BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tanaman Bunga Lawang
2.1.1 Morfologi Tanaman ini merupakan jenis pohon-pohonan atau perdu, dengan tinggi mencapai 4-6 m. Memiliki daun tunggal, berbintik dengan ujung runcing. Bunganya berwarna kuning kehijau-hijauan. Buah terdiri atas 6-8 folikel, masing-masing folikel berisi 1 biji (Tjitrosoepomo, 2005). Buah berdiameter 2,5-4,5 cm (Ong, 2008). Buah masak berwarna coklat dan akan pecah pada bagian tengahnya yang bentuknya menyerupai bintang. Pada setiap folikel buah yang pecah tadi terdapat biji berwarna coklat, mengkilap dan tidak berbulu (Ali, et al, 2010). 2.1.2 Klasifikasi Sistematika Tjitrosoepomo (2005): Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Illiciales
Famili
: Illiciaceae
Genus
: Illicium
Spesies
: Illicium verum Hook.f.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Sinonim Sinonim dari tanaman bunga lawang (Illicium verum Hook.f.) adalah Illicium san-ki Perrottet, badian star anise, chinese anise, chinese star anise, indian anise, star anise, true star anise (Lim, 2012), sternanis, fructus anisi stellati (Tjitrosoepomo, 2005; Upton, et all, 2011), anisum stellatum, anisum badium (Wade, 1972). 2.1.4 Kandungan kimia Bunga lawang mengandung minyak atsiri (anethole 85-90%), resin, lemak, tanin, pektin, terpen, limoeonene, estradol, safrol, timokuinon, flavonoid, glukosida, saponin, (Ali, et al, 2010). Bijinya mengandung minyak atsiri dan resin (Parthasaratthy, et al, 2008). 2.1.5 Khasiat Bunga lawang digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan, obat batuk, antirematik, antidiare, antibakteri (Parthasarathy, et al, 2008), pengobatan infeksi saluran pernafasan, dispepsia (Fritz, et al, 2008), stimulan, karminatif (Tjitrosoepomo, 2005), antifungi, antioksidan (Saraswathy, 2013).
2.2
Ekstrak
2.2.1 Pengertian Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Cairan penyari dapat berupa air, eter atau campuran etanol dan air (Depkes RI, 1979).
Universitas Sumatera Utara
Ekstraksi adalah suatu cara menarik satu atau lebih zat dari bahan asal menggunakan suatu cairan penarik atau pelarut. Umumnya dikerjakan untuk simplisia yang mengandung zat-zat berkhasiat atau zat-zat lain untuk keperluan tertentu. Tujuan utama ekstraksi dalam bidang farmasi adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan agar lebih mudah dipergunakan (kemudahan diabsorpsi, rasa, pemakaian, dan lain-lain) dan disimpan dibandingkan simplisia asal, dan tujuan pengobatannya lebih terjamin (Syamsuni, 2006). 2.2.2 Metode ekstraksi Beberapa metode ekstraksi, yaitu : 1. Maserasi Maserasi berasal dari kata “macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi (Syamsuni, 2006). Maserasi adalah proses pengekstrakan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (Ditjen POM, 2000). 2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari sekurangkurangnya selama 3 jam. Bila serbuk simplisia tersebut langsung dialiri dengan cairan penyari, maka cairan penyari tidak dapat menembus keseluruh sel dengan sempurna (Depkes, 1979; Ditjen POM, 2000).
Universitas Sumatera Utara
3. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontiniu dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000). 4. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dalam jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000). 5. Digesti Digesti merupakan maserasi kinetik dengan pengadukan pada temperatur yang tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50OC (Ditjen POM, 2000).
2.3
Bau Mulut Bau mulut (halitosis) adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menerangkan bau kurang sedap yang berasal dari dalam mulut. Penyebabnya berasal dari sisa-sisa makanan yang tertinggal didalam rongga mulut yang diproses oleh flora normal rongga mulut. Kondisi mulut juga dapat memicu terjadinya bau mulut, diantaranya meningkatnya jumlah bakteri dalam rongga mulut, kurangnya flow saliva, berhentinya aliran saliva dan pH mulut yang bersifat alkali (Widagdo, et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
Didalam rongga mulut terdapat substrat protein eksogen (sisa makanan) dan protein endogen (protein saliva) yang banyak mengandung asam amino yang mengandung sulfur. Selain itu mikroorganisme juga banyak terdapat pada sel epitel mulut. Akumulasi dari substrat protein dan bakteri tersebut dapat menyebabkan bau mulut. Bau mulut dapat diatasi dengan cara mekanis (penyikatan gigi dan pembersihan lidah secara teratur) dan cara kimiawi (menggunakan obat kumur-kumur). Saat ini cara mengatasi bau mulut banyak dikembangkan dengan menggunakan obat kumur-kumur umumnya yang mengandung bahan antibakteri (Widagdo, et al., 2007).
2.4
Antibakteri Menurut Jawetz, et al, 2001, Pengukuran aktivitas antibakteri dapat
dilakukan dengan dua metode, yaitu: 1. Metode Dilusi Metode ini menggunakan antibakteri dengan konsentrasi yang berbeda-beda pada media cair, lalu diinokulasikan dengan bakteri dan diinkubasi. Metode ini membutuhkan waktu pengerjaan yang lama sehingga jarang digunakan. 2. Metode Difusi Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar dengan menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi zat yang bersifat sebagai antibakteri didalam media padat melalui pencadang.
Universitas Sumatera Utara
Antibakteri adalah zat yang digunakan untuk membasmi bakteri atau mikroba yang merugikan manusia. Antibakteri harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, zat tersebut haruslah bersifat sangat toksis bagi mikroba, tetapi relatif tidak toksis untuk hospes (Setiabudy, 2008). Berdasarkan sifat toksisistas selektif, aktivitas antibakteri ada yang bersifat menghambat pertumbuhan (bakteriostatik), dan ada yang bersifat membunuh mikroba (bakterisid) (Pratiwi, 2008).
2.5
Bakteri
2.5.1 Uraian umum Bakteri adalah mikroorganisme bersel satu, berbentuk bola, batang atau spiral berdiameter sekitar 0,5-1,0 m dan panjangnya 1,5-2,5 m. Berkembang biak dengan cara membelah diri, serta demikian kecilnya hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop (Dwijoseputro, 1978). Walaupun bentuknya sederhana sekali, namun bakteri terdiri dari ribuan spesies yang berbeda (Pratiwi, 2008). Menurut volk, et al, 1989, morfologi bakteri dibedakan atas tiga bagian: 1. Bentuk basil yaitu bakteri yang mempunyai bentuk menyerupai batang atau silinder, membelah dalam satu bidang, berpasangan ataupun berbentuk rantai pendek atau panjang. Contoh: Escheria coli, Bacillus anthracis, Salmonella typhimurium, Shigella dysenteriae.
Universitas Sumatera Utara
2. Bentuk kokus yaitu bakteri yang bentuknya seperti bola-bola kecil, ada yang hidup sendiri dan ada yang berpasang-pasangan. Contoh: Moonococcus gonorhoe, Diplococcus pneumoniae, Streptococcus viridans, Staphylococcus epydermidis, Sarcina luten. 3. Bentuk spiral Contoh: Spirillum, Vibrio cholerae, Spirochaeta Palida. Menurut Pelczar, et al, 1986, pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dipengaruhi oleh : 1. Nutrisi Sumber zat makanan bagi bakteri diperoleh dari senyawa karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, unsur logam (natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi, tembaga dan kobalt), vitamin dan air untuk fungsi-fungsi metabolik dan pertumbuhannya. 2. Keasaman dan kebasaan (pH) Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum pertumbuhan antara 6,5-7,5. Namun, beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat asam atau sangat alkali. Bila bakteri dibiakkan dalam suatu medium yang mula-mula pHnya disesuaikan, maka mungkin sekali pH ini berubah karena adanya senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama masa pertumbuhan. 3. Temperatur Suhu merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Setiap spesies bakteri dapat tumbuh pada kisaran suhu tertentu.
Universitas Sumatera Utara
4. Oksigen Beberapa spesies bakteri dapat hidup dengan adanya oksigen dan sebaliknya spesies lain akan mati 5. Tekanan Osmosa Osmosis adalah perpindahan air melewati suatu membran semipermeabel karena keseimbangan material terlarut dalam media. Medium yang baik bagi bakteri adalah medium yang isotonis dengan isi sel bakteri. Pertumbuhan bakteri meliputi empat fase, yaitu: 1. Fase lag. Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru. Ciri fase ini adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikroorganisme dan media pertumbuhan (Pratiwi, 2008). 2. Fase eksponensial (fase log). Fase ini merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika bakteri, sifat media, dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial (Pratiwi, 2008). 3. Fase stasioner. Pertumbuhan bakteri berhenti pada fase ini dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati. Karena pada fase ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik (Pratiwi, 2008).
Universitas Sumatera Utara
4. Fase kematian. Pada fase ini terjadi penurunan nutrisi yang diperlukan oleh bakteri sehingga bakteri memasuki fase kematian. Laju kematian melampaui dari laju pertumbuhan, dan pada akhirnya pertumbuhan bakteri terhenti (Volk, et al., 1988). 2.5.2 Bakteri Staphylococcus aureus 2.5.2.1 Sistematika bakteri Staphylococcus aureus Sistematika bakteri (Tjtrosoepomo, 2005): Kingdom
: Monera
Divisi
: Schizophyta
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Micrococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Species
: Staphylococcus aureus
2.5.2.2 Uraian bakteri Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, berbentuk bola atau kokus, berkelompok tidak teratur, diameter 0,8-1,0 m, tidak membentuk spora dan tidak bergerak (Jawetz, 2001). Bakteri ini menghasilkan pigmen berwarna kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, tumbuh dengan baik pada suhu 37OC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25OC) (Brooks, et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
Koloni pada pembenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bulat, halus, menonjol dan berkilau. Bakteri ini merupakan flora normal manusia, biasanya terdapat pada saluran pernafasan atas, mulut dan kulit, dapat juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar (Tortora, et al., 2001). Menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan (Jawetz, 2001) 2.5.3 Bakteri Streptococcus mutans 2.5.3.1 Sistematika bakteri Streptococcus mutans Sistematika bakteri (Tjtrosoepomo, 2005): Kingdom
: Monera
Divisi
: Schizophyta
Kelas
: Shizomycetes
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Lactobacillaceae
Genus
: Streptococcus
Species
: Streptococcus mutans
2.5.3.2 Uraian bakteri Streptococcus mutans Streptococcus mutans
merupakan
bakteri gram positif,
bersifat
nonmotil, berdiameter 1-2 µm berbentuk bulat atau bulat telur, tersusun dalam bentuk rantai, tidak membentuk spora, tumbuh optimal pada suhu 18-40OC, biasanya ditemukan pada rongga mulut manusia dan menjadi yang paling kondusif menyebabkan bau mulut dan karies untuk email gigi (Pratiwi, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Streptococcus mutans bersifat asidogenik, yaitu menghasilkan asam dan mampu tinggal pada lingkungan asam. Bakteri ini mampu menempel pada permukaan gigi dan menghidrolisis sisa makanan menjadi komponen glukosa dan fruktosa kemudian oleh enzim glukosiltransferase dan fruktosiltransperase akan diubah menjadi dekstran dan fruktan. Oleh karena kemampuan ini, Streptococcus mutans dapat menyebabkan melekatnya bakteri dan sisa-sisa makanan pada email gigi. Pada akhirnya terjadilah akumulasi bakteri, dekstran dan fruktan pada permukaan email gigi sehingga membentuk plak sebagai pencetus karies gigi dan menimbulkan bau yang kurang sedap (Brooks, et al., 2005; Tortora, et al., 2001).
2.6
Obat Kumur Obat kumur adalah sediaan yang digunakan untuk mencuci mulut,
tenggorokan dan gigi dengan maksud untuk membasmi mikroorganisme dan menghilangkan bau mulut (Jas, 2007). Sediaan ini sebaiknya aman digunakan setiap hari, tidak mendukung pertumbuhan bakteri, rasa sediaan dapat diterima, sebaiknya larutan jernih dan berbusa untuk mendorong konsep pembersihan mulut, dapat menyegarkan nafas serta meninggalkan rasa segar di mulut setelah menggunakannya (Mitsui, 1997). Menurut Farmakope Indonesia
edisi III
(1979),
obat kumur
(gargarisma/gargle) adalah sediaan berupa larutan, umumnya pekat yang harus diencerkan dahulu sebelum digunakan sebagai pencegahan atau pengobatan infeksi tenggorokan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mitsui (1997) ada 3 tipe obat kumur, yaitu: a. Tipe langsung Tipe ini digunakan langsung tanpa ada perlakuan tertentu. Sangat mudah digunakan dan banyak diaplikasikan. b. Tipe konsentrat Pada tipe ini larutan dasar ditambahkan dengan sejumlah air ketika akan digunakan. c. Tipe bubuk Pada tipe ini, sediaan obat kumur berupa bubuk. Bubuk dilarutkan dalam sejumlah air tertentu ketika ingin digunakan.
2.7
Komposisi Obat Kumur
1. Bahan aktif Secara spesifik dipilih untuk kesehatan rongga mulut. Seperti antimikroba, antiinflamasi. 2. Pelarut Biasanya air atau alkohol, digunakan untuk melarutkan bahan aktif, bahan perasa atau bahan-bahan tambahan lain untuk memperlama masa simpan. 3. Surfaktan. Surfaktan berfungsi sebagai agen pembusa dan membantu pengangkatan plak dan memungkinkan pembersihan hingga ke sela-sela gigi. Surfaktan juga digunakan untuk mencapai produk akhir yang jernih. Sebagai surfaktan dapat digunakan sodium lauril sulfat, Tween 80 (Mitsui,1997).
Universitas Sumatera Utara
Selain bahan tersebut, menurut Jas (2007) obat kumur juga mengandung zat tambahan lain berupa korigensia (saporis, odoris, koloris) untuk memperbaiki rasa, aroma maupun warna. Obat kumur harus memiliki rasa dan aroma yang dapat diterima dan memiliki sensasi rasa yang menyegarkan mulut. Sebagai bahan korigensia yang umum dipakai adalah peppermint oil, mentol, spearmint oil, sakarin.
2.8
Uraian Bahan
2.8.1 Sakarin Sakarin merupakan serbuk atau hablur putih, tidak berbau atau berbau aromatik lemah. Dalam bentuk larutan encer rasanya sangat manis (Ditjen POM, 1995). Sakarin merupakan salah satu bahan pemanis yang digunakan dalam produk makanan dan minuman, produk kesehatan seperti obat kumurkumur dan pasta gigi. Bahan ini digunakan untuk melapisi berbagai karakteristik rasa yang kurang menyenangkan atau meningkatkan sistem aroma. Dalam formulasi oral, sakarin digunakan pada konsentrasi 0,02-0,5%. Daya pemanisnya mencapai 300-600 kali sukrosa (Rowe, et.al., 2009). 2.8.2
Tween 80 Tween 80 atau polisorbat 80 merupakan cairan seperti minyak, jernih
berwarna kuning muda hingga coklat muda, bau khas lemah, rasa pahit dan hangat (Ditjen POM, 1995). Tween merupakan surfaktan yang luas digunakan dalam farmasi, karena relatif aman, tidak toksik dan tidak mengiritasi. Dalam formulasi, Tween digunakan sebagai zat pembasah, pelarut, pensuspensi dan pengental. Penggunaannya dalam formulasi adalah 0,01-12% (Agoes, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.8.3 Peppermint oil Peppermint oil atau minyak permen adalah minyak atsiri yang diperoleh dengan destilasi uap dari bagian di atas tanah tanaman berbunga Mentha piperita Linne. (Familia Labiatae) yang segar, dimurnikan dengan cara destilasi. Minyak ini berupa cairan tidak berwarna atau kuning pucat, bau khas kuat menusuk, rasa pedas diikuti rasa dingin jika udara dihirup melalui mulut, (Ditjen POM, 1995). Menthol banyak digunakan dalam bentuk farmasi sebagai zat pemberi aroma. Pemberian secara oral dalam dosis kecil memiliki aksi sebagai karminatif. Penggunaannya dalam sediaan obat kumur adalah 0,1-2% (Rowe, 2009)
Universitas Sumatera Utara