TINJAUAN PUSTAKA Hijauan Tropis Negara-negara tropis yang mempunyai dua musim mengalami fluktuasi dalam penyediaan hijauan pakan. Musim penghujan merupakan musim yang banyak akan hijauan pakan dan bahkan sering berlebih, sedangkan pada musim kemarau merupakan musim paceklik sehingga seringkali hijauan yang ada mempunyai kualitas yang rendah (Nining, 2008). Marhaeniyanto (2009) menyatakan bahwa pengembangan hijauan pakan ternak di negara tropis jangan hanya mengandalkan rumput, perlu adanya perbaikan jenis hijauan lain, hal ini dikarenakan rata-rata produksi hijauan tropis rendah, kualitasnya rendah, serta kurang respon terhadap perbaikan hara tanah. Konsumsi hijauan, terutama di daerah tropis (Indonesia) dibatasi tingginya kandungan serat (Widyobroto, 2000). Syamsu (2009) melaporkan bahwa biasanya hijauan mengandung serat kasar sekitar 18% dari bahan keringnya, selain itu hijauan tropis mengandung antinutrisi yang cukup beragam salah satunya tanin. Suplementasi konsentrat bertujuan untuk mencukupi kebutuhan zat makanan (terutama
protein
dan
energi),
meningkatkan
pertambahan
bobot
badan,
meningkatkan konsumsi dan efisiensi penggunaan pakan. Beberapa contoh jenis hijauan tropis yang sering digunakan oleh peternak yaitu, Pennisetum purpureum, Brachiaria decumbens, Ciperus kyllinga, Leucaena leucocephala, Artocarpus heterophyllus , Musa sapientum, Dilenia suffruticosa, Melastoma malabathricum, Sapium baccatum. Pennisetum purpureum mempunyai nama umum yaitu, elephant atau elefante grass, napier grass, gigante (Kostarika), dengan habitat di daerah padang rumput lembab. Tanaman ini ditemukan pertama kali di daerah subtropik Africa (Zimbabwe) dan menyebar dibanyak negara tropis dan subtropis (Skerman dan Riveros.,1990). Brachiaria decumbens merupakan hijauan yang mempunyai sinonim B. eminii (Mez) Robins. Nama umumnya yaitu Signal grass (Australia), suriname grass (Jamaica), kenya sheep grass. Rumput tersebut pertama kali ditemukan di dataran tinggi Uganda dan beberapa negara di timur Afrika Tengah dan menyebar ke daerah Afrika dan berlanjut ke daerah tropis dan subtropis (Skerman dan Riveros, 1990).
3
Gambar 1. Pennisetum purpureum (Plantamord, 2009)
Gambar 2. Brachiaria decumbens (Plantamord, 2009)
Ciperus kyllinga atau rumput teki merupakan rumput semu menahun dengan tinggi 10-95 cm. Batang rumputnya berbentuk segitiga dan tajam. Daunnya berjumlah 4-10 helai yang terkumpul pada pangkal batang dengan pelepah daun tertutup tanah. Helaian daun berbentuk pita bersilang sejajar. Permukaan atas berwarna hijau mengkilat dengan panjang daun 10-30 cm dan lebar 3-6 cm. Rumput teki tumbuh liar di tempat terbuka atau sedikit terlindung dari sinar matahari seperti di tanah kosong, tegalan, lapangan rumput, pinggir jalan atau di lahan pertanian. Tumbuhan ini terdapat pada ketinggian 2-3000 meter di atas permukaan laut (Fibi, 2008). Leucaena leucocephala atau lamtoro berasal dari Amerika tropis. Tanaman ini biasa ditemukan di pekarangan sebagai tanaman pagar atau tanaman peneduh. Kadang tumbuh liar dan dapat ditemukan dari 1-1500 m di atas permukaan laut. Namanya juga bermacam-macam, di Sumatera dinamakan pete selong, pete china, di Jawa dinamakan lamtoro, metir, kemlandingan, selamtara, peuteuy china, peuteuy selong, kamalandingan, pelending (Sunda), dan di Madura dikenal sebagai kalandingan (Arif, 2008).
Gambar 3. Ciperus kyllinga (Plantamord, 2009)
Gambar 4. Leucaena leucocephala (Plantamord, 2009)
Artocarpus heterophyllus atau nangka merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari India dan menyebar ke daerah tropis termasuk Indonesia. Di Indonesia pohon ini memiliki beberapa nama daerah antara lain nongko (Jawa),
4
langge (Gorontalo), anane (Ambon), lumasa atau malasa (Lampung), nanal atau krour (Irian Jaya), nangka (Sunda). Beberapa nama asing yaitu: jacfruit, jack (Inggris), nangka (Malaysia), kapiak (Papua Nugini), liangka (Filipina), peignai (Myanmar), khnaor(Kamboja), mimiz, miiz hnang (laos), khanun (Thailand), dan mit menurut bahasa Vietnam (Prihatman, 2000). Musa sapientum atau pisang berasal dari bahasa arab maus dan menurut bahasa linneus termasuk keluarga musaceae. Nama musa digunakan untuk memberi nama buah pisang yang merah kecoklatan di lembah sungai Indus di India. Ahli sejarah dan botani mengambil kesimpulan, bahwa asal mula tanaman pisang dari Asia Tenggara, oleh para penyebar agama islam, pisang disebarkan ke sekitar laut tengah. Dari Afrika Barat menyebar ke Amerika Selatan dan Amerika Tengah (Satuhu dan Supriyadi,1992).
Gambar 5. Artocarpus heterophyllus (Plantamord, 2009)
Gambar 6. Musa sapientum (Plantamord, 2009)
Dilenia suffruticosa termasuk ke dalam tumbuhan dikotil family Dilleniaceae (suku simpur-simpuran). Tumbuhan berbentuk pohon, berumur menahun (perenial), tinggi 10 - 15 m, akar tunggang, batang aerial, berkayu, silindris, tegak, warna cokelat kehijauan, kulit tanpa alur, permukaan kasar, percabangan simpodial (batang utama tidak tampak jelas), arah cabang miring ke atas atau mendatar. Pada beberapa negara tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda, seperti di Indonesia dikenal sebagai
Simpur air atau dilenia, di Inggris Shrubby dillenia atau Shrubby
simpohlenia, Melayu dikenal sebagai Shrubby simpoh atau Simpoh air, di Thailand dikenal dengan nama San yawa dan di Jepang Kibana modoki (Plantamorc, 2009). Melastoma malabathricum sinonim dengan Melastoma affine D. Don dan Melastoma polyanthum Bl. Tanaman ini diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae
5
(tumbuhan),
subkingdom Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh), Superdivisi
Spermatophyta (menghasilkan biji), divisi Magnoliophyta (tumbuhan berbunga, kelas Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil), Subkelas Rosidae, ordo Myrtales dan famili Melastomataceae.
Melastoma malabathricum
yang di Indonesia dikenal
dengan nama harendong, senduduk, senggani dan dalam bahasa Inggris yaitu blue tongue atau native lassiandra (Plantamora, 2009). Sepium baccatum diklasifikasikan ke dalam genus Euphorbiaceae. Tanaman ini disebut juga dengan Carumbium baccatum (Roxb.) Kurz, Excoecaria affinis Griff, Excoecaria baccata (Roxb.) Müll. Arg, Sapium populufolium Wallich ex Wight, Stillingia baccata (Roxb.) Baill. Pada beberapa daerah Sapium baccatum di kenal dengan mousedeer's rubber tree, salee nok, pho bai, budi, banai, ludai, ludai pelandok, memaya (Plantamorb, 2009).
Gambar 7. Dilenia suffoticossa (Plantamorc, 2009)
Gambar 8. Melastoma malabathricum (Plantamora, 2009)
Gambar 9. Sapium baccatum (Plantamorb, 2009)
Calliandra calothyrsus (kaliandra) adalah jenis tanaman yang termasuk jenis subfamili mimosoidae serta merupakan tanaman yang termasuk famili leguminosa. 6
Tanaman ini didatangkan ke Indonesia pada tahun 1936 dari Guatemala, Amerika Serikat. Kaliandra memiliki daya adaptasi yang baik terhadap tempat tumbuh yang berbeda-beda keadaannya. Tanaman ini mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah, juga pada tanah liat yang sedikit sekali aerasinya. Ketinggian tanaman ini dapat mencapai 10 m dengan diameter batas maksimum 20 cm. Tanaman kaliandra memiliki sifat-sifat hidup dan produksi yang baik untuk dikembangkan. Ditinjau dari segi manfaat, kaliandra dapat dipakai sebagai kayu bakar, makanan ternak, pohon pelindung, tumbuhan penutup tanah untuk penghijauan dan akarnya sebagai obat tradisional. Hijauan kaliandra mengandung protein kasar 24 %, serat kasar, 23% 34%, lemak 4,1% - 5% , abu 5% - 7,5%, ADF 26%, selulase 15%, dan lignin 10% 11,9 % serta produksinya 1- 10 ton BK/ha (Tangendjaja et al., 1992). Melastoma candidum tergolong dalam famili Melastomataceae. Biasanya berwujud semak belukar, kadang-kadang berwujud pohon kecil (liana) yang biasa mencapai tinggi sampai 4 m dan mempunyai cabang yang banyak. Tanaman ini berdaun tunggal, bentuk daun bundar telur dan memanjang sampai lonjong dan ujung daun lancip, panjang daun 4 - 14 cm dan lebar 1,3 - 4 cm, tulang daun menjari dan berjumlah 5-7 perdaun, daun ditumbuhi oleh bulu-bulu pendek dan kasar (Wagner et al., 1999).
Gambar 10. Calliandra calothyrsus (Forest dan Kim Starr, 2006)
Gambar 11. Melastoma candidum (Flickr, 2008) Tanin
Tanin merupakan salah satu senyawa sekunder yang berasal dari 135 species tanaman di Indonesia. Tanin dapat digunakan sebagai penyamak, bahan pengawet, bahan pewarna, obat tradisional dan bahan perekat (Susanti, 2000). Tanin diklasifikasikan sebagai tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin
7
terkondensasi adalah tanin yang terjadi karena proses kondensasi flavanol. Tanin terkondensasi sering disebut proantosianidin yang merupakan polimer dari katekin dan epikatekin (Hedqvist, 2004). Struktur tanin terkondensasi dapat dilihat pada Gambar 13. Tanin terhidrolisis yaitu jenis tanin yang jika terhidrolisis menghasilkan suatu suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Tanin terhidrolisis terdiri dari gallotanin dan ellagitanin (Gambar 12). Hedqvist (2004) melaporkan bahwa ada beberapa teori yang menjelaskan fungsi alami tanin pada tumbuhan yaitu, salah satunya untuk menjaga dari serangan serangga dan hewan herbivora. Menurut Makkar (1993) tanin terkondensasi banyak terdapat di buah-buahan, biji-bijian, dan tanaman lain yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan pangan, sementara tanin terhidrolisis banyak terdapat pada makanan yang bukan pangan (non edible food). Tanin dikenal sebagai senyawa antinutrisi karena berperan menurunkan kualitas bahan melalui pembentukan ikatan kompleks dengan protein. Ikatan antara tanin dan protein sangat kuat sehingga protein tidak mampu dicerna oleh sel tubuh. Pembentukan kompleks ini terjadi karena adanya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan kovalen antara kedua senyawa tersebut (Makkar, 1993). Ariningsih (2004) mengatakan ikatan kovalen terbentuk apabila tanin telah mengalami oksidasi dan membentuk polimer kuinon yang selanjutnya melalui reaksi adisi eliminasi atom N dari gugus amino protein menggantikan atom oksigen dari senyawa polikuinon. Ikatan hidrogen yang terbentuk merupakan ikatan antara atom H yang polar dengan atom O baik dari protein atau tanin. Menurut Makkar (1993) keberadaan sejumlah gugus fungsional pada tanin akan menyebabkan terjadinya pengendapan protein. Selain membentuk kompleks dengan protein bahan pangan, tanin juga akan berikatan dengan protein mukosa sehingga mempengaruhi daya penyerapannya terhadap protein. Dampak antinutrisi tanin pada ternak ruminansia berawal dari proses mastikasi, selanjutnya tanin akan berikatan dengan protein saliva sehingga pakan menurun palatabilitasnya, akibatnya konsumsi pakan menurun. Setelah tanin masuk ke dalam rumen (pH 6,3-7) senyawa tersebut akan membentuk ikatan kompleks dengan protein, karbohidrat (selulosa, hemiselulosa, dan pektin), mineral, vitamin, dan enzim mikroba rumen. Senyawa komplek tersebut tidak larut dalam rumen, namun terjadi pencernaan enzimatis di dalam abomasum (Sewet, 1997).
8
(a)
(b)
Gambar 12. Tanin Terhidrolisa: (a) Elagitanin dan (b) Galotanin (Hedqvist et al.,2000)
Gambar 13. Tanin terkondensasi (Hedqvist et al.,2000)
Polyethylene Glycol (PEG) PEG dikenal juga dengan sebutan macrogol, polyoxyethlene, aquaffin, nycoline, alpha-hydro-omega-hydroxypoly, polyethylene glycols, poly ethylene oxide dan polyglycol. Polyethylene glycol merupakan salah satu polimer kondensasi dari oksida ethylene dan air dengan rumus umum (OCH2CH2)nOH, n merupakan angka rata-rata dari pengulangan oxyethylene (Gambar 14). Bobot molekulnya rendah. Anggota dari n=2 ke n=4 adalah diethylene glycol, triethylene glycol dan tetraethylene glycol, yaitu dihasilkan sebagai senyawa murni. Salah satu sifat dari PEG adalah larut dalam air dan dapat larut juga pada beberapa bahan pelarut organik termasuk hidrokarbon aromatik (tidak alifatik). Sifat lain polyethylene glycol yaitu tidak beracun, tidak berbau, netral, melumasi, nonvolatile dan nonirritating dan 9
dipergunakan berbagai bidang farmasi dan di pengobatan sebagai solven, basis obat salp dan excipient tablet (Chemicalland, 2009). Bauman et al. (1971) melaporkan bahwa PEG tidak diabsorpsi oleh tubuh ternak. Villalba dan Provenza, (2002) menyatakan bahwa PEG mampu mengikat tanin dan mengurangi efek negatif yang ditimbulkan oleh antinutrisi tanin tersebut. Efek pemberian PEG mampu memperbaiki pemanfaatan kaliandra yang bertanin tinggi, namun penggunaannya baru sampai pada skala penelitian, hal ini disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak praktis (Syahrir, 1998). Villalba dan Provenza, (2002) juga melaporkan bahwa PEG yang terdapat dalam ransum basal cukup memadai dalam menetralisir level tannin yang tercerna dalam ransum basal. Rasio dosis minimal penggunaan PEG dengan tanin terkondensasi yaitu 1: 4 atau 1: 8 untuk kambing (Silanikove et al., 1997), dan 1: 2 untuk domba (Silanikove et al., 1994) yang dimungkinkan untuk menetralkan efek negatif dari tanin terkondensasi yang banyak terdapat pada tanaman pakan ternak.
Gambar 14. Polyethylene Glycol (Hedqvist et al.,2000)
Teknik Pengukuran Kecernaan Ada beberapa metode untuk mengevaluasi bahan pakan baik secara fisik, kimia maupun biologis. Pengujian bahan pakan secara fisik merupakan analisis pakan dengan cara melihat keadaan fisiknya. Pegujian fisik bahan pakan dapat dilakukan baik secara langsung (makroskopis) maupun dengan alat bantu (mikroskopis). Pengujian secara fisik disamping dilakukan untuk mengenali bahan pakan secara fisik juga dapat untuk mengevaluasi bahan pakan secara kualitatif. Analisis secara kimia dapat digunakan untuk mengetahui potensi bahan pakan yang dicerminkan dari komposisi kimia bahan pakan itu. Komposisi kimia bahan pakan secara umum terdiri dari air, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan abu. Analisis secara kimia dapat dilakukan dengan analisis proksimat. Pada awalnya, analisis proksimat merupakan titik awal untuk evaluasi pakan namun karena terdapat 10
kelemahan terutama pada bahan berserat lalu dikembangkan metode yang lebih baik yaitu analisis serat atau Van Soest (Makkar, 2002). Metode lain yang tak kalah penting ialah evaluasi pakan secara biologis. Evaluasi tersebut dapat dilakukan baik dilapangan seperti evaluasi pakan secara in vivo, di laboratorium dapat dilakukan evaluasi pakan secara in vitro, in sacco ataupun kombinasi keduanya. Evaluasi pakan secara in vivo tidak akan terlepas dari pengukuran konsumsi pakan dan feses. Pengukuran tersebut dapat dilakukan baik secara langsung (direct method) maupun secara tidak langsung (in direct method) dengan menggunakan bahan perunut sebagai indikator (Suparjo, 2002). Metode in vitro penting untuk mengestimasi degradasi pakan ruminansia secara laboratorium. Keuntungan metode ini yaitu berkorelasi positif dengan evaluasi pakan secara in vivo. Metode in vitro tidak hanya lebih murah dan waktunya singkat namun pengukuran evaluasi pakan secara in vitro ini mampu menghasilkan kondisi percobaan yang lebih tepat dibanding secara in vivo (Makkar, 2002). Menurut Makkar (2002) ada 3 teknik utama pengukuran kecernaan dan evaluasi pakan untuk ternak ruminansia yaitu, kecernaan dengan menggunakan mikroorganisme rumen seperti yang dilakukan Tilley dan Terry pada tahun 1963 atau menggunakan metode gas tes oleh Menke pada tahun 1979, inkubasi in situ dengan menggunakan kantong nilon di dalam rumen oleh Mehrez dan Orskov pada tahun 1977 dan cell-free fungal cellulose oleh De Boever pada tahun 1986. Teknik evaluasi pakan dengan menggunakan kantong nilon, telah digunakan bertahun-tahun untuk mengevaluasi laju degradasi pakan. Kerugian metode ini yaitu hanya dapat mengevaluasi sampel pakan dengan jumlah terbatas. Metode in sacco akan menipiskan lapisan rumen setelah kantong nilon dikeluarkan dari rumen Teknik evaluasi pakan menurut metode Tilley dan Terry pada tahun 1963, banyak digunakan karena dapat digunakan untuk mengevaluasi bahan pakan dalam jumlah besar. Metode ini sulit diterapkan pada material seperti sampel jaringan atau fraksi dinding sel (Makkar, 2002). Metode perhitungan gas telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi kualitas pakan. Metode ini lebih efisien dibandingkan metode in sacco dalam mengevaluasi efek tanin atau faktor antinutrisi lainnya. Metode in vitro gas tes dapat memonitor interaksi antara nutrisi dengan antinutrisi serta antinutrisi dengan antinutrisi. Teknik
11
ini mudah dan cepat untuk dilakukan serta dapat mengevaluasi sampel dalam jumlah yang banyak, tidak memerlukan peralatan canggih atau penggunaan sejumlah besar hewan namun sebaiknya satu atau dua hewan fistula yang diperlukan (Makkar, 2002). Pada metode in vitro gas tes oleh Menke pada tahun 1979 fermentasi menggunakan syringe gas tes kapasitas 100 ml yang berisi sampel pakan dan larutan buffer rumen. Produksi gas dari inkubasi bahan kering 200 mg sampel pakan selama 24 jam. Aiple pada tahun 1996 membandingkan tiga metode laboratorium (enzimatik, nutrien, dan teknik pengukuran gas) untuk menduga net energi sebagai pembanding kecernaan dengan metode in vivo. Metode Menke ini dimodifikasi oleh Blümmel and Ørskov pada tahun 1993 dengan inkubasi menggunakan waterbath yang dilengkapi dengan rotor pada inkubatornya. Makkar pada tahun 1995 dan Blümmel pada tahun 1997 memodifikasi lebih lanjut mengenai jumlah sampel yang digunakan dari 200 mg menjadi 500 mg dan peningkatan larutan buffer rumen dua kali lipat sebagai indikasi peningkatan volume inkubasi dari 30 ml menjadi 40 ml. Pada inkubasi bahan pakan dengan menggunakan buffer rumen secara in vitro, karbohidrat akan terfermentasi menghasilkan asam lemak rantai pendek, gas dan bakteri. Produksi gas secara mendasar dihasilkan dari fermentasi karbohidrat menjadi asetat, propionat dan butirat. Produksi gas dari fermentasi protein lebih kecil dibandingkan fermentasi karbohidrat. Kontribusi lemak pada produksi gas dapat ditiadakan (Makkar, 2002). Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses fermentasi bahan pakan oleh mikroba rumen, yaitu menghidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida , disakarida dan polisakarida yang kemudian difermentasi lebih lanjut menjadi asam lemak terbang atau volatile fatty acid (VFA) terutama asam asetat, asam propionat dan asam butirat serta gas metan (CH4) dan karbondioksida (CO2) (McDonald et al., 2002).
12
Domba Fistula Sebagai Hewan Model Fistula adalah suatu metode pembuatan lubang ke dalam rongga abdomen dengan melakukan tindakan operasi. Sumbat ditutupkan pada lubang yang telah jadi untuk menghindari kebocoran isi organ. Fistula yang sering dilakukan adalah fistula rumen. Fistula rumen biasanya dipakai dalam studi kecernaan ternak ruminansia. Ada dua metode fistula yang biasanya dikerjakan oleh para ahli, yaitu metode satu tingkat yang dikembangkan oleh Schalk dan Amadon pada tahun 1928 dan metode dua tingkat yang dikembangkan oleh Jarret pada tahun 1948. Peralatan yang dibutuhkan dalam fistulasi diantaranya peralatan bedah, obat penenang, hewannya (Preston, 1986). Suparjo (2002) menyatakan bahwa untuk menunjang pelaksanaan evaluasi pakan secara in vitro dan in sacco diperlukan ternak berfistula rumen.
13