, 2010. Nurjaya, I Nyoman (Ed). Politik Hukum Pengusahaan Hutan di Indonesia. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 1993. Nurjaya, I Nyoman. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2008. Nurjaya, I Nyoman. Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum. Pidato Pengukuhan Guru Besar di bidang Antropologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2006. Peluso, Nancy Lee. Rich Forest, Poor People, Resource Control and Resistance in Java. University of California Press, Berkeley, USA. Poffenberger, Mark. Community and Forest Management in Southeast Asia, WG-CIFM, Berkeley, USA, 1999. Poffenberger, Mark. Keepers of The Forest, Land Management Alternatives in Southeast Asia. The Philippines: Ateneo de Manila University Press, 1990. Pudyatmoko, Y Sri. Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan. Jakarta: Penerbit Grasindo, 2009. Rahmina H. et al. Tata Cara dan Prosedur Pengembangan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Kerangka Undangundang No. 41 Tahun 1999. Desember 2011. Reppeto, Robert and Malcolm Gillis. Public Policies and the Misuse of Forest Resources. New York: Cambridge University Press, 1988. Ridell, James C. John B. Raintree (Ed). 1987. Land Tenure and Agroforestry: A Regional Overview, in Land, Trees and Tenure: Proceedings of an International Workshop on Tenure Issue. Agroforestry, ICRAF and Land Tenure Centre, 1987. Safitri, Myrna A. et al. Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial: Pandangan Kelompok Masyarkat Sipil Indonesia tentang Prinsip, Prasyarat dan Langkah Mereformasi Kebijakan Penguasaan Tanah dan Kawasan Hutan di Indonesia. Jakarta: Epistema Institute, HuMa, FKKM, WG-Tenure, KPA, KPSHK, AMAN, Pusaka, Kemitraan, JKPP, Sains, Karsa, KKI-Warsi, Javlec, Scale Up, Kamar Masyarakat DKN, The Samdhana Institute Indonesia dan Bioma, 2011. Situmorang, Abdul Wahab et al, Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD+ 2012 di Indonesia. Jakarta: UNDP Indonesia, 2013. Soreide, Tina. Forest Concession and Corruption. Norway: U4 Issue 3, Chr. Michelsen Institute, 2007. Sukadri, Doddy, Bambang Widiyantoro, dan Herman Prayudi. An Analysis of Government Policy in the Context of Accelerating Natural Forest Management for Sustainable Production (Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari). Jakarta: The International Tropical Timber Organization dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (“APHI”), 2009. United Nations REDD Programme (UN-REDD). Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan, dan REDD+ 2012 di Indonesia. Jakarta: UNDP Indonesia, 2003. Konsorsium Pembaruan Agraria. “Warisan Buruk Masalah Agraria Di Bawah Kekuasaan SBY”, Laporan Akhir Tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria.
Instrumen Hukum Internasional: Declaration of the United Natios Conference on the Human Environment 1972 (26 Principles) The Rio de Jenairo Declaration on Environment and Development 1992 (27 Principles) Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change 1998 The Conference of the Parties on Its Thirteenth Session (in Bali 2007) United Nations Convention on Biological Diversity 1992 Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat 1971
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
67
Website: Afrizal, “Konflik atau Mufakat? Sektor Kelapa Sawit di Persimpangan Jalan” http://www.google.com/search?client=safari&rls=en&q =studi+kasus+kelapa+sawit+di+7+negara+menunjukan&ie=UTF-8&oe=UTF-8. Amri, Arif Bambani. “Poin-poin Bali Road Map,” http://news.detik.com/read/2007/12/15/220628/867662/10/poin-poin-bali-roadmap. Asshiddiqie, Jimly. “Penegakan Hukum”, http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). “Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan”. http://ditkumham. bappenas. go.id/home/ham/Strategi%2 Nasional%20Akses%20 thd%20Keadilan.pdf. Black, Kevin dan Gerhard Gallagher. “The Greenhouse gas balance of peatland forest (Coford connects, 2010).” http://www. woodenergy.ie/media/woodenergy/content/publicationsreports/The%20 greenhouse%20gas%20balance%20of%20 peatland%20 forest.pdf. Forum Indonesia Untuk Keadilan Agraria. “Surat Terbuka Forum Indonesia Untuk Keadilan Kepada Presiden Republik Indonesia Untuk Penyelesaian Konflik Agraria.” http://pphafh.ub.ac.id/wrp-con/uploads/2013/02/Petisi-kepada-Presiden-untukPenyelesaian- Konflik-Agraria-.pdf. Hukum Online. “Penegakan Hukum Illegal Logging Memasuki Babak Baru.” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19093/ function.require. Human Rights Watch. “Wild Money: The Human Rights Consequences of Illegal Logging and Corruption in Indonesia’s Forestry Sector.” http://www.hrw.org/sites/default/files/reports/indonesia1209webwcover.pdf. New York, United States of America, 2009. Indonesian Centre for Environmental Law (“ICEL”). “Mewujudkan Climate Friendly Legal Framework di Indonesia.” http://www.icel. or.id/mewujudkan-climate-friendly-legal-framework-di-indonesia/. Indonesian Centre for Environmental Law (“ICEL”) et al. “Inisiatif Tata Kelola Kehutanan.” http://tatakelolahutan.files.wordpress. com/2011/09/set-indikator-gfi-versi-2final.pdf. Konsorsium Pembaruan Agraria. “Keresahan Intelektual Agraria. ”http://www.kpa.or.id/?p=1153, diakses pada 7 Februari 2013.” Kelsen, Hans. General Theory of Law and State dalam M.D.A.Freeman, Llyod’s Introduction To Jurisprudence. Singapore: Sweet and Maxwell Asia. Kementerian Pekerjaan Umum. “Perkembangan Penyelesaian Rekapitulasi Rencana Tata Ruang Indonesia.” http://sikumtaru.penataanruang.net/view/template.asp?idtipeproduk=Lap& modul=5b1bcc01ae021 b8e5f2be71432ab67ac. UNDP dan UN-REDD Programme.“Forest, Land and REDD+ 2012 Index in Indonesia.” http://www.unredd.net/index. php?option=com_ docman&task=cat_view&gid=3004&Itemid=53> UNDP Indonesia. Pramesti, Olivia Lewi. “Potret Lingkungan Indonesia Kian Memprihatinkan.” http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/10/potretlingkungan-indonesia-kian-memprihatinkan. Bastaman, Henry. “SLHI Tematik 2012 dan IKLH 2012: Laju Kerusakan dan Pencemaran Berkurang” http://www.menlh.go.id/slhitematik-2012-dan-iklh-2012-laju-kerusakan-dan-pencemaran-berkurang. Pernyataan Direktur PGT BPN RI Iwan Nusa dalam Workshop Hak Atas Tanah pada pertemuan Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ke-7 tanggal 1 November 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/11/01/20401842/ banyak.perkebunan.sawit.beroperasi.tanpa.hgu. Saturi, Sapariah. “Inkuiri Ungkap Banyak Pelanggaran HAM Dera Masyarakat Adat di Kawasan Hutan.” http://www.mongabay. co.id/2014/12/18/inkuiri-ungkap-banyak-pelanggaran-ham-dera-masyarakat-adat-di-kawasan-hutan/
68
Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
Presiden Joko Widodo juga berkomitmen untuk melaksanakan perbaikan tata kelola SDA-LH. Hal ini merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Nawa Cita atau 9 (sembilan) agenda perubahan untuk Rakyat Indonesia yang tertera dalam agenda keempat yaitu memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Salah satu bentuk pelaksanaan agendanya adalah membangun politik legislasi yang kuat, pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup dan reformasi lembaga penegak hukum. Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Hukum dan HAM membentuk sebuah Tim Kajian yang ditugaskan untuk menerjemahkan arahan yang tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ke dalam prinsip-prinsip dan indikator yang lebih operasional dan melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan pengelolaan SDA-LH dengan merujuk pada prinsip dan indikator tersebut. Dari hasil evaluasi, Tim Kajian ini juga ditugaskan untuk menyusun rekomendasi bagi arah pembaruan peraturan perundang-undangan terkait agraria dan SDA-LH sehingga membantu implementasinya. Namun, mengingat luasnya bidang tersebut, Tim Kajian membatasi ruang lingkup dengan melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi pada tiga isu, yaitu kehutanan (khususnya pengukuhan kawasan hutan), pertanahan (khususnya pemberian Hak Guna Usaha), dan hak dan kewajiban masyarakat termasuk didalamnya Masyarakat Hukum Adat (MHA) di kedua kegiatan tersebut. Ketiga isu ini dipilih karena menjadi bagian dari akar masalah penting bagi persoalan yang menimbulkan konflik sosial dan buruknya pengelolaan SDA-LH khususnya yang berbasis lahan.
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
printed on recycled paper