BAB X BIDANG SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
10.1. Kondisi Umum Sebagai modal dasar pembangunan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (SDA dan LH) mempunyai dua fungsi penting yaitu sebagai penyedia bahan baku bagi pembangunan ekonomi dan sebagai pendukung sistem kehidupan. Untuk itu, agar pembangunan dan kehidupan manusia dapat terus berlanjut, maka pengelolaan dan pemanfaatan SDA dan LH harus dilakukan secara rasional, efisien, bijaksana, dan berkelanjutan. Namun berbagai tantangan dan masalah masih harus dihadapi, antara lain meningkatnya pemenuhan kebutuhan akibat dari peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya eksploitasi SDA (air, lahan, energi, ruang) dan LH, menimbulkan tantangan di dalam pengelolaannya. Di samping itu, pemenuhan pangan dan bahan baku industri yang terus meningkat juga menekan pemanfaatan SD lahan dan air yang semakin tidak terkendali. Selanjutnya, dampak perubahan iklim terhadap SDA dan LH serta kehidupan manusia memperparah kondisi yang ada yang memerlukan langkah-langkah konkrit untuk mengurangi dampak yang terjadi, baik melalui mitigasi maupun adaptasi. Sebagai negara kepulauan, wilayah Indonesia yang sebagian besar (60 persen wilayah) berupa lautan, merupakan negara yang sangat rentan terhadap dampak terjadinya perubahan iklim global selain masalah lonjakan jumlah penduduk; sehingga kedua hal itu perlu diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan jangka menengah ke depan (20102014). Sesuai dengan amanat RPJMN 2010-2014 dalam RKP 2011 pembangunan SDA dan LH masih terus diarahkan kepada dua kelompok (klaster), yaitu (i) dalam mendukung pembangunan ekonomi dijabarkan pada tiga prioritas, dan (ii) dalam meningkatkan kualitas dan kelestarian lingkungan hidup. Untuk kelompok (i), yaitu: (1) Peningkatan Ketahanan Pangan, dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan; (2) Peningkatan Ketahanan dan Kemandirian Energi; dan (3) Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Pertambangan. Sedangkan pembangunan SDA LH untuk kelompok (ii) atau meningkatkan kualitas dan kelestarian LH ditekankan pada empat prioritas, yaitu: (4) Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup; (5) Peningkatan Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan; (6) Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan; (7) Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Bencana Alam serta Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim. Oleh sebab itu, dalam RKP 2011, pembahasan RKP akan dikelompokkan dalam prioritas tersebut. 10.1.1. Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Selama lima tahun terakhir, produksi bahan pangan utama terus meningkat, sehingga semakin memperkuat pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Produksi padi, jagung, dan kedele pada tahun 2009 masing-masing mencapai 64,3 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) padi, 17,6 juta ton jagung dan 973 ribu ton kedele. Dibandingkan produksi pangan tahun 2008, produksi tahun 2009 tersebut meningkat masing-masing sekitar 6,6 persen II.10 - 1
untuk padi, 7,8 persen untuk jagung, dan 25,4 persen untuk kedele. Selain itu, produksi pangan sumber protein hewani juga meningkat masing-masing mencapai sekitar 1,7 juta ton daging, 1,4 juta ton telur, dan 679 ribu ton susu. Produksi perikanan sebagai sumber protein hewani penting lainnya pada tahun 2009 juga mengalami peningkatan cukup signifikan yang mencapai 10,06 juta ton. Pada tahun 2010, produksi bahan pangan diprakirakan masih akan meningkat yang mencapai sekitar 64,9 juta ton GKG padi, 18,1 juta ton jagung, 962,5 ribu ton kedele, dan 3,0 juta ton gula hablur. Produksi perikanan juga diperkirakan semakin meningkat dengan adanya peningkatan produksi dari perikanan budidaya. Peningkatan produksi pangan tersebut mampu meningkatkan ketersediaan karbohidrat (energi) dan protein bagi masyarakat. Namun demikian karena adanya sedikit gejolak harga pangan pada akhir tahun 2009, rata-rata konsumsi kalori penduduk menurun dari 2.038,2 kilo kalori per kapita per hari pada tahun 2008 menjadi 1.927,6 kilo kalori per kapita per hari pada tahun 2009. Pada tahun 2010, skor Pola Pangan Harapan (PPH) ditargetkan dapat mencapai skor 86,4. Salah satu sumber protein hewani yang banyak terdapat di Indonesia adalah ikan, selain harganya terjangkau, juga mempunyai kandungan gizi serta asam amino yang sangat penting untuk kesehatan. Pada tahun 2009, ketersediaan ikan untuk konsumsi meningkat sebesar 0,6 persen dibandingkan tahun 2008, yaitu dari 29,98 kg/kapita/tahun menjadi 30,17 kg/kapita/tahun pada tahun 2009. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan produksi, pengembangan informasi dan promosi pemasaran hasil perikanan di dalam negeri, serta peningkatan kampanye gerakan “gemar makan ikan”. Pada tahun 2010, konsumsi ikan masyarakat Indonesia diperkirakan juga akan meningkat sehingga mencapai 30,50 kg/kapita/tahun. Selain berperan penting dalam pembangunan ketahanan pangan nasional, sektor pertanian, perikanan dan kehutanan (PPK) juga berkontribusi penting dalam perekonomian nasional berupa pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, serta pembentukan devisa negara. Secara umum, nilai PDB sektor PPK pada tahun 2009 tumbuh sekitar 4,1 persen, yang berarti melebihi dari target pertumbuhan rata-rata RPJMN 2004-2010 sebesar 3,52 persen. Apabila dilihat dari setiap sub sektornya, pada tahun 2009 tersebut, pertumbuhan PDB untuk tanaman bahan makanan sebesar 4,7 persen, perkebunan sebesar 2,5 persen, peternakan dan hasilnya sebesar 3,7 persen, perikanan sebesar 5,2 persen, dan kehutanan sebesar 1,5 persen. Sementara itu, pertumbuhan PDB sektor PPK pada tahun 2010 diperkirakan masih akan meningkat dan melebihi dari target pertumbuhan PDB dalam RKP 2010 sebesar 3,6 persen. Produksi perikanan pada tahun 2009 mencatatkan kenaikan yang cukup significant. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, produksi pada tahun 2009 meningkat sebesar 11 %, dari 9,05 juta ton di tahun 2008 menjadi 10,17 juta ton di tahun 2009. Peningkatan tersebut di dukung oleh meningkatnya produksi perikanan budidaya, terutama pada beberapa komoditas utama penting seperti : rumput laut (seaweeds), udang (shrimp), ikan mas, kepiting (crab), patin (catfishes) dan lain-lain. Disisi lain, walaupun peningkatan produksi perikanan tangkap tidak setinggi perikanan budidaya, hasil penangkapan beberapa komoditas tangkap utama seperti : tuna , udang, tongkol, kembung, cumi, termasuk Bigeye scad, Blue mackerel, Shrimp, Marlin, sailfishes, Humphead wrasse dan lain-lain, juga memberikan kontribusi yang significant terhadap peningkatan produksi perikanan nasional. Dengan semakin ditingkatkannya usaha perikanan budidaya di Indonesia, maka II.10 - 2
diprediksikan produksi perikanan pada tahun 2010 mampu menembus target 10,8 juta ton. Pada tahun 2011, peningkatan produksi perikanan diperkirakan akan terus terjadi dengan target produksi sebesar 12,3 juta ton, terkait dengan ini, sumbangan perikanan budidaya terhadap peningkatan produksi perikanan akan semakin besar dengan adanya kegiatan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi serta pemanfaatan lahan tidur. Untuk sub sektor kehutanan, selama periode 2005 – 2009 tingkat pertumbuhan produksi kayu bulat dari hutan produksi rata-rata sebesar 9,9 persen per tahun terutama dari produksi kayu bulat dari hutan tanaman. Produksi kayu bulat mencapai titik terendah pada tahun 2006 yang mencapai 20,81 juta m3, dibandingkan dengan produksi pada tahun 2008 yang mencapai 31,9 juta m3. Produksi kayu olahan yang terdiri dari kayu lapis, kayu gergajian, wood working, dan blockboard, veneer, particle board, dan lain-lain mencapai titik tertinggi pada tahun 2007 dengan jumlah produksi sebesar 10,47 juta m3 untuk kayu lapis 3,4 juta m3 untuk kayu gergajian 525,29 ribu m3 untuk blockboard 204,07 ribu m3. Produksi veneer mencapai puncaknya pada tahun 2005 sebesar 1,01 juta m3. Sementara itu, dalam periode 2005 – 2008 produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) masih perlu dikembangkan dengan hasil berupa produksi lebah madu sebanyak 6.830 ton, gaharu sebanyak 525.000 kg, rotan sebanyak 437.138 ton, gondorukem sebanyak 69.593 ton, damar sebanyak 23.588 ton dan terpentin sebanyak 16.532 ton. Salah satu faktor peningkatan produksi adalah bertambahnya area hutan tanaman pada tahun 2009 seluas 110.799 ha. Hutan tanaman tahun 2009 bertambah seluas 110.799 ha. Pada tahun 2010, diperkirakan hutan tanaman bertambah sebesar 450.000 ha (atau sebesar 16,98% dari target tahun 2014), sehingga pada akhir tahun 2010 jumlah kumulatif hutan tanaman menjadi seluas 4.874.750 ha. Peningkatan ini mendorong produksi kayu dari hutan tanaman untuk secara perlahan menggantikan peran hutan alam (soft landing), termasuk di dalamnya adalah hutan rakyat. Penyerapan kayu dari hutan rakyat memiliki kecenderungan positif dalam pemenuhan kebutuhan kayu nasional. Tahun 2008 jumlah penyerapan dari hutan rakyat sebesar 2,01 juta m3 (9,25%) dan tahun 2010 diperkirakan sebesar 3,8 juta m3 (11,76%). Terkait dengan aspek ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja di sektor PPK masih tinggi. Pada tahun 2009, jumlah tenaga kerja di sektor PPK mencapai 43,0 juta orang atau naik dibandingkan tahun 2008 yaitu sekitar 41,3 juta orang. Pada tahun 2010, jumlah tenaga kerja tersebut diprakirakan akan meningkat menjadi sekitar 43,7 juta orang. Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN), sebagai pendekatan dalam melihat perkembangan kesejahteraan, juga mengalami perbaikan. Pada tahun 2009, NTP dan NTN diperkirakan dapat mencapai masing-masing 100,79 dan 104. Seiring dengan semakin kondusifnya sistem perekonomian nasional, diperkirakan pada tahun 2010, NTP dan NTN dapat mencapai nilai 105. Pada tahun 2009, nilai ekspor pertanian diperkirakan masih tumbuh sekitar 14,4 persen dari tahun 2008. Minyak sawit masih memberikan kontribusi nilai ekspor yang tinggi. Selain itu, beberapa nilai ekspor komoditas pertanian lainnya pada tahun 2009, yaitu kopi sebesar USD 1.365,6 juta atau meningkat dibandingkan tahun 2008 sebesar USD 989,0 juta, biji kakao sebesar USD 923,9 juta atau meningkat dari USD 856,2 juta, dan rempah-rempah sebesar USD 404,1 juta atau meningkat dari USD 283,7 juta. Pada tahun 2010, diprakirakan nilai ekspor pertanian tersebut masih akan terus meningkat seiring dengan semakin tingginya permintaan dunia terhadap produk pertanian dan membaiknya harga komoditas pertanian. II.10 - 3
Untuk perikanan, komoditas ekspor utama adalah tuna, udang, mutiara dan rumput laut. Indonesia merupakan fishing ground tuna dan produsen rumput laut terbesar di dunia. Selanjutnya, pada tahun 2009, nilai ekspor perikanan meningkat sebesar 12 persen dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan nilai ekspor perikanan tersebut terjadi karena meningkatnya harga komoditas perikanan yang cukup signifikan sebagai akibat adanya peningkatan mutu ekspor hasil perikanan dan berkurangnya hambatan tarif ekspor ke beberapa negara tujuan ekspor, seperti Jepang, serta adanya promosi produk perikanan di luar negeri. Pada tahun 2010 diperkirakan volume ekspor komoditas perikanan akan terus meningkat, demikian juga dengan nilai ekspornya yang diperkirakan akan mencapai USD 2,9 miliar. Untuk kehutanan, ekspor kayu tahun 2009 sebesar 2,73 juta m3 dengan nilai USD 1,37 miliar. Sumbangan terbesar untuk volume dan nilai ekspor tahun 2009 diberikan oleh kayu lapis (2,15 juta m3 dan USD 0,88 miliar), berturut-turut 3 terbesar lainnya adalah moulding, kayu pertukangan bahan bangunan dan papan fiber kayu.
10.1.2. Peningkatan Ketahanan dan Kemandirian Energi Minyak bumi, gas bumi, dan batubara mempunyai peranan besar sebagai sumber energi untuk mendukung berbagai kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat. Selain sebagai pendukung pembangunan ekonomi, ketiga komoditas energi tersebut juga berperan sebagai sumber penerimaan devisa negara yang sangat penting. Pada tahun 2010, penerimaan dari minyak dan gas bumi serta pertambangan umum (mineral dan batubara), diperkirakan akan mencapai Rp. 272,7 triliun, yakni meningkat sekitar 16% dari realisasi penerimaan pada tahun 2009, yakni Rp. 235,3 trilyun. Sekitar 78% dari penerimaan ini diperoleh dari penerimaan minyak dan gas bumi, sedangkan sisanya dari penerimaan pajak dan bukanpajak pertambangan umum. Disamping itu investasi minyak dan gas bumi serta pertambangan umum akan mencapai US$ 16,9 milyar, meningkat sekitar 20% dibandingkan dengan realisasi investasi pada tahun 2009, yakni US$ 13,9 milyar. Sekitar 85% dari jumlah investasi tersebut adalah investasi untuk kegiatan minyak dan gas. Seperti tahun tahun sebelumnya, sebagian besar produksi minyak dimanfaatkan untuk keperluan Bahan Bakar (BBM) dalam negeri. Realisasi produksi minyak mentah pada tahun 2009 adalah sebesar 949 ribu barel per hari, belum cukup untuk memenuhi permintaan BBM nasional, yakni sebesar 1.307 ribu barel per hari. Sehingga masih diperlukan impor minyak mentah dan BBM. Untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, sebanyak 918 ribu barel per hari minyak mentah dan sebanyak 389 ribu barel per hari BBM dipasok dari pasar internasional. Pada tahun 2010, diperkirakan produksi minyak mentah disekitar 965 ribu barel per hari, dan ekspor minyak mentah dan BBM dengan volume yang tidak jauh berbeda dengan tahun 2009 tetap diperlukan. Selain diekspor ke Jepang, Taiwan, Korea, Singapura dan Malaysia dalam bentuk Lequified Natural Gas (LNG), gas bumi umumnya dimanfaatan oleh bahan baku industri pupuk, baja, kilang petrokimia, LPG (Liquefied Petroleum Gas) di dalam negeri. Pada tahun 2009, sebanyak 53,04 % dari total produksi gas bumi sebesar 7.951 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), telah dimanfaatkan untuk kebutuhan di dalam negeri. Pada tahun 2010, produksi gas bumi diperkirakan mencapai 1.593 MMSCFD dan pemanfaatannya untuk memenuhi keperluan dalam negeri akan semakin meningkat dengan adanya beberapa Perjanjian Jual Beli Gas Bumi yang ditandatangani sesudah UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diterapkan. II.10 - 4
Walaupun pemanfaatan batubara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri relatif masih kecil dibandingkan untuk ekspor, peranan batubara sebagai sumber energi didalam negeri semakin penting. Pada tahun 2009, produksi batubara meningkat 14 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 240 juta ton. Dari jumlah tersebut sekitar 25% dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 2010, produksi batubara diperkirakan akan mencapai 250 juta ton, dan pemanfaatannya didalam negeri akan meningkat melebihi realisasi pemanfaatan batubara di dalam negeri tahun sebelumnya. Pada tahun 2009, cadangan minyak bumi mencapai 8,2 miliar barel. Apabila diproduksi sesuai dengan tingkat produktivitas saat ini, yakni 0.35 miliar barel per tahun, maka cadangan ini akan bertahan sekitar 23 tahun. Cadangan gas bumi sebesar 170 triliun kaki kubik (TSCF) dan dengan tingkat produksi saat ini mencapai 2,9 TSCF per tahun, maka cadangan akan bertahan sekitar 59 tahun. Cadangan batubara sebesar 20,98 miliar ton, dengan tingkat penambangan seperti saat ini, yakni sekitar 200 juta ton per tahun, maka cadangan ini akan bertahan sekitar 100 tahun. Selain upaya-upaya peningkatan produksi minyak dan gas bumi, guna menjamin pasokan energi di dalam negeri, upaya-upaya penganekaragaman (diversifikasi) sumber energi lainya, selain minyak bumi, terus dilakukan. Dengan upaya diversifikasi ini, peran minyak bumi dalam penyediaan energi nasional akan menurun dari 48% pada tahun 2008/2009 melalui upaya-upaya ini antara lain adalah pemanfaatan gas dan batubara, serta energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkit listrik, seperti pembangkit listrik tenaga panas bumi, tenaga surya dan angin, mikrohidro, dan sebagainya, serta bahan bakar alternatif non-BBM, seperti bahan bakar nabati (BBN) dan batubara cair dan gas (liqeufied dan gasified coal). Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah produksi BBN dari biodiesel sebesar 1.076 ribu KL dan bioethanol 661 ribu KL. Pada tahun 2009, kapasitas terpasang pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 1210 MW, meningkat dari 854 MW (2005). Penambahan kapasitas terutama dari pembangkit listrik tenaga panas bumi, yakni 1.052 MW. Kapasitas terpasang energi tenaga surya sebesar 18,3 MW, dan tenaga angin sebesar 1,4 MW. Sedangkan pemanfaatan BBN pada tahun 2009 mencapai 2.563 ribu kilo liter (KL) yang terdiri dari bio-diesel sebanyak 2.329,2 ribu KL, bio-ethanol sebanyak 196,4 KL, dan bio –oil sebanyak 37,3 ribu KL. Dari potensi EBT terbesar adalah air (hydro), yakni sebesar 75.670 MW, pada tahun 2009 hanya sekitar 87,8 MW yang sudah dimanfaatkan atau sekitar 0,12 persen saja. Pemanfaatan EBT pada tahun 2010 diperkirakan akan terus meningkat, tertutama dengan diterapkannya program Desa Energi Mandiri (DME) secara nasional. Potensi EBT terbesar kedua adalah panas bumi, dengan total potensi panas bumi sekitar 28,9 GW. Potensi terbesar panas bumi ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, dan sisanya tersebar di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dari potensi sebesar ini yang dimanfaatkan baru sebesar 4%, yaitu PLTP di Kamojang, Lahendong, Dieng, Gunung Salak, Darajat, Sarula, Sibayak dan Wayang Windu. Potensi sumber energi biomassa juga cukup besar dan diperkirakan mencapai sekitar 50.000 MW, yang sampai saat ini hampir belum dikelola. Disamping itu, bahan baku BBN cukup bervariasi dan tersedia dengan jumlah yang cukup melimpah, seperti kelapa sawit, jarak, jagung, tebu, ubi, dan aren. Ketersediaan bahan mentah yang melimpah ini membuat BBN akan menjadi salah satu fokus utama dalam pemanfaatan EBT di tahun-tahun yang akan datang. Di samping peningkatan produksi minyak dan gas bumi, serta upaya penganekaragaman energi, efisiensi dalam penyediaan dan pemanfaatan energi terus II.10 - 5
dilakukan. Pada tahun 2009, intensitas energi, yakni rasio antara konsumsi energi final dengan produk domestik bruto (PDB), menunjukkan angka yang masih cukup tinggi/boros, yakni mendekati 401 TOE setara barel minyak (SBM) per juta US$ PDB. Pada tahun 2010, rasio ini diperkirakan akan menurun dengan adanya upaya-upaya efisiensi telah dilakukan terutama melalui gerakan penghematan, seperti promosi penggunaan lampu hemat energi. Di samping gerakan penghematan, upaya mitigasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2) telah dilakukan. Pada tahun 2010, telah dicanangkan program percepatan pembangkit listrik 10,000MW tahap kedua, yang sebagian besar sumber energinya berbasis panas bumi, EBT dengan tingkat emisi CO2 yang sangat rendah. Untuk menjamin penyediaan energi dengan harga yang terjangkau, subsidi BBM dan listrik telah diterapkan. Pada tahun 2009, subsidi BBM, BBN dan LPG mencapai Rp. 45,53 triliun dan subsidi listrik mencapai Rp. 47,55 triliun, sehingga secara total subsidi energi pada tahun 2009 mencapai Rp. 102,46 triliun. Subsidi ini akan terus dikurangi seiring dengan semakin meningkatnya diversifikasi energi, dimana peran BBM akan semakin berkurang. Pada tahun 2010 jumlah subisidi energi diperkirakan akan berkurang, sebesar 13,5% dari jumlah subsidi energi pada tahun 2009. 10.1.3. Peningkatan Pengelolaan Sumber daya Mineral dan Pertambangan Sampai saat ini telah dicapai berbagai hasil dan kemajuan di sektor pertambangan mineral dan batubara. Hasil ini merupakan tumpuan yang kuat untuk memasuki pembangunan ekonomi di tahun-tahun mendatang. Dalam lima tahun terakhir ini, penerimaan negara dari pertambangan umum mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2010 penerimaan tersebut diperkirakan mencapai Rp. 61,34 triliun, meningkat sekitar 19% dibandingkan dengan realisasi penerimaan pada tahun 2009, yakni sebesar Rp. 51,6 triliun. Setelah mengalami pasang-surut iklim investasi pada tahun-tahun sebelumnya, iklim investasi pada tahun 2010 diperkirakan akan membaik dan tingkat investasi akan mencapai US$ 2.5 milyar, meningkat sekitar 13% dari investasi pertambangan umum tahun 2009. Sampai dengan tahun 2009 telah selesai penaksiran cadangan batubara nasional, yaitu sebesar 21,13 miliar ton dengan sumber daya sebesar 104,94 miliar ton. Cadangan tersebut terutama tersebar di Pulau Sumatera sebesar 11,55 miliar ton dan Pulau Kalimantan sebesar 9,57 miliar ton, sedangkan sisanya tersebar di Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, dan Papua. Disamping itu, telah dihasilkan data perkiraan cadangan sumber daya mineral logam, antara lain meliputi timah 285 ribu ton, nikel 606 juta ton, bauksit 4,03 juta ton, emas 3 ribu ton, dan perak 11 ribu ton. Untuk sumber daya mineral industri: batu kapur 30 miliar ton, dolomit 1,5 miliar ton, kaolin 9,3 juta ton, pasir kuarsa 4,7 miliar ton, belerang 5,7 juta ton, fosfat 4,3 juta ton, bentonit 1,4 miliar ton, feldspar 2,5 miliar ton, zeolit 207 juta ton, pirofilit 550 juta ton, granit 10 miliar ton, dan marmer 8,6 miliar ton, sedangkan potensi sumber daya energi panas bumi diperkirakan 28,9 GW. Produksi beberapa mineral logam dan non-logam penting mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir, diiringi dengan peningkatan volume ekspor. Pada tahun 2010, realisasi produksi logam tembaga diperkirakan mencapai 1 juta ton, meningkat dari produksi tahun 2009, 868,2 ribu ton. Satu-satunya tambang di Indonesia yang menghasilkan tembaga dalam bentuk konsentrat terdapat di Irian Jaya, dan seluruh konsentrat diekspor karena belum tersedia pabrik peleburan tembaga di dalam negeri. Ekspor konsentrat tembaga mencapai 3.178 ribu ton pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 ekspor ini akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya produksi tembaga dan permintaan internasional. II.10 - 6
Produksi logam emas mencapai 116 kg, meningkat dari 105.4 kg pada tahun 2009 termasuk emas yang terkandung dalam konsentrat tembaga, perak mencapai 262 kg meningkat dari 232 kg pada tahun sebelumnya, dan logam timah mencapai 105 ton meningkat dari 72 ton pada tahun sebelumnya. Produksi bijih nikel pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 11.064 ribu ton, meningkat dari realisasi produksi pada tahun 2009, yakni 10.847 ribu ton, biji besi mencapai 4,1 juta ton, meningkat dari 4 juta metrik ton. Sementara itu, produksi nikel dalam bentuk ferro nikel mencapai 18.276 metrik ton, meningkat dari 17.917 metrik ton. Produksi bauksit sampai saat ini masih dipusatkan pada penambangan cadangan bijih berkualitas ekspor di Pulau Bintan dan sekitarnya, dengan pasaran ekspor utama ke Jepang. Cadangan bauksit yang jauh lebih besar terdapat di daerah Kalimantan Barat. Pada tahun 2010, jumlah produksi bauksit diperkirakan mencapai 10,3 juta ton, meningkat dari jumlah produksi pada tahun 2009. Bahan-bahan tambang/galian lainnya, adalah bahan galian industri, seperti batu kapur, dolomit, belerang, kaolin, pasir kuarsa, fosfat, bentonit, feldspar, dan marmer juga diperkirakan produksinya mengalami peningkatan. Pertumbuhan sektor industri yang semakin meningkat telah memacu pengembangan pertambangan bahan galian ini, terutama dalam usaha memenuhi kebutuhan bahan baku industri tersebut.
10.1.4. Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup. Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup masih terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia yang disebabkan oleh aktivitas dan kegiatan pembangunan ekonomi yang pesat dan diiringi oleh laju pertumbuhan penduduk, pembangunan infrastruktur, industrialisasi, pola kehidupan yang konsumtif, lemahnya penegakan hukum, serta belum optimalnya kapasitas sumber daya manusia. Kondisi rusaknya lingkungan Indonesia berakibat timbulnya bencana lingkungan, seperti banjir, longsor, dan juga kekeringan yang akhirakhir ini semakin sering timbul dan berdampak luas, yang tidak hanya merugikan secara materi, juga menimbulkan kerugian nyawa penduduk Indonesia terutama di daerah yang rawan bencana. Disisi sumber daya air, potensi terbesar berasal dari aliran sungai (air permukaan). Namun, kerusakan daerah aliran sungai (DAS) menyebabkan potensi sumber daya air tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dari pemantauan 34 debit sungai pada tahun 2006 menunjukkan 14 sungai mempunyai kondisi hidrologis yang buruk, artinya cenderung kering pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Selain itu, permasalahan kerusakan dan pencemaran juga mengurangi potensi pemanfaatan sumber daya air. Hasil dari pemantauan 35 sungai menunjukkan secara umum memiliki status mutu air cemar sedang-cemar berat. Pencemaran air pada umumnya bersumber dari industri, pertanian, dan rumah tangga. Tercatat pada tahun 2007 terjadi peningkatan potensi pencemaran dari industri besar dan menengah sekitar 29% jika dibandingkan dengan tahun 2004. Sedangkan untuk industri kecil potensi pencemarannya mengalami penurunan sebesar 13% jika dibandingkan dengan tahun 2005. Untuk sektor pertanian, penggunaan pupuk dan pestisida berpotensi mencemari air. Pada tahun 2006 penggunaan pupuk meningkat lima kali lipat dari tahun 2004. Sedangkan pencemaran limbah dari rumah tangga terkait dengan kondisi rumah tangga tanpa fasilitas buang air besar. Pada tahun 2007 jumlahnya meningkat sebesar 1% jika dibandingkan tahun 2004. Untuk memperbaiki kondisi, pemerintah telah melakukan program reboisasi, rehabilitasi sungai, pembuatan sumur resapan, pemeliharaan II.10 - 7
situ, pelatihan pembuatan kompos, dan pembangunan septictank komunal. Selain itu untuk mengendalikan pencemaran pemerintah memberlakukan Program Kali Bersih (PROKASIH) dan Program Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER). Terkait dengan PROKASIH dalam kurun waktu 2003-2008 tercatat sebanyak 341 perusahaan yang sudah menandatangani Surat Pernyataan (SUPER) tentang kesediaan untuk menaati peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup dalam batas waktu yang disepakati bersama. Sedangkan terkait dengan PROPER, pada tahun 2007/2008 terdapat 679 perusahaan (terdiri atas industri manufaktur, industri jasa dan kawasan industri, industri agro, serta industri pertambangan, energi, dan mineral) yang dinilai kinerja pengelolaan lingkungannya. Untuk industri manufaktur hasil sementara 205 perusahaan masuk dalam kategori taat, 14 perusahaan masuk kategori tidak taat, dan 23 perusahaan dinilai sudah tidak menghasilkan limbah cair. Untuk industri jasa dan kawasan industri, hasil sementara 10 perusahaan masuk dalam kategori taat dan 5 perusahaan masuk dalam kategori tidak taat. Sementara untuk industry Agro, sementara 103 perusahaan masuk dalam kategori taat dan 119 perusahaan masuk dalam kategori tidak taat. Menurunnya kualitas udara terutama disebabkan oleh penggunaan energi fosil dan biomasa oleh sektor rumah tangga, industri, dan transportasi. Karbon dioksida (CO2) dan Metan (CH4) merupakan gas rumah kaca yang mempunyai kontribusi besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Di sektor energi, pada tahun 2007 penggunaan berbagai jenis bahan bakar diperkirakan mengemisikan CO2 sebesar 432 juta ton dengan kontribusi terbesar dari sektor rumah tangga. Kondisi ini cenderung meningkat dalam periode 2004-2007. Pada Proses produksi beberapa jenis industri seperti industri kapur, semen, amoniak, gelas/kaca, besi baja, dan logam juga menghasilkan gas rumah kaca. Total emisi CO2 yang dihasilkan oleh industri tersebut diperkirakan sebesar 42.5 juta ton pada tahun 2005. Disektor pertanian, gas rumah kaca merupakan hasil dari lahan sawah, kegiatan peternakan, dan aplikasi pupuk urea. Emisi CH4 dari kegiatan peternakan diperkirakan meningkat 2,6 juta ton dari tahun 2005. Untuk sampah, pembakaran atau penimbunan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) pada tahun 2007 menghasilkan emisi 22 ribu ton CO2 dan 411 ribu ton CH4. Untuk mengendalikan pencemaran udara pemerintah melakukan sudah berbagai upaya. Seperti halnya pengendalian pencemaran air, pemerintah menggunakan instrument PROPER. Pada tahun 2008, dari 464 industri manufaktur dan agro, tercatat 393 industri sudah taat terhadap ketentuan yang berlaku di bidang pengendalian pencemaran udara. Selain itu, sejak tahun 2006 pertamina mulai menerapkan bensin tanpa timbal. Hasil pemantauan tahun 2008 di 16 kota menunjukkan bahwa kadar timbal semua bensin sudah memenuhi baku mutu. Selain itu penataan ambang batas emisi kendaraan, pembinaan bidang lalu lintas dan angkutan jalan, serta program langit biru juga dijalankan guna mengendalikan pencemaran udara. Kondisi tutupan lahan hingga tahun 2008 tidak menunjukkan perbaikan dari tahun sebelumnya. Pulau Jawa memiliki kondisi tutupan vegetasi yang paling kecil dibandingkan pulau lainnya. Data dari citra satelit Program Menuju Indonesia Hijau (MIH) menghasilkan data tutupan lahan di Indonesia mencapai ± 6 ribu km2 atau 46% dari luas daratan di Indonesia. Konversi lahan dan perambahan hutan yang tidak terkendali serta intensitas curah hujan yang tinggi menyebabkan meningkatnya kejadian banjir dan longsor (tercatat terdapat 197 kejadian banjir, 65 kejadian tanah longsor di tahun 2008). Selain kondisi tutupan lahan, daya dukung lahan juga menunjukkan kondisi yang kurang baik. Studi daya dukung di beberapa provinsi di Pulau Sumatera (KLH) pada tahun 2008 menunjukkan bahwa empat dari lima provinsi berstatus tidak aman atau overshoot, meskipun kondisi daya dukung airnya masih relatif aman (NAD, Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Sumatera
II.10 - 8
Barat). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjaga kelestarian lahan. Hingga tahun 2009 telah dilaksanakan Program Menuju Indonesia Hijau (MIH), progam one man one tree atau gerakan nasional penanaman pohon oleh Presiden RI, serta di tahun 2010 dilakukan penerapan upaya penurunan laju kerusakan lingkungan di 11 DAS, pemantauan ekosistem pesisir dan laut, pengembangan model pemulihan lingkungan pesisir dan laut di 7 lokasi, pengelolaan pesisir terpadu di 6 provinsi, pengelolaan 4 lokasi kawasan karst, dan pengelolaan 3 daerah rawan longsor. Proses geologi yang membentuk kepulauan Indonesia menyebabkan Indonesia berada di jalur distribusi keanekaragaman hayati benua Asia dan Australia serta sebaran wilayah peralihan Wallacea, yang menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya dan menduduki peringkat ke-2 di dunia setelah Brazil. Akan tetapi kondisi keanekaragaman hayati Indonesia semakin hari kian mengalami penyusutan. Hutan tropika dan kekayaan hayati didalamnya semakin menyusut, yang disebabkan oleh perubahan fungsi kawasan hutan, perubahan ekosistem, penebangan ilegal, penambangan ilegal, perburuan dan perdagangan satwa, serta intronduksi spesies asing, serta perubahan iklim. Hingga tahun 2010 telah dilaksanakan berbagai upaya peningkatan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati, seperti: identifikasi kerusakan dan rehabilitasi daerah penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) seluas 30 hektar, peresmian Taman Keanekaragaman Hayati Jawa Tengah pada tahun 2008, pengembangan kebijakan pemanfaatan sumber daya genetik, penyusunan RPP tentang pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati, 1 rancangan Permen tentang taman keanekaragaman hayati, penyusunan kebijakan pengelolaan Sumber Daya Genetik (SDG) dan kebijakan pengelolaan spesies asing, pengembangan database dan sistem informasi keanekagaman hayati, serta pengelolaan dan konservasi in-situ maupun ex-situ serta pengelolaan 10 danau dan situ di Jabodetabek. Permasalahan kuantitas timbulan sampah juga merupakan persoalan lingkungan hidup yang masih membebani Indonesia. Timbulan sampah di Indonesia mencapai 62,97 Gigagram pada tahun 2007, atau meningkat 2-4% pertahun. Meningkatnya timbulan sampah tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk dan penanganan sampah di masing-masing kota. Meningkatnya jumlah sampah tidak diimbangi oleh dukungan sarana dan prasarana yang memadai, menyebabkan semakin banyaknya sampah yang tidak diangkut. Belum adanya regulasi di tingkat nasional yang mengatur persoalan persampahan juga mengurangi upaya pengelolaan dan penanganan sampah secara optimal. Kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang tidak memadai juga merupakan persoalan lingkungan karena akan menimbulkan pencemaran air, tanah dan udara, selain menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat dan persoalan estetika. Upaya-upaya yang telah dilakukan dalam menanggulangi persoalan sampah adalah dengan pengesahan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, penerapan prinsip mengelola sampah dengan 3R (reduce, reuse dan recycle), penetapan sanksi pidana bagi pengimpor sampah dan pengelola sampah, pengelolaan gas metana dari sampah seperti pengomposan, pengembangan mekanisme Clean Development Mehanism (CDM), hingga peningkatan program Adipura yang bertujuan untuk mendorong pemerintah daerah dan masyarakat untuk mewujudkan kota bersih dan teduh dengan prinsip-prinsip good governance. Jumlah kota peserta Adipura semakin meningkat dari 360 kabupaten pada tahun 2007, menjadi 375 kabupaten pada tahun 2008. Peningkatan kualitas lingkungan dilakukan pula dengan pembatasan penggunaan bahan-bahan kimia atau yang disebut B3 (bahan berbahaya dan beracun) serta pengaturan terhadap pembuangan limbah B3. Penggunaan bahan kimia yang digolongkan sebagai II.10 - 9
POPs (Persistence Organic Pollutans) sudah tidak diperbolehkan lagi mulai pada tahun 2008, begitu pula dengan Bahan Perusak Ozon (BPO) yang berdasarkan ratifikasi Konvensi Wina (1985) dan Montreal Protocol (1987), Indonesia diwajibkan untuk mengendalikan penggunaannya. Namun hasil pemantauan POPs yang dilakukan di beberapa lokasi di Indonesia masih menunjukkan beberapa senyawa POPs seperti DDT masih terdeteksi di lingkungan, baik pada air sungai, sedimen sungai, maupun pada tanah. Limbah B3 sisa hasil kegiatan industri, pertanian, pertambangan dan rumah tangga menunjukkan jumlah yang lebih sedikit pada tahun 2008 bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun demikian, masih banyak pencemaran-pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah B3 yang tidak terkontrol. Akitivitas Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) merupakan salah satu sumber pencemar limbah B3 yang sangat signifikan. Upayaupaya penanganan penggunaan B3 dan limbah B3 yang telah dilakukan hingga tahun 2010 antara lain dengan menurunkan beban pencemaran limbah B3 sebesar 10 juta ton dengan upaya minimasi penggunaan B3, pengelolaan limbah B3 termasuk 3R (reduce, reuse, recycle) penerapan Program Peringkat (Proper) pada 667 perusahaan, pemantauan dan pemulihan lahan terkontaminasi limbah yang mencapai luasan total hingga ± 3,5 juta m2 pada tahun 2008, pengaturan izin pembuangan limbah B3 yang semakin dipertegas serta penanganan illegal traffic limbah B3. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dititikberatkan pula pada peningkatan kualitas kelembagaan yang masih rendah, peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan ketersedian data dan informasi yang memadai untuk perencanaan pengelolaan lingkungan hidup, serta peningkatan sumber-sumber pendanaan alternatif untuk lingkungan hidup. Upaya penyusunan perangkat regulasi, penegakan hukum serta peningkatan kerjasama internasional maupun peningkatan peran aktif masyarakat untuk penjagaan lingkungan juga terus ditingkatkan. Upaya yang telah dilakukan hingga tahun 2010 antara lain : meningkatkan kapasitas kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kapasitas infrastruktur pengelolaan lingkungan hidup, peningkatan kualitas sistem AMDAL, peningkatan sarana pengendalian dampak lingkungan dalam bentuk laboratorium uji lingkungan dan metode kalibrasi serta pengujian, pengembangan kebijakan dan penerapan standarisasi lingkungan dengan sistem manajemen lingkungan (SML) ISO 14001, menyusun laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2004 hingga 2008, evaluasi Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) 2004 hingga 2008, dan kajian status lingkungan 2002 – 2008, disusunnya laporan analisis kualitas sungai dengan metode QUAL2E, Kajian potensi bencana, pembuatan web-site Sistem Informasi Geografis (SIG), pembuatan tutorial SIG open based system dan konversi data spasial, meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui pola kemitraan, kegiatan adiwiyata, kegiatan aliansi strategis masyarakat peduli lingkungan, mengembangkan Debt for Nature Swaps (DNS) bidang lingkungan hidup sebesar Rp 18 miliar dari Pemerintah Jerman untuk menggerakkan Usaha Mikro Kecil (UMK) melalui bisnis dan investasi lingkungan, penyediaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam rangka meningkatkan kualtias air dan pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) bidang lingkungan hidup di daerah, mengembangkan perangkat ekonomi dan pendanaan lingkungan alternatif dengan penerapan mekanisme pembangunan bersih yang telah berhasil menyetujui 104 usulan proyek Clean Development Mechanism (CDM) melalui Komnas Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) hingga tahun 2009, 24 di antaranya telah diregristrasi di CDM Executive Board, penyelesaian kasus pidana, kasus perdata dan kasus sanksi adminsitrasi lingkungan.
II.10 - 10
10.1.5. Peningkatan Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan Peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan ditujukan untuk meningkatkan fungsi dan daya dukung sumber daya hutan. Hal ini dilakukan dengan berbagai upaya seperti pemantapan kawasan hutan melalui pemantapan tata batas dan penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan, serta peningkatan fungsi dan daya dukung daerah aliran sungai (DAS). Disamping itu peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan juga ditujukan untuk meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan hutan. Pada tahun 2009, upaya peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan telah dilakukan melalui: (1) penataan batas kawasan; (2) konservasi termasuk penanggulangan illegal logging dan kebakaran hutan, pengembangan jasa lingkungan dan rehabilitasi hutan dan lahan; (3) peningkatan fungsi daya dukung DAS; dan (4) peningkatan penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan Dalam rangka pelaksanaan penataan batas kawasan hutan, pada tahun 2009 telah dilaksanakan penataan batas sepanjang 1.086,39 km, terdiri dari batas luar sepanjang 846,92 km dan batas fungsi sepanjang 239,47 km. Untuk tahun 2010 diharapkan dapat dilaksanakan penataan batas sepanjang 3.400 km. Aktifitas ini diharapkan mendorong penetapan kawasan hutan sebesar 30% dari luas kawasan hutan di Indonesia. Sampai saat ini telah diselesaikan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di 5 provinsi. Pada tahun 2009 telah diselesaikan action plan KPH di 2 kabupaten, struktur institusi pengelola KPH dan data biofisik dan sosial-ekonomi-budaya area KHP tersebut. Tahun 2010 diharapkan dapat ditetapkan KPHP dan KPHL di 4 provinsi, dan KPHK di 10 provinsi. Sementara itu, upaya konservasi sumber daya hutan melalui kegiatan pengelolaan kawasan konservasi telah dilaksanakan di 50 taman nasional dan 483 kawasan konservasi lainnya (cagar alam, suaka margasatwa, taman buru dan hutan lindung). Upaya tersebut telah mendorong peningkatan kelestarian sumber plasma nutfah baik tumbuhan dan satwa di habitatnya serta meningkatnya fungsi penyangga bagi sistem kehidupan di sekitarnya. Dalam kurun waktu 2003 hingga 2007 kawasan konservasi telah bertambah seluas 1.063.894 ha. Capaian hingga tahun 2009 antara lain tersedianya instrumen recovery populasi dan habitat tumbuhan dan satwa liar (TSL), tersusunnya pedoman pelepasliaran; restocking; pembinaan habitat dan populasi; action plan jenis komodo, owa, tapir, kakak tua jambul kuning, ramin dan babi rusa; pelepasliaran TSL kunci sebanyak 100 ekor; dan peningkatan penangkaran TSL. Capaian hingga tahun 2010 antara lain meningkatnya populasi satwa dan tumbuhan yang terancam punah, meningkatnya penertiban peredaran satwa dan tumbuhan yang terancam punah, dan meningkatnya penangkaran dan pemanfaatan jenis keanekaragaman hayati secara lestari sebesar 1%. Upaya konservasi selama ini masih mendapat ancaman dari adanya kegiatan illegal logging dan kejadian kebakaran hutan. Untuk itu, upaya untuk menanggulangi praktek illegal logging telah dilakukan melalui antara lain operasi hutan lestari, operasi fungsional, gabungan dan rutin. Operasi tersebut telah berhasil menurunkan angka kasus illegal logging di Indonesia dari 161 kasus pada tahun 2008. Sementara itu, sampai dengan Juli 2009 baru tercatat 45 kasus illegal logging, serta berhasil menghindari potensi kerugian negara sebanyak Rp 25 triliun. Pada tahun 2011 upaya tersebut masih akan terus dilaksanakan melalui program/prioritas penyidikan dan perlindungan hutan. II.10 - 11
Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dilakukan melalui pembaharuan data sebaran hotspot secara periodik, antisipasi penanggulangan kebakaran hutan secara dini berdasarkan hotspot, peningkatan kesiagaan posko dan patroli kebakaran hutan, dan penguatan kelembagaan pengendali kebakaran hutan. Upaya tersebut telah berhasil mengurangi jumlah hotspot di dalam kawasan hutan, namun belum mampu mengurangi jumlah hotspot di luar kawasan hutan. Rata-rata jumlah hotspot tahun 2005-2009 berjumlah 58.890, nilai tiap tahunnya fluktuatif, yaitu tahun 2005 sebanyak 40.197, tahun 2006 sebanyak 146.264, tahun 2007 sebanyak 37.909, tahun 2008 sebanyak 30.616, dan tahun 2009 sebanyak 39.463. Diperkirakan pada tahun 2010 diturunkan sebesar 11.778 hotspot (atau sebesar 20%), sehingga pada akhir tahun 2010 diperkirakan jumlahnya menjadi 47.112 hotspot. Luas areal yang terbakar (baik di dalam dan di luar kawasan hutan) diperkirakan juga cenderung mengalami penurunan. Luas kawasan hutan yang terbakar terutama di 10 provinsi rawan kebakaran hutan pada tahun 2009 adalah 6.793,08 ha, sedangkan luas areal yang terbakar di luar kawasan hutan adalah sebesar 9.344 ha. Pada tahun 2010, luas kawasan hutan yang terbakar diharapkan akan turun seluas 679,31 (atau sebesar 10%), sehingga pada akhir tahun 2010 diperkirakan luas kawasan hutan yang terbakar sebesar 6.113,77 ha. Dalam rangka menunjang upaya konservasi hutan maka telah dikembangkan dan ditingkatkan berbagai kegiatan jasa lingkungan dan peningkatan keanekaragaman hayati. Sampai dengan pertengahan tahun 2009, terdapat 25 unit Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) yang berada pada 9 unit kawasan taman nasional, 15 unit berada di kawasan taman wisata alam, dan 1 unit berada di kawasan taman buru. Pengelolaan keanekaragaman hayati melalui aktivitas izin penangkaran tumbuhan dan satwa liar (TSL) juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, jumlah izin penangkar TSL dilindungi sebanyak 154 unit, sedangkan untuk TSL yang tidak dilindungi menjadi 52 unit. Penerimaan devisa dari aktivitas ini pada tahun 2008 sebesar Rp 2 triliun. Upaya untuk mempertahankan dan memulihkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) telah dilakukan dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan melalui berbagai kegiatan. Pada tahun 2009 telah dilaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) seluas 239.310 ha (kumulatif menjadi 1.146.279 ha, sehingga luas lahan kritis berkurang menjadi 29.043.721 ha), sedangkan tahun 2010 diperkirakan terjadi peningkatan luasan RHL seluas 200.000 ha. Sampai dengan triwulan ketiga tahun 2009, upaya-upaya rehabilitasi telah berhasil menurunkan laju deforestasi dan degradasi menjadi 0,9 juta ha per tahun. Penurunan laju degradasi dan deforestasi ini diperkirakan akan terus menurun pada tahun 2010 seiring dengan upaya-upaya rehabilitasi yang terus dilakukan. Luas areal yang ditanami dari berbagai kegiatan rehabilitasi seperti Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Hutan Tanaman Industri (HTI), pengayaan oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pembangunan model Unit Manajemen Hutan Meranti, Silvikultur Intensif (SILIN) dan rehabilitasi yang dilakukan PT. Perhutani hingga triwulan ketiga tahun 2009 mencapai 6.607.343 ha. Selain itu, dilakukan upaya-upaya pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemulihan fungsi dan daya dukung DAS di luar kawasan hutan. Upaya tersebut dilakukan melalui aksi penanaman pohon serentak, gerakan perempuan tanam dan pelihara, hari menanam pohon, dan kegiatan one man one tree. Untuk meningkatkan hutan kemasyarakatan (HKm), sampai dengan tahun 2009 telah dicadangkan calon lokasi HKm seluas 235.000 ha. Dari luasan tersebut telah diterbitkan ijin II.10 - 12
seluas 44.000 ha. Pada tahun 2010, calon lokasi HKm yang akan dicadangkan adalah seluas 400.000 ha, hutan desa seluas 100.000 ha dan fasilitasi hutan rakyat kemitraan seluas 50.000 ha. Dalam upaya menanggulangi lahan kritis di luar kawasan hutan juga telah dibangun hutan rakyat (HR). Sampai dengan tahun 2009 telah berhasil dibangun seluas 2.800.000 ha HR. Luas HR yang dibangun tahun 2009 adalah seluas 3.512 ha, sedangkan jumlah petani yang dilatih dalam rangka pengelolaan hutan rakyat sebanyak 540 orang. Diperkirakan tahun 2010 dapat dibangun HR seluas 50.000 ha. Pengembangan areal perbenihan pada tahun 2010 diperkirakan mencapai seluas 1.200 ha (atau sebesar 20% dari target 2014), sehingga luas kumulatif areal perbenihan pada akhir tahun 2010 menjadi 5.700 ha. Upaya ini diharapkan meningkatkan ketersediaan benih dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Dari 108 DAS prioritas, pada tahun 2010 telah disusun 22 rencana pengelolaan DAS secara terpadu (atau sebesar 20,37% dari target 2014). Dalam rangka upaya peningkatan penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan, telah dilaksanakan kegiatan peningkatan efektivitas rehabilitasi dan pencegahan degradasi sumber daya hutan, peningkatan produktivitas hutan, pengelolaan dan pelestarian keanekaragaman hayati, pemanfaatan dan pemasaran HHBK dan jasa hutan serta diversifikasi produk hasil hutan, sistem pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kelestarian sumber daya hutan sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat. Guna meningkatkan kapasitas sumber daya manusia telah dilakukan kegiatan diklat kehutanan yang terdiri dari diklat teknis dan administrasi kehutanan serta peningkatan jenjang pendidikan melalui penyelenggaraan Sekolah Menengah Kejuruan Kehutanan, diploma dan sarjana (S2 dan S3). Untuk mendukung pengurusan hutan dalam lingkup global telah dilaksanakan kerjasama luar negeri baik bilateral maupun multilateral. Dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat dilakukan dengan pembentukan 100 kelompok masyarakat produktif mandiri, dan penyaluran kredit pembangunan hutan tanaman (HTI/HTR) seluas 64.925 ha. 10.1.6. Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Sumber daya kelautan Indonesia yang terdiri dari pesisir, pulau pulau kecil dan lautan mempunyai peranan penting bagi pembangunan nasional baik dari aspek ekonomi, sosial, keamanan dan ekologis. Dengan total luas laut Indonesia sekitar 5,8 juta kilometer persegi (km2), yang terdiri dari 2,3 juta km2 perairan kepulauan, 0,8 juta km2 perairan teritorial, dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, 17.480 pulau dan panjang pantai 95.181 km Indonesia merupakan negara kepulauan yang terluas di dunia setelah Kanada. Lebih jauh lagi, kepulauan Indonesia sangat penting berperan dalam pembangunan nasional, serta berperan penting dalam siklus hidrologi dan keseimbangan alam. Dalam rangka mengamankan kedaulatan NKRI dan menjaga keberlangsungan sumber daya laut dari berbagai ancaman, termasuk illegal, unreported and unregulated fishing (IUU fishing), upaya yang telah dicapai pada tahun 2009 antara lain adalah (i) peningkatan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan dengan 24 kapal pengawas; (ii) operasi bersama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan TNI-AL, POLRI dan Bakorkamla sebanyak 109 kali; (iii) pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat melalui pembentukan 1.457 kelompok masyarakat pengawas; dan (iv) penanganan pelanggaran pelanggaran terhadap tindak pidana sebanyak II.10 - 13
119 kasus. Berbagai upaya tersebut telah berhasil menyelamatkan kekayaan negara sebesar Rp 484 miliar. Untuk menjaga dan memelihara ekosistem wilayah pesisir dan laut guna menjaga kelestarian sumber daya ikan pada tahun 2009 telah dilakukan rehabilitasi dan konservasi sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil antara lain melalui: (i) Pengelolaan kawasan konservasi perairan seluas 13,5 juta hektar, termasuk kawasan konservasi laut daerah (KKLD); (ii) Konservasi 4 jenis ikan yang dilindungi; dan (iii) Pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang pada 16 kabupaten/kota di 8 provinsi yang menghasilkan kondisi terumbu karang pada tahun 2009 adalah 5,56 persen dalam kondisi sangat baik, 25,89 persen kondisi baik, 37,10 persen dalam kondisi sedang, dan 31,45 persen dalam kondisi rusak; serta (iv) Pengembangan kerja sama antarnegara tetangga dalam pengelolaan ekosistem pesisir dan laut seperti Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) dan Bismarck South Solomon Marine Ecoregion (BSSME), Arafura and Timor Seas Action (ATSEA), serta peluncuran Coral Triangle Initiative (CTI); (v) Pengembangan kerja sama regional antarlaut Selat Karimata, Telok Tomini, Teluk Bone, dan lain-lain; (vi) Pengkajian dan pemacuan stok ikan. Dalam pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, telah dilakukan beberapa upaya pengelolaan secara terpadu dengan menerapkan ICM (integrated coastal management), inventarisasi data pulau-pulau kecil, pembangunan pulau-pulau kecil terluar melalui peningkatan sarana dan prasarana dasar di 4 pulau. Selain itu, dalam upaya untuk meningkatkan ketahanan wilayah pesisir dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan bencana, pada tahun 2009 telah dibangun 2.236 rumah ramah bencana. Selanjutnya, dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran dunia akan pentingnya peran pelestarian sumber daya kelautan dan mengantisipasi dampak perubahan iklim, Indonesia menjadi negara penggagas penyelenggaraan World Ocean Conference 2009 yang menghasilkan Manado Ocean Declaration yang disepakati oleh 76 negara untuk memasukkan isu kelautan di dalam agenda UNFCC. Sejalan dengan ini, upaya untuk mengurangi tekanan terhadap eksploitasi sumber daya ikan yang berlebihan pemerintah juga telah mengembangkan program pemberdayaan masyarakat. Upaya pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir lainnya, pada tahun 2009 mencakup 120 kab/kota, antara lain melalui pelaksanaan pembangunan Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) telah mencapai 225 SPDN, pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil (optimasi penangkapan, pelelangan dan penanganan ikan) untuk 4.380 Kelompok Usaha Bersama (KUB). Pada tahun 2010 pemberdayaan masyarakat pesisir terus dilakukan pada 120 kab/kota. Mengingat sumber daya kelautan dan perikanan masih belum dimanfaatakan secara optimal, maka pengembangan riset dan iptek merupakan upaya yang perlu didorong agar optimal dalam mendukung pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan. Dalam pengembangan riset dan Iptek kelautan dan perikanan, pada tahun 2009 telah dihasilkan teknologi perbenihan ikan yang berkualitas, pengembangan iptek dan teknologi tepat guna untuk masyarakat (iptekmas), penyebaran peta fishing ground yang di-update setiap seminggu sekali, dan pengembangan stasiun pemantauan data-data kelautan. Pada tahun 2010 kegiatan ini terus dilakukan meliputi wilayah yang lebih luas.
II.10 - 14
10.1.7. Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Bencana Alam serta Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Persoalan lain yang dilakukan dalam pembangunan lingkungan hidup adalah antisipasi terhadap perubahan lingkungan hidup global yaitu perubahan iklim. Indonesia sebagai negara tropis dan kepulauan, dikategorikan sebagai salah satu negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim saat ini sudah menjadi ancaman yang cukup serius bagi lingkungan. Tanda-tanda dari dampak perubahan iklim di Indonesia dapat dilihat dari adanya kenaikan temperatur udara, curah hujan, kenaikan permukaan air laut, dan perubahan musim yang ekstrim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan, banjir, longsor, dan bencana. Dampak perubahan iklim global pada akhirnya akan berpengaruh signifikan terhadap ketersediaan sumber daya air, ketahanan pangan dan energi yang jika tidak diantisipasi akan memperburuk kinerja pembangunan khususnya sektor sumber daya alam. Sebagai bentuk antisipasi mengatasi perubahan iklim global ini telah dilakukan beberapa upaya perbaikan kerusakan lingkungan yang mengarah kepada upaya mitigasi dampak perubahan iklim, serta adaptasi perubahan iklim global dengan meningkatkan upaya penyediaan informasi dini cuaca dan iklim. Pelaksanaan UNFCC di Bali pada tahun 2007 merupakan momentum yang memberikan arti kepada langkah Indonesia dalam merespon dampak perubahan iklim tersebut. Mengacu pada konvensi UNFCCC Article 3 para 4, upaya untuk merespon isu perubahan iklim harus diintegrasikan dengan program pembangunan nasional. Sampai saat ini telah dilakukan beberapa upaya perbaikan kerusakan lingkungan yang mengarah kepada upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim serta meningkatkan penyediaan informasi dini cuaca dan iklim. Dalam hal kebijakan, Indonesia telah menyusun dokumen Rencana Aksi Nasional untuk Menghadapi Perubahan Iklim, dan dokumen National Development Plan: Indonesia Respond to Climate Change, serta dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap yang berisikan peta jalan rencana-rencana mitigasi atau penurunan emisi masing-masing sektor pembangunan berdasarkan perhitungan ilmiah potensi emisi yang dikeluarkan. Sebagai wujud komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020, pada tahun 2010 Indonesia menyusun Rancangan Peraturan Presiden mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 2010-2020, yang selanjutnya akan dilaksanakan oleh masing-masing sektor terkait. Pengesahan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah juga merupakan salah satu komitmen Indonesia untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim akibat kumulasi gas rumah kaca, termasuk gas metana yang bersumber dari sampah. Adanya UU Pengelolaan Sampah akan mendorong tindak lanjut kesepakatan konferensi tentang perubahan iklim di Bali untuk menekan emisi gas-gas rumah kaca, serta tercapai perubahan yang signifikan dalam waktu lima tahun mendatang. Untuk mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta penanganan bencana, pembangunan meteorologi, klimatologi, kualitas udara dan geofisika serta penyediaan data dan informasi dini iklim, cuaca dan bencana yang tepat, cepat dan akurat dilakukan secara komprehensif. Hingga tahun 2010, dilakukan upaya-upaya antara lain : peningkatan pengembangan sistem peringatan dini cuaca, pengembangan meteorologi penerbangan dan maritim, pengembangan sistem peringatan dini iklim dan tsunami, dan peningkatan penelitian dan pengembangan meteorologi, klimatologi dan geofisika. Berdasarkan upaya tersebut, kecepatan waktu penyediaan informasi gempa bumi dan II.10 - 15
tsunami saat ini telah mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu di bawah 5 menit. Penayangan informasi cuaca dan kejadian gempa bumi di media massa dan media elektronika merupakan salah satu implementasi kerja sama dengan media massa dan elektronika dalam rangka percepatan penyebarluasan informasi cuaca dan gempa bumi. Di samping itu, untuk mendukung sektor pertanian, upaya peningkatan ketelitian prakiraan awal musim dan periode panjang musim telah dilakukan dengan menambah jumlah Zona Musim (ZOM). Selain itu, sebagai upaya antisipasi bencana dan dampak perubahan iklim di wilayah pesisir pada tahun 2008 telah dibangun 60 unit rumah ramah bencana di 11 lokasi dan dilakukannya uji coba early warning system di 2 lokasi, dan pada tahun 2009 dilakukan adaptasi dan mitigasi di 7 wilayah pesisir. Pada sektor kesehatan, telah dilakukan penelitian tentang perubahan iklim dan dampak sosio-ekonomi dalam rentang waktu tahun 1900-2000 serta skenario perubahan iklim pada rentang waktu tahun 2000-2010 untuk skala kabupaten. Diseminasi informasi banyak dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan serta keterlibatan berbagai instansi–instansi di luar BMKG yang mempunyai jaringan informasi komunikasi yang sudah tertata dengan baik. Kerja sama dalam bidang diseminasi informasi meteorologi dengan institusi TNI, POLRI, Kementerian Komunikasi dan Informasi, televisi, radio, provider sistem telekomunikasi merupakan upaya dalam rangka percepatan penyampaian informasi meteorologi dan geofisika. Penayangan informasi meteorologi dan geofisika melalui breaking news di televisi dan radio merupakan salah satu implementasi dari kerja sama dengan media komunikasi dalam rangka percepatan penyebarluasan informasi meteorologi dan geofisika. 10.2.
Permasalahan dan Sasaran Pembangunan Tahun 2011
10.2.1. Permasalahan Sampai saat ini, upaya untuk meningkatkan manfaat SDA dan peningkatan kualitas LH terus dilakukan. Meskipun demikian, permasalahan pemanfaatan SDA yang belum memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup masih banyak terjadi yang mengakibatkan daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan sumber daya alam semakin menipis. Penurunan kualitas SDA ditunjukkan dengan tingkat eksploitasi hutan yang semakin mengkhawatirkan akibat meningkatnya praktek pembalakan liar (illegal logging), meluasnya kebakaran lahan dan hutan, praktek penambangan liar, rusaknya wilayah laut akibat penangkapan ikan yang melanggar dan merusak (illegal and destructive fishing). Selain itu, meningkatnya konversi hutan alam, dan meluasnya alih fungsi lahan pertanian dan tambak untuk kegiatan ekonomi lainnya juga mempengaruhi tingkat produksi pangan yang dapat mengancam ketahanan pangan nasional. Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan ekonomi adalah masih belum optimalnya pemanfaatan sumber daya alam untuk pembangunan. Hal ini ditandai dengan tingginya tingkat eksploitasi sumber daya hutan dan energi untuk pembangunan, masih rendahnya pemanfaatan sumber daya perikanan dibanding potensinya, serta masih kurang optimalnya usaha pertanian, perikanan dan kehutanan dalam mendorong ketahanan pangan dan perekonomian nasional. 10.2.1.1.
Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
Pada tahun 2011, tantangan dan permasalahan yang masih akan dihadapi adalah memantapkan ketahanan dan kemandirian pangan yang bertumpu pada produksi dalam negeri. Produksi bahan pangan dalam negeri harus dapat mengimbangi atau bahkan II.10 - 16
melebihi kebutuhan pangan dan kebutuhan bahan baku industri. Kebutuhan pangan dalam negeri terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan daya beli, dan pergeseran pola pangan masyarakat. Selama ini, konsumsi energi masyarakat masih didominasi pangan dari kelompok padi-padian, khususnya beras. Untuk itu, upaya diversifikasi konsumsi pangan yang bersumber dari pangan lokal spesifik daerah perlu didorong dipercepat. Penganekaragaman konsumsi pangan dan pemenuhan pangan hewani dan ikan bagi masyarakat menjadi komponen penting dalam perbaikan pola konsumsi masyarakat agar sesuai dengan pola konsumsi pangan yang cukup dan bergizi seimbang. Lebih lanjut, sistem mutu dan penanggulangan masalah keamanan pangan; termasuk penanggulangan penyakit zoonosis, higienisasi, dan penggunaan bahan berbahaya dalam produk pangan; masih harus ditingkatkan dan menjadi perhatian bersama ke depan. Terkait penyediaan ikan untuk konsumsi masyarakat, kurang memadainya kondisi sarana dan prasarana pemasaran produk perikanan dalam negeri, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap nilai kandungan gizi ikan, dan rendahnya jaminan keamanan produk perikanan menyebabkan masih rendahnya tingkat konsumsi ikan. Tekanan terhadap kebutuhan pangan tersebut sangat terkait dengan kemampuan produksi pangan, pertanian, dan perikanan akibat dari menurunnya kapasitas sumber daya sebagai faktor utama. Penurunan kuantitas dan kualitas sumber daya lahan, tambak dan air, masih menjadi kendala dan keterbatasan dalam meningkatkan kemampuan produksi komoditas pangan ke depan. Alih fungsi lahan pangan ke non pertanian, degradasi lahan pertanian dan lahan tambak, keterbatasan sarana dan prasarana produksi pertanian dan perikanan, serta dampak negatif dari perubahan iklim menjadi permasalahan lain dalam upaya meningkatkan kemampuan produksi bahan pangan termasuk akses modal. Kendala dan permasalahan lain yang dihadapi dalam peningkatan ketahanan pangan dan revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan adalah jaminan penyediaan dan aksesibilitas masyarakat pertanian, perikanan, dan kehutanan terhadap input produksi. Permasalahan deforestasi, degradasi lahan dan hutan, pemanfaatan potensi yang tidak berkelanjutan (seperti overfishing di beberapa wilayah pengelolaan perikanan), serta pemanfaatan potensi sumber daya pertanian, perikanan, dan kehutanan yang masih belum optimal juga akan menjadi kendala dalam peningkatan produksi dan produktivitas. Peningkatan produksi dan produktivitas juga masih memerlukan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik dalam aspek input produksi maupun penanggulangan penyakit tumbuhan/tanaman dan kesehatan hewan/ikan, serta teknologi pengolahan kayu di sektor kehutanan. Di sektor kehutanan produksi Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun Hutan Rakyat (HR) belum dapat memenuhi kebutuhan kayu untuk industri (di luar pulp). Selain itu, terbatasnya akses petani, nelayan dan pembudidaya ikan terhadap input produksi (pakan, pupuk, dan benih), serta keterbatasan sarana dan prasarana pertanian, perikanan, dan kehutanan sangat mempengaruhi upaya peningkatan produksi dan produktivitas. Ketimpangan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian dan perikanan antarwilayah juga berpengaruh terhadap produksi. Selain itu, di sub sektor perikanan juga masih harus menghadapi kendala lain yaitu armada perikanan nasional yang didominasi oleh kapalkapal skala kecil menyebabkan cakupan areal penangkapan terbatas yang berakibat pada rendahnya tingkat produksi perikanan tangkap. Kondisi ini diperparah dengan adanya dampak perubahan iklim yang menyebabkan semakin kerapnya terjadi badai dan bencana alam lain yang turut menghambat upaya peningkatan produksi dan produktivitas pertanian, perikanan, dan kehutanan. Stabilitas harga pangan dan kemampuan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan II.10 - 17
menjadi permasalahan tersedndiri dalam peningkatan ketahanan pangan. Stabilitas harga pangan pada saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh keseimbangan permintaan dan produksi dalam negeri, namun juga sangat dipengaruhi oleh kondisi pangan di kawasan regional dan internasional karena semakin terbukanya pasar pangan dunia. Selanjutnya, aksesibilitas masyarakat miskin dan rawan pangan terhadap pangan juga akan menjadi perhatian utama pada saat ini dan ke depan karena akan sangat mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan individu. Kedua hal tersebut sangat terkait karena upaya menjaga stabilitas harga pangan domestik antara lain ditujukan agar masyarakat miskin dapat mengakses pangan dengan jumlah yang mencukupi dan harga terjangkau. Stabilisasi harga pangan sangat terkait dengan permasalahan pengelolaan logistik dan distribusi pangan yang harus mampu menjawab permasalahan belum meratanya kemampuan produksi pangan antarwilayah dan antarwaktu. Untuk itu, sarana dan prasarana distribusi pangan, termasuk pemasaran produk perikanan, yang merata masih harus terus ditingkatkan efektivitas dan efisiensinya. Kelancaran distribusi sangat berpengaruh terhadap kualitas produk perikanan, oleh sebab itu terbatasnya sarana dan prasarana dalam distribusi produk perikanan merupakan masalah yang perlu segera ditangani. Peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, perikanan, dan kehutanan dalam perdagangan dan pemasaran juga masih akan menjadi tantangan dan permasalahan dalam tahun mendatang. Walaupun kemampuan produksi beberapa komoditas pertanian, perikanan, dan kehutanan telah meningkat, namun daya saing produk pertanian Indonesia di pasar ekspor dan pasar domestik secara umum masih perlu ditingkatkan. Dalam upaya ini, kondisi sarana dan prasarana pertanian, perikanan, kehutanan, dan perdesaan perlu terus dikembangkan untuk dapat mendukung kelancaran proses produksi dan pengolahan produk pertanian, perikanan, dan kehutanan. Peningkatan nilai tambah dan daya saing selama ini juga masih terkendala oleh relatif rendahnya mutu produksi dan produk olahannya. Selain itu, peningkatan nilai tambah harus pula ditopang dengan perbaikan pasca panen dan pengembangan industri pengolahan yang berbasis produk pertanian, perikanan, dan kehutanan, yang selama ini belum berkembang baik. Lebih lanjut, ketersediaan pasokan bahan baku, pemasaran dan sistem distribusi secara umum juga perlu ditingkatkan untuk mendukung upaya peningkatan daya saing pertanian, perikanan, dan kehutanan. Dalam perdagangan internasional, perdagangan dan pemasaran produk pertanian, perikanan dan kehutanan masih menghadapi beberapa permasalahan dan hambatan, baik tarif maupun non tarif. Tingkat kemampuan berkompetisi dari industri kayu maupun kayu olahan dibandingkan dengan industri lainnya relatif masih rendah. Ke depan, kebijakan perdagangan internasional harus dikembangkan agar daya saing dan kemampuan ekspor pertanian, perikanan, dan kehutanan Indonesia semakin meningkat. Peran ilmu pengetahuan dan teknologi juga penting dalam upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing. Efisiensi alat-alat produksi pertanian, perikanan, dan kehutanan, termasuk efisiensi industri pengolahannya dan efisiensi peralatan pengolah masih menjadi tantangan ke depan. Industri dalam negeri juga harus diarahkan agar ketergantungan industri pertanian, perikanan, dan kehutanan dalam negeri terhadap input produksi impor dapat terus dikurangi dari waktu ke waktu. Peningkatan kapasitas masyarakat pertanian, perikanan, dan kehutanan, serta pengembangan kelembagaan pertanian, perikanan, dan kehutanan juga masih menjadi permasalahan. Efisiensi kelembagaan petani/petani hutan/nelayan/pembudidaya ikan masih perlu terus ditingkatkan. Dengan jumlah petani/petani hutan/nelayan/pembudidaya ikan yang relatif banyak, pengembangan kelembagaan petani/nelayan akan menjadi potensi untuk pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang sangat besar. Untuk itu, II.10 - 18
perlu dukungan peningkatan efektivitas sistem kelembagaan penelitian dan inovasi teknologi. Selain itu, kelembagaan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan selama ini belum mampu mendiseminasikan perkembangan dan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat secara luas. Di samping itu, kelembagaan pendanaan dan pembiayaan (permodalan) usaha pertanian, perikanan dan kehutanan juga masih belum berkembang yang menyebabkan petani/nelayan/pembudidaya ikan menghadapi kendala dalam mengakses modal yang diperlukan. Hal-hal tersebut merupakan sebagian penyebab dari belum efisiennya usaha pertanian/perikanan dan belum terintegrasinya kegiatan agribisnis/agroindustri di perdesaan yang sebagian besar masyarakatnya bertumpu pada sektor pertanian/perikanan/kehutanan. Kelembagaan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang efisien hendaknya mampu membangun keterkaitan dan sinergi seluruh kegiatan pertanian secara luas dari hulu sampai dengan hilir. 10.2.1.2.
Peningkatan Ketahanan dan Kemandirian Energi
Permasalahan sektor energi timbul karena adanya laju pertumbuhan peningkatan permintaan energi akibat kegiatan ekonomi dan bertambahnya jumlah penduduk, yang melebihi laju pertumbuhan pasokan energi. Selain itu kondisi geografis negara kepulauan, yang terdiri atas belasan ribu pulau besar dan kecil, serta luasnya wilayah nusantara, mempengaruhi tingkat pelayanan, efisiensi dan keandalan sistem penyediaan dan penyaluran energi di seluruh Indonesia. Dalam kurun waktu 2004-2008, walaupun pangsa minyak bumi dalam bauran energi nasional telah mengalami penurunan, namun volume pemakaiannya masih bertambah dari tahun ke tahun, dan diperkirakan akan terus tumbuh dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Kesenjangan antara konsumsi BBM dengan kemampuan memproduksi minyak mentah dan BBM di dalam negeri telah menyebabkan ketergantungan yang besar terhadap impor, baik impor minyak mentah maupun BBM. Ketergantungan terhadap impor ini menyebabkan ketahanan energi nasional menjadi rentan terhadap fluktuasi harga serta pasokan/permintaan minyak mentah dunia. Kesenjangan antara pasokan dan permintaan BBM dalam negeri juga disebabkan oleh menurunnya produksi minyak mentah dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini terjadi karena sebagian besar (lebih dari 90%) lapangan minyak yang saat ini beroperasi merupakan lapangan minyak tua (mature). Penambahan lapangan minyak baru saat ini tidak dapat mengimbangi laju kebutuhan minyak mentah dalam negeri. Pembukaan lapangan minyak baru juga terkendala oleh adanya konflik atau ketidakselarasan fungsi lahan dengan fungsi hutan konservasi dan lindung, perkebunan, dan sebagainya. Ketergantungan terhadap impor BBM juga disebabkan oleh karena infrastrukur kilang minyak masih sangat terbatas kapasitasnya. Saat ini, terdapat 10 (sepuluh) kilang minyak yang beroperasi, baik yang dimiliki oleh PT Pertamina (Persero) maupun oleh badan usaha swasta, dengan total kapasitas pengolahan sebesar 1,156 juta barel per hari. Karena konfigurasinya, tidak semua kilang yang ada dapat memproses minyak mentah dari dalam negeri dan hanya dapat memproses minyak mentah impor. Saat ini sekitar 48,4 persen energi yang dikonsumsi secara nasional berasal dari minyak bumi, sedangkan pemanfaatan sumber energi selain minyak bumi, seperti gas bumi, batubara, dan EBT masih terbentur oleh berbagai hal. Gas bumi belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Saat ini pemanfaatan gas untuk dalam negeri masih terkendala oleh kontrak-kontrak jangka panjang dari Perjanjian Jual Beli Gas yang ditandangani sebelum diterbitkannya UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dimana sebagian besar gas ini diekspor. Pemanfaatan gas untuk dalam negeri juga terkendala oleh terbatasnya II.10 - 19
infrastruktur di dalam negeri, seperti terminal penyimpan, jaringan transmisi dan distribusi gas, dan sebagainya. Demikian juga halnya pemanfaatan batubara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mengahadapi kendala keterbatasan infratruktur, baik berupa pelabuhan maupun jaringan pengangkut batubara. Energi panas bumi, walaupun merupakan salah satu EBT bersih lingkungan, untuk mengembangkannya dalam skala yang besar membutuhkan investasi yang tinggi, kesiapan institusi, peraturan yang berkaitan dengan harga uap/listrik, dan sumber daya manusia. Pengembangan panas bumi, menurut UU No. 27/2003 tentang Panas Bumi, diserahkan kepada Pemerintah Daerah, dan hal ini menuntut ditingkatkannya kemampuan aparat Pemerintah Daerah. Untuk mengembangkan energi nuklir, kendala terbesar yang dihadapai adalah kekhawatiran masyarakat terhadap pengelolaan limbah uranium, disamping dibutuhkannya nilai investasi yang tinggi, dan teknologi tinggi maupun kesiapan sumber daya manusia. Demikian pula halnya dengan energi surya yang sampai saat ini belum dapat berkembang menjadi salah satu sumber energi alternatif yang dapat digunakan secara masal. Hal ini disebabkan oleh karena biayanya yang relatif masih tinggi. Meskipun telah banyak kemajuan dalam upaya meningkatkan efisiensi dalam penyediaan dan pemanfaatan energi, inefisiensi masih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya angka elastisitas energi, dan intensitas energi nasional, yakni sekitar 400 SBM/juta US$ PDB (2008), melebihi angka-angka intensitas energi negara-negara di Asean, seperti Malaysia (335 SBM/juta US$ PDB), dan jauh diatas rata-rata negara maju yang tergabung dalam OECD (136 SBM/juta US$ PDB). Inefisiensi terutama terjadi dalam pemakaian BBM di sektor transportasi perkotaan yang disebabkan oleh belum melembaganya layanan sistem transportasi umum masal dengan konsumsi energi rendah. Walaupun dirancang untuk menyediakan energi yang terjangkau oleh masyarakat luas, subsidi harga BBM/LPG dan listrik ikut menyumbang terhadap inefisiensi dan pemborosan penggunaan energi – tidak mendorong prakarsa masyarakat untuk melakukan penghematan energi. Disamping menyumbang terhadap pemborosan, subsidi harga BBM juga melemahkan upaya penggunaan energi alternatif selain BBM. Harga energi non-BBM menjadi tidak lagi kompetitif, jauh diatas harga energi BBM bersubsidi. Hal ini berdampak terhadap tidak berkembangnya pengusahaan EBT, seperti tenaga surya, angin, BBN, dan sebagainya. Konsumsi energi yang inefisien juga berdampak kepada laju peningkatan emisi karbondioksida (CO2). Saat ini emisi CO2 dari sektor energi menyumbang sekitar 14% dari total emisi CO2 secara nasional, kedua sesudah emisi yang bersumber dari deforestasi. Disamping itu, kepedulian masyarakat dunia terhadap fenomena perubahan iklim global semakin tinggi, namun upaya-upaya mitigasi dari fenomena perumbahan iklim ini, yakni penurunan emisi CO2 di tingkat nasional melalui pemanfaatan jenis bahan bakar dan teknologi bersih/ramah lingkungan, masih dalam taraf awal dan belum membuahkan konsensus yang melembaga. Disamping inefisiensi, penyediaan energi final, terutama listrik dan BBM, juga terkendala oleh terbatasnya tingkat pelayanan infrastruktur energi, seperti fasilitas produksi, pengolahan, pengangkutan dan distribusi terutama didaerah-daerah perdesaan, terpencil, dan perbatasan. Hal ini mengakibatkan ongkos penyediaan energi menjadi tinggi serta harga energi yang harus dibeli masyarakat menjadi mahal, dan akhirnya akses masyarakat terhadap energi menjadi terkendala. Rendahnya akses akan energi ditunjukkan oleh rendahnya konsumsi energi per kapita, yakni sekitar 0,467 SBM.
II.10 - 20
10.2.1.3.
Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Pertambangan
Permasalahan penting yang dihadapi sektor pertambangan adalah rendahnya minat dalam investasi untuk pengusahaan mineral dan batubara. Keadaan ini disebabkan belum optimalnya sistem insentif fiskal untuk menarik masuknya investor baru dalam usaha pertambangan. Berbagai kegiatan usaha pertambangan mulai dari eksplorasi, eksploitasi, serta pengolahan hasil tambang memerlukan dana yang besar, dan oleh karena itu pembangunan di bidang pertambangan ini masih sangat tergantung kepada investor skala besar, terutama investor asing. Investasi asing, di samping membawa modal, juga sekaligus memasukkan kemampuan teknologi, manajemen, dan saluran pemasaran. Namun, persaingan untuk menarik investasi tersebut, baik antarnegara maupun antarsektor ekonomi di dalam negeri, semakin ketat dalam tahun-tahun mendatang. Di samping itu, pembangunan di bidang pertambangan dihadapkan pada masih terbatasnya jumlah maupun kualitas sumber daya manusia profesional dalam penguasaan teknologi tenaga-tenaga pertambangan, sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Kegiatan eksplorasi dan pengusahaan pertambangan pada masa mendatang cenderung semakin mengarah ke daerah yang lebih sulit dan terpencil. Hal ini menuntut perlunya upaya mempercepat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pertambangan yang lebih maju. Sampai saat ini keterkaitan usaha pertambangan dengan industri pengolahan dan sektor-sektor lainnya belum berkembang. Hal ini berakibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh nilai tambah yang potensial, serta ketergantungan industri dalam negeri yang berlebihan terhadap impor bahan baku hasil tambang. Dalam kaitan itu, meningkatkan industri pengolahan hasil tambang, pengembangan serta penerapan standardisasi produk dan jasa pertambangan,merupakan tantangan yang harus mendapatkan perhatian khusus dalam rangka mengembangkan keterkaitan usaha pertambangan dengan sektor industri secara efisien. Permintaan akan komoditi tambang, terutama batubara, dari luar negeri meningkat dari tahun ke tahun, terutama apabila harga minyak mentah dunia meningkat. Peningkatan permintaan ini diikuti dengan peningkatan produksi dan expor batubara. Namun di lain pihak, kebutuhan batubara di dalam negeri meningkat dengan tajam, terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar pembangkit listrik. Domestic Market Obligation (DMO) bagi pengusaha batubara menjadi sesuatu yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan batubara di dalam negeri. Amanat UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU No. 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan peran lebih besar kepada daerah belum diikuti dengan peningkatan kemampuan teknis dan managerial aparat Pemerintah Daerah. Karakterisktik industri pertambangan yang unik dan khusus memerlukan pemahaman yang mendalam, baik dari segi teknis penambangan, pembiayaan, maupun penanganan dampak sosial/lingkungan dari kegiatan penambangan, termasuk reklamasi dan konservasi. Akibat tidak adanya kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan menyebabkan adanya permasalahan-permasalahan dalam perijinan, pengawasan eksploitasi dan produksi, serta pengendalian dampak lingkungan. Di samping itu, pelimpahan kewenenangan penguasaan kegiatan pertambangan dari pemerintah pusat ke daerah sering menimbulkan ketidakpastian hukum dan usaha jika tidak diikuti dengan harmonisasi peraturan dan perundangan yang berlaku. Indonesia selain memiliki cadangan mineral berskala besar juga memiliki cadangan mineral berskala kecil dan tersebar di banyak tempat. Cadangan mineral tersebut sering II.10 - 21
tidak efisien jika diusahakan secara modern dan menggunakan teknologi canggih, tetapi masih ekonomis jika diusahakan oleh pertambangan rakyat. Pertambangan jenis ini sering diusahakan oleh rakyat setempat tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan ataupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, usaha pertambangan rakyat secara tradisional tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat penambang secara berarti. Kegiatan usaha pertambangan banyak menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup fisik meliputi air, udara, tanah, dan bentang alam, ataupun nonfisik seperti sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Persyaratan lingkungan yang semakin ketat di tingkat nasional dan internasional memerlukan perhatian yang semakin besar terhadap aspek lingkungan hidup dalam kegiatan pertambangan. Di samping itu, pembangunan pertambangan sebagai upaya pemanfaatan sumber daya alam belum dilaksanakan, ditata, dan dikembangkan secara terpadu dengan pembangunan wilayah dalam suatu kerangka tata ruang yang terintegrasi. Kegiatan perencanaan dan pengembangan pertambangan, baik oleh swasta maupun Pemerintah, menuntut tersedianya data dan informasi geologi sumber daya mineral secara lengkap dan rinci. Dewasa ini upaya pengumpulan, pengolahan, penyimpanan serta pemanfaatan informasi geologi dan sumber daya mineral belum sepenuhnya mampu memberikan informasi secara cepat, lengkap dan efisien. Sistem informasi geologi dan sumber daya mineral perlu dipadukan dengan memanfaatkan teknologi informasi yang mutakhir. Belum terpadunya konsep penataan ruang juga menjadi kendala dalam pengembangan usaha pertambangan karena sering mengakibatkan tumpang tindih dalam pemberian hak pemanfaatan lahan dan ruang. Tumpang tindih lahan antara kawasan tambang dan kawasan hutan lindung/konservasi telah menghambat laju pertumbuhan investasi eksplorasi tambang. Sebagian besar kawasan tambang yang sudah dikeluarkan ijin penambangannya berada dikawasan hutan lindung, yang umumnya ditetapkan kemudian. Konflik fungsi peruntukan lahan ini telah mengurangi jaminan hukum dalam pengusahaan pertambangan. Untuk itu perlu ada harmonisasi yang lebih efektif antara pemanfaatan potensi mineral dan batubara dengan pelestarian jasa lingkungan kawasan hutan.
10.2.1.4.
Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup.
Walaupun sudah dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kerusakan lingkungan hidup namun pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup masih terus terjadi. Pencemaran dari aktivitas industri, pembangunan infrastruktur, eksploitasi sumberdaya mineral, limbah domestik serta teknologi yang tidak ramah lingkungan masih terus berjalan. Di beberapa lokasi, tingkat pencemaran saat ini terhadap ekosistem sudah melebihi baku mutu lingkungan. Akibatnya daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam mendukung program-program pembangunan menjadi menurun. Kerusakan lingkungan yang terus terjadi akibat pembangunan yang tidak berpihak pada lingkungan juga meningkatkan timbulnya bencana alam yang merugikan materi maupun nyawa. Untuk itu diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi dari hulu ke hilir dan lintas sektoral, dengan penitikberatan pada upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup dan pencegahan perusakan lingkungan di masing-masing sektor. Permasalahan lainnya yang dihadapi dalam penanganan lingkungan adalah adalah rendahnya kapasitas kelembagaan pengelola lingkungan hidup, terutama pada sumber daya II.10 - 22
manusia pengelola. Selain itu, ketersediaan sistem data dan informasi juga masih perlu diperbaiki. Hal ini mempengaruhi ketepatan perencanaan, monitoring dan evaluasi penanganannya. Untuk itu diperlukan peningkatan kualitas kelembagaan pengelola lingkungan hidup dan kapasitas sumber daya manusia dan institusi serta sistem informasi lingkungan hidup yang terintegrasi. Keberhasilan pembangunan, di sisi lain, menimbulkan kerusakan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya telah dilakukan dari tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, karena masih rendahnya kesadaran masyarakat, pendekatan pelaksanaan pembangunan yang kurang berwawasan lingkungan serta kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati yang belum terpadu, maka masih diperlukan upaya-upaya pelestarian keanekaragaman hayati yang berkelanjutan dan didukung oleh semua pemangku kepentingan. Berkaitan dengan permasalahan ini, Bappenas, pada tahun 2003, telah menerbitkan dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2003-2020. Dokumen ini disusun dan disepakati oleh para pihak baik di tingkat nasional maupun regional. Sekretariat UNCBD juga telah merujuk dokumen ini sebagai dokumen nasional Indonesia. Selain berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, pemanfaatan dan pengelolaan SDA sebagai sumber daya ekonomi juga berpotensi menimbulkan konflik antar daerah. Penanganan konflik ini sudah diagendakan dalam RPJMN 2004-2009 maupun pada perencanaan pembangunan tahunan. Namun demikian belum diterjemahkan dalam bentuk program dan kegiatan yang nyata. Hal ini mempengaruhi ketidakjelasan hak dan kewenangan untuk mencapai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan lestari. Untuk itu diperlukan upaya untuk mengatasi konflik dengan merumuskan kembali peraturan-peraturan mengenai perlindungan lingkungan dan penegakan hukumnya secara konsisten, penataan ruang bersama yang memperhatikan kelestarian dan keseimbangan pemanfaatan SDA dan LH oleh semua pihak, membangun mekanisme penyelesaian konflik di tingkat pusat, regional dan lokal untuk mencegah kemungkinan timbulnya konflik antarsektor pembangunan serta antara wilayah ekologis dengan administratif dalam hal pemanfaatan SDA. Perumusan perangkat regulasi pelaksana UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diperlukan pula sebagai upaya perbaikan kualitas dan konservasi lingkungan hidup. 10.2.1.5.
Peningkatan Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan
Secara umum dalam lima tahun terakhir ini berbagai permasalahan, hambatan, dan tantangan dalam pembangunan kehutanan adalah belum optimalnya pengelolaan kawasan hutan dalam rangka pelestarian, pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya hutan, serta masih tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan. Belum optimalnya pengelolaan kawasan hutan salah satunya disebabkan oleh belum terselesaikannya tata batas kawasan hutan. Ketidakjelasan tata batas kawasan ini memberikan ancaman pada pengelolaan kawasan hutan terutama di kawasan konservasi. Ketidakjelasan batas kawasan hutan juga memicu terjadinya tumpang tindih kawasan hutan dengan kegiatan sektor lain serta alih fungsi kawasan hutan untuk penggunaan lain di luar kehutanan. Masih tingginya kawasan hutan berstatus ‘open access’ (tidak dikelola oleh institusi pengeloa hutan seperti KPH) juga merupakan ancaman terhadap pengelolaan hutan. Belum jelasnya tata batas kawasan tersebut juga menjadi salah satu pemicu terjadinya II.10 - 23
deforestasi dan degradasi hutan. Dalam lima tahun terakhir ini, laju deforestasi mencapai sekitar 1 juta ha per tahun. Hutan yang mengalami degradasi adalah kawasan hutan yang mengalami penurunan kualitas ekosistem hutan, dari hutan primer ke hutan sekunder, dan dari hutan sekunder menjadi semak belukar dan alang-alang yang saat ini mencapai lebih dari 50 juta hektar. Laju deforestasi dan degradasi hutan yang cukup tinggi tersebut merupakan penyebab meningkatnya luas lahan kritis. Luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia mencapai 30,19 juta ha yang tersebar di 472 Daerah Aliran Sungai (DAS). Dari target rehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 5 juta ha sampai dengan tahun 2009 baru tercapai 2,029 juta ha. Permasalahan lain yang menyebabkan kerusakan kawasan hutan adalah kejadian kebakaran hutan dan tekanan demografi. Masih banyaknya titik panas (hot spot) merupakan permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan kehutanan. Sementara itu, kawasan konservasi seluas 27.283.769,55 ha dan hutan lindung seluas 31,60 juta ha saat ini juga mengalami tekanan alih fungsi oleh masyarakat sehingga dikhawatirkan mengganggu fungsi dan perannya sebagai penyangga kehidupan. Tekanan demografi kepada kawasan konservasi menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat satwa yang berdampak pada menurunnya atau terancam punahnya populasi tanaman dan satwa. Luas kawasan konservasi yang dirambah saat ini mencapai 460.407,89 ha, beberapa habitat endangered spesies mengalami ancaman kepunahan. Di samping itu, perdagangan tanaman dan satwa liar yang terancam punah masih terjadi yang diakibatkan kemampuan aparat yang masih rendah serta belum terpenuhinya sarana dan prasarana pendukung. Peran hutan sebagai penyangga kehidupan dan habitat alami saat ini belum dinilai sebagai jasa lingkungan yang diperhitungkan. Hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan dari ekosistem hutan belum tercermin pada penilaian total forest value. Hutan sebagai regulator air, sumber keanekaragaman hayati, udara bersih, keseimbangan iklim, keindahan alam, dan kapasitas asimilasi lingkungan belum mendapatkan penilaian ekonomi. 10.2.1.6.
Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan
Di sektor kelautan masih terdapat kendala dan tantangan dalam upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan bagi pembangunan serta mengoptimalkan fungsi laut sebagai sistem penyangga kehidupan dan kekayaan plasma nutfah. Masih merebaknya praktek IUU dan destructive fishing. Pencurian ikan (illegal fishing) masih banyak terjadi baik oleh kapal-kapal domestik dengan atau tanpa ijin maupun kapal-kapal asing di perairan teritorial maupun di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Hal ini diperburuk oleh upaya pengendalian dan pengawasan yang belum optimal akibat kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut. Sementara itu, penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) seperti penggunaan bahan peledak dan racun (potasium) masih banyak terjadi. Dari berbagai kasus illegal fishing selama ini, modus operandi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal asing maupun eks asing antara lain pelanggaran tanpa dokumen izin, menyalahi fishing ground, menyalahi ketentuan alat tangkap, transhipment di laut, pemalsuan dokumen dan manipulasi hasil tangkapan atau ikan yang diangkut. Selain itu, habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak sehingga menyebabkan menurunnya ketersediaan sumber daya plasma nutfah dan meluasnya abrasi pantai. Kerusakan habitat ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan seperti pantai utara Pulau Jawa dan pantai timur Pulau II.10 - 24
Sumatera. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove serta terjadinya degradasi sebagian besar terumbu karang dan padang lamun telah mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperburuk oleh penerapan perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat. Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan perairannya. Perubahan lingkungan dan abrasi pantai mengancam keberadaan lahan produktif dan wilayah pariwisata. Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Kondisi diperparah dengan adanya dampak perubahan iklim terhadap wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Permasalahan lainnya adalah belum optimalnya pengelolaan pulau-pulau kecil. Indonesia memiliki banyak sekali pulau-pulau kecil, tetapi lebih dari tiga dasawarsa terakhir pulau-pulau kecil tersebut kurang atau tidak memperoleh perhatian dan atau tersentuh kegiatan pembangunan. Wilayah perbatasan dan terpencil kondisinya masih terbelakang, terutama di pulau kecil perbatasan, wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan seperti pulau-pulau terdepan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Hal lainnya yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan sumber daya kelautan adalah masih rendahnya pemanfaatan Rencana Tata Ruang sebagai acuan dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Pembangunan kelautan yang dilakukan di suatu wilayah saat ini masih sering dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya. Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya kelautan secara berkelebihan sehingga menurunkan kualitas (degradasi) dan kuantitas (deplesi) sumber daya kelautan dan lingkungan hidup. Selain itu, seringkali pula terjadi konflik pemanfaatan ruang antarsektor akibat kurangnya pengendalian dalam pemanfaatan ruang pesisir. Minimnya riset teknologi kelautan dan penerapannya untuk mendukung pembangunan kelautan nasional, termasuk riset sumber daya kelautan di laut dalam. Lemahnya sinergi kebijakan Iptek nasional, termasuk kelautan, menyebabkan kegiatan Iptek belum sanggup memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan, industri, dan Iptek belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri kelautan dan perikanan. Di samping itu, kebijakan fiskal juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan Iptek kelautan dan perikanan.
II.10 - 25
10.2.1.7.
Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Bencana Alam serta Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
Penanganan isu perubahan iklim (climate change) baik berupa kegiatan adaptasi maupun mitigasi belum dilaksanakan secara optimal di Indonesia. Padahal Indonesia sebagai negara kepulauan yang melimpah sumberdaya alam dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di daerah tropis, mempunyai posisi yang strategis untuk berperan dalam menangani isu ini. Program adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim mutlak dilakukan, yang selain untuk menghindari dampak perubahan iklim juga untuk mengurangi degradasi kualitas lingkungan hidup. Untuk itu diperlukan adanya upaya perubahan paradigma pembangunan yang rendah emisi, serta penyiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim. Dalam hal penanganan perubahan iklim dan bencana alam, walaupun sudah dilakukan upaya penyediaan sistem informasi yang cepat namun masih diperlukan peningkatan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini dapat mempengaruhi pada akurasi informasi yang tersedia. Untuk itu diperlukan peningkatan teknologi instrumensi penyampaian informasi, penambahan sebaran peralatan observasi dan kalibrasi, peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelenggaraan dan integrasi informasi dari aspek Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara dan Geofisika (MKKuG), serta metoda diseminasi informasi potensi tsunami, dan produk informasi MKKuG lainnya kepada masyarakat yang lebih luas. Permasalahan lainnya yang dihadapi dalam penanganan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim ialah rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan institusi pengelola. Selain itu, ketersediaan sistem data dan informasi juga masih perlu diperbaiki. Hal ini mempengaruhi ketepatan perencanaan, monitoring dan evaluasi penanganannya. Untuk itu diperlukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan institusi serta sistem informasi lingkungan hidup yang terintegrasi. 10.2.2. Sasaran Secara umum, sasaran pokok yang ingin dicapai dalam pembangunan SDA dan LH pada RKP 2011 adalah sebagai berikut: (i) meningkatnya kontribusi pembangunan SDA dan LH terhadap pertumbuhan perekonomian nasional serta (ii) tetap terjaganya kualitas SDA dan LH, dengan kualitas air, udara, lahan dan hutan minimal dapat terjaga seperti saat ini atau bahkan meningkat. 10.2.2.1.
Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
Sasaran utama prioritas Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pada tahun 2011 adalah: (1) terpeliharanya dan meningkatnya tingkat swasembada bahan pangan pokok; (2) menurunnya penduduk dan daerah yang rentan terhadap rawan pangan; (3) terjaganya stabilitas harga komoditas pangan; (4) meningkatnya ketersediaan dan konsumsi sumber pangan protein hewani dan ikan; (5) meningkatnya nilai tambah dan daya saing produk pertanian, perikanan, dan kehutanan; (6) tercapainya tingkat pertumbuhan PDB sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan sekitar 3,7 persen; (7) tercapainya indeks Nilai Tukar Petani (NTP) diatas 105 dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) sekitar 107. Selain sasaran utama tersebut, sasaran antara yang akan dicapai meliputi: (i) II.10 - 26
terpeliharanya swasembada beras dan meningkatnya swasembada bahan pangan lain (jagung, kedele, gula, daging sapi, dan susu) dari produksi dalam negeri, dengan sasaran produksi padi 68,8 juta ton GKG, produksi jagung 22,0 juta ton, produksi kedelai 1,6 juta ton, produksi gula 3,9 juta ton, dan produksi daging sapi 439 ribu ton; (ii) meningkatnya produksi perikanan menjadi 12,3 juta ton; (iii) berkembangnya usaha hutan rakyat untuk bahan baku industri pertukangan 100 ribu, hutan desa 200.000 ha, dan hutan kemasyarakatan 800.000 ha; (iv) penambahan tanaman HTI dan HTR mencapai 1 juta ha; (v) peningkatan produksi hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan jasa lingkungan sebesar 2%; (vi) pengelolaan logged over area (LOA) oleh pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi seluas 650.000 ha. Sasaran antara selanjutnya adalah: (vii) meningkatnya kualitas dan keragaman konsumsi pangan masyarakat dengan pencapaian skor Pola Pangan Harapan (PPH) mencapai 88,1; (viii) meningkatnya ketersediaan ikan untuk dikonsumsi menjadi 31,6 kg per kapita per tahun; (ix) meningkatnya volume dan/atau nilai ekspor produk pertanian, perikanan, dan kehutanan strategis, dengan nilai ekspor hasil perikanan menjadi USD 3,2 miliar; (x) meningkatnya Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) berbahan baku kayu berdiameter kecil, dari hutan tanaman, serta limbah menjadi 30 % dari total industri yang ada; (xi) sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari kepada 17 unit manajemen hutan tanaman dan 20% unit Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) bersertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL); (xii) sebesar 20% produksi tebangan bersertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK); (x) efisiensi penggunaan bahan baku industri kehutanan rata-rata 4%.
10.2.2.2. Peningkatan Ketahanan dan Kemandirian Energi Pembangunan ketahanan dan kemandirian energi dilakukan untuk mencapai beberapa hal, yakni: (a) diversifikasi atau bauran energi yang dapat menjamin kelangsungan dan jumlah pasokan energi di seluruh wilayah Indonesia dan untuk seluruh penduduk Indonesia dengan tingkat pendapatan yang berbeda-beda; (b) meningkatnya penggunaan EBT dan berpartisipasi aktif dan memanfaatkan berkembangnya perdagangan carbon secara global; (c) meningkatnya efisiensi konsumsi dan penghematan energi baik di lingkungan rumah tangga maupun industri dan sektor transportasi; dan (d) meningkatnya produksi dan pemanfatan energi yang bersih dan ekonomis. Sasaran yang akan dicapai dalam pembangunan ketahanan dan kemandirian energi pada tahun 2011 adalah sebagai berikut: (i) tercapainya produksi gas bumi sebesar 912 MBOPD dan produksi gas bumi sebesar 1.593 MBOPD; (ii) meningkatnya produksi BBM 39,9 juta KL, LPG 2 juta ton, LNG 23,29 juta ton; (iii) meningkatnya cadangan minyak bumi menjadi 8.435,19 milyar barel, gas bumi 171.1 TSCF; (iv) Tercapainya produksi BBN yakni bio-diesel 1.287 ribu KL and bio-ethanol sebesar 694 ribu KL dan penggunaan BBN dalam pemakaian bahan bakar total, yakni bio-diesel 4% dan bio-ethanol 3%; (v) tercapainya pengalihan pemakaian minyak tanah ke LPG sebesar 77,7 persen; (vi) tercapainya penggunaan panas bumi PLTP 1261 MW, mikrohidro 1425 MW, tenaga surya PLTS 4.598 MW dan tenaga angin PLT angin 0,3 MW dan (vii) tercapainya efisiensi pemanfaatan energi sebesar 1,60.
II.10 - 27
10.2.2.3. Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Pertambangan Pembangunan peningkatan pengelolaan sumber daya mineral dan pertambangan dilakukan untuk mencapai beberapa hal, yakni: (i) meningkatnya produksi dan jenis produk tambang untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar dan bahan baku di dalam negeri; (ii) terwujudnya penambangan yang efisien dan produktif didukung oleh kemampuan penguasaan teknologi, kualitas sumber daya manusia dan manajemen usaha pertambangan; (iv) meningkatnya peran serta masyarakat, terutama melalui wadah koperasi, dalam pengusahaan pertambangan, terutama pertambangan rakyat; (v) meluasnya kegiatan pengusahaan pertambangan yang mendukung pengembangan wilayah, terutama kawasan timur Indonesia; (vi) tersedianya pelayanan informasi geologi/sumber daya mineral, baik untuk keperluan eksplorasi, penataan ruang, reklamasi kawasan bekas tambang, maupun mitigasi bencana alam. Sasaran produksi pertambangan mineral dan batubara yang akan dicapai pada tahun 2011 adalah: (i) tercapainya produksi batubara 280 juta ton, dengan Domestic Market Obligation sebanyak 93 juta ton; (ii) tercapainya produksi timah sebesar 105 ribu ton; (iii) tercapainya produksi bijih nikel sebesar 11,2 juta ton, feronikel sebesar 18,64 ribu ton, dan nikel matte sebesar 82,37 ribu ton; (iv) tercapainya produksi bauksit sebesar 10,49 juta ton; (v) tercapainya produksi konsentrat tembaga sebesar 644 ribu ton; (vi) tercapainya produksi emas sebesar 91,171 ton dan perak sebesar 246,6 ton; dan (vii) tercapainya produksi bijih besi sebesar 4,2 juta ton.
10.2.2.4. Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup. Dari sektor lingkungan hidup, secara umum, sasaran pembangunan yang ingin dicapai adalah mengelola daya dukung dan memulihkan kualitas daya tampung lingkungan hidup. Sasaran khusus yang hendak dicapai antara lain adalah: (i) terkendalinya pencemaran dan pencegahan perusakan lingkungan hidup; (ii) terjaganya kelestarian SDALH dan kemampuan SDA dalam mendukung pembangunan berkelanjutan; (iii) meningkatnya kapasitas sumber daya manusia pengelola lingkungan, menguatnya kelembagaan pengelola lingkungan hidup, harmonisnya kerangka regulasi dan terlaksananya kepastian hukum dan penyelesaian konflik pemanfaatan lingkungan hidup, serta tersedianya data dan informasi kualitas SDA-LH sebagai dasar perencanaan pembangunan.
10.2.2.5. Peningkatan Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan Sasaran yang akan dicapai dalam konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan hingga tahun 2011 (kumulatif dari tahun 2010) adalah: (i) pengukuhan kawasan hutan terutama dengan penyelesaian tata batas kawasan hutan (batas luar dan batas dalam) sepanjang 8.000 km; (ii) pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) dengan penetapan wilayah KPH, KPHK, dan KPHL di 10 provinsi serta penyusunan peraturan pengelolaan KPH dan pembuatan peta areal kerja dan peta pencadangan; (iii) penyusunan data dan informasi geospasial dasar tematik kehutanan, data dan informasi potensi kayu, data dan informasi pendugaan karbon kawasan hutan; (iv) pembangunan hutan tanaman (HTI/HTR) seluas 1.000.000 ha; (v) penurunan hotspot kebakaran hutan Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi hingga 36%; (vi) pengelolaan 50 taman nasional dan 477 unit II.10 - 28
kawasan konservasi; (vii) rehabilitasi hutan, lahan, dan reklamasi hutan di DAS prioritas; pembinaan penyelenggaraan pengelolaan DAS; (viii) fasilitasi dan pelaksanaan rehabilitasi hutan pada DAS prioritas seluas 320.000 ha; fasilitasi rehabilitasi lahan kritis pada DAS prioritas seluas 200.000 ha; fasilitasi pengembangan hutan kota seluas 2000 ha; fasilitasi rehabilitasi hutan mangrove, gambut, dan rawa seluas 120.000 ha; (ix) fasilitasi penetapan areal kerja pengelolaan HKm seluas 800.000 ha dan hutan desa seluas 200.000 ha; (x) penyelenggaraan sekolah menengah kejuruan (SMK), sertifikasi SMK, dan diklat teknis; serta (xi) penyediaan teknologi dasar dan terapan silvikultur, pengolahan hasil hutan dan sosial ekonomi untuk mendukung pengelolaan.
10.2.2.6. Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Sasaran yang akan dicapai dalam pembangunan bidang kelautan dalam RKP 2011 adalah: (i) terwujudnya sistem pengendalian dan pengawasan sumber daya kelautan secara terpadu dan meningkatnya tingkat ketaatan dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan; (ii) terwujudnya kebijakan nasional pembangunan negara kepulauan Indonesia yang terpadu; (iii) terwujudnya pengelolaan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terdepan yang menjadi batas wilayah NKRI sehingga menjadi pulau-pulau bernilai ekonomi tinggi; (iv) terwujudnya pengelolaan kawasan konservasi, rehabilitasi dan preservasi ekosistem pesisir dan laut; (v) terwujudnya kerja sama internasional, regional, dan antardaerah dalam bidang konservasi (CTI, SSME, BSSE, ATSEA, MFF, Teluk Tomini, Teluk Bone, Selat Karimata, dan lain-lain); (vi) terjadinya peningkatan riset pengembangan teknologi kelautan dan penerapannya untuk mendukung pembangunan kelautan nasional.
10.2.2.7. Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Bencana Alam serta Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Sasaran prioritas untuk meningkatkan kualitas informasi iklim dan bencana alam ini adalah meningkatnya kapasitas pemahaman institusi dalam melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Secara khusus, sasaran prioritas peningkatan Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Dampak Perubahan Iklim adalah: (i) meningkatnya keakuratan, kecepatan dan jangkauan informasi iklim dan cuaca di seluruh wilayah Indonesia; (ii) meningkatnya kesiapan sektor pembangunan dan pemerintah daerah dalam menghadapi dampak perubahan iklim baik dalam perencanaan maupun penganggaran; (iii) menurunnya emisi karbon; (iv) menguatnya kapasitas sumber daya manusia, kapasitas kelembagaan dan meningkatnya pendanaan alternatif untuk pelaksanaan kegiatan dalam rangka pengendalian terhadap perubahan iklim, serta tersedianya data dan informasi yang cukup sebagai dasar pelaksanaan kegiatan tersebut.
10.3. Arah Kebijakan Pembangunan Tahun 2011 Kebijakan pembangunan SDA dan LH diarahkan untuk: (1) mendukung pembangunan perekonomian nasional terutama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mewujudkan daya saing ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; serta (2) meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
II.10 - 29
Dalam rangka mendukung pembangunan perekonomian nasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya saing ekonomi, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, pembangunan SDA dan LH tahun 2011 ditekankan pada : (1) menjamin ketersediaan pangan dan penguatan pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang didukung dengan pengembangan infrastruktur, SDM, input produksi, dan Iptek; (2) menjamin keamanan pasokan energi, peningkatan distribusi energi dan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan; serta (3) peningkatan produksi sumber daya mineral. Selanjutnya pembangunan SDA dan LH dengan upaya meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup ditujukan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, akan dilakukan melalui strategi: (1); penguatan kelembagaan dan peningkatan kesadaran serta partisipasi aktif masyarakat dalam rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup; (2) pelestarian dan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; (3) pemantapan kelembagaan dan kapasitas antisipatif dalam penanggulangan bencana di setiap tingkatan pemerintahan; (4) pengelolaan lingkungan dalam hal pengendalian pencemaran dan pencegahan kerusakan lingkungan yang didukung oleh semua sektor terkait; (5) pemulihan kualitas lingkungan hidup; (6) peningkatan pengelolaan sumber daya kelautan. Upaya-upaya pembangunan SDA dan LH tersebut didukung dengan kualitas perencanaan tata ruang yang terintegrasi dan disepakati para pihak, sehingga dapat menjadi instrument dalam penyelesaian konflik dan pengelolaan SDA-LH.
II.10 - 30
Gambar 10.1
II.10 - 31
10.3.1 Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Pada tahun 2011, kebijakan umum ketahanan pangan dan revitalisasi PPK adalah memantapkan dan meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan serta kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat. Selain itu, diarahkan pula untuk mendorong peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, perikanan, dan kehutanan, peningkatan pendapatan petani, serta pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Berdasarkan kebijakan umum di atas, pada tahun 2011, arah kebijakannya meliputi: 1.
Peningkatan produksi dan produktivitas pangan, pertanian, perikanan, dan kehutanan terus dilakukan untuk mendukung peningkatan ketersediaan pangan dan bahan baku industri. Dalam arah kebijakan ini, penekanan akan dilakukan, terutama dalam: (i) melindungi, memperluas, dan meningkatkan kualitas sumberdaya lahan dan irigasi; (ii) meningkatkan ketersediaan dan kualitas input produksi, terutama pupuk, benih/bibit, sarana dan prasarana produksi termasuk alat tangkap, serta memperbaiki mekanisme penyalurannya; (iii) melindungi dan meningkatkan kualitas ternak sapi produktif dalam rangka mendukung pencapaian swasembada daging sapi; (iv) meningkatkan dukungan penelitian, ilmu pengetahuan, teknologi, dan teknologi terapan serta penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan; (v) meningkatkan efektivitas pengendalian organisme pengganggu tanaman, peningkatan kesehatan hewan/ikan, dan pengembangan sistem perkarantinaan; (vi) mendorong investasi pangan, pertanian, perikanan, kehutanan, dan industri perdesaan yang berbasis produk lokal; (vii) membenahi, menata, dan mengharmonisasikan peraturan perundangan sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan; (viii) optimalisasi pengembangan dan pemanfaatan lahan budidaya perikanan, pengembangan kawasan minapolitan; serta perluasan wilayah tangkapan nelayan ke ZEEI dan laut lepas; (ix) mengembangkan dan memelihara infrastruktur pertanian, perikanan, kehutanan, dan perdesaan seperti jalan produksi/usahatani, jalan desa, pencetakan sawah, jaringan irigasi, saluran tambak, tata air mikro, pelabuhan perikanan, dan infrastruktur perdesaan lainnya seperti transportasi, listrik, dan alat komunikasi; dan (x) mengembangkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan.
2.
Peningkatan efisiensi distribusi pangan untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau. Fokus perhatian dalam kebijakan dan strategi ini diarahkan untuk : (i) meningkatkan jumlah cadangan pangan pemerintah dan pemerintah daerah untuk stabilisasi harga; (ii) mengembangkan kebijakan perdagangan dan ekspor-impor untuk mendukung ketahanan pangan; (iii) meningkatkan sarana dan prasarana distribusi pangan agar lebih efisien dalam perdagangan dan mengurangi kerusakan bahan pangan; (iv) mengembangkan kebijakan dan peraturan daerah yang dapat memperlancar dan mengefisienkan distribusi pangan antar daerah/wilayah; serta (v) mengembangkan usaha pengolahan dan pemasaran produk pangan di perdesaan yang berbasis bahan pangan lokal.
3.
Peningkatan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan menjadi kebijakan dan strategi pembangunan ketahanan pangan yang perlu memperoleh perhatian yang memadai agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, II.2 - 32
keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan. Arah kebijakan dan strategi operasional yang akan dilakukan meliputi: (i) mengembangkan penganekaragaman (diversifikasi) pengolahan dan konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal; (ii) meningkatkan konsumsi ikan dan diversifikasi produk perikanan; (iii) meningkatkan jumlah cadangan pangan pemerintah dan pemerintah daerah untuk keperluan bantuan pangan; (iv) meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemerintah daerah dalam mengembangkan cadangan pangan; (v) meningkatkan pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang pangan yang bergizi dan seimbang serta pola hidup sehat, terutama untuk memperbaiki status gizi ibu hamil dan anak balita; (vi) mengembangkan penelitian pangan dan gizi, serta industri pangan lokal; (vii) mengembangan sistem mutu, kehalalan, dan keamanan pangan, termasuk pengendalian risiko penyakit zoonosis; (viii) meningkatkan pencegahan dan penanganan keadaan rawan pangan dan gizi karena keterbatasan akses, akibat adanya bencana alam dan bencana sosial; (ix) meningkatkan efisiensi dan efektivitas bantuan pangan/subsidi pangan kepada golongan masyarakat tertentu (masyarakat miskin, ibu hamil, balita gizi buruk); (x) mengembangkan jaringan antarlembaga masyarakat untuk pemenuhan hak atas pangan; serta (xi) meningkatkan efektivitas fungsi lembaga ketahanan pangan dan gizi, baik di pusat maupun daerah. 4.
Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan pemasaran produk pertanian, perikanan, dan kehutanan. Kebijakan dan strataegi ini diharapkan mampu mendorong terjadinya transformasi struktur ketenagakerjaan dari sektor pertanian secara luas ke sektor lain, serta mampu meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, perikanan, dan kehutanan, baik di pasar domestik, Asia, maupun global. Kebijakan dan strategi ini diarahkan untuk: (i) meningkatkan mutu produk pertanian, perikanan dan kehutanan, serta efisiensi produksi; (ii) mengembangkan industri pengolahan (agroindustri) hasil pertanian, perikanan, dan kehutanan, serta jasa pendukungnya; (iii) membangun dan merehabilitasi sarana dan prasarana distribusi dan pemasaran serta manajemen logistik dalam menjaga kesinambungan pasokan produk; (iv) mengembangkan sentra usaha pertanian, perikanan, dan kehutanan secara terpadu; (v) mengembangkan kebijakan perdagangan internasional yang mendukung peningkatan daya saing nasional; (vi) mengembangkan kebijakan perdagangan internasional dan peningkatan upaya diplomasi ke negara-negara pengimpor produk; (vii) meningkatkan pengendalian, pengawasan dan advokasi tentang mutu, keamanan, dan kehalalan produk pertanian, perikanan, dan kehutanan; serta (ix) meningkatkan kebijakan fiskal untuk “retool” industri kayu dan kayu olahannya.
5.
Peningkatan kapasitas masyarakat pertanian, perikanan, dan kehutanan. Kebijakan dan strategi kebijakan yang ditujukan untuk mencapai arah kebijakan tersebut, yaitu: (i) meningkatkan pengetahuan petani/petani hutan/nelayan/petambak agar dapat meningkatkan kesejahteraannya; (ii) meningkatkan dan mengembangkan kelembagaan petani/petani hutan/nelayan/petambak; (iii) meningkatkan kuantitas dan kualitas penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan; (iv) mengembangkan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta diseminasinya kepada petani/nelayan/petambak; (v) merumuskan kebijakan pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang mendukung petani/petani hutan/nelayan/petambak; (vi) mengembangkan sistem data dan informasi pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang integratif dan mudah diakses oleh petani/nelayan/pembudidaya ikan; (vii) meningkatan kemampuan/keterampilan serta penguatan dan pemberdayaan petani, nelayan dan pembudidaya ikan; dan (viii) memfasilitasi dan mendorong II.2 - 33
pengembangan kelembagaan pembiayaan dan asuransi bagi masyarakat pertanian, perikanan, dan kehutanan yang terjangkau. Prioritas Bidang Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dituangkan dalam 5 fokus prioritas, yaitu: (1) Peningkatan Produksi dan Produktivitas untuk Menjamin Ketersediaan Pangan dan Bahan Baku Industri dari Dalam Negeri; (2) Peningkatan Efisiensi Sistem Distribusi dan Stabilisasi Harga Pangan; (3) Peningkatan Pemenuhan Kebutuhan Konsumsi Pangan; (4) Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Pemasaran Produk Pertanian, Perikanan dan Kehutanan; serta (5) Peningkatan Kapasitas Masyarakat Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. 10.3.2 Peningkatan Ketahanan dan Kemandirian Energi Untuk mencapai sasaran dari segi ketahanan dan kemandirian, kebijakan umum peningkatan ketahanan dan kemandirian energi diarahkan pada tiga hal pokok, yaitu: (i) menjamin keamanan pasokan energi yang dicapai melalui upaya-upaya untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi produksi dan optimasi produksi; (ii) melakukan pengaturan harga energi dimana subsidi energi yang selama ini dilakukan kepada subsisdi harga energi diarahkan kepada subsidi langsung; dan (iii) meningkatkan diversifikasi dan konservasi energi. Selain itu, untuk mencapai sasaran terserbut, paradigma arah kebijakan yang selama ini mengatur sisi penyediaan (Supply Side Management) menjadi kebijakan yang arahnya tidak hanya mengatur sisi penyediaan namun juga mengatur sisi permintaan (Demand Side Management). Penghematan pemanfaatan energi terutama akan dilakukan untuk sektor-sektor yang mengkonsumsi energi yang besar seperti industri, pembangkit listrik dan transportasi. Dalam pelaksanaannya, kebijakan umum ini akan dilakukan secara integratif antara penguasaan teknologi energi, baik teknologi pencarian sumber daya energi (eksplorasi), pengambilan atau pemanfaatan energi (eksploitasi) maupun teknologi konversi dan distribusi energi. Selain itu pembangunan infrastruktur energi juga memegang peranan penting di dalam upaya meningkatkan penyaluran energi, terutama dalam upaya untuk meningkatkan penggunaan energi non-minyak bumi (diversifikasi). Sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketiga kebijakan umum tersebut, maka arah dan kebijakan strategi peningkatan ketahanan dan kemandirian energi pada tahun 2011 adalah sebagai berikut. KEBIJAKAN KOMODITAS
SUPPLY SIDE MANAGEMENT
HARGA
DEMAND SIDE MANAGEMENT 1. Konversi BBM ke energi alternatif 2. Efisiensi pemakaian BBM
1. Minyak Bumi
1. Peningkatan produksi Minyak Bumi 2. Optimalisasi pasokan Minyak Bumi 3. Pembangunan Infrastruktur
Subsidi langsung
2. Gas Bumi
1. Peningkatan produksi gas bumi 2. Optimalisasi pasokan gas bumi 3. Pembangunan Infrastruktur
Keekonomian Pengembangan pemanfaatan gas domestik: Transportasi, rumah tangga dan industri
II.2 - 34
KEBIJAKAN KOMODITAS
SUPPLY SIDE MANAGEMENT
3. EBT
1. Pengembangan panas bumi 2. EBT lainnya
4. Pemanfaatan Energi
HARGA
DEMAND SIDE MANAGEMENT
Keekonomian dan insentif fiskal 1. Peningkatan pemanfaatan "Waste Energy Streams" 2. Peningkatan efisiensi energi di gedung‐gedung dan pabrik‐pabrik serta transportasi 3. Sinkronisasi penghematan air dan energi
10.3.3. Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Pertambangan Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, kebijakan umum pembangunan pertambangan mineral dan batubara diarahkan pada dua hal pokok, yaitu: (i) meningkatkan poduksi dan nilai tambah produk tambang mineral dan batubara; dan (ii) mengurangi dampak negatif akibat kegiatan pertambangan dan bencana geologi. Sebagai penjabaran lebih lanjut dari kedua hal pokok tersebut, maka arah kebijakan dan strategi pembangunan pertambangan mineral dan batubara pada tahun 2011 adalah sebagai berikut: Peningkatan produksi nilai tambah produk tambang mineral dan batubara ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dan bahan bakar terutama untuk industri di dalam negeri. Beberapa kebijakan dan strategi yang akan dilakukan diarahakan untuk: (i) memberikan insentif fiskal (fiscal regime) yang stabil dan kompetitif dalam menarik investasi pertambangan mineral dan batubara; (ii) memperbaiki dan menyederhanakan birokrasi perijinan (licensing regime) pengusahaan pertambangan; (iii) memperjelas pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terutama yang berkaitan dengan pemberian ijin dalam pengusahaan pertambangan; (iv) mengembangkan informasi potensi dan wilayah cadangan; (v) meningkatkan kemampuan teknis dan managerial aparat pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan perijinan dan inventarisasi cadangan; (vi) menciptakan keamanan usaha dan berusaha dalam pengusahaan pertambangan mineral dan batubara; (vii) mengembangkan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) untuk mengubah bahan-bahan mentah mineral logan dan non logam menjadi bahan setengah jadi atau bahkan menjadi bahan yang final; (viii) meningkatkan produksi batubara serta pemanfaatannya untuk kepentingan dalam negeri (domestic market obligation) terutama sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik; (ix) mendorong berkembangnya industri oil synthetic dan clean-coal technology, serta industri peningkatan mutu batubara (upgraded brown coal), pencairan batubara (coal liquefaction) dan gasifikasi batubara (coal gasification); (x) meningkatkan produksi uap panas bumi melalui kegiatan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi; dan (xi) mendorong pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik; II.2 - 35
Pengurangan dampak negatif akibat dari kegiatan pertambangan dan bencana geologi dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan, baik air, tanah, maupun udara, yang berlebihan akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral dan batubara, dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup termasuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang berpotensi menyebabkan perubahan iklim global. Beberapa kebijakan dan strategi yang akan dilakukan diarahkan untuk: (i) mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan melalui pembinaan lindungan lingkungan, keselamatan operasi, dan usaha penunjang bidang migas; (ii) mencegah kerusakan cadangan mineral dan batubara serta mengembangkan wilayah pencadangan tambang nasional dengan melakukan best mining practices dan menerapkan mekanisme depletion premium; (iii) meningkatkan rehabilitasi kawasan bekas tambang; dan (iv) mitigasi, pengembangan teknologi, dan fasilitasi dalam rangka penetapan langkah-langkah penanggulangan krisis energi dan bencana geologi. Prioritas Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Pertambangan diuraikan dalam 2 fokus yaitu: (1) Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Produk Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan indikator produksi batubara dan Domestic Market Obligation dari batubara, produksi mineral, seperti emas, perak, timah, nikel, feronikel dan nikel matte, bauksit, konsentrat tembaga, dan bijih besi, serta persentase pemanfaatannya untuk bahan baku industri dalam negeri, jumlah WKP dan WP; dan (2) Pengurangan Dampak Negatif Akibat Kegiatan Pertambangan dan Bencana Geologi, dengan indikator penyediaan peta geologi daerah bahaya seluruh gunung api, pemetaan geofisika udara di Pulau Kalimantan dan Sulawesi, peta dasar geologi bagi daerah-daerah pusat pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa, pemetaan geologi teknik tata ruang, dan reklamasi kawasan bekas tambang, pengurangan volume gas flare, limbah, dan peningkatan penggunaan bahan-bahan kimia ramah lingkungan. KEBIJAKAN KOMODITAS
SUPPLY SIDE MANAGEMENT
1. Batu Bara
1. Peningkatan produksi Batu Bara 2. Optimalisasi pasokan Batu Bara 3. Pembangunan Infrastruktur
2. Mineral
1. Peningkatan produksi Mineral 2. Optimalisasi pasokan Mineral 3. Pembangunan Infrastruktur
DEMAND SIDE MANAGEMENT Keekonomian 1. Pengembangan pemanfaatan batu bara: industri dan pembangkit listrik 2. Pengembangan Coal Gasification & Liquefaction Keekonomian Pengembangan industri hilir mineral HARGA
10.3.4. Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup Pembangunan di bidang lingkungan hidup merupakan perwujudan dari Visi “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur” dan Misi Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 butir ke enam yaitu “Mewujudkan Indonesia asri dan lestari”. Dalam rangka mendukung arah kebijakan dalam RPJM dan memperhatikan kondisi umum lingkungan hidup saat ini, maka diperlukan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang II.2 - 36
hidup yang terintegrasi dari hulu ke hilir dan didukung oleh program-program lintas sektor. Kebijakan ini diarahkan untuk mendukung pencapaian sasaran prioritas yaitu mengelola daya dukung dan memulihkan kualitas daya tampung lingkungan hidup. Untuk mengelola daya dukung dan memulihkan kualitas daya tampung lingkungan hidup, kerangka regulasi diarahkan untuk mewujudkan lingkungan hidup yang dapat mendukung program pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Arah kebijakan ini akan dicapai dengan strategi : 1) pengendalian dan pemantauan pencemaran pada air, lahan, dan udara; 2) konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya sesuai dengan arahan kebijakan yang tercantum dalam dokumen Integrated Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2003-2020; 3) perbaikan kerangka regulasi dan peningkatan upaya penegakan hukum lingkungan secara konsisten; 4) perbaikan kualitas lingkungan melalui upaya rehabilitasi dan konservasi serta pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan; 5) penataan dan pengelolaan lingkungan yang harmonis dari hulu ke hilir; 6) peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan penguatan institusi pengelola lingkungan hidup; 7) peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat; 8) pengembangan penelitian lingkungan; 9) penyelesaian konflik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan 10) pengembangan sumber-sumber pendanaan lingkungan alternatif. Selanjutnya, Prioritas Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup ini diuraikan dalam 2 fokus prioritas yaitu: (1) Pengendalian Pencemaran dan Pengrusakan Lingkungan Hidup, dengan indikator kinerja menurunnya tingkat pencemaran lingkungan dan meningkatnya usaha-usaha pengendalian perusakan lingkungan; dan (2) Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, dengan indikator kinerja meningkatnya kapasitas kelembagaan, partisipasi masyarakat, dan ketersediaan data dan informasi untuk pengelolaan lingkungan hidup 10.3.5. Peningkatan Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan Pembangunan sumber daya hutan ke depan tidak lagi difokuskan pada pemanfaatan kayu saja, tetapi perlu melihat manfaat hutan dalam mempertahankan keseimbangan siklus hidrologi. Karena itu, selain harus menerapkan konsep pembangunan hutan yang berkelanjutan, pengelolaan kawasan hutan yang tersisa diprioritaskan pada upaya rehabilitasi kawasan hutan dan lahan kritis, serta perlindungan dan konservasi sumber daya hutan pada DAS harus menjadi prioritaskan. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan daya dukung dan fungsi DAS dalam rangka menjamin ketersediaan air. Kebijakan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan, dalam lima tahun ke depan, diarahkan untuk: (i) Memantapkan status hukum dan peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan hutan; (ii) Memantapkan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya hutan; (iii) Memelihara dan meningkatkan daya dukung dan fungsi lingkungan; (iv) Memantapkan fungsi konservasi alam dengan peningkatan kualitas pengelolaan Taman Nasional dan Kawasan Konservasi lainnya, pemanfaatan keanekaragaman hayati dan tumbuhan dan satwa liar (TSL); (v) Meningkatkan pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan hutan dan wisata alam; (vi) Meningkatkan perlindungan hutan melalui kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta meningkatkan perlindungan dan pengamanan hutan dari berbagai ancaman (illegal logging, perambahan, perdagangan TSL ilegal); (vii) Meningkatkan kapasitas pengelolaan kawasan konservasi melalui peningkatan kelembagaan pengelola kawasan konservasi, kemandirian dan produktivitas, (viii) Meningkatkan akses dan keterkaitan masyarakat dalam kegiatan konservasi yang dilaksanakan melalui collaborative management dan pemberdayaan masyarakat di sekitar II.2 - 37
hutan; serta (ix) Meningkatkan daya dukung dan fungsi DAS dalam rangka menjamin ketersediaan air. Prioritas Peningkatan Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan diuraikan dalam 4 fokus yaitu: (1) Pemantapan Kawasan Hutan, dengan indikator kinerja jumlah Surat Keputusan (SK) penunjukan kawasan hutan, selesainya penunjukan kawasan pengganti dari proses tukar menukar kawasan hutan, selesainya batas luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, meningkatnya jumlah patok tanda batas (dalam persen) yang terpetakan, beroperasinya KPH; (2) Peningkatan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan Hutan dengan indikator kinerja menurunnya tingkat kebakaran hutan dan bertambahnya jumlah regu masyarakat peduli api, meningkatnya batas KPA, KSA, TB dan HL yang telah disinkronkan, menguatnya kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi serta PNBP jasa lingkungan (air, karbon dan panas bumi); (3) Peningkatan Fungsi Daya Dukung Daerah Aliran Sungai dengan indikator jumlah rencana pengelolaan DAS prioritas secara terpadu dan rehabilitasi hutan; serta (4) Pengembangan Penelitian dan Iptek Sektor Kehutanan dengan indikator produk iptek, data dan informasi kehutanan.
10.3.6. Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Arah kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya kelautan adalah sebagai berikut: 1.
Meningkatkan rehabilitasi, konservasi, pengendalian dan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan, yang dilakukan melalui upaya: (i) membangun sistem pengendalian dan pengawasan dalam pengelolaan sumber daya laut dan pesisir, yang disertai dengan penegakan hukum yang konsisten; (ii) meningkatkan upaya penanganan praktek IUU Fishing dan kegiatan perikanan yang merusak; (iii) meningkatkan sarana dan prasarana pengawasan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan; (iv) pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir, laut; (v) meningkatkan konservasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir yang meliputi terumbu karang, mangrove dan padang lamun dan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan.
2.
Meningkatkan pendayagunaan sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dan tata kelola sumber daya kelautan, yang dilakukan dengan upaya: (i) menetapkan kebijakan pembangunan kelautan dan negara kepulauan secara terpadu; (ii) Menerapkan prinsip-prinsip manajemen pesisir terpadu (integrated coastal management, ICM) di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil; (iii) mengelola dan mendayagunakan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terdepan; (iv) mengoperasionalisasikan Rencana Tata Ruang/Zonasi wilayah pesisir sesuai dengan hirarki perencanaan sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar wilayah; (v) upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim serta bencana alam laut; dan (vi) meningkatkan kerja sama internasional, regional, dan antardaerah dalam pengelolaan sumber daya kelautan
3.
Mengembangkan Iptek Kelautan, yang diupayakan melalui: (i) meningkatkan kuantitas dan kualitas riset dan pengembangan teknologi kelautan, serta riset sumber daya non hayati lainnya; (ii) Peningkatan penerapan hasil-hasil riset teknologi
II.2 - 38
kelautan untuk mendukung pembangunan kelautan; (iii) peningkatkan sarana dan prasarana pelaksanaan penelitian dan pengembangan; dan (iv) meningkatkan penyediaan informasi dan statistik kelautan yang tepat dan akurat. Prioritas Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan ini diuraikan dalam 3 fokus prioritas yaitu: (1) Peningkatan Rehabilitasi, Konservasi, Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, dengan indikator luas wilayah konservasi laut dan tingkat ketaatan dalam pemanfaatan SDKP; (2) Pendayagunaan Laut, Pesisir, Pulau-pulau Kecil dan Pulau-Pulau Terdepan, dengan indikator terintegrasinya pengelolaan wilayah laut, pesisir, pulau-pulau kecil, pengelolaan pulaupulau terdepan dan tingkat implementasi adaptasi dan mitigasi bencana di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil serta Tertatanya wilayah pesisir; dan (3) Inovasi Riset dan Teknologi Terapan Kelautan, dengan indikator pengembangan Iptek dasar dan aplikasi Iptek terapan.
10.3.7. Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Bencana Alam serta Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Kebijakan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Bencana Alam dalam tahun 2011 diarahkan untuk mewujudkan peningkatan kapasitas penanganan dampak perubahan iklim dan bencana alam yang cepat, tepat dan akurat. Sedangkan strategi untuk mencapai kebijakan ini adalah: (i) peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan; (ii) peningkatan akurasi jangkauan dan kecepatan penyampaian informasi dengan menambah dan membangun jaringan observasi, telekomunikasi dan sistem kalibrasi; dan (iii) pendirian Pusat Basis Data dan informasi yang terintegrasi. Sedangkan kebijakan Peningkatan Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim diarahkan untuk mewujudkan peningkatan kapasitas penanganan dampak perubahan iklim baik ditingkat nasional maupun di daerah, terutama untuk wilayah-wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim. Sedangkan strategi untuk mencapai kebijakan ini adalah: (i) peningkatan kerja sama dan mengembangkan penelitian mengenai perubahan iklim dan resiko bencana alam; (ii) penyediaan peta kerentanan wilayah Indonesia terhadap dampak perubahan iklim; (iii) pendirian stasiun monitoring perubahan iklim di seluruh wilayah Indonesia; dan (iv) pengembangan kebijakan dan peraturan perundangan mengenai perubahan iklim dan kebencanaan. Prioritas Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Bencana Alam serta Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim dijabarkan dalam 3 fokus prioritas, yaitu: (1) Peningkatan Kualitas Informasi Iklim, Cuaca dan Bencana Alam Lainnya, dengan indikator meningkatnya kapasitas pelayanan serta ketersediaan data dan informasi iklim, cuaca dan bencana alam lainnya yang cepat dan akurat; (2) Peningkatan Adaptasi dan Mitigasi terhadap Perubahan Iklim, dengan indikator meningkatnya kemampuan adaptasi dan mitigasi para pihak dalam menghadapi dampak perubahan iklim; dan (3) Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Penanganan Perubahan Iklim, dengan indikator menguatnya kapasitas institusi dalam mengantisipasi dan menangani dampak perubahan iklim.
II.2 - 39